banyak kearifan dan kekayaan budaya yang terkandung dalam setiap aspek hidup
mereka. Suku yang dipercaya sebagai keturunan dewa ini merupakan salah satu yang
sangat menarik dan memiliki budaya yang cukup kuat dan mengakar turun temurun
hingga saat ini. tidak hanya itu, Asmat merupakan suku yang sangat menghargai alam dan
para pendahulu mereka. Penghormatan akan alam tidak hanya direpresentasikan dalam
kesenian misalnya ukiran, tari – tarian dan lagu, namun terwujud dalam pakaian adat dan
aksesoris tubuh.
Seluruh bahan dan desain pakaian Suku Asmat sangat terinspirasi dari alam. Dengan bahan
utama rautan daun sagu, pakaian laki –laki dibuat menyerupai burung dan binatang –
binatang lain yang melambangkan kejantanan. Sementara rok dan penutup dada untuk
perempuan menggunakan daun sagu, lambang kecantikan burung kasuari. Sumber daya alam
menjadi bahan utama dalam kebutuhan papan Suku Asmat.
Penutup dada untuk perempuan Suku Asmat. Rajutan yang berasal dari alam (sumber :
indonesiakaya.com)
Tidak hanya pakaian, aksesoris tubuh pun demikian. Hiasan untuk tubuh seperti hiasan
telinga, hidung, kalung, gelang, tas, hingga mahkota di kepala pun terinspirasi dari alam.
Bulu burung kasuari, taring babi, batang pohon sagu, kulit kerang, gigi anjing dan bulu
burung Cendrawasih menjadi bahan – bahan utama dalam masyarakat Suku Asmat
untuk menjadikan aksesoris tubuh. Bukan karena keterbatasan, bukan asal – asalan.
Pemilihan benda – benda tersebut untuk aksesoris merupakan sebuah cara bagaimana
masyarakat Asmat merepresentasikan kedekatan mereka dengan makhluk hidup lain
yang ada di sekitar mereka.
Secara lebih khusus, mahkota yang digunakan di kepala orang – orang Asmat
melambangkan penghormatan tertinggi akan alam. Kepala adalah tempat tertinggi
dari tubuh manusia, hal ini menjadi sebuah simbol bahwa masyarakat Suku Asmat
memberikan penghormatan tertinggi kepada alam sebagai pemberi kehidupan yang
menaungi mereka. Benda – benda alami yang disematkan pada mahkota menjadi simbol
akan kekuatan – kekuatan alam yang menjadi pelindung. Selain itu, khusus kepada kaum laki
– laki Suku Asmat, penggunaan mahkota melambangkan penghormatan kepada nenek
moyang dan leluhur sebagai pengaruh besar dalam kehidupan yang mereka jalani.
Hiasan telinga untuk laki - laki, digunakan ketika berburu (sumber : indonesiakaya.com)
Selain itu, gambar – gambar yang melengkapi tubuh masyarakat Suku Asmat pun tidak lepas
dari nilai filosofi. Penggunaan warna merah berasal dari campuran tanah liat dan air,
sedangkan warna putih yang didapat dari tumbukkan kerang melambangkan perjuangan
untuk mengarungi kehidupan. Masyarakat Asmat begitu lengkap dalam mengangkat
penghargaan dan penghormatan pada alam sebagai bagian terbesar dari kehidupan mereka.
Penghormatan akan alam menjadi jati diri tersendiri dari Suku Asmat. Perpaduan antara
filosofi dan nilai – nilai penghormatan kepada alam yang memberikan kehidupan pada
manusia merupakan sebuah nilai universal yang sudah sepatutnya kita pelajari dari
masyarakat Suku Asmat dengan menempatkan alam pada posisi tertinggi untuk dilindungi,
dihargai, dan dilestarikan.
Sumber :indonesiakaya.com
Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada tahun 1770 sebuah
kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh teluk di daerah Asmat. Tiba-
tiba muncul puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap
dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah,hitam, dan putih. Mereka ini
menyerang dan berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook.
Berabad-abad kemudian pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo
mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Irian jaya.
Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok bahasa yangoleh
para ahli linguistik disebut sebagai Language of the Southern Division, bahasa-bahasa
bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dandigolongkan oleh C.L
Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa Irian(Papua) Non-Melanesia
Suku Asmat adalah salah satu suku yang mendiami wilayah Papua bagian Selatan,
diapit oleh Kabupaten Merauke, Mappi, Mimika, Yahukimo dan Nduga. Populasinya
terbagi dua yaitu mereka yang hidup dipesisir pantai dan pedalaman serta memiliki
perbedaan satu sama lainnya dalam hal cara hidu, struktur social dan ritual, hal ini
dapat dilihat dari hasil karya-karya mereka dalam mengukir patung.
Kabupaten Asmat awalnya adalah bagian dari Kabupaten Merauke yang terdiri dari
kecamatan Agats, Ayam, Atsj, Sawa Erma dan Pantai Kasuari. Hingga saat ini Kabupaten
Asmat terdiri dari 10 Distrik (Agats, Atsj, Akat, Fayit, Pantai Kasuari, Sawa Erma, Suator,
Kolf Brasa, Unir Sirau dan Suru-suru).
Objek-objek wisata yang dapat meningkatkan pendapatan daerah adalah objek wisata
Budaya, Objek Wisata Alam dan Objek Wisata Taman Nasional Lorentz. Objek Wisata
Budaya yakni Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat yang tersipan benda-benda
bersejarah suku Asmat seperti Ukiran patung (Mbis, Panel, Salawaku, Perisai
Woramon/perahu adat, panah, busur, terompet, pakain roh, kapak batu, busur, dll),
Keunikan lain yang dijumpai adan rumah adat Asmat (Jeu) dikhususkan
untuk para pemuda asmat yang belum menikah. Rumah ini terdiri satu ruangan
dengan beberapa pintu, dibangun dengan berbahan kayu, atap dari daun sagu, dan
tidak menggunakan paku besi,ukurannya antara 30 – 60 meter. Jeu ini biasa digunakan
untuk pesta-pesta sacral, perang/perdamaian, tempat menceritakan dongeng para
leluhur.
Penghargaan dunia terhadap Suku Asmat adalah sebagai Situs Warisan Budaya (Site of the
World Cutural Heritage). Setiap tahun pada bulan Oktober selalu diadakan even yaitu
Festival Budaya yang diprakarsai oleh Kurator Museum Asmat, Keuskupan dan Pemda
Asmat. Kegiatan festival ini yakni Lelang Patung, Demonstrasi ukir dari para Pematung
Asmat, pagelaran masakan Khas Asmat, Pemilihan Abang dan None Asmat, Pementasan
Tarian Adat Asmat, Maneuver perahu/Lomba Perahu Asmat dan lain-lain.
Ada satu hal yang unik dari penduduk asli Suku Asmat ini: mereka merasa dirinya
merupakan bagian dari alam, dimana mereka sangat hormat dan ngejaga alam sekitar.
Bahkan pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap jadi gambaran diri. Batang
pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar
menggambarkan kaki.
image: http://www.indonesiakaya.com
Pasti Pop Patriotics udah pada tau dong, kalau Suku Asmat ini terkenal banget sama hasil
kerajinan tangannya? Yup, ukiran kayu dari Suku Asmat emang nggak perlu diraguin lagi
kualitas dan nilai seninya yang tinggi. Nah, selain hasil ukiran kayu tradisionalnya yang
terkenal, Suku Asmat juga punya pakaian tradisional yang nggak kalah khas. Lho,
bukannya kalau pakaian adat kayaknya semua suku punya? Iya sih... Tapi yang bikin
beda dan unik adalah seluruh bahan buat pakaian adat berasal dari alam. Jadi pakaian
Suku Asmat ini sekaligus representasi kedekatan mereka sama alam raya.
Nggak cuma bahan, desain pakaian adat ini pun terinspirasi dari alam. Misalnya,
pakaian laki-laki Suku Asmat dibuat menyerupai burung dan binatang lain buat
melambangkan kejantanan. Sedangkan rok dan penutup dada kaum perempuan pakai
daun sagu jadi mirip kecantikan burung kasuari.
image: https://scontent.cdninstagram.com
Kalau diliat secara umum, pakaian laki-laki dan perempuan Suku Asmat nggak terlalu beda.
Bagian kepala dipakein penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan di bagian atas
dipenuhi bulu burung kasuari. Bagian bawah dan bagian dada (untuk perempuan) berupa
rumbai-rumbai yang dibuat pakai daun sagu.
Rasanya berpakaian kurang lengkap kalau nggak pakai aksesori, ya… Nah, Suku Asmat juga
memakai alam untuk urusan satu ini. Aksesori yang biasa dijadiin pelengkap tradisional Suku
Asmat ialah aksesori telinga, hidung, kalung, gelang, dan tas. Hiasan telinga dibikin dari bulu
burung kasuari, tapi bulu yang dipakai buat telinga ukurannya lebih pendek dibanding bulu
buat penutup kepala.
image: https://ripkalamkudus.files.wordpress.com
Kalau hiasan hidung biasanya cuma dipakai sama laki-laki. Hiasan ini terbuat dari
taring babi atau batang pohon sagu. Fungsi hiasan hidung ini antara lain sebagai
simbol kejantanan dan buat nakutin musuh, lho. Sementara, aksesori kalung dan gelang
dibuat dari kulit kerang, gigi anjing, dan bulu cendrawasih.
image: http://www.anneahira.com/
Ada satu aksesori yang penting buat masyarakat Suku Asmat, yaitu esse atau tas.
Nggak cuma berfungsi sebagai wadah penyimpan ikan, kayu bakar, serta berbagai
hasil ladang, esse juga dipakai pas ada upacara-upacara besar. Orang yang
bawa esse pas dateng ke upacara adat dianggep orang yang mampu menjamin
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Suku Asmat biasanya melengkapi
penampilan mereka dengan gambar-gambar di tubuh. Gambar yang didominasi warna
merah dan putih ini konon merupakan lambang perjuangan buat terus mengarungi
kehidupan. Warna merah yang dipakai asalnya dari campuran tanah liat dan air, kalau
warna putih berasal dari tumbukan kerang.
image: http://www.anneahira.com
Seiring pengaruh modernisasi dan budaya dari luar, sebagian masyarakat Suku Asmat
mulai ninggalin pakaian tradisional mereka. Cuma masyarakat Suku Asmat yang
tinggal di pedalaman yang masih pakai pakaian tradisional tersebut.
Tidak hanya bahan, desain pakaian Suku Asmat pun terinspirasi dari alam. Pakaian laki -
laki Suku Asmat, misalnya, yang dibuat menyerupai burung dan binatang lain yang
dianggap melambangkan kejantanan. Sementara, rok dan penutup dada kaum perempuan
menggunakan daun sagu sehingga menyerupai kecantikan burung kasuari.
Secara umum, pakaian laki-laki dan perempuan Suku Asmat tidak terlalu berbeda. Pada
bagian kepala, dikenakan penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan pada sisi bagian
atasnya dipenuhi bulu burung kasuari. Bagian bawah dan bagian dada (untuk perempuan)
berupa rumbai-rumbai yang dibuat menggunakan daun sagu.
Pakaian adat tersebut belum sempurna jika tidak dilengkapi berbagai aksesori, juga
menggunakan berbagai bahan yang tersedia di alam. Aksesori yang biasa dijadikan
pelengkap pakaian tradisional Suku Asmat adalah hiasan telinga, hiasan hidung, kalung,
gelang, dan tas. Hiasan telinga terbuat dari bulu burung kasuari. Bulu burung kasuari yang
digunakan untuk hiasan telinga ukurannya lebih pendek dibanding bulu burung kasuari
yang digunakan pada penutup kepala.
Hiasan hidung biasanya hanya dikenakan oleh kaum laki-laki. Hiasan ini terbuat
dari taring babi atau bisa dibuat dari batang pohon sagu. Hiasan hidung yang
dikenakan kaum laki-laki memiliki dua fungsi: simbol kejantanan dan untuk
menakuti musuh. Sementara, aksesori kalung dan gelang dibuat dari kulit kerang,
gigi anjing, dan bulu burung cendrawasih.
Esse (sebutan masyarakat Suku Asmat untuk tas) merupakan aksesori yang penting. Selain
berfungsi sebagai wadah penyimpan ikan, kayu bakar, serta berbagai hasil ladang, esse
juga dipakai ketika diadakan upacara-upacara besar. Orang yang mengenakan esse saat
diadakan upacara adat dianggap sebagai orang yang mampu menjamin kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Suku Asmat biasanya melengkapi penampilan
mereka dengan gambar-gambar di tubuh. Gambar yang didominasi warna merah dan
putih tersebut konon merupakan lambang perjuangan untuk terus mengarungi
kehidupan. Warna merah yang digunakan berasal dari campuran tanah liat dan air,
sementara warna putih berasal dari tumbukan kerang.
Seiring pengaruh modernisasi dan budaya dari luar, sebagian masyarakat Suku Asmat
mulai meninggalkan pakaian tradisional mereka. Hanya masyarakat Suku Asmat yang
tinggal di pedalaman yang masih menggunakan pakaian tradisional
tersebut. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]
System pemerintahan
Dalam kehidupan sehari-hari, Orang Asmat berhadapan dengan dua kepemimpinan,
yaitu pemimpin formal dari unsur pemerintah dan kepala suku yang berasal dari
masyarakat. Seperti suku lainnya di Papua, kepala adat atau kepala suku memegang
peranan sangat penting dalam tata kelola kehidupan sehari-hari.
Kepala suku bisa berasal dari suku tertua, marga yang dianggap tua atau bahkan bisa
diangkat dari seorang yang dianggap berjasa, seperti berhasil memenangkan
peperangan. Jadi, setelah kepala suku meninggal, dari unsur-unsur itulah kepala suku
baru berasal.
Kehidupan Suku Asmat belum banyak terpengaruh oleh kehidupan modern. Salah satu
contohnya adalah kebiasaan berhias. Mereka mencoreng wajah dengan berbagai warna.
Warna-warna tersebut diperoleh dengan cara yang sederhana. Yakni merah, putih, dan hitam.
Untuk warna merah, didapatkan dari tanah merah yang banyak di sekitar. Warna putih dari
kulit kerang yang sebelumnya ditumbuk sampai halus. Dan, warna hitam, dari arang kayu,
yang juga ditumbuk sampai halus.
Dalam kehidupan Suku Asmat di zaman dulu, ada banyak kebiasaan yang dianggap
aneh. Salah satunya, saat mereka membunuh musuhnya. Setelah dimatikan, mayat
musuh tersebut akan dibawa pulang ke kampung. Selanjutnya, dipotong-potong, lalu
dibagi-bagi ke seluruh penduduk.
Orang-orang Asmat pandai membuat ukiran. Hebatnya, ukiran didesain tanpa sketsa
terlebih dahulu. Ukiran-ukiran tersebut memiliki makna, yaitu persembahan dan
ucapan terima kasih kepada nenek moyang. Bagi Suku Asmat, mengukir bukan
pekerjaan biasa. Mengukir adalah jalan bagi mereka untuk berhubungan dengan para
leluhur.
Suku Asmat percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dapat menyebabkan
bencana bagi yang masih hidup, menyebabkan peperangan, juga menyebarkan
penyakit. Untuk menghindari hal tersebut, mereka akan membuat patung dan
menyelenggarakan berbagai macam pesta. Di antaranya adalah Pesta Bis, Pesta Perah,
Ulat Sagu, dan Topeng.
Tradisi Suku Asmat yang tetap lestari selain seni pahat kayu adalah tradisi berperang. Meski
belakangan, tradisi ini mulai memudar.
Orang Asmat masih hidup dari alam. Mereka berburu juga bertani. Suku Asmat berada di
antara Suku Mappi, Yahukimo dan Jayawijaya. Sebelum para misionaris pembawa ajaran
agama datang ke wilayah ini, masyarakat Suku Asmat menganut Anisme. Kini,
masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan dan
Khatolik.
Dalam hal berpakaian, Orang Asmat memiliki kekhasan. Seluruh bahan untuk membuat
pakaian berasal dari alam. Tidak salah jika menganggap pakaian Suku Asmat merupakan
representasi kedekatan mereka dengan alam raya.
Tidak hanya bahan, desain pakaian Suku Asmat pun terinspirasi dari alam. Pakaian laki-laki,
misalnya, yang dibuat menyerupai burung dan binatang lain, dianggap melambangkan
kejantanan. Sementara, rok dan penutup dada kaum perempuan menggunakan daun sagu
sehingga menyerupai kecantikan burung kasuari.
Secara umum, pakaian laki-laki dan perempuan Asmat tidak terlalu berbeda. Pada bagian
kepala, dikenakan penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan pada sisi bagian atasnya
dipenuhi bulu burung kasuari. Bagian bawah dan bagian dada (untuk perempuan) berupa
rumbai-rumbai yang dibuat menggunakan daun sagu.
Pakaian adat tersebut belum sempurna jika tidak dilengkapi berbagai aksesori, juga
menggunakan berbagai bahan yang tersedia di alam. Aksesori yang biasa dijadikan pelengkap
pakaian tradisional adalah hiasan telinga, hiasan hidung, kalung, gelang, dan tas. Hiasan
telinga terbuat dari bulu burung kasuari. Biasanya lebih pendek dibanding bulu burung
kasuari yang digunakan pada penutup kepala.
Hiasan hidung hanya dikenakan oleh kaum laki-laki. Terbuat dari taring babi atau dari batang
pohon sagu. Hiasan hidung yang dikenakan pria memiliki dua fungsi: simbol kejantanan dan
untuk menakuti musuh. Sementara, aksesori kalung dan gelang dibuat dari kulit kerang, gigi
anjing, dan bulu burung cendrawasih.
Esse (sebutan masyarakat Asmat untuk tas) merupakan aksesori yang penting. Selain
berfungsi sebagai wadah penyimpan ikan, kayu bakar, serta berbagai hasil ladang, esse juga
dipakai ketika diadakan upacara-upacara besar. Orang yang mengenakan esse saat diadakan
upacara adat dianggap sebagai orang yang mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.
Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Asmat akan melengkapi penampilan mereka
dengan gambar-gambar ditubuh. Gambar yang didominasi warna merah dan putih tersebut
konon merupakan lambang perjuangan untuk terus mengarungi kehidupan.
Seiring pengaruh modernisasi dan budaya dari luar, sebagian masyarakat Suku Asmat mulai
meninggalkan pakaian tradisional mereka. Hanya masyarakat Asmat yang tinggal di
pedalaman yang masih menggunakan pakaian tradisional tersebut.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)
Kategori: Perisai
Elemen Budaya: Senjata dan Alat Perang
Provinsi: Papua
Asal Daerah: Asmat, Papua
Perisai perang dari suku Asmat. Masing-masing perisai memiliki nama, biasanya
diambil dari keluarga yang sudah meninggal dan rupa-nya diletakkan di bagian atas
perisai.
Perisai ini diturunkan ke generasi selanjutnya, dan tidak harus dengan hubungan ayah-
anak. Perisai ini juga dipercaya sebagai penjara bagi roh-roh jahat. Ukiran yang hadir
di perisai ini juga dipercaya sebagai suatu kekuatan pelindung.
vleoo_IMG00727-20130425-1522.jpg
vleoo_IMG00729-20130425-1523.jpg
Suku Asmat
Suku Asmat adalah satu suku yang mendiami wilayah Papua di Irian Jaya, di Timur
Indonesia. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan
mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain
dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman
yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai. Beberapa Suku
Asmat yang mendiami daerah yang jauh dari pesisir, membangun rumah di atas
puncak-puncak pohon, sekitar 30 meter di atas permukaan tanah. Bahkan, ada pula
yang masih hidup secara nomaden.
Baju Adat
Suku Asmat menyimpan banyak kesenian yang unik. Mereka memiliki baju adat sendiri yang
kita kenal dengan Koteka. Koteka ini terbuat dari kulit labu. Bentuknya panjang dan sempit.
Berfungsi untuk menutupi organ reproduksi kaum lelaki. Begitu juga dengan koteka untuk
perempuannya, sama-sama bertelanjang dada seperti lelakinya dan mengenakan rok yang
terbuat dari akar tanaman kering untuk menutupi organ reproduksinya.
Ragam kesenian suku Asmat yang banyak dilakukan adalah seni pahat/ ukir.Benda-benda kesenian
hasil ukiran Asmat yang menarik adalah perisai-perisai,tiang-tiang mbis (patung bis/ leluhur), dan tifa. Di
setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat
dengan kebesaran Suku Asmat. Sehingga pada masing-masing ukiran hasil karya suku Asmat
selalu mengandung pesan untuk menghargai nenek moyangnya yang disampaikan secara
tersirat lewat simbol-simbol motif dalam ukiran tersebut.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi Suku Asmat, di saat mengukir
patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yang ada di alam
lain. Hal itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow
capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang
sudah meninggal), dan Safar (surga).
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan
mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka,
demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat
patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta
perahu, dan pesta ulat-ulat sagu. Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral.
3. Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan
benda-benda lain;
Aneka warna gaya kesenian Asmat berdasarkan bentuk dan warna dapat diklasifikasikan ke dalam 4 daerah :
a) Hiasan ukiran simbolis ini juga terdapat di ujung perahu lesung, di bagian belakang perahu,
datung perahu, dinding tifa, ujung tombak, ujung panah,dll.
b) Gaya Seni Asmat Barat Laut (Northwest Asmat) Perisai pada golonganini berbentuk lonjong dengan bagian
bawah yang agak melebar dan biasanya lebih padat dari pada perisai-perisai lainnya. Bagian
kepalaterpisah dengan jelas dari bagian lainnya dan berbentuk kepala kura-kuraatau ikan.
Kadang-kadang ada gambar nenek moyang di bagian kepal,sedangkan hiasan bagian badan berbentuk
musang terbang, katak, kepala burung tanduk, ualr, dll.
c) Gaya seni Asmat Timur (Citak)Kekhususan seni pada golongan ini tampak pada bentuk hiasan perisaiyang
biasanya berukuran sangat besar, kadang-kadang sampai melebihitinggi orang Asmat yang berdiri
tegak. Bagian-bagian atasnya tidak terpisah secara jelas dari bagian badan perisai dan sering terisi
dengangaris-garis hitam atau merah yang diberi titik-titik putih.
d) Gaya seni Asmat daerah sungai BrazzaPerisai pada golongan ini hampir sama besar dan tinggi dengan
perisai pada golongan Asmat Timur. Bagian kepala juga biasanya terpisah dari bagian badannya. Walaupun
motif sikulengan sering dipakai untuk hiasan perisai, motif yang biasa digunakan adalah motif geometri,
lingkaran,spiral, siku-siku, dll.
Seni ukir suku Asmat ini amat populer hingga mancanegara. Banyak wisatawan yang
mengagumi kesenian suku Asmat ini. Suku Asmat mengerti bahwa ukiran mereka memiliki
nilai jual yang tinggi. Maka dari itu, banyak hasil ukirannya mereka jual. Biasanya kisaran
harganya dari mulai seratus tribu sampai dengan jutaan rupiah.
Suku Asmat adalah seniman sejati. Patung kayu hasil kerajinan mereka diakui dunia
internasional sebagai hasil karya seni berkelas tinggi. Darah seni ini mengalir dengan tanpa
sengaja karena dalam kehiduan sehari-hari mereka menggunakan peralatan yang
berhubungan dengan kayu. Suku ini mendiami daerah Teluk Flamingo dan Teluk Cook, di
wilayah pantai sebelah barat daya Papua.
Kehidupan modern tidak mencapai wilayah ini kecuali beberapa tahun terakhir. Sebagian
besar wilayah ini masih berupa wilayah hutan lebat yang belum dirambah manusia. Meski
demikian nasib para seniman sejati tak lepas dari perhatian dunia Internasional. Pada akhir
tahun enam puluhan, para pemahat suku Asmat menerima bantuan dari PBB demi upaya
mempertahankan kelestarian seni patung mereka. Di kota Agat anda bisa mengunjungi
museum yang menampilkan koleksi patung kayu dan hasil kerajinan mereka.
Adapun peralatan yang biasanya digunakan para pemahat Suku Asmat terdiri dari
kapak batu, gigi binatang dan kulit kerang. Sedangkan untik menghaluskan patahan,
mereka menggunakan taring babi, gigi-gigi ikan tertentu dan tiram.
Orang Asmat biasa membuat ukiran di ujung perahu yang digunakannya. Ukiran tersebut bersimbol manusia
dan burung.
Ukiran yang berbentuk manusia itu melambangkan keluarga yang sudah meninggal. Mereka percaya bahwa
almarhum akan senang karena diperhatikan, dankemanapun perahu dan penumpangnya pergi akan selalu
dilindunginya.
Ukiran burung dan binatang terbang lainnya dianggap melambangkanorang yang gagah berani dalam
pertempuran dan lambang burung jugadigunakan sebagai lambang pengayauan, terutama burung atau
binatangterbang yang berwarna gelap atau hitam.
b. Hiasan
Untuk hiasan kepala, menggunakan simbol burung kasuari atau kuskus.Sekeliling matanya diwarnai
merah bagaikan mata burung kakatua hitambila sedang marah. Hiasan dahi yang terbuat dari kulit kuskus
merupakan lambang dari si pengayau kepala yang perkasa.
c. Pohon
Orang Asmat menyebut dirinya Asmat-ow, yang berarti manusia pohon.Pohon merupakan
benda yang amat luhur dalam pandangan orang Asmat.Dalam pandangan mereka, pohon
adalah manusia dan manusia adalah pohon. Akar pohon melambangkan kaki manusia, batangnya
adalah tubuhmanusia, dahan-dahannya adalah tangan manusia, dan daun-daun
adalahkepala manusia. Semua anggapan itu memiliki alasan yang mendasar.Keadaan
lingkungan alam yang ganas, berawa-rawa dan berlumpur menyebabkan pohon atau kayu
menjadi penting bagi kehidupan orangAsmat.
d. Sagu
Sagu selain dijadikan bahan makan oleh masyarakat Asmat, sagu juga memilki arti khusus tersendiri bagi
orang Asmat. Sagu diibaratkansebagai wanita. Suatu kehidupan dipercaya oleh orang Asmat keluar
dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim seorang ibu.
Kepercayaan
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua
atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis
atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam
untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan
diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu
yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat
memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada
leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh
mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga
yang lain di desa tersebut.
Alat-alat produktif
Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki
kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan
untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu denganmelemparkan jaring
tersebut ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama.Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di muara
sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala
ditambatkan saja pada waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat tertentu yang
memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu,
gigi binatang dan kulit siput yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu merupakan
benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan
melalui pertukaran barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanyanama nenek
dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah menggunakan
kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong
masih digunakan kulit siput.
Masyarakat Asmat mengenal perahu lesung sebagai alat transportasinya. Pembuatan perahu
dahulunya digunakan untuk persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai,
perahu tersebut dicoba menuju ketempat musuh dengan maksud memanas-manasi musuh dan
memancing suasana musuh agar siap berperang. Selain itu, perahu lesung juga digunakan
untuk keperluan pengangkutan dan pencarian bahan makanan. Setiap 5 tahun sekali, orang-orang
Asmat membuat perahu-perahu baru. Walaupun daerah Asmat kaya akan berbagai jenis kayu,
namun pembuatanperahu mereka memilih jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu
banyak.Yang digunakan adalah kayu kuning (ti), ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang
disebut yerak.Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan keduaujungnya,
batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu.
Untuk membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu. Proses pembuatan perahu dari
bentuk batang hingga selesai diukir dan dicat meliputi beberapatahap. Pertama, batang yang masih kasar dan
bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan
bagianluar. Bagian bawah perahu dibakar supaya perahu menjadi ringan dan laju jalannya. Bagian muka
perahu disebut cicemen, diukir menyerupai burung atau binatang lainnya perlambang pengayauan
kepala. Atau ukiran manusia yang melambangkan saudara yang telah meninggal. Perahu kemudian
dinamakan sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu. Panjang perahumencapai 15-20 meter.
Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pundi cat. Bagian dalam dicat putih, bagian luar dicat
putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan dahun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu
harusdiresmikan melalui upacara.Ada 2macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga
yangtidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu clan biasa
memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter.Dayung terbuat dari kayu yang tahan
lama, misalnya kayu besi atau kayu pala hutan. Karena dipakaisambil berdiri, maka dayung orang Asmat
sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal
banyak dikelilingi dengan rawa-rawa.
Mata pencaharian hidup orang Asmat di daerah pantai adalah meramu sagu, berburu binatang kecil,
(yang terbesar adalah babi hutan), dan mencari ikan disungai, danau, maupun pinggir pantai.
Mereka juga terkadang menanam buah- buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka
juga dengan sengajamenanamnya di kebun-kebun ekcil yang sederhana berada di tengah-
tengahhutan. Orang Asmat hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon sagunya lagi,
lebih menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya. Dahulu, orang Asmat hidup di hutan-
hutan, menetap di suatu tempat untuk beberapa bulan, kemudian pidanh mencari tempat
baru bila bahan makanan disekitarnya sudah berkurang. Hidup di hutan berarti hidup bebas, maka
hal inilahyang membuat mereka terkadang kembali ke hutan meninggalkan kampung yang telah
disediakan. Hari Senin mereka biasa berangkat ke hutan dan kembali ke kampung pada hari Sabtu.
Sebagian besar waktu dilewati di hutan dengan mendirikan rumah besar,yang disebut dengan Bivak.
Tempat berlindung dan perumahan
Menurut tradisi orang Asmat, dalam sebuah kampung terdapat 2 macam bangunan, yaitu rumah
bujang dan rumah keluarga. Rumah bujang (je) ditempati oleh pemuda-pemuda yang belum
menikah dan tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Rumah yang terdiri
dari satu ruangan inidibangun di atas tiang-tiang kayu dengan panjang 30-60 meter dan lebar
sekitar 10 meter. Rumah ini biasa digunakan untuk merencanakan suatu pesta, perang,dan
perdamaian. Pada waktu senggang, rumah ini digunakan untuk menceritakan dongeng-dongeng suci
para leluhur. Setiap clan memiliki rumah bujang sendiri.
Bahasa
Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok bahasa yangoleh para ahli linguistik disebut
sebagai Language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah
dipelajari dandigolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa
Irian(Papua) Non-Melanesia.
Senjata
Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung
kasuari.
Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari dalam
kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing.
Sesuai kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti burung. Seperti misalnya titik-titik
putih pada tubuh yang diidentikan pada burung.
Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau kuskus. Sekeliling matanya
diwarnai merah bagaikan mata burung kakatuahitam bila sedang marah. Hiasan dahi terbuat dari kulit
kuskus, lambang dari si pengayau kepala yang perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam
keong laut, atau kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi. Anting-anting wanita
terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai untuk dijadikan kalung penghias leher.
Untuk mendapatkan gigi-gigi itu, anjing tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing
tersebut mati. Oleh karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka, dan sering dijadikan sebagai
emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak wanita
Seni Musik
Orang Asmat memiliki alat musik khusus yang biasa digunakan dalam upacara-upacara penting.
Alat musik yang biasa digunakan oleh orang Asmat adalah tifa yang terbuat dari selonjor batang
kayu yang dilobangi.Bentuknya bulat memanjang mirip seperti gendang. Pahatan tifa
berbentuk pola leluhur atau binatang yang dikeramatkan. Di permukaan tifa terdapat
ukiran, menggambarkan lambang yang diambil dari patung Bis. Patung Bis adalah
patung yang dianggap sakral oleh suku Asmat. Patung bis menggambarkan rupa dari
anggota keluarga yang telah meninggal. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit kadal dan
kulit tersebut diikat dengan rotan yang tahan api. Tifa biasanya diberi nama sesuai dengan orang
yang telah meninggal. Tifa-tifa ini biasa diukir dan dipahat oleh wow-ipits setempat. Tifa
ini biasa dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional suku Asmat, yaitu Tari Tobe
atau yang disebut dengan Tari Perang.
Seni Tari
Tarian ini memang dimaksudkan untuk mengobarkan semangat para prajurit untuk
pergi ke medan perang.
Kebudayaan suku Asmat masih tergolong asli dan belum tergerus oleh arus modernisasi.
Kebudayaan mereka sangat unik. Adalah tugas kita sebagai rakyat Indonesia untuk
melestarikan kekayaan budaya yang berlimpah dengan cara mempelajarinya dan
menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni daerah di pusat-pusat adat dan kebudayaan yang
tersebar di seluruh Indonesia.
J THE END J
BABI DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT PAPUA
Pendahuluan
Keberlangsungan hidup masyarakat Papua tak lepas dari keberadaan
babi. Babi menjadi salah satu hewan yang dipandang penting bagi
kehidupan masyarakat Papua dalam berbagai aspek. Bukan hanya
sebagai hewan ternak yang kemudian dimanfaatkan dagingnya
sebagai santapan. Bukan hanya dijadikan hewan ternak yang
membantu ekonomi keluarga. Di atas itu semua, babi memiliki peran
yang sangat penting bagi masyarakat Papua, terutama dalam hal
misitis, babi dianggap sebagai hewan yang sakral dan sering
dilibatkan dalam berbagai upacara adat. Selain aspek ekonomi dan
kepercayaan, masih banyak aspek-aspek dalam kehidupan
masyarakat Papua lain yang bersinggungan dengan babi.
Tulisan ini akan membahas secara singkat peran babi dalam kehidupan
masyarakat Papua di pedalaman dan di perkotaan.
Pembahasan
Babi bagi Masyarakat Pedalaman
Sejak dahulu, keberadaan babi memang sudah menjadi hal yang
lumrah bagi masyarakat Papua. Pada mulanya babi dibawa oleh
pendatang-pendatang dari Eropa pada abad-abad
kolonialisme.[1] Bahkan di beberapa daerah, babi menjadi satu-
satunya hewan ternak yang dapat hidup karena Papua merupakan
sebuah wilayah yang secara geografis merupakan pegunungan dan
lembah-lembah yang menyebabkan babi dapat berkembang biak
dengan baik.
Di beberapa daerah pedalaman di Papua, babi masih dianggap
sebagai hewan sakral yang dagingnya tidak boleh dimakan secara
cuma-cuma dan tanpa alasan atau hanya sebagai pengenyang perut
semata. Babi hanya dikonsumsi ketika ada sebuah upacara-upacara
tertentu, misalnya Pesta Babi atau Upacara Bakar Batu.[2] Memotong
dan memakan babi hanya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa penting
seperti pembakaran mayat, perkawinan dan ritus inisiasi.
Berkenaan dengan pentingnya peran babi dalam kehidupan adat di Papua,
banyak penduduk di Papua, terutama yang tinggal di daerah pegunungan
yang mendiami lembah bermata pencaharian sebagai peternak babi.
Memelihara babi merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh
masyarakat di Papua pedalaman atau oleh orang-orang asli Papua.
Beternak babi kemudian menjadi salah satu mata pencaharian yang cukup
digemari oleh masyarakat Papua. Memang jarang ada orang Papua yang
beternak babi hanya untuk dimanfaatkan dagingnya.
Hal ini terlihat dari pengaturan rumah Honai yang merupakan rumah adat
orang Papua yang memiliki atap berbentuk bulat kerucut dari jerami.
Menilik dari adanya rumah Honai, terlihat bahwa babi memiliki kedudukan
yang penting bagi masyarakat Papua dan bahwa beternak babi menjadi
mata pencaharian yang hampir utama. Rumah Honai terbagi dalam tiga
tipe, yaitu bangunan untuk laki-laki (Honai), bangunan untuk perempuan
(Ebei), dan satu tipe khusus untuk kandang babi (Wamai)[3]. Kandang babi
menjadi hal yang penting pada rumah Honai, karena babi merupakan
hewan ternak yang kerap menjadi peliharaaan masyarakat Papua
pedalaman hingga sekarang.
Sejak zaman dahulu, babi dianggap sebagai status simbol bagi si pemilik
babi di masyarakat. Semakin banyak babi yang dimiliki seseorang atau
sebuah kampung, semakin tinggi pula statusnya, semakin banyak yang
dapat dihadiahkannya dan semakin besar pula pesta
diselenggarakannya. Misalnya bagi masyarakat Dani, dari sudut pandang
sosial, babi itu sangat penting. Jumlah babi yang dimiliki seseorang, ikut
menentukan bagaimana dia dipandang oleh orang lain.
Dalam dunia seni, babi juga digunakan sebagai pewarna hitam pada
kerajinan yang dibuat oleh para wanita dan pria Arfak. Beberapa perhiasan
seperti gelang, anyaman tas dan busana bagi wanita dan pria memang
memliki warna dominan yaitu, putih, hitam, merah, dan kuning. Warna
hitam biasanya memang didapatkan dari asap lemak babi dan damar.
Untuk itulah babi menjadi penting bagi dunia kerajinan atau seni bagi
masyarakat Papua pula.
Yang menjadi salah satu faktor pemicu juga adalah kehidupan beragama
yang kental di perkotaan. Orang-orang di desa cenderung masih menganut
paham animisme, berbeda dengan orang kota yang sudah banyak yang
beragama. Seperti yang kita ketahui, dalam agama tertentu, babi justru
menjadi hewan yang wajib untuk dihindari. Meskipun demikian, memang
tak dapat disangkal bahwa beberapa masyarakat yang beragama pun
terkadang masih mengikuti upacara yang melibatkan pemakanan babi.
Kesimpulan
Pandangan yang berbeda antara masyarakat pedalaman dan perkotaan
mengenai arti babi bagi kehidupan mereka menyebabkan adanya
perlakuan yang berbeda pula antara dua masyarakat tersebut. Bagi
masyarakat pedalaman, babi dianggap sebagai hewan sakral yang bernilai
sangat tinggi bagi kehidupan bermasyarakat. Berbeda dengan masyarakat
kota yang tidak lagi memandang babi sebagai hewan istimewa, sehingga
tak ada perlakuan dan anggapan khusus terhadap babi.
Daftar Pustaka
Dumatubun, A.E. 2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua dalam Perspektif
Antropologi. Jurnal Antropologi. Volume 1. No. 1.
Heriyanto, Albertus. 2003. Kepercayaan Asli Orang Meybrat. Jurnal
Antropologi Papua. Volume 2. No. 4.
Ama, Kornelis Kewa. -. Hukum Adat Mendominasi Hukum Positif di Papua.
Website
http://www.papuaerfgoed.org/id/Babi_dan_pesta_babi_di_Papua (Diakses
pada 12 April 2015)
http://www.wildlifeindonesia.com/index.php/bakar-batu-suku-
walesi (Diakses pada 12 April 2015)
http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292 (Diakses pada 12 April 2015)
[1] http://www.papuaerfgoed.org/id/Babi_dan_pesta_babi_di_Papua
[2] http://www.wildlifeindonesia.com/index.php/bakar-batu-suku-walesi
[3] http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292
[4] Albertus Heriyanto, 2003, Kepercayaan Asli Orang Meybrat. Jurnal
Antropologi Papua. Volume 2. No. 4, hlm. 31
Suku bangsa Asmat percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari
patung. Dalam mitologi masyarakat Asmat, Dewa Fumeripits (Sang Pencipta)
terdampar di pantai, namun nyawanya diselamatkan oleh sekelompok
burung. Dewa Fumeripits selanjutnya tinggal sendirian. Oleh karena itu, ia
kemudian membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung
manusia dan tifa (gendang). Ajaibnya, patung tersebut berubah menjadi
manusia dan menari-nari.
Mata pencaharian masyarakat Asmat antara lain meramu sagu dan berburu
binatang (babi hutan). Masyarakat Asmat yang tinggal di daerah hulu
menanam pohon pada kebun-kebun mereka. Pemerintah Indonesia
memerhatikan pendidikan suku bangsa Asmat, yaitu melakukan kerja sama
dengan organisasi penyiaran agama Katolik di Belanda dan Amerika. Selain
itu, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Asmat, sagu dimanfaatkan
sebagai komoditas ekspor.
e. Sistem Kesenian Suku Asmat
Kesenian Asmat yang terkenal adalah ukir-ukiran yang terbuat dari kayu
seperti patung, topeng, tifa, dan tombak. Selain itu juga alat-alat rumah
tangga seperti kapak dari batu.
Anda sekarang sudah mengetahui Suku Asmat. Terima kasih anda sudah
berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
1.3 TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ini:
• Untuk menambah wawasan tentang suku bangsa di Indonesia
• Untuk lebih mengenal suku Asmat beserta sistem kepercayaannya
• Untuk ikut menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa
BAB III
SISTEM RELIGI DAN KEPERCAYAAN SUKU ASMAT
3.1 UNSUR-UNSUR DASAR RELIGI
Untuk mendeskripsi religi di antara ribuan kebudayaan di dunia, dan khususnya di antara
suku-suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya melebihi 600 suku bangsa, sesuai dengan
kelima sub-unsur pokok yang duajukan oleh E. Durkheim, dalam antropologi religi dibagi ke
dalam unsur-unsur, yaitu:
1. Emosi keagamaan (getaran jiwa) yang menyebabkan bahwa manusia didorong untuk
berperilaku keagamaan.
2. Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam
gaib, hidup, maut, dan sebagainya.
3. Sistem ritus dan upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dngan dunia gaib
berdasarkan system kepercayaan tersebut.
4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan social yang mengkonsepsikan dan
mengaktifkan religi berikut system kepercayaannya.
5. Alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara keagamaan.
Ritual/ Upacara
a. Ritual Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi
mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka
percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang
baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih
karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya
kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat
Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau
terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan
kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang
sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan
dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia.
Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian
mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan
dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk
dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit
sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha
untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak
berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari
yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan
semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka
ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis
akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.
Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan
jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya
roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat
menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri
tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak
akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan
wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang
telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya
dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan
dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam
kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung
kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung
panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan
seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan
beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa
menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian.
Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di
hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur,
keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
b. Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses
pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon
dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap
untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat
mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa
itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air,
maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya.
Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu.
Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang
berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan
seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah
berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal
atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu.
Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru
bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh
di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan
penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri
dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan
merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan
semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang
saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan
pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh
dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap
berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan
makanan.
c. Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab
berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu
keluarga. Dulu, upacara bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah
mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga
dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih
6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama
pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah
tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut
dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang
sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada
waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini,
wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya.
Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan
makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang
telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di
muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu
berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu
diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas
suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan
akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan
agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga
memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan.
Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
d. Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je).
Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini
dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat
nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan
yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang
masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri
oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan
upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Suku Asmat adalah salah satu suku dari kurang lebih 600 suku bangsa yang berada di
Indonesia. Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua, yang sangat dikenal dengan hasil karya
kayunya yang unik. Dalam segi kebudayaan, kesenian, kepercayaan, suku Asmat termasuk
suku yang masih orisinil dan terjaga keaslian tradisinya dari zaman nenek moyang mereka,
dibandingkan dengan suku-suku lainnya di Indonesia yang telah banyak terpengaruh budaya-
budaya luar.
Kepercayaan yang dianut masyarakat Asmat juga sangat unik, mereka menganut paham
animisme yang menganggap bahwa alam sekeliling tempat tinggal manusia dihuni oleh
berbagai macam ruh, dan mereka memuja ruh-ruh tersebut. Banyak adat istiadat yang
dilakukan yang merupakan unsur-unsur dari sistim kepercayaan mereka. Jadi sebenarnya
kebudayaan, kesenian dan sistem kekerabatan yang ada dimasyarakat ini berawal dari
sistem kepercayaan yang mereka anut. Karena semuanya merupakan penerapan dari sistem
kepercayaan suku Asmat sendiri.
4.2 SARAN
Perlu dipikirkan bagaimana menjaga dan melestarikan kebudayaan, kesenian, dan sistem
kepercayaan suku Asmat. Karena segala yang dimiliki oleh orang Asmat merupakan bagian
dari kebudayaan bangsa Indonesia ini. Dengan begitu suku Asmat tetap terjaga
keberadaannya dan tetap menjadi kesatuan dari bangsa Indonesia.
Karena keterbatasan pengetahuan saya tentang suku Asmat, terlebih tentang
kepercayaannya dan kurangnya pemahaman saya dalam penulisan suatu karya tulis,
menjadikan saya mengalami sedikit kesulitan dalam menyelesaikan makalah ini. Tapi itu
semua menjadi motivasi saya untuk menjadi lebih baik lagi selanjutnya.
Gambir, Wartakotalive.com
Siapa yang tak kenal dengan Suku Asmat, yang mendiami salah satu wilayah di
Papua. Mendengar nama suku Asmat, mungkin sebagian dari kita akan langsung
berpikir mengenai pengayauan alias berburu kepala manusia dan kanibalisme. Hal
tersebut memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari orang Asmat, seperti yang
tercatat pada sejarah suku Asmat sendiri.
Konflik antara dua orang biasanya meningkat menjadi konflik antar keluarga,
kemudian antar clan, hingga akhirnya melibatkan seluruh kampung. Konflik semacam
inilah yang mengakibatkan masyarakat Asmat terbagi ke dalam beberapa clan dan
menyusutnya penduduk desa di daerah Asmat. Sebagai kelanjutan dari peperangan
tersebut adalah terjadinya kayau-mengayau serta kanibalisme.
Awal mula pengayauan kepala orang dan kanibalisme di wilayah masyarakat Asmat
berasal dari mitos yang hidup di dalam masyarakat Asmat sendiri mengenai kakak
beradik Desoipits dan Biwiripits. Desoipits mendesak adiknya, Biwiripits untuk
memenggal kepalanya. Pada mulanya Biwiripits enggan, tetapi karena terus didesak,
ia pun memenggal kepala Desoipits.
Namun ada kejadian aneh dan sama sekali tidak terduga, kepala Desoipits yang putus
itu tetap hidup dan berbicara menuyuruh adiknya untuk memisahkan bagian-bagian
dari tubuhnya, untuk dibagikan sebagai makanan kepada para pahlawan yang kembali
perang.
Sejak saat itu, muncullah kebiasaan memakan daging dan memenggal kepala
manusia.Tengkorak manusia pun dihormati dan disimpan, terutama tengkorak
orangyang sangat dicintai. Tengkorak saudara atau kerabat terdekat selalu
digunakansebagai bantal kepala ataupun kalung, sedangkan tengkorak musuh
dipajanguntuk memperlihatkan kebesaran dan keperkasaan atau juga penolak bala.
Namun, di luar cerita tentang kanibalisme tersebut, sesungguhnya ada sesuatu yang
patut kita banggakan pada suku Asmat, yakni mengenai benda-benda adikarya yang
dihasilkan oleh masyarakat Asmat. Ragam kesenian suku Asmat yang banyak
dilakukan adalah seni pahat atau ukir. Sedangkan benda-benda kesenian hasil ukiran
Asmat yang menarik adalah perisai-perisai, tiang-tiang mbis (patung bis/leluhur), dan
tifa. Aneka warna gaya kesenian Asmat berdasarkan bentuk dan warna dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis.
Gaya yang pertama adalah seni Asmat Barat Laut (Northwest Asmat). Perisai pada
golongan ini berbentuk lonjong dengan bagian bawah yang agak melebar dan
biasanya lebih padat dari pada perisai-perisai lainnya. Bagian kepala terpisah dengan
jelas dari bagian lainnya dan berbentuk kepala kura-kura atau ikan. Kadang-kadang
ada gambar nenek moyang di bagian kepala, sedangkan hiasan bagian badan
berbentuk musang terbang, katak, kepala burung tanduk, dan lain-lain.
Gaya kedua adalah seni Asmat Timur (Citak). Kekhususan seni pada golongan ini
tampak pada bentuk hiasan perisai yang biasanya berukuran sangat besar, kadang-
kadang sampai melebihi tinggi orang Asmat yang berdiri tegak. Bagian-bagian
atasnya tidak terpisah secara jelas dari bagian badan perisai dan sering terisi dengan
garis-garis hitam atau merah yang diberi titik-titik putih.
Yang terakhir, adalah gaya seni Asmat daerah sungai Brazza. Perisai pada golongan
ini hampir sama besar dan tinggi dengan perisai pada golongan Asmat Timur. Bagian
kepala juga biasanya terpisah dari bagian badannya. Walaupun motif siku lengan
sering dipakai untuk hiasan perisai, motif yang biasa digunakan antara lain geometri,
lingkaran,spiral, dan siku-siku.
Penasaran dengan hasil seni, budaya serta cerita tentang suku Asmat? Tidak ada
salahnya kita sempatkan waktu untuk berkunjung ke Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Di sana, terdapat beberapa benda koleksi seni dan budaya, kumpulan foto, serta
penjelasan mengenai kehidupan suku Asmat.
Beberapa benda seni yang menarik, yang ada di ruang koleksi etnografi Museum
Nasional ini, diantaranya adalah perahu Asmat dengan bentuk yang unik serta
banyaknya ukiran di badan perahu. Selain itu, juga ada patung Mbis yang tingginya
menjulang hingga ke dinding ruangan, serta terdapat macam-macam koleksi lain hasil
seni dan budaya masyarakat Asmat.
FERYANTO HADI/REN
Penjelasan singkat mengenai sejarah asal usul dan kebudayaan suku Asmat dari Papua. Di
kepulauan papua, banyak terdapat bermacam-macam suku, salah satunya adalah Suku Asmat.
Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu
mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua
populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di
antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Nama Asmat berasal dari kata-kata Asmat "As Akat", yang menurut orang Asmat berarti"orang
yang tepat". Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa Asmat berasal dari kata Osamat yang
berarti "manusia dari pohon". Tetapi kalo menurut tetangga suku Asmat, yaitu suku Mimika,
nama Asmat ini berasal dari kata-kata mereka untuk suku "manue", yang berarti "pemakan
manusia".
Hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas dari suku Asmat sangat terkenal. Beberapa ornamen / motif
yang seringkali digunakan dan menjadi tema utama adalah mengambil tema nenek moyang dari suku
mereka, yang biasa disebut mbis. Namun seringkali juga ditemui motif lain yang menyerupai perahu atau
wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di
alam kematian. Bagi mereka, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam
melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.
Sejarah
Suku Asmat meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan dewa Fumeripitsy yang turun dari dunia gaib
yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan
mereka, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam
perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia
mengalami banyak petualangan.
Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy.
Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang
ditumpanginya tenggelam. Sehingga terjadi perkelahian yang akhirnya ia dapat membunuh buaya tersebut,
tetapi ia sendiri luka parah. Ia kemudian terbawa arus dan terdampar di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru
sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia
membangun rumah yew dan mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat sebuah genderang,
yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan
sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama
kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan
manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.
Praktik Kanibalisme
Ketika terjadi pertentangan, suku Asmat membunuh musuhnya dan mayatnya dibawa ke kampung,
kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka
menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang
dipanggang dan dimakan. Seiring perkembangan zaman, hal ini sudah tidak pernah terjadi lagi.
Persebaran
Suku asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai laut arafuru dan hutan belantara di pegunungan
jayawijaya. Dalam kehidupan suku Asmat, batu sangat berharga bagi mereka dan dapat dijadikan sebagai
mas kawin. Hal ini karena tempat tinggal suku Asmat yang berada di rawa-rawa sangat sulit menemukan
batu-batu yang berguna untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.
Ciri Fisik
Suku Asmat memiliki ciri fisik yang khas yaitu berkulit hitam dan berambut keriting. Rata-rata tinggi
badan orang Asmat wanita sekitar 162cm dan tinggi badan laki-laki mencapai 172cm.
Suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mencari nafkah dengan berburu binatang hutan seperti, ular,
kasuari babi hutan dll. Mereka juga selalu menggunakan sagu sebagai makanan pokok dan nelayan yakni
mencari ikan dan udang untuk dimakan. Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang hidup dibatang
pohon sagu, biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah, ditaburi sagu, dan dibakar dalam bara api.
Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun mereka sangat sulit mendapatkan air bersih
karena wilayah mereka merupakan tanah berawa. Sehingga menggunakan air hujan dan air rawa sebagai
air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Pola Hidup
Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku asmat, mereka merasa dirinya adalah bagian
dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya, bahkan, pohon
disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan,
buah menggambarkan kepala, dan akar menggambarkan kaki mereka
Cara Merias Diri
Dalam merias diri Suku Asmat membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah, warna putih
mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan dan warnah hitam mereka hasilkan dari
arang kayu yang dihaluskan. Mereka menggunakannya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit
air untuk digunakan mewarnai tubuh.
Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat
juga mempunyai ritual atau acara-acara khusus, yaitu :
1. Kehamilan
selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat
dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.
2. Kelahiran
Tidak lama setelah kelahiran bayi dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara
pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan.
Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
3. Pernikahan
Pernikahan berlaku bagi suku Asmat yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki
setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan
mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila
ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan
selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan
tinggal dalam satu atap.
4. Kematian
Bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan
dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan
dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang
ditinggalkan.
Unik
Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau
kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada
peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.
Rumah Adat
Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai sekarang masih
dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat Pedalaman. Bahkan masih ada juga di
antara mereka yang membangun rumah tinggal diatas pohon.
Agama
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik, Protestan, dan Animisme yakni suatu ajaran dan praktek
keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung.
Kepercayaan Dasar
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia mistik atau gaib
yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya
pada jaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan. Selain itu orang suku Asmat juga
percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan
yang jahat namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu
bernama Fumuripitis. Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai
macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan.
Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh komuniti
desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini :
1. Mbismbu (pembuat tiang)
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu
manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan
manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti
pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.
Roh setan
Suku Asmat memiliki kepercayaan bahwa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus,
yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :
Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam
nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di
pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
Suku Asmat juga percaya akan adanya kekuatan magis, banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu,
penangkapan ikan, dan pemburuan binatang. Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan
barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang
mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan
topan.
Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga bagi masyarakat Asmat (pohon/kayu,
kuskus, anjing, burung kakatua dan nuri, serta bakung), seperti kata Asmat diatas,menunjukkan bagaimana
sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan yang sangat berharga bagi mereka. Hal ini
tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan pahatan mereka. Namun dalam gegap gempitanya serta
kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat. Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat yang
tak terdengar dari dunia luar.
Perempuan Asmat sangat menanggung beban yang berat. Setiap harinya mereka harus menyediakan
makanan untuk suami dan anak-anaknya,mulai dari mencari ikan,udang,kepiting,dan tembelo sampai
kepada mencari pohon sagu yang tua,menebang pohon sagu,menokok,membawa sagu dari hutan,memasak
dan menyajikan. Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat masak termaksud mengambil air dari
telaga atau sungai yang jernih untuk keperluan minum keluarga.
ukiran kayu suku asmat yang terkenal (foto:okezone.com)
Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan yang disediakan
istrinya, mengisap tembakau dan berjudi. Kadang suami membuat rumah atau perahu, namun dengan
batuan istri.
Upacara Adat
Ritual Kematian
Orang Asmat mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang
alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu
sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan
mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh.
Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan
dengan pengukiran patung leluhur (bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera
dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang. Rumah bujang
inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga
(keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius.
Suatu keluarga dapat tinggal di sana, namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau
upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara
khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang
juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.
Sumber referensi :