BATAK
X IPS I
NAMA KELOMPOK :
1. ANCOS ELFAMAS (05)
2. BELA SAPUTRI (07)
3. NAJUA PUTRI AQSANI (19)
4. NANDA VICKY PRATAMA (20)
5. PUTRI AZZAHRA C.R. (22)
6. REVINA NUR AININ (24)
1. Nama Suku :
Suku Batak
2. Bangsa Yang Menjadi Nenek Moyang :
Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan (UNIMED),
Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalahnya berjudul “Orang
Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen” dalam seminar yang digagas DPP
Kesatuan Bangso Batak Sedunia (Unity Of Bataknese In The World) di Medan
beberapa waktu lalu, dengan menghadirkan Dr Thalib Akbar Selian MSc (Lektor
Kepala/Research Majelis Adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara), Drs S Is
Sihotang MM (mantan Bupati Dairi), dan Nelson Lumban Tobing (Batakolog
asal Universitas Sumatera Utara).
Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan Prof Dr Bungaran
Antonius Simanjuntak, mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer
Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek
moyang Bongso Batak menurutnya berasal dari keturunan suku Mansyuria dari
Ras Mongolia. Nenek moyang orang Batak berasal dari keturunan suku
Mansyuria (MANCHURIA) yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun
lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir oleh suku Barbar Tartar
dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku
Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). Dari
peristiwa migrasi di pegunungan Tibet tersebut dapat ditemukan sebuah
danau dengan nama Toba Tartar. Suku Mansyuria memberikan nama danau itu
untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar.
Setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau
perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya
Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan
budaya Batak yang ada sekarang ini. Tak bertahan lama di wilayah itu, suku
Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak
menuju arah Timur ke Kamboja, dan ke Indocina.
Dari Indocina, suku Mansyuria berlayar menuju Philipina, kemudian ke
Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat
Toraja). Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai
dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat
dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya
naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah
Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju
Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.
Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah
Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.
Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek
moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan dari
para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka
tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang
mengetahui kehadiran musuh. Fakta ini diketahuinya dan dibuktikan langsung
melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.
Pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat
melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok
Selayang Pandang, yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku
Mansyuria, dan Edmund Leach (Rithingking Anhtropology ) mempertegas
hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.
Dari kajian literatur itu, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya
menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap
di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di
Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah
Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk
Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun. Fakta ini diketahui melalui
penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang
menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan
Budaya Dongson yang mirip budaya Batak.
Dari sejumlah literature itu, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan
sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek
moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan
ini. Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak,
terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni
hula hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan
ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat
miskin, juga harus tetap dikasihi. Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti
sejak dahulu hingga kini masih terpiliharan dan tetap dijaga kelestariannya
oleh suku Batak.
3. Ciri Fisik :
Relatif kecil, kulit sawo matang, dan rambut berombak.
5. Perkembangan Kebudayaan :
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia.
Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai
Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai
Batak adalah Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Batak
adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera
Utara. Namun sering sekali orang menganggap penyebutan Batak hanya pada
suku Toba padahal Batak tidak diwakili oleh suku Toba. Sehingga tidak ada
budaya dan bahasa Batak tetapi budaya dan bahasa Toba, Karo, Simalungun
dan suku-suku lain yang serumpun.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam, Kristen
Protestan, dan Katolik. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional
yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme, walaupun kini
jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang. Orang Batak
pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur.
Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah di
dirikan dan tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Toba,
Simalungun, Pakpak di organisasi yang di namakan Jong Batak tahun 1926,
tanpa membedakan Agama dalam satu kesepahaman : Bahasa Batak kita
begitu kaya akan Puisi, Pepatah dan Pribahasa yang mengandung satu dunia
kebijaksanaan tersendiri, Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi
jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, Aksara sendiri, Seni
Bangunan yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan
bahwa kita mempunyai nenek moyang yang perkasa, Sistem marga yang
berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata
negara yang bijak, kita berhak mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas,
yang dapat membela kepentingan kita dan melindungi budaya kuno tersebut.
R.W. Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian
utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren.
Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas
pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar
kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-
satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan,
bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru
terjadi pada zaman kolonial.
Dalam disertasinya J.Pardede mengemukakan bahwa istilah “Tanah
Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas
Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa
sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun
mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat
terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.
Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa
Pusuk Buhit , salah satu puncak di barat Danau Toba , adalah tempat
“kelahiran” bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan
bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
6. Kehidupan Sosial :
Masyarakat Batak Karo sendiri bermukin di wilayah sebelah barat laut
Danau Toba yang mencakup luas wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi yang
secara astronomis terletak sekitar antara 3′ dan 3′30″ lintang utara serta 98′
dan 98′30″ bujur timur. Wilayah Tanah Karo tersusun atas dua wilayah utama
sebagai berikut: