Anda di halaman 1dari 13

kebudayaan maluku

Posted by : rifda pawae Selasa, 21 Oktober 2014


KEBUDAYAAN MALUKU
Seni Kebudayaan Daerah Maluku

Dalam dunia internasional provinsi Maluku lebih di kenal sebagai Moluccas.


Ibukota Maluku adalah Ambon. Padatahun 1999 provinsi Maluku di mekarkan
menjadi 2 provinsi menjadi Maluku dan Maluku utara yang beribukota di sofifi. Suku
Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih berkerabat
dengan Fiji, Tonga dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan
Samudra Pasifik. Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki ikatan
tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa, lagu-lagu daerah,
makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik khas, contoh:
Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii).

Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar
dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di
Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut
seperti berlayar dan berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria.
Sejak zaman dahulu, banyak di antara mereka yang sudah memiliki darah campuran
dengan suku lain, perkawinan dengan suku Minahasa, Sumatra, Jawa, Madura,
bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnya Belanda dan Portugal)
kemudian bangsa Arab, India sudah sangat lazim mengingat daerah ini telah dikuasai
bangsa asing selama 2300 tahun dan melahirkan keturunan keturunan baru, yang
mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi.
Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah maka
Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah
Mestizo. Bahkan hingga sekarang banyak marga di Maluku yang berasal bangsa
asing seperti Belanda (Van Afflen, Van Room, De Wanna, De Kock, Kniesmeijer,
Gaspersz, Ramschie, Payer, Ziljstra, Van der Weden dan lain-lain) serta Portugal (Da
Costa, De Fretes, Que, Carliano, De Souza, De Carvalho, Pareira, Courbois,
Frandescolli dan lain-lain). Ditemukan pula marga bangsa Spanyol (Oliviera, Diaz,
De Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon, Mendoza, De Lopez dan lain-lain) serta
Arab (Al-Kaff, Al Chatib, Bachmid, Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus,
Assegaff dan lain-lain). Cara penulisan marga asli Maluku pun masih mengikuti ejaan
asing seperti Rieuwpassa (baca: Riupasa), Nikijuluw (baca: Nikiyulu), Louhenapessy
(baca: Louhenapesi), Kallaij (baca: Kalai) dan Akyuwen (baca: Akiwen).
Dewasa ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja
melainkan tersebar di berbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah
keluar negeri disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik
adalah perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada tahun 1950-an
dan menetap disana hingga sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan
kehidupan yang labih baik, menuntut ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain,
yang dikemudian hari menetap lalu memiliki generasi-generasi Maluku baru di
belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat ditemukan dalam komunitas yang
cukup besar serta terkonsentrasi di beberapa negara seperti Belanda, Inggris, Amerika
Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai benua lainnya.
Bahasa yang digunakan di provinsi Maluku adalah Bahasa Melayu Ambon, yang
merupakan salah satu dialek bahasa Melayu. Sebelum bangsa Portugis menginjakan
kakinya di Ternate (1512), bahasa Melayu telah ada di Maluku dan dipergunakan
sebagai bahasa perdagangan. Bahasa Indonesia, seperti di wilayah Republik
Indonesia lainnya, digunakan dalam kegiatan-kegiatan publik yang resmi seperti di
sekolah-sekolah dan di kantor-kantor pemerintah.
Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia.
Banyaknya pulau yang saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga mengakibatkan
semakin beragamnya bahasa yang dipergunakan di provinsi ini. Jika diakumulasikan,
secara keseluruhan, terdapat setidaknya 132 bahasa di kepulauan Maluku. Dua bahasa
yang telah punah adalah Palamata dan Moksela.
Sebelum bangsa-bangsa asing (Arab, Cina, Portugis, Belanda dan Inggris)
menginjakan kakinya di Maluku (termasuk Maluku Utara), bahasa-bahasa tersebut
sudah hidup setidaknya ribuan tahun.
Bahasa Indonesia, seperti di wilayah Republik Indonesia lainnya, digunakan dalam
kegiatan-kegiatan publik yang resmi seperti di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor
pemerintah, mengingat sejak 1980-an berdatangan 5000 KK (lebih) transmigran dari
Pulau Jawa. Dengan banyaknya penduduk dari pulau lain tersebut, maka khazanah
bahasa di Pulau Seram (dan Maluku) juga bertambah, yaitu kini ada banyak pemakai
bahasa-bahasa Jawa, Bali dan sebagainya.

Macam-Macam Kebudayaan di Daerah Maluku


- Budaya Kalwedo
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo. Kalwedo adalah
bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat
Daya (MBD). Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan
bersama orang bersaudara. Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya
maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan Babar dan MBD Pewarisan budaya
Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, adat istiadat,
dan pewacanaan.

Nilai Adat Kalwedo


Kalwedo merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan
juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian,
dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara. Budaya Kalwedo
mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya
dalam sebuah kekerabatan adat, dimana mempersatukan masyarakat menjadi rumah
doa dan istana adat milik bersama Nilai Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan
adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu: inanara ama yali (saudara
perempuan dan laki-laki Inanara ama yali menggambarkan keutamaan hidup
dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi
totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui
tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik).Tradisi
hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam
hal potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan
MBD.
- Budaya Hawear
Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan
masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun. Cerita rakyat, lagu rakyat, dan
berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya
termasuk Hawear. Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan
daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya. Kemudian janur kuning itu
disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya. Gadis tersebut melakukan
perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar). Maksud dari
janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang,
dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan. Janur kuning
tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-
orang tak dikenal dalam perjalanannya Hal ini adalah proses Hawear yang masih
dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.

Sasi (Hawear) di Kepulauan Kei

- Batu Pamali
Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. Selain Baileo,
rumah tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri
yang ditempati masyarakat adat Maluku. Batu Pamali merupakan batu alas atau batu
dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo,
sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam
kehidupan masyarakat. Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri
adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. Di beberapa
negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang
masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan perkembangan agama
di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. Dengan
adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman
sistem pemerintahan desa.

Contoh: Batu Pamali Negeri Saparua


- Upacara Fangnea Kidabela
Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial
masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela. Duan Lolat mengatur tentang
hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa
atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela. Upacara
Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam
wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.
- Makna Upacara Fangnea Kidabela
Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup
masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi. Upacara
Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan
pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban
(kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung
Sulung di pulau Enus yang terletak di Selaru bagian selatan pulau Yamdena. Makna
upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela di Ambon, Lease,
dan Maluku Tengah. Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang
kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap
hubungan masyarakat.
- Hibua Lamo
Hibua Lamo adalah rumah besar yang dijadikan simbol masyarakat adat
di Halmahera Utara, sekaligus simbol Pemerintah Kabupaten Halmahera
Utara, Maluku Utara. Di Halmahera Utara terdapat tiga etnis masyarakat yang
memiliki rumah adat masing-masing, misalnya rumah adat
etnis Tobelo disebut Halu. Namun Hibua Lamo yang menjadi pemersatu semua
etnis. Hibua Lamo adalah konstruksi dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat yang
mengidentifikasi dirinya sebagai komunitas Hibua Lamo. Hibua Lamo merupakan
konsep bersama yang disebutNanga Tau Mahirete (rumah kita bersama). [9] Orang
Tobelo, Galela dan Loloda tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu dalam
tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda. Perbedaan tersebut dipahami dan
dihayati dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan dalam
sebuah ungkapan filosofis Ngone O'Ria Dodoto yang bermakna satu ibu satu
kandung. [8] Konsekuensi dari falsafah Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria
Dodoto adalah lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara daratan maupun
kepulauan dalam satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua Lamo
dan kemudian disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.
Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses
penyatuan dalam satu sosiokultural baru yang dinamis. Sosiokultural ini
berlandaskan pada nilai-nilai O'dora(saling kasih), O'hanyangi (saling
sayang), O'baliara (saling peduli), O'adili (perikeadilan) dan O'diai (kebenaran)
dalam bingkai Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto.
- Budaya Arumbae

Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di


pesisir maupun di pegunungan. Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam
masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari
terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam
mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah
melewati perjuangan yang sulit di lautan. Perjuangan melintasi lautan merupakan
sejarah keluhuran. Kedatangan para leluhur dari pulauSeram,
pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita
keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru,Ambon, Lease, dan Maluku
Tenggara. Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya
persekutuan Pela Gandong antar negeri. Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae
menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung
menghadapi tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku
adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan
untuk menyongsong masa depan yang gemilang.
Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa
laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. Itulah sebabnya, masyarakat
Maluku melihat laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu
pulau dengan pulau lainnya. Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong
bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup orang bersaudara sebagai pandangan
dunia orang Maluku. Kebiasaanpapalele, babalu, maano, dan konsekuensi berlayar
ke pulau lain, membuat laut dan arumbae sebagai simbol perjuangan ekonomi.
Arumabe tampak dalam beragam karya seni. Misalnya dalam syair kata
tujuh ya nona, ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang
parao [1] Banyak gapura negeri adat Maluku berbentuk Arumbae. Lagu daerah
banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol perahu atau Arumbae. Di
bidang olahraga, Arumbae Manggurebe menjadi
programpariwisata dan olah raga tahunan yang diselenggarakan di Teluk Ambon.

Lomba Arumbae Manggurebe


- Sasahil dan Nekora
Sasahil dan Nekora merupakan tradisi masyarakat adat di Negeri Siri Sori Islam dan
Negeri Siri Sori Kristen di pulau Saparua. Bagi masyarakat desa Telalora, Nekora
memiliki basis nilai tolong-menolong antarwarga. Nilai tradisi Sasahil dan Nekora
terletak pada cara dan proses pelaksanaan. Nilai tolong-menolong yang terdapat
dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan
menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan
berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan. Dalam menghadapi dinamika
kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan
dipelihara dengan baik. Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan
hidup bermasyarakat di masa mendatang.

Rumah Adat Maluku

Rumah adat Maluku dinamakan Baileo. Baileo dipakai untuk tempat


pertemuan, musyawarah dan upacara adat yang disebut Saniri Negeri. Rumah
tersebut merupakan panggung dan dikelilingi oleh serambi. Atapnya besar dan tinggi
terbuat dari daun rumbia, sedangkan dindingnya dari tangkai rumbai yang disebut.
dengan bentuk bangunan yang besar, material bangunan sebagian besar berbahan
dasar kayu, kokoh dengan cukup banyak ornamen, ukiran yang menghiasi seluruh
bagian dari rumah tersebut. Baileo merupakan bangunan yang berfungsi sebagai
tempat pertemuan warga (balai bersama), selain sebagai tempat pertemuan / kegiatan
Baileo juga berfungsi untuk menyimpan benda-benda suci, senjata atau pusaka
peninggalan dari nenek moyang warga kampung tersebut.
Rumah Adat Maluku (Baileo)

Pakaian Adat

Prianya memakai pakaian adat berupa setelann jas berwarna merah dan
hitam, baju dalam yang berenda dan ikat pinggang. Sedangkan wanitanya memakai
baju Cele, semacam kebaya pendek, dan berkain yang disuji. Perhiasannya berupa
anting anting, kalung dan cincin. Pakaian ini berdasarkan adat Ambon.
Baju Cele bermotif garis-garis geometris atau berkotak-kotak kecil. Biasanya,
baju Cele dikombinasikan dengan kain sarung yang warnanya tidak terlalu jauh
berbeda, yang penting harus seimbang dan serasi.
Kapan masyarakat Ambon menggunakan baju adat itu? Baju cele dipakai
dalam upacara-upacara adat (acara pelantikan raja, acara cuci negeri, acara pesta
negeri, acara panas pela, dan lain-lain.).
Supaya lebih terlihat serasi, baju Cele pun dikombinasi dengan kain pelekat
yang dinamakan disalele. Pemakaian sarung ini ada di luar dan melapisi baju yang
ada di dalamnya.
Sarung dipakai sampai batas lutut dan menggunakan lenso, yaitu sapu tangan
yang diletakan di pundak. Biasanya pakaian ini digunakan tanpa alas kaki tapi ada
juga masyarakat yang menggunakan selop sebagai gantinya.

Tarian Daerah Maluku

Macam macam tarian yag terdapat di daerah Maluku:

a. Tari Lenso, merupakan tari pergaulan bagi segenap lapisan masyarakat Maluku.
b. Tari Cakalele, adalah tari perang yang melukiskan jiwa kepahlawanan yang gagah
perkasa.
c. Tari Cakaola, merupakan jenis tari pergaulan yang digarap berdasarkan unsur unsur
gerak
tari tradisional Orlapei dan Saureka reka. Tari ini biasannya ditarikan untuk
memeriahkan pesta pesta atau dipertunjukkan dalam rangka manjamu tamu tamu
terhormat.
Cakalele merupakan tarian tradisional Maluku yang dimainkan oleh sekitar
30 laki-laki dan perempuan. Para penari cakalele pria biasanya menggunakan parang
dan salawaku sedangkan penari wanita menggunakan lenso (sapu tangan). Cakelele
merupakan tarian tradisional khas Maluku.
Para penari laki-laki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna
merah dan kuning tua. Di kedua tangan penari menggenggam senjata pedang (parang)
di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari
alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sementara, penari perempuan
mengenakan pakaian warna putih sembari menggenggam sapu tangan (lenso) di
kedua tangannya. Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi
musik beduk (tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup.

Tari Cakalele

Senjata Tradisional Maluku

Parang dan salawaku merupakan senjata tradisional khas daerah Maluku.


Kedua senjata ini biasanya dipakai oleh para penari pria saat mempertunjukkan tarian
Cakalele. Parangberarti pisau besar, biasanya memiliki ukuran yang jauh lebih besar
dari pisau, namun lebih pendek jika dibandingkan dengan pedang. Panjang parang
90-100cm, sedangkan Salawaku (perisainya) dihiasi dengan motif motif yang
melambangkan keberanian.
Parang tersebut terbuat dari bahan besi yang keras dan ditempa oleh seorang
pandai besi khusus. Tangkai parang terbuat dari kayu keras, seperti kayu besi atau
kayu gupasa. Sawalaku sendiri memiliki arti perisai. Perisai adalah alat yang
dipergunakan untuk melindungi diri dan untuk menangkis serangan senjata lawan.
Pada salawaku terdapat ukiran-ukiran bermakna khusus yang terbuat dari kulit kerang
laut. Sedangkan Salawaku (perisainya) terbuat dari kayu yang keras pula. Selain
untuk keperluan perang, parang salawaku dipakai pula dalam menari tari Cakalele.
Parang Salawaku

Alat music
Alat Musik Daerah Maluku adalah Tifa. Tifa merupakan alat music yang
paling terkenal dari Maluku. Alat music ini bentuknya menyerupai kendang dan
terbuat dari kayu yang di lubangi tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik
Tifa seperti Tifa Jekir, Tifa dasar, Tifak Potong, Tifa Jekir potong, dan tifa Bas. Alat
music lainnya yang berasal dari Maluku adalah cc. Alat musik ini merupakan
serangkaian gong-gong yang kecil bentuknya dan biasanya di taruh pada sebuah meja
dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Sedangkan alat music kulit bia
merupakan alat music tiup yang terbuat dari kulit kerang.
TIFA

Kulit bia

Bahasa Maluku

Karena provinsi Maluku memiliki banyak sekali pulau, disini juga terdapat
berbagai macam bahasa. Tapi biasanya di pakai di Maluku adalah jenis bahasa
melayu Ambon, yang masih satu dialek bahasa melayu. Berikut nama-nama bahasa
yang berasal dari Maluku:
- bahasa Wamale (di Seram Barat)
- bahasa Alune (di Seram Barat)
- bahasa Nuaulu (dipergunakan oleh suku Nuaulu di Seram selatan; antara teluk El-
Paputih dan teluk Telutih)
- bahasa Koa (di pegunungan Manusela dan Kabauhari)
- bahasa Seti (di pergunakan oleh suku Seti, di Seram Utara dan Telutih Timur)
- bahasa Gorom (bangsa yang turun dari Seti dan berdiam di Seram Timur)
Suku di Daerah Maluku
Suku dan marga yang terdapat didaerah Maluku adalah :
- Ranas
- Alifuru
- Togitil
- Furu Aru, dan lain lain

Lagu Daerah
Lagu daerah yang terdapat pada Maluku ialah :
- Kole kole
- Mande mande
- Rasa Sayang Sayange.ss

Anda mungkin juga menyukai