Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian
disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra.
Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan
sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pu
staka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruy
ung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyar
akat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari
Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke p
edalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-1
4 untuk menguasai Barus.[7]
Penyebaran agama[sunting | sunting sumber]
Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk
Batak.
Masuknya Islam[sunting | sunting sumber]
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari l
uar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengis
lamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam s
ebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, b
anyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Ha
l ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyara
kat Batak.[8] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau me
nyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mand
ailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat meng
islamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen P
rotestan dan Kristen Katolik.[9] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan da
lam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena
pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur
Misionaris Kristen[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Sejarah masuknya Kekristenan ke suku Batak
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathani
el Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak.[10] Setelah tiga hari
berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua ming
gu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamata
n langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikut
i oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Lua
r Negeri.[11]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk u
ntuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bert
ujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara d
engan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.[
12].
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861
, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwe
r Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa
Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lam
a diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut di
cetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemah
an ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.[13]
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertam
a yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni
Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada
awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya[14]. Pada masa
ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak or
ang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Pe
rlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada
tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.[15
]
Gereja HKBP[sunting | sunting sumber]
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan S
eptember 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelat
ihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) didirikan.[16]
Gereja Katolik di Tanah Batak[sunting | sunting sumber]
Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah Zending Protestan berada di sana selam
a 73 tahun. Daerah-daerah yang padat penduduknya serta daerah-daerah yang subur
sudah menjadi milik Protestan. Menurut Sybrandus van Rossum dalam tulisannya berju
dul Matahari Terbit di Balige bahwa pada tahun 1935 orang Batak yang sudah dibapti
s di Protestan mencapai lebih kurang 450.000 orang. Lembaga pendidikan dan keseh
atan sudah berada di tangan Zending. Zending juga sudah mempunyai kader-kader ya
ng tangguh baik dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. Dalam situasi sepert
i itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.
Kepercayaan[sunting | sunting sumber]
Sebuah kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad ke-20. Dimiliki oleh M
useum Anak di Indianapolis.
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai siste
m kepercayaan dan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di at
as langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu
tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kand
ungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit at
au meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang
menawannya.
Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memi
liki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta
, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan ting
kah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walau
pun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak bel
um mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati san
ubari mereka.
Salam Khas Batak[sunting | sunting sumber]
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terken
al dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di
masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyeb
utan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak Njuah-juah Mo Banta Karina!
2. Karo Mejuah-juah Kita Krina!
3. Toba Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!
ayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara ad
at. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan den
gan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahk
an: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan
Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyaraka
t Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Bo
ru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raj
a dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang y
ang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Ma
ka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan
Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme[sunting | sunting sumber]
Pejuang Batak
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yan
g bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah, jantung, t
elapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera
dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan
orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai
"pemakan manusia".[17] Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita t
entang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya
tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk m
emverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccol Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tah
un 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia T
enggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi
singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hid
up berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".[18][19]
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta und
ang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelan
ggaran yang dibenarkan.[20] Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa dima
na orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan un
tuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan ment
ah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".[21]
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah B
atak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di ant
ara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setel
ah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan y
ang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah dise
mbelih sehari sebelumnya.[22] Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan dengan ma
ksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah dan/atau sesekali agar m
endapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang pundak bagi pedagang maupu
n sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.[
23]
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 m
ungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu
pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari M
arsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme diang
gap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatas
i untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, at
au pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh keluarga kor
ban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat dan tidak memikirkan
balas dendam.[24]
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak m
engamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat pada s
ebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan unt
uk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh k
emudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusi
f raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging
kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya
dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk meng
ambil bagian dalam makan malam publik besar ".[25]
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali m
ereka.[26] Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampakny
a kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal i
ni dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat Batak.[27]
Tarombo[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak.
Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak
kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek mo
yangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini dip
erlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan ata
u marga.
Kontroversi[sunting | sunting sumber]
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagi
an dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "B
atak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga
menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesis
ir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. T
erutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi
. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jendera
l Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kera
jaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Genera
lisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapa
t diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terda
pat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Sam
osir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hi
ndia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli den
gan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menu
ntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah
-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan be
rtumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyaraka
t Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat me
ncuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Su
ngai Mati (1922),[28] dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalun
gun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak.[29]
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Search Wikimedia Commons
Wikimedia Commons memiliki kategori mengenai Suk
u Batak
Aksara Batak
Bahasa Batak
Masakan Batak
Gorga Batak Toba
Referensi[sunting | sunting sumber]
^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landsca
pe. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123.
^ Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Revised edition,
University of Hawaii Press, Honolulu, 1997
^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and th
e Malay Peninsula.
^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Min
angkabau 1784 1847.
^ Liddle, R.W. Ethnicity, party, and national integration: an Indonesian case st
udy. New Haven: Yale University Press.
^ Castles, L. Statelesness and Stateforming Tendencies Among the Batak before Co
lonial Rule. Kuala Lumpur: Monograph no 6 of MBRAS. hlm. 67-66.
^ Tideman, J. Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland. Amsterdam: Uitgave van het
Bataksche Institut no 23. hlm. 56.
^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Min
angkabau 1784 1847.
^ Kipp, 1990.
^ Burton, R. and Ward, N., "Report of a Journey into the Batak Country, in the i
nterior of Sumatra, in the year 1824." Transactions of the Royal Asiatic Society
, London 1:485-513.
^ "Missionaries: The Martyrs of Sumatra," in The Most of It: Essays on Language
and the Imagination. by Theodore Baird, Amherst, Mass.: Amherst College Press, 1
999.
^ Tuuk, H. N. van der, Bataksch Leesbok, Stukken in het Mandailingsch; Stukken i
n het Dairisch. Amsterdam, 1861.
^ Voorma, H.O. The Encounter of the Batak People with Rheinische Missions-Gesell
schaft in the Field of Education, 1861-1940, A Historical-Theological Inquiry. (
2000), p. 173.
^ Ooi KG. Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Tim
or. Santa Barbara, Calif.: ABC-CLIO, 2004.
^ Sherman, George, Rice, Rupees and Ritual, Cornell University Press, Ithaca, NY
1990.
^ Kushnick, G. "Parent-Offspring Conflict Among the Karo of Sumatra," Doctoral d
issertation, University of Washington, Seattle, 2006, p. 7.
^ Polo M, Yule H, Cordier H. The Travels of Marco Polo: The Complete Yule-Cordie
r Edition, Dover Pubns, 1993, Vol. II, Chapter X, p. 366.
^ The Travels of Nicol Conte [sic] in the East in the Early Part of the Fifteenth
Century Hakluyt Society xxii (London, 1857)
^ Sibeth A, Kozok U, Ginting JR. The Batak: Peoples of the Island of Sumatra: Li
ving with Ancestors. New York: Thames and Hudson, (1991) p. 16.
^ Nigel Barley (ed.), The Golden Sword: Stamford Raffles and the East, British M
useum Press, 1999 (exhibition catalogue). ISBN 0-7141-2542-3.
^ Barley N. The Duke of Puddle Dock: Travels in the Footsteps of Stamford Raffle
s. 1st American ed. New York: H. Holt, 1992, p. 112.
^ Junghuhn, F., Die Batta-lnder auf Sumatra, (1847) Vol. II, p. 249.
^ Junghuhn, p. 87
^ Von Kessel, O., "Erinnerungen an Sumatra," Das Ausland, Stuttgart (1854) 27:90
5-08.
^ Pfeiffer, Ida, A Lady's Second Journey Around the World: From London to the Ca
pe of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, etc., Cali
fornia, Panama, Peru, Ecuador, and the United States. New York, Harper & Brother
s, 1856, p. 151.
^ Sibeth, p. 19.
^ Kipp RS. The early years of a Dutch Colonial Mission: the Karo Field. Ann Arbo
r: University of Michigan Press, 1990.
^ Perret, Daniel. La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra