Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keluarga Batak
Asal usul daerah sumatera utara tidak banyak diketahui oleh ahli
sejarah karena sumatera utara banyak mengalami perubahan-perubahan
terutama mengenai penanaman daerah ini. Dahulu, penamaan daerah ini
sering ditetapkan menurut keinginan orang yang menjadi pemimpin di daerah
ini. Menurut keterangan-keterangan penduduk yang pindah ke daerah ini,
manusia asli di indonesia telah dijumpai di daerah ini sebelum mereka datang.
Etnik-etnik di sumatera utara menganut berbagai agama, diantaranya
Melayu, Batak, Nias, Campuran, dan Terasing. Kelompok etnis melayu
terdiri dari Melayu Langkat, Melayu Deli Serdang, Melayu Asahan dan
Melayu Labuhan batu. Kelompok etnik batak terdiri dari Karo, Simalungun,
Fakfak (Dairi), Toba Dan Angkola/Mandailing. Kelompok etnik campuran
terdiri dari tapanuli Selatan (Natal) Dan Tapanuli Tengah (Sibolga).
Kelompok etnik terasing/terelakang terdirri dari Lubu Dan Siladang. Logat
dan bahasa yang digunakan setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan tradisi
masing-masing.
Orang batak mayoritas beragama Kristen dan sebagian beragama Islam.
Akan tetapi, masih ada masyarakat yang tinggal di pedesaan menganut
animisme dan melakukan kebiasaan-kebiasaan atau jaran-ajaran agama nenek
moyang mereka.
2.2 Sejarah Perkembangan Keluarga Batak
Para ahli sejarah tidak banyak yang mengetahui dengan pasti mengenai
asal-usul daerah Sumatera Utara. Kurang lebih pada abadke-15, di Sumatera
Timur sudah berdiri kerajaan-kerajaan di Siak Pane, Aru di Deli Tua, dan
Kerajaan-kerajaan aru lainnya. Kerajaan Deli Tua muncul sezaman dengan
Kerajaan Aceh di ujung utara Pulau Sumatera. Kerajaan Deli Tua ini diduga
bernama Timur Raya, yaitu Kerajaan Batak yang belum menganut agama
islam sama sekali. Kerajaan ini diperkirakan ada pada abad ke-15.
Medan muncul sejalan dengan berdirinya Aru di Deli Tua. Sebelum
tahun 1570, kampung medan dikenal dengan “MEDAN PUTRI”. Menurut
Anderson pada tahun 1823, penduduk Kota Medan menggunakan bahasa
perantara yang dikenal dengan bahasa Melayu Deli.
Sebelum agama islam datang ke Indonesia, pengaruh Hindu telah
tersebar di seluruh Indonesia, termasuk daerah Sumatera Utara. Pengaruh
hindu masih tampak dalam bagaimana cara mengairi sawah, membajak,
membuat kerajinan kain, menenun, serta menggunakan istilah Hindu dan
sistem tulisan.
Pada pertengahan Abad ke-14, Aceh telah menganut agama Islam
dengan kerajaan Islam pertama adalah kerajaan pasai. Karena pantai timur
dan barat Sumatera Utara di bawah pengaruh kesultanan Aceh, penduduk
pesisir Sumatera Timur dan Pantai Tapanuli berangsur-angsur memeluk agam
Islam. Agama Islam sangat berpengaruh terutama di daerah Tapanuli Selatan.
Sejalan dengan perluasan kekuasaan Belanda, pada Abad ke 19 mulai
tersebar pengaruh agama Kristen di daerah Batak Toba. Selanjutnya dari
daerah Batak Toba, agam Kristen disebarkan pula ke daerah Simalungun,
Karo dan Dairi. Sebagian penduduk dapat dinasranikan. Pada abad ke-13,
Belanda telah mencengkeram kekuasaan di Pulau Nias. Sejak saat itu secara
berangsur-angsur sebagian penduduk Nias memeluk agama Islam. Aspek
kehidupan orang Batak di kelompokkan dalam sembilan nilai budaya sebagai
berikut :
1. Kekerabatan mencakup hubungan suku dan kasih sayang berdasarkan
hubungan darah dan kerukunan
2. Religi mencakup kehiduoan keagamaan, baik agama warisan nenek
moyangmaupun agama yang datang dari luar, yang mengatur hubungan
dengan Maha Pencipta serta hubungan antara manusia dan lingkungan.
3. Hagabean mencakup lengkanya putra-putri, banyaknya jumlah keturunan
dan panjangnya umur.
4. Kehormatan mencakup kemuliaan, wibawa, da karisma.
5. Kemajuan diraih dengan jalan merantau dan menuntut ilmu
6. Norma dan hukum
7. Kekayaan lahir dan batin
8. Pengayoman
9. Konflik menyangkut perjuangan mempertahankan dan memperjuangkan
kesembilan aspek diatas.
Pengelompokan didasarkan pada ciri-ciri suatu darah, baik berdasarkan
kelompok suku-etnis, adat, istiadat, penghidupan, abahsa, maupun
perjuangannya. Berdasarkan ilmu antropologi, Provinsi Sumatera Utara
mempunyai ragam kelompok susku-etnis yang asli, seperti kelompok etnik
Melayu (Melayu Langkat, Melayu Deli Serdang, Melayu Asahan dan Melayu
Labuhan batu) , kelompok Etnik Batak (Karo, Simalungun, Fakfak, Toba Dan
Angkola / Mandailing), Kelompok etnik campuran (tapanuli Selatan / Natal
Dan Tapanuli Tengah / Sibolga), serta Kelompok etnik terasing/terbelakang
terdiri dari (Labu Dan Siladang). Selain kelompok etnik asli yang menetap di
provinsi Sumatera Utara (Sumut), ada juga kelompok pendatang di kelompok
asing.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa adanya kelompok etnis itu
disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa, logat, dan sebagainya. Adapun
jumlah kelompok bahasa di Provinsi Sumatera Utara berlainan dengan
jumlah-jumlah kelompok bahasa di Provinsi Sumatera Utara berlainan
dengan kelompok etnik yang mendukungnya (200 dialek ). Kelompok bahasa
Melayu Langkat, Deli dan Serdang, serta Labuhan Batu. Kelompok Bahasa
Batak terdiri atas Bahasa Batak Karo, Simalungun, Toba. Fakfak dan
Mandaling. Kelompok bahasa Batak campuran, seperti
Sibolga,Natal,Lubu(Muara Sipongi) dan Siladang (Penyabungan).
2.3 Aspek Demografi
Orang orang Batak atau orang-orang Sumatera Utara merupakan
kelompok etnis yang terdiri dari pribumi asal Sumatera Utara,pribumi
pendatang ke daerah Sumatera Utara, dan warga keturunan asing. Menurut
catatan Kantor Statistik Provinsi Sumatera Utara, tahun 2000 tercatat jumlah
penduduk Sumatera Utara 7.632.955 jiwa , dengan perincian 7.252.820 warga
negara Indonesia dan 380.135 orang negara asing. Ibu kota Sumatera utara
adalah Medan
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, kota Medan di perkirakan
berpenduduk 2.210.743 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar daripada
jumlah pria(1.111.290 jiwa >1.098.709). Kepadatan penduduk penduduk rata-
rata 8.339 jiwa per km. Dari total jumlah penduduk tersebut diketahui bahwa
1.918.320 jiwa merupakan penduduk tetap dan 291.679 jiwa penduduk tidak
tetap. Dengan demikian, Kota Medan merupakan salah satu kota dengan
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga memiliki keunggulan di
ferensiasi pasar.
Dilihat dari struktur usia penduduk, Kota Medan di huni lebih kurang
1.266.606 jiwa yang produktif(15-59 tahun). Selanjutnya, berdasarkan tingkat
pendidikan,91,8% penduduk telah mengenyam pendidikan dasar dan
menengah, mulai dari tingkat SLTA,SMP,danSD serta 8,12% jenjang
perguruan tinggi. Dengan demikian, Kota Medan cukup memiliki tenaga
kerja yang dapat bekerja di berbagai jenis perusahaan, seperti
jsa,perdagangan,dan manufaktur.
Umumnya di Sumatera Utara, gerakan perpindahan penduduk terjadi
dari daerah pedalaman ke daerah pantai, terutama ke daerah pantai daerah
timur provinsi ini. Pada masa sebelum perang kemerdekaan, perpindahan
tersebut tidak terlalu cepat, hanya sedikit urbanisasi ke kota-kota di tepu
pantai. Terutama karena dorongan ingin mencari mata pencaharian. Tanah
Deli merupakan tumpuan utama sehingga pernah mendapat julukan
sebagai”Tanah Dolar”.
Setelah berakhirnya perang kemerdekaaan, gerakan perpindahan
penduduk terjadi dari daerah pedalaman dan daerah pantai, terutama karena
dorongan ingin mencari mata pencaharian hasrat menuntut ilmu yang tinggi.
Mobilitas perpindahan itu makin di percepat dengan semakin baiknya sarana
transportasi dan komunikasi.
Pada beberapa tahun terakhir ini, penduduk Sumatera Utara cenderung
mengalami pertambahan tetap. Artinya, pertambahan jumlah penduduk dari
tahun ke tahun naik antara 100.000 dan 200.000 orang per tahun.
Selanjutnnya kepadatan penduduk di kota-kota benar cenderung lebih
padat dari kabupaten-kabupaten. Umunya, kepadatan di kabupaten-kabupaten
kurang dari 1000/km dengan luas wilayah maksimum 16.102 km(Tapanuli
Selatan)dan minimum 2.349 km(Kabupaten Karo). Di kota-kota kepadtan
maksimum 20.628 jiwa/km dengan luas minimum 1,7 km(Kodya Tanjung
Balai) kepadatab minimum 3.689 jiwa/km dengan luas 17,1 km (Kodya
Binjai).
2.4 Aspek Psikisosial (Perbedaan Kelas Sosial)
Stratifikasi sosial orang Batak di dalam kehidupan sehari-hari mungkin
tidak terlihat sangat jelas. Stratifikasi sosial orang Batak dibedakan
berdasarkan tiga prinsip berikut :
1. Perbedaan usia
2. Perbedaan pangkat dan jabatan
3. Perbedaan sifat keaslian
Pelapisan sosial berdasarkan perbedaan usia terihat dalam hubungan
adat yang ada dalam masyarakat. Dalam hubungan masalah-masalah adat,
hanya orang-orang tua yang ikut serta sedangkan orang orang muda tidak ikut
campur. Bahkan,dalam masalah warisan, anak-anak akan diwakilkan oleh
orangtuanya. Dalam persoalan pekerjaan adat, orang-orang tua mengurus
soal-soal adat, orang-orang muda sebagai pekerja, tetapi anak-anak tidak
mempunyai pekerjaan apapun.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan pangkat dan jabatan terlihat dalam
kehidupan sehari – hari. Dahulu keturunan bangsawan selalu diutamakan
kedudukan dan perannya dalam masyarakat. Mereka diutamakan dalam adat,
pembagian daging atau “jambar”, dan tempat duduknya ditengah – tengah
pertemuan apapun. Pada dasarnya, orang – orang bangsawanlah yang
menentukan segala persoalan kemasyarakat dalam adat. Tingkatan kedudukan
yang teratas ini pada masyarakat Simalungun disebut “partongah” atau
“puang”. Pada masyarakat Mandailing juga terdapat lapisan masyarakat ,
seperti “namora” dan bangsawan. Namora – namora dan orang – orang
bangsawanlah yang memegang peranan dalam soal – soal adat dan hukum.
Pada masyarakat Nias juga terdapat lapisan masyarakat yang terdiri atas
beberapa lapisan yang disebut kasta. Kaum bangsawan merupakan lapisan
masyarakat yang paling atas dan budak adalah lapisan paling bawah.
Pergaulan dibatasi hanya dalam satu golongan. Pergaulan dengan golongan
lain seperti golongan atas ke golongan bawah dianggap hina. Sebaliknya, bila
seseorang dan tingkatan yang lebih rendah menaikkan tingkatnya, ia harus
mengadakan upacara adat. Pada masyarakat Melayu, juga ada pembagian
lapisan masyarakat. Lapisan bangsawan adalah kelas paling atas, termasuk
didalamnya Sultan dan Tengku. Kaum bangsawan ini menguasai seluruh
daerah Sumatra Timur pada masa penjajahan Belanda.
Sesudah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, perbedaan – perbedaan
golongan didaerag Sumatra Utara sudah dihapuskan. Perbedaan tersebut
sebenarnya adalah ciptaan penjajahan Belanda untuk menjalankan politik
devide et impera di Indonesia. Akan tetapi, dengan jiwa dan semangat juang
angkatan 45, perbedaan golongan dalam masyarakat dihapus karena tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berjiwa kekeluargaan.
Pembagian lapisan lain yang membatasi golongan – golongan dalam
masyarakat, antara lain petani, pedagang, pegawai, dan buruh. Dalam ruang
sosial modem sekarang ini, mobilitas sosial merupakan arus yang bebas.
Pada masyarakat Batak, orang yang mula – mula mendirikan sebuah
kampong dinamakan “marga tanah” dan orang yang datang kemudian
dinamakan “marga parripe”. Umumnya, “marga parripe” adalah marga-
marga lain dari “marga tanah”. Sering marga parripe ini adalah kemenakan
dari “marga tanah” itu sendiri.
Dahulu,”marga tanah” lebih tinggi kedudukannya di tengah – tengan
masyarakat. Mereka menjadi pimpinan atau pejabat pemerintah dikampung
tersebut. Tidak hanya memegang pimpinan dalam bidang pemerintahan,
tetapi juga adat dan kepecayaan. Marga – marga pendatang harus tunduk
kepada marga tanah.
Walaupun menurut peraturan tidak ada lagi perbedaan kedudukan setiap
warga negara, dalam praktik sehari – hari masih sering terlihat adanya sisa –
sisa pengaruh lama. “ marga tanah” selalu diutamakan dalam masyarakat.
Umumnya, marga tanah masih mempunyai pengaruh besar untuk menduduki
posisi dalam masyarakat. Terlebih lagi dalam masyarakat pedesaan, masih
terasa pengaruh tersebut. Kuat lemahnya pengaruh lama tersebut bergantung
pada dinamika dan cara berpikir masyarakat setempat. Makin cepat dinamika
suatu masyarakat semakin cepat penghapusan perbedaan tersebut.
2.5 Bentuk – bentuk keluarga Batak dan sistem ikatan kekerabatan
Pengertian “keluarga” yang lebih luas adalah kerabat yang terdiri dari
beberapa gezin. Keluarga Batak terdiri dari Karo, Simalungun, Fakfak
(Dairi), Toba, dan Angkola atau Mandailing. Kelompok etnik campuran
terdiri dariTapanuli Selatan (Natal) dan Tapanuli Tengah (Sibolga). Pada
umumnya, dalam keluarga Batak tersebut sekrang – kurangnya ada tiga unsur
yang terjalin dalam “Dalihan Na Tolu” atau Tri Tungku. Dalam sikap sehri –
hari, Dalihan Na Tolu diatur sedemikian rupa sebagai berikut :
1. Manat Mardongan Tubu. Artinya, kita harus bersikap hati-hati kepada
dongan tubu agar tidak menyinggung perasaannya. Kita minta penjelasan
dan pendapatnya dalam segala sesuatu. Jangan pernah kita memperlakukan
seolah-olah dongan tubu itu tidak penting karena semua suka duka menjadi
tanggung jawab dari dongan sabutuha (saudara satu ayah satu ibu).
2. Sumba Marhuka – hula. Artinya, kita harus merendah diri kepada hula –
hula dan selalu menghormati dengan setinggi – tingginya karena semua
rezeki, hamoraon, dan hangabeon ada karena restu dari hula – hula. Siapa
pun yang tidak bersikap hormat kepada hula – hula akan mendapatkan
celaka. Kita harus memberikan segala permintaan segala permintaan hula
– hula agar tidak terkutuk.
3. Elek Malboru. Artinya, kita harus bersikap membujuk, membimbing, dan
memaafkan kepada boru. Borulah yang diharapkan dapat membantu segala
pekerjaan kita, baik berupa tenaga atau berupa materi. Jadi, kalau boru
bersalah, kita tidak boleh terlalu marah agar ia tidak menjauh. Bila perlu,
boru dibujuk dengan membawa makanan (dengke = ikan ) agar jangan
marag lagi.
Pada masyarakat Batak masih terdapat beberapa rumah tangga dalam
satu rumah besar, misalnya “rumah bolon” (Simalungun , Toba) seperti di
Tanah Karo. Di kampung Lingga masih terdapat beberapa rumah tangga
tinggal dalam satu rumah besar yang merupakan keluarga luas virilokal.
Rumah tangga virilokal di masyarakat Batak bermakna ganda, yaitu
pertama virilokal dalam arti tinggal dalam “rumah bolon” bersama orang
tuanya setelah menikah dan kedua adalah virilokal tertentu untuk anak yang
bungsu. Menurut hukum kebapaan pada adat Simalungun, anak laki – laki
yang bungsu telah ditentukan mewarisi rumah orang tua. Oleh karena itu,
setelah menikah, ia tinggal bersama orangtuanya. Bila orang tua nya
meninggal dunia dengan sendirinya rumah yang ditempatnya itu diwariskan
kepadanya.
Selama hidup bersama ibu dan bapak atau mertua, pasangan suami –
istri diberikan berbagai bimbingan, nasihat, contoh – contoh baik, dan lain –
lain. Setelah sekian lama hidup bersama orang tua dan merasa bahwa rumah
tangga baru tersebut sudah mampu berdiri sendiri, barulah mereka
dimerdekakan (ipajae). Dalam rangka “pajaehon” atau memerdekakan rumah
tangga baru tersebut, mereka dibekali dengan berbagai alat-alat rumah tangga,
antara lain satu periuk, satu kuali, dua piring mangkok, satu pisau, satu
cangkul, satu tumba beras, dan satu kaleng padi. Pemberian alat-alat ini hanya
berupa simbolik menurut adat.
Hubungan dengan orangtua atau mertua sudah berbeda dengan
sebelumnya. Bila sebelumnya mereka bebas mengambil apa saja yang mereka
sukai di rumah orangtuanya, setelah dimerdekakan mereka tidak lagi bebas.
Jika ada yang mereka butuhkan, mereka dapat memperolehnya dengan jalan
meminta, meminjam, atau membeli bila perlu.
Kedudukan rumah tangga baru ini sepenuhnya memiliki peran
sendiridalam hubungan adat ditengah-tengah kerabatnya. Kedudukan dalam
adat ditentukan oleh kelompok kerabat yang disebut “ Dalihan Na Tolu “
Kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga adalah yang tertinggi,
tetapi dalam mengambil suatu keputusan harus di musyawarahkan bersama
istri yang disebut “ Riah Tongah Jabu”
Perkawinan orang batak adalah eksogami marga, yaitu mengambil si
gadis dari luar marga. Menikah dengan orang semarga dilarang, tetapi
menikah dengan anak perempuan saudara laki-laki ibu, marboru
tondong/tulang (Simalungun), marboru tulang (Batak Toba), anak beru
(Karo) justru dianjurkan, atau dianggap perkawinan yang ideal.
Perkawinan menurut Patrilineal-Eksogen menimbulkan beberapa
ketentuan dan akibat sebagai berikut :
1. Harus ada sedikitnya tiga marga/klan.
2. Timbulnya perbedaan status atau kedudukan pihak pemberi gadis, tondong
(Simalungun), Hula-hula (Toba), Kalibubu (Karo), Mora (Tapanuli
Selatan), dengan penerima gadis, anak boru (Simalungun), anak boru
(Toba), anak beru ( Karo), dan anak Boru ( Tapanuli Selatan).

2.6 Nilai-Nilai dan Strategi Koping


Sistem kepercayaan kuno di daerah Batak Toba dan Karo yang masih
dianut oleh sebagian penduduk sampai sekarang berpangkal dari kepercayaan
tentang adanya pencipta dan ciptaannya. Pembagian alam atas tiga bagian
dunia, tentang roh, dan makhluk-makhluk halus lainnya, ramalan, korban dan
kepercayaan tersebut dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Dunia dewa-dewa pencipta (Kosmologi dan Kosmogoni),
2. Konsepsi tentang roh, dan
3. Kepercayaan tentang hantu, begu, atau jin.
Menurut kepercayaan animisme Batak, dunia terbagi atas tiga bagian
yakni dunia atau “Benua” (Banua toru, Banua tonga, dan Banua ginjang) atau
lapisan dan di sinilah rumah dewa-dewa serta keluarga begu dan jin. Ketiga
pembagian ini sebenarnya tidak mutlak karena di benua tengah juga ada begu.
Tuhan yang tertinggi bagi suku mutlak karena di Benua tengah juga ada begu.
Tuhan yang tertinggi bagi suku Batak adalah “Mula Jadi Na Bolon”, yakni
pemula dari segalanya atau diolah yang menjadi pemula sendiri. Akan tetapi,
setelah Belanda datang ke daerah Toba, mayoritas masyarakat Batak
beragama Kristen dan sebagian beragama Islam meskipun sampai sekarang
masih ada yang menganut kepercayaan nenek moyangnya.
Pada masyarakat Batak yang patrilineal, anak Perempuan tidak berhak
menjadi ahli waris. Sebagai imbalan, anak perempuan wajib di sekolahkan,
diberi uang belanja dan dikawinkan oleh orang tuanya atau saudara laki
lakinya apabila telah bertemu jodoh. Perempuan tidak berhak mewarisi tetapi
sebaliknya, mempunyai hak untuk dirawat, disekolahkan dan di kawinkan.
Hal ini merupakan sistem yang bersesuaian. Bila yang satu diubah, yang
sebaliknya harus diubah pula. Sebagai contoh, bila si perempuan berhak
mewarisi, kewajiban membelanjai harus ditiadakan.
Belakangan ini ada kecenderungan untuk memberi sesuatu kepada anak
perempuan seperti dalam istilah Batak ”Pauseang". Hal tersebut tidak
ditafsirkan sebagai warisan. Pemberian ini dianggap sebagai tanda kasih
sayang bukan warisan. Nilai-nilai dan strategi koping yang digunakan oleh
masyarakat Batak adalah sebagai berikut.
1. Menghormati orang yang lebih tua.
2. Memecahkan masalah dengan musyawarah.
3. Suami sebagai kepala rumah tangga, tetapi dalam mengambil keputusan
harus mendiskusikan terlebih dahulu dengan istri dan anak-anaknya.

2.7 Aspek Budaya (Makanan kebudayaan)


Keluarga Batak memiliki beragam jenis makanan khas yang
dihidangkan pada waktu-waktu tertentu. Masyarakat Batak selalu berusaha
untuk makan . bersama. Apabila masih ada anggota keluarga yang belum
datang, mereka akan menunggu untuk makan bersama. Sebelum mengadakan
suatu perkumpulan/ pesta, mereka harus menyiapkan sesaji berupa indahan
(nasi), piraini manuk (telur ayam kampung), sitompion (sagu), lampet (tepung
beras, kelapa, dan gula dibungkus daun pisang lalu direbus), gambiri
(kemiri), ansimun (mentimun), itak gur-gur (tepung beras, kelapa, gula,
dikepel tanpa direbus), parbue (beras), pisang dan aek silia-tio (air putih).
Sesaji ini diletakkan dalam mombang (sejenis tampah yang terbuat dari
pelepah dan daun enau atau kelapa), kemudian diberi asap bakaran
kemenyan untuk mengiringi tonggo (mantera atau doa).
Walaupun umumnya mereka beragama Kristen, mereka merasa harus
tetap mematuhi tradisi yang diwariskan turun temurun. Itulah sebabnva,
mereka selalu melakukan persiapan ari dan sesaji sebelum melakukan suatu
pekerjaan. Semua persiapan ini pada prinsipnya dilakukan untuk mendapat
restu dari Debata Mula Jadi Na Bolon (kekuatan tertinggi menurut
kepercayaan Batak).
Sebagai umat Kristen yang harus menjauhkan dari hasipelebeguon
(penyembahan arwah, akultisme, dan lain lain yang tidak bersifat kristiani).
Sebenarnya mereka sudah berpikir secara modern. Akan tetapi, apa pun
alasannya, mereka masih merasa takut bila tidak melaksanakannya, selain
untuk menghormati para anggota yang lebih tua dari mereka.
2.8 Praktik Kesehatan Keluarga
Kepercayaan kuno Batak adalah syamai'sme, yaitu suatu kepercayaan
dengan melakukan pemasukan roh ke dalam tubuh seseorang sehingga roh itu
dapat berkata kata. Orang yang menjadi perantara disebut "Shaman". Shaman
bagi orang Batak disebut si ”Baso" yang berarti 'kata'. Pada umumnya, si
Baso ini adalah dukun wanita. Ketika Baso ini berkata-kata, bahasanya harus
ditafsirkan secara khas. Pembicaraan inilah yang dipercayai akan menjadi
petunjuk bagi orang untuk pengobatan dan ramalan. Selain Baso, ada juga
yang memegang peranan penting yaitu Datu, biasanya seorang pria. Berlainan
dengan Baso, batu di dalam kegiatannya tidak menjadi medium, melainkan
langsung berbicara dengan dunia roh. Datu bertugas mengobati orang sakit
sehingga dalam tugas ini Datu tidak saja mengetahui "white magic, tetapi juga
harus menghalau “black magic" atau magis jahat. Tugas lain dari Datu adalah
memimpin upacara pesta sajian besar dan menjadi pawang" hujan.
Menurut kepercayaan orang Batak, apabila seseorang jatuh sakit,
"tondi" atau “tendi” si sakit pergi ke suatu tempat meninggalkan tubuhnya.
Karena tondi itu pergi, orang tersebut jatuh sakit. Agar orang yang sakit dapat
sembuh, tendi nya harus dipanggil agar masuk kembali ke tubuh orang yang
sakit itu (tondi mulak tu badan). Mediator untuk memanggil tondi tersebut
adalah Baso atau Datu. Untuk pelaksanaannya, perlu disediakan bahan-bahan
ramuan tertentu. Kalau tondi itu setelah berulang-ulang dipanggil tidak mau
pulang juga, berarti orang sakit tersebut tidak ada harapan lagi untuk sembuh
atau hidup.
2.9 lmplikasi Keperawatan Keluarga pada Etnik Batak
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bila ada anggota keluarga Batak
sakit yang sakit, mereka akan membawa orang yang sakit ke Baso atau ke
datu. Orang Batak menyakini bahwa seseorang sakit karena roh orang
tersebut pergi meninggalkan tubuhnya sehingga diperlukan dukun untuk
memanggil kembali rohnya. Mereka percaya datu atau Baso dapat memanggil
roh. Apabila orang sakit tersebut meninggal, mereka beranggapan bahwa roh
orang yang sakit tidak mau kembali lagi.
