Anda di halaman 1dari 12

3

RAGAM ETNOGRAFI PAPUA

Burung Raksasa yang Tidur


Bila kita melihat sepintas Tanah Papua tampak berbentuk seekor burung raksasa atau
burung jaman purba: Dinosaurus. Karena besar dan penuh misteri para penjelajah sering
menyebut pulau terra nullius – tanah tak bertuan. Namun tidak demikian, setelah dijajaki
dan didalami oleh peneliti etnografer pulau ini telah dihuni oleh nenek moyang orang
Papua puluhan ribu tahun yang lalu. Hanya karena sumber daya alamnya yang belum
sepenuhnya dimanfaatkan untuk pembangunan Papua, maka Barnabas Suebu Gubernur
Irian Jaya waktu itu menyebut Papua adalah “Raksasa yang Masih Tidur”.
Bagian Barat atau sering disebut Kepala Burung adalah menjadi wilayah Provinsi
Papua Barat dengan 13 Wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan bagian timur adalah Provinsi
Papua dengan 29 Kabupaten/Kota. Dua provinsi Papua dan Papua Barat memiliki luas
wilayah terbesar di Indonesia 416.800 km persegi (3 kali besar pulau Jawa). Jumlah
penduduk sekitar 2.013.620 jiwa, kepadatan terjarang di Indonesia (4 jiwa/km persegi).
Luas dan topografi wilayah menunjukkan keragaman budaya kelompok suku/bangsa
walaupun dengan jumlah pengikut yang jumlahnya kecil hingga 100 orang.
Keanekaragaman suku bangsa di Papua tergambar dalam berbagai unsur geografis dan
sosial budaya seperti: alam geografi, bahasa, struktur organisasi sosial, sistem
kepemimpinan, agama dan mata pencaharian yang bersumber dari kekayaan sumber daya
alam.

Adapun batas-batas wilayah Tanah Papua adalah sebagai berikut :

- Sebelah utara berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik


- Sebelah Timur berbatasan dengan Negara tetangga kita Papua New Guinea
- Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Aru dan Benua Australia
- Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda yang termasuk dalam
wilayah Pemerintahan Propinsi Maluku

Selain pulau besar pulau Papua, pada bagian utara memiliki banyak pulau-pulau kecil
yang antara lain : Pulau Yapen, Pulau Numfor, Supiori, Padaido dan Pulau Roon yang
semuanya berada di teluk cenderawasih, sedangkan pada bagian selatan terdapat pulau Adi,
pulau Aiduma, Naurio, Yos Sudarso (Kimam) dan pulau Komoran. Pulau terluar sekaligus
perbatasan tersebut memiliki tantangan tersendiri untuk pemerataan pembangunan dan
sekaligus menjaga dari penguasaan dari negara-negara asing. Demikian juga Tanah Papua
diwarnai keanekaragaman bentuk teluk dan sungai-sungai besar yang mempunyai potensi
sumberdaya alam yang sangat besar. Teluk-teluk tersebut diantaranya : Teluk Yos Sudarso,
Teluk Cenderawasih, Teluk Wandamen, Teluk Berau/Bintuni yang berada di bagian utara.
Sedangkan Teluk Arguni dan Triton berada di bagian selatan Papua. Beberapa sungai yang
lebar dan panjang adalah sungai Mamberamo, Grime, Tami, dan sungai Digul.
Di tengah tanah besar Papua juga terdapat daerah pegunungan yang membujur dari barat ke
timur seperti pegunungan Tamrau, Arfak, Sudirman, Nasauw, Jayawijaya dengan puncak-
puncaknya yang tinggi seperti Puncak Jaya/Carstensz Pyramide setinggi 4.884m, Puncak
Trikora memiliki tinggi 4.751, dan Puncak Yamin yang selalu diincar oleh pendaki gunung
dunia. Seperti Puncak Jaya atau sering disebut Carstensz Pyramide memiliki keunikan dan
keajaibannya sendiri di dunia dengan adanya salju abadi di tengah iklim tropis yang
ekstrim.
Pulau Papua berada di dekat khatulistiwa dan beriklim tropis. Suhu udara pada
ketinggian permukaan laut hampir seragam bagi seluruh daerah yaitu sekitar 26°C. Variasi
suhu terjadi karena ketinggian daerah yang berbeda-beda. Setiap ketinggian 100 meter
diatas permukaan laut terjadi penurunan suku sebanyak kurang lebih 0.5°C. Karena itu
tanah pegunungan yang mencapai ketinggian lebih dari 4.400 meter diatas permukaan laut
senantiasa tertutup salju abadi. Curah hujan bagi sebagian besar daerah cukup tinggi, rata-
rata 2.000-3.000 milimeter tiap tahun, di beberapa tempat di daerah pegunungan tengah
curah hujan kadang melebihi 4.000 mm/tahun.

Zona Ekologi dan Mata Pencaharian


Kondisi lingkungan alam (ekologi) Tanah Papua terbilang paling lengkap di dunia.
Mulai dari dasar laut, pulau-pulau kecil, pesisir pantai, muara sungai, rawa, danau, kaki
bukit dan lembah, hingga ke puncak gunung es. Keragaman sumber daya alam tersebut
telah diungkap oleh petualang dan ahli biologi seperti Boelarss, Tukher, Petozs. Terakhir
laporan dari Lavilin Internasional Incorporate tentang Rencana Pembangunan Daerah
Sektor Papua, dan Sektor Antropologi (1987), sepakat membagi Papua kedalam 4 (empat)
zona ekologis utama. Dipertegas lagi oleh antropolog Indonesia Koentjaningrat (1994) dan
Mansonben (2003) menyebutkan bahwa perbedaan antar musim umumnya tidak terlalu
besar kecuali di daerah dataran rendah utara, hujan selama bulan Juli hingga September
mencapai 200 mm/bulan. Juga hampir tidak nampak musim kemarau.
Empat zona atau daerah ekologis utama tersebut adalah: Pertama, Zona Rawa
(Swampy areas), Pantai dan sepanjang Aliran Sungai (Coastal and riverine). Tempat
berdiam suku Asmat, Jagai, Awyu, Yagai Citak, Marind Anim, Mimika-Komoro dan
Waropen. Mata pencaharian utama penduduk yang tinggal di daerah hulu sungai besar dan
kecil adalah meramu sagu dan berburu babi hutan dan binatang kecil lain yang hidup liar,
kadang mencari ikan di sungai. Mereka tidak tahu berkebun dan tidak hidup menetap dalam
kampung, berkelompok dan sering berpindah-pindah tempat.
Zona kedua adalah Dataran Tinggi (Highlands) yang ditempati oleh suku Dani, Yali,
Ngalum, Amungme, Nduga, Damal, Moni dan suku Ekari/Mee. Mata pencaharian utama
mereka adalah berkebun menanam umbi–umbian dan memilihara babi. Ketiga, Zona Kaki
Gunung dan Lembah–Lembah kecil (Foothills and small valleys) yang didiami oleh suku
Sentani, Nimboran, Ayamaru, dan orang Muyu. Mata pencaharian utama mereka adalah
bercocok tanam di ladang atau berkebun menanam berbagai jenis ubi, tebu, dan sejumlah
tanaman lain; berburu dan beternak babi. Keempat adalah Zona Dataran Rendah dan
Pesisir (Coastal lowland areas), meliputi wilayah dan suku-suku Sorong sampai Nabire, 
Jayapura, Sarmi, Biak dan Yapen. Penduduk wilayah ini pada dasarnya adalah peramu sagu
yang juga bermata pencaharian sebagai nelayan sungai dan pantai. Kegiatan berkebun
secara terbatas. Pengambilan sagu untuk kebutuhan keluarga pada hari tertentu. Sebatang
pohon sagu bisa untuk makan selama 45 hari. Kaum terpelajar kebanyakan dari kota dan
desa yang berada di daerah pantai.
Dengan demikian, orang Papua yang tinggal hidup pada zona ekologi yang berbeda,
mewujudkan pola perilaku yang berbeda pula. Misalnya, orang Mimika, Asmat dan
Waropen yang hidup di zona ekologi rawa bermata pencaharian pokok meramu sagu,
sedangkan menangkap ikan adalah mata pencaharian pelengkap. Sebaliknya orang Dani
dan Mee yang hidup di zona ekologi dataran tinggi mata pencaharian pokok mereka adalah
pertanian di samping itu beternak babi. Demikian juga orang Muyu, Genyem, dan Arso
yang hidup pada zona ekologi kaki-kaki gunung dan lembah-lembah kecil menjadikan
perladangan berpindah dan meramu sagu sebagai mata pencaharian pokok di samping
berburu dan beternak. Sedangkan penduduk yang hidup di zona ekologi pantai, muara
sungai dan kepulauan seperti orang Biak, Wandamen, Moi, dan penduduk yang tinggal di
kepulauan Raja Ampat menjadikan pekerjaan menangkap ikan, meramu sagu dan berladang
sebagai mata pencaharian pokok di samping berburu merupakan mata pencaharian
pelengkap.
Di samping mempengaruhi mata pencaharian penduduk, lingkungan ekologi
mempengaruhi terhadap aspek budaya lain seperti organisasi sosial dan sistem ideologi atau
sistem kepercayaannya. Di dalam system organisasi sosial di zona ekologi pegunungan
tengah (pegunungan tinggi) kita jumpai penduduk yang hidup dalam rumah-rumah besar
dalam hubungan-hubungan keluarga luas, jaringan luas, dan sistem klen, gabungan klen
dan federasi yang kompleks, seperti ditunjukkan oleh sistem sosial orang Dani. Sebaliknya
pada zona ekologi muara sungai, kepulauan dan pesisir pantai kita jumpai masyarakat yang
hidup dalam keluarga inti kecil (4-5 orang) yang bersifat induvidualistis. Contoh
masyarakat seperti ini adalah penduduk pantai utara.

Sejarah Bahasa di Papua


Kebudayaan lahir dari masyarakat sebagai kelompok etnis atau suku bangsa yang sadar
dalam kesatuan (kolektif) kebudayaan yang bisa ditandai oleh kesamaan bahasa. Atau
dengan kata lain bahasa adalah salah satu unsur budaya yang menentukan
berintegrasi/bersatu dan disintegrasi/terpisah suku bangsa. Bahasa adalah suatu
sistem bunyi, yang kalau digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti, dapat
ditangkap maknanya oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Bahasa terdiri dari
sistem bunyi/suara yang disebut bahasa lisan; karya tulis, dan gerak tubuh yang disebut
bahasa tulisan dan bahasa tubuh. Saat ini diketahui 577 ragam bahasa daerah, maka dapat
diketahui jumlah kelompok masyarakat di Indonesia.
Oleh sebabnya keanekaragaman bahasa adalah ”pintu masuk” untuk mengetahui lebih
jauh tentang suku-suku bangsa di Papua. Hasil penelitian terakhir oleh beberapa antropolog
dan ahli linguistik (antrolinguistik) Uncen menyebutkan 277 bahasa atau sub suku bangsa
di Papua. Bahasa terdiri dari bahasa lisan atau bertutur dan bahasa tulisan, serta
kode/simbol tertentu. Selain untuk mengetahui jumlah suku, bahasa dapat memahami
karakteristik kehidupan sosial budaya masyarakat dalam wujud tuturan, perilaku, maupun
tulisan.
Dua kelompok besar bahasa dunia: pertama, Austronesia yaitu kelompok bahasa Papua
Melanesia dan, kedua Non Austronesia yang menurunkan bahasa non Melanesia
merupakan bahasa asli orang Papua. Diantaranya yang berkembang pesat adalah bahasa
Melanesia sedangkan bahasa asli semakin tidak diketahui keberlangsungannya. Bahasa
Melanesia merupakan bahasa induk dari bahasa lokal di Papua yang kini berjumlah 277
bahasa. Bahasa digunakan sebagai sarana komunikasi antar kelompok warga dan sekaligus
dipakai sebagai simbol untuk menyatakan identitas diri kelompok suku/etnik.
Kaluarga bahasa Melanesia merupakan suatu bagian dari suatu rumpun bahasa yang
lebih besar ialah rumpun bahasa Austronesia, yang meliputi semua bahasa yang diucapkan
di suatu daerah kepulauan yang sangat luas yaitu sebelah barat dibatasi oleh Madagaskar
(sebelah timur Afrika), sebelah utara oleh Taiwan, dan sebelah timur oleh kepulauan Paas
di Lautan Teduh. Bahasa tersebut masuk ke Papua mendekati wilayah-wilayah pantai dan
kepulauan yang jumlahnya sekitar 43 filum seperti Biak, Wandamen, Waropen, dan Maya.
Sedangkan kelompok bahasa Non Austronesia atau kelompok bahasa Papua dibagi
menjadi sepuluh filum digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di
bagian tengah Papua, dari wilayah barat Kepala Burung ke ujung bagian timur Nugini,
misalnya bahasa Meybrat, Dani, Ekari, Asmat, Muyu dan Sentani. Di samping itu, bahasa
Papua dibagi ke dalam beberapa keluarga khusus yang satu dengan lain tak ada sangkut
pautnya sama sekali. Tiap-tiap keluarga ada sub keluarganya, dan tiap-tiap sub keluarga itu
terdiri dari bahasa-bahasa konkrit yang amat banyak jumlahnya. Terutama Papua bagian
Teluk Cenderawasih dan Daerah Pantai Utara, terkenal dengan gejala kelompok-kelompok
bahasa yang amat kecil Di daerah tersebut ada misalnya bahasa-bahasa yang hanya
diucapkan oleh 100 orang, bahkan ada bahasa-bahasa yang lebih kecil lagi. Bahasa asli
Papua ini berasal dari wilayah pegunungan.
Bahasa adalah alat komunikasi dan simbol identitas suatu suku bangsa.
Keanekaragaman bahasa dan budaya menjadikan mereka tinggal terpisah satu sama lain
karena isolasi geografis. Karena itulah orang Papua yang tinggal di Papua bagian selatan
seperti orang Mimika, orang Asmat, atau orang Marin Danim, pada dasarnya amat berbeda
dengan orang Moni atau orang Dani di Pegunungan Jayawijaya, atau dengan orang Biak
atau Waropen di Teluk Cenderawasih, dan pada dasarnya amat berbeda pula dari orang Tor
atau orang Bgu (Bonggo) di daerah Pantai Utara.
Keragaman bahasa di Papua telah mendorong untuk menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar, alat pemersatu antar suku bangsa, pendidikan, pembuatan surat-
surat resmi, dan dalam upacara keagamaan orang Papua.
Bahasa/Sub Suku Bahasa/Sub Suku Bahasa/Sub Suku Bahasa/Sub Suku Bahasa/Sub Suku
1. Bahasa Lani 56. Bahasa Dera 111. Bahasa Ketum 166. Bahasa Momina 222. Bahasa Waris
2. Bahasa Abinomn 57. Bahasa Diebroud 112. Bahasa 167. Bahasa Momuna 223. Bahasa Waritai
3. Bahasa Abun 58. Bahasa Dineor Kimaghima 168. Bahasa Moni 224. Bahasa Warkay-
4. Bahasa Aghu 59. Bahasa Diuwe 113. Bahasa Kimki 169. Bahasa Mor Bipim
5. Bahasa Airoran 60. Bahasa Doutai 114. Bahasa Kirikiri 170. Bahasa Mor 225. Bahasa Waropen
6. Bahasa Ambai 61. Bahasa Duriankere 115. Bahasa Kofei 171. Bahasa Morai 226. Bahasa Wauyai
7. Bahasa Anasi 62. Bahasa Dusner 116. Bahasa Kokoda 172. Bahasa Morori 227. Bahasa Woi
8. Bahasa Ansus 63. Bahasa Duvle 117. Bahasa Kombai 173. Bahasa Moskona 228. Bahasa Wolai
9. Bahasa Arandai 64. Bahasa Edopi 118. Bahasa 174. Bahasa Mpur 229. Bahasa Woria
10. Bahasa Arguni 65. Bahasa Eipomek
Komyandaret
175. Bahasa Munggui 230. Bahasa Yahadian
119. Bahasa Konda 231. Bahasa Yale
11. Bahasa As 66. Bahasa Ekari 176. Bahasa Murkim
120. Bahasa Kosarek
12. Bahasa Asmat 67. Bahasa Elseng 3 177. Bahasa Muyu Utara
Koneraw 232. Bahasa Yali
Pantai Kasuari 68. Bahasa Emem 121. Bahasa 178. Bahasa Muyu Selatan Angguruk
13. Bahasa Asmat 69. Bahasa Eritai 179. Bahasa Nafri
Tengah
Kopkaka 233. Bahasa Yali Ninia
70. Bahasa Erokwanas 122. Bahasa Korowai 180. Bahasa Nakai 234. Bahasa Yali
14. Bahasa Asmat
Utara 71. Bahasa Fayu 123. Bahasa 181. Bahasa Nacla Lembah
15. Bahasa Asmat 72. Bahasa Fedan Korupun-Sela 182. Bahasa Namla 5 235. Bahasa Yaqay
Yaosakor 73. Bahasa Foau 124. Bahasa Kosare 183. Bahasa Narau 236. Bahasa Yarsun
16. Bahasa 74. Bahasa Gresi 125. Bahasa Kowiai 184. Bahasa Ndom 237. Bahasa Yaur
Atohwaim 75. Bahasa Hatam 126. Bahasa Kuri 185. Bahasa Nduga 238. Bahasa Yawa
17. Bahasa Auye 76. Bahasa Hupla 127. Bahasa Kurudu 186. Bahasa Ngalum 239. Bahasa Yei
18. Bahasa Awbono 77. Bahasa Iau 128. Bahasa Kwer 187. Bahasa Nggem 240. Bahasa Yelmek
19. Bahasa Awera 78. Bahasa Iha 129. Bahasa Kwerba 188. Bahasa Nimboran 241. Bahasa Yeretuar
20. Bahasa Awyi 79. Bahasa Iha Pijin 130. Bahasa Kwerba 189. Bahasa Ninggerum 242. Bahasa Yetfa
21. Bahasa Awyu 80. Bahasa Irarutu
Mamberamo
190. Bahasa Nipsan 243. Bahasa Yoke
Asue 131. Bahasa Kwerisa
81. Bahasa Iresim 191. Bahasa Nisa 244. Bahasa Zorop
22. Bahasa Awyu 132. Bahasa Kwesten
82. Bahasa Isirawa 192. Bahasa Obokuitai 245. Bahasa Sowari
Tengah 133. Bahasa Kwinsu
23. Bahasa Awyu 83. Bahasa Itik 193. Bahasa Onin 246. Bahasa Suabo
134. Bahasa
Edera 84. Bahasa Iwur Legenyem 194. Bahasa Onin Pijin 247. Bahasa Sunum
24. Bahasa Awyu 85. Bahasa Jofotek-Bromnya 135. Bahasa Lepki 5 195. Bahasa Ormu 248. Bahasa Tabla
Jair 86. Bahasa Kaburi 136. Bahasa Liki 196. Bahasa Orya 249. Bahasa Taikat
25. Bahasa Awyu 87. Bahasa Kais 197. Bahasa Papasena 250. Bahasa Tamagario
Utara 137. Bahasa Maden
88. Bahasa Kaiy 138. Bahasa Mai 198. Bahasa Papuma 251. Bahasa Tanahmerah
26. Bahasa Awyu
Selatan 89. Bahasa Kalabra Brat 199. Bahasa Pom 252. Bahasa Tandia
27. Bahasa Bagusa 90. Bahasa Kamberau 139. Bahasa Mairasi 200. Bahasa Puragi 253. Bahasa Tangko
28. Bahasa Baham 91. Bahasa Kamoro 140. Bahasa Maklew 201. Bahasa Rasawa 254. Bahasa Tarpia
29. Bahasa Barapasi 92. Bahasa Kanum Bädi 141. Bahasa Melayu 202. Bahasa Riantana 255. Bahasa Tause
30. Bahasa Bauzi 93. Bahasa Kanum Papua 203. Bahasa Roon 256. Bahasa Tebi
Ngkâlmpw 142. Bahasa 204. Bahasa Samarokena 257. Bahasa Tefaro
31. Bahasa Bayono
94. Bahasa Kanum Smärky Mamberamo
205. Bahasa Saponi 258. Bahasa Tehit
32. Bahasa 143. Bahasa Mander
Bedoanas 95. Bahasa Kanum Sota 206. Bahasa Sauri 259. Bahasa Tobati
96. Bahasa Kapauri 144. Bahasa
33. Bahasa Beneraf Mandobo Atas 207. Bahasa Sause 260. Bahasa Tofanma
34. Bahasa Berik 97. Bahasa Kaptiau 208. Bahasa Saweru 261. Bahasa Towei
145. Bahasa
35. Bahasa Betaf 98. Bahasa Karas Mandobo Bawah 209. Bahasa Sawi 262. Bahasa Trimuris
36. Bahasa Biak 99. Bahasa Karon Dori 146. Bahasa Manem 210. Bahasa Seget 263. Bahasa Tsaukambo
37. Bahasa Biga 100. Bahasa Kaure 147. Bahasa 211. Bahasa Sekar 264. Bahasa Tunggare
38. Bahasa Biritai 101. Bahasa Manikion 212. Bahasa Semimi 265. Bahasa Una
39. Bahasa Bonggo
Kauwera 148. Bahasa Mapia 213. Bahasa Sempan 266. Bahasa Uruangnirin
102. Bahasa Kawe 149. Bahasa Marau
40. Bahasa Burate 214. Bahasa Sentani 267. Bahasa Usku 5
103. Bahasa Kayagar 150. Bahasa Marind
41. Bahasa 215. Bahasa Serui-Laut 268. Bahasa Viid
104. Bahasa 151. Bahasa Marind
Burmeso
Kayupulau 216. Bahasa Sikaritai 269. Bahasa Vitou
42. Bahasa Bian
217. Bahasa Silimo 270. Bahasa Wabo
Burumakok 105. Bahasa Kehu 5 152. Bahasa
106. Bahasa Keijar 218. Bahasa Skou 271. Bahasa Waigeo
43. Bahasa Buruwai Masimasi
107. Bahasa 153. Bahasa Massep 219. Bahasa Sobei 272. Bahasa Walak
44. Bahasa Busami
Kemberano 3 220. Bahasa Sowanda 273. Bahasa Wambon
45. Bahasa Citak
108. Bahasa Kembra 154. Bahasa Matbat 221. Bahasa Wares 274. Bahasa Wandamen
46. Bahasa Citak
Tamnim 109. Bahasa Kemtuik 155. Bahasa Mawes 275. Bahasa Wanggom
47. Bahasa Dabe 156. Bahasa Ma'ya 276. Bahasa Wano
157. Bahasa Mekwei 277. Bahasa Warembori
48. Bahasa Damal 110. Bahasa 158. Bahasa
49. Bahasa Dani Ketengban Meoswar
Lembah Bawah 159. Bahasa Mer
50. Bahasa Dani 160. Bahasa Meyah
Lembah Tengah 161. Bahasa Mlap
51. Bahasa Dani 162. Bahasa Mo
Lembah Atas
163. Bahasa Moi
52. Bahasa Dani
Barat 164. Bahasa Molof
53. Bahasa Dao 165. Bahasa
Mombum
54. Bahasa Dem
55. Bahasa Demisa

Wilayah Budaya
Diketahui dua antropolog barat membagi Tanah Papua dan Papua New Guinea
berdasarkan gaya seni gerak tari dan karya ukir. J.G.Held dalam penelitian Culture
Provincies dan A.A. Gerbrands tentang Art Style Areas (1979) sehingga memilah Papua
menjadi lima wilayah budaya: (1) Wilayah Budaya Saeireri yakni budaya Biak Numfor,
Yapen-Waropen, Kurudu-Kaypuri, dan budaya Wandamen-Wamesa. (2) Wilayah Kepala
Burung-Bomberay diantaranya budaya Arfak-Manikion, Raja Ampat, Toror, Ogit-
Inansawatar, Onimfatagafar, dan budaya Etna-Arguni. (3) Wilayah Budaya Pantai Selatan,
yaitu budaya Asmat-Mimika, Muyu-Mandobo, dan budaya Malin-Kimam. (4) Wilayah
Budaya Dofonsoro yang termasuk di dalamnya budaya Senetage-Vanimo, Sentani-Tanah
Merah, Arso-Nimboran, dan budaya Sarmi-Mambermo. (5) Wilayah Budaya Pegunungan
Tengah (Central Higland), terdapat budaya Paniai-Balim, Goroka-Chimbu dan, budaya
Anga.
Selanjutnya pembagian dilakukan berdasarkan gejala-gejala kebudayaan atau adat
istiadat yang menonjol pada zone ekologi dataran rendah sampai dengan pegunungan tinggi
di Papua yaitu teridentifikasi 13 suku besar yaitu: (1) Karon dan (2) Arfak dengan tradisi
pertukaran kain timur, suku (3) Biak dengan ritus inisiasi, seni ukir patung suku (4) Asmat,
teknik bercocok tanam suku (5) Kimaam, dan deskripsi kebudayaan suku lainnya yang
memiliki karakteristik masing-masing seperti (6) Maybrat, (7) Waropen, (8) Bauzi, (9)
Bgu, (10) Mek, (11) Dani, (12) Senggi, dan (13) Ngalun.

Pembagian Administratif Belanda


Klasifikasi wilayah di Papua oleh pemerintahan Belanda sebelum perang adalah
untuk memudahkan menjangkau setiap wilayah jajahan dan menguasai suku-suku tersebut
engan mempelajari informasi etnografi. Menurut pemerintahan Belanda terdapat 23 daerah
kebudayaan Papua yang dijadikan wilayah administratif jajahannya yaitu: (1) Raja Ampat,
(2) Sorong, (3) Teminabuan, (4) Manokwari, (5) Bintuni, (6) Ransiki, (7) Biak, (8) Yapen,
(9) Wandaamen, (10) Waropen, (11) Sarmi, (12) Nimboran, (13) Jayapura, (14)
Jayawijaya, (15) Digul Hulu, (16) Muyu, (17) Merauke, (18) Mappi, (19) Asmat, (20)
Mimika, (21) Paniai, (22) Kaimana, dan (23) Fakfak.
Pembagian di atas dirubah ketika terbentuknya provinsi Irian Jaya (1973) yaitu
pembagian aministratif dan daerah-daerah tingkat II atau Kabupaten menjadi 9 Kabupaten:
(1) Sorong, (2) Manokwari, (3) Biak-Numfor, (4) Yapen-Waropen, (5) Fakfak, (6) Paniai,
(7) Jayapura, (8) Jayawijaya, dan (9) Merauke.
Wilayah Adat Era Otonomi Khusus
Gendrang reformasi dengan lahirnya otonomi khusus memunculkan euphoria
pemekaran wilayah (dari distrik, kabupaten, dan provinsi). Saat ini terdapat 544 Distrik dan
29 Kabupaten/Kota di Provinsi Papua dan 218 Distrik dan 13 kabupaten di Provinsi Papua
Barat. Terakhir adalah pembagian wilayah berdasarkan wilayah adat Papua.
Pembagian berdasarkan Batas Wilayah Adat ini dibentuk berdasarkan kesepakatan
bersama antara pemerintah dan Dewan Adat Papua (DAP). Klasifikasi ini lebih khusus di
peruntukkan upaya pelayanan administrasi pemerintah kepada seluruh lapisan warga Papua
secara, mudah dan cepat. Batas wilayah ada ini di klasifikasikan menjadi 7 (tujuh) wilayah
adat, yaitu:
(1) Wilayah Adat I (Mamta atau Tobi), yang membawahi kurang lebih 86 Suku.
Terdapat di bagian wilayah utara Jayapura (sebelah timur berbatasn dengan Papua New
Guinea) sampai dengan Mamberamo (sebelah barat) dan Selatan berbatasan dengan
Pegunungan Jayawijaya.
Kota–kota besarnya adalah Port Numbay, Sentani, Genyem, Depapre, Demta, Sarmi,
Bonggo, Memberamo.
Suku yang mendiami adalah Demita, Dera, Dobu, Foau, Isirawa, Nafri, Oria, Papsena,
Unurum, Usku, Abau, Aikwakai, Amanab, Awyi, Eipomek, Emumu, Gressi, Janggu,
Airoran, Kapauri, Kemtuk, Kerom, Ketengban, Kuangju, Kwerba, Tabla, Kwesten,
Tarfia, Waina, Walsa, Warembori, Waris, Baburua, Baso, Bauz, Berik, BGU, Boneraf,
Bortu, Mander, Manem, Marengge, Marind anim, Mawes, Mekwai, Moi, Molof, Seko,
Sentani, Sobei, Sanke, Sause, Sasawa.
(2) Wilayah Adat II (Saireri) yang membawahi kurang lebih 31 suku, wilayah ini berada
di Teluk Cendrawasih, Biak, Yapen-Waropen sampai di Yeretuar.
Kota-kota besarnya adalah Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian
pantai.
Suku yang mendiami adalah Nisa, Papama, Pom, Ambai, Kurudu, Taurap, Waropen,
Woi, Woriasi, Biak numfor, Busami, Marau, Munggui, Serui.
(3) Wilayah Adat III (Domberay), yang membawahi kurang lebih 52 suku, berada di
wilayah Kepala Burung yang berbatasan di sebelah selatan dengan Fakfak (Teluk
Bintuni), termasuk Manokwari dan Sorong.
Kota-kota besarnya adalah Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja
Ampat, Teminabuan, Inawatan, Ayamaru, Aifat, Aitinyo.
Suku yang mendiami adalah Inanwatan, Nabi, Amberbaken, Arandai, Arfak, Atam,
Atori, Ayfat, Kawe, Roon, Tandia, Waigeo, Wandamen, Banlol, Buruwai, Madik,
