Anda di halaman 1dari 11

SUKU

BATAK
X IPS I
NAMA KELOMPOK :
1. ANCOS ELFAMAS (05)
2. BELA SAPUTRI (07)
3. NAJUA PUTRI AQSANI (19)
4. NANDA VICKY PRATAMA (20)
5. PUTRI AZZAHRA C.R. (22)
6. REVINA NUR AININ (24)
1. Nama Suku :
Suku Batak
2. Bangsa Yang Menjadi Nenek Moyang :
Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan (UNIMED),
Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalahnya berjudul “Orang
Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen” dalam seminar yang digagas DPP
Kesatuan Bangso Batak Sedunia (Unity Of Bataknese In The World) di Medan
beberapa waktu lalu, dengan menghadirkan Dr Thalib Akbar Selian MSc (Lektor
Kepala/Research Majelis Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara), Drs S Is
Sihotang MM (mantan Bupati Dairi), dan Nelson Lumban Tobing (Batakolog
asal Universitas Sumatera Utara).
Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan Prof Dr Bungaran
Antonius Simanjuntak, mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer
Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek
moyang Bongso Batak menurutnya berasal dari keturunan suku Mansyuria dari
Ras Mongolia. Nenek moyang orang Batak berasal dari keturunan suku
Mansyuria (MANCHURIA) yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun
lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir oleh suku Barbar Tartar
dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku
Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Dari
peristiwa migrasi di pegunungan Tibet tersebut dapat ditemukan sebuah
danau dengan nama Toba Tartar. Suku Mansyuria memberikan nama danau itu
untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar.
Setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau
perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya
Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan
budaya Batak yang ada sekarang ini. Tak bertahan lama di wilayah itu, suku
Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak
menuju arah Timur ke Kamboja, dan ke Indocina.
Dari Indocina, suku Mansyuria berlayar menuju Philipina, kemudian ke
Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat
Toraja). Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai
dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat
dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya
naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah
Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju
Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.
Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah
Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.
Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek
moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan dari
para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka
tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang
mengetahui kehadiran musuh. Fakta ini diketahuinya dan dibuktikan langsung
melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.
Pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat
melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok
Selayang Pandang, yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku
Mansyuria, dan Edmund Leach (Rithingking Anhtropology ) mempertegas
hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.
Dari kajian literatur itu, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya
menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap
di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di
Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah
Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk
Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun. Fakta ini diketahui melalui
penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang
menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan
Budaya Dongson yang mirip budaya Batak.
Dari sejumlah literature itu, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan
sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek
moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan
ini. Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak,
terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni
hula hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan
ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat
miskin, juga harus tetap dikasihi. Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti
sejak dahulu hingga kini masih terpiliharan dan tetap dijaga kelestariannya
oleh suku Batak.
3. Ciri Fisik :
Relatif kecil, kulit sawo matang, dan rambut berombak.

4. Wilayah Tempat Tinggal :  


Bangsa ini merupakan suku bangsa yang bermukim di perbatasan Burma
dan Siam atau Thailand. Sebagian besar dari suku Batak mendiami daerah
pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan dengan D.I. Aceh sampai
ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat. Suku Batak juga mendiami
tanah datar antara daerah pegunungan dengan pantai Timur Sumatera Utara
dan Pantai Barat di Sumatera Utara. Dengan demikian, maka suku Batak itu
mendiami daerah Dataran Tinggi Karo, Langkah Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu,
Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan
Kabupaten Tapanuli Tengah.
Suku Batak itu terdiri dari sub suku-suku bangsa Batak yang lebih khusus,
yaitu Suku Batak :
1. Karo, mereka mendiami daerah dataran tinggi Karo, Langka Hulu, Deli Hulu
dan sebagian dari Dairi (1930 = 120.000 orang).
2. Simangulun, mereka mendiami daerah induk Simulungun (50.000 orang).
3. Pakpak, mereka mendiami induk Dairi (tahun 1930 = 22.000 orang).
4. Toba, mereka mendiami daerah induk tepi danau Toba, Pulau Samosir,
dataran tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan
Sibolga serta daerah pegunungan, Pahae dan Habinsaran (400.000 orang tahun
1930).
5. Angkola : mereka mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari
Sibolga dan Batang Toru serta bagian Utara dari Padang Lawas.
6. Mandaling : mereka mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatah dari
Padang Lawas (bersama-sama dengan Angkola mereka berjumlah 160.000
orang pada tahun 1930).
Menurut cerita-cerita suci (tarombo) orang Batak, semua sub suku-suku
bangsa Batak itu mempunyai nenek moyang yang satu, ialah Si Raja Batak.

5. Perkembangan Kebudayaan :
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia.
Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai
Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai
Batak adalah Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Batak
adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera
Utara. Namun sering sekali orang menganggap penyebutan Batak hanya pada
suku Toba padahal Batak tidak diwakili oleh suku Toba. Sehingga tidak ada
budaya dan bahasa Batak tetapi budaya dan bahasa Toba, Karo, Simalungun
dan suku-suku lain yang serumpun.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam, Kristen
Protestan, dan Katolik. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional
yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme, walaupun kini
jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang. Orang Batak
pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. 
Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah di
dirikan dan tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Toba,
Simalungun, Pakpak di organisasi yang di namakan Jong Batak tahun 1926,
tanpa membedakan Agama dalam satu kesepahaman : Bahasa Batak kita
begitu kaya akan Puisi, Pepatah dan Pribahasa yang mengandung satu dunia
kebijaksanaan tersendiri, Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi
jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, Aksara sendiri, Seni
Bangunan yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan
bahwa kita mempunyai nenek moyang yang perkasa, Sistem marga yang
berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata
negara yang bijak, kita berhak mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas,
yang dapat membela kepentingan kita dan melindungi budaya kuno tersebut.
R.W. Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian
utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren.
Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas
pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar
kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-
satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan,
bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru
terjadi pada zaman kolonial.
Dalam disertasinya J.Pardede mengemukakan bahwa istilah “Tanah
Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas
Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa
sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun
mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat
terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.
Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa
Pusuk Buhit , salah satu puncak di barat Danau Toba , adalah tempat
“kelahiran” bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan
bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

6. Kehidupan Sosial :
Masyarakat Batak Karo sendiri bermukin di wilayah sebelah barat laut
Danau Toba yang mencakup luas wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi yang
secara astronomis terletak sekitar antara 3′ dan 3′30″ lintang utara serta 98′
dan 98′30″ bujur timur. Wilayah Tanah Karo tersusun atas dua wilayah utama
sebagai berikut:

 Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaen


Karo dan pusat administratifnya di kota Kabanjahe. Wilayah dataran
tinggi Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah
Kabupaten Dairi (khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga),
serta ke arah timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan Si Lima Kuta
yang terletak di Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut
wilayah pemukiman dataran tinggi ini dengan nama Karo Gugung.
 Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup wilayah-wilayah kecamatan
dari Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada
bagian ujung selatan secara geografis ( namun tertinggi secara
topografis). Wilayah ini dimulai dari plato Tanah Karo yang membentang
ke bawah hingga mencapai sekitar kampung-kampung Bahorok, Namo
Ukur, Pancur Batu, dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta
Bangun Purba, Tiga Juhar, dan Gunung Meriah di sisi timur. Masyarakat
Karo menyebut daerah ini dengan nama Karo Jahe (Karo Hilir).

Wilayah dataran tinggi Tanah Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan


dan tanah asli nenek moyang masyarakat Batak Karo. Di wilayah ini, bahasa
tidak banyak tersentuh oleh pengaruh-pengaruh luar dan ikatan kekerabatan
serta kehidupan tradisional masih terpelihara sangat kuat. Kebanyakan
masyarakat dataran tinggi Karo hidup dari bercocok tanam kecil-kecil dengan
menanam padi dan sayur-sayuran untuk konsumsi sehari-hari serta berbagai
tanam-tanaman komersial untuk kebutuhan pasar domestik dan ekspor.

Wilayah pemukinan dataran rendah yang ada di Kabupaten Langkat dan


Kabupaten Deli Serdang umumnya lebih terorientasi pada produksi tanam-
tanaman budidaya seperti karet dan kelapa sawit. Wilayah dataran rendah
Karo ini lebih banyak menyerap pengaruh masyarakat Melayu pesisir yang
pada umumnya menganut agama Islam dant erkadang mengharuskan mereka
menyisihkan nama marga mereka sehingga hubungan kekerabatan dengan
sanak-saudara mereka di dataran tinggi jadi terputus.

Selain kefasihan dalam berbahasa Karo, ciri identitas terpenting seorang


Karo dapat diketahui dari nama marga yang bersangkutan. Orang-orang Karo
memiliki lima macam klan patrilineal atau marga, yaitu Karo-karo, Ginting,
Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin. Tiap-tiap marga ini terpecah lagi
menjadi 13 hingga 18 submarga, sehingga secara keseluruhan dapat dijumpai
sbanyak 83 submarga. Seluruh marga dan submarga ini merupakan nama-
nama khas yang ada pada masyarakat Karoo, naum sering juga tampak
memiliki keterkaitan dengan nama-nama marga dari kelompok masyarakat
suku-suku Batak lain, khususnya masyarakat Batak Simalungun dan Batak
Pakpak. Identitas dan subetnis orang Batak ini pada umumnya dapat langsung
diketahui dari nama marganya, misal marga Tarigan dan Sembiring adalah
marga khas Batak Karo,  nama Saragih dan Damanik adalah marga khas Batak
Simalungun, nama Bancin dan Berutu adalah marga khas Batak Pakpak, dan
sebagainya.

 Rumah Adat Batak


Rumah adat Batak disebut ruma/jabu (bahasa Toba) merupakan
kombinasi seni pahat ular serta kerajinan. Ruma akronim Ririt di Uhum Adat
yang artinya sumber hukum adat dan sumber pendidikan masyarakat Batak.
Ruma berbentuk panggung yang terdiri atas tiang rumah yang berupa kayu
bulat, tiang yang paling besar disebut tiang persuhi. Tiang-tiang tersebut
berdiri di tiap sudut di atas batu sebagai pondasi yang disebut batu persuhi.
Bagian badan terbuat dari papan tebal, sebagai dinding muka belang, kanan
dan kiri, dinding muka belakang penuh ukiran cicak. Atap sebelah barat dan
timur menjulang ke atas dan dipasang tanduk kerbau sebagai lambang
pengharapan.
Rumah adat Batak menunjukkan karya seni yang tinggi dengan
penampilan penuh ukiran serta dihiasi tanduk kerbau sebagai lambang
pengharapan.
 Tarian Batak
Tari yang terkenal dari Batak, yaitu tor-tor. Tari tor-tor terdiri atas
beberapa jenis. Beberapa jenis tari tor-tor sebagai berikut.
1. Pangurdot, anggota badan yang bergerak hanya kaki, tumit, hingga bahu.
2. Pangeal, anggota badan yang bergerak hanya pinggang, tulang punggung,
dan bahu.
3. Pandenggal, anggota badan yang bergerak hanya lengan, telapak tangan
hingga jari tengah.
4. Siangkupna, anggota badan yang bergerak hanya leher.
5. Hapunana, anggota badan yang bergerak hanya wajah.
Tari tor-tor merupakan salah satu tari yang terkenal dari Batak. Tari tor-
tor biasanya dipertunjukkan pada perayaan horja (pesta) dalam sebuah
perkawinan.

 Seni Musik Batak


Seni musik suku bangsa Batak adalah ogung sabangunan. Peralatan yang
digunakan adalah empat
gendang dan lima taganing (sejenis gamelan Batak). Nama-nama gendang
ogung, yaitu oloan, ihutan, doal, dan jeret. Macam-macam tari tor-tor yang
diiringi ogung sabangunan sebagai berikut.
1. Tor-tor/gondang mula-mula, dilakukan dengan menyembah berputar ke
arah mata angin.
2. Tor-tor/gondang mangido pasu-pasu, dilakukan dengan tangan menari
artinya petuah, nasihat, dan amanat orang tua.
3. Tor-tor/gondang liat-liat, dilakukan dengan menari berkeliling artinya
keluarga mendapat kebahagiaan.
4. Tor-tor/gondang hasahatan, dilakukan dengan menari di tempat artinya
petuah/rahmat Tuhan YME.
Seni Kerajinan Batak Kerajinan suku bangsa Batak yang terkenal adalah
kain ulos. Peranan ulos bagi masyarakat Batak sejak lahir hingga meninggal
sangat tinggi. Macam-macam ulos dan fungsinya dalam suatu acara, meliputi:
1. ulos lobu-lobu adalah ulos yang diberikan ayah kepada putra dan menantu
saat pernikahan;
2. ulos hela adalah ulos yang diberikan orang tua pengantin perempuan;
3. ulos tondi adalah ulos yang diberikan orang tua kepada putrinya saat hamil
tua;
4. ulos tujung adalah ulos yang diberikan kepada janda atau duda.
5. ulos saput adalah ulos penutup jenazah yang diberikan paman almarhum
jika yang meninggal laki-laki;
Kain ulos adalah hasil kerajinan suku bangsa Batak yang terkenal.

 Sistem Kepercayaan/Religi Rakyat Batak


    Di daerah Batak terdapat beberapa agama, antara lain: agama Islam,
agama Katolik, dan agama Kristen Protestan. Meskipun demikian, konsep-
konsep kepercayaan atau religi purba masih hidup terutama di pedesaan.
Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan dan religi purba ini
adalah buku pustaka yang terbuat dari kayu dan ditulis dengan huruf Batak.
Buku tersebut memuat konsep-konsep tentang pencipta, jiwa, roh, dan dunia
akhirat.

 Sistem Kekerabatan Batak


    Perkawinan pada masyarakat Batak merupakan suatu pranata yang tidak
hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan juga
mengikat kaum kerabat laki-laki (paranak dalam bahasa Toba, si pempokan
dalam bahasa Karo) dengan kaum kerabat si perempuan (parboru dalam
bahasa Toba, sinereh dalam bahasa Karo). Menurut adat lama pada
masyarakat Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh.
    Perkawinan antara orang-orang rimpal (marpariban dalam bahasa Toba)
yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (cross
cousin) dianggap perkawinan ideal. Sistem kekerabatan masyarakat Batak
adalah patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek atau satu nenek
moyang. Dalam masyarakat Batak hubungan berdasarkan satu ayah disebut
sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Adapun kelompok
kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (keluarga inti, terdiri atas ayah, ibu,
dan anak-anak) yang disebut jabu, dan ripe dipakai untuk keluarga luas yang
virilokal (tinggal di rumah keluarga pihak laki-laki). Dalam masyarakat Batak,
banyak pasangan yang sudah kawin tetap tinggal bersama orang tuanya.
Adapun perhitungan hubungan berdasarkan satu kakek atau satu nenek
moyang disebut sada nini (pada masyarakat Karo) dan saompu (pada
masyarakat Toba). Keluarga sada nini atau saompu merupakan klen kecil.
Adapun klen besar dalam masyarakat Batak adalah merga (dalam bahasa
Karo) atau marga (dalam bahasa Toba). Perkawinan pada masyarakat Batak
tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan perempuan. Perkawinan juga
mengikat kaum kerabat laki-laki dan kaum kerabat si perempuan.

 Sistem Politik Rakyat Batak


    Sistem politik yang dimaksud adalah sistem pemerintahan dan
kepemimpinan. Pada masyarakat Batak sistem kepemimpinan ini terbagi atas
tiga bidang sebagai berikut.
1. Kepemimpinan di Bidang Adat
    Kepemimpinan di bidang adat meliputi: perkawinan dan perceraian,
kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran, dan sebagainya.
Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh,
tetapi berupa musyawarah Dalihan Na Tolu (Toba) dan Sangkep Sitelu (Karo).
Dalam pelaksanaan musyawarah adat, sidang (ninggem) dipimpin oleh Suhut.
Suhut ialah orang yang mengundang para pihak kerabat dongan sabutuha,
hula-hula, dan boru dalam Dalikan Na Tolu. Keputusannya merupakan hasil
musyawarah dengan kerabat-kerabat tersebut. Datu adalah pemimpin
masyarakat Batak di pedalaman.

2. Kepemimpinan di Bidang Agama


    Dalam masyarakat Batak, kepemimpinan dalam bidang agama
berhubungan dengan perdukunan dan roh nenek moyang serta kekuatan-
kekuatan gaib. Pemimpin keagamaan dipegang oleh guru sibaso.
3. Kepemimpinan di Bidang Pemerintahan
    Dalam bidang pemerintahan, kepemimpinan dipegang oleh salah satu
keturunan dari merga taneh. Oleh sebab itu, faktor tradisi masih melekat
dalam memilih pemimpin pemerintahan. Adapun tugas pemimpin
pemerintahan, yaitu menjalankan pemerintahan seharihari. Pada saat ini,
masyarakat Batak selalu mencari orang yang dianggap mampu dan memahami
segala persoalan yang terdapat dalam masyarakat.
 Sistem Ekonomi Rakyat Batak
    Sistem ekonomi atau sistem mata pencaharian yang dilakukan
masyarakat Batak adalah bercocok tanam di sawah, ada juga yang di ladang
seperti suku bangsa Karo, Simalungun, dan Pakpak. Masyarakat Batak
mengenal sistem gotong-royong dalam bertani, dalam bahasa Karo disebut
raren, sedangkan dalam bahasa Toba disebut marsiurupan.
Gotong royong dilakukan dengan mengerjakan tanah secara bersama-
sama oleh tetangga atau kerabat dekat. Alat yang digunakan untuk bercocok
tanam, antara lain cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo, luku dalam
bahasa Toba), dan tongkat tugal (engkol dalam bahasa Karo). Bajak biasanya
ditarik dengan sapi/kerbau, sabit (sabi-sabi dalam bahasa Toba) dipakai untuk
memotong padi, ada juga yang memakai ani-ani. Peternakan yang diusahakan
oleh masyarakat Batak, seperti kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek.
Babi biasanya untuk dimakan dan juga digunakan dalam upacara adat. Di Pulau
Samosir tepi Danau Toba, menangkap ikan dilakukan intensif dengan perahu
lesung (Solu) dan hasilnya dijual ke kota.

7. Kehidupan Pada Saat Ini :


Orang-orang Batak terutama hidup dengan cara pertanian. Orang Batak
yang berhasil dalam bidang pertanian berada di dataran tinggi Karo, yang
dipasok untuk Sumatera Utara, serta untuk ekspor. Berbeda dengan orang
Minangkabau yang matrilineal, orang Batak memiliki struktur patrilineal paling
kaku di Indonesia. Perempuan tidak hanya melakukan semua pekerjaan di
sekitar rumah, tetapi juga banyak pekerjaan di ladang.
Meskipun ada naskah Batak asli, tidak pernah digunakan untuk merekam
peristiwa. Tampaknya telah digunakan hanya oleh imam dan dukun (mistik)
pada ramalan dan untuk merekam mantra sihir.
Mayoritas orang Batak saat ini adalah Kristen Protestan, terutama di
bagian utara di sekitar Danau Toba dan Dataran Tinggi Karo, sedangkan Islam
dominan di selatan. Namun, orang Batak kebanyakan masih memasukkan
unsur kepercayaan animisme tradisional dan ritual. Kepercayaan tradisional
menggabungkan kosmologi, pemujaan leluhur dan roh dan tondi. Tondi adalah
konsep jiwa, roh, hakikat individualitas seseorang yang diyakini untuk
mengembangkan keyakinan sebelum anak lahir.

Anda mungkin juga menyukai