Anda di halaman 1dari 9

Suku Dayak

Asal-usul Suku Dayat Sejarah

Makanan Khas Suku Dayak


Alat Musik Suku Dayak
Lagu Suku Dayak

Pakaian Suku Dayak

Baju adat orang Dayak tak jarang dipakai untuk acara penyambutan
tamu. Busana adat suku yang satu ini berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Pakaian daerah untuk wanita Dayak bernama Ta’a yang
terdiri dari:

 Atasan bernama Sapei Inoq


 Rok yang dinamakan Ta’a
 Ikat kepala berbahan pandan yang memiliki nama Da’a
 Uleng yang artinya kalung manik-manik yang menjulur hingga
dada bawah

Busana tradisional untuk pria Dayak dinamakan Sapei Sadaq. Baju adat


ini memiliki motif dan corak yang hampir serupa dengan busana
tradisional wanita Dayak. Berikut ini adalah kelengkapan baju adat
Sapei Sadaq:

 Atasan berupa rompi


 Abet Kaoq yang berarti sebuah cawat
 Senjata tradisional Mandau yang diikatkan pada pinggang

Motif kain untuk pakaian daerah orang Dayak biasanya merujuk pada


alam, seperti flora dan fauna. Motif-motif yang dikenakan pada pakaian
bisa menjadi simbol kelas sosial tertentu. Para bangsawan biasanya
mengenakan motif harimau atau enggang, sedangkan rakyat jelata
menggunakan motif tumbuhan.

Pakaian adat suku ini tampak semakin unik karena tato di tubuh mereka.
Tato tersebut dinamakan tutang yang bermakna suatu hal yang dibuat
dengan aturan tertentu. Orang Dayak percaya bahwa banyaknya tato di
tubuh pria Dayak menandakan tempat-tempat di wilayah Dayak yang
telah dikunjunginya.
Rumah Adat Suku Dayak

Nama rumah adat orang Dayak adalah Betang yang tersebar di seluruh


daerah Kalimantan, khususnya hulu sungai sebagai pusat perumahan.
Betang berbentuk rumah panggung dengan ketinggian sekitar 3 hingga 5
meter dari permukaan tanah.

Jaraknya yang lumayan jauh dari permukaan tanah ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya banjir saat musim hujan. Satu betang biasanya
dihuni oleh suatu komunitas dengan beberapa keluarga. Setiap keluarga
diberi satu ruangan yang dipisahkan oleh sekat-sekat.

Betang menjadi gambaran kekompakan hidup orang-orang Dayak di


bawah aturan adat yang harus dipatuhi. Di dalam Betang, semua
keluarga bergotong-royong dalam segala hal mulai dari menjaga
keamanan, makan bersama, hingga bekerja di ladang.

Rumah Betang menggambarkan sebuah kehidupan kelompok etnis yang


hidup bersama dengan saling membantu tanpa membeda-bedakan.
Budaya Bugis
Asal-Usul
Tai kececeran provinsi Sulawesi Tengah dan bagian lainnya dikelilingi oleh laut, teluk dan
selat yaitu Laut Flores disebelah Selatan, teluk Bone disebelah Timur, dan selat Makassar
disebelah Barat. Didaerah ini terdapat dua buah gunung yang cukup tinggi yaitu gunung
Lompobattang dan gunung Rantekombola. Terdapat dua buah danau yaitu danau
Tempe dan danau Sidenreng.
Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang dikelilingi oleh berbagai macam pulau. Wilayah
kepulauan  tersebut membuat Sulawesi Selatan memiliki banyak keunikan tradisional,
salah satunya adalah budaya. Suku yang banyak mendiami di Sulawesi Selatan
adalah suku Bugis dan suku Makassar, yang kemudian menjadi dikenal dengan perpaduan
suku Bugis-Makassar.  Terdapat beberapa kebudayaan yang dimiliki oleh suku Bugis –
Makassar, seperti Pakaian Adat, Rumah Tradisional,  Tari Tradisional, Alat musik
Tradisional, Senjata Tradisional dan Lagu Daerah Tradisional

Pakaian adat.
akaian adat Sulawesi Selatan memiliki corak khas ketimur-timuran dengan dipadukan
corak khas lokal masyarakat setempat. Tiap-tiap pakaian adat memiliki keunikan masing-
masing dapat dikenakan pada acara tertentu. Pakaian-pakaian adat yang beragam sering
dikenakan oleh berbagai kalangan suku, etnis, dan kelompok tertentu di wilayah tersebut
dan menjadi kebanggan tersendiri untuk memakainya.
Pakaian adat Bugis–Makassar, merupakan pakaian adat khas bagi suku Bugis dan suku
Makassar, yang mendiami daerah Sulawesi Selatan. Kedua suku tersebut (Bugis dan
Makassar) merupakan suku yang banyak tersebar di kepulauan Sulawesi Selatan. Pakaian
adat Bugis-Makassar yang ada di Sulawesi Selatan memiliki corak dan motif khas ketimur-
timuran dengan dipadukan dengan corak dan motif khas lokal masyarakat setempat.
Masing-masing pakaian adat memiliki keunikan tersendiri yang dapat dikenakan pada
acara-acara tertentu.

Pakaian Adat untuk laki-laki.

Untuk pakaian adat penganting bagi laki-laki mengenakan baju belah dada dengan bentuk
kerah tertutup. Untuk pakaian bagian bawah, digunakan kain sarung atau dikenal dengan
nama lipa garusuk. Untuk kelengkapan bagian kepala dikenal dengan tutup kepala dengan
nama passapu
Sedangkan pakaian adat untuk kaum laki-laki dalam keseharian suku Bugis-Makassar 
disebuah pesta disebut dengan Tutu. Jenis pakaian ini adalah jas dan biasa disebut
dengan Jas Tutu. Pakaian adat ini dipadukan dengan celana atau paroci, dan juga kain
sarung atau lipa garusuk, serta tutup kepalanya yakni berupa songkok.
Jas Tutu berlengan panjang dengan leher yang berkerah dan dihiasi dengan kancing yang
dibuat dari emas atau perak, yang mana dipasangkan pada leher baju tersebut.
Sedangkan untuk kain lipa garusuk atau lipa sabbe terlihat polos namun berwarna
mencolok, dengan ciri khas merah dan hijau [3]
Pakaian Adat untuk perempuan.
Untuk pakaian adat bagi perempuan menggunakan baju bodo, yaitu sejenis baju kurung
berlengan pendek dengan ujung ketat. Untuk pakaian bagian bawah digunakan kain lipa
dengan warna yang serasi dengan pakaian yang digunakan. Sedangkan untuk
kelengkapan bagian kepala ada mahkota atau disebut juga saloko. Sementara rambut
disanggul atau disasak diberi hiasan bunga yang bertangkai disebut kembang goyang.
Berdasarkan adat Bugis, setiap warna baju bodo memiliki arti tersendiri yang menunjukkan
berapa usia serta martabat dari pemakainya, yakni sebagai berikut:
· Jingga, memiliki arti yaitu pemakai adalah anak perempuan berusia sekitar 10 tahun.
·  Jingga dan Merah, memiliki arti yaitu pemakai adalah anak perempuan yang berusia
sekitar 10 hingga 14 tahun.
·   Merah, memiliki arti yaitu pemakai adalah perempuan berusia sekitar 17 sampai 25
tahun.
·  Putih, memiliki arti yakni pemakai ialah perempuan dari kalangan pembantu dan dukun.
·  Hijau, memiliki arti yakni pemakai ialah perempuan dari kalangan bangsawan.
·  Ungu, memiliki arti yakni pemakai ialah seluruh janda yang bertempat tinggal di Sulawesi
Selatan.

Alat Musik Tradisional.


Kecapi.
Kecapi adalah alat musik petik tradisional yang berbentuk seperti perahu dengan dua
dawai. Konon bentuk tersebut dikarenakan orang yang menciptakanannya adalah
pelaut. Keunikan dari alat musik kecapi terletak pada isi lagu dan instrumennya. Kecapi
menjadi alat musik yang sangat dekat dengan rakyat. Kecapi menjadi alat musik petani
yang sedang menunggu sawah atau para pelaut yang sedang berlayar. Suara yang
dihasilkan dianggap mampu memberikan ketenangan jiwa bagi pendengarnya. Kecapi
dapat dimainkan oleh satu orang atau kelompok dalam bentuk ansambel, atau dimainkan
bersama dengan alat musik tradisional lainnya seperti gendang, suling, lea-lea, gong,
biola, mandoliang, katto-katto dan lain sebagainya.

Suling.
Suling atau seruling Bugis memiliki berbagai macam bentuk. Berbagai macam bentuk
tersebut memiliki nilai dan fungsi masing-masing bagi masyarakat.
-      Suling ponco’ , adalah suling pendek yang memiliki enam lubang nada.
-      Suling lampe’ , adalah suling panjang yang memiliki lima lubang nada. Pada ujungnya
ditambahkan tanduk kerbau yang berfungsi sebagai corong pembesar suara.
-      Suling lontarak, adalah suling yang memiliki empat lubang nada. Suling lontarak
dibunyikan bersamaan dengan nyanyian-nyanyian yang syairnya berisikan tentang
petuah-petuah dan nasihat leluhur.
-      Suling bulatta, adalah suling yang digunakan sebagai alat pengiring tari dan pengiring
lagu. Biasa juga digunakan sebagai pelipur lara untuk menghibur diri.
Ganrang.
Ganrang atau gendang dibuat dari bahan yang terdiri dari kayu, seperti batang kayu
cendana, batang kayu nangka dan batang pohon kelapa dan jati. Gendang disekat
dengan kulit hewan sebagai sumber bunyi dan rautan rotan kecil yang dibelah empat
sebagai penarik sekat atau sebagai pembentang kulit, fungsinya agar bunyi yang
dihasilkan sesuai keinginan.

Sinrilik
Sinrilik adalah alat musik gesek yang menyerupai biola. Bahan untuk membuat alat musik
tersebut terdiri atas kayu dari pohon nangka, kulit kambing dan tiga buah senar yang
terbuat dari kuningan. Sedangkan alat yang digunakan untuk menggesek terbuat dari ekor
kuda

Lagu Daerah Tradisional.

 “ Anging Mammiri “ (Makassar)


Angin mammiri ku pasang
Pitujui tongtongana
Tusarua takka luppa
Eaule... na mangngu rangi
Tutenayya, tutenayya parisina

Battumi angin mammiri


Angin ngerang dinging-dinging
Nama lantangsa ri buku
Eaule...  mangngerang nakku
Nallorang, nallolorang jenemata
Sejarah Suku Asmat
Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo Jayawijaya dan di antara
berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Sebagaimana suku
lainnya yang berada di wilayah ini.

Suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari
100 km hingga 300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman,
dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan
umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai
daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara
perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis
demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai
daerah perkampungan satu dengan lainnya.

Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa
itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia
diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya
tenggelam. Sehingga terjadi perkelahian yang akhirnya ia dapat membunuh
buaya tersebut, tetapi ia sendiri luka parah. Ia kemudian terbawa arus dan
terdampar di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang.

Bahasa Suku Asmat


Pada masyarakat Asmat terdapat bahasa-bahasa yang oleh para ahli lingustik
disebut kelompok bahasa Language Of The Southern Division yakni bahasa-
bahasa bagian selatan Papua. Penggolongan bahasa tersebut telah dipelajari
oleh C. L. Voorhoeve (1965) dan masuk pada golongan filum bahasa-bahasa
Papua Non-Melanesia. Bahasa-bahasa tersebut digolongkan lagi berdasarkan
wilayah orang Asmat yakni orang Asmat wilayah pantai atau hilir sungai dan
Asmat hulu sungai.

Secara khusus, para ahli linguistik membagi bahasa-bahasa tersebut


yakni pembagian bahasa Asmat hilir sungai menjadi bagian kelompok pantai
barat laut atau pantai Flamingo seperti bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan
Becembub dan bagian kelompok Pantai Barat daya atau Kasuarina seperti misal
bahasa Batia dan Sapan. Pembagian bahasa Asmat hulu sungai menjadi bagian
kelompok Keenok dan Kaimok.

Pakaian Suku Asmat


Selain terkenal dengan seni ukirnya, Suku Asmat juga mempunyai pakaian
tradisional yang khas. Seluruh bahan untuk membuat pakaian tersebut berasal
dari alam. Tidak salah bila menganggap pakaian Suku Asmat
adalah representasi kedekatan mereka dengan alam raya.

Kesenian Suku Asmat

Suku bangsa Asmat memiliki bidang seni ukiran terutama ukir patung, topeng,
perisai gaya seni patung Asmat, meliputi :

1. Gaya A, Seni Asmat Hilir dan Hulu Sungai.

Patung-patung dengan gaya ini tersusun dari atas ke bawah menurut tata urut
silsilah nenek moyangnya. Contohnya, mbis yang dibuat jika masyarakat akan
mengadakan balas dendam atas kematian nenek moyang yang gugur dalam
perang melawan musuh.

2. Gaya B, Seni Asmat Barat Laut.

Bentuk patung gaya ini lonjong agak melebar bagian bawahnya. Bagian kepala
terpisah dari bagian lainnya dan berbentuk kepala kura-kura atau ikan. Kadang
ada gambar nenek moyang di bagian kepala, sedangkan hiasan bagian badan
berbentuk musang terbang, kotak, kepala burung tadung,ular, cacing, dan
sebagainya.
3. Gaya C, Seni Asmat Timur.

Gaya ini merupakan ciri khusus gaya ukir orang Asmat Timur. Perisai yang
dibuat umumnya berukuran sangat besar bahkan melebihi tinggi orang Asmat.
Bagian atasnya tidak terpisah jelas dari bagian lain dan sering dihiasi garis-garis
hitam dan merah serta titik-titik putih.

Perisai gaya D ini hampir sama besar dan tingginya dengan perisai gaya C,
hanya bagian kepala terpisah dari badannya. Morif yang sering digunakan
adalah hiasannya geometris seperti lingkaran, spiral,siku-siku dan sebagainya.

Rumah Adat Suku Asmat

Ada 2 macam rumah adat suku asmat yang mempunyai fungsi dan peran
masing-masing dalam kaitannya memelihara kebudayaan suku asmat tersebut,
yaitu:

1. Jew
Suku asmat mempunyai rumah adat yang bernama jew atau sering disebut
dengan rumah bujang.Rumah adat jew ini berbentuk rumah panggung dengan
luas umumnya 10-15 meter namun ada juga yang panjangnya sampai 50 meter
dengan lebar belasan meter. Rumah jew ini mempunyai posisi yang istimewa
dalam struktur masyarakat suku asmat,karena di bangun demi kepentingan
khusus saat melakukan kegiatan yang bersifat tradisional atau menurut
ketentuan adat.
Rumah jew ini sebagai tempat dibicarakannya atau didiskusikannya segala
urusan yang menyangkut kehidupan warga.Mulai dari rapat adat,tempat
membuat kerajinan tangan dan ukiran kayu,tempat perencaan perang,hingga
keputusan menyangkut desa mereka sekaligus tempat tinggalnya para laki-laki
bujang suku asmat sehingga dikenal dengan rumah bujang oleh masyarakat
setempat.

Disamping itu rumah bujang ini berfungsi sebagai rumah keramat dan untuk
upacara keagamaan serta merupakan tempat yang dianggap sakral oleh
masyarakat suku asmat. Sehingga ada beberapa aturan adat yang harus
dipelajari dan dipahami masyarakat asmat termasuk dalam syarat
pembangunannya.

Rumah adat ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat senjata suku
asmat seperti tombak,panah untuk berburu,noken yaitu tas yang terbuat dari
anyaman serat tumbuhan.Konon tidak sembarang orang diperbolehkan untuk
menyentuh noken yang disimpan dalam rumah jew ini.Karena noken dipercaya
dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan syarat dan aturan tertentu.
Ada beberapa hal yang menyangkut tentang rumah jew adat suku asmat
ini,yaitu:

 Terbuat dari kayu yang selalu didirikan menghadap kearah sungai.


 Umumnya memiliki luas 10×15 meter.
 Tiang penyangganya memakai kayu besi yang kemudian diukir dengan
seni ukir asmat.
 Atap rumah terbuat dari daun sagu atau daun nipah yang telah dianyam.
 Tidak memakai paku dalam pembangunannya tapi memakai tali dari
rotan atau akar tumbuhan.

2. Tysem
Rumah tysem juga di sebut rumah keluarga,karena rumah ini berfungsi untuk
tempat tinggal mereka yang sudah berkeluarga.Biasanya terdapat 2 sampai 3
pasang keluarga yang menghuni tysem yakni terdiri dari 1 keluarga inti senior
dan 2 sampai 3 keluarga yunior.Jumlah anggota keluarga inti masyarakat asmat
biasanya terdiri dari 4 sampai 5 atau 8 sampai 10 orang.

Rumah adat tysem ini diletakan disekeliling rumah adat jew karena ukurannya
yang lebih kecil yaitu 3x4x4 meter.Rumah tysem mempunyai kesamaan dengan
rumah jew yakni berbentuk rumah panggung dan dalam proses pembuatannya
dengan tidak memakai materi bangunan berupa paku karena bahan-bahan yang
dipakai yaitu bahan alami yang terdapat dihutan.

Anda mungkin juga menyukai