Manikion, Mansim, Meninggo, Moraid, Meoswar, Meyah, Seget, Suabau, Yahadian,
Tehid, Karon, Ayamaru.
(4) Wilayah Adat IV (Bomberay), mebawahi kurang lebih 18 suku, wilayah ini berada di
Fakfak, Teluk Arguni (Kaimana) dan berbatasan dengan Teluk Bintuni, Bomberay.
Kota-kota besarnya adalah Fakfak, Kaimana, Kokonao, Mimika.
Suku yang mendiami adalah Irahutu, Onin, Uruangmirin, Amungme, Arguni,
Kambrau, Kamoro, Kapaur, Karas, Koiwai, Baham, Barau, Bedoanas, Mairasi, Mer,
Mimika, Mor, Sekar, Semimi, Sampan.
(5) Wilayah Adat V (Anim-Ha), membawahi lebih 29 suku. Wilayah adat ini meliputi
selatan Papua.
Kota-kota besarnya adalah Merauke, Digoel, Muyu, Asmat, Mandobo.
Suku yang mendiami adalah Iwur, Ndom, Pisa, Unisirau, Asmat, Atogoim, Awyu,
Emari ducur, Jair, Jinak, Joeral, Kaigir, Kaimo, Kanum, Kauwol, Kimagama, Konerau,
Korowai, Riantana, Wambon, Wanggom, Betch-mbup, Bipim, Bismam, Brazza,
Mandobo, Mapi, Mombun, Muyu, Simai, Syiaga-yenimu, Safan, Sawi, Yahrai.
(6) Wilayah Adat VI (La–Pago), membawahi kurang lebih 19 suku. Kota-kota besarnya
adalah Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom, Kurima, Oksibil, Okbibab.
Suku yang mendiami adalah Dani, Dem, Ndugwa, Ngalik, Ngalum, Nimbora,
Pesekhem, Pyu, Una, Uria, Himanggona, Karfasia, Korapan, Kupel, Timorini, Wanam,
Biksi, Momuna, Murop, Sela, Sarmi.
(7) Wilayah Adat VII (Mi-Pago), membawahi kurang lebih 13 suku. Kota-kota besarnya
adalah Puncak Jaya, Tolikara, Paniai, Nabire Pedalaman.
Suku yang mendiami adalah Dou, Fayu, Iresim, Urundi, Taori, Wano, Wiri, Wolani,
Moni, Mor , Ekagi.
Struktur Sosial
Yang dimaksud struktur sosial adalah bentuk-bentuk hubungan sosial yang menata
kehidupan bermasyarakat suatu kelompok sosial tertentu yang bersumber pada hubungan
kekerabatan. Struktur hubungan tersebut diwujudkan dalam (1) sistem kekerabatan dan (2)
prinsip pewarisan keturunan.
Power (1966) menyebutkan bahwa terdapat 4 golongan kekerabatan di Papua:
(1) Tipe Iroquois. Sistem kekerabatan yang mirip dengan suku Iroquois, penduduk asli
Amerika. Termasuk dalam golongan ini adalah orang Biak, Iha, Waropen, Senggi,
Marind-Anim, Teluk Humboldt (Yos Sudarso), dan Me. Mengklasifikasikan anggota
kerabat saudara sepupu paralel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung.
Berbeda dengan istilah yang digunakan untuk saudara sepupu silang. Menggunakan
istilah yang sama untuk menyebut ayah maupun untuk semua saudara laki-laki ayah
dan semua saudara laki-laki ibu.
(2) Tipe Hawai’i. Sistem kekerabatan yang mirip dengan yang digunakan oleh penduduk
asli di Hawai’i. Pengelompokan yang menggunakan istilah yang sama untuk menyebut
saudara-saudara sekandung dan semua saudara-saudara sepupu silang dan paralel.
Kelompok etnik yang tergolong dalam sistem ini: orang Mairasi, Mimika, Hattam-
Manikion, Asmat, Kimam dan Pantai Timur Sarmi.
(3) Tipe Omaha. Mengklasifikasikan saudara-saudara sepupu silang matrilateral dan
patrilateral dengan istilah yang berbeda-beda dan istilah-istilah untuk saudara sepupu
silang itu dipengaruhi oleh tingkatan generasi dan bersifat tidak simetris, sehingga
istilah untuk anak laki-laki saudara lak-laki ibu adalah sama dengan saudara laki-laki
ibu dan istilah untuk anak laki-laki saudara perempuan ayah. Termasuk dalam
golongan ini: orang Awyu, Dani, Meybrat, Mek di pegunungan Bintang, dan Muyu.
(4) Tipe Iroquois-Hawai’i. Terdiridari: orang Bintuni, Tor, dan Pantai Barat Sarmi.

Selain mengelompokkan orang Papua berdasarkan sistem kekerabatan dapat juga


dikelompokkan menurut lima sistem pewarisan keturunan:
(1) Sistem Patrilineal, yaitu pewarisan diberikan dari ayah kepada anak laki-laki atau
anggota keluarga laki-laki lainnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meybrat,
Mee, Dani, Biak, Waropen, Wandamen, Sentani, Marind-Anim, dan Nimboran.
(2) Sistem Matrilineal, yaitu pewarisan diturunkan melalui pihak perempuan.
(3) Sistem Bilateral, yaitu menelusuri keturunannya melalui kedua orang tuanya
sekaligus, misalnya pada suku Sarmi.
(4) Sistem Ambilinial/Ambilateral, yaitu garis keturunan dengan memilih
menggabungkan diri pada kelompok keturunan ibu atau ayah, seperti pada suku
Mimika, Mapi, dan Manikion.
(5) Sistem Moety dan Phratry, yaitu pengelompokan oleh kesepakatan masyarakat
menjadi dua bagian atas dasar keturunan, terdapat pada suku Asmat dan Waropen.

Hak Ulayat Tanah


Bagi Orang Papua tanah dipandang sebagai mama atau ibu yang melahirkan,
memberi makan, yang memilihara, mendidik dan membesarkan sejak dahulu, kini, dan
kelak. Tanah sesungguhnya rahim dan buah kandung yang membentuk dan menciptakan
manusia. Orang Arfak menyebutkan tanah adalah air susu ibu yang menyuburkan tanah.
Suku Amungme adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam sekitarnya. Oleh karenanya,
jika manusia merusak alam berarti merusak dirinya sendiri. Demikian juga orang Komoro,
menyebut tanah sebagian sumber lahirnya manusia keluar yang diartikan lahir dari mata air
yang disebutkan Bunyomane.
Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap suku bangsa papua mempunyai pandangan
dan persepsi sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Sifat kemajemukan Orang
Papua dapat dilihat juga pada prinsip hak ulayat (penguasaan dan pemanfaatan) tanah yang
dibagi menjadi dua. Ada kelompok etnik yang mengatur sistem hak ulayat menurut sistem
kepemilikan bersama (komunal) melalui clan/marga. Terdapat dua tipe kepemilikan
komunal di Papua yaitu yang berbasis pada marga yang kecil dan berbasis pada pada marga
besar (kampung).
Pada sistem kepemilikan berdasarkan marga kecil, semua anggota marga (keret),
termasuk perempuan yang telah berkeluarga, memiliki hak yang sama untuk memanfaatkan
tanah marga untuk kehidupan mereka. Sedangkan dalam sistem kepemilikan berbasis
marga besar (kampung), hak kepemilikan tanah dipegang oleh pimpinan masyarakat yang
memeiliki otoritas untuk membuat keputusan tentang pemanfaatan tanah bersama-sama
dengan pemimpin marga. Pemimpin marga maupun pemimpin masyarakat tidak bisa
membuat keputusan sendiri. Mulai dari perencanaan pembangunan masyrakat, pemanfaatan
dan kepemilikan harus dibuat bersama-sama. Yang termasuk dalam sistem penguasaan
tanah bersama ini ada pada orang Dani, Biak, Auwyu, Yawa dan Waropen. Ada juga
kelompok yang mengatur hak ulayat tanahnya melalui keluarga inti (individual) yaitu orang
Mee (Pouwer, 1966; Galis 1970; Schorls, 1970; Vershuren, 1970; De Brijn, 1970; Ploeg
1970 of Lavilin International Inc. dan PT. Hasfarm Dian Konsultan 1988; Masoben,1995).

Sistem Politik/Kepemimpinan
Pola kepemimpinan atau politik di Papua cenderung mengikuti model analisis Sahlins
dalam bukunya Poor Man, Rich Man, Big Man, Chief Political Types in Malenesia and
Polynesia (1963) mengemukakan model analisis politik tradisional di daerah kepulauan
Ocenia yang berbentuk suatu garis kontinum. Pada salah satu ujung kutub garis kontinum
tersebut dijumpai sistem politik ascription (pewarisan), sistem kepemimpinan yang disebut
chief (kepala suku). Sistem chief dapat dibedakan ke dalam dua tipe yaitu sistem kerajaan
dan ondoafi. Perbedaan keduanya yaitu pada luas jangkauan kekuasaan dan orientasi
politiknya. Sedangkan pada ujung kutub yang lain terdapat sistem politik achievement
(pencapaian), sistem kepemimpinana yang disebut big man. Untuk Papua ditemukan empat
sistem kepemimpinan atau tipe politik:
(1) Sistem Big man (pria berwibawa, orang besar, orang kuat). Sumber
kekuatannya dilihat pada kemampuan individual yang diwujudkan dalam bentuk-
bentuk nyata, seperti: keberhasilan mengalokasikan dan mendistribusikan kekayaan,
pandai berdiplomasi dan berpidato, keberanian memimpin perang, memiliki fisik tubuh
yang berukuran besar dan tegap, sifat bermurah hati. Contoh masyarakat ini adalah
orang Dani, Asmat, Mee, Meybrat dan Muyu.
(2) Sistem Kerajaan. Berciri pewarisan kedudukan kepemimpinan (ascribed status),
pewarisan bersifat senioritas. Peranannya adalah sebagai mesin politik yaitu alat untuk
menjalankan perintah2 dari penguasa. Masyarakat pendukung sistem ini terdapat di
barat daya Papua seperti Kepulauan Raja Ampat, Semenanjung Onin, Teluk Mae Cluer
(Teluk Berau), dan daerah Kaimana.
(3) Sistem Ondoafi. Cirinya adalah pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional sama
dengan sistem politik kerajaan, berbeda pada faktor teritorial dan orientasi politik.
Hanya terbatas pada satu yo atau kampung saja dan kesatuan sosial hanya terdiri dari
satu golongan atau sub golongan etnik saja. Sistem ondoafi terdapat di bagian timur
Papua seperti Sentani, Genyem, Teluk Humbold, Tabla, Yaona, Yakari-Skou dan
Arso-Waris.
(4) Sistem Campuran. Kedudukan pemimpin diperoleh melalui pewarisan atau
pencapaian. Seorang dapat menjadi pemimpin masyarakat berdasarkan kemampuan
diri dan prestasi dengan tidak meninggalkan aspek keturunan. Pemimpin seperti ini
muncul apabila masyarakat tidak mengalami berbagai macam gangguan baik yang
bersifat bencana alam atau bukan seperti peperangan. Terdapat pada masyarakat Teluk
Cenderawasih seperti Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan orang Maya.
Sisitem kepemimpinan di Papua mengikuti model kepemimpinan berdasarkan
pada garis kontinum oleh Sahlin (1963) yaitu pada salah satu ujung kutub garis
kontinum tersebut dijumpai sistem politik ascription (pewarisan), sistem
kepemimpinan yang disebut chief (kepala suku). Sistem chief dapat dibedakan ke
dalam dua tipe yaitu, sistem kerajaan dan ondoafi. Perbedaan keduanya yaitu pada luas
jangkauan kekuasaan dan orientasi politiknya. Sedangkan pada ujung kutub yang lain
terdapat sistem politik achievement (pencapaian), sistem kepemimpinana yang disebut
big man.

Anda mungkin juga menyukai