Budaya tak akan lepas dari kehidupan manusia. Dimana ada budaya disitulah peradapan
manusia berada karena budaya merupakan hasil karya cipta manusia penuangan atas ide, gagasan
yang dianggap baik dan kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan yang dilakukan terus
menerus sehingga menjadi kebiasaan. Perbedaan kepribdian manusia menjadikan budaya yang
berkembang menjadikan keanekaragaman budaya yang ada. Antara daerah satu an lainnya tidak
sama. Hal itu secara tidak langsung menuntut manusia untuk memahami dan mempelajari
budaya yang ada sehingga dapat saling menghargai antar sesama. Sulawesi merupakan pulau
terbesar ke-4 di Indonesia tidak mengherankan jika banyak terdapat suku bangsa dan
berkembangnya budaya-budaya. Sebagai bangsa yang baik perlu mempelajari sisi-sisi menarik
yang berkembang dalam pulau yang besar itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan Sulawesi
1. Kebudayaan Sulawesi Utara
Kebudayaan di Sulawesi Utara. Selain kaya akan sumber daya alam sulawesi utara juga
kaya akan seni dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Berbagai seni dan budaya dari
berbagai suku yang ada di provinsi sulawesi utara justru menjadikan daerah nyiur melambai
semain indah dan mempesona. Berbagai pentas seni dan budaya maupun tradisi dari nenek
moyang memberikan warna tersendiri bagi provinsi yang terkenal akan kecantikan dan
ketampanan nyong dan nona Manado.
Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas 3 suku besar yakni suku
minahasa, suku sangihe dan talaud dan suku bolaang mongondow. Ketiga suku/etnis besar
tersebut memiliki sub etnis yang memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda-beda. Tak heran
Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa bahasa daerah seperti Toulour, Tombulu, Tonsea,
Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik (dari Suku Minahasa), Sangie Besar, Siau,
Talaud (dari Sangihe dan Talaud) dan Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang (dari Bolaang
Mongondow)
Propinsi yang terkenal akan semboyan torang samua basudara (kita semua bersaudara)
hidup secara rukun dan berdampingan beberapa golongan agama seperti Kristen, Katolik, Islam,
Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Namun dari keaneka ragaman tersebut bahasa Indonesia masih
menjadi bahasa pemersatu dari berbagai suku dan golongan.
2. Budaya Gorontalo
Gorontalo merupakan salah satu propinsi yang berdiri belakangan. Gorontalo adalah
provinsi yang ke-32 di Indonesia. Sebelum jadi propinsi Gorontalo merupakan sebuah daerah
Kabupaten Gorontalo dan Kota Madya Gorontalo yang ada di Sulawesi Utara. Seni dan budaya
Gorontalo sebagai bagian kekayaan dari keanekaragaman budaya indonesia
Ada banyak bahasa daerah di Gorontalo. Namun hanya terdapat tiga bahasa, yaitu bahasa
Gorontalo, bahasa Suwawa serta bahasa Atinggola. Sekarang ini bahasa Gorontalo telah
dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, sehingga kemurnian atau keaslian bahasanya sangat sulit
diperoleh di Gorontalo.
a. Seni & Budaya Daerah
Gorontalo sebagai salah satu suku yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam
kesenian daerah, baik tari, lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat, upacara keagamaan, rumah
adat, dan pakaian adat. Tarian yang cukup terkenal di daerah ini antara lain, Tari Bunga, Tari
Polopalo, Tari Danadana, Zamrah, dan Tari Langga.
Sedangkan lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah
Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah Tiba),
Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan Binde Biluhuta
(Sup Jagung).
Penyanyi-penyanyi asal daerah Gorontalo yang terkenal, antara lain, Rama Aipama, Silvia
Lamusu, Lucky Datau, Hasbullah Ishak, Shanty T., dan Gustam Jusuf. Rama Aipama lahir di
Gorontalo pada tanggal 17 September 1956, yang kemudian mencapai sukses besar dalam dunia
tarik suara di Jakarta. Alat musik tradisional yang dikenal di daerah Gorontalo adalah Polopalo,
Bambu, dan Gambus (berasal dari Arab).
Pernikahan Adat Gorontalo
Pernikahan merupakan salah satu keunikan tersendiri dan tentu saja memiliki ciri khas
tersendiri di Gorontalo. Hampir semua penduduk Provinsi Gorontalo seluruhnya memeluk
agama Islam, sehingga turut mempengaruhi budaya yang ada di Provinsi ini, dan sudah tentu
adat istiadatnya yang ada di Goronltalo juga sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah ajaran
agama Islam.
Di Gorontalo ini ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat setempat yaitu,
"Adati hula hula Sareati – Sareati hula hula to Kitabullah". Artinya Adat Bersendikan Syara,
Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh agama Islam sudah menjadi hukum tidak tertulis di
Gorontalo sehingga hampir segala kehidupan masyarakat yang ada di Gorontalo mengandung
nilai nilai Islam.
Termasuk di antaranya adalah dalam hal pernikahan. Adat pernikahan yang ada di
Gorontalo yang sangat bernuansa Islami. Upacara Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut
Upacara adat yang sesuai tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan yang pertama biasa disebut
dengan Mopoloduwo Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua
sang wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila masing-masing orang tua
menyetujui, maka baru ditentukan waktu untuk melangsungkan peminangan atau Tolobalango.
Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral, garis
ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat
dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu.
Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya
‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Kemudian dia
menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah
dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang
kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat
keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini
karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat,
bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo
dan akhirnya menjadi Gorontalo.
Budaya Gorontalo diyakini sudah berkembang sejak berabad-abad lamanya. Namun
puncak dari perkembangan itu dimulai sejak tahun 1385 masehi, dimana pada masa itu 17
kerajaan kecil atau linula bersepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Namun dari empat raja
tersebut kata pemerhati Budaya Gorontalo, Alim Niode yang terpilih dan diangkat menjadi
maharaja adalah Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan kerajaan
Hulondhalo. Alim mengatakan, sejak saat itu, masyarakat Gorontalo terus mencipta beragam
kebudayaan yang sampai dengan saat ini tetap terpelihara. Pada masa itu refleksi demokrasi di
Gorontalo didasarkan pada refleksi alam sehingga itu jarah kebudayaan Gorontalo disebut
sebagai adati asali.
Nilai budaya Gorontalo yang mengaliri wujud kebudayaan Gorontalo sejak awal
berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukan oleh alam.
Sementara itu kebudayaan Islam masuk ke Gorontalo pada tahun 1525 masehi melalui ternate
dan kerajaan hulondhalo yang terdiri dari 17 kerajaan kecil pada saat itu masih menganut
kepercayaan animisme. Hulondhalo yang dipimpin Sultan AMAY, membawa agama Islam
masuk ke Gorontalo dan menjadikannya sebagai agama kerajaan di Gorontalo pada waktu itu.
Pengaruh agama islam itu karena Sultan Amay memiliki kedekatan dengan kerajaan Palasa di
Sulawesi Tengah sehingga ia membawa ajaran islam ke Gorontalo sekaligus menikahi putri
negeri palasa sebagai permaisurinya. Jelaslah kata Alim, filasafat budaya Gorontalo yang
dilandaskan pada Adat bersendi syara berbeda dengan yang di Padang terutama dalam proses
terjadinya asimilisasi kebudayaan Islam dengan masyarakat Gorontalo pada masa lampau.
Gagasan tata per-adatan Gorontalo dan kebudayaan yang sebelumnya dilandaskan pada
harmonisasi alam kemudian dipadukan dengan ajaran agama oleh raja Eyato kemudian lebih
dipertegas dengan adat bersendi syara dan syara bersindikan Al-Quran sebagai pedoman
masyarakat Gorontalo yang sudah bercirikan keislaman. filsafat adat Gorontalo mulai dari adati
asali, adat bersendi syara, dan kemudian disempurnakan menjadi syara bersendikan kitabullah
ungkap Alim, ternyata merupakan perpaduan yang sangat harmonis dalam menuntun masyarakat
Gorontalo dalam menciptakan berbagai kebudayaan yang sampai hari ini masih tetap eksis dan
mewarnai kehidupan masyarakat Gorontalo.
b. Bahasa Gorontalo
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek
Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek
Gorontalo.
Bahasa Gorontalo-Mongondow adalah sekelompok bahasa yang dipertuturkan di bagian utara
pulau Sulawesi dan terdiri dari :
Kelompok Gorontalic :
bahasa Bolango,
bahasa Buol,
bahasa Bintauna,
bahasa Gorontalo,
bahasa Kaidipang,
bahasa Lolak,
Kelompok Mongondowic :
bahasa Ponosakan.
Adelaar dan Himmelmann (2005) menempatkan bahasa Gorontalo dalam suatu kelompok
"Greater Central Philippine". Namun, suatu analisis tahun 2008 tentang Austronesian Basic
Vocabulary Database mendukung wawasan bahwa bahasa Gorontalo adalah yang terdekat
dengan kelompok bahasa Filipina di luar wilayah Filipina sendiri.
c. Agama
Orang Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (99 %).Islam masuk
ke daerah ini sekitar abad ke-16. Ada kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar tahun
1400 Masehi (abad XV), jauh sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan adanya
makam seorang wali yang bernama ‘Ju Panggola’ di Kelurahan Dembe I, Kota Barat, tepatnya
di wilayah perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
Masjid Agung Baiturrahim telah mengalami beberapa kali revoasi.Tahun 1999 dalam
masa jabatan Walikotamadya Tingkat II Gorontalo Drs. Hi. Medi Botutihe, masjid direnavasi
total dengan menghabiskan biaya sekitar tiga milar rupiah. Kemudian penggunaan masjid ini
diresmikan oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie di Istana Merdeka, Rabu, 13 Oktober 1999
(3 Rajab 1420 H).
Sedangkan Masjid Agung Baiturrahman terletak di pusat Kota Limboto, ibu kota
Kabupaten Gorontalo. Masjid terletak di samping Menara Keagungan Limboto, dan merupakan
masjid terbesar di Kabupaten Gorontalo.
Rumah Adat
Gorontalo memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo Pomboide dan
Dulohupa. Rumah adat ini terletak di tepat di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal
Sudirman, Limboto. Dulohupa terletak di di Kelurahan Limba U-2, Kecamatan Kota Selatan,
Kota Gorontalo.Akan tetapi, rumah adat Dulohupa yang satu ini kini tinggal kenangan karena
sudah diratakan dengan tanah. Rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat kerabat
kerajaan pada masa lampau.
Pada masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan
kerajaan, untuk memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur pejabat
pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala (Alur Pertahanan / Keamanan), Buwatulo Syara (Alur
Hukum Agama Islam), dan Buwatulo Adati (Alur Hukum Adat).
Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral, garis
ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat
dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu.
Pakaian Adat
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan,
khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara
perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala. Pakaian adat ini
umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.
Tari Umoara
Tari Mowindahako
Tari Molulo
Tari Ore-ore
Tari Linda
Tari Dimba-dimba
Tari Moide-moide
Tari Honari
2. Suku makasar
Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau
Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat
Terbuka.Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam
memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Berbicara tentang Makassar maka adalah identik
pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang
diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini.
a. Bahasa makasar
Bahasa Makasar, juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara' adalah
bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa ini
dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari
rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa
Austronesia.
Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak
juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin.
Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India.Seperti banyak turunan dari
huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai.Huruf-
huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari
setiap konsonan. Contoh kata atau ungkapan dalam bahasa Makassar dalam huruf Latin
Versi
Arti
Latin
Balla' Rumah
Bambang Hangat/Panas
Di zaman sekarang ini sudah sangat susah menemukan orang yang berbahasa makassar
secara original atau asli, Namun kita masih bisa menemukan bahasa alsli makassar di daerah itu
seperti di lembang bu’ne, lembayya, cikoro, datara, tanete, dan seputaran malakaji.
Bahasa asli makassar sebenarnya masih terjaga baik di daerah gowa bagian selatan tepatnya
di kaki gunung lompobattang dimana di desa desa ini keaslian bahasa masih terjamin karena
belum tercampuri oleh perkembangan bahasa moderen maupun teknologi,.
Di banyak tempat di kabupaten gowa ini memang mayoritas orang makassar dan berbahasa
makassar namun juga sudah banyak sekali bahasa makassar yang asli yang di hilangkan bahkan
sudah banyak bahasa makassar yang tercampur dengan bahasa bugis, konjo dan lain lain padahal
bahasa asli orang makassar adalah bahasa makassar (lontara,) bukan konjo ataupun yang lainya.
Berikut adalah daftar kabupaten di sulawesi selatan yang memakai bahasa makassar dalam
keseharian :
1. Gowa, 2. Takalar, 3. Jeneponto, 4. Bantaeng, 5. Bulukumba
3. Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan. Leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana.
Legenda ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja turun dari nirwana
menggunakan “tangga dari langit” yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan
Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Namun seorang anthropolog menuturkan bahwa
masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami
daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi
antara kedua masyarakat tersebut berawal dari berlabuhnya imigran Indo Cina dalam jumlah
yang cukup banyak di sekitar hulu sungai di daerah Enrekang. Para imigran ini lalu membangun
pemukiman di daerah tersebut.
a. Mata pencaharian
Sebagian besar mata pencaharian penduduk Toraja adalah petani di daratan tinggi, selain
itu sector pariwisata yang terus meningkat juga ikut andil dalam pertumbuhan ekonomi
pendudukToraja. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran
etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya
pariwisata di Tana Toraja.
b. Teknologi
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan
dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.Kata "tongkonan" berasal dari bahasa
Toraja tongkon ("duduk").
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik
anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan
anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan
semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan
di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu
membangun tongkonan yang besar.
c. Adat Istiadat Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu
keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga
ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan
seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja
melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk
bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara
timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam
ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi
berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak
diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan
saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing
desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja
tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok;
kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga
diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis
ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya
membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-
masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus
mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring
apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk
masing-masing orang.
Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat
pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi,
tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua
itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar
keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-
tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman
selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika
ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara
pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat
dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena
hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir.
Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan.Di beberapa
daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.Patung kayu
yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau
anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun
sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial.
Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan
pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak
diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada
keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan, yang
dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di
rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil
yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja
tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian.
Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosialyang
dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.
Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang
Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak.
Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli
kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak
diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka,
atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut
yaitu hukuman mati.
d. Agama
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Sistem kepercayaan tradisional suku
Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang
diterjemahkan sebagai "hukum").
Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum,
agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual
keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang
umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja
percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung
dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada
para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.
Sejarah perkembangan agama di tana toraja
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di
Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka
mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit
dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai
khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku
Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang
potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda
juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di
sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari
kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana
Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena
penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah
dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja,
dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10%
orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya,
banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk
mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah
kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang
dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.
Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia
untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu
danBuddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja
berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus
diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan
sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
e. Kesenian dan Sistem pengetahuan Toraja
Ukiran Kayu
Kesenian yang berupa ukiran kayu dari toraja melambangkat tingkat pengetahuan pada
masyarakat tersebut. Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya
adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma
air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Ukiran kayu
Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan,
sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan
simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam
kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas
dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan
bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya
kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu
ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris.Alam sering digunakan sebagai dasar dari
ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja
dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun
suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja
menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati
sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang
menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual
tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa
hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau,
helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi
ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama
upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan
kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan
hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki
dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari
selama musim panen.Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa
tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh
tarian Ma'dandan oleh perempuan.Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari.Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah
upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di
sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling.Suling
berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat
ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari
panjang.Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat
dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
d. Bahasa Toraja
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja
sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa
resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah
dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' ,
dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari
bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana
Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi,
yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman
dalam bahasa Toraja.
Keragaman dalam bahasa Toraja
Populasi (pada
ISO 639-3 Dialek
tahun)
kli 12,000 (1991) Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binua
mqj 100,000 (1991)
Batetanga-Anteapi)
rob 250,000 (1992) Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
sda 500,000 (1990) Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pan
Perkembangan Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja sebagai
dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan
digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di
Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan
Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.
Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek
Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan
sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan
perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja
mempunyai banya Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.k istilah
untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu
katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan
karena duka cita itu sendiri.
Sebagai bagian dari Nusantara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa
yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan. Namun demikian bahasa daerah
yakni bahasa toraja (sa’dan) tentunya menjadi bahasa yang paling dominan dalam percakapan
antara warga masyarakat, bahkan menjadi salah satu mata pelajaran muatan local yang diajarkan
di sekolah dasar.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi selatan telah percaya kepada satu Dewa yang
tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE (dewa yang tunggal).
Terkadang pula disebut orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib).
Orang makasar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar
Puang Mase (yang maha kehendak) dan orang Toraja menyebutnya puang matua (Tuhan yang
maha mulia).
Mereka juga mempercayai adanya dewa yang bertahta ditempat – tempat tertentu. Seperti
kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di gunung latimojong. Dewa tersebut mereka
sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan
Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa Patotoe kemudian kawin dengan Palingo dan
melahirkan Batara Guru.
Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa
penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya. Kira –
kira satu abad sebelum Masehi, Batara Guru menuju ke cerekang Malili dan membawa empat
kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan
kasta orang kebanyakan.
Selain itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa. Keenam bahasa
tersebut digunakan di daerah – daerah jajahannya. Keenam bahasa itu adalah :
1. Bahasa TaE atau To’da. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim di wilayah
tanah toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian yang bernama
Gellu’.
2. Bahasa Bare’E. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim diwilayah Poso
Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang disebutnya menari.
3. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim diwilayah
Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula dibekali dengan kesenian, yang namanya
Lulo’.
4. Bahasa Bugisi. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di Wajo seluruh
daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga.
5. Bahasa Mandar. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang berdiam di wilayah Mandar
dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian Pattundu.
6. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Makasar
dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian Pakkarena.
Keturunan Batara Guru tersebar kemana – mana. Keturunannya terbagi – bagi pada seluruh
wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut diatas. Mereka menduduki tempat –
tempat yang strategis seperti puncak – puncak gunung.
Sama seperti daerah lain yang juga memiliki nilai nilai tradisi yang kental di propinsi
Sulawesi Tenggara ini juga terdapat upacara adat warisan turun temurun. Keunikan tradisi yang
berupa upacara adat ini tentu layak di lestarikan demi kemajuan budaya dan wisata indonesia.
Tradisi Upacara Posuo yang berkembang di Sulawesi Tenggara (Buton) sudah berlangsung sejak
zaman Kesultanan Buton. Upacara Posuo diadakan sebagai sarana untuk peralihan status seorang
gadis dari remaja (labuabua) menjadi dewasa (kalambe), serta untuk mempersiapkan mentalnya.
Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan hari delapan malam dalam ruangan khusus yang
oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama dikurung di suo, para peserta dijauhkan
dari pengaruh dunia luar, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para peserta hanya
boleh berhubungan dengan bhisa (pemimpin Upacara Posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku
adat setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral, spiritual,
dan pengetahun membina keluarga yang baik kepada para peserta.
Dalam perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan
sampai saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio, merupakan tradisi
Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua, Posuo Johoro yang berasal dari
Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu yang berkembang setelah Islam masuk ke
Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran
agama Islam. Posuo ini diadaptasi oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton
yang hidup pada pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai Kenipulu di Kesultanan Buton di
bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus Qaimuddin. Tradisi Posuo Arabu
inilah yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Buton.
Keistimewaan Upacara Posuo terletak pada prosesinya. Ada tiga tahap yang mesti dilalui
oleh para peserta agar mendapat status sebagai gadis dewasa. Pertama, sesi pauncura atau
pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh bhisa
senior (parika). Acara tersebut dimulai dengan tunuana dupa (membakar kemenyan) kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan doa. Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan panimpa
(pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan ke tubuh calon.
Setelah itu, parika menyampaikan dua pesan, yaitu menjelaskan tujuan dari diadakannya upacara
Posuo diiringi dengan pembacaan nama-nama para peserta upacara dan memberitahu kepada
seluruh peserta dan juga keluarga bahwa selama upacara dilangsungkan, para peserta diisolasi
dari dunia luar dan hanya boleh berhubungan dengan bhisa yang bertugas menemani para peserta
yang sudah ditunjuk oleh pemangku adat.
Kedua, sesi bhaliana yimpo. Kegiatan ini dilaksanakan setelah upacara berjalan selama
lima hari. Pada tahap ini para peserta diubah posisinya. Jika sebelummnya arah kepala
menghadap ke selatan dan kaki ke arah utara, pada tahap ini kepala peserta dihadapkan ke arah
barat dan kaki ke arah timur. Sesi ini berlangsung sampai hari ke tujuh.
Ketiga, sesi mata kariya. Tahap ini biasanya dilakukan tepat pada malam ke delapan
dengan memandikan seluruh peserta yang ikut dalam Upacara Posuo menggunakan wadah bhosu
(berupa buyung yang terbuat dari tanah liat). Khusus para peserta yang siap menikah, airnya
dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kamboja. Setelah selesai mandi, seluruh peserta
didandani dengan busana ajo kalembe (khusus pakaian gadis dewasa). Biasanya peresmian
tersebut dipimpin oleh istri moji (pejabat Masjid Keraton Buton).
Semua Upacara Posuo dimaksudkan untuk menguji kesucian (keperawanan) seorang
gadis. Biasanya hal ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya gendang yang pecah saat ditabuh oleh
para bhisa. Jika ada gendang yang pecah, menunjukkan ada di antara peserta Posuo yang sudah
tidak perawan dan jika tidak ada gendang yang pecah berarti para peserta diyakini masih
perawan.
Kesenian
Seni Tari Tradisional daerah Sulawesi Tenggara :
1.Tari Lariangi dari Kabupaten Wakatobi
2.Tari Balumpa dari Kabupaten Wakatobi
3.Tari Potong Pisang, dari Kabaena di Kabupaten Bombana
4.Tari Lulo Alu, dari Kabaena Kabupaten Bombana
Untuk mengatur hubungan kehidupan antara masyarakat, telah berlaku hukum adat yang
senantiasa dipatuhi oleh warga masyarakat. Jenis hukum adat tersebut antara lain adalah
Hukum Tanah, Hukum Pergaulan Masyarakat, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris.
Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki berbagai jenis kesenian yang potensial sehingga
memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia. Jenis-jenis kesenian tersebut adalah seni tari,
seni ukir dan seni lukis serta seni suara dan seni bunyi. Seni tari, merupakan tarian masyarakat
yang dipersembahkan pada setiap upacara tradisional maupun menjemput tamu-tamu agung
yang diiringi oleh alat musik tradisional antara lain gong, kecapi dan alat tiupan suling bambu
selain alat musik modern. Selain itu di Sulawesi Tenggara terkenal juga dengan seni ukirnya
yaitu ukiran perak. Sedangkan seni ukuran lainnya adalah anyaman rotan dan meja gempol
dari kayu.
b. Bahasa
Sulawesi Tenggara memiliki sejumlah kelompok bahasa daerah dengan dialek yang
berbeda-beda. Perbedaan dialek ini memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia. Kelompok
bahasa daerah di Sulawesi Tenggara dan dialeknya masing-masing adalah sebagai berikut:
Kelompok Bahasa Tolaki terdiri dari : Dialek Mekongga, Dialek Konawe, Dialek Moronene,
Dialek Wawonii, Dialek Kulisusu
Kelompok Bahasa Muna terdiri dari : Dialek Mawasangka, Dialek Gu, Dialek Katobengke,
Dialek Siompu, Dialek Kadatua
Kelompok Bahasa Pongana terdiri dari : Dialek Lasalimu, Dialek Kapontori, Dialek Kaisabu
Kelompok Bahasa Walio (Buton) terdiri dari : Dialek Kraton, Dialek Pesisir, Dialek Bungi,
Dialek Tolandona, Dialek Talaga
Kelompok Bahasa Cia-Cia terdiri dari : Dialek Wobula, Dialek Batauga, Dialek Sampolawa,
Dialek Lapero,
Dialek Takimpo, Dialek Batuatas, Dialek Wali (di Pulau Binongko)
Kelompok Bahasa Suai terdiri dari : Dialek Wanci, Dialek Kaledupa, Dialek Tomia,
Dialek Binongk.
Kristen di bidang politik banyak terhambat oleh rivalitas di antara ketiga kelompok
etno-linguistik itu (Pamona, Mori, dan Lore), dan tidak kalah hebatnya, di antara anakanak
suku Pamona sendiri.
Sementara itu, muncullah generasi muda beragama Islam yang juga sudah
berpendidikan tertier, baik yang berasal dari masyarakat turunan Gorontalo dan Jawa di
kota Poso, maupun dari suku-suku asli yang dominan Muslim, seperti Tojo dan
Bungku
Dalam saling menyerang antara komunitas Kristen dan Muslim di kota Poso itu,
masing-masing fihak didukung oleh massa seiman dari luar kota Poso. Komunitas
Muslim dibantu oleh orang-orang Tojo dari daerah Ampana (sebelah timur kota Poso;
sekarang jadi ibukota Kabupaten Tojo Una-una) dan Parigi (Kabupaten Parigo
Moutong, sebelah barat kabupaten Poso). Sementara komunitas Kristen dibantu oleh
orang-orang Lage dari Desa-Desa Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage (sebelah
tenggara kota Poso).
Enam kelompok yang diduga terlibat dalam aksi-aksi teroris di Sulawesi.
Keenam kelompok yang dimaksud itu antara lain; Al Jama’ah Islamiyah, Kompak, Wardah
Islamiyah (kayaknya Fajar salah ketik karena di Makassar tidak ada kelompok yang bernama
Wardah Islamiyah, tetapi Wahdah Islamiyah-ed), DI/TII dan Jama’ah Islamiyah (JI).
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Budaya yang berkembang di daerah Sulawesi sangat beragam. Pada setiap bagiannya
terdapat banyak suku adat, namun ada suku mayoritas yang menguasai kebudayaan pada daerah
tersebut. Seperti di Sulawesi Selatan terdapat suku bugis, makasar, mandar maupun toraja. Di
Sulawesi Utara ada suku minahasa. Semuanya memiliki karekteristik dan keunikan budaya
tersendiri. Mulai dari pakaian adat, rumah adat, trdisi keagamaan , upacara adat, upacara
pemakaman ataupun pernikahan, perayaan tahunan, dan kesenian daerah berbeda. Tingkat
pengetahuan dan teknologi setiap daerah pun juga berbeda. Semua itu tidak terlepas dari macam-
macam pengaruh yang masuk dalam masyarakat tersebut seperti kepercayan atau agama yang
dianut, cara berfikir dan organisasi massa yang ada dalam masyarakat tesebut.
ran
Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik harus menetahui keanekaragaman yang ada
dalam Indonesia. Keanekaragaman budaya harus selalu dijaga dan dilestarikan karena
merupakan asset Negara yang tak ternilai harganya. Namun jangan sampai Karena
keanekaragaman budaya tersebut menjadikan timbulnya konflik atau pun perpecahan dalam
kehidupan bernegara. Sikap saling menghomati dan toleransi harus selalu diterapkan agar
kehidupan menjadi damai.