TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keluarga Batak
Asal usul daerah sumatera utara tidak banyak diketahui oleh ahli
sejarah karena sumatera utara banyak mengalami perubahan-perubahan
terutama mengenai penanaman daerah ini. Dahulu, penamaan daerah ini
sering ditetapkan menurut keinginan orang yang menjadi pemimpin di daerah
ini. Menurut keterangan-keterangan penduduk yang pindah ke daerah ini,
manusia asli di indonesia telah dijumpai di daerah ini sebelum mereka datang.
Etnik-etnik di sumatera utara menganut berbagai agama, diantaranya
Melayu, Batak, Nias, Campuran, dan Terasing. Kelompok etnis melayu
terdiri dari Melayu Langkat, Melayu Deli Serdang, Melayu Asahan dan
Melayu Labuhan batu. Kelompok etnik batak terdiri dari Karo, Simalungun,
Fakfak (Dairi), Toba Dan Angkola/Mandailing. Kelompok etnik campuran
terdiri dari tapanuli Selatan (Natal) Dan Tapanuli Tengah (Sibolga).
Kelompok etnik terasing/terelakang terdirri dari Lubu Dan Siladang. Logat
dan bahasa yang digunakan setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan tradisi
masing-masing.
Orang batak mayoritas beragama Kristen dan sebagian beragama Islam.
Akan tetapi, masih ada masyarakat yang tinggal di pedesaan menganut
animisme dan melakukan kebiasaan-kebiasaan atau jaran-ajaran agama nenek
moyang mereka.
2.2 Sejarah Perkembangan Keluarga Batak
Para ahli sejarah tidak banyak yang mengetahui dengan pasti mengenai
asal-usul daerah Sumatera Utara. Kurang lebih pada abadke-15, di Sumatera
Timur sudah berdiri kerajaan-kerajaan di Siak Pane, Aru di Deli Tua, dan
Kerajaan-kerajaan aru lainnya. Kerajaan Deli Tua muncul sezaman dengan
Kerajaan Aceh di ujung utara Pulau Sumatera. Kerajaan Deli Tua ini diduga
bernama Timur Raya, yaitu Kerajaan Batak yang belum menganut agama
islam sama sekali. Kerajaan ini diperkirakan ada pada abad ke-15.
Medan muncul sejalan dengan berdirinya Aru di Deli Tua. Sebelum
tahun 1570, kampung medan dikenal dengan “MEDAN PUTRI”. Menurut
Anderson pada tahun 1823, penduduk Kota Medan menggunakan bahasa
perantara yang dikenal dengan bahasa Melayu Deli.
Sebelum agama islam datang ke Indonesia, pengaruh Hindu telah
tersebar di seluruh Indonesia, termasuk daerah Sumatera Utara. Pengaruh
hindu masih tampak dalam bagaimana cara mengairi sawah, membajak,
membuat kerajinan kain, menenun, serta menggunakan istilah Hindu dan
sistem tulisan.
Pada pertengahan Abad ke-14, Aceh telah menganut agama Islam
dengan kerajaan Islam pertama adalah kerajaan pasai. Karena pantai timur
dan barat Sumatera Utara di bawah pengaruh kesultanan Aceh, penduduk
pesisir Sumatera Timur dan Pantai Tapanuli berangsur-angsur memeluk agam
Islam. Agama Islam sangat berpengaruh terutama di daerah Tapanuli Selatan.
Sejalan dengan perluasan kekuasaan Belanda, pada Abad ke 19 mulai
tersebar pengaruh agama Kristen di daerah Batak Toba. Selanjutnya dari
daerah Batak Toba, agam Kristen disebarkan pula ke daerah Simalungun,
Karo dan Dairi. Sebagian penduduk dapat dinasranikan. Pada abad ke-13,
Belanda telah mencengkeram kekuasaan di Pulau Nias. Sejak saat itu secara
berangsur-angsur sebagian penduduk Nias memeluk agama Islam. Aspek
kehidupan orang Batak di kelompokkan dalam sembilan nilai budaya sebagai
berikut :
1. Kekerabatan mencakup hubungan suku dan kasih sayang berdasarkan
hubungan darah dan kerukunan
2. Religi mencakup kehiduoan keagamaan, baik agama warisan nenek
moyangmaupun agama yang datang dari luar, yang mengatur hubungan
dengan Maha Pencipta serta hubungan antara manusia dan lingkungan.
3. Hagabean mencakup lengkanya putra-putri, banyaknya jumlah keturunan
dan panjangnya umur.
4. Kehormatan mencakup kemuliaan, wibawa, da karisma.
5. Kemajuan diraih dengan jalan merantau dan menuntut ilmu
6. Norma dan hukum
7. Kekayaan lahir dan batin
8. Pengayoman
9. Konflik menyangkut perjuangan mempertahankan dan memperjuangkan
kesembilan aspek diatas.
Pengelompokan didasarkan pada ciri-ciri suatu darah, baik berdasarkan
kelompok suku-etnis, adat, istiadat, penghidupan, abahsa, maupun
perjuangannya. Berdasarkan ilmu antropologi, Provinsi Sumatera Utara
mempunyai ragam kelompok susku-etnis yang asli, seperti kelompok etnik
Melayu (Melayu Langkat, Melayu Deli Serdang, Melayu Asahan dan Melayu
Labuhan batu) , kelompok Etnik Batak (Karo, Simalungun, Fakfak, Toba Dan
Angkola / Mandailing), Kelompok etnik campuran (tapanuli Selatan / Natal
Dan Tapanuli Tengah / Sibolga), serta Kelompok etnik terasing/terbelakang
terdiri dari (Labu Dan Siladang). Selain kelompok etnik asli yang menetap di
provinsi Sumatera Utara (Sumut), ada juga kelompok pendatang di kelompok
asing.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa adanya kelompok etnis itu
disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa, logat, dan sebagainya. Adapun
jumlah kelompok bahasa di Provinsi Sumatera Utara berlainan dengan
jumlah-jumlah kelompok bahasa di Provinsi Sumatera Utara berlainan
dengan kelompok etnik yang mendukungnya (200 dialek ). Kelompok bahasa
Melayu Langkat, Deli dan Serdang, serta Labuhan Batu. Kelompok Bahasa
Batak terdiri atas Bahasa Batak Karo, Simalungun, Toba. Fakfak dan
Mandaling. Kelompok bahasa Batak campuran, seperti
Sibolga,Natal,Lubu(Muara Sipongi) dan Siladang (Penyabungan).
2.3 Aspek Demografi
Orang orang Batak atau orang-orang Sumatera Utara merupakan
kelompok etnis yang terdiri dari pribumi asal Sumatera Utara,pribumi
pendatang ke daerah Sumatera Utara, dan warga keturunan asing. Menurut
catatan Kantor Statistik Provinsi Sumatera Utara, tahun 2000 tercatat jumlah
penduduk Sumatera Utara 7.632.955 jiwa , dengan perincian 7.252.820 warga
negara Indonesia dan 380.135 orang negara asing. Ibu kota Sumatera utara
adalah Medan
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, kota Medan di perkirakan
berpenduduk 2.210.743 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar daripada
jumlah pria(1.111.290 jiwa >1.098.709). Kepadatan penduduk penduduk rata-
rata 8.339 jiwa per km. Dari total jumlah penduduk tersebut diketahui bahwa
1.918.320 jiwa merupakan penduduk tetap dan 291.679 jiwa penduduk tidak
tetap. Dengan demikian, Kota Medan merupakan salah satu kota dengan
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga memiliki keunggulan di
ferensiasi pasar.
Dilihat dari struktur usia penduduk, Kota Medan di huni lebih kurang
1.266.606 jiwa yang produktif(15-59 tahun). Selanjutnya, berdasarkan tingkat
pendidikan,91,8% penduduk telah mengenyam pendidikan dasar dan
menengah, mulai dari tingkat SLTA,SMP,danSD serta 8,12% jenjang
perguruan tinggi. Dengan demikian, Kota Medan cukup memiliki tenaga
kerja yang dapat bekerja di berbagai jenis perusahaan, seperti
jsa,perdagangan,dan manufaktur.
Umumnya di Sumatera Utara, gerakan perpindahan penduduk terjadi
dari daerah pedalaman ke daerah pantai, terutama ke daerah pantai daerah
timur provinsi ini. Pada masa sebelum perang kemerdekaan, perpindahan
tersebut tidak terlalu cepat, hanya sedikit urbanisasi ke kota-kota di tepu
pantai. Terutama karena dorongan ingin mencari mata pencaharian. Tanah
Deli merupakan tumpuan utama sehingga pernah mendapat julukan
sebagai”Tanah Dolar”.
Setelah berakhirnya perang kemerdekaaan, gerakan perpindahan
penduduk terjadi dari daerah pedalaman dan daerah pantai, terutama karena
dorongan ingin mencari mata pencaharian hasrat menuntut ilmu yang tinggi.
Mobilitas perpindahan itu makin di percepat dengan semakin baiknya sarana
transportasi dan komunikasi.
Pada beberapa tahun terakhir ini, penduduk Sumatera Utara cenderung
mengalami pertambahan tetap. Artinya, pertambahan jumlah penduduk dari
tahun ke tahun naik antara 100.000 dan 200.000 orang per tahun.
Selanjutnnya kepadatan penduduk di kota-kota benar cenderung lebih
padat dari kabupaten-kabupaten. Umunya, kepadatan di kabupaten-kabupaten
kurang dari 1000/km dengan luas wilayah maksimum 16.102 km(Tapanuli
Selatan)dan minimum 2.349 km(Kabupaten Karo). Di kota-kota kepadtan
maksimum 20.628 jiwa/km dengan luas minimum 1,7 km(Kodya Tanjung
Balai) kepadatab minimum 3.689 jiwa/km dengan luas 17,1 km (Kodya
Binjai).
2.4 Aspek Psikisosial (Perbedaan Kelas Sosial)
Stratifikasi sosial orang Batak di dalam kehidupan sehari-hari mungkin
tidak terlihat sangat jelas. Stratifikasi sosial orang Batak dibedakan
berdasarkan tiga prinsip berikut :
1. Perbedaan usia
2. Perbedaan pangkat dan jabatan
3. Perbedaan sifat keaslian
Pelapisan sosial berdasarkan perbedaan usia terihat dalam hubungan
adat yang ada dalam masyarakat. Dalam hubungan masalah-masalah adat,
hanya orang-orang tua yang ikut serta sedangkan orang orang muda tidak ikut
campur. Bahkan,dalam masalah warisan, anak-anak akan diwakilkan oleh
orangtuanya. Dalam persoalan pekerjaan adat, orang-orang tua mengurus
soal-soal adat, orang-orang muda sebagai pekerja, tetapi anak-anak tidak
mempunyai pekerjaan apapun.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan pangkat dan jabatan terlihat dalam
kehidupan sehari – hari. Dahulu keturunan bangsawan selalu diutamakan
kedudukan dan perannya dalam masyarakat. Mereka diutamakan dalam adat,
pembagian daging atau “jambar”, dan tempat duduknya ditengah – tengah
pertemuan apapun. Pada dasarnya, orang – orang bangsawanlah yang
menentukan segala persoalan kemasyarakat dalam adat. Tingkatan kedudukan
yang teratas ini pada masyarakat Simalungun disebut “partongah” atau
“puang”. Pada masyarakat Mandailing juga terdapat lapisan masyarakat ,
seperti “namora” dan bangsawan. Namora – namora dan orang – orang
bangsawanlah yang memegang peranan dalam soal – soal adat dan hukum.
Pada masyarakat Nias juga terdapat lapisan masyarakat yang terdiri atas
beberapa lapisan yang disebut kasta. Kaum bangsawan merupakan lapisan
masyarakat yang paling atas dan budak adalah lapisan paling bawah.
Pergaulan dibatasi hanya dalam satu golongan. Pergaulan dengan golongan
lain seperti golongan atas ke golongan bawah dianggap hina. Sebaliknya, bila
seseorang dan tingkatan yang lebih rendah menaikkan tingkatnya, ia harus
mengadakan upacara adat. Pada masyarakat Melayu, juga ada pembagian
lapisan masyarakat. Lapisan bangsawan adalah kelas paling atas, termasuk
didalamnya Sultan dan Tengku. Kaum bangsawan ini menguasai seluruh
daerah Sumatra Timur pada masa penjajahan Belanda.
Sesudah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, perbedaan – perbedaan
golongan didaerag Sumatra Utara sudah dihapuskan. Perbedaan tersebut
sebenarnya adalah ciptaan penjajahan Belanda untuk menjalankan politik
devide et impera di Indonesia. Akan tetapi, dengan jiwa dan semangat juang
angkatan 45, perbedaan golongan dalam masyarakat dihapus karena tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berjiwa kekeluargaan.
Pembagian lapisan lain yang membatasi golongan – golongan dalam
masyarakat, antara lain petani, pedagang, pegawai, dan buruh. Dalam ruang
sosial modem sekarang ini, mobilitas sosial merupakan arus yang bebas.
Pada masyarakat Batak, orang yang mula – mula mendirikan sebuah
kampong dinamakan “marga tanah” dan orang yang datang kemudian
dinamakan “marga parripe”. Umumnya, “marga parripe” adalah marga-
marga lain dari “marga tanah”. Sering marga parripe ini adalah kemenakan
dari “marga tanah” itu sendiri.
Dahulu,”marga tanah” lebih tinggi kedudukannya di tengah – tengan
masyarakat. Mereka menjadi pimpinan atau pejabat pemerintah dikampung
tersebut. Tidak hanya memegang pimpinan dalam bidang pemerintahan,
tetapi juga adat dan kepecayaan. Marga – marga pendatang harus tunduk
kepada marga tanah.
Walaupun menurut peraturan tidak ada lagi perbedaan kedudukan setiap
warga negara, dalam praktik sehari – hari masih sering terlihat adanya sisa –
sisa pengaruh lama. “ marga tanah” selalu diutamakan dalam masyarakat.
Umumnya, marga tanah masih mempunyai pengaruh besar untuk menduduki
posisi dalam masyarakat. Terlebih lagi dalam masyarakat pedesaan, masih
terasa pengaruh tersebut. Kuat lemahnya pengaruh lama tersebut bergantung
pada dinamika dan cara berpikir masyarakat setempat. Makin cepat dinamika
suatu masyarakat semakin cepat penghapusan perbedaan tersebut.
2.5 Bentuk – bentuk keluarga Batak dan sistem ikatan kekerabatan
Pengertian “keluarga” yang lebih luas adalah kerabat yang terdiri dari
beberapa gezin. Keluarga Batak terdiri dari Karo, Simalungun, Fakfak
(Dairi), Toba, dan Angkola atau Mandailing. Kelompok etnik campuran
terdiri dariTapanuli Selatan (Natal) dan Tapanuli Tengah (Sibolga). Pada
umumnya, dalam keluarga Batak tersebut sekrang – kurangnya ada tiga unsur
yang terjalin dalam “Dalihan Na Tolu” atau Tri Tungku. Dalam sikap sehri –
hari, Dalihan Na Tolu diatur sedemikian rupa sebagai berikut :
1. Manat Mardongan Tubu. Artinya, kita harus bersikap hati-hati kepada
dongan tubu agar tidak menyinggung perasaannya. Kita minta penjelasan
dan pendapatnya dalam segala sesuatu. Jangan pernah kita memperlakukan
seolah-olah dongan tubu itu tidak penting karena semua suka duka menjadi
tanggung jawab dari dongan sabutuha (saudara satu ayah satu ibu).
2. Sumba Marhuka – hula. Artinya, kita harus merendah diri kepada hula –
hula dan selalu menghormati dengan setinggi – tingginya karena semua
rezeki, hamoraon, dan hangabeon ada karena restu dari hula – hula. Siapa
pun yang tidak bersikap hormat kepada hula – hula akan mendapatkan
celaka. Kita harus memberikan segala permintaan segala permintaan hula
– hula agar tidak terkutuk.
3. Elek Malboru. Artinya, kita harus bersikap membujuk, membimbing, dan
memaafkan kepada boru. Borulah yang diharapkan dapat membantu segala
pekerjaan kita, baik berupa tenaga atau berupa materi. Jadi, kalau boru
bersalah, kita tidak boleh terlalu marah agar ia tidak menjauh. Bila perlu,
boru dibujuk dengan membawa makanan (dengke = ikan ) agar jangan
marag lagi.
Pada masyarakat Batak masih terdapat beberapa rumah tangga dalam
satu rumah besar, misalnya “rumah bolon” (Simalungun , Toba) seperti di
Tanah Karo. Di kampung Lingga masih terdapat beberapa rumah tangga
tinggal dalam satu rumah besar yang merupakan keluarga luas virilokal.
Rumah tangga virilokal di masyarakat Batak bermakna ganda, yaitu
pertama virilokal dalam arti tinggal dalam “rumah bolon” bersama orang
tuanya setelah menikah dan kedua adalah virilokal tertentu untuk anak yang
bungsu. Menurut hukum kebapaan pada adat Simalungun, anak laki – laki
yang bungsu telah ditentukan mewarisi rumah orang tua. Oleh karena itu,
setelah menikah, ia tinggal bersama orangtuanya. Bila orang tua nya
meninggal dunia dengan sendirinya rumah yang ditempatnya itu diwariskan
kepadanya.
Selama hidup bersama ibu dan bapak atau mertua, pasangan suami –
istri diberikan berbagai bimbingan, nasihat, contoh – contoh baik, dan lain –
lain. Setelah sekian lama hidup bersama orang tua dan merasa bahwa rumah
tangga baru tersebut sudah mampu berdiri sendiri, barulah mereka
dimerdekakan (ipajae). Dalam rangka “pajaehon” atau memerdekakan rumah
tangga baru tersebut, mereka dibekali dengan berbagai alat-alat rumah tangga,
antara lain satu periuk, satu kuali, dua piring mangkok, satu pisau, satu
cangkul, satu tumba beras, dan satu kaleng padi. Pemberian alat-alat ini hanya
berupa simbolik menurut adat.
Hubungan dengan orangtua atau mertua sudah berbeda dengan
sebelumnya. Bila sebelumnya mereka bebas mengambil apa saja yang mereka
sukai di rumah orangtuanya, setelah dimerdekakan mereka tidak lagi bebas.
Jika ada yang mereka butuhkan, mereka dapat memperolehnya dengan jalan
meminta, meminjam, atau membeli bila perlu.
Kedudukan rumah tangga baru ini sepenuhnya memiliki peran
sendiridalam hubungan adat ditengah-tengah kerabatnya. Kedudukan dalam
adat ditentukan oleh kelompok kerabat yang disebut “ Dalihan Na Tolu “
Kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga adalah yang tertinggi,
tetapi dalam mengambil suatu keputusan harus di musyawarahkan bersama
istri yang disebut “ Riah Tongah Jabu”
Perkawinan orang batak adalah eksogami marga, yaitu mengambil si
gadis dari luar marga. Menikah dengan orang semarga dilarang, tetapi
menikah dengan anak perempuan saudara laki-laki ibu, marboru
tondong/tulang (Simalungun), marboru tulang (Batak Toba), anak beru
(Karo) justru dianjurkan, atau dianggap perkawinan yang ideal.
Perkawinan menurut Patrilineal-Eksogen menimbulkan beberapa
ketentuan dan akibat sebagai berikut :
1. Harus ada sedikitnya tiga marga/klan.
2. Timbulnya perbedaan status atau kedudukan pihak pemberi gadis, tondong
(Simalungun), Hula-hula (Toba), Kalibubu (Karo), Mora (Tapanuli
Selatan), dengan penerima gadis, anak boru (Simalungun), anak boru
(Toba), anak beru ( Karo), dan anak Boru ( Tapanuli Selatan).
3.5 Implementasi
Implementasi adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien.
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi,
disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal
yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan
selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai
implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah
dilakukan dan bagaimana respon pasien.
3.6 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana
tujuan tercapai:
1. Berhasil : Perilaku pasien sesuai pernyatan tujuan
dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan
di tujuan.
2. Tercapai sebagian : Pasien menunujukan prilaku tetapi tidak
sebaik yang ditentukan dalam pernyataan
tujuan.
3. Belum tercapai : Pasien tidak mampu sama sekali
menunjukkan perilaku yang diharapakan
sesuai dengan pernyataan tujuan.