Anda di halaman 1dari 11

ETNOGRAFI

SUKU ASMAT PAPUA


Rangkuman ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi
Dosen Pengampu: Chamiyatus Sidqiyah M.Kesos

Disusun Oleh:

Muhammad Dimas Abimanyu (11210541000062)

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H /2022 M
Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku yang ada di Papua, Indonesia. Penduduk
Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas,berkulit hitam dan berambut keriting.
Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162 cm dan tinggi
badan laki-laki mencapai 172 cm.

Suku Asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai Laut Arafuru dan
Pegunungan Jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati
adalah hutan belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan
ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai maskawin.
Semua itu disebabkan karena tempat tinggal Suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga
sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat
kapak, palu, dan sebagainya. Selain ikan,cucut,kepiting,udang,teripang,ikan penyu,cumi-
cumi,dan hewan lainnya yang melimpah ruah.Daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam
yang amat luar biasa,seperti: rotan,kayu,gahar,kemiri,kulit masohi,kulit lawang,damar,dan
kemenyan.

Wilayah yang ditempati Suku Asmat adalah dataran coklat lembek yang tertutup oleh
jaring laba-laba sungai. Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten
sendiri dengan nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik.Hampir setiap hari
hujan turun dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun.Setiap hari juga pasang surut laut masuk
kewilayah ini,sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan
berlumpur.Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah yang
lembek.Praktis tidak semua kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini.Orang yang berjalan harus
berhati-hati agar tidak terpeleset,terutama saat hujan.

Rumah Tradisional Suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter.Sampai
sekarang masih dijumpai Rumah Tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat Pedalaman.
Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal di atas pohon.
Masyarakat Suku Asmat beragama Katolik,Protestan,dan Animisme yakni suatu ajaran dan
praktik keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung. Bagi Suku
Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka.Setiap ritual ini diadakan,dapat
dipastikan,kalau banyak sekali ulat yang dipergunakan

Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap
kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk
upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga,
yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat
hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang
lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. Suku Asmat Darat, Suku Citak
dan Suku Mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu
binatang hutan seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh /
menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk
dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah.

Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa
ornamen / motif yang sering kali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan
patung yang dilakukan oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari
suku mereka, yang biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, sering kali juga
ditemui ornamen / motif lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai
sebagai simbol perahu arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi
penduduk asli suku asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka
dalam melakukan ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.

Bahasa-bahasa milik suku ASMAT dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir
sungai dan Asmat hulu sungai. Para ahli bahasa membagi bahasa Asmat hilir sungai menjadi :

1. sub kelompok Pantai Barat Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa Kaniak,
Bisman, Simay, dan Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina,
seperti misalnya bahasa Batia dan Sapan.
2. Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan Kaimok.

Suku asmat masih menggunakan bahasa leluhur mereka. Setan yang tidak
membahayakan hidup ilmu sihir hitam juga banyak dipraktikan di wilayah masyarakat Asmat,
terutama oleh kaum wanita. Seseorang yang mempunyai kekuatan ini dapat menyakiti atau
membunuh manusia. Ilmu ini biasanya diturunkan oleh seorang ibu kepada anak
perempuannya untuk senjata perlindungan diri.

Alat komunikasi diantara masyarakat suku asmat, yang banyak tersebar di wilayah
papua ialah bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih dominan menggunakan bahasa
Indonesia. Banyak dikalangan masyarakat suku asmat tidak faham akan bahasanya. Dalam
keseharian suku asmat mereka menggunakan bahasa nenek moyang yang sudah berumur
ribuan tahun. Walaupun suku asmat memiliki bahasa sendiri sekalipun tetapi masyarakat suku
asmat tidak mengghilangkan bahasa Indonesia.

Bahasa masyarakat asmat bermacam-macam karena setiap berbeda wilayah mereka


mempunyai bahasa sendiri. Akan tetapi, setiap wilayah itu membuat rumpun bahasa yang sama
karena bahasa merupakan alat komunikasi yang harus dimengerti satu sama lain.

Selain untuk berkomunikasi, bahasa bagi suku asmat digunakan utnuk media
bercengkrama, media untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, sarana yang mampu
melekatkan antara satu sama lain bagi suku asmat.

Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari


makan, dengan cara berburu maupun berkebun, yang tentunya masih menggunakan metode
yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita.
Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya
memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.

Dalam kehidupan Suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat
berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai maskawin. Semua itu
disebabkan karena tempat tinggal Suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit
menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu,
dan sebagainya.

Makanan Pokok orang Asmat adalah sagu,hampir setiap hari mereka makan sagu yang
dibuat jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api.Kegemaran lain adalah makan ulat
sagu yang hidup dibatang pohon sagu,biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah,ditaburi
sagu,dan dibakar dalam bara api.Selain itu sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun
yang memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih.Air tanah sulit didapat karena wilayah
mereka merupakan tanah berawa.Terpaksa menggunakan air hujan dan air rawa sebagai air
bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli Suku Asmat,mereka merasa
dirinya adalah bagian dari alam, oleh karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga
alam sekitarnya, bahkan, pohon disekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran
dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar
menggambarkan kaki mereka
Suku Asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. mereka
hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan
warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warna
hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel,
hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunakan
untuk mewarnai tubuh.

Suku Asmat adalah suku yang menganut Animisme, sampai dengan masuknya para
Misionaris pembawa ajaran baru, maka mereka mulai mengenal agama lain selain agam nenek-
moyang. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti
Protestan, Khatolik bahkan Islam. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan
proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun, melalui berbagai proses, yaitu:

• Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik
agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.
• Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara
sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang
terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun
atau 3 tahun.
• Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia
17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya
piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila
ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib
melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan
aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
• Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan
dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum,
jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat
dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita


melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang
berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh
wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia
mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka
yakin bila nenek moyangnya pada zaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah
pegunungan. Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam
roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun mati. Berdasarkan
mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang
Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang
mereka bagi dalam 3 golongan.

• Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
• Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
• Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.

Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut
seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti
berikut ini:

• Mbismbu (pembuat tiang)


• Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
• Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
• Yamasy pokumbu (upacara perisai)
• Mbipokumbu (Upacara Topeng)

Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal
akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan.
Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup
membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng,
pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka
memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus,
yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori:

1. Setan yang membahayakan hidup. Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh
orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti
setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin,
roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup. Setan dalam kategori ini dianggap oleh
masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang,
hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga
mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh
nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow.

Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan
adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan
kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan
ikan, dan pemburuan binatang.

Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang,
barang curian ataupun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang
mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin,
halilintar, hujan, dan topan.

Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang
turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam
tiap hari. Menururt keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di
suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di
tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam
mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya
Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya
raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi,
ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang
mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, Desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung
Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew
dan mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat sebuah genderang Em, yang sangat
kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti
yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama
kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi
pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.

Ritual Hari Kematian

Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal.
Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka
mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi
yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih
karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian
orang dewasa mendatangkan dukacita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.

Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua
atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau
tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban
yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan
dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia.
Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian
mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan
dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk
dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit
sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk
mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam
pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar
rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah
kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan
maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang
kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari
sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya.
Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi)
dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu),
yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya
dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan
dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung,
terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang
tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang
dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya
terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah
dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa
menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian.
Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan,
di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga
tetap dapat menemukan kuburannya.

Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung

Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses


pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih,
ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk
diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik
dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu
semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat
Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan
bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.

Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya.
Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu.
Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh
dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan
lancar.

Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna
merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal
atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu.
Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru
bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di
kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan
tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam
perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah
disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat
dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah
meninggal.

Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan
pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan
maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang.
Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.

Upacara BIS

Upacara Bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat
sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (Bis) apabila ada permintaan dalam
suatu keluarga. Dulu, upacara Bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang
telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga
dari pihak yang membunuh.

Untuk membuat patung leluhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang
lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama
pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut
dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat
diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu
upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu
ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya.
Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan
tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah
meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara
sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang
satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu
diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas
suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan
akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan
agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga
memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya,
patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.

Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)

Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang
(je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini
dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.

Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang
bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, tetapi apabila ada suatu penyerangan
yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri
oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan
upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.

Anda mungkin juga menyukai