Anda di halaman 1dari 7

Nama : Jumrani Safitri

NPM : 2040403035
Jurusan : Akuntansi Lokal A2
Mata Kuliah : pengantar sosial ekonomi dan budaya kawasan perbatasan

1. kebudayaan wilayah perbatasan kaltara (Pengelolaan Perbatasan


dan Hubungan Antaretnis di Bengkayang
Masyarakat perbatasan di Bengkayang dan Serawak pada dasarnya
memiliki kesamaan aspek-aspek kebudayaan seperti tradisi dan bahasa. Kedua
komunitas ini dipisahkan oleh batas-batas politik administratif, namun masih
termasuk masyarakat adat yang sama. Mereka memiliki identitas kebudayaan
yang sama, serta berbagi sejarah pada masa lalu. Kegiatan lintas batas sosial
budaya terutama kunjungan keluarga berlangsung hampir setiap hari di
perbatasan Jagoi Babang. Pemerintah menerapkan penggunaan Pas Lintas
Batas di kedua daerah perbatasan tersebut untuk memudahkan masyarakat
melakukan kegiatan lintas batas. Terkait dengan pengelolaan perbatasan
negara, masyarakat adat di kedua daerah tersebut juga memiliki masalah yang
hampir sama, di mana kegiatan lintas batas tradisional masih dibatasi, hanya
pada siang hari, karena petugas imigrasi di perbatasan jumlahnya terbatas dan
pos imigrasi tidak sebanding dengan panjang perbatasan dan jumlah penduduk
perbatasan. Sebagai akibatnya, seringkali lintas batas tradisional berlangsung
tanpa melalui pos perbatasan resmi. Masyarakat sudah biasa berjalan
menyusuri sungai, lembah, atau gunung ataupun dengan menggunakan
sepeda motor melintas perkebunan kelapa sawit untuk kunjungan
kekeluargaan dan upacara adat. Masyarakat perbatasan masih menyimpan
trauma masyarakat yang muncul dari sejarah konflik kekerasan penumpasan
PGRS/Paraku di Kalimantan Utara. Perbatasan negara tidak dipandang sebagai
sesuatu yang statis dan pendekatan tunggal keamanan negara sudah tidak lagi
relevan digunakan untuk melakukan kontrol dan pembatasan terhadap
penduduk perbatasan. Globaliasi telah melahirkan agen-agen lintas batas
negara yang tidak lagi dibatasi oleh negara bangsa. Penempatan aparat-aparat
keamanan dan imigrasi hendaknya ditujukan bukan untuk menghambat arus
keluar masuk penduduk di perbatasan tetapi melayani dan memudahkan
kegiatan lintas batas penduduk. Masyarakat adat seharusnya diberi ruang yang
lebih luas untuk berperan dalam pengelolaan perbatasan. Misalnya dapat
dilakukan dengan mengangkat perwakilan mereka dalam Badan Pengelola
Perbatasan Daerah atau pada Pos Lintas Batas. Hal ini karena masyarakat
perbatasan sesungguhnya yang memiliki kedaulatan di perbatasan wilayah
adat mereka. Pemerintah dapat memperluas jangkauan penerima PLB dan
memperbaiki kualiatas pelayanan PLB, serta menambah jumlah PLB di
sepanjang daerah yang selama ini dianggap sebagai jalan setapak. Jika kita
merujuk pada kerangka konsep yang telah dijelaskan di muka, maka daerah
perbatasan di Kabupaten Bengkayang termasuk kategori saling bergantung
(interdependent), menurut Martinez (1994). Masyarakat adat di Jagoi Babang
dan Serikin-Malaysia, saling melakukan transaksi yang bersifat ekonomi dan
relasi sosial-budaya yang berkelanjutan. Namun, kegiatan-kegiatan ekonomi
yang berlangsung ini dalam jumlah yang relatif terbatas. Hal ini disebabkan
oleh infrastruktur yang terbatas dan peraturan perdagangan internasional
yang masih berorientasi pada Pusat. Konsep perbatasan yang ideal yakni,
terintegrasi secara ekonomi, nampaknya masih memerlukan waktu.

2. Budaya perbatasan banjar


Umumnya, adat kebudayaan masyarakat Banjar berakar dari suku Dayak
Kaharingan. Namun, setelah pengislaman massal, adat Dayak Kaharingan tadi
disesuaikan dengan keyakinan baru mereka yaitu Islam.Ada beberapa ciri khas
yang bisa ditemukan dari orang Banjar. Pertama, mereka memiliki
keterampilan mengolah area pasang surut. Pasalnya kehidupan suku banjar
terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu sangat dekat dengan
sungai.
Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam
Jukung atau perahu sesuai fungsinya. Mereka memanfaatkan kondisi geografis
Kalimantan Selatan yang memiliki banyak sungai dengan sebaik
mungkin.Sehingga, rata-rata menjadi ahli dalam mengolah lahan pasang surut
menjadi kawasan permukiman dan budi daya pertanian.Lalu, suku Banjar
memiliki rumah tradisional mereka sendiri yaitu Rumah Banjar. Ciri-ciri
arsitekturnya yaitu memiliki perlambang, penekanan pada atap, ornamen,
serta dekoratif dan simetris. Diantara semua jenis rumah Banjar, tipe
Bubungan Tinggi adalah yang paling dikenal sebagai identitas suku ini.
Suku banjar juga memiliki tradisi lisan yang dipengaruhi oleh budaya
Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar yang menjadi kesenian ini
berkembang pada abad ke-18, diantaranya seperti Madihin dan Lamut.
Madihin adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan mental tertentu, yang
disesuaikan dengan khasanah folklor Banjar. Sedangkan Lamut merupakan
tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan,
sosial, serta budaya Banjar.
Kebudayaan lainnya adalah seni teater tradisional yang disebut
Mamanda. Mamanda hampir mirip dengan Lenong, namun tokoh-tokoh yang
dimainkan lebih baku seperti raja, perdana menteri, panglima, permaisuri, dan
sebagainya. Suku Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan ini juga memiliki
musik tradisional khas bernama musik Panting. Disebut Panting, karena
berbentuk seperti gambus yang memakai senar atau panting.

3. Kebudayaan wilayah perbatasan kepulauan Talaud


a. Upacara tulude
Sebab, di mana ada komunitas masyarakat etnis Sangihe-Talaud,
pasti d Tulude pada hakekatnya adalah kegiatan upacara pengucapan
syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi atas berkat-berkat-Nya
kepada umat manusia selama setahun yang lalu. Pada masa awal beberapa
abad lalu, pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para leluhur
pada setiap tanggal 31 Desember, di mana tanggal ini merupakan
penghujung dari tahun yang akan berakhir, sehingga sangat pas untuk
melaksanakan upacara Tulude. Pengertian Tulude itu sendiri adalah
menolak atau mendorong dalam hal ini menolak tahun yang lama dan siap
menerima tahun yang baru. Dalam tradisi kafir leluhur masyarakat Sangihe
dan Talaud, acara tolak tahun ini diwujudkan dengan upacara di tepi pantai
dengan menolak, mendorong atau melepaskan sebuah perahu kecil yang
terbuat dari kayu latolang dengan muatan tertentu. Perahu ini oleh tokoh
adat didorong, dilepas atau dihanyutkan ke laut sebagai simbol, segala
sesuatu yang buruk di tahun yang akan lewat dibuang atau dihanyutkan ke
laut agar tidak lagi menimpa warga desa setempat di tahun yang baru. Jika
perahu tersebut dibawa arus laut dan terdampar di pantai atau desa
tetangga, maka orang yang menemukannya wajib menolak dan
menghanyutkannya kembali ke laut, karena dipercaya, kalau tidak
dihanyutkan lagi, maka segala malapetaka dan sakit-penyakit yang pernah
menimpa masyarakat asal perahu itu, akan berpindah ke tempat di mana
perahu itu terdampar. Bahkan, hari pelaksanaannya yang biasanya pada
tanggal 31 Desember, oleh kesepakatan adat, dialihkan ke tanggal 31
Januari tahun berikutnnya. Hal ini dilakukan, karena tanggal 31 Desember
merupakan saat yang paling sibuk bagi umat Kristen di Sangihe dan Talaud.
Dalam upacara adat tulude ini, ada berbagai konten adat yang dilakukan.
Kedua, persiapan-persiapan pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo,
tari kakalumpang, tari empat wayer, kelompok nyanyi
masamper,ketiga,penetapan tokoh adat pemotong kue adat tamo,
penyiapan tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat
pembawa ucapan doa keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang
disebut Mayore Labo, dan penyiapan kehadiran Tembonang u Banua
bersamaWawu Boki serta penyebaran undangan kepada seluruh anggota
masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu
Banua .

b. Budaya bahari
Sangir, Sangil, Sangiresse adalah nama etnis yang hidup di Indonesia
dan Phlipina Selatan. Etnis ini sudah sejak purbakala dikenal oleh bangsa-
bangsa luar karena memeliki kehebatan dalam mengarungi lautan. Suku
bangsa ini memiliki banyak kerajaan seperti terungkap dalam buku Kakawin
Negara Kertagama eleh Empu Prapanca pada tahun 1365 disebut
Udamakataraya dan pulau-pulaunya dalam terjemahan Moh. Etnis ini
dikenal sebagai suku bangsa pelaut yang terkenal sejak jaman purba-kala
karena keberaniannya mengarungi lautan. Dalam bahasa sangir Tagharoa
berati laut bebas juga berarti laut secara keseluruhan dalam hal ini merujuk
pada saat ketika bumi ini belum terbagi dalam beberapa benua atau lautan
disebut Benua Pagea dan lautan disebut Panthalusso. Laut disebut juga
dalam bahasa Sasahara dengan Badoa, Boba, Elise laut yang tidak dalam
sehingga nampak terumbuh karang, saat ini laut disebut dengan Laude atau
Sasi merujuk pada air asin. Ombak dalam bahasa sangir disebut Lua yaitu
ombak yang pecah dipinggiran pantai, Bentare menunjuk pada ombak yang
pecah dipermukaan air laut dalam , Belade = gelombang yang besar pecah
di lautan luas, Birorong = gelombang yang tidak pecah dilaut antara boba
yaitu laut yang bening kebiru-biruan yang dalam dan elise laut dangkal
sehing tampak terumbu karang, sedangkan arus laut disebut Selihe. Bahasa
Sasahara adalah bahasa Sangihe yang dipakai khusus oleh pelaut sewaktu
berlayar, dan juga dipakai sebagai bahasa Sastra.

4. Kebudayaan wilayah perbatasan Desa Durian Minahasa


Umumnya para petaani pemilik di Desaa Durian berasal dari etnik
Minahasa, clan etnik Mongonclow. Petani buruh sebagian besar clari etnik
Gorontalo clan etnik Sangir Talaucl, walaupun di antaranya acla yang
menjacli petani pemilik. Warga etnik Minahasa ada pula yang mata
pencahariannya sebagai pedagang. Serrientara itu, etnik Mongonclow,
menguasai perdagangan berbagai jenis beras, seperti jenis IR, KS, nurclin,
clan sanclang. Kemudian etnik Gorontalo umumnya berclagang sepatu/tas,
sebagian hasil bumi, telor ayam, tahu clan tempe. Etnik Cina sebagai etnik
minoritas umumnya berclagang kelontong dengan sistem «kanvas» .
Minahasa dan etnik Mongondow. Jenis makanan yang clijual antara lain,
mie, nasi kuning, clan bubur manaclo, ikan bakar, kopi, dan es. Setelah usai
sekolah atau tidak sekolah anak perempuan ikut membantu jenis-jenis
pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh ibu, seperti mencuci pakaian,
membersihkan rumah, halaman, memasak, mengasuh adiknya yang masih
kecil, dan menyetrika pakaian.

Kerabat bagi masyarakat di Sulawesi Utara, seperti etnik

Kerabat berdasarkan hubungan darah bagi semua etnik yang ada di Desa
Durian ikatannya begitu kuat. Di samping itu juga terlihat adanya beberapa
keluarga yang merawat anak usia balita yang bukan anak kandungnya.
Mereka selalu membantu tetangganya yang sedang kerepotan, sekalipun
tanpa diberitahu terlebih dahulu. Begitujuga etnik Gorontalo yang
berkecukupan selalu menampung etnik Gorontalo yang sedang
berkekurangan, sebagai contoh, keluarga Haliu-Olii yang berkekurangan
hidupnya ditampung oleh keluarga Taher-Haliu yang berkecukupan.

Jadi boleh dikatakan bahwa buruh-buruh di desa ini hanya sedikit sekali
yang menganggur. Ada saja yang mesti dikerjakan oleh buruh itu, seperti
membersihkan rumput, menunggu ladang, memetik kelapa atau
membersihkan pohon kelapa. Dalam hubungan kerja antara buruh clan
petani pemilik tidak lagi memandang itu etnik mana yang terpenting mau
bekerja clan tenaganya dapat dipakai. Talaud maka anak gadis tersebut
harus menjadi kerabat yang akrab.

Hal ini khusus orang tua bila sudah terjadi perkawinan,langsung menjadi
kerabat yang dekat. Warga yang berlainan etnik setelah menjalani
pernikahan yang sangat dituntut adalah bahwa salah satu dari kedua orang
itu harus ada yang mengalah. Biasanya pihak perempuan yang selalu
mengikuti jejak lelakinya. Sangir Talaud dan rondonuwu etnik Minahasa,
kemudian keluarga Etnik yang memeluk agama kristen baik kristen GMIM,
kristen GPDI maupun kristen katolik sekalipunjumlahnya relatiflebih sedikit
namun suasana kristiani di desa durian sangat terasa.
Di samping ibadah resmi yang dilakukan setiap hari minggu pagi di
gereja terdapat ibadah khusus yang bernama ibadah persekutuan wanita
kaum ibu kristen GMIM maupum kristenGMIM dan umat kristen GPDI pada
waktu yang sama, yaitu pada hari sabtu pukul 19.00 Wita. Di samping itu
pula umat kristiani menerima pembinaan melalui ibadah pagi pukul 06.00
Wita dan ibadah sore pukul 18.00 Wita melalui sound sistym yang terdapat
disetiap gereja. Ibadah ini dilaksanakan oleh pemimpin umat yang disebut
pendeta. Lain halnya dengan para pemeluk agama Islam, walaupun jumlah
pengikut Islam di Desa Durian ini cukup besar, namun demikian pembinaan
yang dilakukan belum nampak menonjol.

Mereka tidak membedakan tamu asal etnik, agama clan pangkat yang
terpenting tamu itu clapat membawa cliri. Bagi tamu yang berasal clari luar
Sulawesi Utara, mereka menyecliakan makanan bersifat nasional, yang
berarti dapat dimakan orang yang beragama kristen maupun Islam. Begitu
juga bahasa yang digunakan aclalah bahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai