Juga ada beberapa suku lain yang mendiami provinsi Maluku yaitu Alifuru,
Ambon, Aru, Bacan, Badar, Banda, Bonfia, Buli, Buru, Furuaru, Galela, Gane
Goram, Halmahera, Kayoa, Kei, Laras Fordata, Loda, Moa, Morotai, Damr,To Belo,
Togitil, Makian, Nila Teun Serui, Obi Patani, Patasiswa putih, Patasiswa hitam,
Roma Dama, Seram, Sermana, Serua, Seti, Ternate, Teun, Togitil, danTo Belo.
b. Bahasa
Bahasa yang digunakan di Provinsi Maluku adalah Bahasa Ambon, yang
merupakan salah satu dari rumpun bahasa Melayu timur yang dikenal sebagai bahasa
dagang atau trade language. Bahasa yang dipakai di Maluku terkhusus di Ambon
sedikit banyak telah dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing, bahasa-bahasa bangsa
penjelajah yang pernah mendatangi, menyambangi, bahkan menduduki dan menjajah
negeri/tanah Maluku pada masa lampau. Bangsa-bangsa itu ialah bangsa Spanyol,
Portugis, Arab, dan Belanda.
Bahasa Ambon selaku lingua franca di Maluku telah dipahami oleh hampir
semua penduduk di wilayah Provinsi Maluku dan umumnya, dipahami juga sedikit-
sedikit oleh masyarakat Indonesia Timur lainnya seperti orang Ternate, Manado,
Kupang, dll. karena Bahasa Ambon memiliki struktur bahasa yang sangat mirip
dengan bahasa-bahasa trade language di wilayah Sulawesi Utara, Maluku Utara,
Papua, Papua Barat, serta Nusa Tenggara Timur.
Bahasa Indonesia selaku bahasa resmi dan bahasa persatuan di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) digunakan dalam kegiatan-kegiatan publik yang resmi
dan formal seperti di kantor-kantor pemerintah dan di sekolah-sekolah serta di
tempat-tempat seperti museum, bandara, dan pelabuhan.
Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia, Provinsi
Maluku dan Maluku Utara menyusun sebuah big islands yang dinamai Kepulauan
Maluku. Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga
mengakibatkan semakin beragamnya bahasa yang dipergunakan di provinsi ini.
Beberapa bahasa yang paling umum dipetuturkan di Maluku yaitu:
3
Bahasa Wemale, dipakai penduduk Negeri Piru, Seruawan, Kamarian, dan
Rumberu (Kabupaten Seram Bagian Barat).
Bahasa Alune, dipakai di wilayah tiga batang air yaitu Tala, Mala, dan Malewa
di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat.
Bahasa Nuaulu, dituturkan oleh suku Nuaulu di Pulau Seram Selatan yaitu
antara Teluk Elpaputi dan Teluk Teluti.
Bahasa Atiahu, dipakai oleh tiga negeri yang juga termasuk rumpun Nuaulu
yakni Negeri Atiahu, Werinama, dan Batuasa di wilayah Kabupaten Seram
Bagian Timur.
Bahasa Koa, dituturkan di wilayah pegunungan tengah Pulau Seram yaitu
sekitar Manusela dan Gunung Kabauhari.
Bahasa Seti dituturkan oleh suku Seti, di Seram Utara dan Teluti Timur,
merupakan bahasa dagang di Seram Bagian Timur.
Bahasa Gorom merupakan turunan dari bahasa Seti dan dipakai oleh penduduk
beretnis atau bersuku Gorom yang berdiam di kabupaten Seram Bagian Timur
yang menyebar sampai Kepulauan Watubela dan Maluku Tenggara.
Bahasa Tarangan merupakan bahasa pemersatu dan dipakai oleh penduduk
wilayah Pulau Aru dengan ibu kota Kab. Dobo Maluku Tenggara.
Tiga bahasa yang hampir punah adalah Palamata dan Moksela serta Hukumina.
Ratusan bahasa di atas dipersatukan oleh sebuah bahasa pengantar yang telah
menjadi lingua franca sejak lama yaitu Bahasa Ambon. Sebelum bangsa-bangsa
asing (Arab, Tiongkok, Spanyol, Portohis, Wolanda, dan Inggris) menginjakkan
kakinya di Maluku, bahasa-bahasa asli Maluku tersebut sudah hidup setidaknya
ribuan tahun dan menjadi bahasa-bahasa dari keluarga atau rumpun paling barat
keluarga bahasa-bahasa Pasifik/Melansia (bahasa Papua-Melanesoid).
c. Agama
Penduduk Maluku menganut 3 agama utama yaitu Islam sebanyak 50,61%,
Kristen Protestan sebanyak 41,40%, dan Katolik sebanyak 6,76% penduduk.
Penyebaran agama Islam dilakukan oleh Kesultanan Iha, Saulau, Hitu, dan Hatuhaha
serta pedagang Arab yang mengunjungi Maluku. Sementara penyebaran agama
Kristen dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2013 tercatat yaitu sebagai berikut:
Gereja Protestan Maluku atau biasa dikenal sebagai GPM merupakan organisasi
sinode dan pertubuhan gereja terbesar yang ada di Maluku, yang memiliki jemaat
gereja di hampir seluruh negeri Sarane di seluruh Maluku.
4
B. Keberagaman Antar golongan di Maluku
Dalam masyarakat Maluku dikenal suatu sistem hubungan sosial yang disebut
Pela dan Gandong. Pela dan Gandong merupakan suatu sebutan yang di berikan kepada
dua atau lebih negeri yang saling mengangkat/menganggap sebagai saudara satu sama
lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata "Pela" dan "Gandong". Pela
adalah suatu ikatan persatuan, sedangkan Gandong mempunyai arti saudara.
Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang terdiri dari berbagai macam
suku, agama, ras, budaya, dan lain-lain. Ungkapan seperti itu sudah sering terdengar
sejak dulu, atau bahkan sejak saya belum mengenyam bangku pendidikan. Namun,
ungkapan tersebut seolah tidak ada maknanya saat kita melihat banyaknya konflik sosial
yang terjadi di Indonesia.
Konflik sosial yang terjadi belakangan ini, timbul karena banyak orang atau
golongan yang memegang sikap fanatisme terhadap orang lain atau golongan lain yang
berbeda. Kecenderungan sikap yang terlihat di Indonesia banyak terkait dengan masalah
fanatisme suku dan agama. Tentu masih teringat jelas difikiran kita, perang suku yang
terjadi di Lampung antara suku pribumi dengan suku bali. Atau konflik yang tak kunjung
usai antara etnis kristen dan Islam di Maluku.
Melihat dari banyaknya konflik sosial bangsa ini, banyak diantara kita yang tidak
mengindahkan keberagaman yang ada. Dibalik permasalahan tersebut, bangsa ini masih
memiliki sejuta keberagaman suku, ras, etnis, dll. yang seharusnya perlu ditelaah lebih
lanjut. Banyak realita sosial yang perlu diangakat atau dikaji lebih dalam untuk
memperjelas hubungan suku/adat dan agama, karena kebanyakan konflik muncul akibat
perbedaan tersebut.
Kebanyakan orang menilai bahwa agama dan adat memiliki pengertian dan
makna masing-masing. Namun jika dipahami, agama dan adat tidak dapat di kontraskan
hanya dari istilah saja. Karena dalam kultur masyarakat Indonesia, agama dan adat
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sekalipun keduanya memiliki
pemahaman masing-masing.
Agama diartikan sebagai pedoman hidup yang membawa manusia untuk
berperilaku baik. Demikian halnya denga adat, adat merupakan gagasan kebudayaan
yang terdiri dari norma, kebiasaan, dan sebagainya yang bertujuan untuk menjaga tatanan
kehidupan masyarakat. Keduanya memiliki tujuan yang sama. Namun banyak orang
mengartikannya berbeda.
Di Indonesia, banyak kebudayaan yang menyelaraskan serta tidak membeda-
bedakan agama dan adat. Seperti Pela gandong yang menjadi salah satu kultur khas di
ranah Maluku, khususnya Maluku Tengah, yang tidak dapat dijumpai di belahan bumi
Indonesia lainnya. pela gandong merupakan perjanjian persaudaraan suatu negeri dengan
negeri yang lain.
Biasanya, pela gandong terdiri dari dua negeri yang berlainan Agama, contohnya
Islam dan kristen. Pela diartikan sebagai perjanjian persaudaraan suatu negeri dengan
negeri yang lain, dan terkadang menganut agama yang berbeda. Sedangkan gandong
dapat bermakna adik. Perjanjian ini kemudian diangkat dalam sumpah yang tidak boleh
dilanggar.
Adapun empat hal pokok yang menjadi dasar pela tersebut ialah negeri-negeri
yang berpela berkewajiban untuk saling membantu pada kejadian genting; jika diminta,
5
maka negeri yang satu wajib memberikan bantuan kepada negeri yang lain yang hendak
melaksanakan proyek kepentingan umum (seperti: pembangunan sekolah, masjid, atau
gereja); jika seseorang mengunjungi negeri yang berpela itu, maka orang-orang di negeri
itu wajib memberi makan tamu tersebut, dan tamu tersebut tanpa perlu meminta izin
untuk membawa hasil bumi atau buah-buahan yang menjadi kesukaannya; penduduk
negeri yang berpela sudah dianggap sedarah, maka orang-orang yang sepela itu dilarang
menikah.
Tradisi pela gandong cukup kental di Maluku Tengah. Dari tradisi tersebut, dapat
diketahui bahwa pela merupakan suatu unsur kebersamaan yang terjadi antara dua negeri
yang mayoritas penduduknya berbeda agama dan sudah terjadi dalam kurun waktu yang
cukup lama. Tradisi ini justru mempersatukan dua negeri berbeda kultur dan agama. ini
bertujuan, agar hubungan bersaudara ini dapat dijadikan bingkai pemersatu orang-orang
Maluku.
Banyak contoh yang mendiskripsikan bagaimana tradisi ini berjalan. Sebagai
contoh saat lebaran. Bagi warga Maluku, lebaran merupakan hari besar milik bersama.
Selain itu, lebaran merupakan momen berharga untuk mempererat hubungan
persaudaraan antar umat beragama. Menjelang lebaran, umat kristiani mengirimkan
bingkisan untuk keluarga yang merayakan lebaran.
Saat halal bihalal, umat Islam mengundang umat kristiani untuk bermaaf-maafan.
Kedatangan tamu dari umat kristiani ini biasanya disambut tari-tarian ataupun shalawat.
Banyak yang menilai bahwa tradisi seperti inilah yang dapat menjadikan warga
masyarakat jauh dari konflik atau bahkan perang suku.
Namun, jika kita menilik kebelakang tentang konflik yang terjadi di Maluku pada
tahun 1992-2002 yang lalu, banyak yang mengira nilai-nilai kesakralan pela gandong
menjadi rapuh. Konflik yang terjadi antar suku beragama itulah yang telah melunturkan
makna sakral pela gandong yang sesungguhnya. Padahal, pela gandong telah terjalin
lama, jauh sebelum perang suku tersebut muncul.
Sebenarnya jika dilihat lebih dalam, agama bukanlah satu-satunya penyebab
konflik yang terjadi di Maluku, melainkan juga karena perbedaan ras, suku, atau
mungkin perbedaan budaya antara kedua negeri yang berpela. Karena jika dilihat dari
segi geografis, maluku merupakan provinsi kepulauan terbesar di Indonesia. Sehingga,
bukan tidak mungkin hal inilah yang menyebabkan banyaknya perbedaan agama, suku
dan ras di Maluku.
Selain itu, konflik di Maluku berhubungan erat dengan terjadinya peristiwa
eksodus kelompok suku yang disebabkan perpecahan. Hal inilah yang menyebabkan
pertambahan penduduk dalam jumlah yang cukup besar. Sedangkan kapasitas sumber
daya alam sangat terbatas. Proses ini juga yang menjadi cikal bakal terjadinya perang
suku di Maluku, sebagai upaya untuk mempertahankan diri.
Dalam konflik tersebut, banyak orang menilai bahwa tradisi pela gandong sudah
mulai hilang. Namun, pada waktu konflik tersebut terjadi, banyak perjumpaan yang
tersembunyi antar bersaudara beda agama. Karena menurut mereka (yang tetap menjaga
tradisi pela gandong), silaturahmi tidak semata-mata menjadi tanggung jawab sosial antar
pemeluk agama, tetapi juga dilakukan sebagai tanggung jawab moral dan kultural orang
bersudara.
6
Tak heran, jika jejak jejak persaudaraan dalam tradisi ini masih kental terjaga,
misalnya saja komunitas muslim dan kristiani di desa Latta yang masih terus berjalan
sampai saat ini. dan pada saat konflik tersebut pecah, umat Islam terus bertahan di Latta.
Mereka dilindungi umat kristiani. Setiap hari, mereka bersama menjaga keamanan orang
dari desa lain yang berusaha menggangu umat Islam di Latta.
Umat Islam kemudian mengungsi karena pengungsi dari desa lain tak terbedung
dan mulai sulit dikontrol. Kini, 11 tahun pasca konflik (1999-2002), kehidupan
masyarakat maluku mengalir seperti biasa. Relasi antar umat beragama mulai pulih
seperti sebelum terjadinya konflik. Masyarakat mulai bergotong royong membangun
sekolah, sarana umum, gereja, masjid, dan sebagainya.
Inilah bukti bahwa tradisi pela gandong tidak hilang sekalipun terjadi konflik
antar umat beragama yang terjadi di Maluku tahun 1999-2002 yang lalu. selain itu,
pemerintah kota Maluku mulai mengupayakan budaya pela gandong sebagai salah satu
cara agar terciptanya keharmonisan antar masyarakat atau antar umat beragama di
Maluku. Sehingga mendorong kedamaian, ketentraman, dan keamanan warga
masyarakat. Namun perlu digarisbawahi, bahwa tradisi pela gandong ini tidak hanya
mencakup agama Islam dan Kristen saja, melainkan agama-agama lain yang ada di
Indonesia.
Terlepas dari semua itu, di tengah keberagaman agama, ras, etnis, dan adat,
hendaknya sentimen antar kelompok dapat teriliminasi dengan adanya kearifan budaya
lokal. Sudah saatnya masyarakat saling bergandengan tangan, mempertegas, dan
memperkuat nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada tradisi atau budaya Indonesia.
Karena keberagaman merupakan ciri bangsa ini, bangsa Indonesia.
7
Salah satu kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Maluku. Budaya Maluku
adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan
lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. Maluku merupakan
sekelompok pulau yang menjadi bagian dari Nusantara. Maluku berbatasan dengan
Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur dan
Palau di timur laut. Ibu kota Maluku adalah Ambon yang bergelar atau memiliki julukan
sebagai Ambon Manise. Jumlah penduduk provinsi ini tahun 2010 dalam hasil sensus
berjumlah 1.533.506 jiwa. Maluku memiliki 2 agama utama yaitu agama Islam yang
dianut 50,61 % penduduk Maluku dan agama Kristen (baik Protestan maupun Katolik)
yang dianut 48,4 % penduduk Maluku. Maluku memiliki beragam budaya dan adat
istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya.
1) Rumah Adat
Rumah baileo
Rumah Baileo adalah rumah adat Maluku dan Maluku Utara, Indonesia. Rumah
Baileo merupakan representasi kebudayaan Maluku dan memiliki fungsi yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakatRumah Baileo adalah identitas setiap negeri di
Maluku selain Masjid atau Gereja. Baileo berfungsi sebagai tempat penyimpanan
benda-benda suci, tempat upacara adat, sekaligus sebagai balai warga. Ciri utama
rumah Baileo adalah ukurannya besar, dan memiliki bentuk yang berbeda jika
dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya.
Arsitektur dan Konstruksi
Bentuk ornamen atau hiasan di rumah adat Beileo memiliki hubungan dengan
adat istiadat dan kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku. Negeri-negeri di Maluku
memiliki arsitektur Baileo yang berbeda, namun fungsinya sama. Baileo dibuat
dengan bahan yang kuat, dan dilengkapi dengan ornamen khas Maluku. Rumah
Baileo tak berdinding, hal ini dimaksudkan agar roh nenek moyang dapat leluasa
masuk dan keluar rumah Baileo. Rumah Baileo merupakan rumah panggung, yakni
posisi lantainya berada di atas permukaan tanah. Lantai yang tinggi ini mempunyai
makna bahwa agar roh-roh nenek moyang memilii tempat dan derajat yang tinggi
dibandingkan masyarakat. Di rumah adat Baileo terdapat banyak ukiran dan
ornamen yang bergambar dua ekor ayam yang berhadapan dan diapit oleh dua ekor
anjing di sebelah kiri dan kanan. Ukiran tersebut memiliki makna kedamaian dan
kemakmuran. Ukiran tersebut dibuat dengan maksud roh nenek moyang yang
menjaga kehidupan masyarakat. Ukiran lainnya adalah bulan, bintang, dan matahari
yang berada di atap dengan warna merah, kuning, dan hitam. Ukiran tersebut
8
bermakna kesiapan Baileo (sebagai balai) dalam menjaga keutuhan adat beserta
hukum adatnya.
Rumah Sasadu
Selain rumah adat baileo, ada pula rumah adat sasadu. Rumah ini merupakan
sebuah desain rumah adat asli masyarakat suku Sahu yang telah ada sejak zaman
dulu di Halmahera. Rumah ini menggambarkan tentang falsafah hidup orang
Sahu dalam bermasyarakat.
Sama halnya dengan rumah adat baileo, rumah adat sasadu bukan merupakan
rumah untuk tempat tinggal melainkan balai adat. Yang berfungsi sebagai tempat
pertemuan bagi seluruh masyarakat suku Sahu saat ada kegiatan adat. Rumah adat
Maluku Utara ini memiliki ciri khas dan keunikan baik pada desain arsitektur
maupun pada kandungan nilai-nilai filosofisnya.
1. Struktur Dan Arsitektur Rumah Sasadu
Rumah sasadu didesain lebih luas dengan permukaan tanah langsung menjadi
lantainya. Rumah ini tidak berdinding dan hanya terdiri dari satu bagian saja
tanpa sekat. Sehingga rumah ini terbuka dan hanya terlihat tiang-tiang penopang
saja. Namun tiang ini tidak digunakan untuk memikul berat lantai seperti rumah
adat pada umumnya.
Rumah adat Maluku Utara ini bukanlah tipe rumah panggung. Sehingga
tiangnya hanya digunakan untuk menopang kerangka atap rumah. Tiang ini
terbuat dari batang kayu sagu yang kemudian dihubungkan satu sama lain dengan
balok penguat. Balok-balok tersebut tidak dipaku pada tiang. Melainkan hanya
direkatkan pada tiang menggunakan pasak kayu.
Di beberapa bagian balok penguat juga digunakan sebagai tempat duduk.
Sehingga antar balok diberi susunan bambu atau kayu yang membentuk dipan.
Beberapa tiang tidak dihubungkan satu sama lain untuk membentuk jalan
masuknya orang ke dalam rumah. Sedikitnya terdapat 6 jalan masuk pada rumah
ini. Yaitu dua pintu untuk jalan masuk keluar perempuan, dua pintu laki-laki dan
dua pintu untuk para tamu.
Atap rumah sasadu dibuat dari bahan yang berasal dari alam. Untuk
kerangkanya terbuat dari bambu yang diikat dengan ijuk. Sedangkan atapnya
terbuat dari anyaman daun kelapa atau daun sagu,
2. Ciri khas Rumah Sasadu
9
Desain dari rumah sasadu memiliki ciri khas dan filosofi yang menarik,
yaitu:
Desain rumah yang terbuka menunjukkan bahwa masyarakat Sahu dan
Maluku Utara merupakan orang-orang yang terbuka. Sehingga mereka mau
menerima pendatang baru tanpa membeda-bedakan.
Di bagian rangka atap terdapat sepasang kain merah dan putih yang
digantung menunjukkan kecintaan masyarakat Maluku Utara terhadap
Indonesia. Serta lambang kerukunan antara agama Islam dan Kristen
selaku dua agama mayoritas di Maluku Utara.
Bola-bola yang dibungkus ijuk yang digantung di kerangka atap dekat kain
menyimbolkan kestabilan dan kearifan. Arahnya yang dibuat merunduk ke
bawah berlawanan dengan arah atap menjelaskan bahwa mereka tetap
rendah hati meskipun berada di puncak kejayaan.
Ujung atap bagian bawah dibuat lebih pendek dari langit-langit bertujuan
agar siapapun yang masuk harus menundukkan kepala dan
membungkukkan tubuhnya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat patuh
dan hormat terhadap semua aturan adat Suhu.
Ukiran bentuk perahu pada ujung atap melambangkan bahwa masyarakt
Suhu merupakan masyarakat bahari yang suka melaut.
2) Pakaian Adat
Pakaian Adat Maluku – Maluku adalah provinsi yang memiliki sejarah paling
tua diantara provinsi-provinsi di Indonesia. Hal ini membuat tingkat kebudayaan di
provinsi Maluku sangat tinggi.
Pakaian adat Maluku merupakan salah satu bentuk kebudayaan dari Provinsi
Maluku yang masih ada sampai saat ini. Pakaian adat Maluku ini dikenal dengan
nama baju Cele atau kain Salele. Walaupun pakaian ini sederhana, tetapi pakaian ini
memiliki nilai estetika yang berbeda dengan pakaian adat yang lain.
Penggunaannya pun mudah tidak serumit pakaian adat milik provinsi lain.
Pakaian-pakaian adat dari provinsi Maluku ini memiliki ciri khas tersendiri. Provinsi
Maluku tidak hanya memiliki satu macam pakaian adat saja, melainkan ada beberapa
pakaian adat dari Maluku.
Tetapi pakaian adat yang resmi dari Provinsi Maluku adalah baju Cale. Berikut
adalah beberapa ciri khas dari baju cale:
(1) Baju Cale, Pakaian Adat Maluku
10
Baju Cale sering disebut kain salele, pakaian ini memiliki kain yang tebal,
tetapi tetap nyaman saat di pakai. Pakaian adat yang satu ini memiliki warna
yang cerah yaitu merah dengan garis-garis warna emas atau perak.
Pakaian untuk pria dan wanita sedikit ada perbedaan tetapi jika digunakan
tetap terlihat seragam. Berikut adalah perbedaan antara pakaian pria dan pakaian
wanita:
Pakaian Untuk Pria
Atasan yang dikenakan berbentuk seperti jas dilengkapi dengan kemeja
di dalamnya. Untuk celana biasanya mengenakan celana warna hitam atau
celana dengan warna yang sama dengan jas. Untuk memberikan kesan
elegan sepatu yang dikenakan adalah sepatu vantovel.
Pakaian Untuk Wanita
Baju Cele untuk wanita dikombinasikan dengan kain sarung tenun atau
kebaya dengan warna yang senada. Sama hal nya dengan yang dikenakan
pria, sepatu yang dipakai adalah sepatu vantovel. Untuk penghias dan
menambah keindahan, pakaian wanita biasanya ditambahkan beberapa
aksesoris, antara lain:
Konde. Bentuk konde yang dikenakan wanita Maluku hampir sama
dengan bentuk konde pada umumnya. Biasanya konde yang digunakan
wanita Maluku berwarna emas atau perak. Masyarakat di Provinsi
Maluku menyebut konde dengan nama haspel.
Kak Kuping. Jumlah kak kuping yang dikenakan untuk melengkapi
baju Cale berjumlah 4. Bentuk dari kak kuping ini hampir menyerupai
bunga. Kak kuping ini dipasang untuk dipadupadan kan dengan konde
atau haspel.
Bunga Ron. Sama halnya dengan kak kuping, Bunga Ron dikenakan
untuk dipadupadankan dengan konde. Bungan ron ini terbuat dari
papeceda atau gabus. Cara memasang bunga ron ini adalah dilingkarkan
di konde.
Sisir Konde. Selain untuk menambah nilai estetika, sisir konde ini
berfungsi untuk menjaga konde agar tidak jatuh. Selain itu sisir konde
juga berfungsi untuk menjaga rambut agar tetap rapi. Sisir konde ini
terletak di tengah konde.
Kain Lenso. Kain ini merupakan tambahan aksesoris berbentuk
menyerupai sapu tangan. Untuk kain lenso ini ditempelkan di bagian
pundak menggunakan peniti. Penggunaan kain lenso ini karena pada
zaman dahulu ada campur tangan Belanda.
Pakaian adat Maluku tidak hanya baju Cale saja, melainkan ada beberapa
macam pakaian adat dari provinsi Maluku. Pakaian adat ini tentunya memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Berikut adalah macam-macam pakaian adat
dari Provinsi Maluku.
11
(2) Kebaya Putih Tangan Panjang
Seperti namanya, Pakaian ini berwarna putih dan terbuat dari bahan
brokat. Pada Zaman dahulu pakaian ini biasa dikenakan oleh wanita dari
kalangan tertentu seperti guru, wanita kerajaan, atau para bangsawan. Untuk
menambah nilai estetika, pada pakaian ini dilengkapi dengan beberapa macam
aksesoris.
Aksesoris pada pakaian ini seperti kancing di pergelangan tangan dan
kancing di bagian depan. Selain itu pada pakaian ini juga terdapat hiasan bordir
di bagian belakang. Pada saat mengenakan pakaian ini, biasanya ditambahkan
aksesoris tusuk konde dan sanggul berbentuk bulang. Untuk alas kaki yang
dikenakan adalah alas kaki berwarna putih.
(3) Kebaya Hitam Gereja
Pakaian adat Maluku yang satu ini adalah pakaian dengan lengan panjang
warna hitam. Pakaian ini terbuat dari bahan brokat hitam yang dipadupadankan
dengan kain sarung. Kebaya hitam gereja juga dilengkapi dengan beberapa
aksesoris untuk menambah nilai keindahan pada pakaian ini.
Aksesoris yang dikenakan saat mengenakan pakaian ini adalah kain lenso,
canela hitam dan kaos kaki putih. Untuk aksesoris kepala yang dikenakan adalah
sanggul bulan lengkap dengan tusuk konde. Pakaian ini biasanya dikenakan
untuk ibadah di Gereja.
12
(4) Baniang Putih
Pakaian ini merupakan pakaian adat yang berasal dari Maluku Tengah dan
hanya dikenakan oleh kaum pria. Baniang putih ini berbentuk seperti kemeja
dengan leher bundar dan dilengkapi kancing berwarna putih. Pakaian ini biasa
dipakai untuk dalaman jas.
(5) Kebaya Dansa
Pakaian adat Maluku ini biasa dikenakan saat ada pesta rakyat. Kebaya
dansa ini merupakan pakaian yang berbentuk seperti kemeja berleher bundar
tanpa kancing. Bahan untuk membuat pakaian ini adalah kain polos dengan
motif bunga-bunga kecil. Kebaya dansa ini dapat dikenakan oleh pria maupun
wanita.
(6) Baju Nona Rok
Pakaian adat Maluku ini merupakan kebaya putih berbahan brokat halus
dengan rok bermotif bunga-bunga kecil. Baju Nona Rok ini dilengkapi dengan
beberapa aksesoris seperti sanggul, tusuk konde dan ikat pinggang perak.
Aksesoris pada Baju Nona Rok ini hampir menyerupai dengan Baju Cale.
Salah satu peninggalan dari nenek moyang adalah pakaian adat. Provinsi
Maluku sendiri memiliki berbagai macam pakaian adat antara lain Baju Cale,
Kebaya Putih Tangan Panjang, Kebaya Hitam Gereja, Baniang Putih, Kebaya
Dansa dan Baju Nona Rok.
13
Tetapi untuk pakaian adat yang resmi dari provinsi Maluku adalah Baju
Cale. Berbagai macam pakaian adat Maluku ini, masing-masing memiliki ciri
khas tersendiri. Pakaian adat biasa dikenakan pada saat upacara, pesta rakyat,
ataupun pesta pernikahan.
Tetapi seiring perkembangan zaman, saat ini sudah jarang yang
mengenakan pakaian adat yang asli, sekarang banyak pakaian adat yang
pemakaiannya dibuat praktis.
3) Tarian
a) Tarian Saureka-Reka
14
b) Tari Lenso
15
Kabarnya, Tari Bambu Gila dari Maluku ini memiliki unsur mistis. Tarian
ini dibawakan oleh enam orang pria yang memegang batang bambu panjang
yang “hidup”. Bukan sembarang batang bambu. Namun batang bambu yang
sudah dibacakan mantera. Para penari akan bergerak secara dinamis mengikuti
gerakan bambu gila yang berguncang-guncang tersebut.
Meski bernilai mistis, ada nilai filosofis pada tarian ini, yaitu gerakan
kompaknya melambangkan jiwa persatuan dan gotong-royong yang tertanam
dalam budaya masyarakat Maluku.
e) Tari Poco-poco
Anda pastinya sudah tidak asing lagi dengan tarian ini, bukan? Ya
namanya tarian Poco – poco. Anak-anak sampai orang tua kenal dengan nama
tarian yang khas ini.
Populer sejak tahun 2000-an, tarian Poco – poco ini awalnya dikenal
sebagai gerakan senam di antara lingkungan militer saja. Namun seiring
berjalannya waktu, tarian poco – poco kemudian berkembang menjadi sebuah
tarian yang digemari seluruh masyarakat Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke. Lagu pengiring tarian ini juga berjudul “Poco-poco” dan diciptakan
oleh pria asal Ambon yang bernama Arie Sapulette.
Bahkan bukan cuma populer saja, tarian poco – poco juga sudah menjadi
instrumen bagi para pecinta senam aerobik di Indonesia.
.
4) Alat Musik
Selain kaya akan hasil alamnya, ternyata provinsi ini juga menyimpan berbagai
warisan berharga dalam hal seni dan budaya. Salah satunya yakni keragaman alat
musik tradisionalnya. Berikut ini beberapa alat musik Maluku yang sayang jika tidak
dipelajari
1. Tifa Maluku
16
Bentuk Tifa Maluku beragam, mulai dari bentuk ramping memanjang hingga
bundar melebar. Tifa merupakan instrumen ritmis tradisional yang dimainkan
dengan cara dipukul. Tifa umumnya sering dimainkan untuk mengiringi tari-
tarian lokal.
Perbedaan mencolok antara Tifa Maluku dengan Tifa Papua yakni Tifa
Maluku memiliki badan polos tanpa motif, sedangkan badan Tifa Papua penuh
dengan ukiran motif unik khas Papua.
2. Totobuang
3. Jukulele
17
4. Rumba
Rumba merupakan alat musik Maluku yang menurut sejarah berasal dari
kultur negara Cuba, dibawa masuk ke nusantara oleh bangsa Portugis ketika
menjelajah provinsi tersebut. Rumba berbahan dasar batok kelapa yang diisi
pasir atau kerikil di dalamnya.
Cara memainkannya yakni dengan menggerak-gerakkan atau
menggoyangnya. Sehingga, pasir atau kerikil di dalamnya saling berbenturan
atau bergesekan sehingga menghasilkan suara.
5. Gong Sedang
6. Idiokordo
Idiokordo termasuk instrumen petik di mana bentuk fisiknya menyerupai
Siter dengan penambahan dawai. Idiokordo umumnya penuh ukiran motif pada
bagian badan instrumennya. Masyarakat setempat kerap memainkan instrumen
ini untuk mengiringi kesenian tari tradisional
18
7. Arababu
8. Tahuri / Fu / Korno
Tahuri menyerupai Triton asal Papua. Instrumen musik ini berasal dari
cangkang kerang besar yang banyak ditemukan di pesisir pantai. Sebelum
difungsikan sebagai alat musik, dulunya Tahuri dimanfaatkan untuk memanggil
masyarakat sekitar agar berkumpul.
Panjang serta jumlah tiupan Tahuri mengandung makna tersendiri,
misalnya: 1 tiupan pendek berarti panggilan, 1 tiupan panjang berarti peringatan
akan gelombang laut.
.
19
9. Suling Melintang
10. Hawaiian
Hawaiian adalah alat musik Maluku yang diadaptasi dari bangsa Eropa
sejak abad ke-16. Hawaiian umumnya berbahan dasar logam dan kayu.
Instrumen ini memerlukan listrik untuk memainkannya. Hawaian mempunyai
delapan senar yang dipetik menggunakan benda kecil sejenis cangkang kerang.
5) Senjata Tradisional
Parang Salawaku terdiri dari Parang (pisau panjang) dan Salawaku (perisai) yang
pada masa lalu adalah senjata yang digunakan untuk berperang. Di lambang
pemerintah kota Ambon, dapat dijumpai pula Parang Salawaku. Bagi masyarakat
Maluku, Parang dan Salawaku adalah simbol kemerdekan rakyat. Senjata ini dapat
disaksikan pada saat menari CakaleleParang dibuat dari besi yang ditempa dengan
ukuran bervariasi, biasanya antara 90-100 cm. Pegangan parang terbuat darikayu
besi atau kayu gapusa. Sementara itu, salawaku dibuat dari kayu keras yang dihiasi
kulit kerang .
20
BAB II
KEBERAGAMAN SUKU – SUKU DI PAPUA
b) Ras
Kedatangan bangsa melanesoid di papua berawal dari zaman es berakhir yaitu pada
70.000 SM. Ras melanesoid datang ke wilayah Indonesia menggunakan dengan
menggunakan perahu bercadik . bangsa ini merupakan gelombang pertama yang
berimigrasi ke Indonesia .
Ciri-ciri bangsa melanedoid
Kulit kehitam hitaman
Hidung tebal
Rambut keriting hitam
Bibir tebal
Badan tegak
22
Budaya ras melanesoid
1. Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri ciri umum rumah di atas tiang
(rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkan ikan.
2. Pesta Adat Emaida yaitu pesta adat cari jodoh , pesta ini diadakan kapan saja
tergantung desa atau kampung mana yang mengundang pemuda atau pemudi yang
ingin mengawini wanita yang sudah mempunyai suami .
3. Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai , rawa danau dan lembah
serta kaki gunung . Umumnya mereka bermata pencaharian berburu dan
mengumpulkan hasil hutan (umbi umbian , buah buahan)
4. Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak
secara sederhana .
5. Pesta Adat Yuwo yaitu Acara kaum orang kaya , pesta ini diadakan apabila setiap
orang yang mau memamerkan kekayaan kepada orang lain (seperti potong babi atau
ekina).
6. Pesta Adat Yibu adalah pesta adat dalam ikatan keluarga saja seperti ulang tahun ,
anak lahir , orang meninggal , nikahan yang diadakan pada rumah adat atau rumah
sendiri
7. Pesta Adat Tauwan Yuwo yaitu merayakan hari besar keagamaan (pesta natal ,
malam kudus , kenaikan Yesus Kristus )
d) Agama
Jauh sebelum masuknya ajaran Kristen dan Islam masuk ke Tanah Papua tiap
suku bangsa di Tanah Papua mempunyai system kepercayaan tradisi. Masing-masing
suku memiliki kepercayaan tradisi yang percaya akan adanya satu dewa atau Tuhan
yang berkuasa atas dewa-dewa.
24
Begitulah pendapat yang dikutip Jubi dari buku berjudul Perspektif Budaya Papua
yang disunting oleh antropolog Dr Agapitus Ezebio Dumatubun dari jurusan antorpologi
FISIP Universitas Cenderawasih.
Lebih lanjut Dumatubun menjelaskan misalnya pada orang Biak Numfor,
menyebut dewa tertinggi mereka, Manseren Nanggi. Tak heran kalau jaman dulu orang
Biak melakukan upacara bagi Manseren Nanggi agar panen dan hasil tangkapan ikan
terus melimpah.
Begitupula dengan orang Moi di Kepala Burung, Papua Barat menyebut Fun Nah,
orang Seget memanggil dan menyebut Naninggi. Orang-orang Wandamen di Kabupaten
Teluk Wondama, Papua Barat menyebut Tuhan mereka dengan nama Syen Allah. Orang
Malind Anim di Selatan Papua memanggil Dema sedangkan orang Asmat menyebut
Alawi.
Semua suku di Tanah Papua memiliki sebutan masing-masing tentang dewa di
atas dewa-dewa termasuk masyarakat Suku Mee di Pegunungan Tengah Papua
memanggil nama Ugatame.
Semua dewa atau Tuhan diakui dan dihormati karena dianggap dewa pencipta
yang mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib kehidupan manusia. Sebagai makhluk
yang tidak kelihatan, juga dalam unsur alam seperti, angin, hujan, petir, pohon besar,
sungai, pusaran air, dasar laut, tanjung tertentu termasuk gunung dan lembah.
Kekuatan-kekuatan alam itu diajak dan dibujuk untuk melindungi manusia
dengan pemberian sesaji dan upacara-upacara sesaji. Misalnya orang Biak jaman dulu
memberikan makan pada Nanggi atau Wor Befan faro Nanggi. Upacara ini dilakukan
saat panen dan hasil tangkapan yang melimpah termasuk meminta agar warga mendapat
perlindungan dari keganasan alam seperti gempa atau angin rebut.
Upacara-upacara adat dalam suku-suku dan system kepercayaan tradisi sudah
tidak lagi berlangsung secara rutin sejak orang Papua mulai memeluk agama Islam dan
Kristen, Katolik. Walau demikian dalam menghadapi persoalan maupun tantangan yang
menimpa manusia di Papua seperti kecelakaan, sakit dan mati ternyata masih ada orang
Papua yang mencari jawabannya melalui kepercayaan tradisi mereka masing-masing.
Antropolog Dr JR Mansoben yang mengambil doctor dari Universitas Leiden,
Negeri Belanda menyebut agama besar seperti Islam dan Kristen masuk ke tanah Papua
dengan periode yang berbeda-beda. Agama besar pertama yang masuk di Papua yaitu
agama Islam di daerah Raja Ampat dan Fakfak, Papua Barat. Agama Islam berasal dari
kepulauan Maluku dan disebarkan melalui hubungan perdagangan yang terjadi di kedua
daerah tersebut.
Menurut peneliti dan antropolog Belanda Van der Leeden(1980-22), agama Islam
masuk di daerah Raja Ampat ketika daerah itu mendapat pengaruh dari Kesultanan
Tidore pada abad ke 13. Agama Islam tidak menyebar secara nyata dan meluas, hanya
dianut oleh golongan-golongan penguasa tertentu di kalangan raja-raja. Penyebaran
agama Islam baru berlangsung bagi orang-orang Dani di daerah Walesi, Lembah Baliem
sejak 1990 an.
Agama besar lainnya yang datang dari luar adalah agama Kristen pada
pertengahan abad ke 19, jadi sekitar enam abad sesudah masuknya agama Islam di Raja
Ampat dan Fakfak. Pada 5 Februari 1855 tepatnya di Pulau Mansinam pada zending
menginjak kakinya Ottow dan Geissler dari Jerman datang ke Tanah Papua. Geisler
25
selama 14 tahun di Mansinam Kabupaten Manokwari, Papua Barat sejak 1855 sampai
dengan 1870. Kemudian dilanjutkan oleh Utrechtshe Zendings Vereninging(UZV) yang
tiba di Mansinam pada 1862. Selanjutnya aliran Pantekosta Betel di Sorong (1950), 1930
Christian and Missionarry Alliance(CMA) di Enarotali Paniai, Ajamaru 1952 dan Gereja
Protestan Maluku di Fakfak.
Sedangkan agama Katolik pertama kali agama Roma Katolik melakukan missi
pekabarannya di Selatan Papua. Missi ini ditandai dengan datangnya pastor Le Cocq d
Armandville SJ dari ordo Yesuit yang tiba di Kapaur, Fak-fak pada 1894. Ia tidak bekerja
lama dan kemudian tenggelam dalam perjalanan ke Mimika akibatnya terhenti sementara
waktu.
Selanjutnya kegiatan missi Katolik pada 1902 dari ordo Misi Hati
Kudus(Missionarisen van het Hlige Hart) dari Negeri Belanda dari perwakilan yang
berkedudukan di Langgur Kepulauan Kei, mendapat mandate untuk penyebaran agama
Katolik di Selatan Papua. Setelah mengalami perkembangan pesat di Selatan Papua, pada
1950 dibangung vikariat Merauke dan Hollandia pada 1954.
Masuknya agama-agama di Papua menunjukan bahwa aspek ini menambah
kemajemukan orang Papua yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Studi Summer
International Linguage(SIL) menyebutkan terdapat sekitar 250 suku bangsa di Tanah
Papua. Di sisi lain masuknya agama-agamadi tanah Papua membuat kekerabatan dan
golongan suku semakin majemuk dalam umat kepercayaan yang semakin
beragam.(Dominggus Mampioper)
2. Pakaian Adat
Pria Papua mengenakan pakaian adat berupa hiasan kepala, kalung yang terbuat dari
gigi dan tulang hewan, kalung dari kerang, ikat pinggang dan sarung yang berumbai
rumbai. Tombak beserta, tameng dengan hiasan yang khas ikut menyertai pakaian adatnya.
Wanitanya memakai kalung dari kerang dan gigi binatang, hiasan pada lengan serta
pakaian berumbai rumbai.
27
3. Tari tarian Daerah Papua
4. Senjata Tradisional
Salah satu senjata tradisional di Papua adalah pisau belati. Senjata ini terbuat dari tulang
burung Kasuari dan bulunya menghiasi hulu belati tersebut.
Senjata utama penduduk asli Papua lainnya adalah busur dan panah. Busur terbuat dari
bumbu dan kayu, sedangkan tali busur terbuat dari rotan. Anak panahnya terbuat dari
bumbu, kayu atau tulang kanguru. Busur dan panah dipakai untuk berburu atau berperang.
28
BAB III
KEBERAGAMAN SUKU – SUKU DI SUMATERA
Suku Batak
Suku bangsa batak bermukim di daerah Tapanuli dan Sumatera Utara. Batak Toba,
Batak Angkola, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Mandailing dan Batak Simalungun
merupakan suku bangsa Batak yang ada di Sumatera. Hampir sebagian dari mereka
memeluk agama Kristen. Sebagian mereka beragama Islam dan ada pula yang
menganut animisme. Seiring dengan perkembangan jaman, penganut animisme semakin
berkurang.
Suku Nias
Suku bangsa Nias berasal dari India Selatan yang berperawakan Malesoid. Suku bangsa
Nias memiliki rambut yang keriting, bibir yang tebal dan memiliki kulit hitam. Namun,
Anda juga akan melihat suku bangsa Nias yang memiliki penampilan yang berbeda.
Kulit yang berwarna sawo matang. rambut yang lurus, badan yang ramping dan bentuk
mulut yang sedang.
Suku Minangkabau
Suku bangsa Minagkabau memiliki kulit berwarna sawo matang, rambut yang lurus dan
bentuk mulut yang sedang, Penyebaran suku bangsa Minangkabau berada di Sumatera
Barat, Riau, Jambi dan Aceh.
Suku di Palembang
Suku bangsa Palembang merupakan keturunan Mongoloid yang memiliki penampilan
fisik: kulit yang berwarna sawo matang, tinggi badan yang sedang dan bentuk bibir
yang sedang pula.
Hampir semua suku bangsa yang ada di Pulau Sumatera memiliki ciri fisik yang hampir
sama. Selain memiliki warna kulit sawo matang, suku bangsa yang ada di Pulau
Sumatera memiliki ukuran bibir dan hidung yang sedang. Semua suku bangsa yang ada
di Pulau Sumatera berasal dari ras Mongoloid dan tersebar merata di pulau Sumatera.
Suku Melayu
Suku melayu merupakan penduduk asli dari provinsi Sumatera Selatan, Riau, Jambi,
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan sejumlah daerah
lainnya.Bahkan suku Melayu juga merupakan salah satu suku asli dari provinsi
Kalimantan Barat. Pada dasarnya, suku Melayu merupakan gabungan dari berbagai
suku. Kesamaan bahasa, agama dan budaya yang membuat mereka menjadi satu. Pada
tahun 2010, populasi suku Melayu diperkirakan sekitar 8.789.585 jiwa. Indonesia
sendiri merupakan negara dengan jumlah orang melyu terbesar kedua di dunia setelah
negara Malaysia.
29
Suku Rejang
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera. Berdasarkan
perbendaharaan kata dan dialek yang terdapat dalam bahasa Rejang, suku ini di
kategorikan sebagai Proto Melayu. Provinsi Bengkulu menjadi wilayah asal dari suku
Rejang. Suku Rejang ini tidak terlalu gemar merantau seperti suku-suku yang kita bahas
sebelumnya, sehingga cukup sulit untuk menjumpai orang-orang Rejang di luar wilayah
Bengkulu. Populasi suku Rejang diperkirakan mencapai 2 juta jiwa.
2) Ras
KEBERAGAMAN yang ada di Indonesia memang sangat banyak. Tidak hanya
keberagaman suku, agama dan ras, tetapi juga dalam keberagaman masyarakat.
Keberagaman masyarakat di Indonesia dapat dilihat dari struktur masyarakatnya.
Struktur masyarakat Indonesia menurut Syarif Moeis (2008) ditandai dengan dua ciri.
Pertama secara horizontal ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan kedaerahan.
Secara vertikal ditandai dengan adanya lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam.
Keberagaman ini juga terdapat pada penduduk yang menghuni pulau Sumatera.
Dalam buku karangan Edwin M. Loeb yang berjudul Sumatra disebutkan mengenai
keberagaman ras yang ada di Asia Selatan, ras-ras tersebut dikatakan bermigrasi ke
Sumatra yakni ras Negrito, Veddoid, dan Melayu.
Ciri ras Negrito adalah tubuhnya yang di bawah 150 cm, rambut keriting, warna
kulit gelap, warna mata hitam kecoklatan, dan tulang tengkorak yang lebar dan pendek.
Ras ini ditemukan di kepulauan Andaman, Filipina, dan di Semenanjung Melayu. Di
Sumatera jejak ras ini nyaris tak dijumpai.
Sedangkan untuk ras Veddoid, jejaknya terdapat pada orang Kubu terdahulu di
Palembang. Ras Veddoid sedikit berbeda dari ras Negrito, kulit mereka coklat namun
agak cerah, rambut mereka hitam dan kasar, bermata tajam dan berdahi lebar. Mereka
berasal dari Sri Lanka.
Sementara itu, ras Melayu orang-orangnya memiliki rambut bergelombang, ras
ini ditemukan di Enggano dan Mentawai serta Batak. Berdasarkan penyebaran ras-ras
tersebut, orang-orang Sumatera menunjukkan campuran dari ras Melayu dan Veddoid.
Heine-Geldern dalam penelitiannya menyebutkan tentang asal-usul tentang awal
pengembaraan orang Melayu yang datang dari Cina Selatan setelah 2000 SM. Di
Indonesia, ras awal mereka yakni orang yang berkulit kuning dan berambut lurus
bercampur dan menggeser ras-ras yang berambut keriting atau bergelombang.
Menurut Kroeber, ada dua tipe orang Melayu di Indonesia, yaitu: tipe pertama memiliki
tengkorak yang memanjang dan tipe kedua memiliki tengkorak yang melebar.
Satu diantara empat ras yang dikelompokkan oleh A.L Kroeber yakni ras
Mongoloid; ras ini mempunyai kulit putih dan badan yang tidak tinggi dan tidak besar.
Ras Mongoloid juga mempunyai bentuk mata yang kecil (sipit). Golongan bangsa yang
termasuk ras Mongoloid menyebar di Asia dan Amerika, yaitu Asiatic Mongoloid (Asia
Tengah, Asia Timur, dan Asia Utara), Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, beberapa
daerah di Indonesia, Malaysia, dan Filipina), dan American Mongoloid yang meliputi
orang Eksimo di Amerika Utara dan Terra del Fugo di Amerika Selatan. Di Indonesia
terutama Sumatera juga terdapat ras Malayan Mongoloid dan Asiatic Mongoloid.
30
Indonesia penuh dengan keberagaman, di Sumatera saja terdapat berbagai macam
perbedaan. Dan inilah uniknya bangsa Indonesia, di tengah keberagaman yang ada tetap
bersatu dan menjalin hubungan yang baik antar sesama. Seperti semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
Adanya keberagaman harus menjadi pendorong terwujudnya persatuan dan kesatuan
bangsa, dan pendorong tumbuhnya kesadaran setiap warga negara akan pentingnya
pergaulan demi memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
3) Bahasa
Bahasa daerah yang digunakan Pulau Sumatra antara lain Bahasa Aceh,
Bahasa Alas, Bahasa Angkola, Bahasa Batak, Bahasa Enggano, Bahasa Gayo, Bahasa
Karo, Bahasa Kubu, Bahasa Lampung, Bahasa Lom, Bahasa Mandailing, Bahasa
Melayu, Bahasa Mentawai, Bahasa Minangkabau, Bahasa Nias, Bahasa Orang Laut,
Bahasa Pak-Pak, Bahasa Rejang Lebong, Bahasa Riau, Bahasa Sikule, Bahasa Simulur.
31
C. Keberagaman Budaya Sumatera
SUMATERA UTARA
1. Rumah Adat
Rumah adat Sumatera Utara dinamakan Parsakitan dan Jabu Bolon. Jabu Parsakitan adalah
rumah adat di daerah Batak Toba, tempat penyimpanan barang-barang pusaka dan tempat
penyimpanan barang-barang pusaka dan tempat pertemuan untuk mem
bicarakan hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan adat. Jabu Bolon adalah
rumah pertemuan suatu keluarga besar. Berbentuk panggung dan ruang atas untuk tempat
tinggal bersama-sama, Tempat tidur lebih tinggi dari dapur.
2. Pakaian Adat
Di daerah Tapanuli Utara tenunan tradisionalnya disebut ulos. Kain ulos itu terdiri dari
beberapa macam yang harga dan fungsinya berbeda-beda. Misalnya: Ulos Godang,
Sibolang, Mangiring, Sitoluntuho, Ragi Hidup, Sadum, dan Ragi Hotang.
Pada upacara adat kaum pria mengenakan tutup kepala yang disebut sabe-sabe dari ulos
mangiring. Di bahunya disampirkan Ulos Ragi Hotang dan mengenakan kain sarung. Kaum
wanitanya menegenakan Ulos Sadum yang disampirkan di kedua bahunya dililit dengan
Ulos Ragi Hotang dan mengenakan sarung suji.
3. Tari-tarian Daerah Sumatera Utara
a. Tari Serampang Dua Belas, sebuah tari melayu dengan irama joged. Diiringi musik
dengan pukulan gendang ala Amerika Latin. Serampang Dua Belas merupakan tari
pergaulan, baik bagi muda-mudi maupun orang tua.
32
b. Tari Tor-tor, sebuah tari dari daerah Batak dengan latar belakang falsafah peradatan dan
ditarikan dalam suasana khusuk.
c. Tari Marsia Lapari, tari garapan ini menggambarkan kegiatan gadis-gadis Sumatera Utara
yang senantiasa saling membantu dalam menggarap sawah. Olahan tari didasarkan unsur
gerak tari daerah Tapanuli Selatan yang diramu dengan unsur daerah lain, dengan iringan
musik gondang sembilah.
d. Tari Manduda, suatu bentuk tarian rakyat Simalungun yang bersuka ria di masa panen
padi.
(Tari Tor-tor salah satu tarian Sumatera Utara)
4. Senjata Tradisional
Piso surut adalah sejenis belati dan merupakan senjata tradisional di Tanah Karo, Sumatera
Utara. Piso gaja dompak, berupa sebilah keris panjang merupakan lambang penting
pemerintahan Raja Si Singamangaraja. Senjata ini hanya boleh diguanakan oleh raja saja.
Senjata tradisional yang biasa digunakan oleh masyarakat umum adalah hujur sejenis
tombak dan podang sejenis pedang panjang.
5. Suku
Suku dan marga yang terdapat di daerah Sumatera Utara : Melayu, Batak (Mandailing,
Toba, Simalungun, Karo), Nias, dan lain-lain.
6. Bahasa Daerah
Batak, Karo, Melayu, Nias, Mandailing, dan lain-lain.
7. Lagu Daerah : Pantun Lama, Butet, Sengko-sengko.
SUMATERA BARAT
1. Rumah Adat
33
Rumah Gadang
Rumah adata Sumatera Barat dinamakan Rumah Gadang. Rumah Gadang di Sumatera Barat
adalah untuk tempat tinggal. Rumah tersebut dapat dikenali dari tonjolan atapnya yang
mencuat ke atas yang bermakna menjurus kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tonjolan itu
dinamakan gojoang yang banyaknya sekitar 4-7 buah. Rumah Gadang mempunyai 2-3
lumbung padi antara lain Si Bayo-bayo yang artinya persedian padi bagi keluarga dari
rantau. Si Tinjau Lauik, padinya untuk diberikan kepada yang tidak mampu dan Si
Tangguang Litak, padinya khusus bagi yang punya rumah.
2. Pakaian Adat
Kaum pria dari Sumatera Barat memakai tutup kepala yang disebut saluak. Memakai baju
model teluk belanga yang berlengan agak pendek dan melebar ke ujung. Selembar kain
menyelempang di bahu dan sebilah keris terselip di depan perut. Ia juga memakai celana
panjang dengan kain songket melingkar di tengah badan. Sedangkan wanitanya memakai
tutup kepala bergonjang yang disebut tangkuluak tanduak, baju kurung dengan kain songket
menyelempang di bahu dan berkain songket. Perhiasan yang dipakainya adalah anting-
anting, kalung bersusun dan gelang pada kedua belah tangan, pakaian ini berdasarkan adat
Minangkabau.
3. Tari-tarian Daerah Sumatera Barat
34
Tari Piriang
a. Tari Piriang, sebuah tarian tradisional yang melambangkan suasana kegotongroyongan
rakyat dalam menunaikan tugasnya. Siang hari mengerjakan sawah ladang dan malam
harinya bersukaria bersama-sama.
b. Tari Payung, ditarikan oleh pasangan muda-mudi dengan payung tangan, sang pria selalu
melindungi kepala sang wanita, sebuah perlambang perlindungan lelaki terhadap wanita.
c. Tari Kiek Gadih Minang, merupakan tari kreasi yang mendasarkan garapannya pada
unsur-unsur gerak tari tradisi Minang. Tari kelompok ini menggambarkan kesibukkan gadis-
gadis Minang di waktu subuh selagi bersiap-siap menuju mesjid.
4. Senjata Tradisional
35
Rumah Limas
Rumah adat Sumatera Selatan bernama Rumah Limas, Ia merupakan rumah panggung,
untuk tempat tinggal para bangasawan. Rumah Limas berjenjang lima dengan bermakna
Lima Emas, yaitu keagungan, rukun dan damai, sopan santun, aman dan subur, kemudian
makmur dan sejahtera. Pintu Gerbang Emas harus ada pada setiap RUmah Limas.
2. Pakaian Adat
Pria Sumatera Selatan mamakai pakaian adat berupa mahkota , kalung bersusun dengan baju
yang khas. Ia juga memakai celana panjang dan kain songket pada bagian tengah badan.
Wanitanya memakai pakaian yang mirip dengan prianya, yaitu bermahkota, kalung susun,
pending dan gelang pada kedua belah tangan. Ia jua memakai kain songket yang melingkar
pada bagian tengah badan serta berkain songket. Pakaian ini dipakai untuk upacara
pernikahan.
Tari Tanggai
a. Tari Tanggai, merupakan sebuah tarian dalam menyambut para tamu disertai upacara
kebasaran adat.
b. Tari Putri Bekhusek, artinya sang putri yang sedang bermain. Tari ini sangat popular di
Kabupaten Ogan Komering Ulu dan melambangkan kemakmuran daerah Sumatera Selatan.
36
c. Tari Menyadap Karet, tari menggambarkan canda-ria muda-mudi Sumatera Selatan
selagi menyadap karet, yang tak jarang menuntunmereka ke jenjang perkawinan. Tari yang
diperkaya dengan unsur gerak tradisi ini berkenan sebagai tari pergaulan yang menimbulkan
suasana gembira.
4. Senjata Tradisional
Senjata tradisional yang terkenal di Sumatera Selatan adalah keris. Keris situ ada yang
berlekuk 7, 9 atau 13, yaitu dengan jumlah ganjil.
37
BAB II
KEBERAGAMAN SUKU – SUKU DI KALIMANTAN
Suku Kutai
Suku Kutai atau Urang Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah
Kalimantan Timur yang mayoritas saat ini beragama Islam dan hidup di tepi sungai.
Suku Kutai merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak
rumpun ot danum ( tradisi lisan orangtua beberapa Suku Kutai yang mengatakan Suku
Dayak Lawangan yang kemudian berdiam di Kalimantan Timur melahirkan Suku
Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq, kemudian dengan masuknya budaya melayu
dan muslim melahirkan terbentuknya masyarakat Suku Kutai yang berbeda budaya
dengan Suku Dayak).
Pada awalnya Kutai merupakan nama suatu teritori tempat bermukimnya
masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah
termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena
itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun Ot Danum. Hubungan
Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku
Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Ot Danum (karena masing –
masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).
Suku Paser
Suku Paser adalah suku bangsa yang tanah asalnya berada di tenggara
Kalimantan Timur yaitu di Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara, dan Kota
Balikpapan. Suku Paser sebagian besar beragama Islam maupun beragama Kristen dan
telah mendirikan kerajaan Islam yaitu Kesultanan Pasir (Kerajaan Sadurangas) jadi
termasuk ke dalam suku yang berbudaya Melayu (budaya kesultanan/lingkungan
hukum adat Melayu). Kemungkinan suku Paser masih berkerabat dengan suku Dayak
Lawangan yang termasuk suku Dayak dari rumpun Ot Danum. Populasi suku Dayak
Paser saat ini diperkirakan sebesar 155.000 jiwa.
Sebagian besar suku Dayak Paser saat ini bermukim di wilayah pedalaman di kawasan
Hutan Lindung Gunung Lumut kabupaten Paser provinsi Kalimantan Timur. Sebelum
bermukim di tempat mereka sekarang ini, dahulunya mereka berasal dari daerah
Balikpapan dan Penajam. Kemungkinan karena banyaknya arus pendatang baru dari
luar yang memasuki wilayah mereka dahulu, sehingga memaksa mereka mencari
38
tempat yang lebih tenang dan damai yaitu di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut,
tempat mereka sekarang ini.
Suku Bajau
Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan
Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut,
sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau
sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah
Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan
diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau
yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan
yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki
pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari
rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar. Saat ini, Suku Bajau
menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia (terutama Indonesia Timur), bahkan
sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar mulai tinggal menetap
dan berbaur dengan suku-suku lain.
Suku Banjar
Suku Banjar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan Selatan,
serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku
Banjar dengan jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara
dan Semenanjung Malaysia karena migrasi Orang Banjar pada abad ke-19 ke
Kepulauan Melayu.
Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar
2,7 juta orang Banjar tinggal di Kalimantan Selatan dan 1 juta orang Banjar tinggal di
wilayah Kalimantan lainnya serta 500 ribu orang Banjar lainnya tinggal di luar
Kalimantan.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran
masyarakat beberapa daerah aliran sungai yaitu DAS Bahan, DAS Barito, DAS
Martapura dan DAS Tabanio. Dari daerah pusat budayanya ini suku Banjar sejak
berabad-abad yang lalu bergerak melakukan migrasi secara sentrifugal atau secara
lompat katak. Secara genetika suku Banjar kuno sudah terbentuk ribuan tahun yang lalu
dan telah melakukan migrasi keluar pulau Kalimantan sekitar 1.200 tahun yang lalu
menuju Madagasikara alias Madagaskar dan ke wilayah lainnya.
Sekitar tahun 1526, ketika raja Banjar menerima dan memeluk Islam maka diikuti
seluruh kalangan suku Banjar untuk melakukan konversi massal ke agama Islam,
sehingga kemunculan suku Banjar dengan ciri keislamannya ini bukan hanya sebagai
konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamis. Kelompok masyarakat
yang telah menganut Islam ini disebut Oloh Masih dalam bahasa Dayak Ngaju atau
Ulun Hakey dalam bahasa Dayak Maanyan.
Pada jaman dahulu, suku Banjar termasuk masyarakat bahari atau berjiwa
kemaritiman. Perjanjian tanggal 18 Mei 1747 antara Sultan Banjar Tamjidillah I dengan
VOC-Belanda tentang monopoli perdagangan oleh VOC-Belanda di Kesultanan Banjar
diantaranya mengatur bahwa orang Banjar tidak boleh berlayar ke sebelah timur sampai
ke Bali, Sumbawa, Lombok, batas ke sebelah barat tidak boleh melewati Palembang,
Johor, Malaka dan Belitung. Sejak itu wilayah pelayaran orang Banjar mulai
menyempit, namun sisa-sisa jiwa kebaharian orang Banjar masih terlihat jejaknya pada
kehidupan masyarakat Banjar di daerah perairan Kalimantan Selatan.
39
b) Ras
Ras yang tersebar di Kalimantan anatara lain:
Ras Golongan Melayu Mongoloid
Ras Golongan Melayu Mongoloid adalah ras tersebar yang dimana ada dan juga
hidup di Indonesia. Kemudian , ras golongan melayu mongoloid sendiri dianggap
sebagai sebuah nenek moyang dari bangsa Indonesia sendiri hingga saat ini.
Ras Golongan Melayu Mongoloid ini kemudian di bagi menjadi dua yaitu:
Golongan melayu tua (proto melayu) yang dimana terdiri dari atas suku dayak
dan suku toraja.
Golongan melayu muda (deutro melayu) yang dimana kemudian terdiri atas
suku jawa, suku bali, suku madura, dan juga suku banjar.
c) Bahasa
Bahasa yang digunakan di Kalimantan rata rata adalah bahasa Indonesia. Walau
demikian, di beberapa daerah seperti di Banjarmasin atau Kalimantan Selatan
masyarakat di sana menggunakan bahasa banjar sebagai bahasa sehari hari. Sedangkan
jika anda berkunjung ke Kalimantan Barat, maka masyarakat di sana lebih banyak
menggunakan bahasa melayu. Begitu juga dengan Kalimantan Tengah. Mereka
memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Banyak penduduk yang datang dari luar daerah juga membawa bahasa mereka seperti
bahasa bugis, bahasa jawa, dan beberapa bahasa lainnya juga sering dipergunakan di
pulau Kalimantan.
d) Agama
Masyarakat Dayak menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai
agama Kaharingan. Sekarang, agama ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad
pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya
peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan
memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari
Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur. Penemuan arca-arca
Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di
Kota Bangun, Kutai Kartanegara) danKerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan
munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India
yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Dengan menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad
ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang
menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul
hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam
(seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya
40
masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan
Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan
kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama
Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama
Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan.
Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari
agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada
mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang
beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan
masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan
Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai
agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat
Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang
Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain Kristen misalnya ada orang
Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap
menyebut dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan
berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada
hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat
kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar seperti suku-
suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan
Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat
lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku
hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan
orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan
tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu
menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama
Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama
orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang
Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi
menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas
menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng
(Palembang) maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui
Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa
Arab. Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang
mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi
pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang
tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap
telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17
dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani
selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak
memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing,
seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap
orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau
41
yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh
VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan
Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787,
Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten.
Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di
wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara
Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan
tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia
Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.
Kebudayaan tidak akan pernah lepas dari setiap tanah yang ada di Indonesia, termasuk
pulau yang terkenal dengan hutan hujan tropisnya. Ragam budaya yang ada di Kalimantan
sangatlah banyak, mulai dari rumah adat, tarian adat dan senjata-senjata mereka yang khas
.
42
Rumah Adat Kalimantan
Kebudayaan Kalimantan bisa dilihat dari rumah adatnya yang ditinggali oleh penduduk
disana. Rumah adatnya biasa disebut dengan Betang.
Rumah adat Betang mudah ditemui oleh suku Dayak yang tinggal di daerah Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah. Ciri-ciri rumah Betang adalah bentuk rumahnya panggung
dan bentuknya memanjang dengan bagian ujungnya searah dengan tempat matahari terbit
dan tenggelam.
43
Senjata Daerah Kalimantan
Pakaian Adat
1. Pakaian Adat Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Barat didominasi oleh 2 suku besar yaitu suku Dayak dan suku
Melayu. Dalam hal berpakaian, kedua suku tersebut memiliki perbedaan yang sangat
mencolok. Pakaian adat Kalimantan Barat untuk suku Dayak bernama King Baba dan
King Bibinge. King Baba digunakan oleh pria sementara King Bibinge digunakan oleh
para wanita. Baik King Baba maupu King Bibinge keduanya dibuat dari serat kulit kayu
yang dihias sedemikian rupa dengan beragam pernik dan warna. Pemakai pakaian ini
juga akan mengenakan beragam aksesoris seperti senjata tradisional maupun perhiasan
berupa kalung, manik, manik, dan bulu burung enggang di bagian penutup kepalanya.
Sementara untuk pakaian adat Melayu terutama Melayu Sambas, desain, bahan dan cara
pemakaiannya sebetulnya sama seperti busana khas melayu lainnya. Perempuannya
mengenakan baju kurung dan laki-lakinya mengenakan baju jas tutup.
44
3. Pakaian Adat Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Selatan menjadi provinsi yang dihuni oleh mayoritas suku Banjar.
Suku Banjar sendiri memiliki 4 jenis pakaian adat untuk peruntukan yang berbeda-beda.
Keempat pakaian adat tersebut antara lain Pengantin Baamar Galung Pancar
Matahari,Pengantin Bagajah Gamuling Baular Lulut, Pengantin Babaju Kun Galung
Pacinan, dan Pangantin Babaju Kubaya Panjang.
45
5. Pakaian Adat Kalimantan Utara
Kalimantan Utara adalah provinsi pecahan Kalimantan Timur yang sekaligus menjadi
provinsi termuda di Indonesia. Budaya masyarakatnya juga hampir mirip dengan
budaya Kalimantan Timur dengan suku Dayak sebagai mayoritas suku penduduknya.
Hal ini dicirikan dengan diakuinya baju Sapei Sapaq dan Baju Ta’a khas Dayak
Kalimantan Timur sebagai pakaian adatnya. Kendati begitu, Sapei Sapaq dan Baju Taa
Kalimantan Utara memiliki perbedaan dan ciri khasnya sendiri.
46
KEBERAGAMAN SUKU-SUKU
DI WILAYAH INDONESIA
Kelompok : 2
Kelas : VII F
Nama Anggota :
1. Liwulan H.
2. Imel Amelia
3. Nabila
4. Putra Hendrian B.
5. M. Miftahul Fadil
6. Fairuz Chalisa
7. Nabil
8. M. filhan
Syukur Alhamdulillah atas segala karunia Allah SWT. Atas izin-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas PPKN. Dalam makalah ini membahas
kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi diri saya sendiri dan khususnya pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, baik
dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang digunakan. Oleh karena itu, segala kritik dan
saran yang bersifat membangun guna perbaikan bagi kami dalam membuat makalah selanjutnya,
akan kami terima dengan senang hati. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii