Anda di halaman 1dari 7

Seni Tradisional Dayak

Asal Usul
seni tari Dayak adalah: kesenian tari tradisional masyarakat dayak yang berhubungan
dengan latar belakang budaya yang masih terpelihara di antara sub suku bangsa Dayak
secara umum. Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau
kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya
masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan
Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka
Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.
Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya
405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau
Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada
sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa
yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah
pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap permukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam
Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar
dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi
yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir
semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah
berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku
Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga
menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku
Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan
Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh
yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan
menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena
suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit
(Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak
Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai
latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya.
Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh
mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh
masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk
menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan
umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak
yang telah bermukim di kota kabupaten dan provinsi) yang mempunyai kemiripan
adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding
Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis
Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan
agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan
Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang
masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah
Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum
bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar
luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan
agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.
Provinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi
cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal
ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat
yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir
Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian
datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-
beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya
mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan
dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang pada masa lalu), menyebabkan
mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang
besar bagi keuntungan mereka.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan
dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena
sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural,
menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal
(Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi
masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu
yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan.
Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada
yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun
terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan
Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan
lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka
percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata,
Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi,
kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan
tertingginya: misalnya: Puyang Gana (Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja
Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyan'gh(Dayak
Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme
nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh
kepedalaman.
Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena
perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah
mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan
sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke
pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di
Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak
yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) pada masa lalu, hingga
mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena
Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak
yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan
keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir
berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu)
ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani
atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya
urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai,
karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan
masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan
(istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil) penembahan ini hidup
mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang
dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah
tersebut. Namun adakalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap
kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan
pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan
kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah
satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama
dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau
pemimpin wilayah yang mereka segani.

Pembagian Ciri Tari Dayak


Berdasarkan wilayah penyebaran di Kalimantan Barat
Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar
diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri
cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1 kelompok
kecil yakni:
 Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin,
Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak,
Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato,
keras.
 Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng,
Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya
di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar
dan halus.
 Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk,
Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau /
malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir,
Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan
Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan
tidak terlalu halus.
 Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah
penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok ibanic, tetapi
sedikit lebih halus.
 Kayaanik, punan, bukat dll.
Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya,
masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan
berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali / ayek-ayek,
terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak Kabupaten
Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, daerah
Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah
Manjau dsb.
Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo/Damea, Sungkung daerah
Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten
Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan
lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah
pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid,
maris dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang
memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara
lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong,
sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai
mangat,nyanggai,nanga raya dll), dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain,
menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain
sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara lain didesa tanjung
rimba, piawas dll),dayak Ot Danum (masuk kelompok kal-teng), Leboyan.

Latar belakang Tari Dayak Ajat Temuai Datai

"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang tidak
dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per
kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan/Permohonan dengan menggelar
ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya: tamu, Datai artinya: Datang. Jika
disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari yang didalamnya terdapat Upacara Adat
dalam prosesi menyambut tamu atau Tari Menyambut tamu. bertujuan untuk
penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya
kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, di antara kelompok-kelompok
suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me dan Ngayau. Me berarti melakukan aksi,
Ngayau: pemenggalan kepala musuh, tindakan memenggal kepala musuh (Mengayau
terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada
umumnya). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu
tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan
memenggal kepala lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya di
antaranya Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok
kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak lebih dari tiga orang. Pada masyarakat
Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan
membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia (musuh), merupakan tamu yang
diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi
kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat
Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun
kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan
(Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam
mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya
jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah
mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah
kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang
disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!, sebanyak tujuh kali
yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala
lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan
menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya
sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan
penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau
mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar
mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui empat babak
yakni: 1. Ngunsai Beras (menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang
Berani/Ksatria/Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang
Burong), 2. Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan
bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah
panjai. 3 Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu ataupun memandu tamu
sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses
ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat
Ngiring Temuai. 4. Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat
tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai
simbol pencelap semengat , setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diizinkan
naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut
Mulai Semengat (mengembalikan semangat perang) (john Roberto P. 2002.ISI
yogyakarta), kemudian baru diadakan Gawai pala' acara ini untuk menghormati kepala
hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Pala,
Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima / Tuwak Dayak Mualang
masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau), Tuwak Pangkar Begili (Tidak
Pernah Mund)
Tari Gambyong

Dua orang penari gambyong Pareanom.

Gambyong merupakan salah satu bentuk tarian Jawa klasik yang berasal-mula dari
wilayah Surakarta dan biasanya dibawakan untuk pertunjukan atau menyambut tamu.
Gambyong bukanlah satu tarian saja melainkan terdiri dari bermacam-macam
koreografi, yang paling dikenal adalah Tari Gambyong Pareanom (dengan beberapa
variasi) dan Tari Gambyong Pangkur (dengan beberapa variasi). Meskipun banyak
macamnya, tarian ini memiliki dasar gerakan yang sama, yaitu gerakan
tarian tayub/tlèdhèk[1]. Pada dasarnya, gambyong dicipta untuk penari tunggal, namun
sekarang lebih sering dibawakan oleh beberapa penari dengan menambahkan
unsur blocking panggung[1] sehingga melibatkan garis dan gerak yang serba besar[2].

Sejarah
Serat Centhini, kitab yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820)
dan Pakubuwana V (1820-1823), telah menyebut adanya gambyong sebagai
tarian tlèdhèk. Selanjutnya, salah seorang penata tari pada masa pemerintaha
Pakubuwana IX (1861-1893) bernama K.R.M.T. Wreksadiningrat menggarap tarian
rakyat ini agar pantas dipertunjukkan di kalangan para bangsawan atau priyayi [3].
Tarian rakyat yang telah diperhalus ini menjadi populer dan menurut Nyi Bei
Mardusari, seniwati yang juga selir Sri Mangkunegara VII (1916-1944), gambyong biasa
ditampilkan pada masa itu di hadapan para tamu di lingkungan Istana
Mangkunegaran[4].
Perubahan penting terjadi ketika pada tahun 1950, Nyi Bei Mintoraras, seorang pelatih
tari dari Istana Mangkunegaran pada masa Mangkunegara VIII, membuat versi
gambyong yang "dibakukan", yang dikenal sebagai Gambyong Pareanom. Koreografi
ini dipertunjukkan pertama kali pada upacara pernikahan Gusti Nurul, saudara
perempuan MN VIII, di tahun 1951. Tarian ini disukai oleh masyarakat sehingga
memunculkan versi-versi lain yang dikembangkan untuk konsumsi masyarakat luas.

Gerak Tari
Secara umum, Tari Gambyong terdiri atas tiga bagian, yaitu: awal, isi, dan akhir atau
dalam istilah tari Jawa gaya Surakarta disebut dengan istilah maju beksan, beksan, dan
mundur beksan.[5]
Yang menjadi pusat dari keseluruhan tarian ini terletak pada gerak kaki, lengan, tubuh,
dan juga kepala.[6] Gerakan kepala dan juga tangan yang terkonsep adalah ciri khas
utama tari Gambyong.[6] Selain itu pandangan mata selalu mengiringi atau mengikuti
setiap gerak tangan dengan cara memandang arah jari-jari tangan juga merupakan hal
yang sangat dominan.[6] Selain itu gerakan kaki yang begitu harmonis seirama membuat
tarian gambyong indah dilihat.[6]

Penggunaan
 Pada awalnya, tari gambyong digunakan pada upacara ritual pertanian yang
bertujuan untuk kesuburan padi dan perolehan panen yang melimpah. [1] Dewi Padi
(Dewi Sri) digambarkan sebagai penari-penari yang sedang menari. [1]
 Sebelum pihak keraton Mangkunegara Surakarta menata ulang dan membakukan
struktur gerakannya, tarian gambyong ini adalah milik rakyat sebagai bagian
upacara.[1]
 Kini, tari gambyong dipergunakan untuk memeriahkan acara resepsi perkawinan
dan menyambut tamu-tamu kehormatan atau kenegaraan. [1]

Ciri khusus
 Pakaian yang digunakan bernuansa warna kuning dan warna hijau sebagai simbol
kemakmuran dan kesuburan.
 Sebelum tarian dimulai, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur.
 Teknik gerak, irama iringan tari dan pola kendhangan mampu menampilkan
karakter tari yang luwes, kenes, kewes, dan tregel.

Anda mungkin juga menyukai