Anda di halaman 1dari 10

Hukum Nikah Beda Agama

oleh Abdul Moqsith Ghazali

Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan
agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda
kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya
orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi.
Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah
dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit
putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule Amerika menikah dengan
perempuan Batak.

Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak hanya
terjadi antar orang-orang yang satu agama, melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa
bersemi di kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang
publik seperti mall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat
primordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebook dan twitter.
Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul dengan yang seagama.

Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandangan berbeda. Ada yang bersikukuh
bahwa pernikahan beda agama tak direstusi Tuhan. Sebab, agama dirinya adalah terang,
sementara agama orang lain adalah gelap. Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam
satu ikatan perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus
merujuk Sabda bahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan
yang harus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkan pada
kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukan kepala yang harus
dicocokkan dengan ukuran kopiah, tapi peci lah yang mesti mengikuti besar-kecilnya kepala.

Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka, nikah beda agama tak
mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitu saja. Sebab manusia bebas
dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukan pilihan pasangan dalam keluarga.
”Dalam dunia yang terus mengarah pada kesederajatan agama-agama, kita tak mungkin
memandang agama orang lain sebagai gelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut
mereka, agama harus terus ditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu
berubah.

Agumen Teologis Islam

Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam tiga kelompok. Pertama, ulama
yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalah al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang
mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-
Mumtahanah [60]: 10 yang melarang orang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS,
al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab,
menurut kelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik, menurut
mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan oleh satu ayat yang
menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”, ”kafir” dan ”Ahli Kitab” adalah
sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisa membatalkan yang lain.

Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab. Ibn Katsir menceritakan
bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibn Khattab langsung menceraikan dua
isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan
Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal dari Khuza’ah. Umar pernah hendak mencambuk orang
yang menikah dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang
menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga
perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar tak
mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan Ahli Kitab.

Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang bersangkutan menceraikan
istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanya kepada Umar, ”apakah anda menyangka
bahwa pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya
khawatir”. Menurut saya, jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak
didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dan
kewaspadaan.

Kedua, ulama yang berpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah
dibatalkan QS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli
Kitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turun di Madinah.
Akan tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221) lebih awal turun,
sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga (al-Ma'idah ayat 5). Ibn Katsir mengutip
pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali bin Abi Thalhah berkata bahwa perempuan-perempuan Ahli
Kitab dikecualikan dari al-Baqarah ayat 221. Dengan perkataan lain, keharaman menikahi orang
musyrik dan orang kafir seperti tertera dalam al-Baaqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10 telah
ditakhshish (dispesifikasi) oleh al-Maidah:5.

Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, al-Hasan, al-
Dhahhak, Zaid bin
Aslam, dan Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas
pada orang-orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-
orang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukan nikah
beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn
Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah
dengan perempuan Majusi. Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah menikah
bukan dengan perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi
Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama
kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan
perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan
muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan
laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli
Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit
melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak
adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah dengan laki-
laki Ahli Kitab.

Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli
Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim tak terbukti dalam kenyataan. Berbagai
penelitian tentang pasangan nikah beda agama justru menunjukkan bahwa jika seorang ibu
beragama Islam, 70 % lebih agama anak mengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak
mengejutkan bagi saya. Sebab, peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk
dalam soal agama. Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari
agama si ibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arab berkata,
”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).

Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan pada alasan kesejarahan. Alkisah,
Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abu al-Ash. Pernikahan tak dilakukan
berdasarkan syariat Islam karena ia dilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah
Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap
memilih menjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketika
Nabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sang istri (Zainab
puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abu al-Ash justru bersekongkol
dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangi umat Islam. Dikisahkan bahwa Abu al-
Ash pernah ditangkap di Madinah atas keterlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia
kemudian diminta uang tebusan dan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.

Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu, Zainab hidup terpisah dengan
Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk
Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti
Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini
mengisyaratkan bahwa pernikahan Zainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam
adalah sah sehingga tak perlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini
melahirkan dua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka
Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah binti Muhammad
SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-
Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.

Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab.
Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian
terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda
Utbah, yaitu Abu Lahab. Abu Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-
lakinya menikah dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya
Abu Lahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akan tetap
berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islam seperti yang dialami
Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.

Sumber : http://islamlib.com/?site=1&aid=1743&cat=content&cid=11&title=hukum-nikah-
beda-agama

Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Islam

Pernikahan merupakan salah satu jenis ibadah


dalam Islam. Setiap manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani rohani pasti membutuhkan
teman hidup. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, yang dapat mencintai
dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang diajak bekerja sama demi
mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.

Menurut bahasa, nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah, nikah adalah melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan serta menghalalkan hubungan tubuh antara keduanya atas dasar sukarela dan
persetujuan bersama demi mewujudkan keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.
Hukum Pernikahan Dalam Islam

Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh
dikerjakan dan boleh tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala, dan jika tidak
dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Namun menurut saya pribadi karena Nabiullah Muhammad
SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu sunnah berdasarkan
perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau.

Akan tetapi hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram,
tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.

 Pernikahan Yang Dihukumi Sunnah

Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin melakukan pernikahan
tersebut mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan
mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda
Rasullullah SAW :

“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka
hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat
memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia
berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)

 Pernikahan Yang Dihukumi Wajib

Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan pernikahan
tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun
meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina. Maka
wajib baginya untuk segera menikah

 Pernikahan Yang Dihukumi Makruh


Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan pernikahan
tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun meteriil dalam
menafkahi keluarganya kelak

 Pernikahan Yang Dihukumi Haram

Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang ingin melakukan pernikahan
tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut, baik menyakiti
jasmani, rohani maupun menyakiti secara materiil.

Pembagian Pernikahan Beda Agama Dalam Islam

Didalam kehidupan kita saat ini pernikahan antara dua orang yang se-agama merupakan hal yang
biasa dan memang itu yang dianjurkan dalam agama kita. Tetapi dengan mengatasnamakan
cinta, saat ini lazim (namun belum tentu diperbolehkan agama) dilakukan pernikahan beda
agama atau nikah campur. Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan secara baik di dalam agama
kita, agama Islam.

Secara umum pernikahan lintas agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim

2. Pernikahan antara pria non-muslim dengan wanita muslimah

Namun sebelum kita membahas tentang pernikahan tersebut diatas, sebaiknya kita perlu
mengetahui tentang pengertian non-muslim di dalam Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat
dibagi menjadi 2, yaitu :

 Golongan Orang Musyrik

Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech
Muhammad Ali As Shobuni, orang musyrik ialah orang-orang yang telah berani menyekutukan
ALLAH SWT dengan mahluk-NYA (penyembah patung, berhala atau semacamnya).

Beberapa contoh golongan orang musyrik antara lain Majusi yang menyembah api atau matahari,
Shabi’in, Musyrikin, dan beberapa agama di Indonesia yang menyembah patung, berhala atau
sejenisnya

 Golongan Ahli Kitab

Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali
As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama
Nabi Musa As. atau mereka yanga berpegang teguh pada Kitab Injil yaitu agama Nabi Isa As.
Atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung
dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama’.
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang tinggal di
Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah
mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya dahulu) ketika diturunkan
sudah memeluk agama Nasrani. Jadi kaum Nasrani di Indonesia, berdasarkan pendapat sebagian
Ulama’ tidak termasuk Ahli Kitab.

1. Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Wanita Non-Muslim

Didalam Islam, pernikahan antara antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu,
menurut pendapat sebagian Ulama’ diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada Firman ALLAH
SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya

“(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan
orang-orang yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dan dari
kalangan Ahli Kitab sebelum kamu ”.

Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut, yaitu :

 Jelas Nasabnya

Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyangnya adalah Ahli Kitab,
jadi seperti kesimpulan para Ulama’ di atas, sebagian besar kaum Nasrani di Indonesia bukan
merupakan golongan Ahli Kitab, seperti halnya juga kaum Tionghoa yang beragama Nasrani di
Indonesia.

 Benar-benar Berpegang Teguh Pada Kitab Taurat dan Kitab Injil

Apabila memang apabila mereka berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan atau Injil (yang
benar-benar asli) pasti mereka pada akhirnya akan masuk Islam, karena sebenarnya pada Kitab
Taurat dan Injil yang asli telah disebutkan bahwa akan datang seorang Nabi setelah Nabi Musa
As dan Nabi Isa As, yaitu Nabiullah Muhammad SAW. Dan apabila mereka mengimani akan
adanya Nabiullah Muhammad SAW, pasti mereka akan masuk Islam

 Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anak-anaknya kelak dari bahaya fitnah

Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Sahabat Thalhah, Sahabat
Hudzaifah, Sahabat Salman, Sahabat Jabir dan beberapa Sahabat lainnya, semua
memperbolehkan pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab. Sahabat Umar bin Khattab pernah
berkata

“Pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria
Ahli Kitab menikah dengan wanita muslimah”.

Bahkan Sahabat Hudzaifah dan Sahabat Thalhah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab
tetapi akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan demikian, keputusan untuk
memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’ (artinya
kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.) para Sahabat. Ulama’ besar
Ibnu Al-Mundzir mengatakan bahwa jika ada Ulama’ Salaf yang mengharamkan pernikahan
tersebut diatas, maka riwayat tersebut dinilai tidak Shahih

Demikian pula Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 per-
tanggal 9-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M (disini) tentang haramnya pernikahan
pria muslim dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Meskipun fatwa
itu diusung dengan merujuk pada beberapa dalil naqli, tetap saja menghapus kebolehan pria
muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat
5 tersebut diatas. Dan rupanya fatwa itu dikeluarkan karena didorong oleh keinsafan akan adanya
persaingan antara agama. Para Ulama’ menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai
titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim

Namun ada pula Ulama’ yang secara tegas mengharamkan pernikahan antara pria muslim
dengan wanita Ahli Kitab. Para Ulama’ ini mendasarkan pendapatnya pada Firman ALLAH Al-
Quran Surat Al-Baqarah ayat 221 yang berarti

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang muslim itu lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman . sesungguhnya budak mukmin itu lebih baik daripada
musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan ALLAH
mengajak ke surga dan ampunan dengan ijinNYA. Dan ALLAH menerangkan ayat-ayatNYA
(perintah-perintahNYA) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”

Dan juga Al-Quran Surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berarti

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. ALLAH mengetahui tentang keimanan
mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami) mereka orang-orang kafir. Mereka tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka
bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum ALLAH yang ditetapkanNYA diantara kamu,
dan ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Disamping itu, mereka juga berpegangan kepada perkataan Sahabat Abdullah bin Umar yang
berarti

“tiada kemusyrikan yang paling besar daripada wanita yang meyakini Isa bin Maryam sebagai
tuhannya”.
Dalam Kitab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah, Ibnu Abbas pernah
menyatakan, hukum pernikahan dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 dan QS. Al-Mumtahanah ayat
10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh QS. Al-Maidah ayat 5. Karenanya yang berlaku adalah
hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab

Sedangkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrikah, menurut kesepakatan para
Ulama’ tetap diharamkan, apapun alasannya, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah

2. Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah

Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim, menurut kalangan Ulama’ tetap
diharamkan, baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musyrik. Hal ini
dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan godaan
yang akan datang kepadanya. Seperti halnya wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan
sang suami yang mungkin bertentangang dengan syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat
menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung
lebih dominan

Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-
muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5, yang menyatakan bahwa ALLAH SWT hanya
memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, tidak sebaliknya.
Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka ALLAH SWT pasti akan menegaskannya di
dalam Al-Quran. Karenanya , berdasarkan mahfum al-mukhalafah, secara implisit ALLAH SWT
melarang pernikahan tersebut.

Dalam Kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu Jarir At-Tabari, menuturkan Hadits Riwayat Jabir
bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda

“Kami (kaum muslim) menikahi wanita Ahli Kitab, tetapi mereka (pria Ahli Kitab) tidak boleh
menikahi wanita kami”

Menurut Imam Ibnu Jarir At-Tabari, meskipun sanad-sanad Hadits tersebut sedikit bermasalah,
maknanya telah disepakati oleh kaum muslimin, maka ke-hujjah-annya dapat
dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam
Islam, tetapi karena saat ini sangat sulit sekali ditemui wanita Ahli Kitab yang benar-benar “Ahli
Kitab”, maka saya dapat simpulkan bahwa pernikahan beda agama yang ada saat ini tidak dapat
dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang benar-benar berpegang teguh
kepada Kitab Taurat dan atau Kitab Injil. Karena kedua Kitab suci tersebut yang ada saat ini
bukan Kitab Taurat dan Injil yang asli. Sedangkan bagi wanita muslimah yang menikah dengan
pria non-muslim, baik pria musyrik maupun pria Ahli Kitab tetap dihukumi haram

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda


“Wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya; karena keturunannya; karena
kecantikannya dan karena baik kualitas agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik kualitas
agamanya, niscaya kalian akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka bagi kaum muslimin dan muslimah, alasan pernikahan beda agama dengan alasan cinta,
kesamaan hak, kebersamaan, toleransi atau apapun alasannya tidak dapat dibenarkan.

Perlu pula ditegaskan bahwa masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab
hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi boleh dilakukan, namun bukan anjuran, apalagi
perintah. Karenanya pernikahan yang paling ideal dan yang bisa membawa kita selamat di dunia
maupun akhirat serta membawa keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warohmah adalah pernikahan dengan orang seagama yaitu Islam.

Sumber : http://myoesuf.wordpress.com/2011/02/27/hukum-pernikahan-beda-agama-dalam-
islam/

Anda mungkin juga menyukai