Kedudukan resmi dan kekayaan materi sang ayah memungkinkan untuk mengirimkannya untuk
belajar di Denpasar, di sekolah dasar Belanda untuk pribumi (bahasa Belanda: Hollandsch-
Inlandsche School, HIS), dan kemudian ke kota Malang, Jawa Timur untuk melanjutkan
pendidikan di sekolah menengah Belanda (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,
MULO). Namun, Ngurah Rai tak merampungkan pendidikan terakhirnya setelah kematian
ayahnya pada tahun 1935. Peristiwa tersebut membuat Ngurah Rai harus kembali ke Bali.[1]
Sesampai di kampung halaman, Ngurah Rai tidak menempuh pendidikan selama lebih dari dua
tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Pada 1 Desember 1936, ia masuk sekolah perwira Korps
Prajoda yang terletak di Kabupaten Gianyar.[3] Setelah lulus dari sekolah militer dengan pangkat
letnan dua pada tahun 1940, Ngurah Rai dikirim ke Corps Opleiding Voor Reserve Officieren
(CORO) di Magelang dan kemudian Pendidikan Artileri di Malang.[2]
Setelah Jepang menguasai Bali, seperti seluruh Kepulauan Sunda Kecil, pulau tersebut
ditempatkan pada zona pendudukan Armada Kedua. Seperti banyak orang Indonesia, Ngurah Rai
awalnya cukup setia kepada Jepang dengan harapan bahwa invasinya, yang mengganggu
pemerintahan kolonial Belanda, akan memberi peluang untuk pembangunan negara yang lebih
makmur dan menentukan nasib sendiri secara politik. Ia bergabung dengan cabang perusahaan
transportasi Jepang Mitsui Busan Kaisa, yang dibuka di Bali. Di sana, ia mengatur pasokan beras
dan barang-barang lainnya ke Jepang.[5]
Namun, lama kelamaan, Ngurah Rai semakin yakin bahwa pendudukan Jepang hanya
memperburuk keadaan penduduk Bali. Pada tahun 1944, Ngurah Rai makin mengecam penjajah.
Ia bergabung dengan gerakan bawah tanah anti-Jepang yang mulai terbentuk di Bali selama
periode ini dan mulai bekerja sama dengan dinas intelijen Sekutu. Dinas tersebut masih punya
sejumlah agen rahasia di Hindia Belanda pada masa pendudukan Jepang. Ia menyamar sebagai
kepala sel. Sel tersebut terdiri dari sebagian besar temannya dan mantan bawahannya dari Korps
Prajoda. Banyak di antaranya juga bekerja di cabang lokal Mitsui Busan Kaisa. Ngurah Rai
menyuplai sekutu dengan informasi tentang jadwal dan sifat muatan kapal transportasi Jepang.
Pada suatu saat, dia dicurigai dan ditahan oleh polisi angkatan laut Jepang. Namun, karena
kurangnya bukti, dia dibebaskan setelah tiga hari ditahan.[5][6]
Pasukan Jepang yang masih bertahan di Bali pada masa itu, yang jumlah personelnya saat itu
berjumlah 3.136 orang (meliputi 1.900 personel militer angkatan darat dan 1.146 pelaut)[12], pada
awalnya tidak mengganggu aktivitas Ngurah Rai dan pasukannya. Selain itu, sebagian besar orang
Jepang bersimpati dengan orang Bali yang anti-Belanda: ada kasus pemindahan senjata dan aset
material secara sukarela oleh militer Jepang kepada pendukung kemerdekaan setempat, dan
bahkan pemindahan mereka dengan senjata di tangan ke pihak Jepang.[13] Pada akhir November
1945, komando pasukan Jepang di Bali mengadakan negosiasi dengan utusan pemerintah
Soekarno mengenai pengalihan sebagian besar senjata mereka kepada yang terakhir.[14]
Namun, pada awal Desember 1945, di bawah tekanan komando Pasukan Ekspedisi Inggris, yang
mulai melucuti senjata dan menarik unit-unit Jepang dari Indonesia, Jepang menuntut agar
pimpinan republik Bali mengembalikan aset-aset keuangan yang disita. Gubernur Ketut Pudja
menilai tuntutan itu provokatif dan tidak dapat diterima. Pada saat yang sama, pimpinan
kelompok pemuda setempat, yang mengetahui jalannya perundingan antara perwakilan
pemerintah pusat dan Jepang, mendukung penyitaan senjata Jepang agar senjata itu tetap berada
di Bali dan tidak diangkut ke Pulau Jawa.[13][14]
Pada tanggal 13 Desember, sebuah detasemen Republik menyerang garnisun Jepang di Denpasar.
Namun dalam bentrokan singkat, mereka menderita kerugian dan dibubarkan. Peran Ngurah Rai
dalam peristiwa tersebut masih menjadi bahan perdebatan. Contohnya, sejarawan Kanada
Geoffrey Robinson, penulis studi fundamental tentang periode ini dalam sejarah Bali, percaya
bahwa operasi militer ini dilakukan atas arahan gubernur Ketut Pudja dan oleh karena itu Ngurah
Rai tidak bisa tidak berpartisipasi dalam persiapannya.[13] Sementara itu, wartawan Indonesia,
Iwan Santosa dan Wenri Wanhar berdasarkan memoar pihak yang terlibat, sampai pada
kesimpulan bahwa serangan terhadap garnisun Jepang di Denpasar adalah sikap sewenang-
wenang yang dilakukan oleh aktivis gerakan pemuda yang bukan anggota pasukan Ngurah Rai.[15]
Bagaimanapun, setelah peristiwa 13 Desember, sikap Jepang terhadap para pejuang Bali dan
secara pribadi terhadap Ngurah Rai berubah secara dramatis menjadi bermusuhan. Mereka
menangkap gubernur Ketut Pudja serta beberapa aktivis republik, dan juga melanjutkan patroli di
wilayah, yang dulu dihentikan setelah pengumuman tindakan penyerahan Jepang. Negosiasi
tentang transfer senjata ke utusan Jakarta terganggu.[13]
Peristiwa Denpasar meyakinkan Ngurah Rai akan kontraproduktifnya konfrontasi kuat dengan
Jepang. Dia memerintahkan penarikan pasukan milisinya dari Denpasar dan pemukiman besar
lainnya di Bali untuk menghindari bentrokan lebih lanjut dengan pasukan Jepang. Selain itu, ia
berhasil mencegah salah satu pangeran Bali untuk menyatakan perang terhadap Jepang. Seperti
pendukung kemerdekaan lainnya, Rai mendesaknya untuk mempersiapkan pasukan untuk
melawan Belanda, yang pada saat itu telah mengumumkan niat mereka untuk mengembalikan
Bali menjadi koloni di bawah kendali mereka. Setelah itu, Ngurah Rai memutuskan untuk pergi ke
Pulau Jawa untuk bertemu Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat yang berlokasi di Yogyakarta,
untuk meminta pasokan senjata kepada milisinya serta instruksi tentang cara melanjutkan
kegiatannya. Bersama sekelompok kecil rekannya yang berpangkat perwira TKR seperti dirinya, ia
meninggalkan Pulau Bali pada 1 Januari 1946.[13]
Milisi yang dibentuk oleh Ngurah Rai akhirnya diintegrasikan ke dalam struktur angkatan
bersenjata nasional. Pada tanggal 1 Februari, milisi tersebut secara resmi dimasukkan dalam
status resimen di divisi VII pasukan darat Republik Indonesia, yang dibentuk selama periode itu
di Jawa Timur. Pembiayaan resimen Kepulauan Sunda Kecil dilakukan melalui anggaran militer
nasional sebesar 70 ribu rupiah per bulan dan status otonomi unit militer ini juga ditentukan
secara khusus. Ngurah Rai sendiri dipromosikan menjadi letnan kolonel.[11][16]
Pada saat yang sama permintaan pasokan senjata oleh Ngurah Rai ditolak oleh pimpinan Staf
Umum, dengan alasan bahwa semua senjata dan amunisi yang dimilikinya telah ditugaskan ke
unit militer lain pada saat itu. Sebaliknya, telah diputuskan untuk mengirim beberapa unit yang
sudah lengkap dan bersenjata dari Jawa ke Bali untuk mendukung resimen Ngurah Rai. Persiapan
bala bantuan tersebut dipercayakan kepada komando angkatan laut nasional, dan tulang
punggungnya pada waktu itu dibentuk pasukan khusus "Pasukan M" dibawah komando Kapten
Markadi. Ngurah Rai sendiri diperintahkan untuk mengambil bagian dalam pelatihan unit ini,
khususnya memperkenalkan para pejuangnya dengan taktik-taktik operasi Bali. Sehingga, ia
bermukim di Jawa hingga awal April 1946.[17]
Secara keseluruhan, selama operasi yang berlangsung beberapa hari itu, 290 pejuang Pasukan M
dikerahkan ke Bali dari Jawa Timur. Selain itu, sejumlah rombongan kecil personel militer dari
unit lain, serta relawan dari Jawa, Madura, dan daerah lain di Indonesia, mendarat di pulau itu.
Menurut intelijen Belanda, pada paruh pertama April 1946, setidaknya 400 pendukung
kemerdekaan bersenjata tiba di Bali dari Jawa Timur.[22]
Setibanya di desa Munduk pada 16 April, Ngurah Rai memerintahkan para pejuangnya untuk
menahan diri dari bentrokan dengan Belanda. Mengikuti arahan dari komando tinggi, ia
memusatkan upayanya untuk menyatukan kekuatan pendukung kemerdekaan. Pada hari pertama
setibanya, ia bertemu dengan para pemimpin dua kelompok republik utama yang beroperasi di
pulau itu, yang tiba disana - cabang-cabang lokal Pemuda Republik Indonesia dan Pemuda
Sosialis Indonesia, yang masing-masing memiliki regu tempurnya sendiri. Sebagai hasil dari
pertemuan Ngurah Rai dengan para pemimpin kelompok pemuda, suatu struktur politik tunggal
"Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil" dibentuk yang juga dikenal di Bali dengan
kependekan "Dewan Perjuangan". Markas Besar Umum dibentuk sebagai badan kontrol militer di
bawah Dewan itu. Ngurah Rai terpilih sebagai Ketua Dewan dan pada saat yang sama menjabat
sebagai Kepala Staf Umum. Kombinasi jabatan seperti itu memungkinkannya untuk
berkonsentrasi dalam memimpin semua formasi militer dan sipil Provinsi Bali.[25]
Mengambil keuntungan dari kekuatan yang diperluas, Ngurah Rai memerintahkan untuk menarik
hampir semua kekuatan di bawah kendalinya ke Munduk. Di wilayah pulau lainnya, diputuskan
untuk meninggalkan hanya 6 kelompok pejuang yang sangat kecil. Selain itu, sebagian besar
pejuang "Pasukan M" yang datang dari Jawa terus beroperasi di luar markas utama. Pada akhir
Mei 1946, Ngurah Rai berhasil mengumpulkan sekitar 1500 orang di kamp dekat Munduk,
beberapa di antaranya adalah perempuan dan remaja. Sebagian besar tidak memiliki pengalaman
tempur atau pelatihan militer; tidak lebih dari setengah dari para pejuang dilengkapi dengan
senjata api. Ada beberapa mortir Jepang dan senapan mesin berat, tetapi amunisinya kecil. Tidak
semua anggota Staf Umum mendukung gagasan Ngurah Rai untuk menciptakan satu-satunya
formasi pejuang yang jumlahnya begitu besar: ada banyak yang menyarankan untuk membagi
pasukan menjadi sejumlah regu kecil yang dapat beroperasi secara diam-diam dalam rangka
perjuangan. Namun, tidak ada yang menentangnya, karena kekuasaan pemerintahan Ngurah Rai
diakui tanpa syarat dan perintahnya dilaksanakan secara saksama.[26][27]
Sejalan dengan itu, Ngurah Rai terus menjalin kontak aktif dengan para bangsawan Bali,
berkoordinasi dengan mereka tentang taktik aksi melawan Belanda. Diketahui bahwa ia
membujuk beberapa kenalannya yang bersimpati dengan gerakan republik untuk menerima posisi
dalam struktur administrasi yang dibuat oleh penjajah untuk kemudian memberikan bantuan
rahasia kepada para pejuang kemerdekaan.[28]
Denpasar, 13 Mei 1946 Rai Jang Denpasar, 13 Mei 1946 Rai Yang
Budiman, Budiman,
J. B. T. Konig J. B. T. Konig
Balasan Ngurah Rai, yang segera sampai ke Belanda, ditujukan khusus kepada ter Meulen. Pesan
panglima gerilya itu memasuki catatan sejarah Indonesia dengan judul “Surat Suci” dan
dipopulerkan secara luas sebagai wujud keberanian dan patriotisme.[2][30]
di Denpasar di Denpasar
M E R D E K A ! M E R D E K A !
