Anda di halaman 1dari 46

Suku Asmat

suku bangsa di Indonesia

Suku Asmat adalah sebuah suku di


Papua Selatan. Suku Asmat dikenal
dengan hasil ukiran kayunya yang unik.
Populasi suku Asmat terbagi dua, yaitu
mereka yang tinggal di pesisir pantai dan
mereka yang tinggal di bagian
pedalaman. Kedua populasi ini saling
berbeda satu sama lain dalam hal dialek,
cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Populasi pesisir pantai selanjutnya
terbagi ke dalam dua bagian, yaitu suku
Bisman yang berada di antara Sungai
Sinesty, dan suku Simai di Sungai Nin.[2]

Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran


kayu tradisional yang sangat khas.
Beberapa ornamen/motif yang sering kali
digunakan dan menjadi tema utama
dalam proses pemahatan patung yang
dilakukan oleh penduduk suku asmat
adalah mengambil tema nenek moyang
dari suku mereka, yang biasa disebut
mbis. Namun tak berhenti sampai disitu,
sering kali juga ditemui ornamen / motif
lain yang menyerupai perahu atau
wuramon, yang mereka percayai sebagai
simbol perahu arwah yang membawa
nenek moyang mereka di alam kematian.
Bagi penduduk asli
Suku Asmat
suku asmat, seni
ukir kayu lebih
merupakan sebuah
perwujudan dari
cara mereka
dalam melakukan
Seorang dari suku
ritual untuk Asmat tengah
mengenang arwah membuat ukiran
para leluhurnya. kayu

Jumlah populasi
Etimologi
-+ 70.000
Suku Asmat
Daerah dengan
adalah nama dari
populasi signifikan
sebuah suku yang
Indonesia
ada di Papua
Papua Selatan
Selatan,
Indonesia.Asmat Bahasa
adalah sebuah Bahasa Asmat,
nama yang diduga Bahasa Indonesia
berasal dari Agama
ungkapan As Akat,
• 70% Kristen
kata dalam
Katolik
Bahasa Asmat • 30% Kristen
berarti “orang yang Protestan dan
tepat”. Yang lain Islam[1]
mengatakan
bahwa nama tersebut berasal dari
Osamat, sebuah kata yang berarti
"manusia dari pohon".[3]

Kondisi Alam
Wilayah yang ditempati Suku Asmat
adalah dataran coklat lembek yang
tertutup oleh jaring laba-laba sungai.
Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini
telah menjadi Kabupaten sendiri dengan
nama Kabupaten Asmat dengan 7
Kecamatan atau Distrik. Hampir setiap
hari hujan turun dengan curah 3000-4000
mm/tahun. Setiap hari juga pasang surut
laut masuk kewilayah ini, sehingga tidak
mengherankan kalau permukaan tanah
sangat lembek dan berlumpur. Jalan
hanya dibuat dari papan kayu yang
ditumpuk di atas tanah yang lembek.
Praktis tidak semua kendaraan bermotor
bisa lewat jalan ini. Orang yang berjalan
harus berhati-hati agar tidak terpeleset,
terutama saat hujan.
Persebaran

Perahu Lesung, alat transportasi suku


Asmat.

Suku Asmat tersebar dan mendiami


wilayah disekitar pantai Laut Arafuru dan
Pegunungan Jayawijaya, dengan medan
yang lumayan berat mengingat daerah
yang ditempati adalah hutan belantara,
dalam kehidupan suku Asmat, batu yang
biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat
berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu
itu bisa dijadikan sebagai maskawin.
Semua itu disebabkan karena tempat
tinggal suku Asmat yang membetuk
rawa-rawa sehingga sangat sulit
menemukan batu-batu jalanan yang
sangat berguna bagi mereka untuk
membuat kapak, palu, dan sebagainya.

Rumah Adat
Rumah tradisional suku Asmat adalah
Jeu dengan panjang sampai 25 meter.
Sampai sekarang masih dijumpai rumah
tradisional ini jika kita berkunjung ke
Asmat pedalaman. Bahkan masih ada
juga di antara mereka yang membangun
rumah di atas pohon.

Saat ini, kira-kira 100 sampai 1000 orang


hidup di satu kampung. Setiap kampung
memiliki satu rumah Bujang dan banyak
rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai
untuk upacara adat dan upacara
keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh
dua sampai tiga keluarga, yang
mempunyai kamar mandi dan dapur
sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000
orang Asmat hidup di Indonesia.

Mata Pencaharian
Kebiasaan bertahan hidup dan mencari
makan antara suku yang satu dengan
suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-
Mitak ternyata hampir sama. Suku Asmat
Darat, suku Citak-Mitak mempunyai
kebiasaan sehari-hari dalam mencari
nafkah adalah berburu binatang hutan
seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan,
dll. Mereka juga selalu meramu/menokok
sagu sebagai makanan pokok. Adapun
nelayan mencari ikan dan udang untuk
dimakan. Kehidupan dari ketiga suku ini
ternyata telah berubah.

Sehari-hari orang Asmat bekerja di


lingkungan sekitarnya, terutama untuk
mencari makan, dengan cara berburu
maupun berkebun, dengan menggunakan
metode yang cukup tradisional dan
masih sederhana. Masakan suku Asmat
tidak seperti masakan kita. Masakan
istimewa bagi mereka adalah ulat sagu.
Namun kehidupan sehari-sehari mereka
hanya memanggang ikan atau daging
binatang hasil buruan.
Dalam kehidupan suku Asmat, “batu”
yang biasa kita lihat di jalanan ternyata
sangat berharga. Bahkan, batu-batu itu
bisa dijadikan sebagai maskawin. Semua
itu disebabkan karena tempat tinggal
suku Asmat yang membentuk rawa-rawa
sehingga sangat sulit menemukan batu-
batu jalanan yang berguna bagi mereka
untuk membuat kapak, palu, dan
sebagainya.

Makanan Pokok

Makanan pokok orang Asmat adalah


sagu. Hampir setiap hari mereka makan
sagu yang dibuat jadi bulatan-bulatan
yang dibakar dalam bara api. Kegemaran
lain adalah makan ulat sagu yang hidup
di batang pohon sagu, biasanya ulat sagu
dibungkus dengan daun nipah, ditaburi
sagu, dan dibakar dalam bara api. Selain
itu, sayuran dan ikan bakar dijadikan
pelengkap. Namun yang memprihatinkan
adalah masalah sumber air bersih. Air
tanah sulit didapat karena wilayah
mereka merupakan tanah berawa.
Mereka terpaksa harus menggunakan air
hujan dan air rawa sebagai air bersih
untuk kebutuhan sehari-hari.

Sumber dan Potensi Alam lainnya

Selain ikan, cucut, kepiting, udang,


teripang, ikan penyu, cumi-cumi, dan
hewan lainnya. Daerah Asmat juga
memiliki sumber daya alam yang amat
luar biasa, nseperti: rotan, kayu, gahar,
kemiri, kulit masohi, kulit lawang, damar,
dan kemenyan.

Cara Merias Diri


Suku Asmat memiliki cara yang sangat
sederhana untuk merias diri. Mereka
hanya membutuhkan tanah merah untuk
menghasilkan warna merah. Untuk
menghasilkan warna putih mereka
membuatnya dari kulit kerang yang sudah
dihaluskan. Sedangkan warna hitam
berasal dari arang kayu yang dihaluskan.
Cara menggunakannya cukup simpel,
hanya dengan mencampur bahan
tersebut dengan sedikit air, pewarna itu
sudah bisa digunakan untuk mewarnai
tubuh.

Adat Istiadat
Seperti masyarakat pada umumnya,
dalam menjalankan proses
kehidupannya, masyarakat suku Asmat
pun melalui berbagai proses, yaitu:

Kehamilan, selama proses ini


berlangsung, bakal generasi penerus
dijaga dengan baik agar dapat lahir
secara selamat dengan bantuan ibu
kandung atau ibu mertua.
Kelahiran, tidak lama setelah jabang
bayi lahir, dilaksanakan upacara
selamatan secara sederhana dengan
acara pemotongan tali pusar yang
menggunakan sembilu, alat yang
terbuat dari bambu yang dilanjarkan.
Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia
2 tahun atau 3 tahun.
Pernikahan, proses ini berlaku bagi pria
maupun wanita yang telah berusia 17
tahun, dilakukan oleh pihak orang tua
lelaki setelah kedua belah pihak
mencapai kesepakatan dan melalui uji
keberanian untuk membeli wanita
dengan maskawinnya berupa piring
antik yang berdasarkan pada nilai uang
kesepakatan kapal perahu Johnson,
apabila ada kekurangan dalam
penafsiran harga perahu Johnson,
maka pihak pria wajib melunasinya dan
selama masa pelunasan pihak pria
dilarang melakukan tindakan aniaya
walaupun sudah diperbolehkan tinggal
dalam satu atap.
Kematian, apabila kepala suku atau
kepala adat yang meninggal, maka
jasadnya disimpan dalam bentuk mumi
dan dipajang di depan joglo suku ini,
sedangkan masyarakat umum
jasadnya dikuburkan. Proses ini
dijalankan dengan iringan nyanyian
berbahasa Asmat dan pemotongan
ruas jari tangan dari anggota keluarga
yang ditinggalkan.
Wanita Dalam Pandangan Suku
Asmat

Simbolisasi perempuan dengan Flora &


Fauna yang berharga bagi masyarakat
Asmat (pohon/kayu, kuskus, anjing,
burung kakatua dan nuri, serta bakung)
menunjukkan bagaimana sesungguhnya
masyarakat Asmat menempatkan
perempuan yang sangat berharga bagi
mereka. Hal ini tersirat juga dalam
berbagai seni ukiran dan pahatan
mereka. Namun tersembunyi suatu
realita derita para ibu dan gadis Asmat
yang tak terdengar dari dunia luar.
Derita perempuan Asmat menjadi
pelakon tunggal dalam menghidupi
keluarga. Setiap harinya mereka harus
menyediakan makanan untuk suami dan
anak-anaknya, mulai dari mencari ikan,
udang, kepiting, dan tembelo sampai
kepada mencari pohon sagu yang tua,
menebang pohon sagu, menokok,
membawa sagu dari hutan, memasak
dan menyajikan. Setelah itu mencuci
tempat makanan atau tempat masak
termaksud mengambil air dari telaga
atau sungai yang jernih untuk keperluan
minum keluarga.

Walau begitu kebanyakan kegiatan laki-


laki Asmat sehari-harinya adalah
menikmati makanan yang disediakan
istrinya, mengisap tembakau, dan berjudi.
Kadang suami membuat rumah atau
perahu, namun dengan batuan istri. Ada
pula suami yang mau menemani istrinya
mencari kayu bakar walau tidak ikut
bekerja. Mendayung perahu, menebang
kayu, dan membawanya pulang adalah
tugas istri. Suami yang cukup berbaik hati
akan membantu membawakan kapak
istrinya.

Jika istri tidak menyiapkan permintaan


suaminya seperti sagu atau ikan, maka
istri akan menjadi korban luapan
kemarahan. Jika mereka kalah judi, maka
istri pula yang akan dijadikan objek
kekesalan. Mereka yang tinggal di Agats,
kini terbiasa pula untuk mabuk, mereka
lebih rentan untuk mengamuk, sehingga
istripun yang akan lebih banyak
menerima tindak kekerasan.

Kadang kala laki-laki Asmat mengukir,


jika mereka ingin tau atau jika hendak
menyelenggarakan pesta. Ketika laki-laki
mengukir, maka tugas perempuan akan
semakin bertambah karena harus terus
menyediakan sagu bakar dan makanan
lain yang diinginkan suami mereka agar
dapat terus bertenaga untuk mengukir.
Semakin lama laki-laki mengukir, semakin
banyak pula makanan yang harus mereka
sediakan. Hal itu berarti akan semakin
lelah perempuan Asmat, karena harus
memangur, meramah, dan mengolah
sagu, dan bahkan menjaring ikan, lebih
tragisnya lagi, jika ukiran itu dijual, maka
uangnya hanya untuk suami yang
membuatnya, perempuan Asmat tidak
menerima imbalan apapun untuk jerih
payahnya menyediakan makanan.
Padahal tanpa makanan itu, satu
ukiranpun tidak akan selesai dibuat.
(Dewi Linggasari, 2004, Yang Perkasa
Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan
Asmat. Yogyakarta: Bigraf Publishing,
bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya
IKAPI dan The Fourt Foundation. Hal. 22).
Agama
Masyarakat suku Asmat beragama
Katolik, Protestan, dan Islam.
Diperkirakan sekitar 70% orang Asmat
beragama Katolik, sedangkan sekitar
30% beragama Kristen Protestan dan
Islam.[1] Walau begitu pengaruh
Animisme dan kepercayaan roh nenek
moyang masih bisa ditemui pada
kepercayaan dan adat istiadat dan
praktik beragama suku Asmat.

Kepercayaan Dasar

Adat istiadat suku Asmat mengakui


dirinya sebagai anak dewa yang berasal
dari dunia mistik atau gaib yang
lokasinya berada di mana mentari
tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin
bila nenek moyangnya pada zaman dulu
melakukan pendaratan di bumi di daerah
pegunungan. Selain itu orang suku Asmat
juga percaya bila di wilayahnya terdapat
tiga macam roh yang masing-masing
mempunyai sifat baik, jahat dan yang
jahat namun mati. Berdasarkan mitologi
masyarakat Asmat yang berdiam di Teluk
Flamingo, dewa itu bernama Fumeripits.

Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan


tempat tinggal manusia juga diam
berbagai macam roh yang mereka bagi
dalam 3 golongan.
Yi – ow atau roh nenek moyang yang
bersifat baik terutama bagi
keturunannya.
Osbopan atau roh jahat dianggap
penghuni beberapa jenis tertentu.
Dambin – Ow atau roh jahat yang mati
konyol.

Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh


upacara-upacara. Upacara besar
menyangkut seluruh komuniti desa yang
selalu berkaitan dengan penghormatan
roh nenek moyang seperti berikut ini:

Mbismbu (pembuat tiang)


Yentpokmbu (pembuatan dan
pengukuhan rumah yew)
Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan
perahu lesung)
Yamasy pokumbu (upacara perisai)
Mbipokumbu (Upacara Topeng)

Suku ini percaya bahwa sebelum


memasuki surga, arwah orang yang
sudah meninggal akan mengganggu
manusia. Gangguan bisa berupa penyakit,
bencana, bahkan peperangan. Maka,
demi menyelamatkan manusia serta
menebus arwah, mereka yang masih
hidup membuat patung dan menggelar
pesta seperti pesta patung bis
(Bioskokombi), pesta topeng, pesta
perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.
Roh-roh dan Kekuatan Magis

Roh setan

Kehidupan orang-orang Asmat sangat


terkait erat dengan alam sekitarnya.
Mereka memiliki kepercayaan bahawa
alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin,
makhluk-makhluk halus, yang semuanya
disebut dengan setan. Setan ini
digolongkan ke dalam 2 kategori:

1. Setan yang membahayakan hidup.


Setan yang membahayakan hidup ini
dipercaya oleh orang Asmat sebagai
setan yang dapat mengancam nyawa
dan jiwa seseorang. Seperti setan
perempuan hamil yang telah meninggal
atau setan yang hidup di pohon beringin,
roh yang membawa penyakit dan
bencana (Osbopan).

2. Setan yang tidak membahayakan


hidup. Setan dalam kategori ini dianggap
oleh masyarakat Asmat sebagai setan
yang tidak membahayakan nyawa dan
jiwa seseorang, hanya saja suka
menakut-nakuti dan mengganggu saja.
Selain itu orang Asmat juga mengenal roh
yang sifatnya baik terutama bagi
keturunannya., yaitu berasal dari roh
nenek moyang yang disebut sebagai yi-
ow

Kekuatan magis dan Ilmu sihir


Orang Asmat juga percaya akan adanya
kekuatan-kekuatan magis yang
kebanyakan adalah dalam bentuk tabu.
Banyak hal -hal yang pantang dilakukan
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari,
seperti dalam hal pengumpulan bahan
makanan seperti sagu, penangkapan
ikan, dan pemburuan binatang.

Kekuatan magis ini juga dapat digunakan


untuk menemukan barang yang hilang,
barang curian ataupun menunjukkan si
pencuri barang tersebut. Ada juga yang
mempergunakan kekuatan magis ini
untuk menguasai alam dan
mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan
topan.
Mitologi
Dalam hal kepercayaan orang Asmat
yakin bahwa mereka adalah keturunan
dewa yang turun dari dunia gaib yang
berada di seberang laut di belakang ufuk,
tempat matahari terbenam tiap hari.
Menurut keyakinan orang Asmat, dewa
nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi
di suatu tempat yang jauh di pegunungan.
Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai
ia tiba di tempat yang kini didiami oleh
orang Asmat hilir, ia mengalami banyak
petualangan.

Dalam mitologi orang Asmat yang


berdiam di Teluk Flaminggo misalnya,
dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia
berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia
diserang oleh seekor buaya raksasa.
Perahu lesung yang ditumpanginya
tenggelam. Dalam perkelahian sengit
yang terjadi, ia dapat membunuh si
buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia
terbawa arus yang mendamparkannya di
tepi sungai Asewetsy, Desa Syuru
sekarang. Untung ada seekor burung
Flamingo yang merawatnya sampai ia
sembuh kembali; kemudian ia
membangun rumah yew dan mengukir
dua patung yang sangat indah serta
membuat sebuah genderang Eme, yang
sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai,
ia mulai menari terus-menerus tanpa
henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari
gerakannya itu memberi hidup pada
kedua patung yang diukirnya. Tak lama
kemudian mulailah patung-patung itu
bergerak dan menari, dan mereka
kemudian menjadi pasangan manusia
yang pertama, yaitu nenek-moyang orang
Asmat.

Upacara Adat

Tengkorak nenek moyang Asmat.


Ritual hari Kematian

Orang Asmat tidak mengenal dalam hal


mengubur mayat orang yang telah
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan
hal yang alamiah. Bila seseorang tidak
mati dibunuh, maka mereka percaya
bahwa orang tersebut mati karena suatu
sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang
baru lahir yang kemudian mati pun
dianggap hal yang biasa dan mereka
tidak terlalu sedih karena mereka
percaya bahwa roh bayi itu ingin segera
ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian
orang dewasa mendatangkan dukacita
yang amat mendalam bagi masyarakat
Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian
yang datang kecuali pada usia yang
terlalu tua atau terlalu muda, adalah
disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari
kekuatan magis atau tindakan kekerasan.
Kepercayaan mereka mengharuskan
pembalasan dendam untuk korban yang
sudah meninggal. Roh leluhur, kepada
siapa mereka membaktikan diri,
direpresentasikan dalam ukiran kayu
spektakuler di kano, tameng atau tiang
kayu yang berukir figur manusia. Sampai
pada akhir abad 20an, para pemuda
Asmat memenuhi kewajiban dan
pengabdian mereka terhadap sesama
anggota, kepada leluhur dan sekaligus
membuktikan kejantanan dengan
membawa kepala musuh mereka,
sementara bagian badannya di tawarkan
untuk dimakan anggota keluarga yang
lain di desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka


keluarga terdekat berkumpul mendekati
si sakit sambil menangis sebab mereka
percaya ajal akan menjemputnya. Tidak
ada usaha-usaha untuk mengobati atau
memberi makan kepada si sakit.
Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si
sakit akan ´membawa´ salah seorang
dari yang dicintainya untuk menemani. Di
sisi rumah dimana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan
pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si
sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang
ditinggalkan segera berebut memeluk si
sakit dan keluar rumah mengguling-
gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara
itu, orang-orang di sekitar rumah
kematian telah menutup semua lubang
dan jalan masuk (kecuali jalan masuk
utama) dengan maksud menghalang-
halangi masuknya roh-roh jahat yang
berkeliaran pada saat menjelang
kematian. Orang-orang Asmat
menunjukkan kesedihan dengan cara
menangis setiap hari sampai berbulan-
bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur
dan mencukur habis rambutnya. Yang
sudah menikah berjanji tidak akan
menikah lagi (meski nantinya juga akan
menikah lagi) dan menutupi kepala dan
wajahnya dengan topi agar tidak menarik
bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa


diletakkan di atas para (anyaman
bambu), yang telah disediakan di luar
kampung dan dibiarkan sampai busuk.
Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan
dan disipan di atas pokok-pokok kayu.
Tengkorak kepala diambil dan
dipergunakan sebagai bantal petanda
cinta kasih pada yang meninggal. Orang
Asmat percaya bahwa roh-roh orang
yang telah meninggal tersebut (bi) masih
tetap berada di dalam kampung,
terutama kalau orang itu diwujudkan
dalam bentuk patung mbis, yaitu patung
kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain
yaitu dengan meletakkan jenazah di
perahu lesung panjang dengan
perbekalan seperti sagu dan ulat sagu
untuk kemudian dilepas di sungai dan
seterusnya terbawa arus ke laut menuju
peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari


luar, orang Asmat telah mengubur
jenazah dan beberapa barang milik
pribadi yang meninggal. Umumnya,
jenazah laki-laki dikubur tanpa
menggunakan pakaian, sedangkan
jenazah wanita dikubur dengan
menggunakan pakaian. Orang Asmat juga
tidak memiliki pemakaman umum, maka
jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinngir sungai atau semak-semak tanpa
nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan
kuburannya.

Ritual Pembuatan dan Pengukuhan


Perahu Lesung

Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat


membuat perahu-perahu baru. Dalam
proses pembuatan prahu hingga selesai,
ada berapa hal yang perlu diperhatikan.
Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas
kulitnya dan diruncingkan kedua
ujungnya, batang itu telah siap untuk
diangkut ke pembuatan perahu.
Sementara itu, tempat pegangan untuk
menahan tali penarik dan tali kendali
sudah dipersiapkan. Pantangan yang
harus diperhatikan saat mengerjakan itu
semua adalah tidak boleh membuat
banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa
itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa
jika batang kayu itu diinjak sebelum
ditarik ke air, maka batang itu akan
bertambah berat sehingga tidak dapat
dipindahkan.

Untuk menarik batang kayu, si pemilik


perahu meminta bantuan kepada
kerabatnya. Sebagian kecil akan
mengemudi kayu di belakang dan
selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya
diadakan suatu upacara khusus yang
dipimpin oleh seorang tua yang
berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu
nantinya akan berjalan seimbang dan
lancar.

Perahu pun dicat dengan warna putih di


bagian dalam dan di bagian luar
berwarna merah berseling putih. Perahu
juga diberi ukiran yang berbentuk
keluarga yang telah meninggal atau
berbentuk burung dan binatang lainnya.
Setelah dicat, perahu dihias dengan daun
sagu. Sebelum dipergunakan, semua
perahu diresmikan terlebih dahulu. Para
pemilik perahu baru bersama dengan
perahu masing-masing berkumpul di
rumah orang yang paling berpengaruh di
kampung tempat diadakannya pesta
sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian
dan penabuhan tifa. Kemudian kembali
ke rumah masing-masing untuk
mempersiapkan diri dalam perlombaan
perahu. Para pendayung menghias diri
dengan cat berwarna putih dan merah
disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-
anak dan wanita bersorak-sorai
memberikan semangat dan memeriahkan
suasana. Namun, ada juga yang
menangis mengenang saudaranya yang
telah meninggal.

Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan


dalam rangka persiapan suatu
penyerangan dan pengayauan kepala.
Bila telah selesai, perahu -perahu ini
dicoba menuju tempat musuh dengan
maksud memanas -manasi mereka dan
memancing suasana musuh agar siap
berperang. Sekarang, penggunaan perahu
lebih terarahkan untuk pengangkutan
bahan makanan.
Upacara Bis

Upacara Bis merupakan salah satu


kejadian penting di dalam kehidupan
suku Asmat sebab berhubungan dengan
pengukiran patung leluhur (Bis) apabila
ada permintaan dalam suatu keluarga.
Dulu, upacara Bis ini diadakan untuk
memperingati anggota keluarga yang
telah mati terbunuh, dan kematian itu
harus segera dibalas dengan membunuh
anggota keluarga dari pihak yang
membunuh.

Untuk membuat patung leluhur atau


saudara yang telah meninggal diperlukan
kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran
patung dikerjakan di dalam rumah
panjang (bujang) dan selama pembuatan
patung berlangsung, kaum wanita tidak
diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung
bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri
yang disebut dengan papis. Tindakan ini
bermaksud untuk mempererat hubungan
persahabatan yang sangat diperlukan
pada saat tertentu, seperti peperangan.
Pemilihan pasangan terjadi pada waktu
upacara perang-perangan antara wanita
dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud


untuk mengusir roh-roh jahat dan pada
waktu ini, wanita berkesempatan untuk
memukul pria yang dibencinya atau
pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini,
karena peperangan antar clan sudah
tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di
kampung atau apabila hasil pengumpulan
bahan makanan tidak mencukupi.
Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan
roh-roh keluarga yang telah meninggal
yang belum diantar ketempat
perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah
pulau di muara sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari


anggota keluarga yang telah meninggal.
Yang satu berdiri di atas bahu yang lain
bersusun dan paling utama berada di
puncak bis. Setelah itu diberikan warna
dan diberikan hiasan-hiasan.Usai
didandani, patung bis ini diletakkan di
atas suatu panggung yang dibangun
dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga
yang ditinggalkan akan mengatakan
bahwa pembalasan dendam telah
dilaksanakan dan mereka mengharapkan
agar roh-roh yang telah meninggal itu
berangkat ke pulau Sirets dengan tenang.
Mereka juga memohon agar keluarga
yang ditinggalkan tidak diganggu dan
diberikan kesuburan. Biasanya, patung
bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan
di daerah sagu hingga rusak.
Upacara pengukuhan dan pembuatan
rumah bujang (yentpokmbu)

Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe


rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah
bujang (je). Rumah bujang inilah yang
amat penting bagi orang-orang Asmat.
Rumah bujang ini dinamakan sesuai
nama marga (keluarga) pemiliknya.

Rumah bujang merupakan pusat kegiatan


baik yang bersifat religius maupun yang
bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat
tinggal di sana, tetapi apabila ada suatu
penyerangan yang akan direncanakan
atau upacara-upacara tertentu, wanita
dan anak-anak dilarang masuk. Orang-

Anda mungkin juga menyukai