PENDAHULUAN
Misalnya pada orang Biak Numfor, menyebut dewa tertinggi mereka, Manseren
Nanggi. Tak heran kalau jaman dulu orang Biak melakukan upacara bagi Manseren
Nanggi agar panen dan hasil tangkapan ikan terus melimpah.
Begitupula dengan orang Moi di Kepala Burung, Papua Barat menyebut Fun Nah,
orang Seget memanggil dan menyebut Naninggi. Orang-orang Wandamen di Kabupaten
Teluk Wondama, Papua Barat menyebut Tuhan mereka dengan nama Syen Allah. Orang
Malind Anim di Selatan Papua memanggil Dema sedangkan orang Asmat menyebut
Alawi.
Semua suku di Tanah Papua memiliki sebutan masing-masing tentang dewa di atas
dewa-dewa termasuk masyarakat Suku Mee di Pegunungan Tengah Papua memanggil
nama Ugatame.
Semua dewa atau Tuhan diakui dan dihormati karena dianggap dewa pencipta yang
mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib kehidupan manusia. Sebagai makhluk yang tidak
kelihatan, juga dalam unsur alam seperti, angin, hujan, petir, pohon besar, sungai, pusaran
air, dasar laut, tanjung tertentu termasuk gunung dan lembah.
Upacara-upacara adat dalam suku-suku dan system kepercayaan tradisi sudah tidak lagi
berlangsung secara rutin sejak orang Papua mulai memeluk agama Islam dan Kristen,
Katolik. Walau demikian dalam menghadapi persoalan maupun tantangan yang menimpa
manusia di Papua seperti kecelakaan, sakit dan mati ternyata masih ada orang Papua yang
mencari jawabannya melalui kepercayaan tradisi mereka masing-masing.
Menurut peneliti dan antropolog Belanda Van der Leeden(1980-22), agama Islam
masuk di daerah Raja Ampat ketika daerah itu mendapat pengaruh dari Kesultanan Tidore
pada abad ke 13. Agama Islam tidak menyebar secara nyata dan meluas, hanya dianut oleh
golongan-golongan penguasa tertentu di kalangan raja-raja. Penyebaran agama Islam baru
berlangsung bagi orang-orang Dani di daerah Walesi, Lembah Baliem sejak 1990 an.
Agama besar lainnya yang datang dari luar adalah agama Kristen pada pertengahan
abad ke 19, jadi sekitar enam abad sesudah masuknya agama Islam di Raja Ampat dan
Fakfak. Pada 5 Februari 1855 tepatnya di Pulau Mansinam pada zending menginjak
kakinya Ottow dan Geissler dari Jerman datang ke Tanah Papua. Geisler selama 14 tahun
di Mansinam Kabupaten Manokwari, Papua Barat sejak 1855 sampai dengan 1870.
Kemudian dilanjutkan oleh Utrechtshe Zendings Vereninging(UZV) yang tiba di
Mansinam pada 1862. Selanjutnya aliran Pantekosta Betel di Sorong (1950), 1930
Christian and Missionarry Alliance(CMA) di Enarotali Paniai, Ajamaru 1952 dan Gereja
Protestan Maluku di Fakfak.
Selanjutnya kegiatan missi Katolik pada 1902 dari ordo Misi Hati Kudus(Missionarisen
van het Hlige Hart) dari Negeri Belanda dari perwakilan yang berkedudukan di Langgur
Kepulauan Kei, mendapat mandate untuk penyebaran agama Katolik di Selatan Papua.
Setelah mengalami perkembangan pesat di Selatan Papua, pada 1950 dibangung vikariat
Merauke dan Hollandia pada 1954.
D. Sistem Kekeluargaan
Umumnya masyarakat papua hidup dalam system kekerabatan dengan menurut garis
keturunan ayah ( Partrilinea ).Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat
berpendudukan asli papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat
dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Beberapa contoh sistem kekerabatan yang berlaku di Papua :
Masyarakat Dani tidak mengenal konsep keluarga batin, dimana bapak, ibu dan
anak tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah
dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi
para penghuninya. Dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili.Pada
dasarnya silimo / sili merupakan komplek tempat kediaman yang terdiri dari beberapa
unit bangunan beserta perangkat lainnya. Perkampungan tradisional di Wamena dengan
rumah-rumah yang dibuat berbentuk bulat beratap ilalang dan dindingnya dibaut dari
kayu tanpa jendela. Rumah seperti ini disebut Honai. Komplek bangunan biasanya
terdiri dari unsur-unsur unit bangunan yang dinamakan : rumah laki-laki ( Honai /
E. Sistem Masyarakat
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang berbeda satu
dengan lainnya, seperti, Suku Asmat, Suku Ka moro, Suku Dani dan Suku Sentani.
Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat istiadat. Penduduk Papua dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok besar, masing-masing:
• Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang
(rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan;
• Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lembah
serta kaki gunung. Umunya mata pencaharian mereka yaitu menangkap ikan, berburu
dan mengumpulkan hasil hutan;
• Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan beternak
secara sederhana.
• Suku Imeko di Kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko dengan
budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen tebu,
memasuki rumah baru dan lainnya.
F. Sistem Ekonomi
Potensi Unggulan Daerah Komoditas unggulan yang diperjual belikan adalah hasil
Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan.
Darat antara lain : Jeruk, Pisang, Alpukat,Ubi-ubian, Pepaya, Buah Merah , Sagu, Ikan,
Babi, Ayam, Buaya dan Kura-Kura Hutan
Komuditas Non Lokal lainnya didatangkan para pedagang dari Kota Wamena dan dari
Jayapura lewat Sungai Mamberamo dan Pesawat Perintis (Cesna).
Sumber Daya Alam Kabupaten Mamberamo Tengah memiliki SDA yang sangat besar
namun belum di Eksplorasi secara maksimal untuk Sumber Ekonomi dan Keuangan
Daerah.
LINGKUNGAN PERMUKIMAN
Kondisi geografis akan berpengaruh terhadap pola permukiman yang terbentuk dari
masing-masing suku di Papua. Masyarakat di daerah pegunungan dan lembah cenderung
memiliki pola menyebar mengikuti batasan-batasan alamiah, seperti sungai, lereng
gunung, hutan dan sebagainya. Sedangkan masyarakat di daerah pesisir pantai memiliki
pola permukiman yang linier, berderet mengikuti garis pantai.
Rumah adat Kawari memiliki tinggi sekitar 20 sampai 30 meter. Sedangkan untuk
diamater lingkaran bangunan mencapai 8 sampai 12 meter. Pada bangunan dibagi
menjadi 3 ruang, paling bawah untuk belajar kaum laki-laki.
Lantai tengah dijadikan tempat tidur dan tempat pertemuan para ketua suku. Untuk
yang paling atas dijadikan sebagai tempat meditasi agar menambah semangat daya juang,
emosi, dan berdoa.
B. Tipe Konstruksi
Kondisi letak geografis dan iklim setempat berpengaruh terhadap konstruksi bangunan
masyarakat Papua. Bangunan yang terletak di daerah pegunungan dan lembah akan
memiliki konstruksi dinding yang terdiri dari dua lapis, untuk menahan udara dingin dan
angin kencang. Sedangkan pada daerah pesisir pantai biasanya dinding hanya terdiri dari
satu lapis.
D. Fasilitas Pendukung
10 | L A P O R A N A R S I T E K T U R N U S A N T A R A D A N A C E H
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Papua
http://3npgsd.blogspot.com/2014/01/nama-ninda-arindika-kelas-3n-pgsd-nim.html
http://tabloidjubi.com/16/2015/10/30/kepercayaan-agama-suku-suku-di-tanah-papua/
11 | L A P O R A N A R S I T E K T U R N U S A N T A R A D A N A C E H