Bila usia orang yang sakit lebih muda, mereka perlu meminta
pertimbangan orang yang lebih tua untuk memecahkan masalah dengan
musyawarah. Bila istri yang mengalami gangguan kesehatan, suami sebagai
kepala rumah tangga perlu dilibatkan. Keputusan masalah kesehatan berada
di tangan suami, tetapi umumnya suami harus mendiskusikannya terlebih
dahulu dengan istri dan anak anaknya sebelum mengambil keputusan.
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengobatan,
lama kelamaan orang-orang Batak mencari pengobatan ke tenaga kesehatan
atau ke Puskesmas terdekat. Walaupun demikian, masih ada yang berobal ke
Shaman untuk mengatasi masalah kesehatan keluarga mereka, baik keluarga
yang tinggal di pedalaman maupun yang berada di luar Sumatera Utara.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus
Ny.T berusia 67 tahun keturunan suku Batak (Agama Kristen), tinggal
di rumah sederhana di sebuah desa di kota Serdang, Sumatra Utara dengan
penduduk lumayan padat. Sejak 5 tahun yang lalu, kedua anaknya
meninggalkan Ny. A sendiri di rumah, karena harus pergi merantau mencari
pekerjaan. Ny.A banyak menghabiskan waktunya di rumah. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, Ny.A dibantu oleh tetangganya, karena merasa kasihan
terhadap Ny.A.
Ny.A sering mengeluhkan nyeri dibagian sendi tangan dan kakinya
sejak 10 tahun yang lalu. Tetangga Ny.A menawarkan bantuan pada Ny.A
untuk mengantarkan dia pergi berobat ke dokter untuk memeriksakan
penyakitnya. Namun Ny.A lebih senang memijat tangan dan kakinya dengan
Dappol Siburuk ( obat urut dan tulang ) dan pergi ke Baso atau ke Datu yang
ada di daerahnya. Ny.A lebih percaya dan menyakini bahwa seseorang sakit
karena roh orang tersebut pergi meninggalkan tubuhnya sehingga diperlukan
dukun untuk memanggil kembali rohnya. Ny.A percaya Datu atau Baso dapat
memanggil roh. Apabila orang sakit tersebut meninggal, itu artinya bahwa
roh orang yang sakit tidak mau kembali lagi. Klien percaya bahwa sakit yang
didapat dan tidak bisa sembuh merupakan hukuman para dewa.
Ny.A juga meyiapkan sesajen di dalam rumahnya berupa indahan
(nasi), piraini manuk (telur ayam kampung), sitompion (sagu), lampet (tepung
beras, kelapa, dan gula dibungkus daun pisang lalu direbus), gambiri
(kemiri), ansimun (mentimun), itak gur-gur (tepung beras, kelapa, gula,
dikepel tanpa direbus), parbue (beras), pisang dan aek silia-tio (air putih).
Sesaji ini diletakkan dalam mombang (sejenis tampah yang terbuat dari
pelepah dan daun enau atau kelapa), kemudian diberi asap bakaran
kemenyan untuk mengiringi tonggo (mantera atau doa) yang nantinya akan
dibawanya ketika pergi ke Baso atau Datu.
Hubungan Ny. A, juga tidak terlalu baik dengan tetangganya . Ny.A
hanya mau menerima bantuan, namun enggan untuk berinteraksi terlalu lama
dengan tetangganya. Ny.A hanya mau menjawab pertanyaan dan berbicara
seperlunya saja. Ny.A tampak menarik diri dari lingkungan sekitarnya. Ny.A
hanya mau banyak bercerita pada tetangga yang memiliki hubungan paling
dekat dengannya. Ny.A mengaku lebih nyaman berkomunikasi dengan anak-
anaknya.
Di dalam rumah Ny. A terdapat sebuah TV, Namun TV tersebut tidak
pernah difungsikan. Tidak ada fasilitas telepon di rumah Ny.A, Ny.A
biasanya mendapat kabar tentang anaknya dari tetangga yang juga merantau
dan sedang pulang kampung. Ny.A biasanya menggunakan jasa tukang becak
untuk berpergian sekedar membeli kebutuhan sehari-hari setiap satu minggu
sekali. Ny.A mengaku tidak terbiasa menggunakan jasa kendaraan bermotor
paada saat bepergian, karena takut jatuh.
Petugas pelayanan kesehatan juga beberapa kali mendatangi Ny.A,
untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis. Namun Ny.A, menolak dan
menyuruh petugas itu pergi. Akan tetapi, setelah beberapa kali dibujuk oleh
petugas kesehatan di dapatkan pemeriksaan vital sign untuk mengetahui
keaadaan klien saat itu dengan TD : 140/100 mmHg, N:72x/menit, P : 20
x/menit, dan S : 37,80C.
Dari penampilan klien Warna kuli : Sawo matang (turgor kulit baik),
Rambut: ikal, Struktur tubuh : kurus, dan Bentuk wajah : bulat
3.2 Pengkajian
1. Identitas Diri
a. Nama lengkap : Ny.A
b. Usia : 67 Tahun
c. Agama : Kristen
d. Alamat : Serdang, Sumatra Utara
e. Suku : Batak
f. Jenis kelamin : Perempuan
g. Tempat lahir : Serdang, Sumatra Utara
h. Dignosis medis : Reumatoid Arthritis
2. Orang Terdekat
Ny.A mengatakan bahwa orang terkedekatnya saat ini tidak ada,
hanya tetangga di sekitar tempat tinggalnya dikarenakan kedua anaknya
meniggalkan Ny.A untuk merantau sejak 5 tahun yang lalu.
3. Kultural
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Dalam kasus ini diungkapakan bahwa, klien seseorang yang
meyakini bahwa sakit yang dideritanya itu bisa disembuhkan dengan
memijat tangan dan kakinya dengan Dappol Siburuk ( obat urut dan
tulang ) dan pergi ke Baso atau ke Datu yang ada di daerahnya tanpa
harus pergi ke petugas kesehatan. Dengan berbagai alasan, dikarenakan
lokasi yang kurang terjangkau dan juga faktor dari dalam diri klien
sendiri yang lebih percaya dan menyakini bahwa seseorang sakit karena
roh orang tersebut pergi meninggalkan tubuhnya sehingga diperlukan
dukun untuk memanggil kembali rohnya. Ny.A percaya Datu atau Baso
dapat memanggil roh. Apabila orang sakit tersebut meninggal, itu
artinya bahwa roh orang yang sakit tidak mau kembali lagi.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Dalam kasus diungkapakan bahwa agama yang dianut Ny.A
adalah agama Kristen. Pada kondisi sakit seperti itu, klien tertutup
dengan masalah kesehatannya. Klien sudah dinasehati oleh tetangganya
untuk pergi ke dokter, namun ia beranggapan bahwa pergi ke Baso atau
ke Datu lebih bisa diandalkan.
Ny.A juga meyiapkan sesajen di dalam rumahnya berupa indahan
(nasi), piraini manuk (telur ayam kampung), sitompion (sagu), lampet
(tepung beras, kelapa, dan gula dibungkus daun pisang lalu direbus),
gambiri (kemiri), ansimun (mentimun), itak gur-gur (tepung beras,
kelapa, gula, dikepel tanpa direbus), parbue (beras), pisang dan aek
silia-tio (air putih). Sesaji ini diletakkan dalam mombang (sejenis
tampah yang terbuat dari pelepah dan daun enau atau kelapa),
kemudian diberi asap bakaran kemenyan untuk mengiringi tonggo
(mantera atau doa) yang nantinya akan dibawanya ketika pergi ke Baso
atau Datu.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors).
Tipe keluarga yang ada pada kasus ini, adalah keluarga dengan
lansia didalamnya. Dimana lansia tersebut memiliki 2 orang anak yang
merantau sejak 5 tahun yang lalu.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Ny. A adalah seorang ibu rumah tangga. Namun, sejak 10 tahun
yang lalu ia sudah terjangkit artritis. Dia memiliki 2 orang anak namun
sudah merantau keduanya dan tidak tinggal dalam satu rumah lagi. Di
dalam rumah Ny. A terdapat sebuah TV, Namun TV tersebut tidak
pernah difungsikan. Tidak ada fasilitas telepon di rumah Ny.A, Ny.A
biasanya mendapat kabar tentang anaknya dari tetangga yang juga
merantau dan sedang pulang kampung. Ny.A biasanya menggunakan
jasa tukang becak untuk berpergian sekedar membeli kebutuhan sehari-
hari setiap satu minggu sekali. Ny.A mengaku tidak terbiasa
menggunakan jasa kendaraan bermotor paada saat bepergian, karena
takut jatuh.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors)).
Petugas kesehatan sekitar sudah mencoba berkunjung ke rumah
Ny. A namun, selalu tidak ada respon yang baik dari klien.
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Dalam memenuhi kehidupan sehari-hari klien lebih suka
menerima bantuan dari orang lain. Klien mengira bahwa biaya ke
rumah sakit atau berobat ke dokter terlalu mahal jika dibandingkan
dengan pergi berobat ke Baso atau ke Datu.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Klien menderita atritis selama 10 tahun terakhir, namun tidak ada
upaya untuk pergi berobat ke fasilitas kesehatan. Klien kurang bisa
belajar secara aktif dan mandiri terhadap penyakitnya.
4. Keluhan Utama
Ny.A sering mengeluhkan nyeri dibagian sendi tangan dan kakinya
sejak 10 tahun yang lalu.
5. Faktor Presdiposisi
Sejak 5 tahun yang lalu, kedua anaknya meninggalkan Ny. A sendiri
di rumah, karena harus pergi merantau mencari pekerjaan. Ny.A banyak
menghabiskan waktunya di rumah.
6. Aspek Biologis
a. Warna kulit : Sawo matang (turgor kulit baik)
b. Rambut : Ikal
a. Struktur tubuh : Kurus
b. Bentuk wajah : Bulat
c. TTV :
1) TD : 140/100 mmHg
2) N : 72 x/menit
3) P : 20 x/menit
4) S : 37,80C
7. Aspek Psikososial
Ny.A hanya mau menerima bantuan, namun enggan untuk
berinteraksi terlalu lama dengan tetangganya.
8. Satus Mental
Hubungan Ny. A, juga tidak terlalu baik dengan tetangganya . Ny.A
hanya mau menerima bantuan, namun enggan untuk berinteraksi terlalu
lama dengan tetangganya. Ny.A hanya mau menjawab pertanyaan dan
berbicara seperlunya saja. Ny.A tampak menarik diri dari lingkungan
sekitarnya. Ny.A hanya mau banyak bercerita pada tetangga yang
memiliki hubungan paling dekat dengannya. Ny.A mengaku lebih nyaman
berkomunikasi dengan anak-anaknya.
9. Mekanisme Koping
Klien percaya bahwa sakit yang didapat dan tidak bisa sembuh
merupakan hukuman para dewa.
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan ketiadaan orang terdekat,
ketidakselarasan sosial kultural, defisit pengetahuan atau keterampilan
tentang cara meningkatakan kebersamaan.
2. Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk terikat dalam
hubungan pribadi yang memuaskan, perilaku atau nilai sosial yang tidak
berterima.
3.4 Intervensi Keperawatan
1. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan ketiadaan orang terdekat,
ketidakselarasan sosial kultural, defisit pengetahuan atau keterampilan
tentang cara meningkatakan kebersamaan.
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) :
1. Pasien menunjukkan keterampilan interaksi sosial.
2. Pasien menunjukkan keterlibatan sosial.
3. Pasien memahami dampak perilaku diri pada interaksi sosial.
4. Pasien menunjukkan perilaku yang dapat meningkatkan atau
memperbaiki interaksi sosial.
5. Pasien mendapatakan / meningkatkan keterampilan interaksi sosial
(mis; kedekatan dan kerja sama).
6. Pasien mengungkapakan keinginan untuk berhubungan dengan orang
lain.
Intervensi (NIC)

1. Modifikasi perilaku keterampilan sosial : Membantu pasien


mengembangkan atau meningkatakan keterampilan sosial
interpersonal.
2. Pembinaan hubungan kompleks : Membina hubungan yang
terapeutik dengan pasien yang kesulitan berinteraksi dengan orang
lain.
3. Promosi integritas keluarga : Meningkatkan persatuan dan kesatuan
keluarga.
4. Promosi keterlibatan keluarga : Memfasilitasi perawatan keluarga
dalam perawatan emosi dan kondisi fisik pasien.
5. Peningkatan Harga Diri :Membantu pasien meningkatkan penilaian
pribadi tentang harga diri.
6. Peningkatan sosialisi : Memfasilitasi kemampuan pasien untuk
berinteraksi dengan orang lain.
7. Aktivitas lain :
a. Buat interaksi terjadwal.
b. Identifikasi perubahan perilaku tertentu.
c. Identifikasi tugas-tugas yang dapat meningkatakan atau
memperbaiki interaksi sosial.
d. Libatkan pendukung sebaya dalam memberkan umpan balik
kepada pasien dalam interksi sosial
8. Peningkatan sosialisa ( NIC) :
a. Anjurkan bersikap jujur dan apa adanya dalam berinteraksi
dengan oran lain.
b. Anjurkan menghargai hak orang lain.
c. Anjurkan sabar dalam membina hubungan.
d. Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan
keterbatasan dala berkomunikasi dengan orang lain.
e. Beri umpan balik positif jika pasien dapat berinterksi dengan
orang lain.
f. Fasilitasi pasien dalam memberi masukan dan membuat
perencanaan aktivitas mendatang.
2. Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk terikat dalam
hubungan pribadi yang memuaskan, perilaku atau nilai sosial yang tidak
berterima.
Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) :
1. Pasien menunjukkan keterlibatan sosial ( interaksi dengan teman
dekat, tetangga, anggota keluarga,berpartisipasi sebagai sukarelawan
pada aktivitas atau organisasi,dan sebagainya).
2. Mulai membina hubungan dengan orang lain.
3. Mengembangkan hubungan satu sama lain.
4. Mengembangkan keterampilan sosial yang dapat mengurangi isolasi
(mis, bekerja sama).
5. Melaporkan adanya dukungan sosial (mis, bantuan dalam bentuk dari
orang lain dalam bentuk bantuan emosi, waktu, keuangan, tenaga,
atau informasi ).
Intervensi (NIC)

1. Modifikasi perilaku keterampilan sosial : Membantu pasien


mengembangkan atau meningkatakan keterampilan sosial
interpersonal.
2. Pembinaan hubungan kompleks : Membina hubungan yang
terapeutik dengan pasien yang kesulitan berinteraksi dengan orang
lain.
3. Peningkatan koping : Membantu pasien beradaptasi dengan persepsi
stresor, perubahan, atau ancaman yang menghambat pemenuhan
kenutuhan hidup dan peran.
4. Promosi integritas keluarga : Meningkatkan persatuan dan kesatuan
keluarga.
5. Promosi keterlibatan keluarga : Memfasilitasi perawatan keluarga
dalam perawatan emosi dan kondisi fisik pasien.
6. Peningkatan kesadaran diri : Membantu pasien menggali dan
memahami gagasan, perasaan, motivasi, dan perilaku pasien.
7. Peningkatan sosialisi : Memfasilitasi kemampuan pasien untuk
berinteraksi dengan orang lain.
8. Peningkatan sistem dukungan : Memfasilitasi dukungan kepada
pasien oleh keluarga, teman, dan komunitas.
9. Aktivitas lain :
a. Bantu pasien membedakan persepsi dan kenyataan.
b. Identifikasi bersama pasien faktor-faktor yang mempengaruhi
perasaan isolasi sosial.
c. Beri penguatan terhadap usaha-usaha yang dilakukan pasien,
keluarga, dan teman-teman untuk berinterksi.
10. Peningkatan sosialisasi ( NIC) :
a. Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai minat dan
tujuan yang sama.
b. Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam aktivitas.
c. Dukung pasien untuk mengubah lingkungan seperti jalan-jalan.

3.5 Implementasi
Implementasi adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien.
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi,
disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal
yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan
selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai
implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah
dilakukan dan bagaimana respon pasien.

3.6 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana
tujuan tercapai:
1. Berhasil : Perilaku pasien sesuai pernyatan tujuan
dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan
di tujuan.
2. Tercapai sebagian : Pasien menunujukan prilaku tetapi tidak
sebaik yang ditentukan dalam pernyataan
tujuan.
3. Belum tercapai : Pasien tidak mampu sama sekali
menunjukkan perilaku yang diharapakan
sesuai dengan pernyataan tujuan.

Anda mungkin juga menyukai