Anda di halaman 1dari 15

SUKU ASMAT

Nama kelompok:

1.Muhammad teguh Prasetyo

2.Dimas Saputra

3.Royhan Agus Saputra

4.Widya Wardani

5.Muhammad Irfandi

6. Muhammad Choirul Syafi'i


Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua Selatan. Suku Asmat dikenal dengan
hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua, yaitu mereka
yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman.
Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup,
struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu suku Bisman yang berada di antara Sungai Sinesty, dan suku Simai di
Sungai Nin.

Seorang dari suku Asmat tengah membuat ukiran kayu


Perahu Lesung, alat transportasi suku Asmat.

Kondisi Alam ==
Wilayah yang ditempati Suku Asmat adalah dataran coklat lembek yang tertutup
oleh jaring laba-laba sungai. Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi
Kabupaten sendiri dengan nama Kabupaten Asmat dengan 7 [[Kecamatan]] atau
[[Distrik]]. Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3000-4000 mm/tahun.
Setiap hari juga pasang surut laut masuk kewilayah ini, sehingga tidak
mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur. Jalan
hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah yang lembek. Praktis
tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini. Orang yang berjalan harus
berhati-hati agar tidak terpeleset, terutama saat hujan.

Persebaran ==
Suku Asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai [[Laut Arafura|Laut
Arafuru]] dan [[Pegunungan Jayawijaya]], dengan medan yang lumayan berat
mengingat daerah yang ditempati adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku
Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka.
Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai [[maskawin]]. Semua itu disebabkan
karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk [[Rawa|rawa-rawa]] sehingga
sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka
untuk membuat [[kapak]], [[palu]], dan sebagainya.

Ciri Fisik ==
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas, berkulit hitam dan
berambut keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat
wanita sekitar 162 cm dan tinggi badan laki-laki mencapai 172 cm.

Mata Pencaharian ==
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku
yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. Suku Asmat
Darat, suku Citak dan suku Mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari
nafkah adalah berburu binatang hutan seperti, ular, [[kasuari]], burung, babi hutan,
dll. Mereka juga selalu meramu/menokok sagu sebagai makanan pokok. Adapun
nelayan mencari ikan dan udang untuk dimakan. Kehidupan dari ketiga suku ini
ternyata telah berubah.

Sehari-hari orang Asmat bekerja di lingkungan sekitarnya, terutama untuk mencari


makan, dengan cara berburu maupun berkebun, dengan menggunakan metode
yang cukup tradisional dan masih sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti
masakan kita. Masakan istimewa bagi mereka adalah [[ulat sagu]]. Namun
kehidupan sehari-sehari mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang
hasil buruan.

Dalam kehidupan suku Asmat, “batu” yang biasa kita lihat di jalanan ternyata
sangat berharga. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai maskawin. Semua
itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membentuk rawa-rawa
sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang berguna bagi mereka
untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.
=== Makanan Pokok ===
Makanan pokok orang Asmat adalah sagu. Hampir setiap hari mereka makan sagu
yang dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api. Kegemaran lain
adalah makan ulat sagu yang hidup di batang pohon sagu, biasanya ulat sagu
dibungkus dengan daun nipah, ditaburi [[sagu]], dan dibakar dalam bara api.
Selain itu, sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap.
Namun yang memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih. Air tanah sulit
didapat karena wilayah mereka merupakan tanah berawa. Mereka terpaksa harus
menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk kebutuhan sehari-
hari.

Pola Hidup ==
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku Asmat adalah
mereka merasa dirinya sebagai bagian dari alam. Oleh karena itu, mereka sangat
menghormati dan menjaga alam sekitar. Bahkan, pohon di sekitar tempat hidup
mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan
tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka.
Cara Merias Diri ==
Suku Asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri. Mereka hanya
membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. Untuk
menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah
dihaluskan. Sedangkan warna hitam berasal dari arang kayu yang dihaluskan. Cara
menggunakannya cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut
dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunakan untuk mewarnai tubuh.

Adat Istiadat ==
Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya
para Misionaris pembawa ajaran baru, mereka mulai mengenal agama lain selain
agama nenek moyang. Kini, masyarakat suku Asmat telah menganut berbagai
macam agama, seperti [[Protestanisme|Protestan]], [[Katolik]] dan [[Islam]].
Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya,
masyarakat suku Asmat pun melalui berbagai proses, yaitu:
* Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan
baik agar dapat lahir secara selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.
* Kelahiran, tidak lama setelah jabang bayi lahir, dilaksanakan upacara selamatan
secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan
sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI
sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
* Pernikahan, proses ini berlaku bagi pria maupun wanita yang telah berusia 17
tahun, dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan
maskawinnya berupa piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan
kapal perahu Johnson, apabila ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu
Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak
pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal
dalam satu atap.
* Kematian, apabila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya
disimpan dalam bentuk [[mumi]] dan dipajang di depan joglo suku ini, sedangkan
masyarakat umum jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan
nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota
keluarga yang ditinggalkan.

Adat Istiadat ==
Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya
para Misionaris pembawa ajaran baru, mereka mulai mengenal agama lain selain
agama nenek moyang. Kini, masyarakat suku Asmat telah menganut berbagai
macam agama, seperti [[Protestanisme|Protestan]], [[Katolik]] dan [[Islam]].
Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya,
masyarakat suku Asmat pun melalui berbagai proses, yaitu:
* Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan
baik agar dapat lahir secara selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.
* Kelahiran, tidak lama setelah jabang bayi lahir, dilaksanakan upacara selamatan
secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan
sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI
sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
* Pernikahan, proses ini berlaku bagi pria maupun wanita yang telah berusia 17
tahun, dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan
maskawinnya berupa piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan
kapal perahu Johnson, apabila ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu
Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak
pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal
dalam satu atap.
* Kematian, apabila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya
disimpan dalam bentuk [[mumi]] dan dipajang di depan joglo suku ini, sedangkan
masyarakat umum jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan
nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota
keluarga yang ditinggalkan.

Rumah Adat
Rumah tradisional suku Asmat adalah ''Jeu'' dengan panjang sampai 25 meter.
Sampai sekarang masih dijumpai rumah tradisional ini jika kita berkunjung ke
Asmat pedalaman. Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun
rumah di atas pohon.

Agama ==
Masyarakat suku Asmat beragama Katolik, Protestan, dan Animisme yakni suatu
ajaran dan praktik keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati
atau patung. Bagi suku Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual
mereka. Setiap ritual ini diadakan, dapat dipastikan, banyak sekali ulat yang
dipergunakan.
(Kal Muller, Mengenal Papua, 2008, hal.31)
Upacara Adat ==
[[Berkas:Ancestor skull, Southwest Coast, Asmat people, 20th century, skull, beads,
feathers, fiber - De Young Museum - DSC01202.JPG|jmpl|Tengkorak nenek
moyang Asmat.]]

=== Ritual hari Kematian ===


Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak
mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir
hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap
hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh
bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa
mendatangkan dukacita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.

Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu
tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan
magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan
dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka
membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano,
tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an,
para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap
sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan
membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk
dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si
sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada
usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga
terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan
´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah
dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah.
Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-
jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk si sakit dan keluar
rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.
Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua
lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-
halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian.
Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari
sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis
rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya
juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar
tidak menarik bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu),
yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang
belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak
kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang
meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal
tersebut (''bi'') masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu
diwujudkan dalam bentuk patung ''mbis'', yaitu patung kayu yang tingginya 5-8
meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang
dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai
dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur
jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah
laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur
dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman
umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-
semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat
menemukan kuburannya.

=== Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung ===


Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam
proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan.
Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua
ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara
itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah
dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu semua
adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu.
Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke
air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.

Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada


kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya
menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh
seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu
itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar
berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk
keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang
lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan,
semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru bersama
dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling
berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi
-nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk
mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri
dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak
dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana.
Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.

Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu


penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba
menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing
suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih
terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.

=== Upacara ''Bis'' ===


Upacara B''is'' merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku
Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (''Bis'') apabila ada
permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara Bis ini diadakan untuk
memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus
segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leluhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan
kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang
(bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak
diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri
yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan
persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan.
Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita
dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada
waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau
pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak
ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung
atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut
kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang
belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara
sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal.
Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di
puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai
didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun
dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan
bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar
roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka
juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan
kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah
sagu hingga rusak.

=== Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (''yentpokmbu'') ===


Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah
bujang (''je''). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat.
Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.

Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang
bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, tetapi apabila ada suatu
penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan
anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru,
yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti
oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.

Anda mungkin juga menyukai