PENDAHULUAN
Manusia memiliki kehidupan yang sangat rumit, mereka tidak dapat hidup sendiri,
oleh karena itu mereka pasti memiliki hubungan dengan segala sesuatu di dalam ruang
lingkup hidupnya, baik itu hubungan dengan sang pencipta, sesama manusia, lingkungan
sekitarnya maupun dengan mahluk lain di alam ini. Semua aspek relasi hidup tersebut
haruslah terpenuhi secara merata. Tentunya manusia perlu beradaptasi dengan keadaan
lingkungan hidup di sekitarnya karena itu merupakan tahap awal pembelajaran untuk dapat
menjadi pribadi yang berkualitas. Dimulai dari pemahaman tentang norma dan nilai yang
berlaku sampai kepada ilmu pengetahuan yang luas. Sosialisasi antara sesama manusia yang
berwawasan akan membentuk suatu kebudayaan. Kebudayaan tersebut akan menjadi suatu
bukti perkembangan hidup manusia.
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman dan
keunikannya. Kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan kebudayaan
yang majemuk dan sangat kaya ragamnya. Perbedaan yang terjadi dalam kebudayaan
Indonesia dikarekan proses pertumbuhan yang berbeda dan pengaruh dari budaya lain yang
ikut bercampur di dalamnya. Di setiap budaya tersebut terdapat nilai-nilai sosial dan seni
yang tinggi. Salah satu provinsi di Indonesia, yakni provinsi Maluku memiki perbedaan
budaya dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Maluku adalah sebuah provinsi yang meliputi bagian selatan Kepulauan
Maluku, Indonesia. Lintasan sejarah Maluku telah dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan
besar di Timur Tengah seperti kerajaan Mesir yang dipimpin Firaun. Bukti bahwa sejarah
Maluku adalah yang tertua di Indonesia adalah catatan tablet tanah liat yang ditemukan
di Persia, Mesopotamia, dan Mesir menyebutkan adanya negeri dari timur yang sangat
kaya, merupakan tanah surga, dengan hasil alam berupa cengkih,emas dan mutiara, daerah
itu tak lain dan tak bukan adalah tanah Maluku yang memang merupakan sentra
penghasil Pala, Fuli, Cengkih dan Mutiara.
1
Pala dan Fuli dengan mudah didapat di kepulauan Banda, Cengkih dengan mudah
ditemui di negeri-negeri di Ambon, Pulau-Pulau Lease (Saparua, Haruku & Nusa laut)
dan Nusa Ina serta Mutiara dihasilkan dalam jumlah yang cukup besar di Kota Dobo,
Kepulauan Aru.
Ibu kota Maluku adalah Ambon yang bergelar atau memiliki julukan sebagai Ambon
Manise. Kota Ambon berdiri di bagian selatan dari Pulau Ambon yaitu di jazirah Leitimur.
Jumlah penduduk provinsi ini tahun 2010 dalam hasil sensus berjumlah 1.533.506
jiwa. Maluku terletak di Indonesia Bagian Timur. Berbatasan langsung dengan Maluku
Utara dan Papua Barat di sebelah utara, Laut Maluku, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi
Tenggara di sebelah barat, Laut Banda, Timor Leste, dan Nusa Tenggara Timur di sebelah
selatan serta Laut Aru dan Papua di sebelah timur.
Maluku memiliki 2 agama utama yaitu agama Islam yang dianut 50,61% penduduk
dan agama Kristen (baik Protestan maupun Katolik) yang dianut 48,4% penduduk. Maluku
tercatat dalam ingatan sejarah dunia karena konflik atau tragedi krisis kemanusiaan dan
konflik horizontal antara basudara Salam-Sarane atau antara Islam dan Kristen yang lebih
dikenal sebagai Tragedi Ambon. Selepas tahun 2002, Maluku berubah wajah menjadi
provinsi yang ramah dan damai di Indonesia, untuk itu dunia memberikan suatu tanda
penghargaan berupa Gong Perdamaian Dunia.
Pada tahun 1999 ketika konflik atau tragedi krisis kemanusiaan dan konflik horizontal
antara basudara Salam-Sarane atau antara Islam dan Kristen yang lebih dikenal
sebagai Tragedi Ambon melanda Maluku, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan
menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibu kota di Sofifi. Namun, karena Kota
Sofifi dinilai belum siap menjadi ibu kota maka pusat pemerintahan sementara sampai 2009
berada di Kota Ternate yang berada di Pulau Ternate. Provinsi Maluku dan Maluku Utara
membentuk suatu gugus-gugus kepulauan yang terbesar di Indonesia dikenal
dengan Kepulauan Maluku dengan lebih dari 4.000 pulau baik pulau besar maupun kecil.
Suku bangsa Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih
berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan
Samudra Pasifik.
Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki ikatan tradisi dengan
bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, serta
2
perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula
dalam tradisi budaya Hawaii).
Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan
kuat, serta profil tubuh yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia,
dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan
berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria.
Sejak zaman dahulu, banyak di antara mereka yang sudah memiliki darah campuran
dengan suku lain yaitu dengan bangsa Eropa (umumnya Belanda dan Portugal)
serta Spanyol, kemudian bangsa Arab sudah sangat lazim mengingat daerah ini telah
dikuasai bangsa asing selama 2.300 tahun dan melahirkan keturunan-keturunan baru, yang
mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi namun tetap mewarisi dan hidup dengan
beradatkan gaya Melanesia-Alifuru.
Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa dan Arab inilah
maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah
yang memiliki kaum Mestizo terbesar selain Timor Leste (Timor Leste, sekarang menjadi
negara sendiri). Bahkan hingga sekarang banyak nama fam/mata ruma di Maluku yang
berasal adat bangsa asing seperti Belanda (Van Afflen, Van Room, De Wanna, De Kock,
Kniesmeijer, Gaspersz, Payer, Ziljstra, Van der Weden, dan lain-lain) serta Portugal (Da
Costa, De Fretes, Que, Carliano, De Souza, De Carvalho, Pareira, Courbois, Frandescolli,
Ramschie, dan lain-lain). Ditemukan pula fam/mata ruma keturunan
bangsa Spanyol (Oliviera, Diaz, De Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon, Mendoza, De
Lopez, dan lain-lain) serta fam-fam Arab yang langsung dari Hadramaut (Al-Kaff, Al
Chatib, Bachmid, Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus, Assegaff, dan lain-lain).
Cara penulisan fam orang Ambon/Maluku pun masih mengikuti dan disesuaikan dengan
cara pembacaan ejaan asing seperti Rieuwpassa (baca: Riupasa), Nikijuluw (baca:
Nikiyulu), Louhenapessy (baca: Lohenapesi), Kallaij (baca: Kalai), dan Akyuwen (baca:
Akiwen).
Dewasa ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja melainkan
tersebar di berbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah keluar negeri
disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik adalah perpindahan
besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada tahun 1950-an dan menetap di sana hingga
3
sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, menuntut
ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain, yang di kemudian hari menetap lalu memiliki
generasi-generasi Maluku baru di belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat
ditemukan dalam komunitas yang cukup besar serta terkonsentrasi di beberapa negara
seperti Belanda (yang dianggap sebagai tanah air kedua oleh orang Maluku selain tanah
Maluku itu sendiri), Suriname, dan Australia. Komunitas Maluku di wilayah lain
di Indonesia dapat ditemui di Medan, Palembang, Bandung, Jabodetabek, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Makassar, Kupang, Manado, Kalimantan Timur, Sorong,
dan Jayapura.
Bahasa yang digunakan di Provinsi Maluku adalah Bahasa Ambon, yang merupakan
salah satu dari rumpun bahasa Melayu timur yang dikenal sebagai bahasa dagang atau trade
language. Bahasa yang dipakai di Maluku terkhusus di Ambon sedikit banyak telah
dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing, bahasa-bahasa bangsa penjelajah yang pernah
mendatangi, menyambangi, bahkan menduduki dan menjajah negeri/tanah Maluku pada
masa lampau.
Bahasa Ambon selaku lingua franca di Maluku telah dipahami oleh hampir semua
penduduk di wilayah Provinsi Maluku dan umumnya, dipahami juga sedikit-sedikit oleh
masyarakat Indonesia Timur lainnya seperti orang Ternate, Manado, Kupang, dll.
karena Bahasa Ambon memiliki struktur bahasa yang sangat mirip dengan bahasa-
bahasa trade language di wilayah Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua, Papua Barat,
serta Nusa Tenggara Timur.
Bahasa Indonesia selaku bahasa resmi dan bahasa persatuan di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) digunakan dalam kegiatan-kegiatan publik yang resmi dan
formal seperti di kantor-kantor pemerintah dan di sekolah-sekolah serta di tempat-tempat
seperti museum, bandara, dan pelabuhan.
Beberapa bahasa yang paling umum dipetuturkan di Maluku yaitu:
Bahasa Wemale, dipakai penduduk Negeri Piru, Seruawan, Kamarian, dan Rumberu
(Kabupaten Seram Bagian Barat).
Bahasa Alune, dipakai di wilayah tiga batang air yaitu Tala, Mala, dan Malewa di
wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat.
4
Bahasa Nuaulu, dituturkan oleh suku Nuaulu di Pulau Seram Selatan yaitu antara Teluk
Elpaputi dan Teluk Teluti.
Bahasa Atiahu, dipakai oleh tiga negeri yang juga termasuk rumpun Nuaulu
yakni Negeri Atiahu, Werinama, dan Batuasa di wilayah Kabupaten Seram Bagian
Timur.
Bahasa Koa, dituturkan di wilayah pegunungan tengah Pulau Seram yaitu
sekitar Manusela dan Gunung Kabauhari.
Bahasa Seti dituturkan oleh suku Seti, di Seram Utara dan Teluti Timur, merupakan
bahasa dagang di Seram Bagian Timur.
Bahasa Gorom merupakan turunan dari bahasa Seti dan dipakai oleh penduduk beretnis
atau bersuku Gorom yang berdiam di kabupaten Seram Bagian Timur yang menyebar
sampai Kepulauan Watubela dan Maluku Tenggara.
Bahasa Tarangan merupakan bahasa pemersatu dan dipakai oleh penduduk wilayah
Pulau Aru dengan ibu kota Kab. Dobo Maluku Tenggara.
Tiga bahasa yang hampir punah adalah Palamata dan Moksela serta Hukumina.
Ratusan bahasa di atas dipersatukan oleh sebuah bahasa pengantar yang telah
menjadi lingua franca sejak lama yaitu Bahasa Ambon. Sebelum bangsa-bangsa asing
(Arab, Tiongkok, Spanyol, Portohis, Wolanda, dan Inggris) menginjakkan kakinya di
Maluku, bahasa-bahasa asli Maluku tersebut sudah hidup setidaknya ribuan tahun dan
menjadi bahasa-bahasa dari keluarga atau rumpun paling barat keluarga bahasa-bahasa
Pasifik/Melansia (bahasa Papua-Melanesoid).
Penduduk Maluku menganut 3 agama utama yaitu Islam sebanyak 50,61%, Kristen
Protestan sebanyak 41,40%, dan Katolik sebanyak 6,76% penduduk. Penyebaran agama
Islam dilakukan oleh Kesultanan Iha, Saulau, Hitu, dan Hatuhaha serta pedagang Arab yang
mengunjungi Maluku. Sementara penyebaran agama Kristen dilakukan oleh misionaris-
misionaris dari Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2013 tercatat yaitu sebagai berikut:
Gereja Protestan Maluku atau biasa dikenal sebagai GPM merupakan organisasi sinode dan
pertubuhan gereja terbesar yang ada di Maluku, yang memiliki jemaat gereja di hampir
seluruh negeri Sarane di seluruh Maluku.
5
Dalam masyarakat Maluku dikenal suatu sistem hubungan sosial yang
disebut Pela dan Gandong. Pela dan Gandong merupakan suatu sebutan yang di berikan
kepada dua atau lebih negeri yang saling mengangkat/menganggap sebagai saudara satu
sama lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata "Pela" dan "Gandong". Pela
adalah suatu ikatan persatuan, sedangkan Gandong mempunyai arti saudara.
Berdasarkan topik dan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah: bagaimana Sosial Budaya di 11 kabupaten di provinsi
Maluku?
6
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistem Religi
Sebelum mengenal agama orang-orang Buru menganut kepercayaan kepada roh-roh
nenek moyang atau leluhur yang disebut Animisme.
Bertolak dari penjelasan di atas, orang-orang Buru dalam menjalankan kepercayaan
terhadap leluhur membagi ruang di wilayahnya atas tiga bagian yaitu:
Pertama adalah kawasan yang dilindungi karena nilai kekeramatannya yaitu Gunung
Date (kaku Date), Danau Rana (Rana Waekolo) dan tempat yang keramat di hutan primer
(koin lalen);
Kedua adalah kawasan yang diusahakan meliputi pemukiman (humalolin dan
fenalalen), kebun (hawa), hutan berburu atau meramu (neten emhalit dan mua lalen),
hutan kayu putih (gelan lalen) dan tempat memancing (wae lalen);
Ketiga adalah kawasan yang tidak diusahakan, meliputi bekas kebun (wasi lalen) dan
padang alang-alang (mehet lalen).
2. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang-orang Buru berorientasi pada pola perkawinan patrilineal
yang disertai dengan pola menetap patrilokal yaitu tempat tinggalnya berpusat pada
wilayah turunan ayah atau bapak. Kesatuan kekerabatan yang lebih besar dari keluarga
7
batih adalah matarumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat
patrilineal. Matarumah merupakan kesatuan laki-laki dan perempuan yang belum kawin
dan para istri dari laki-laki yang telah kawin.
3. Kesenian
a. Seni Sastra
Pantun-pantun adat yang diciptakan terus exist hingga sekarang karena sering dipakai
saat acara-acara seperti upacara adat perkawinan, pelantikan Kepala Soa/Tua Adat,
acara kematian, dan Dulang Adat.
b. Seni Tari
Orang Buru mengenal tarian adat Cakalele yang dalam bahasa lokal disebut cakalele
Geba Mua, biasa ditarikan pada saat acara-acara adat seperti upacara perkawinan,
pelantikan tua adat atau kepala desa, juga penyambutan tamu-tamu besar dalam
bidang pemerintahan dan bidang agama.
8
Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan mempunyai andil yang sangat besar dalam
pembangunan watak generasi masyarakat sehingga memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap
kebudayaan daerah.
Bupati dua periode ini berharap festival kebudayaan lokal ini dapat menumbuh
kembangkan nilai-nilai budaya kearifan lokal dan juga dapat memperkenalkan Bursel dimata
dunia internasional.
Festival Budaya Lokal ini diikuti oleh 11 peserta dari 7 sanggar yang datang dari
berbagai kecamatan yang ada di Kabupaten Bursel yakni Sanggar Batu peka dari kecamatan
Namrole, sanggar South Bipolo dari Kecamatan Namrole, Sanggar SMA Negeri Leksula dari
Kecamatan Fena Fatan, Sanggar Lilin Alam dari Kecamatan Ambalau dan Sanggar Kai-
Wait SMA Namrole dari Kecamatan Namrole serta sanggar Wio-Wio dari desa Waenalut
yang juga dari Kecamatan Namrole.
1. Budaya Pela
Pada umumnya desa-desa di Kabupaten Kepulauan Aru memiliki ikatan adat antar
desa yang disebut dengan “Pela”. Ikatan Pela ini adalah ikatan persaudaraan yang terjalin
antara satu desa dengan desa lainnya. Biasanya ikatan pela ini terjalin karena hubungan
saudara kakak beradik antara satu desa dengan desa lainnya atau juga dengan
mengangkat sumpah sebagai saudara oleh nenek moyang warga desa pada jaman dahulu.
Ikatan Pela yang sangat kuat biasanya dikenal dengan sebutan Pela Tumpa Darah atau
Pela Darah. Ikatan Pela ini bisa mengikat 2 desa atau lebih.
9
Kalau terjadi perselisihan atau permusuhan antar desa yang mana desa-desa tersebut
ada memiliki hubungan Pela dengan Desa Durjela, maka perwakilan dari kedua desa
yang bermusuhan akan meminta desa Durjela untuk menjadi penengah sekaligus
mendamaikan kedua desa tersebut.
2. Budaya Sasi
Selain adanya nilai adat sebagai ikatan kebudayaan, penyajian tentang etika dan
budaya juga terkait dengan sikap manusia terhadap alam dan lingkungan. Bagi orang Aru
dan orang Maluku secara umum, keberadaan manusia merupakan bagian tidak
terpisahkan dengan unsur-unsur lingkungan lainnya dalam ekosistem.
Manusia dipandang sebagai bagian dari sistem yang holistik dari alam. Ini bisa kita
lihat dan dirasakan pada kearifan budaya lokal suatu daerah. Berbeda dengan pandangan
antroposentris, yang mengutamakan manusia sebagai yang utama, kearifan budaya orang
Aru baik yang suku asli di Kepulauan Aru ataupun suku-suku pendatang memiliki
pandangan kearifan budaya bahwa manusia dan alam memiliki hukum ruang dan waktu
yang sama sehingga saling membutuhkan.
Salah satunya adalah adat “Sasi”, yaitu suatu larangan untuk melakukan tindakan
pengambilan sumberdaya alam tertentu yang secara adat sudah disepakati. Biasanya
berupa hasil hutan, ladang dan hasil laut tertentu. Sasi memiliki batasan waktu dan lokasi,
meskipun kadang juga waktunya tidak secara eksplisit disebut dibatasi jangkanya, tetapi
sesungguhnya itu karena sifat fleksibilitas waktu sampai sumberdaya tersebut cukup
memadai untuk diambil. Dalam khasanah masyarakat Kepulauan Aru, usaha manusia
untuk menghormati alam diwujudkan dalam budaya Sasi.
Posisi Kabupaten Kepulauan Aru yang dikelilingi oleh Laut Aru dan Laut Arafura
(potensi perikanan terbesar setelah laut Jawa dan Cina Selatan) membuat kabupaten ini
memiliki potensi sumberdaya hayati sangat besar dengan tingkat keragaman jenis cukup
tinggi pula berupa ikan dan non ikan seperti berbagai jenis pelagis kecil, pelagis besar,
demersal, ikan karang, ikan hias, rumput laut, kerang-kerangan (seperti mutiara, siput
dara, kima), penyu, udang, lobster, kepiting, cumi-cumi, dugong (sea mammals) dan
sebagainya.
10
Protestan. Tradisi dan adat istiadat masih cukup kental, terutama terkait pernikahan dan
pemerintahan desa. Bahkan di beberapa desa, fungsi kepala desa juga mencakup fungsi dari
seorang raja, dan hanya masyarakat dari marga raja saja yang bisa mencalonkan diri menjadi
kepala desa.
Walaupun MBD memiliki topografi kepulauan, hal ini tidak menyurutkan semangat
masyarakatnya untuk mendapatkan akses pendidikan. Meskipun sarana dan prasarana
pendidikan masih minim, sebagian besar penduduknya merupakan lulusan sekolah
menengah, bahkan tidak sedikit yang menempuh jenjang perguruan tinggi.
Masyarakat MBD mempunyai modal sosial yang tinggi terkait ketertiban
bermasyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai peraturan desa yang mengatur tata
hubungan bermasyarakat, di mana kegiatan yang mengganggu ketertiban masyarakat
mendapatkan sanksi hukuman yang cukup berat. Konflik sosial yang terjadi hanya bersifat
kasuistis dan biasanya terkait dengan permasalahan pemanfaatan lahan. Konflik sosial yang
terjadi biasanya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan mediasi tokoh adat. Sistem
hak kepemilikan tanah sebagian besar wilayah di MBD masih belum bersertifikat hak milik
atau merupakan tanah adat. Namun pada beberapa daerah sudah mulai dilakukan sertifikasi
sehingga kedepannya masyarakat mempunyai perlindungan hukum yang pasti dalam hak
kepemilikan tanah.
Sistem sasi masih ditemui di hampir semua desa yang dikunjungi, walaupun saat ini
sebagian besar sudah berbasis gereja dan proses pembukaan sasi sudah mengikuti permintaan
pasar. Rata-rata pembukaan sasi di desa-desa tersebut adalah tiap 1-3 tahun sekali.
Komoditas yang diberlakukan sasi diantaranya lola (Trochus niloticus), teripang
(Holothuridae), dan batulaga (Turbo marmoratus). Ada beberapa desa juga yang
memberlakukan sasi terhadap mata tujuh/abalon, biya garu/kima (Tridacna spp.) dan lobster.
Terlihat bahwa semua komoditas ini memiliki nilai ekonomi tinggi bila dijual cangkangnya
atau dikeringkan (kecuali lobster yang dibeli hidup). Sasi tidak diberlakukan terhadap
komoditas ikan atau biota laut lainnya, yang dimanfaatkan sebagai sumber protein harian
masyarakat. Di bagian barat MBD (Pulau Wetar hingga Pulau Sermata) pembeli
komoditas sasi tersebut mayoritas berasal dari Sulawesi Selatan, sementara di bagian timur
(sekitar Babar) pembelinya adalah para pedagang keturunan Tiongkok dari Tepa, Saumlaki,
dan Tual.
Sebagian besar masyarakat di desa-desa yang dikunjungi memiliki sumber
penghidupan utama dari berkebun. Mereka memanfaatkan hasil laut lebih hanya untuk
memenuhi kebutuhan protein sehari-hari. Bahkan, di beberapa pulau yang tanahnya tandus
dan tak memungkinkan untuk bercocok tanam, masyarakatnya masih lebih mengutamakan
berbudidaya rumput laut atau membuat sopi untuk dijual. Walaupun sumber daya ikan
pelagis dan demersal di MBD sangat melimpah, masyarakatnya tetap kesulitan menyimpan
ikan segar karena belum adanya infrastruktur penyimpanan dingin (cool storage), yang mana
juga membatasi kemampuan mereka dalam menjual ikan segar. Hasil tangkapan ikan yang
dijual antar pulau pun masih terbatas ikan yang diasinkan. Walaupun begitu, perikanan tetap
11
menjadi sumber protein utama bagi masyarakat MBD dan menjadi bagian penting dari
kehidupan harian dan budaya mereka.
Potensi sumber daya laut yang besar belum dimanfaatkan secara optimal oleh
masyarakat. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut cenderung hanya untuk
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Kelompok organisasi pengelola dan pemanfaat
sumber daya laut juga belum berkembang dengan baik, sehingga belum mampu menjadi
penggerak dalam optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut yang dimiliki.
Kelompok yang ada masih sebatas kelompok usaha bersama yang muncul ketika ada
berbagai jenis bantuan.
Tantangan-tantangan utama yang dihadapi masyarakat MBD hingga saat ini adalah
terkait penyimpanan ikan hasil tangkapan; keterbatasan teknologi alat tangkap; keterbatasan
untuk mendapatkan bahan bakar; dan keterbatasan pemasaran komoditas hasil perikanan,
budidaya, dan perkebunan. Selain itu, akses listrik, komunikasi, dan air bersih masih sangat
terbatas di beberapa desa.
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo.
Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat Daya
(MBD). Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang
bersaudara. Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa
masyarakat adat di kepulauan Babar dan MBD. Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam
bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, adat istiadat, dan pewacanaan.
Kalwedo merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan juga
nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan
kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara. Budaya Kalwedo mempersatukan
masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan
adat, dimana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.
Nilai Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri,
yaitu: inanara ama yali (saudara perempuan dan laki-laki). Inanara ama yali menggambarkan
keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas
hati, jiwa, pikiran dan perilaku.
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi
hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik).
Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam
hal potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD.
12
E. Kabupaten Maluku Tengah
Budaya yang sangat kental di kehidupan masyarakat Maluku Tengah adalah Masohi
dan Pemahanunusa.
Masohi yang merupakan bentuk kerja sama secara spontan, sehingga suatu beban
hidup menjadi resiko bersama. Hal ini diimplementasikan di dalam kehidupan
bermasyarakat, seperti dicontohkan dalam kasus membangun rumah baru, membangun
gedung gereja dan mesjid, membangun Baileu (rumah adat), kegiatan patah cengkih
(memanen cengkih), dan lain sebagainya.
Agar tetap hidup dan dikenang sepanjang masa, maka kata “masohi” tersebut dipakai
oleh mantan Presiden Indonesia Ir. Soekarno untuk menamakan ibu kota Kabupaten Maluku
Tengah dengan sebutan nama “Masohi” pada tanggal 3 November 1957.
Ketentuan-ketentuan dalam bentuk Masohi ditetapkan dalam suatu musyawarah
seperti pembagian tugas, namun pada umumnya keluarga yang punya pekerjaan telah
menyediakan tenaga untuk bekerja. Keluarga yang punya pekerjaan juga berkewajiban untuk
menyediakan makanan bagi para pekerja selama kegiatan Masohi berlangsung. Seandainya
salah seorang peserta pulang sebelum makan siang, biasanya makanan dari anggota pekerja
tersebut diantarkan kerumahnya. Ada juga sebutan yang biasa dikenal di wilayah Maluku
Tengah dengan istilah “minta tulung” (mohon bantuan) di dalam hal memanen hasil cengkih,
pala dan kenari.
Pemahanunusa diartikan kepercayaan budaya di Maluku Tengah masilah baik dan
selalu dilestarikan, kepercayaan pada hal budaya masih sangat dijaga seperti dengan adanya
acara adat yang dilakukan hampir di semua daerah Maluku terkhususnya Maluku Tengah
masih terlalu kental dengan adat istiadat.
Dengan adanya acara demikian dapat selalu memupuk rasa persatuan dan solidaritas
antar umat beragama khususnya antar negeri beradik kakak yang diikat lewat ikatan yang
namanya PELA GANDONG.
13
(0,15%). Masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara sangat Toleransi, Saling Membantu
dengan semangat Ain ni Ain dan juga Heterogen.
Kabupaten Maluku Tenggara mempunyai akar budaya dan adat istiadat yaitu filosofi
adat hukum Larvul Ngabal. Nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum Larvul Ngabal
mampu memelihara ketertiban & hubungan keakraban antar penduduk, menanamkan rasa
gotong royong (Budaya Maren), serta memupuk kesadaran masyarakat untuk menjaga
keharmonisan alam melalui sistem “Hawear” yang mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya alam secara bijak & berkelanjutan. Singkatnya, faktor budaya dan istiadat dapat
diandalkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang mendukung adanya suatu keadaan
yang kondusif dan harmonis.
14
H. Kabupaten Seram Bagian Barat
Secara administratif di sebelah Utara berbatasan dengan Seram, di sebelah Selatan
berdampingan dengan Kabupaten Maluku Barat Daya, di sebelah Timur bersebelahan dengan
Kabupaten Maluku Tengah, dan di sebelah Barat bertetangga dengan Kabupaten Buru.
Pusat kegiatan sebagian besar berlangsung di Piru, ibu kota kecamatan Seram Barat,
bukan di Dataran Hunipopu, ibu kota versi UU Nomor 40 itu. Karena fasilitas umum lebih
lengkap, pada awalnya Kairatu yang diusulkan sebagai ibu kota sementara, tetapi kemudian
muncul perdebatan hingga akhirnya Piru yang terpilih. Sementara Hunipopu masih berupa
wilayah kosong.
Salah satu budaya yang sangat kental di kabupaten SBB yaitu Festival Kataloka.
Festival Kataloka merupakan hajatan masyarakat di Petuanan Negeri Kataloka, Kabupaten
Seram Bagian Timur, Maluku, yang dipimpin oleh Raja Kataloka.
Selain itu ada juga sistem sasi yang diberlakukan di kabupaten SBB. Sistem sasi atau
yang biasa di sebut dengan Ngam merupakan skema perlindungan sumber daya alam yang
berbasis kearifan lokal.
Tarian tradisional kabupaten SBB antara lain Tari Bongkorey, Tari Perang, Tari
Sawat, Tari Silat Jala, dan lain-lain.
15
Sistem sasi juga masih berlaku hingga saat ini di kabupaten SBT, baik itu sasi adat
maupun sasi gereja.
J. Kota Ambon
Ambon adalah salah satu kota penting di wilayah Indonesia Timur yang memiliki
peranan besar di dalam pembangunan wilayah serta masyarakat Indonesia Timur. Seperti
halnya Manado, Jayapura, bahkan Dili, timor Leste dan Darwin, Australia, Ambon sangat
diperhitungkan dalam hal pengelolaan sumberdaya kehidupan untuk membangun wilayah
dan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi. Ambon adalah salah satu tonggak
pembangunan di kawasan timur Indonesia.
Kondisi masyarakat kota Ambon cukup heterogen. Keberadaan kota Ambon sebagai
ibukota Maluku membuat banyak sekali pendatang yang memutuskan untuk mengadu
nasib dan membina kehidupan di kota ini. Layaknya ibukota provinsi lain di Indonesia,
Ambon dihuni oleh berbagai jenis penduduk yang sangat beragam baik dari suku, agama,
ras, serta golongan. Masyarakat yang menjadi penduduk dengan jumlah terbesar adalah
dari Bangsa Alifuru, yaitu suku asli Maluku. Kemudian, keberadaan Alifuru diikuti oleh
beberapa suku pendatang seperti Jawa, Buton, Bugis, dan lainnya. Selain itu juga ada
beberapa etnis dengan jumlah kecil seperti Arab dan Tionghoa, umumnya mereka adalah
keturunan para pedagang mancanegara di masa lalu.
Walaupun beragam, masyarakat Ambon terus berusaha untuk hidup rukun. Mereka
memiliki satu konsep yang diambil dari istilah adat yaitu Pela Gandong. Konsep ini
mengajarkan adanya sikap toleransi dan saling menghormati di dalam menyikapi
perbedaan yang ada. Pela Gandong ini pulalah yang telah menyadarkan sebagian besar
warga Ambon pasca kerusuhan Ambon di tahun 1999-2002 lalu. Masyarakat Ambon
akhirnya menyadari, bila mereka terus mengkotak-kotakkan keberagaman yang mereka
miliki, mereka tidak akan pernah maju dan Ambon tidak akan pernah berkembang lebih
baik. Keberagaman ini menjadi sesuatu yang menarik untuk disaksikan, misalnya ketika
sore hari di sekitar Lapangan Merdeka yang juga berfungsi sebagai alun-alun kota Ambon.
Biasanya, warga Ambon berolahraga, bersantai, atau melakukan berbagai aktifitas sosial
di tempat ini.
Ambon adalah kota heterogen yang memiliki potensi besar di berbagai sektor
kehidupan. Masyarakat majemuk yang tinggal di kota ini memberika nuansa tersendiri
bagi perkembangan Ambon serta Maluku di masa depan. Ambon tidak hanya mempunyai
keindahan alam yang luar biasa, namun juga sejarah dan kehidupan yang sangat menarik.
Terlepas dari konflik Horisontal yang pernah terjadi di masa lalu, kini Ambon telah
menemukan auranya kembali sebagai kota dengan peran besar di wilayah timur Indonesia.
16
K. Kota Tual
Kota tual adalah sebuah kota di Provinsi Maluku. Kota ini pernah menjadi bagian dari
kabupaten Maluku Tenggara. Kota Tual merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri
dari 66 pulau, 13 diantaranya berpenghuni sedangkan 53 pulau lainnya masih kosong.
Memiliki keindahan pulau dan pesisir pantai nan putih membuat Tual sebagai salah satu kota
di Maluku yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi pendatang asing maupun lokal.
Kota Tual mempunyai akar budaya dan adat istiadat yang sama dengan kabupaten
induknya Maluku Tenggara yaitu filosofi adat hukum Larvul Ngabal. Nilai-nilai yang
terkandung didalam hukum larvul Ngabal mampu memelihara ketertiban dan hubungan
keakraban antar penduduk, menanamkan rasa gotong royong (Budaya Maren), serta
memupuk kesadaran masyarakat untuk menjaga keharmonisan alam melalui sistem Hawer
yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan.
Singkatnya , faktor budaya adat dan istiadat dapat diandalkan untuk menjaga keseimbangan
lingkungan yang mendukung adanya suatu keadaan yang kondusif dan harmonis.
Konsep pelayanan kesehatan dengan pendekatan gugus pulau, sangat tepat di gunakan
bagi daerah dengan kondisi geografis kepulauan. Untuk Kota Tual dari 56 gugus di Maluku,
baru ada 2 puskesmas sebagai pusat gugus yaitu Gugus Kei Kecil dan Gugus Kei Besar.
Kemudian akan dikembangkan menjadi 3 pusat gugus 1 di kei kecil timur. Namum diakui
dalam pelayanan kesehatan rujukan berbasis gugus pulau ini, belum jalan dengan baik baik di
Maluku Tenggara maupun di Kota Tual. Serta masih banyak menghadapi kendala baik
dalam SDM maupun sarana dan prasarana kurang memadai, pelayanan sistem gugus pulau
merupakan salah satu pola pendekatan pelayanan yang saat ini sudah dikembangkan,
sehingga dengan pola ini pelayanan kesehatan di Maluku Tenggara dan Kota Tual dapat
lebih baik, efektif dan efisien dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Peserta terdiri
dari semua Kepala Puskesmas Kabupaten Maluku Tenggara.
Pendekatan kesehatan gugus pulau tidak hanya berpatokan pada ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan atau dokter, maupun kecanggihan alat kesehatan, namun pendekatan
sosial kemasyarakatan harus diupayakan. Masyarakat harus mampu mandiri dalam
menciptakan kemandirian kesehatan karena pada saat-saat tertentu mereka sulit mengakses
pelayanan kesehatan.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang kami bahas diatas, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten/Kota
di Provinsi Maluku memiliki beragam kebudayaan yang masih dipertahankan hingga saat ini.
Beberapa kebudayaan di setiap daerah memiliki persamaan, seperti budaya sasi yang berlaku
di hampir semua kabupaten, budaya pela gandong dan lain sebagainya.
B. Saran
Saran kami, kehidupan sosial dan budaya yang berlaku di setiap kabupaten harus tetap
dipertahankan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat setempat. Untuk lebih
mempererat tali persaudaraan antar penduduk dan menjaga kedamaian kabupaten/kota
setempat.
18
DAFTAR PUSTAKA
Huliselan. M, dkk., Profil Propinsi Republik Indonesia, Maluku. Jakarta: PT intermasa, 1992.
Malelaton. J, dkk., Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku. Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Dep. P & K 1977/1978.
https://www.wikipedia.org/
www.google.com
19