Anda di halaman 1dari 15

IDENTITAS ORANG KARO

Karakteristik atau identitas dari sifat orang Karo memiliki ciri khas yang berbeda
dengan etnis lain yang terdapat di Sumatera Utara. Karakteristik orang Karo sangat
banyak dipengaruhi oleh lingkungan alam yang mengitarinya, sebagai anak pedalaman
dalam hutan rimba raya dan mentalitas agraris, atau mungkin juga disebabkan oleh
sejarah penakluk Kerajaan Haru di mana salah satu sempalannya adalah Suku Karo yang
mendiami daerah-daerah dataran tinggi, baik di Tanah Karo, Medan, Deli Serdang,
Langkat, Binjai, Simalungun, Dairi dan Aceh Tenggara.
Sebagai masyarakat yang terisolir di pedalaman dataran tinggi Karo dan sekitar
hilirnya, ternyata sebagai sebuah komunitas, di sana juga terbentuk sebuah budaya yang
menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, alam
beserta isinya dan khususnya hubungan antara masyarakat di dalamnya. Ke semuanya
pola hubungan tersebut tertuang dalam sebuah aturan tidak tertulis yang mengatur yang
disebut dengan budaya. Aspek budaya, yang mana menurut Singarimbun (1989),
merupakan identitas masyarakat Karo, disebutkan terdapat 4 identitas, meliputi Merga,
Bahasa, Kesenian dan Adat Istiadat.
Merga adalah identitas masyarakat Karo yang unik. Setiap orang Karo mempunyai
merga, yaitu salah satu dari 5 merga (yang disebut dalam bahasa Karo Silima Merga),
yaitu, Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.
a. Bahasa Karo merupakan bahasa khusus dan mempunyai aksara yang khusus pula.
b. Kesenian Karo yang tradisional adalah gendang dan pakaian adat.
c. Adat istiadat tentu yang merupakan identitas adalah adanya perundingan adat
yang disebut runggu (musyawarah dan mufakat) dalam perkawinan dan dalam
acara adat lainnya dan rebu (pantang bicara dengan kerabat tertentu).
Merga bagi orang Karo adalah yang paling utama dalam identitasnya. Dalam setiap
perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanyakan adalah merga. Merga
berasal dari kata meherga berarti mahal. Mahal dalam konteks budaya Karo berarti
penting. Setelah ditanyakan merga kemudian ditanyakan bere-bere (merga = untuk
perempuan disebut beru) yang dibawa ibunya. Setelah merga dan bere-bere ditanyakan
didapatkan identitas melalui terombo atau silsilah, selanjutnya masuk kepada tema
pembicaraan berikutnya.
Bahasa dan aksara Karo merupakan karya budaya yang memiliki nilai budaya
yang tak ternilai harganya. Semua suku di Indonesia diperkirakan lebih dari 300-an suku
memiliki bahasa, tetapi tidak semua suku di Indonesia memiliki aksara/huruf. Suku Karo
memiliki aksara, berarti leluhur Karo dulunya sudah pandai baca-tulis alias tidak buta
huruf. Mengenai aksara Karo, Prof. Hendry Guntur Tarigan pernah mensitir bahwa
bahasa Karo adalah bahasa tertua kedua di Indonesia setelah bahasa Kawi
(sansekerta/Jawa kuno). Dalam kaitan ini, Tengku Lukman Sinar membandingkan
beberapa istilah bahasa Karo dengan Bahasa Sansekerta yang bermiripan.
Sansekerta Karo
Aditya (minggu) Aditya
Soma (Senin) Suma
Anggara Anggara
Budha Budalia
Beraspati Beraspati
Syukra Cukera
Syanaissycara Sanusera
Yoga Iyoga
Dan banyak lagi.
Nama “URUNG” berasal dari perkataan bahasa Tamil “UR” artinya kampung atau
nama “URUM” sebuah kampung terdiri dari kasta sudra (petani) yang ada di India selatan
zaman dahulu kala. Liat Burton Stein dalam “coromandel Trade in Medival India” 1965.
Kesenian Karo tradisional terdiri dari gendang dan pakaian adat, bersamaan
hadirnya orang Karo. Acara gendang ini ditampilkan dalam setiap acara adat, seperti
adat perkawinan, kematian dan mengket rumah. Gendang Karo terdiri dari Gong,
penganak, kecapi, serune, surdam. Sedangkan pakaian adat Karo, secara lengkap dapat
terlihat ketika pesta adat perkawinan yang terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali,
rudang-rudang, gelang sarong, uis arinteneng, uis emas-emas. Ragi jenggi dan tapak gajah,
kelam-kelam, anting-kodang-kodang. Mengenai busana dijelaskan lebih lengkap pada
bagian Tata Busana Karo.
Adat-istiadat yang paling melekat dalam orang karo adalah adanya budaya runggu
(Musyawarah dan Mufakat). Runggu ini dilaksanakan dalam acara prosesi adat karo
dalam acara perkawinan, kematian dan mengket rumah. Pada acara ini setiap keputusan
yang diinginkan dalam acara adat harus terlebih dahulu dilalui melalui proses runggu.
Adat rebu (pantang bicara dengan kerabat tertentu). Bagi Orang Karo tidak boleh
bicara secara langsung adalah dengan mami (ibu mertua), turangku (istri ipar), permain
(istri anak). Kalian berbicara mesti memakai perantara (Sitepu, 1979:11-12)
Dalam adat-istiadat Karo setelah perkawinan dilangsungkan terdapat larangan interaksi
dan komunikasi antara orang-orang tertentu. Larangan ini dikenal dengan istilah “rebu”.
Istilah ini sebenarnya tak bermakna terlarang akan tetapi lebih tepat:
 Antara ‘mami’ dengan ‘kela’
 Antara ‘bengkila dengan ‘pemain’ dan antara ‘turangku’ dengan ‘turangku’.
Menyampaikan isi pembicaraan dalam hal sedemikian, ada dua cara yang
bisa ditempuh, seperti yang ditulis DR. HENDRY GUNTUR TARIGAN,
sebagai berikut:
Pertama, sang kela membubuhkan perkataan “nina mami” (berarti “kata mertua)
dan sang mami membubuhkan perkataan “nina kela” (berarti “kata menantu”) pada
setiap yang hendak mereka ucapkan. Dengan kata lain, sang kela harus pandai
mempergunakan “nina mami” atau “ber-nina mami” yang dalam bahasa Karo disebut
“ngerana ernina mami” berbicara ber-nina mami. Begitu juga mami harus pandai
“ngerana ernina kela” – berbicara ber-nina-kela. Dengan berbuat demikian, seolah-olah
terasa bahwa komunikasi itu bukan komunikasi langsung. Ucapan mami yang
dikeluarkan sang kela terasa sebagai ucapan mami sendiri, sebab membubuhi perkataan
“nina mami’ begitu juga dengan ucapan yang dikeluarkan dengan adanya “nina kela” itu.
Kedua, dengan menggunakan benda-benda yang kebetulan ada pada tempat
mereka mengadakan komunikasi itu sebagai perantara. Marilah kita mengandaikan
mereka mengadakan komunikasi dengan mempergunakan benda mati batu sebagai
perantara dalam pembicaraan. Dalam hal ini, setiap akhir kalimat yang mereka yang
ucapkan harus dibubuhi /diikuti ucapan “rindu o batu” yang berarti “ Anda katakanlah
(begitu) hai batu. Dengan berbuat demikian, mereka merasa bahwa komunikasi yang
mereka adakan bukanlah komunikasi langsung, sebab sudah mempergunakan batu itu
sebagai perantara , yang fungsinya dapat disamakan dengan orang ketiga.
Lebih jauh dari sekedar komunikasi langsung, adalah pantang bersentuhan badan.
Sementara rebu yang lain adalah berupa duduk berhadap-hadapan atau duduk pada
sehelai tikar, atau sekeping papan, tanpa ada orang lain yang duduk diantara mereka.
Pada umumnya, rebu antara mami dan kela ini berlaku pula bagi bengkila / permain dan
turangku dengan turangku.
Pada dasarnya alasan moral, kekhawatiran tingkah sumbang merupakan pokok
serta alasan sikap dari “terciptanya” susunan demikian, maka terjagalah jarak antara
mereka, yang diharapkan akan menerbitkan rasa segan-menyegan, rasa hormat
menghormati, sesuai posisi masing-masing dalam keluarga. Dewasa ini. Rebu telah
mengalami eliminasi, khususnya di perkantoran, sedangkan di pedesaan, hubungan rebu
relatrif masih dipertahankan, tetapi rebu antara kela dengan mami sudah tidak ada.

SIFAT DAN FISIK ORANG KARO


Sebuah kominitas adat, selalu memiliki sifat-sifat umum yang bersifat positif dan
negatif. Sifat-sifat posisitif dan negatif ini juga sebenarnya mengandung pemahaman
yang sangat relatif dan bahkan acap sekali subjektif. Dikatakan demikian karena adat
tersebut tercipta pada zamannya untuk mengatur pola kehidupan adan interaksi
komunitas di didalamnya. Ketika terjadi sebuah inkulturasi dan setara dengan
perkembangan zaman dan dengan manusia lainnya, dan setara dengan perkembangan
zaman barulah muncul istilah negatif dan positif dalam sebuah budaya.
Buku adat-istiadat karo oleh Tamboen (1949) membahas sifat-sifat atau tabiat,
yaitu meliputi 7 hal yang khusus, yakni:
1. Mempunyai darah panas
2. Lemah lembut
3. Pemain catur
4. Mendiri
5. Sederhana dan hemat
6. Kurang adil terhadap perempuan
7. Suka berperkara
Penjelasan mengenai 7 hal tersebut dikemukakan bahwa:
1. Lekas naik darah, apabila merasa diperlakukan tidak jujur dan diberi malu, dapat
menjadikan orang Karo jadi pendendam, membalas dendam tanpa memikirkan
hidup atau mati.
2. Apabila diperlakukan dengan sopan santun maka akan menjadi lebih lembut,
pemurah suka menurut dan lekas mengerti.
3. Suka bermain catur, tekun (walaupun hanya sebagai penonton) dan pandai ilmu
hitung.
4. Istilah yang ditemukan tentang mandiri, adalah mau berdiri sendiri, tidak di
bawah pemerintah yang lain.
5. Kaum ibu khususnya, sangat pandai memimpin rumah tangga dengan sederhana
dan hemat.
6. Wanita mempunyai tanggung jawab maha berat dalam mengurus rumah tangga
dan mengurus ekonomi.
7. Perkara kecil saja yang hampir tidak ada harganya, tetapi dikirim juga surat
(disebut: rekes) kepada para pembesar.

Hasil Seminar Adat Istiadat Karo tahun (1983:1-2) menyimpulkan mengenai sifat
orang Karo ada 6 macam:
1. Tabah
2. Beradat
3. Suka membantu dan menolong
4. Pengasih dan hemat
5. Dendam
6. Mengetahui harga diri.
Enam sifat ini (tidak diiringi pembahasan) ditambah menjadi 9 macam dalam buku
yang ditulis oleh Djaja S. Meliala, S.H dan Aswin Perangin-angin, S.H (1978:1-2) yaitu
dengan tambahan jujur dan berani, hormat, sopan, dan percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Pembahasan mengenai sifat-sifat orang Karo yang relatif baru adalah dalam buku
Manusia Karo oleh Bangun (1986) yang mengemukakan 15 macam sifat dan watak orang
Karo, yaitu:
1. Jujur
2. Tegas
3. Berani
4. Percaya diri
5. Pemalu
6. Tidak serakah
7. Mudah tersinggung
8. Berpendirian teguh
9. Sopan
10. Jaga nama baik diri dan keluarga
11. Rasional dan kritis
12. Gigih mencari pengetahuan
13. Pragmatis
14. Iri, cemburu

Sifat-sifat orang Karo yang dikemukakan di atas adalah berdasarkan pendapat “orang
dalam” yaitu orang Karo sendiri. Jauh sebelum sifat-sifat tersebut diuraikan oleh
penulisnya. Seorang penulis barat yaitu Andreson (1823) menulis mengenai orang
Karo mempunyai sifat-sifat: rajin, pelit, senang harta, kerja keras, tekun dan tidak
suka pamer.

Anda mungkin juga menyukai