- Tinallik landorung bontar gotana, dos do anak dohot boru nang pe pulikpulik margana
Kata-kata bijak perihal bere :
Amak do rere anak do bere, dangka do dupang ama do tulang
Hot pe jabu i sai tong do i margulanggulang, tung sian dia pe mangalap boru bere i sai hot do i
boru ni tulang
Yang dimaksud dengan hulahula :
- Tunggane dohot simatua = lae kita dan mertua
- Tulang
- Bona Tulang = tulang dari persaudaraan ompung
- Bona ni ari = hulahula dari Bapak ompung kita ( rumit ). Pokoknya, semua hulahula yang
posisinya sudah jauh di atas, dinamai Bona ni ari.
- Tulang rorobot = tulang dari lae/isteri kita, tulang dari nantulang kita, tulang dari ompung boru
lae kita dan keturunannya. Boru dari tulang rorobot tidak bisa kita nikahi, merekalah yang
disebut dengan inang bao.
- Seluruh hulahula dongan sabutuha, menjadi hulahula kita juga ( wow )
Kata-kata bijak penuntun hubungan kita dengan hulahula :
- Sigaiton lailai do na marhulahula, artinya ; sebagaimana kalau kita ingin menentukan jenis
kelamin ayam (jantan/betina ), kita terlebih dulu menyingkap lailai-nya dengan ati-hati,
begitupula terhadap hulahula, kita harus terlebih dulu mengetahui sifat-sifat dan tabiat mereka,
supaya kita bisa berbuat hal-hal yang menyenangkan hatinya.
- Na mandanggurhon tu dolok do iba mangalehon tu hulahula, artinya ; kita akan mendapat
berkat yang melimpah dari Tuhan, kalau kita berperilaku baik terhadap hulahula.
- Hulahula i do debata na tarida
- Hulahula i do mula ni mata ni ari na binsar. Artinya, bagi orang Batak, anak dan boru adalah
matahari ( mata ni ari ). Kita menikahi puteri dari hulahula yang kelak akan memberi kita
hamoraon, hagabeon, hasangapon, yaitu putera dan puteri (hamoraon, hagabeon, hasangapon
yang hakiki bagi orang Batak bukanlah materi, tetapi keturunan,selengkapnya baca di Ruma
Gorga )
- Obuk do jambulan na nidandan baen samara, pasupasu na mardongan tangiang ni hulahula do
mambahen marsundutsundut so ada mara
- Nidurung Situma laos dapot Porapora, pasupasu ni hulahula mambahen pogos gabe mamora
Nama-nama partuturon dan bagaimana kita memanggilnya ( ini versi asli, kalau ternyata dalam
masa sekarang kita salah menggunakannya, segeralah perbaiki ) (sekali lagi, kita semua
memposisikan diri kita sebagai laki-laki )
A. Dalam keluarga satu generasi :
(1) Amang/Among : kepada bapak kandung
(2) Amangtua : kepada abang kandung bapak kita, maupun par-abangon bapak dari dongan
sabutuha, parparibanon. Namun kita bisa juga memanggil Amang saja
(3) Amanguda : kepada adik dari bapak kita, maupun par-adekon bapak dari dongan sabutuha,
parparibanon. Namun bisa juga kita cukup memanggilnya dengan sebutan Amang atau Uda
(4) Haha/Angkang : kepada abang kandung kita, dan semua par-abangon baik dari amangtua,
dari marga
(5) Anggi : kepada adik kandung kita, maupun seluruh putera amanguda, dan semua laki-laki
yang marganya lebih muda dari marga kita dalam tarombo. Untuk perempuan yang kita cintai,
kita juga bisa memanggilnya dengan sebutan ini atau bisa juga Anggia
(6) Hahadoli : atau Angkangdoli, ditujukan kepada semua laki-laki keturunan dari ompu yang
tumodohon ( mem-per-adik kan ) ompung kita
(7) Anggidoli : kepada semua laki-laki yang merupakan keturunan dari ompu yang ditinodohon
( di-per-adik kan ) ompung kita, sampai kepada tujuh generasi sebelumnya. Uniknya, dalam
acara ritual adat, panggilan ini bisa langsung digunakan ( tidak perlu memakai Hata Pantun atau
JagarJagar ni hata : tunggu artikel berikut )
(8) Ompung : kepada kakek kandung kita. Sederhananya, semua orang yang kita panggil dengan
sebutan Amang, maka bapak-bapak mereka adalah Ompung kita. Ompung juga merupakan
panggilan untuk datu/dukun, tabib/Namalo.
(9) Amang mangulahi : kepada bapak dari ompung kita. Kita memanggilnya Amang
(10) Ompung mangulahi: kepada ompung dari ompung kita
(11) Inang/Inong : kepada ibu kandung kita
(12) Inangtua : kepada isteri dari semua bapatua/amangtua
(13) Inanguda : kepada isteri dari semua bapauda/amanguda
(14) Angkangboru : kepada semua perempuan yang posisinya sama seperti angkang
(15) Anggiboru : kepada adik kandung. Kita memanggilnya dengan sebutan Inang
(16) Ompungboru : lihat ke atas
(17) Ompungboru mangulahi : lihat ke atas
(Note : sampai disini, kalau masih bingung, mari minum-minum kopi sambil merokok-merokok,
atau minum-minum jus)
B. Dalam hubungan par-hulahula on
(a) Simatua doli : kepada bapak, bapatua, dan bapauda dari isteri kita. Kita memangilnya dengan
sebutan Amang
(b) Simatua boru : kepada ibu, inangtua, dan inanguda dari isteri kita. Kita cukup memangilnya
Inang
(c) Tunggane : disebut juga Lae, yakni kepada semua ito dari isteri kita
(d) Tulang na poso : kepada putera tunggane kita, dan cukup dipangil Tulang
(e) Nantulang na poso : kepada puteri tunggane kita, cukup dipanggil Nantulang
(f) Tulang : kepada ito ibu kita
(g) Nantulang : kepada isteri tulang kita
(h) Ompung bao : kepada orangtua ibu kita, cukup dipanggil Ompung
(i) Tulang rorobot : kepada tulang ibu kita dan tulang isteri mereka, juga kepada semua hulahula
dari hulahula kita (amangoiborat na i )
(j) Bonatulang/Bonahula : kepada semua hulahula dari yang kita panggil Ompung
(k) Bona ni ari : kepada hulahula dari ompung dari semua yang kita panggil Amang, dan
generasi di atasnya
C. Dalam hubungan par-boru on
(1) Hela : kepada laki-laki yang menikahi puteri kita, juga kepada semua laki-laki yang menikahi
puteri dari abang/adik kita. Kita memanggilnya Amanghela
(2) Lae : kepada amang, amangtua, dan amanguda dari hela kita. Juga kepada laki-laki yang
menikahi ito kandung kita
(3) Ito : kepada inang, inangtua, dan inanguda dari hela kita
(4) Amangboru : kepada laki-laki ( juga abang/adik nya) yang menikahi ito bapak kita
(5) Namboru : kepada isteri amangboru kita
(6) Lae : kepada putera dari amangboru kita
(7) Ito : kepada puteri dari amangboru kita
(8) Lae : kepada bapak dari amangboru kita
(9) Ito : kepada ibu/inang dari amangboru kita
(10) Bere : kepada abang/adik juga ito dari hela kita
(11) Bere : kepada putera dan puteri dari ito kita
(12) Bere : kepada ito dari amangboru kita
Alus ni tutur tu panjouhon ni partuturan na tu ibana ( hubungan sebutan kekerabatan timbal balik
)Kalau kita laki-laki dan memanggil seseorang dengan : Orang itu akan emanggil kita:
amang,amangtua VS amanguda amang
inang, inangtua VS inanguda amang
angkang VS anggi(a)
ompungdoli (suhut = dari pihak laki-laki) VS anggi(a)
ompungboru ( suhut ) VS anggi(a)
ompungdoli ( bao = dari pihak perempuan ) VS lae
ompungboru ( bao ) VS amangbao
inang ( anggiboru ) VS amang
anggia VS angkang
anggia ( pahompu ) VS ompung
inang ( bao ) VS amang
inang ( parumaen ) VS amang
amang ( simatua ) VS amanghela
inang ( simatua ) VS amanghela
tunggane VS lae
tulang VS bere
nantulang VS bere
tulang na poso VS amangboru
nantulang na poso VS amangboru
bere VS tulang
ito VS ito
parumaen/maen VS amangboru
Berikut sedikit ulasan mengenai urut-urutan pra sampai pasca pernikahan adat Na Gok :
1. Mangarisika..
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika
pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau
(tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat
berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
2. Marhori-hori Dinding/marhusip..
Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan
kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.
3. Marhata Sinamot..
Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan
marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
4. Pudun Sauta..
Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya
(ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama
dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :
Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat
menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan
jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.
Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos
yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang
pengantin ke rumah paranak.
Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru
Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka
paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk
menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama
keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum
berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
13. Manjahea.
Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria
tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan
mata pencarian.
14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)
Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri
(rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah
berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan
tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa
makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur)
1.Upacara Adat Batak MangIrdak atau Mangganje atau Mambosuri (adat tujuh bulanan)
Upacara Adat Mangirdak adalah suatu Upacara yang diperuntukkan kepada Seorang Ibu yang
sedang Mengandung Bayi yang Usia Kandungan Bayi yang akan Lahir tersebut sudah mencapai
Tujuh Bulan.
2.Upacara Adat Batak Martutu Aek
Upacara Adat Martutu Aek adalah suatu Upacara yang diperuntukkan untuk Pemberian Nama
dari Bayi yang sudah seharusnya diberi Nama oleh Pihak Keluarga,Sayangnya Upacara ini sudah
Jarang dilakukan oleh Orang Suku Batak karena Bertentangan dengan Ajaran Agama.
3.Upacara Adat Batak Mangharoan
Upacara Adat Mangharoan adalah suatu Upacara yang dilakukan setelah Kelahiran Seorang Bayi
yang sudah Berumur Dua Minggu,untuk Menyambut Bayi tersebut ke Satu Keluarga yang Baru.
4.Upacara Adat Batak Hamatean
Upacara Adat Hamatean adalah suatu Upacara Adat Batak untuk Kematian,Upacara Adat Batak
ini disesuikan dengan Adat Batak Toba,Apakah Adat Batak yang akan dibuat untuk Kematian
Seseorang tersebut.Hal ini berhubungan dengan beberapa Jenis Upacara Adat Batak untuk
Kematian,Ada Sari Matua,Saur Matua,Maulibulung dan lain-lain.
5.Upacara Adat Batak Manulangi
Upacra Adat Manulangi adalah suatu Upacara yang diperuntukkan kepada Orang Tua yang sudah
Lanjut Usia,kegiatan Menyuapi/Menyulangi ini dilakukan oleh Anak dan Cucu dari Orang Tua
yang sudah Lanjut Usia tersebut,Makanan yang diberikan merupakan Makanan yang di Sukai
Orang Tua tersebut atau Makan Terbaik yang bisa diberikan oleh Anak dan Cucu.
6.Upacara Adat Batak Mangongkal Holi
Upacara Adat Mangongkal Holi adalah suatu Upacara Adat Panggilan Tulang Belulang Orang
Tua yang sudah Meninggal,dan Tulang dari Orang Tua tersebut dimasukkan ke dalam Tugu atau
Monumen untuk Menghormati Orang Tua yang telah Meninggal Dunia.
7.Upacara Adat Batak Marhajabuan
Upacara Adat Marhajabuan adalah suatu Upacara Adat Pernikahan sesuai dengan Adat Batak
Toba,Marhajabuan Artinya Berumah Tangga Maksud dan Tujuannya Agar setiap Masyarakat
Batak yang Berumah Tangga harus melalui sebuah Pesta Adat,Tidak boleh hanya di Baptis di
Gereja atau hanya sekedar Akad Nikah saja,Upacara Marhajabuan harus juga disertakan dalam
Kegiatan atau Acara Pernikahan tersebut.
Dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini
bersifat khusus dan otonom; diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan
kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa
peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan. Dengan demikian, tata
upacara perkawinan terdiri dari tata cara penyatuan tetap atau permanen ke dalam lingkungan
(sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal.[1]
Berdasarkan jenisnya ritus atau tata cara yang digunakan, perkawinan adat Bata Toba dibagi
menjadi 3 (tiga) tingkatan :
Kompleksitas upacara perkawinan adat Batak Toba meliputi peran subyek dan objek yang
terlibat di dalamnya. Menurut Arnold van Gennep [2], kompleksitas upacara perkawinan dapat
dijelaskan dalam 5 (lima) pokok permasalahan: dua jenis yang berbeda, garis keturunan,
keluarga, suku, dan tempat tinggal, yakni :
The collectivities in question are: the two sex groups, sometimes represented by the ushers and
bridesmaids, or by the male relatives on one hand and the female relatives on the other;
patrilineal or matrilineal descent groups; the families of each spouse in the usual sense of the
word, and sometimes families broadly speaking, including all relatives; groups such as a totem
clan, fraternity, age group, community of the faithful, occupational association, or caste to which
one or both of the young people, their mothers and fathers, or all their relatives belong; the local
group (hamlet, village, quarter of a city, plantation,etc).
Uniknya, dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, selain kedua mempelai juga dilibatkan
seluruh perangkat masyarakat. Perbedaannya, peran-peran dalam rangkaian upacara perkawinan
adat Batak Toba selalu terkait dengan tiga kedudukan utama dalam adat: dongan-sabutuha /
dongan-tubu, hulahula, dan boru.
Pertukaran Prestasi[sunting | sunting sumber]
Selain pentingnya inisiasi (masa peralihan) dan peran-peran yang terlibat, perkawinan juga
menyangkut aspek ekonomi dengan segala macam kepentingan di dalamnya, termasuk dalam hal
perencanaan pesta perkawinan yang akan dilaksanakan. Peranan dasar aspek ekonomi ini,
misalnya, tampak jelas dalam menetapkan jumlah uang, pembayaran, pengembalian
pembayaran: harga pengantin (sinamot), pembayaran para pelayanan pengantin selama upacara
perkawinan berlangsung, dan seterusnya.
Konsep pembayaran dalam perkawinan adapt mencakup pembayaran oleh pihak pengantin
laki-laki atau kerabatnya kepada ayah atau pemelihara pengantin wanita. Pembayaran ini bahkan
merupakan bagian utama dari pengesahan perkawinan menurut adat Batak Toba. Bila pertukaran
ini sudah sudah terpenuhi, maka perkawinan itu menjadi sah dan keluarga yang baru itu sudah
mandiri; dan bila sebaliknya yang terjadi, maka pengantin pria harus membaktikan diri untuk
keluarga wanita sampai tuntutan nikah ini terpenuhi (dapat dibandingkan dalam Alkitab tentang
Kisah Yakub dan Rahel dalam Kejadian 29:20). Artinya, pengesahan suatu perkawinan
mencakup seluruh rangkaian prestasi : suatu tindakan membayar apa yang dituntut adat /
tuntutan adat untuk membayar sesuatu yang berasal dari usaha atau kemampuan seseorang.
Pertimbangannya adalah jika keluarga, desa, atau suku tertentu kehilangan anggota-anggotanya
yang produktif (laki-laki atau perempuan yang akan menikah), sedikitnya haruslah memperoleh
imbalan dari pihak yang mendapatkan mereka. Dalam upacara perkawinan adapt Batak
Toba, hal ini dijelaskan dalam tindakan simbolik pembagian makanan, pakaian, perhiasan, dan
diatas semuanya itu banyak tata cara yang mencakup uang tebusan.
Tebusan-tebusan ini selalu terjadi pada waktu bersamaan dengan upacara-upacara perpisahan.
Harga mempelai wanita, menurut hukum adat, dimiliki oleh anak perempuan; dan kesepakatan
itu ditinjau dari makan bersama, saling mengunjungi di antara keluarga-keluarga, pertukaran
hadiah-hadiah yang diberikan oleh para kerabat, sahabat, dan tetangga.
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut hukum eksogami (perkawinan
di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak
Toba: orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto),
perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal,
dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan
jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki.
Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni
1. Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan
2. Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan,
kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.
Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila tondi mereka tidak bisa lagi hidup
rukun (so olo marrongkap tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini
mungkin akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah
melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta semakin kokoh.
Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat dalam diri setiap
orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak mengherankan, apabila masih ada
ketakutan untuk melanggarnya.
Hambatan untuk benar-benar mematahkan belenggu eksogami adalah rasa takut akan
meledaknya roh para leluhur. Rasa takut itu semakin meningkat oleh munculnya beberapa kasus,
yaitu pelanggaran sengaja yang dilakukan oleh beberapa pasangan terhadap larangan marsubang
(tabu) yang berakhir buruk bagi para pelakunya.
Marsumbang / Marsubang[sunting | sunting sumber]
Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang dikuasai oleh nafsukeinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto (saudara perempuan dari
anggota marga sendiri). Selain larangan marsubang, hubungan lain yang tidak diperkenenkan
adalah marpadanpadan (kumpul kebo).
Marsumbang baru dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok
tidak diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu,
maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. Ritusnya
adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau
mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku.
Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: Manuan bulu
di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi." (menanam bambu di
tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu).
Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian,
serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di
luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang
ditentukan oleh adat.
Ritusnya adalah sebagai berikut : Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan
yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi
memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. makanan yang
dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya.
Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak lakilaki) kepada parboru (pihak perempuan);
Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari
dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta.
Dalam Marpudun saut sudah diputuskan: ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan
jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan
sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara,
ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak
paranak, dan ketentuan tentang adat.
Tahapannya :
Setelah semua itu diputuskan dan disahkan oleh pihak paranak dan parboru,
maka tahap selanjutnya adalah menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka
maskawin) kepada parboru sesuai dengan yang dibicarakan. Setelah bohi ni
sinamot sampai kepada parboru, barulah diadakan makan bersama dan
padalan jambar (pembagian jambar).
Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman
ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan, berikut adalah tata geraknya:
01. Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk.
Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan diuraikan dalam Dalihan Na Tolu.
02. Mempersiapkan makanan:
1. Paranak memberikan Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo.
2. Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas)