Anda di halaman 1dari 12

Pengertian Suku Asmat

Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku terbesar dan paling terkenal di antara sekian banyak
suku yang ada di Papua, Irian Jaya, Indonesia. Salah satu hal yang membuat suku asmat cukup
dikenal adalah hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen / motif yang
seringkali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan
oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang biasa
disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, seringkali juga ditemui ornamen / motif lain
yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah
yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku asmat, seni
ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan ritual untuk
mengenang arwah para leluhurnya.

Kondisi Alam
Wilayah yang mereka tinggali sangat unik.Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-
laba sungai.Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan
nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap hari hujan turun dengan
curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut masuk kewilayah
ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur.Jalan
hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk diatas tanah yang lembek.Praktis tidak semua
kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini.Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak
terpeleset,terutama saat hujan.

Pertentangan
Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara
yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya
dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan
bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya
dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Namun hal ini sudah jarang terjadi bahkan
hilang resmi dari ingatan.

Persebaran
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan pegunungan
jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan
belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat
berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu
disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit
menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan
sebagainya.
Kampung Asmat
Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung
punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara
adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang
mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di
Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

Ciri Fisik
Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan berambut
keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162 cm dan
tinggi badan laki-laki mencapai 172 cm.

Mata Pencaharian
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya
di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku
mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan
seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu
sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari
ketiga suku ini ternyata telah berubah.

Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari makan, dengan
cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan metode yang cukup
tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa
bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau
daging binatang hasil buruan.

Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga
bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan
karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan
batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.

Makanan Pokok

Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat
jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang
hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah,ditaburi sagu,dan
dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun yang
memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah mereka
merupakan tanah berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari.
Pola Hidup
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat,mereka merasa dirinya
adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam
sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya.
Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan
kaki mereka

Cara Merias Diri


Suku asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. mereka hanya
membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih
mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka
hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan
mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai
tubuh.

Ada istiadat suku asmat


Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya para Misionaris
pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain agam nenek-moyang.
Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan,
Khatolik bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses
kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses, yaitu :

 Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik
agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
 Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara
sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang
terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau
3 tahun.
 Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia
17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya
piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila
ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib
melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya
walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
 Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan
dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum,
jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat
dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

Unik
Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di
ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang.
Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini
hingga berumur 5 tahun.

Rumah Adat
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai sekarang
masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat Pedalaman.Bahkan masih
ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal diatas pohon.

Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu ajaran dan
praktik keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung. Bagi Suku
Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat
dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal Muller,Mengenal
Papua,2008,hal.31)

Suku Dani
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dani adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang terdapat atau bermukim atau
mendiami wilayah Pegunungan Tengah, Papua, Indonesia dan mendiami keseluruhan Kabupaten
Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya.

Bahasa Suku Dani


Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu:

 Sub keluarga Wano di Bokondini


 Sub keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar
Dugawa.
 Sub keluarga Nggalik & ndash
Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa Papua tengah (secara umum).

Lokasi
Letak Geografis

Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20 sampai 50.20′ Lintang Selatan serta
1370.19′ sampai 141 bujur timur. Batas-batas Daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai
berikut : sebelah utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, barat
dengan Kabupaten Paniai, selatan dengan Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan
negara Papua Nugini.

Topografi Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah
yang luas. Di antara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu tertutup salju,
misalnya Puncak Trikora (4750 m), Puncak Yamin (4595 m), dan Puncak Mandala (4760 m).
Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat di daerah pegunungan
sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan lumpur, tanah liat dan
lempung.

Klimatologis

Suku Dani menempati daerah yang beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak
ketinggian dari permukaan laut, temperatur udara bervariasi antara 80-200 derajat Celcius, suhu
rata-rata 17,50 derajat Celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun, tingkat kelembaban diatas
80 %, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan
terendah 2,5 knot.

Kepercayaan
Dasar religi masyarakat Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga
diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep kepercayaan/keagamaan
yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara
patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain :

 kekuatan menjaga kebun


 kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala
 kekuatan menyuburkan tanah Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani
membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka
Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta
untuk mengawali dan mengakhiri perang.

Sistem Kekerabatan
Masyarakat Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana bapak, ibu, dan anak tinggal
dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai
suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam
masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili.

Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu kelompok kekerabatan, paroh masyarakat,
dan kelompok teritorial.

 Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas.
Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama menghuni suatu
kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).
 Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen
kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)
 Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa
Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang
patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).

Pernikahan
Pernikahan orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu –
satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 & ndash; 4 slimo yang
dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang
suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan.
Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan
kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety /
dengan orang di luar Moety).

Kesenian
Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara membangun tempat kediaman, seperti
disebutkan di atas dalam satu silimo ada beberapa bangunan, seperti : Honai, Ebeai, dan Wamai.

Selain membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan khas, anyaman
kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang Dani juga memiliki berbagai peralatan
yang terbuat dari bata, peralatan tersebut antara lain : Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan
Panah sege.

Pendidikan
Sebagaimana suku – suku pedalaman Papua, seperti halnya suku Dani, umumnya tingkat
pendidikan (formal) rendah dan kesadaran untuk menimba ilmunya juga masih kurang. Namun,
sejak masa reformasi beberapa belas tahun silam suku Dani sudah banyak yang menuntut ilmu
ke luar daerahnya. Salah satunya adalah Meri Tabuni. Sebagian mereka belum bisa membaca.
Politik dan Kemasyarakatan yang Bersahaja
Masyarakat Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan
masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

 Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong
royong
 Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh
seorang penata adat atau kepala suku
 Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan
keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.

Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang memimpin desa
adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain dan
memegang bidang sendiri & ndash; sendiri, mereka adalah : Ap. Menteg, Ap. Horeg, dan Ap
Ubaik Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam
masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti kuat,
pandai dan terhormat.

Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih mampu mengatur
urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan tersebut antara lain
pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran.

Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain.
Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah juga
menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani :
Pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan fisik
dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang.

Perekonomian
Sistem Ekonomi

Sistem ekonomi nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan
manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.

Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat praagraris yaitu baru mulai
menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas. Inovasi yang berkesinambungan dan
kontak budaya menyebabkan pola penanaman yang sangat sederhana tadi berkembang menjadi
suatu sistem perkebunan ubijalar, seperti sekarang.

Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam dan beternak babi. Umbi
manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk dibudidayakan, artinya mata
pencaharian umumnya mereka adalah berkebun. Tanaman-tanaman mereka yang lain adalah
pisang, tebu, dan tembakau.

Kebun-kebun milik suku Dani ada tiga jenis, yaitu:

 Kebun-kebun di daerah rendah dan datar yang diusahakan secara menetap


 Kebun-kebun di lereng gunung
 Kebun-kebun yang berada di antara dua uma

Kebun-kebun tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kelompok kerabat.
Batas-batas hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini adalah sungai, gunung, atau jurang. Dalam
mengerjakan kebun, masyarakat suku Dani masih menggunakan peralatan sederhana seperti
tongkat kayu berbentuk linggis dan kapak batu.

Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi. Babi dipelihara dalam
kandang yang bernama wamai (wam = babi; ai = rumah). Kandang babi berupa bangunan
berbentuk empat persegi panjang yang bentuknya hampir sama dengan hunu. Bagian dalam
kandang ini terdiri dari petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi bilah-
bilah papan. Bagian atas kandang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kayu bakar dan alat-
alat berkebun.

Bagi suku Dani, babi berguna untuk:

1. dimakan dagingnya
2. darahnya dipakai dalam upacara magis
3. tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan
4. tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi
5. sebagai alat pertukaran/barter
6. menciptakan perdamaian bila ada perselisihan

Suku Dani melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di sekitarnya.
Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak, dan hasil hutan seperti
kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.

Rumah Adat
Honai, rumah adat suku Dani ukurannya tergolong mungil, bentuknya bundar, berdinding kayu
dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang. Rumah jenis ini
namanya Ebe'ai (Honai Perempuan).

Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai dihuni oleh
laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan. Komplek Honai ini
tersebar hampir di seluruh pelosok Lembah Baliem yang luasnya 1.200 km2. Baik itu dekat jalan
besar (dan satu-satunya yang membelah lembah itu), hingga di puncak-puncak bukit, di
kedalaman lembah, juga di bawah naungan tebing raksasa.
Rumah bundar itu begitu mungil sehinggi kita tak bisa berdiri di dalamnya. Jarak dari permukaan
rumah sampai langit-langit hanya sekitar 1 meter. Di dalamnya ada 1 perapian yang terletak
persis di tengah. Tak ada perabotan seperti kasur, lemari, ataupun cermin. Begitu sederhana
namun bersahaja.

Atap jerami dan dinding kayu rumah Honai ternyata membawa hawa sejuk ke dalam Honai.
Kalau udara dirasa sudah terlalu dingin, seisi rumah akan dihangatkan oleh asap dari perapian.
Bagi suku Dani, asap dari kayu sudah tak aneh lagi dihisap dalam waktu lama. Selama pintu
masih terbuka (dan memang tak ada tutupnya), oksigen masih mengalir kencang.

Selain jadi tempat tinggal, Honai juga multifungsi. Ada Honai khusus untuk menyimpan umbi-
umbian dan hasil ladang, semacam lumbung untuk menyimpan padi. Ada pula yang khusus
untuk pengasapan mumi. Fungsi yang disebut terakhir itu bisa ditemukan di Desa Kerulu dan
Desa Aikima, tempat 2 mumi paling terkenal di Lembah Baliem.

Bentuk Honai

Bentuk Honai yang bulat tersebut dirancang untuk menghindari cuaca dingin ataupun karena
tiupan angin yang kencang sehingga rumah yang sederhana ini dapat bertahan bertahun-tahun
lamanya.

Atap Honai

Honai memiliki bentuk atap bulat kerucut. Bentuk atap ini berfungsi untuk melindungi seluruh
permukaan dinding agar tidak mengenai dinding ketika hujan turun.

Atap honai terbuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar yang terbuat dari kayu buah sedang
yang dibakar di tanah dan diikat menjadi satu di bagian atas sehingga membentuk dome. Empat
pohon muda juga diikat di tingkat paling atas dan vertikal membentuk persegi kecil untuk
perapian.

Penutup atap terbuat dari jerami yang diikat di luar kubah. Lapisan jerami yang tebal membentuk
atap dome, bertujuan menghangatan ruangan di malam hari. Jerami cocok digunakan untuk
daerah yang beriklim dingin. Karena jerami ringan dan lentur memudahkan suku Dani membuat
atap serta jerami mampu menyerap goncangan gempa, sehingga apabila terjadi gempa ,sangat
kecil kemungkinan rumah Honai akan roboh.

Suku Bauzi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Bauzi
Orang Baudi
Jumlah populasi
2009: kurang lebih 1.500 Jiwa sampai 2.000 Jiwa.

Kawasan dengan konsentrasi signifikan

Indonesia:

 Papua: 1.500 Jiwa

Bahasa

bahasa Bauzi

Agama

Mayoritas Kristen Protestan, namun masih banyak pula


yang menganut Animisme, Animatisme, Dinamisme dan
Totem

Kelompok etnik terdekat

Tidak Di Ketahui

Suku Bauzi atau orang Baudi merupakan satu dari sekitar 260-an suku asli yang kini mendiami
Tanah Papua. Oleh lembaga misi dan bahasa Amerika Serikat bernama Summer Institute of
Linguistics (SIL), suku ini dimasukan dalam daftar 14 suku paling terasing. Badan Pusat Statistik
(BPS) Papua pun tak ketinggalan memasukan suku Bauzi kedalam daftar 20-an suku terasing
yang telah teridentifikasi. Bagaimana tidak, luasnya hutan belantara, pegunungan, lembah, rawa
hingga sungai-sungai besar yang berkelok-kelok di sekitar kawasan Mamberamo telah membuat
suku ini nyaris tak bersentuhan langsung dengan peradaban modern. Kehidupan keseharian suku
ini masih dijalani secara tradisonal.

Daftar isi
 1 Sejarah Singkat
 2 Kehidupan
 3 Kehidupan Beragama
 4 Referensi
 5 Rujukan

Sejarah Singkat
Menurut sejarah penyebarannya, suku Bauzi berasal dari daerah Waropen utara. Tapi dalam
kurun waktu yang lama menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi dan tenggara Neao, dua daerah
yang terletak di perbukitan Van Rees Mamberamo. Panjang wilayah ini kurang lebih 80
kilometer. Suku Bauzi bisa menyebar karena memiliki kemampuan berpindah menggunakan
perahu menyusuri sungai dan berjalan kaki. Jumlah penduduknya hanya beberapa ribuan jiwa.
SIL pada tahun 1991 pernah merilis data yang memperlihatkan jumlah orang Bauzi sekitar 1.500
jiwa. Mereka menyebar di bagian utara dan tengah wilayah Mamberamo. Kini jumlah jiwa suku
Bauzi bisa dipastikan telah bertambah tiap tahun, walaupun belum ada data resmi mengenai
perkembangan mereka.

Kehidupan
Sebagai suku yang menempati kawasan terisolir, sebagian lelaki Bauzi masih mengenakan
cawat. Ini berupa selembar daun atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali
pada ujung alat kelamin. Mereka juga memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung.
Sedangkan para wanita mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di
pinggang untuk menutupi auratnya. Tapi tidak mengenakan penutup dada. Pada acara pesta adat
dan penyambutan tamu, kaum lelaki dewasa akan mengenakan hiasan di kepala dari bulu kasuari
dan mengoles tubuh dengan air sagu. Sebagian besar suku ini masih hidup pada taraf meramu,
berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah). Karena itu, mereka membuat sejumlah peralatan
seperti, panah, tombak, parang, pisau belati, dan lain-lain untuk berburu.

Mereka berburu binatang hutan seperti babi, kasuari, kus-kus dan burung. Buruan itu dimasak
dengan cara dibakar atau bakar batu. Selain itu, Suku Bauzi juga menokok sagu sebagai makanan
pokok dan menanam umbi-umbian. Namun jarang mengkonsumsi sayur-sayuran. Itulah
sebabnya pada anak-anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui dari suku ini sering mengalami
gejala kurang gizi dan animea. Meski terbatas, mereka juga memiliki pengetahuan mengenai cara
pengobatan alami dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan hutan (etno-medicine). Suku Bauzi
sejak awal hidup secara nomaden, menyesuaikan diri dengan kebutuhan makanan dan
kenyamanan suatu wilayah. Mereka membangun bifak di pinggiran sungai dan hutan agar
membantu proses perburuan, meramu atau berkebun.

Hanya saja, mereka tidak mengenal cara bercocok tanam yang baik. Dengan bantuan para
misionaris, suku ini bisa sedikit mengenal cara-cara berkebun. Pada perkampungan kecil tempat
bermukim, mereka membangun rumah-rumah gubuk berdinding kulit kayu dan beratap daun
rumbia (daun sagu) atau kulit pohon. Tempat hunian itu dibuat berbentuk rumah panggung.
Hingga kini mereka masih membangun rumah seperti itu. Karena tergolong suku terasing,
sebagian besar suku Bauzi belum bisa berbahasa Melayu (Indonesia), termasuk tidak bisa baca
tulis dan berhitung. Mereka hanya berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan bahasa
lokal.

Kehidupan Beragama
Orang Bauzi umumnya masih menganut kepercayaan suku dan adat istiadat (animisme).

Namun kini sekitar 65 persen telah memeluk Kristen sebagai dampak perjumpaan dengan para
misionaris dari Eropa, AS dan Papua. Dalam kehidupan sosial mereka tidak menganut model
kepemimpinan kolektif yang kuat sehingga bisa menjadi panutan bagi anggota komunitas yang
lain. Ketika terjadi konflik di antara mereka, akan sulit diselesaikan. Para ahli bahasa (linguist)
yang juga misionaris dari SIL dengan dibantu penterjemah lokal telah berusaha mempelajari
bahasa dan dialek suku Bauzi selama bertahun-tahun. Upaya ini berhasil dengan penerbitan
berbagai literature tentang suku ini, termasuk penerjemahan Alkitab versi Perjanjian Baru ke
dalam bahasa Bauzi oleh Dave dan Joice Briley. Dari catatan SIL, bahasa Bauzi memiliki sekitar
1350 kosakata yang terbagi dalam tiga dialek, utama, yakni dialek Gesda Dae, Neao dan
Aumenefa.

Sejak penemuan suku ini pada tahun 1980-an, mereka terus dididik oleh para misionaris asing
dan lokal yang selain bekerja mewartakan injil Kristen, juga melakukan misi pelayanan sosial.
Hasil dari pekerjaan ini melahirkan pembangunan gereja yang digunakan sebagai tempat ibadah,
sekaligus menjadi tempat pelayanan sosial bagi suku Bauzi. Pekerjaan penginjilan dan pelayanan
kepada suku ini juga dilakukan Yayasan Penginjilan dan Pelayanan Masirei (YPPM) sekitar awal
1990-an. Tugas itu kemudian dilanjutkan lagi oleh Yayasan Bethani selama beberapa tahun.
Sejak tahun 1995, Yayasan Amal Kasih juga bekerja secara khusus menangani Suku Bauzi di
Kampung Fona hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai