Anda di halaman 1dari 16

SUKU BATAK

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia, berdasarkan


sensus dari Badan Pusat Satistik pada tahun 2010. Nama ini merupakan sebuah
tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim
dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi Sumatera Utara. Suku
bangsa yang dikategorikan sebagai Batak
adalah Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Toba.
Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera
Utara. Namun sering sekali orang menganggap penyebutan Batak hanya pada suku
Toba, padahal Batak tidak hanya suku Toba.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen
Katolik, dan Islam. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tradisional yakni:
tradisi Malim (penganutnya disebut Parmalim) dan juga menganut
kepercayaan animisme, walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah
semakin berkurang
Sejarah

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kapan


nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatra
Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang
berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke
wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu
muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada
artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, maka
dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara pada
zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang
bernama Barus, yang terletak di pesisir barat Sumatra Utara. Mereka berdagang
kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari
tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di
samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini
menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatra. Pada
masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai
oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur
Sumatra Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga Natal.
Hingga saat ini, teori-teori masih diperdebatkan tentang asal usul dari Bangsa
Batak. Mulai dari Pulau Formosa (Taiwan), Indochina, Mongolia, Mizoram dan
yang paling kontroversial Sepuluh Suku yang Hilang dari Israel
Identitas Batak

Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah di dirikan dan


tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun,
Pakpak di organisasi yang di namakan Jong Batak tahun 1926, tanpa membedakan
Agama dalam satu kesepahaman: Bahasa Batak kita begitu kaya akan Puisi,
Pepatah dan Pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri,
Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi jelas dalam berbagai dialek.
Kita memiliki budaya sendiri, Aksara sendiri, Seni Bangunan yang tinggi mutunya
yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita mempunyai nenek moyang
yang perkasa, Sistem marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri
kita menunjukkan adanya tata negara yang bijak, kita berhak mendirikan sebuah
persatuan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan kita dan melindungi
budaya kuno itu. 
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak
terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai
abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar
individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada
kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih
besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai
sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. Dalam
disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat
Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri
dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda,
semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan
Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah
mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah
satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain
itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak
berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga,
sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di
Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann,
berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka
Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga
Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga
menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama
marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang dari Suku
Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatra akibat
serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai
Barus.

Agama

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen dan Islam, mereka mempunyai


sistem kepercayaan dan religi terhadap Mulajadi na Bolon yang memiliki
kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata
Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:

 Tendi/tondi: adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh
karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak
seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka
orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap
(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
 Sahala: adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
 Begu: adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha.
Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, tetapi orang
Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di
dalam hati sanubari mereka.

Salam khas Batak


Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak
terkenal dengan salam Horasnya, tetapi masih ada dua salam lagi yang kurang
populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih
memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur
Matua Bulung!”

Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan


hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis
keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial
tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari
silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak
memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui
perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi
Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian
Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs
Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang
sering kali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan
corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang
berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu
filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena
merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari
adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan
dalam pelaksanaan Adat.
Mata Pencaharian Suku Batak
Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan
didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah
tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki
perseorangan.
Peternakan juga salah satu mata penvaharian suku batak antara lain perternakan
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan
sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang,
misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada kaitnya dengan
pariwisata

Falsafah dan sistem kemasyarakatan


Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem
dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan
na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek
Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat
Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah •
Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak •
Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh •
Elek Marberru

 Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati


posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua
sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat
kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
 Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki
satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti
batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena
saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak
membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada
semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada
saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
 Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga
(keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau
pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap
upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa
diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil
hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem
kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya,
semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan
Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara
kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja
dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang
berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka
dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan
Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak,
yang bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan itu. Secara khusus, darah,
jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir timur
Sumatra dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia
berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman
yang disebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber sekunder, Marco
Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat "Battas".
Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi
langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, tetapi dia bisa
menceritakan ritual tersebut.
Niccolò Da Conti (1395–1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian
besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi
perdagangan di Asia Tenggara (1414–1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia
menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: "Dalam bagian pulau,
disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka ".
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta
undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang
pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa
dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja,
dan untuk kejahatan tertentu penjahat akan dimakan hidup-hidup".. "daging
dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah
Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di
antara orang Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana
setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah.
Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan
yang telah disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang dibesar-
besarkan dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah
dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang
pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi suku-suku pesisir
yang diganggu oleh bajak laut.
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun 1840-an, dan pada tahun
1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di
mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi
paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa
kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan
aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian,
perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan jeruk nipis
harus diberikan oleh keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima
putusan masyarakat dan tidak memikirkan balas dendam.
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak
mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat
pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan
untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi.
Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik
eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki,
daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada
umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak
diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar ".
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali
mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan
tampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun
1816. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh agama pendatang dalam masyarakat
Batak.
Menurut Franz Wilhelm Junghuhn, dalam bukunya yang berjudul Die Battaländer
auf Sumatra, kemungkinan ritual kanibalisme suku Batak hanyalah kabar angin
yang ingin menakuti Belanda agar tidak berani memasuki tanah Batak.

Tarombo

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak.
Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak
kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek
moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu).
Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam
suatu klan atau marga.

Rumah Adat Suku Batak


Rumah adat Suku Batak mempunyai nama yakni Rumah Bolon. Rumah Bolon di
Sumatera Utara mempunyai enam jenis lokasi tinggal yang berbeda. Karena Suku
Batak mempunyai enam sub suku, yakni Simalungun, Batak Toba, Mandailing,
Angkola, Karo, dan Pakpak. Meskipun jenis lokasi tinggal ini berbeda-beda tetapi
perbedaan lokasi tinggal ini tidaklah banyak.
Rumah bolon memiliki karakteristik yaitu terdapat dekorasi ornamen pada unsur
tertentu. Hiasan ornamen tersebut seringkali berada di unsur dinding atas pintu.
Hiasan ini ditujukan sebagai penolak kejelekan seperti bahaya dan penyakit.
Ornamen yang terdapat pada lokasi tinggal bolon disebut dengan gorga, oleh
karena tersebut rumah bolo biasa dinamakan dengan sebutan lokasi tinggal gorga.
Gorga adalah ukiran yang seringkali bergambar binatang. Binatang tersebut ialah
cicak, ular, atau kerbau dan memiliki makna tertentu. Gorba seringkali diberi
warna hitam, putih, dan merah.
Gorga berbentuk gambar ular diandalkan oleh orang Batak bahwa ular sebagai
petanda bahwa empunya rumah bakal mendapatkan berkah yang banyak.
Gorga dengan format gambar cicak memiliki makna bahwa orang Batak dapat
hidup dimana juga mereka berada. Salah satunya ialah saat merantau diinginkan
orang Batak tidak bakal terputus tali persaudaraannya meskipun berada di wilayah
yang jauh. Di samping itu, diinginkan juga saat bertemu dengan sesama sukunya di
wilayah lain maka mesti saling mengikat persaudaran.

Sedangkan gorga yang berbentuk kerbau adalah ucapan terima kasih. Ucapan
terima kasih itu ditujukan untuk kerbau yang selalu menolong menggarap
pertanian mereka.
Dengan format rumah laksana ini diinginkan keturunan dari empunya rumah bisa
menjadi orang yang sukses.
Pada zaman kini ini, kamu akan jarang menemukan lokasi tinggal ini. Karena tidak
sedikit orang Batak yang bukan lagi menggunakan format rumah bolon. Dalam
mengerakan ladang pertanian orang Batak tidak sedikit menggunakan kerbau pada
zaman dahulu sebelum adanya mesin traktor dan yang lainnya.
Pada unsur atap lokasi tinggal bolon bentuknya lancip di depan dan belakang.
Bentuk atap ini yang menciptakan rumah bolon terlihat indah. Pada unsur depan
lokasi tinggal bolon lebih panjang diabndingkan unsur belakangnya.

Mereka sudah tidak sedikit mengalami peradaban sehingga memilih format


rumah modern dikomparasikan rumah bolon.














Pakaian Adat Suku Batak

Suku Batak mempunyai


pakaian adat yang paling
terkenal, yakni kain ulos.
Kain ulos telah dijadikan
sebagai identitas guna
Provinsi Sumatra Utara.
Kain ulos adalah kain yang
berbahan benang sutra dan
ditenun secara manual.
Pakaian ulos ini juga
dipakai dalam kehidupan
keseharian karena tidak
sedikit yang menyenangi
pakaian ini serta nyaman digunakan.
Kain ulos mempunyai beranekaragam corak dan motif yang indah. Setiap motif
yang dipunyai kain ulos mempunyai makna tertentu. Kain ulos yang ditenun
seringkali berwarna merah, hitam, emas, dan putih. Pada upacara adat atau acara
tertentu orang Batak akan memakai kain ulos ini sebagai selendang.
Suku Batak ialah suku dengan warga terbesar di Indonesia, selain tersebut
penduduknya pun tidak sedikit tersebar di semua Indonesia.
Hal ini disebabkan ada sebuah doktrin dari nenek moyang mereka supaya
keturunannya tidak jarang kali merantau ke sekian banyak tempat. Yang sangat
dikenal dari Batak ialah salah satu sub sukunya yakni Batak Toba.
DESKRIPSI TENTANG SUKU BATAK

TUGAS MATA PELAJARAN P K N

DISUSUN OLEH : SYABHYL. A. MARDJUN

KELAS : IXC

Anda mungkin juga menyukai