Suku Asmat adalah salah satu dari ratusan suku yang ada di Papua. Etnis ini
merupakan salah suku Papua yang paling dikenal di nusantara. Ada kemungkinan
karena populasi kelompok masyarakat Asmat berjumlah paling banyak
dibandingkan suku lain di Papua.
Karena jumlahnya yang cukup banyak, Suku Asmat tidak tinggal di satu tempat.
Melainkan tersebar di berbagai wilayah di Papua, meliputi daerah pesisir hingga
pedalaman rimba Papua.
Satu yang membuat suku-suku di Papua Salah unik dan mengundang rasa ingin
tahu adalah banyak dari mereka masih sangat memegang adat istiadat warisan
leluhur. Begitu pula dengan Suku Asmat, suku ini dikenal karena keterampilannya,
terutama dalam membuat ukiran kayu tradisional khas Papua.
Motif lain yang juga sering digunakan adalah perahu yang disebut dengan
wuramon. Suku Asmat percaya bahwa perahu dalam ukiran kayu mereka
merupakan simbol perahu arwah yang akan membawa nenek moyang mereka pada
alam kematian.
Sekali lagi, tema ini masih berhubungan dengan nenek moyang. Hal ini tidak
mengherankan, mengingat kesenian ukiran kayu merupakan perwujudan orang-
orang Asmat untuk mengenang arwah para leluhur yang mereka cintai dan junjung
tinggi.
Sebagai contoh, batu yang biasa kita temukan di jalanan dan dianggap biasa, bagi
Suku Asmat batu tersebut dapat menjadi benda yang berharga dan bahkan bisa
dijadikan mas kawin. Sebab di daerah tempat tinggal mereka tinggal yang berupa
rawa-rawa, batu sulit ditemukan.
Bagi mereka batu sangat banyak manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Dengan
batu tersebut, orang Asmat bisa membuatnya menjadi palu, kapak, dan peralatan
lain untuk bertahan hidup.
Tidak hanya memiliki curah hujan tinggi, di wilayah pesisir juga terjadi pasang
surut air laut yang selalu memasuki wilayah tempat tinggal Suku Asmat. Oleh
karena itu, permukaan tanah di tempat tinggal mereka sangat basah dan berlumpur.
Tanahnya berwarna coklat dengan kondisi sangat lembek dan tertutup oleh jaring
laba-laba sungai.
Sebenarnya Suku Asmat telah membuat jalan dengan cara meletakkan papan kayu
di atas tanah yang lembek tersebut, namun karena curah hujan dan air laut yang
selalu datang setiap hari menjadikan akses jalan menjadi cukup sulit dilewati
kendaraan bermotor. Bahkan saat berjalan kaki, maka kita harus berhati-hati agar
tidak terpeleset.
Suku Asmat yang tinggal di daerah pesisir umumnya mencari makanan dengan
cara menagkap ikan dan udang atau berburu hewan di hutan. Mereka juga meramu
sagu sebagai makanan pokok, seperti halnya kebanyakan orang Indonesia yang
sehari-harinya menanak nasi
Sementara itu, Suku Asmat yang tinggal di pedalaman sehari-harinya berburu di
hutan. Mereka menangkap berbagai macam hewan, misalnya burung kasuari, babi
hutan, ular, dan lain-lain. Sama dengan mereka yang di pesisir, Suku Asmat di
pedalaman juga meramu sagu untuk makanan pokok.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Suku Asmat memanfaatkan apa yang ada
di sekitar mereka. Hal tersebut bisa dilihat dari kebiasaan menangkap ikan atau
berburu binatang hutan. Di samping kedua hal tersebut, Suku Asmat juga
melakukan kegiatan berkebun. Metode yang mereka gunakan untuk menangkap
ikan, berburu, dan berkebun masih tradisional dan sederhana.
Bahkan pepohonan di sekitar tempat tinggal mereka dianggap sebagai gambaran
diri. Akar pohon diamggap sebagai simbol kaki mereka, batang pohon adalah
tangan, dan buah adalah kepala. Pola hidup ini patut dicontoh bahkan oleh
masyarakat modern agar kelestarian alam lebih terjaga.
Hingga kini, kelompok masyarakat Asmat masih memegang erat adat istiadat yang
diwariskan leluhur mereka. Hukum adat tersebut selalu diterapkan dalam
kehidupan mereka sehari-hari, diantaranya adalah:
1. Tradisi Saat Hamil
Saat wanita Asmat sedang hamil, mereka akan sangat dijaga oleh keluarganya.
Wanita hamil akan diperlakukan dengan lebih baik hingga persalinan bisa
dilakukan dengan lancar dan bayi lahir sehat dengan selamat.
2. Proses Kelahiran
Setelah bayi lahir, maka akan diadakan upacara selamatan dengan pemotongan tali
pusar dengan bantuan sembilu yang terbuat dari bambu yang diruncingkan. Bayi
akan disusui oleh ibunya hingga usia 2 sampai 3 tahun.
3. Proses Pernikahan
Pernikahan Suku Asmat hanya bisa dilakukan saat seseorang telah berusia 17 tahun
atau lebih. Pernikahan juga dilakukan setelah mendapat persetujuan dari kedua
belah pihak. Ada pula kebiasaan menguji keberanian para pria dengan cara
membeli wanita dengan menggunakan piring antik.
2. Upacara Mbismbu
Mbis merupakan ukiran patung tonggak nenek moyang atau kerabat yang telah
meninggal. Upacara adat Asmat ini bermakna agar mereka selalu ingat kepada
kerabat yang telah mati. Jika kematian tersebut karena dibunuh, maka mereka akan
membalaskan dendam dengan membunuhnya juga.
3. Upacara Tsyimbu
Tsyimbu adalah uparaca pembuatan dan pengukuhan rumah lesung atau perahu
yang diadakan 5 tahun sekali. Perahu ini akan diwarnai dengan warna merah dan
putih secara berseling di bagian luar dan berwarna putih di bagian dalam. Selain
itu, perahu juga akan diukir dengan gambar keluarga yang telah meninggal, serta
gambar binatang dan sebagainya.
Perahu tersebut juga akan dihias dengan sagu. Namun sebelumnya, keluarga besar
akan berkumpul di rumah kepala suhu atau adat untuk melakukan pertunjukkan
nyanyian dan tarian diiringi tifa.
Para pendayung tersebut menggunakan hiasan cat berwarna emrah putih dengan
aksesori bulu-bulu burung. Upacara adat ini sangat ramai dengan sorak sora anak-
anak dan wanita. Akan tetapi, ada pula yang menangis karena mengenang kerabat
mereka yang meninggal.
Tradisi zaman dahulu menggunakan perahu-perahu tersebut untuk melakukan
provokasi terhadap musuh agar berperang. Namun seiring perkembangan zaman,
fungsinya berubah menjadi pengangkut makanan.
4. Upacara Yentpokmbu
Suku Asmat memberi nama rumah bujang sesuai marga pemiliknya. Rumah
bujang adalah bangunan yang bisa digunakan untuk kegiatan religius maupun non
religius. Selain itu, rumah ini juga difungsikan untuk berkumpul keluarga. Namun
dalam kondisi tertentu, contohnya saat penyerangan maka wanita dan anak-anak
tidak diperbolehkan masuk.
Rumah Adat Suku Asmat
Orang-orang Asmat tersebar di daerah pedalaman hingga pesisir pantai. Mereka
tinggal di rumah tradisional bernama Jeu. Rumah Jeu berukuran sekitar 25 meter.
Selain itu, beberapa penduduk Asmat lain juga tinggal di rumah yang dibangun
diatas pohon.
Namun seiring modernisasi, tarian ini digunakan untuk menyambut tamu yang
akan datang. Tarian Tobe dilakukan dengan nyanyian yang mengobarkan semangat
serta tabuhan tifa. Para penari tersebut akan mengenakan manik-manik dada, rok
dari akar bahar, serta daun-daun yang diselipkan di tubuh mereka. Penggunaan
bahan alam tersebut sebagai simbol jika suku Asmat memiliki hubungan erat
dengan alam.
Bahasa Asmat
Masyarakat Asmat menuturkan bahasa yang termasuk dalam kelompok Language
Of The Southern Division, yaitu bahasa yang digolongkan oleh ahli linguistik
sebagai bahasa bagian selatan Papua. Penggolongan bahasa tersebut dipelajari oleh
C. L. Voorhoeve pada tahun 1965 dan masuk dalam kelompok bahasa Papua Non
Melanesia. Bahasa asmat digolongkan berdasarkan wilayah tinggalnya, yaitu
pantai, hilir dan hulu sungai.
DESKRIPSI TENTANG SUKU ASMAT