Soerat telah kami terima dengan Surat telah kami terima dengan
selamat. Dengan singkat kami selamat. Dengan singkat kami
sampaikan djawaban sebagai sampaikan jawaban sebagai
berikoet: berikut:
Pawai sejauh 200 kilometer dari pasukan berkekuatan 1.500 orang melintasi hutan dan
pegunungan, yang memakan waktu lebih dari sebulan dan disebut “Longmarch ke Gunung Agung”
atau “Pawai Panjang ke Gunung Agung” dalam historiografi Indonesia, ternyata sangat sulit
dilihat dari segi logistik dan organisasi. Selain itu, pawai tersebut dibarengi dengan rentetan
bentrokan dengan pasukan Belanda yang intensitasnya semakin meningkat. Di kaki Gunung
Agung, pasukan Ngurah Rai menjadi sasaran mortir dan serangan udara selama beberapa hari
dari pesawat pengebom B-25 yang digunakan oleh Belanda. Setelah mencapai desa Tanah Aron di
lereng barat gunung pada tanggal 7 Juni, mereka memasuki pertempuran dengan unit musuh
yang berjumlah sekitar 200 orang.[33]
Usai pertempuran, Ngurah Rai mengadakan pertemuan dengan anggota markasnya. Posisi
pejuang dianggap kritis. Sebagai akibat dari korban jiwa dan terluka, serta desersi, jumlah
pasukan berkurang hampir tiga kali lipat, amunisi dan makanan habis, para pejuang yang tersisa
di barisan berada di ambang kelelahan fisik. Pendekatan ke gunung dari sisi barat diblokir oleh
pasukan Belanda. Beberapa rekan Ngurah Rai menyarankan untuk melawan balik ke Bali tengah,
tetapi Ngurah Rai menganggap kemungkinan kerugian yang tidak dapat diterima. Dalam keadaan
demikian, ia memutuskan untuk membagi pasukan menjadi kelompok-kelompok kecil yang dapat
turun di sepanjang jalur pegunungan, melewati lokasi unit-unit Belanda dan lalu menyebar ke
seluruh pulau. Pembagian pasukan ini dilakukan dua hari kemudian di lereng utara gunung
berapi. Sebagian besar pejuang dikelompokkan menurut prinsip "rekan wilayah" dan maju
menuju tempat asalnya. Dengan persetujuan Ngurah Rai, Kapten Markadi memutuskan untuk
mengangkut "Pasukan M", yang telah menderita kerugian besar, kembali ke Jawa. Dengan Kapten
Markadi, Ngurah Rai mengirimkan laporan kepada Staf Umum yang menjelaskan keadaan buruk
gerakan pejuang dan memberikan data rinci tentang disposisi, jumlah dan persenjataan pasukan
Belanda di Bali.[34]
Setelah "Pawai Panjang" rampung, di bawah komando Ngurah Rai tinggal hanya sekitar 90 orang
— kebanyakan terdiri dari pejuang yang paling berpengalaman dan andal, hampir semuanya
adalah anggota gerakan pejuang Bali yang memiliki pendidikan militer Belanda serta sekelompok
personel militer Jepang. Dalam berbagai sumber, jumlah personel Jepang yang memihak Ngurah
Rai diperkirakan antara enam dan sepuluh orang serta setidaknya dua di antaranya adalah
perwira. Unit sebesar 90 orang ini diberi nama "Ciung Wanara" yang diambil dari nama tokoh
mitologi Sunda.[34][35]
"Ciung Wanara" dipersenjatai dengan tidak lebih dari 50 senjata ringan, 5 mortir, satu senapan
mesin berat, dan 3 senapan mesin ringan dengan amunisi minimum. Karena kelangkaan
persenjataan, Ngurah Rai lebih suka menghindari bentrokan dengan Belanda sampai ia menerima
instruksi dari Staf Umum. Korps Belanda juga menahan diri dari tindakan militer, akibatnya, pada
awal Agustus 1946, situasi di Bali menjadi cukup tenang. Pada bulan Oktober, faktor penstabil
tambahan adalah gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda, diumumkan di seluruh
teater operasi. Setelah itu perwakilan pemerintah kedua negara mengadakan negosiasi dengan
mediasi Inggris yang bertujuan untuk penyelesaian konflik secara damai.[26]
Pada tanggal 15 November 1946, Perjanjian Linggarjati ditandatangani di Cirebon, saat Belanda
secara de facto mengakui kedaulatan Republik Indonesia di Jawa, Sumatra dan Madura. Di sisa
wilayah bekas jajahan itu, direncanakan sejumlah negara semi-berdaulat yang bersama-sama
dengan Republik Indonesia, akan membentuk Republik Indonesia Serikat — sebuah entitas
federal yang berada dalam semacam persatuan dengan Belanda. Pada saat yang sama, Bali
termasuk dalam salah satu negara semi-berdaulat yaitu Negara Indonesia Timur.[36][37]
Jangan gentar, Sunda kecil harus mampu berdiri sendiri. Lanjutkan perjuangan
dengan apa yang ada walaupun perhatian dari pusat kurang...[38]
Menyadari bahwa persenjataan yang dimilikinya tak cukup untuk melakukan perjuangan gerilya
yang aktif dan berkepanjangan, Ngurah Rai memutuskan untuk merebut sejumlah senjata dan
amunisi dari musuh. Barak polisi kolonial di kabupaten Tabanan dianggap sebagai target yang
paling nyaman dalam hal ini: banyak senjata disimpan disana dan kepala polisi bernama Wagimin
adalah pendukung rahasia dan informan dari gerilyawan. Selain 95 pejuang "Ciung Wanara",
Ngurah Rai memobilisasi sedikitnya 300 orang dari kalangan petani desa sekitar yang bersimpati
dengan para pejuang untuk operasi tersebut. Para petani itu, yang sebagian besar memiliki senjata
tajam, ditugaskan sebagai peran pembantu dan mereka harus menciptakan kesan untuk sejumlah
besar penyerang serta memastikan lingkungan yang lebih padat pada barak yang diserang.
Diketahui bahwa sebelum penyerangan, Ngurah Rai dan para pejuang mengunjungi pura Hindu
setempat. Di sana, mereka berdoa untuk keberuntungan. Pada tanggal 18 November 1946,
pasukan Ngurah Rai menyerang barak Tabanan dan dengan perlawanan minimal dari polisi,
menyita senjata dan amunisi yang disimpan disana: 36 karabin, 2 senapan mesin Bren, 2 senapan
mesin ringan dan 8 ribu butir amunisi. Wagimin, yang memainkan peran penting dalam
keberhasilan operasi, bergabung dengan "Ciung Wanara".[39][40]
Setelah melengkapi persenjataan mereka dan membubarkan milisi petani pembantu, para
gerilyawan mundur ke kamp yang telah disiapkan sebelumnya di dekat desa Marga, yang terletak
di daerah pegunungan sekitar 40 kilometer sebelah utara Denpasar. Keesokan harinya, kamp
"Ciung Wanara" ditemukan oleh Belanda dan sehari kemudian, pada tanggal 20 November,
diserang dengan melibatkan pesawat yang diterbangkan dari Makassar, serta unit infanteri
tambahan yang segera dikerahkan dari pulau Lombok.[2][41][35]
Setelah bentrokan pertama yang terjadi sekitar pukul 10.00, para pejuang yang berusaha
menghindari pengepungan berusaha mundur dari medan pertempuran dalam kelompok-
kelompok kecil melalui ladang jagung yang mengelilingi desa Marga. Namun, upaya ini gagal,
pasukan menderita kerugian besar dan terpojok di dekat ngarai gunung. Tawaran Belanda untuk
menyerah ditolak dan dalam pertempuran berikutnya, yang berlangsung sekitar pukul 14:00
hingga 17:00, semua pejuang Ciung Wanara, termasuk Ngurah Rai, tewas.[2][35][42]
Peristiwa kematian Ngurah Rai tidak diketahui secara
pasti. Beberapa sumber ada yang mengatakan dia jatuh
dari tebing. Pada tahun 2008, dalam sebuah wawancara
dengan media lokal, salah satu veteran gerakan gerilya
Bali mengatakan bahwa jasad Ngurah Rai, yang dikirim
oleh Belanda setelah pertempuran ke Denpasar, dipenuhi
dengan luka bakar. Atas dasar ini, terdapat asumsi
bahwa kematian komandan "Ciung Wanara" tersebut
akibat ledakan sebuah bom pembakar.[43]
Jenazah Ngurah Rai diserahkan kepada keluarganya dan dimakamkan di desa asalnya
Carangsari.[46][47]
Pada rapat darurat Dewan Perjuangan yang diadakan pada hari kedua setelah kematian Ngurah
Rai, pemimpin kelompok Pemuda Republik Indonesia berusia 23 tahun, I Made Widja Kusuma,
yang tidak memiliki pendidikan militer terpilih sebagai penggantinya. Posisi kepemimpinan lain
yang menjadi kosong setelah kematian rekan Ngurah Rai juga digantikan oleh warga sipil
terutama perwakilan organisasi pemuda. Karena tidak memiliki kekuatan, sarana dan
keterampilan yang diperlukan untuk melanjutkan konfrontasi militer dengan Belanda,
kepemimpinan baru perlawanan anti-kolonial mengumumkan transisi ke "metode perjuangan
politik", yang mengutamakan agitasi dan propaganda, serta pengumpulan informasi intelijen.
Hingga musim gugur 1949, ketika pasukan Belanda meninggalkan wilayah pulau Bali, bentrokan
hanya terjadi secara singkat dan skalanya sangat kecil.[48][49]
Dampak lain dari kematian Ngurah Rai adalah perubahan nyata dalam komposisi sosial di puncak
perlawanan anti-Belanda dan pedoman ideologisnya. Pada awalnya, sebagian besar pasukan
terdiri dari perwakilan masyarakat Bali kasta atas. Setelah kematian Ngurah Rai dan rekan-rekan
terdekatnya, sebagian besar peran penting dalam gerakan anti-kolonial dipegang orang-orang
yang berasal dari golongan rakyat biasa, selain juga dari golongan bangsawan. Sehingga, hal ini
menyebabkan peningkatan popularitas paham-paham sayap kiri di kalangan pejuang, dan juga
menjauhkan keterkaitannya dari elit feodal Bali.[48]
Keluarga
Pada tahun 1938, saat belajar di sekolah militer, Ngurah Rai menikah dengan penduduk Gianyar,
Desak Putu Kari, seorang gadis dari rakyat biasa yang lahir pada tahun 1922 dan mempunyai 3
orang anak diantaranya I Gusti Ngurah Yudana yang lahir tahun 1942, I Gusti Ngurah Tantra yang
lahir tahun 1944, dan I Gusti Ngurah Alit Yudha yang lahir tahun 1946. Ngurah Rai tidak pernah
bertemu dengan I Gusti Ngurah Alit Yudha, karena ia lahir setelah Ngurah Rai gugur pada
kampanye terakhir.[50][51] Ngurah Rai sendiri menyadari bahaya konfrontasi militer dengan
Belanda dan memperingatkan istrinya terlebih dahulu tentang kemungkinan besar kematiannya.
Ketika berpisah, dia berkata:
Setelah Ngurah Rai pergi sebagai kepala pasukan pejuang di hutan, istri dan anak-anaknya sangat
membutuhkan. Menurut Putu Kari, sebagian besar penduduk desa bersimpati padanya, tetapi
takut membantu karena takut pada Belanda. Belanda menahan keluarga komandan pejuang untuk
beberapa waktu dan menginterogasi Putu Kari, saat sedang mengandung putra ketiganya.[51][53]
Beberapa tahun setelah kematian Ngurah Rai, istrinya menikah dengan salah satu rekannya dalam
gerakan perjuangan, yaitu Made Setia Budi. Dari pernikahan keduanya, ia melahirkan 4 anak
lainnya. Pada akhir hayatnya, ia memiliki 20 cucu.[54][55] Desak Putu Kari meninggal dunia pada
10 Desember 2017. Hingga hari-hari terakhir, dia menyimpan ingatan yang kuat, sering
berpartisipasi dalam berbagai acara yang diadakan untuk mengenang Ngurah Rai, dia terus-
menerus dikunjungi oleh perwakilan media, otoritas lokal, dan pimpinan militer.[50][56][57]
Putra bungsu Rai, Ngurah Alit Yudha menjadi pejabat tinggi Golkar, memimpin cabang partai Bali
selama bertahun-tahun, dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada
1999-2004. Dia juga aktif terlibat dalam acara yang didedikasikan untuk mengenang Ngurah
Rai.[50][56]
Peninggalan
Jasa Ngurah Rai sebagai pemimpin gerakan perjuangan Bali dan kematiannya sejak akhir 1940-an
mulai dijunjung oleh masyarakat Indonesia sebagai contoh keberanian, tidak mementingkan diri
sendiri, kesetiaan pada tugas militer dan cita-cita perjuangan kemerdekaan negara. Dari sudut
pandang ilmu militer dan pengaruh politik, ini sama sekali tidak terhalang oleh fakta bahwa baik
kampanye ke Gunung Agung maupun operasi terakhir Ngurah Rai dinilai cukup kritis.[58] Maka,
rekan terdekat Rai dan penerusnya sebagai Ketua Dewan Perjuangan, Vija Kusuma, bertahun-
tahun kemudian mengakui bahwa "Pawai Panjang" ternyata menjadi salah satu kegagalan terbesar
bangsa Indonesia selama perang kemerdekaan.[58]
Abdul Haris Nasution, salah satu tokoh militer terkemuka Indonesia, yang selama bertahun-tahun
memegang posisi tertinggi dalam struktur angkatan bersenjata dan mengembangkan konsep
perang gerilya, yang mendapat pengakuan internasional, mengajukan pertanyaan retoris dalam
memoarnya:
Apakah tidak sebaiknya Letnan Kolonel Ngurah Rai
melaksanakan prinsip perang gerilya: hit and run?[59]
Pada tanggal 30 September 1962, jenazah Ngurah Rai digali dan dikremasi dengan khidmat sesuai
dengan adat Hindu. Upacara tersebut menjadi upacara sosial-politik berskala besar. Panitia
penyelenggara untuk persiapannya yang terdiri dari perwakilan pemerintah pusat dan daerah
dibentuk. Upacara kremasi dihadiri oleh anggota pemerintah Indonesia dan pimpinan militer
senior. Sebagian abu jenazah dilarung ke laut di kawasan Sanur, sebagian lagi dikubur di
kompleks tugu dekat desa Marga.[46][47]
Pada tahun 1954, Ngurah Rai secara anumerta dipromosikan menjadi kolonel. Pada tahun 1975,
dengan keputusan Presiden Soeharto Nomor 06 tanggal 9 Agustus 1975, ia dinyatakan sebagai
pahlawan nasional Indonesia. Pada dekrit yang sama, ia sekali lagi secara anumerta dipromosikan
ke pangkat brigadir jenderal, dan juga dianugerahi salah satu bintang militer tertinggi yaitu
Bintang Mahaputra, tingkat ke-4.[2][41]
Bandara Internasional Bali, Universitas dan Stadion yang berada di Denpasar dinamai dengan
nama Ngurah Rai, yang masing-masing merupakan universitas terbesar dan fasilitas olahraga
terbesar di Bali. Namanya dijadikan nama-nama jalan di Denpasar dan banyak daerah Bali
lainnya, serta di beberapa kota di luar Bali, termasuk di ibukota Indonesia Jakarta. Potret Ngurah
Rai juga ditampilkan pada uang kertas Indonesia dalam dua desain, masing-masing diterbitkan
pada tahun 2005-2011 dan 2011-2016.[62][63]
Puluhan monumen telah didirikan untuk Ngurah Rai di
berbagai bagian pulau. Sebuah museum Markas Bersama
Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Kepulauan Sunda Kecil
didirikan di Munduk Malang. Pada saat yang sama, tak ada
monumen besar atau museum negara di Carangsari, desa
kelahiran Ngurah Rai. Hanya ada monumen kecil yang
didirikan dan dilestarikan dengan biaya keluarga komandan
pejuang.[27][62]
Bandara Internasional Ngurah Rai Hari peringatan pertempuran di dekat desa Marga, serta hari
Denpasar ulang tahun Ngurah Rai dirayakan secara khidmat di
Bali.[2][41] Pada Januari 2017, peringatan 100 tahun pahlawan
Bali dirayakan secara istimewa.[64] Bagian integral dari
upacara peringatan adalah pembacaan umum surat Rai kepada letnan kolonel ter Meulen, yang
dianggap sebagai salah satu peninggalan sejarah terpenting di Bali.[2][41] Kadang-kadang surat asli
dipindahkan dalam peti khusus selama prosesi khidmat dari satu pemukiman ke pemukiman
lainnya. Pembacaan teksnya di depan umum juga dilakukan pada acara-acara resmi lainnya:
misalnya pada Maret 2014, surat itu diumumkan dalam pertemuan Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono dengan para veteran gerakan perjuangan Bali.[30]
Pada tahun 2013, dengan dukungan dari otoritas sipil dan militer provinsi Bali, sebuah film
biografi dokumenter fitur I Gusti Ngurah Rai diproduksi. Penayangan perdananya berlangsung
pada 11 Juli 2013 di markas distrik militer setempat.[65][66]
Pada tanggal 10 Januari 2018, bertepatan dengan peringatan 101 tahun kelahiran Rai di Teluk
Benoa di Bali selatan, kapal dengan nama Ngurah Rai secara resmi diperkenalkan ke Angkatan
Laut Indonesia. Kapal ini dibangun bersama-sama dengan bantuan organisasi perkapalan Belanda
yaitu Damen Schelde Naval Shipbuilding.[67][68]
Lihat pula
Bandar Udara Internasional Ngurah Rai
Gerbang tol Ngurah Rai
Kutipan
1. "Mengenal Lebih Jauh Sosok I Gusti Ngurah Rai". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-
06. Diakses tanggal 2014-09-18.
2. "I Gusti Ngurah Rai". Merdeka.com. Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-12.
Diakses tanggal 2013-12-09.
3. Petrik Matanasi. "Atasan dan Bawahan yang Saling Berhadapan dalam Puputan Margarana".
Tirto.id. Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-22. Diakses tanggal 2017-12-18.
4. "The capture of Bali Island, February 1942" (dalam bahasa Inggris). Dutch East Indies 1941-1942
Website. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-15. Diakses tanggal 2017-12-15.
5. Robinson 1998, hlm. 90.
6. Santosa et al. 2012, hlm. 34—35.
7. Robinson 1998, hlm. 121.
8. Sejarah Kebangkitan Nasional 1984, hlm. 155.
9. Santosa et al. 2012, hlm. 35.
10. Дёмин 1964, hlm. 69.
11. Robinson 1998, hlm. 116.
12. Santosa et al. 2012, hlm. 42.
13. Robinson 1998, hlm. 118.
14. Santosa et al. 2012, hlm. 43—45.
15. Santosa et al. 2012, hlm. 48.
16. Santosa et al. 2012, hlm. 38.
17. Santosa et al. 2012, hlm. 49—50.
18. Robinson 1998, hlm. 133—134.
19. Robinson 1998, hlm. 135—136.
20. Santosa et al. 2012, hlm. 104.
21. Santosa et al. 2012, hlm. 110—112.
22. Santosa et al. 2012, hlm. 115.
23. Santosa et al. 2012, hlm. 135.
24. Agung 1996, hlm. 9.
25. Sejarah Kebangkitan Nasional 1984, hlm. 157.
26. Robinson 1998, hlm. 148—149.
27. "Munduk Malang Markas Pak Rai yang Patut Dikenang" (dalam bahasa Inggris). Bali Pos.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-19. Diakses tanggal 2013-12-19.
28. Robinson 1998, hlm. 102.
29. Nyoman 1979, hlm. 212.
30. Moksa Hutasoit. "Begini Isi Surat Heroik I Gusti Ngurah Rai Melawan Belanda". detikcom.
Detik. Diakses tanggal 2013-12-09.
31. Robinson 1998, hlm. 148.
32. Santosa et al. 2012, hlm. 156.
33. Santosa et al. 2012, hlm. 181.
34. Santosa et al. 2012, hlm. 182.
35. Robinson 1998, hlm. 149.
36. Бандиленко и др. 1992—1993, ч. 2.
37. Robinson 1998, hlm. 147.
38. "Kolonel.TNI. ANM. I Gusti Ngurah Rai". Pusat Pahlawan Nasional Kementerian Sosial Republik
Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-28. Diakses tanggal 2014-09-18.
39. Made Sutaba et al. 1983, hlm. 148.
40. Widyantara, I Gusti Bagus. "Masyarakat Desa Ole Bangun Monumen Perjuangan". ANTARA
News. Antara. Diakses tanggal 2017-12-22.
41. "Biografi I Gusti Ngurah Rai - Pahlawan Nasional Dari Bali". Diarsipkan dari versi asli tanggal
2013-12-12. Diakses tanggal 2013-12-09.
42. Made Sutaba et al. 1983, hlm. 151.
43. "Made Dhama, Saksi Hidup Perang Puputan". Liputan6.com. Liputan6. Diarsipkan dari versi asli
tanggal 2017-12-07. Diakses tanggal 2017-12-07.
44. Дёмин 1964, hlm. 73—74.
45. Agung 1996, hlm. 85—86.
46. Ensiklopedi Umum 1973, hlm. 747.
47. "Ziarah ke Tmp Dalam rangka peringatan HUT TNI AU ke-64". Diakses tanggal 2014-09-25.
48. Robinson 1998, hlm. 150.
49. Made Sutaba et al. 1983, hlm. 155—157.
50. "Anjang Sana ke Istri (Keluarga) Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai". TNI AU. Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2013-12-20. Diakses tanggal 2013-12-19.