Anda di halaman 1dari 27

BAB 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang Irian jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah kekuasaan, yaitu belahan timur yang merupakan daerah kekuasaan pemerintahan Papua Nugini sedangkan daerah seluas 260.000 kilometer persegi yang berada di belahan barat, yaitu Papua termasuk daerah wilayah pemerintahan Republik Indonesia. Di Papua ini terdiri dari beberapa kabupaten dan suku-suku yang beraneka ragam. Suku Asmat adalah salah satu suku yang ada di Papua. Populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual. Mendengar suku Asmat, mungkin sekilas terpikir di benak kita mengenai pengayauan kepala orang dan kanibalisme. Hal tersebut sempat mewarnai kehidupan sehari-hari orang Asmat. Kehidupan suku Asmat pada jaman dahulu banyak dipenuhi dengan peperangan antar clan atau antar desa. Pada umumnya, pangkal persengketaan adalah antara lain adanya perzinahan, pelanggaran batas daerah sagu, pencurian ulat sagu, ataupun hanya sekedar mencari gara-gara karena terjadinya salah paham atau tersinggung. Konflik antara dua orang biasanya meningkat menjadi konflik antar keluarga, kemudian antar clan, hingga akhirnya melibatkan seluruh kampung. Konflik semacam inilah yang mengakibatkan masyarakat Asmat terbagi ke dalam beberapa clan dan menyusutnya penduduk desa di daerah

Asmat. Sebagai kelanjutan dari peperangan terseb ut adalah terjadinya kayau-mengayau serta kanibalisme. Di dalam masyarakat Asmat pada jaman dahulu, banyak ritual, kesenian, serta aspek-aspek mengenai kebudayaan yang menarik untuk dijelaskan. Perkembangan suku Asmat dahulu hingga sekarang pun telah banyak berubah. Kini pengayauan kepala orang serta kanibalisme sudah merupakan bagian legenda dan sejarah dari suku Asmat. Hal tersebut disebabkan adanya campur tangan pemerintah dan misi-misi penyebaran agama yang dilakukan oleh para misionaris. Kontak dari dunia luar pun sedikit banyak mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di suku Asmat sendiri. Mereka pun mulai mengenal kebudayaan lingkungan luar yang dianggap lebih maju. Saat ini, banyak kebudayaan hasil dari tangan -tangan orang Asmat yang patut membanggakan bagi bangsa ini. Semua hasil kebudayaan itu merupakan bagian dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini. Oleh karena itu, kami sangat tertarik sekali untuk menjelaskan berkaitan dengan suku Asmat melalui tugas etnografi ini, yang dimana lebih menekankan pada segi kebudayaanya pada jaman dahulu. Karangan etnografi ini membahas mengenai lokasi, lingkungan alam, dan demografi, asal mula/ sejarah suku Asmat, bahasa, sistem Teknologi, sistem Mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetah uan, sistem religi, dan kesenian yang ada di tengah -tengah kehidupan masyarakat Asmat.

BAB 2
Etnografi Suku Asmat
1. Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi

Lokasi Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan

daerah tersebut masih merupakan alam yang liar. Mereka tinggal di pesisir barat daya Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat).

Batas-batas geografis Batas-batas geografi daerah tempat dimana suku Asmat dahulu tinggal

adalah sebagai berikut :

 Sebelah utara dibatasi pegunungan dengan puncak-puncak bersalju


abadi,

 Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura,  Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Asewetsy,  Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Pomats. Pertemuan Sungai
Pomats, Undir (Lorentz), dan Asewetsy, bersama-sama kemudian menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir Sungai Asewetsy terletak Agats, tempat kecamatan Agats, salah satu dari 4 kecamatan yang membentang di wilayah Asmat.

Batasan-batasan alamiah ini yang melindungi orang-orang Asmat dari serangan luar. Pada masa Perang Dunia II, daerah tersebut merupakan semacam daerah yang tak bertuan di antara wilayah kekuasaan tentara Jepang di sebelah barat dan tentara Australia di sebelah timur.

Kondisi lingkungan alam Suku Asmat mendiami daerah dataran rendah yang berawa -rawa dan

berlumpur, serta ditutupi dengan hutan tropis. Sungai-sungai yang mengalir di daerah ini tidak terhitung banyaknya, dan rata-rata berwarna gelap karena tertutup dengan lumpur. Daerah tersebut landai yang dimana dialiri oleh tidak kurang dari 10 sungai besar dan ratusan anak sungai. Sungai-sungai besar itu dapat dilayari kapal dengan bobot 1.000 -2.000 ton samapi sejauh 50 kilometer ke hulu. Sejauh 20 kilometer ke hulu, air sungai-sungai itu masih terasa payau. Lingkungan alam di sekitarnya masih terpencil dan penuh dengan rawa-rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu, dan tumbuhan rawa lainnya. Perbedaan pasang dan surut mencapai 4-5 meter sehingga dapat dimanfaatkan untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada pasang surut, orang berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang naik.

Keadaan alam seperti itu disebabkan antara lain adalah karena curah hujan yang turun sebanyak 200 hari setiap tahunnya. Selain itu, perembesan air laut ke pedalaman menyebabkan tanahnya tidak dapat ditanami dengan jenis-jenis tanaman seperti pohon kelapa, bambu, pohon buah-buahan, dan jenis tanaman kebun seperti sayur-mayur, tomat, mentimun, dan sebagainya. Walaupun tanaman seperti itu ada, namun jumlahnya pun sediki atau terbatas.

Namun demikian, daerah rawa-rawa berair payau dengan suhu udara minimal 21 derajat Celcius dan maksimal 32 derajat Celcius ini sangat kaya akan aneka jenis tanaman palem, hutan-hutan bakau, pohon-pohon sejenis kayu balsal, umbi-umbian, tanaman rambat, dan rotan. Batu sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa ini. Alatalat batu yang ditemukan hanya berupa kapak, dan ini pun bukan buatan penduduk setempat melainkan didapatkan melalui perdagangan barter dengan penduduk yang tinggal di daerah dataran tinggi. Orang -orang Asmat juga tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang -barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka.

Data Demografi Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti.

Diperkirakan pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.

Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9 persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata -rata dua setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar clan atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab kematian anak-anak dan bayi , terutama pada bulan -bulan pertama banyak disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak. Tragisnya pada kasus-kasus tertentu, si ibu berperan dalam mempercepat proses kematian karena kurangnya pengetahuan. Sebagai contoh seorang

anak yang menderita diare, tidak diberi minum sehingga mengalami dehidrasi yang menyebabakan kematian pada akhirnya.

Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian tengah, dihuni oleh sekitar 500 -1000 jiwa. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.

Ciri-ciri fisik Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang

berdiam di pegunungan tengah atau di nagian pantai lainnya. Tinggi badan kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter. Ciri-ciri bagian tubuh lainnya yaitu : y bentuk kepala yang lonjong (dolichocephalic), y bibir tipis, y hidung mancung, dan y kulit hitam. Orang Asmat pada umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk berjalan jauh, oleh karena itu betis mereka terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga otot -otot tangan dan dadanya tampak terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum

perempuan kelihatan kurus karena banyaknya perkerjaan yang harus mereka lakukan.

2. Asal mula dan sejarah suku bangsa

Sejarah proses penemuan daerah Asmat

Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada tahun 1770 sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya pada saat dahulu. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil pertukaran barang. melakukan

Kejadian ini yang membuka jalan adanya penyelidikan selanjutnya di daerah Asmat. Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh

seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga 1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.

Suku Asmat yang seminomad itu mengembara sampai jauh keluar daerahnya dan menimbulkan peperangan dengan penduduk daerah yang didatanginya. Untuk mengatasi kekacauan yang sering terjadi tersebut, Pemerintah Belanda pada waktu itu, melancarkan usaha -usaha dalam rangka mengurangi peperangan dan memulihkan ketertiban. Pada tahun 1938, didirikan suatu pos pemerintahan yang berlokasi di Agats. Namun terpaksa ditinggalkan ketika pecah perang dengan Jepang pada tahun 1942. Selama perang itu berlangsung, hubungan denga orang-orang Asmat tidak terjalin. Hubungan tetap dengan masyarakat Asmat terjalin kembali dengan didirikannya suatu pos polisi pada tahun 1953.

Mei 1963, daerah Irian Jaya resmi masuk menjadi wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, Pemerintah Indonesia

melaksanakan usaha-usaha pembangunan di Irian Jaya termasuk daerah Asmat. Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah dan masayarakat Asmat.

3.

Bahasa

Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok bahasa yang oleh para ahli linguistik disebut sebagai Language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi filum bahasa-bahasa Irian (Papua) Non-Melanesia. Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli bahasa dibagi menjadi bahasa Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub kelompok Pantai Barat Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya atau Kasuarina, seperti misalnya bahasa Batia dan Sapan.Sedangkan Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan Kaimok.

4.

Sistem Teknologi Teknologi yang telah dimiliki dan ditemukan oleh suku Asmat adalah

sebagai berikut:

Alat-alat produktif Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk

mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan

dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditamb atkan saja pada waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.

Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukirukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi b inatang dan kulit siput yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu merupakan benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput.

Senjata Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari

tombak dan panah musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Senjata ini terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yang lunak dan ringan. Tombak pada masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras seperti kayu besi atau kulit pohon sagu. Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari.

Makanan Orang-orang Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga

ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka. Berapa jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang Asmat adalah :

1.

Makanan pokok (sagu) Sagu sebagai makan pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh

masyarakat Asmat. Untuk mendapatkan makanan dari pohon sagu, pohon itu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian, dan isinya ditumbuk hingga hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air sederhana yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu yang diperoleh diolah menjadi adonan yang beratnya kira -kira 5 kilogram. Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semipadat supaya mudah dibawa dan disimpan sampai diperluka n. Proses pembuatan sagu, mulai dari penebangan pohon hingga

terbentuknya adonan siap masak memakan waktu sehari penuh, dari matahari terbit hingga terbenam.

2.

Makanan tambahan Sebagai makanan tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat

sagu yang didapatkan di dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu yang merupakan sumber protein dan lemak adalah makanan yang lezat dan bernilai tinggi bagi mereka. Telur-telur ayam hutan yang ditemukan di pasir delata-delta yang sering tertutup air pada waktu air pasang juga dikumpulkan. Telur-telur ini dikumpulkan dan dibungkus dakan daun dan dipanggang hingga keras. Apapun yang ditemukan di

hutan, seperti babi hutan, kuskus, burung, dan segala jenis daun-daunan yang dapat dimakan, dikumpulkan sebagai tambahan makanan pedamping sagu.

Orang Asmat juga memburu iguana (sejenis kadal) untuk mengambil dagingnya yang kemudian dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun mereka tangkap dan dijadikan makanan tambahan.

3.

Makanan lainnya Orang Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak

setiap harinya ada. Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa pulang ke kampung dengan perahu lesung panjang diiringi dengan nyanyian. Setiba di kampung, mayatnya dipotong-potong dan dibagibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil menyanyikan lagu kematian, kepala musuh tersebut dipotong dan dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan daun sagu untuk kemudian dipanggang.

Perhiasan Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa

dikenakan sehari-hari dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti burung. Seperti misalnya titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan pada burung.

Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila sedang marah.

Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang dari si pengayau kepala yang perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam keong laut, atau kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi.

Anting-anting wanita terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai untuk dijadikan kalung penghias leher. Untuk mendapatkan gigi-gigi itu, anjing tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing tersebut mati. Oleh karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka, dan sering dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak wanita.

Pakaian Suku Asmat mempunyai pakaian adat, yakni koteka. Koteka biasa

digunakan oleh kaum lelaki yang tinggal di daerah Wamena. Koteka sendiri terbuat dari kulit labu yang panjang dan sempit. Fungsi koteka untuk menutupi bagian alat reproduksi kaum lelaki, sedangkan bagian badan mereka tidak menggunakan apa -apa. Cara penggunaan koteka yakni dengan cara diikatkan pada tali yang melingkar di pinggang. Wanita pun, umumnya, menggunakan pakaian yang hampir sama digunakan para lelaki. Mereka hanya menutupi tubuh di sekitar alat reproduksinya. Pakaian yang digunakan, yakni seperti rok yang terbuat dari bahan akar tanaman kering yang dirajut seperti benang -benang kasar. Untuk bagian atas badan, biasanya, wanita suku Asmat tidak menggunakan apa-apa atau bertelanjang dada. Ini merupakan kebiasaan dan budaya yang mereka miliki.

Tempat berlindung dan perumahan

Jew atau rumah bujang adalah nama sebutan bagi rumah adat suku Asmat. Suku Asmat adalah salah satu kelompok suku yang tinggal di Papua. Sebuah pulau yang berbentuk kepala burun g, terletak di bagian timur Indonesia. Suku Asmat memiliki rumah adat suku Asmat bernama jew. Bila warga harus berdiskusi tentang semua hal yang berhubungan dengan kehidupan warga, maka mereka berkumpul di dalam jew ini. Di dalam rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat seperti tombak dan panah untuk berburu. dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan yang dianyam menjadi sebuah tas. Tidak sembarang orang boleh menyentuh noken yang disimpan di dalam rumah adat suku Asmat ini. Jew adalah tempat yang dianggap sakral bagi suku Asmat. Ada sejumlah aturan adat di dalamnya yang musti dipelajari dan dipahami oleh orang Asmat sendiri, termasuk syarat membangun Jew. Berikut beberapa hal menyangkut rumah adat suku Asmat : y Rumah adat suku Asmat yang dibuat dari kayu ini selalu didirikan menghadap ke arah sungai.

Panjang rumah adat suku Asmat ini bisa berpuluh-puluh meter. Bahkan ada Jew yang panjangnya bisa sampai lima puluh meter dengan lebarnya belasan meter.

Sebagai tiang penyangga utama rumah adat suku Asmat, mereka menggunakan kayu besi yang kemudian diukir dengan seni ukir suku Asmat

Mereka tidak menggunakan paku atau bahan-bahan non alami lainnya, tapi orang Asmat menggunakan bahan-bahan dari alam seperti tali dari rotan dan akar pohon.

Atap rumah adat suku Asmat ini terbuat dari daun sagu atau daun nipah yang telah dianyam. Biasanya warga duduk beramai -ramai menganyamnya sampai selesai.

Jumlah pintu jew sama dengan jumlah tungku api dan patung bis (patung gambaran leluhur dari suku Asmat). Jumlah pintu ini juga dianggap mencerminkan jumlah rumpun suku Asmat yang berdiam di sekitar rumah adat suku asmat. Setelah pembangunan rumah adat suku Asmat ini selesai, mereka

akan melakukan pesta selama semalaman. Menari dan menyanyi bersama diiringi oleh suara pukulan alat musik tradisional papua,Tifa. Dengan melakukan atraksi ini, orang suku Asmat percaya, roh para leluhur mereka datang dan akan menjaga rumah mereka.

Alat transportasi dan perlengkapannya

Masyarakat

Asmat

mengenal

perahu

lesung

sebagai

alat

transportasinya. Pembuatan perahu dahulunya digunakan untuk persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu tersebut dicoba menuju ke tempat musuh dengan maksud memanasmanasi musuh dan memancing suasana musuh agar siap berper ang. Selain itu, perahu lesung juga digunakan untuk keperluan pengangkutan dan pencarian bahan makanan.

Setiap 5 tahun sekali, orang-orang Asmat membuat perahu-perahu baru. Walaupun daerah Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun pembuatan perahu mereka memilih jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu banyak. Yang digunakan adalah kayu kuning (ti), ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut yerak.

Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu. Untuk membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu. Proses pembuatan perahu dari bentuk batang hingga selesai diukir dan dicat meliputi beberapa tahap. Pertama, batang yang masih kasar dan bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar supaya perahu menjadi ringan dan laju jalannya. Bagian muka perahu disebut cicemen, diukir menyerupai burung atau binatang lainnya perlambang pengayauan kepala. Atau ukiran manusia yang melambangkan saudara yang telah meninggal. Perahu kemudian dinamakan sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu. Panjang perahu mencapai 15 -20

meter. Setelah semua ukiran dibuat di p erahu maka perahu pun di cat. Bagian dalam dicat putih, bagian luar dicat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan dahun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu harus diresmikan melalui upacara.

Ada 2macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yang tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 47 meter. Sedangkan perahu clan biasa memuat antara 20 -20 orang dengan panjang 10-20 meter.

Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi. Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan rawa -rawa.

5.

Sistem Mata Pencaharian

Kehidupan sehari-hari

Mata pencaharian hidup orang Asmat di daerah pantai adalah meramu sagu, berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah babi hutan), dan mencari ikan di sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga terkadang menanam buah-buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka juga dengan sengaja menanamnya di kebun -kebun ekcil yang sederhana berada di tengah-tengah hutan. Orang Asmat hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon sagunya lagi, lebih menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya

Dahulu, orang Asmat hidup di hutan-hutan, menetap di suatu tempat untuk beberapa bulan, kemudian pidanh mencari tempat baru bila bahan makanan di sekitarnya sudah berkurang. Hidup di hutan berarti hidup bebas, maka hal inilah yang membuat mereka terkadang kembali ke hutan meninggalkan kampun yang telah disediakan.

Hari Senin mereka biasa berangkat ke hutan dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Sebagian besar waktu dilewati di hutan dengan mendirikan rumah besar, yang disebut dengan Bivak.

Kehidupan di perkampungan

Dengan didirikannya perkampungan -perkampungan bagi orang-orang Asmat, maka kehidupan mereka yang seminomad itu mulai berubah. Biasanya, kampung yang satu berjauhan dengan kampung yang lain. Hal ini disebabkan adanya perasaan takut akan diserang musuh yang sudah tertanam di pikiran

orang-orang Asmat. Populasi suatu kampung biasanya terdiri dari 100 hingga 1000 jiwa. Kampung-kampung tersebut terdiri dari beberapa rumah keluarga dan rumah bujang. Tiap-tiap kampung memiliki daerah sagu dan daerah ikan yang merupakan sumber makanan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu, berburu dan menangkap ikan merupakan kes ibukan pokok masyarakat Asmat. Dalam masyarakat Asmat, kaum wanita yang bekerja mencari dan mengumpulkan bahan makan serta mengurus anak -anak. Kebiasaan ini sudah membudaya dalam kehidupan mereka karena kaum pria dahulunya sering disibukkan dengan berperang. Pada dasarnya, kegiatan kaum laki -laki terpusat di dalam rumah bujang yang dimana mereka berkumpul untuk mendengarkan ritual-ritual yang berhubungan den gan peperangan dahulu serta menceritakan dongeng para leluhur. Pagi-pagi sebelum matahari terbit, kaum ibu dan wanita muda berangkat ke laut mencari ikan. Mereka menjaring ikan di muara sungai dengan jaring yang terbuat dari anyaman daun sagu. Caranya pun sederhana, dengan melemparkan jaring itu ke laut untuk kemudian ditarik bersama -sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena banyaknya lumpur di daerah itu sehingga memberatkan dalam penarikan jaring. Selain menangkap ikan, kaum wanita juga mengolah sagu, men cari umbi-umbian, dll untuk dijadikan bahan makanan.

6. Organisasi Sosial

Status dan Peran

Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki -laki dan perempuan adalah berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan . Secara umumnya, kaum perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan dan menjaring ikan di laut atau di sungai. Sedangka kaum laki -laki lebih sibuk dengan melakukan kegiatan perang antar clan atau antar kampung. Kegiatan kaum laki laki juga lebih terpusat di rumah bujang.

Sistem kekerabatan/ keluarga

Dasar kekerabatan masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau kadang-kadang poligini, yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada kesatuan -kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu
keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah menempati rumah

keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu, keluarga -keluarga seperti itu, biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2 -3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.

Lembaga pernikahan

Sistem kekerabatan orang Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur pernikahan berdasarkan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukima n (adat eksogami clan). Garis keturunan ditarik secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah yang virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kau m kerabat suami. Dalam masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan poligini yang disebabkan adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah pernikahan antara seorang janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan biasanya dilakukan oleh pihak kerabat per empuan. Namun, dalam hal pencarian jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki -laki melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir de ngan pertikaian dan pembunuhan. Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur (perse tsyem).

 1.

Sistem pemerintahan

Pemerintahan secara tradisional (struktur paroh masyarakat) .

Di setiap kampung yang didirikan di wilayah masyarakat Asmat, terdapat satu rumah panjang yang merupakan semacam balai desa dimana para warga kampung berkumpul membicarakan masalah -masalah yang menyangkut kepentingan seluruh warga. Rumah panjang ini merupakan cerminan kehidupan mereka di masa lampau. Rumah panjang dauhulunya berfungsi sebagai rumah bujang, atau Je dalam bahasa Asmat, dimana kaum pria membicarakan dan merembukan penyerangan serta pengayauan kepala.

Rumah bujang terdiri 2 bagian utama yang tiap bagian dinamakan ai pmu, yang dimana masing-masingnya dipimpin oleh kepala aipmu. Sedangkan kepemimpinan Je secara keseluruhan dipimpin oleh kepala Je. Kepala Je adalah orang yang diakui kekuasaannya berdasarkan kemampuan -kemampuan yang menonjol. Kedudukan kepala Je, tidak ha rus diberikan kepada orang yang paling tua, sehingga mungkin ada kekosongan pimpinan sebelum kepala baru terpilih.

Seringkali kepala Aipmu adalah kepala perang juga. Dia adalah orang yang mampu mengatur dan merencanakan strategi -strategi penyerangan secara besarbesaran dan meliputi satu kampung. Untuk dapat menggerakkan rakyatnya maka kekerasan merupakan sifat utama dan sifat itulah yang membantu dalam mempertahankan kekuasaannya. Kepala Aipmu dipilih berdasarkan kepribadian dan keberhasilannya. Umur jug a merupakan faktor penting. Pada umumnya, orang-orang muda belum mempunyai bobot bila mereka belum berkeluarga dan membuktikan keberaniannya dalam berperang. Dalam hal -hal tertentu , peranan pimpinan adat dapat dijalankan orang -orang yang ahli dalam berbagai lapangan. Misalnya, ahli bidang keagamaan memimpin upacara keagamaan, ahli

menyanyi dan menabuh tifa berperan dalam upacara adat, bahkan ahli kebatinan adakalanya memimpin suatu upacara. Ada ahli lain yang sering dianggap lebih terhormat dibandingkan para pemimpin lainnya oleh masyarakat Asmat, yaitu seniman pahat patung (wow-ipits).

2.

Pemerintahan baru (non tradisional)

Berbeda degan pola tradisional, pola kepemimpinan dan kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan -jalan dan juga menjaga agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik -baiknya. Umumnya, jabatan kepala desa ini diserahkan kepada orang muda yang telah mendapat sedikit pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan. Di dalam tuganya, ia dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang biasanya adalah seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa.

Di samping itu, terdapat seorang kepala distrik yang membawah i para polisi desa yang mengatur hansip setempat. Kepala distrik inilah yang memutuskan hukuman apabila terjadi pelanggaran yang cukup serius. Tampak adanya suatu pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Di satu pihak, terdapat kepala desa beserta pembantu-pembantunya dan di pihak lain terdapat kepala distrik yang menangani pelangaran -pelanggaran khusus.

7.

Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suku Asmat adalah sebagai berikut :

Pengetahuan mengenai alam sekitar

Orang Asmat berdiam di lingkungan alam terpencil dan ganas dengan rawa-rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu dan lainnya. Perbedaan pasang dan surut mencapai 4 -5 meter. Pengetahuan itu dimanfaatkan oleh orang Asmat untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu pasang surut, orang berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang naik.

Pengetahuan mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tingga l.

Pohon sagu banyak tumbuh di daerah dimana orang Asmat tinggal. Oleh karena itu, makanan pokok orang Asmat adalah sagu dengan makanan tambahan seperti ubi-ubian dan berbagai jenis daun -daunan. Mereka juga memakan berbagai jenis binatang seperti, ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi hutan, burung, telur ayam hutan, dan ikan. Sagu diibaratkan sebagai wanita. Kehidupan dianggap keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar dari rahim ibu. Selain itu, gigi-gigi anjing yang telah mati biasa digunakan sebagai perhiasan.

 Pengetahuan mengenai zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda


dalam lingkungannya

Orang-orang Asmat hanya mengenal 3 warna dalm kehidupannya, yaitu warna merah, putih, dan hitam. Warna merah didapatkan dari campuran tanah merah dengan air. Untuk warna putih, orang Asmat membakar semacam kerang yang kemudian ditumbuk dan dicampur dengan air. Sedangkan warna hitam diperoleh dengan cara mencampurkan arang dengan

air. Ketiga warna ini biasa terlihat pada hasil ukiran dan juga cara berhias yang dilakukan oleh orang-orang Asmat.

Pengetahuan mengenai sifat dan tingkah laku (kebutuhan) antar manusia.

Tempat tinggal suku Asmat yang berada di daerah dataran rendah membuat mereka perlu mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya. Seperti misalnya batu sangat langka di daerah -daerah lumpur berawa-rawa tempat dimana suku Asmat tinggal. Oleh karena itu, mereka telah mengatahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh masyarakat merekas sendiri maupun masyarakat di luar daerahnya. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, suku Asmat telah mengenal sistem barter. Mereka telah biasa melakukan barter dengan masyarakat lain yang tinggal di daerah dataran tinggi untuk mendapatkan alat-alatseperti kapak, batu, dsb yang memudahkan mereka dalam kehidupannya.

Pengetahuan mengenai ruang dan waktu

Untuk memeperoleh bahan makanan di hutan, orang -orang Asmat pun berangkat pergi pada hari Senin dan kembali ke kampung pada hari Sabtu. Selama di hutan, mereka tinggal di rumah sementara yang bernama bivak.

Apabila orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum diambil pada saat air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut disimpan dalam tabung bambu yang diperoleh dari hasil penukaran dengan penduduk desa di lereng-lereng gunung.

8. Kesenian

Anda mungkin juga menyukai