Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TUGAS PPKn

“SUKU ASMAT”

Disusun oleh:

1.Reza

2.Devi

3.Ilyas

4.Adit

SMK BROADCAST AL IANAH

KELAS X

2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah
tentang SUKU ASMAT dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah membantu kami.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Karena keterbatasan yang kami miliki, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah
ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Cianjur, 31 Januari 2022

KAMI SEKELOMPOK
BAB I

PENDAHULUAN

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran
kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di
pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling
berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi
pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada
di antara Sungai Sinesty dan Sungai Nin serta Suku Simai.
BAB II

PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN SUKU ASMAT

Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku yang ada di Papua, Indonesia. Suku Asmat
dikenal dengan hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen /
motif yang sering kali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan
patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek
moyang dari suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu,
sering kali juga ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon,
yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang
mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih
merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk
mengenang arwah para leluhurnya.

B.KONDISI ALAM

Wilayah yang ditempati Suku Asmat adalah dataran coklat lembek yang tertutup oleh
jaring laba-laba sungai. Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten
sendiri dengan nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap
hari hujan turun dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut
laut masuk kewilayah ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat
lembek dan berlumpur.Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah
yang lembek.Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini.Orang yang
berjalan harus berhati-hati agar tidak terpeleset,terutama saat hujan.

C.CIRI FISIK

Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan
berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita
sekitar 162 cm dan tinggi badan laki-laki mencapai 172 cm.

D.RUMAH ADAT

Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai


sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat
Pedalaman. Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal
di atas pohon.
E.AGAMA

Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu ajaran


dan praktik keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung.
Bagi Suku Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini
diadakan,dapat dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal
Muller,Mengenal Papua,2008,hal.31)

F.SUMBER ALAM DAN POTENSI ALAM

Selain ikan,cucut,kepiting,udang,teripang,ikan penyu,cumi-cumi,dan hewan lainnya yang


melimpah ruah.Daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam yang amat luar
biasa,seperti: rotan,kayu,gahar,kemiri,kulit masohi,kulit lawang,damar,dan kemenyan

G.UPACA ADAT
Upacara suku Asmat yaitu

 Ritual hari Kematian


Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal.
Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh,
maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena
padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan
mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke
alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan dukacita yang amat
mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua
atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau
tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk
korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri,
direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang
berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan
sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka,
sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di
desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit
sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-
usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit
tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah
seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit
dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa
si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan
segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di
lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua
lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-
halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-
orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai
berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya.
Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan
menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi
orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu),
yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang
belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala
diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal.
Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih
tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk
patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan
meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat
sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju
peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah
dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur
tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan
pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya
dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah
itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.

 Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung


Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses
pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah
pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu
telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk
menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus
diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-
bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu
diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak
dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya.
Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu.
Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang
berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan
berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna
merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah
meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias
dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu.
Para pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah
orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil
mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah
masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung
menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum
anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan
suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah
meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan
pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh
dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap
berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan
makanan.

 Upacara Bis
Upacara Bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat
sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (Bis) apabila ada permintaan
dalam suatu keluarga. Dulu, upacara Bis ini diadakan untuk memperingati anggota
keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan
membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leluhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang
lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan
selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki
rumah tersebut. Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-
menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat
hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan.
Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan
pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu
ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti
hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka
upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil
pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini
disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat
perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang
satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis.
Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini
diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu,
keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah
dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu
berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang
ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian
ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.

 Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)


Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang
(je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini
dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang
bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, tetapi apabila ada suatu
penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-
anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah
bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang
juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan
penabuhan tifa.

Seorang dari suku Asmat tengah membuat ukiran kayu

Tengkorak nenek moyang Asmat


DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

BAB II Pembahasan

2.1 Pengertian Suku Asmat

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan

Daftar Pustaka

1.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN :

 Dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat, melalui berbagai proses, yaitu :
1.  Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat
lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.

2.  Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana
dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang
dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.

3. Bahasa, di Papua ini terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang
ada. Aneka perbagai bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu
kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia digunakan secara
rasmi oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan hingga ke pedalaman (Suku Asmat).

4.Jenis tarian-tarian yang kita kenal di Suku Asmat : Tarian ular menghormati Maapuru puau, Tari
Manaweang , Tejalu Meto’e, Tarian Iyaphae Oophae , Tarian akhokoy.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat

Anda mungkin juga menyukai