Maret 2022
“Gendhing Pangkur came from Pangkur Paripuma, slendro pathet sanga, a gendhing
langen driya composed by Raden Mas Harya Tandhakusuma with no gerongan but with a
sindhenan whose text was sekar pangkur Paripuma”. (Judith Becker, 1987:155).
Artinya adalah: “gending pangkur diambil dari sekar macapat Pangkur paripurna laras
slendro pathet sanga, gending Pangkur digunakan untuk beksan langendriyan, yang
diciptakan oleh Raden Mas Harya Tandhakusuma, tidak menggunakan lagu gerongan,
tetapi disajikan dengan garap sindenan dengan mengunakan syair lagu sekar macapat
Pangkur Paripurna”.
1
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
irama dadi tersebut merupakan versi ringkasan dari gending pangkur irama ciblon atau
wilet. (Sumarsam, 2003: 283-284).
Dalam buku pengetahuan karawitan jilid I dan II, R.L. Martopangrawit mengatakan
bahwa gending pangkur yang kuno, dulunya tidak mempunyai bagian yang disebut
dengan irama tanggung dan irama dadi. pada perkembangannya gending Pangkur yang
selanjutnya munculah gending Pangkur dengan menggunakan irama tanggung dan irama
dadi. (Martopangrawit, 1975 : 35-36).
Perubahan dari sekar Macapat Pangkur Paripurna ke dalam balungan gending
Pangkur bagian irama ciblon atau wilet, adalah sebagai berikut:
Sekar Macapat Pangkur dan balungan gending Pangkur irama ciblon atau wilet
Perkembanga dari irama ciblon atau wilet gending Pangkur ke dalam bagian irama
tanggung dan dadi, adalah sebagai berikut:
2
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
Kajian gending Pangkur menurut sejarah seperti yang telah tersebut diatas, dapat
dianalisa bahwa keberadaan gending Pangkur tersebut berasal dari sekar Macapat
Pangkur Paripurna, yang disajikan untuk kebutuhan beksan langendriyan. Dengan garap
sajian menggunakan sindenan dengan cakepan sekar macapat Pangkur Paripurna, tanpa
menggunakan lagu gerongan. Dalam penyajian gending Pangkur tersebut, digarap dengan
menggunkan irama ciblon atau wilet, yang pada perkembangannya disusul dengan garap
sajian menggunakan irama tanggung dan irama dadi.
Penyajian gending Pangkur secara tradisional diawali dengan sajian irama tanggung
atau irama dadi kemudian selanjutnya digarap menggunakan irama wilet, selalu diawali
dengan sajian irama dadi. Apabila mengacu pada pendapat tersebut, Ladrang Pangkur
Paripurna diciptakan pertama kali untuk keperluan gending langendriyan yang
mengedepankan garapan bagian irama wilet sebagai sarana untuk dialog, maka Ladrang
Pangkur Paripurna bagian irama tanggung dan dadi, hanya digunakan sebagai rambatan
sebelum menuju pada sajian irama wilet.
3
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
irama lagu ritmis (tidak terikat oleh matra gending). Sejak dikenalkannya gerong prakarsa
paku Buwana IX tersebut, yang konon disajikan oleh Pangeran Kusumabrata, saat itu
gending yang di sajikan adalah gending Pangkur Paripurna laras slendro patet sanga.
Kemudian barulah muncul pemisahan penggunaan istilah sindenan dengan gerongan.
Sindenan digunakan untuk menyebut vokal putri, baik vokal tunggal maupun vokal
bersama pada sindenan bedaya/ srimpi, sedangkan untuk vokal bersama pria disebut
penggerong. (R.L. Martapangrawit, 1988).
K.R.T Warsodiningrat dalam Wedhapradangga, menyebutkan:
“Sareng jumeneng dalem ingkang Sinuwun Paku Buwana XI kaping sewelas,
sadhatengipun Nipon (Jepang) nguwaosi tanah jawi, sedaya ungel-ungelan utawi
pakecapan ingkang mawi basa landi wau, dhawuh dalem, ingandikakaken anyantuni
cakepanipun gending Ludira piyambak, inggih punika: Mideringrat hangelangut,
sapiturutipun, mijilipun wastra ngangrang tebinging patani, sapiturutipun, dene gendhing
Ludiramadura minggah Kinanthi lajeng Mijil, dalah sakcakepanipun wau yasan dalem
Paku Buwana V”.
“Panembrama gendhing Ludira kasebut nginggil wau, kejawi kagem sisindhen Kinanthi
Sarimpi, dawuh dalem Paku Buwana X, ingandikakaken kangge gerongan gendhing
Pangkur ingkang laras slendro pathet sanga”. (K.R.T. Warsodiningrat, 1979: 90).
Artinya adalah: “bersamaan dengan naiknya tahta kerajaan Paku Buwana XI yang
kesebelas, dengan kedatangan tentara Jepang (Nipon) menguasai tanah Jawa, semua
pembicaraan yang menggunakan bahasa Belanda, raja memerintahkan, untuk memeriksa
syair gending Ludira sendiri, yaitu: Mideringrat hangelangut, dan seterusnya. Mijilnya:
Wastra ngangrang tebinging patani, dan seterusnya, Sedangkan gending Ludiramadura
minggah Kinanthi terus Mijil, beserta syairnya adalah ciptaan Paku Buwana V”.
“penyajian gending Ludira tersebut diatas, selain digunakan suara vokal Kinanti Sarimpi,
perintah Paku Buwana X, mengatakan untuk digunakan dalam gending Pangkur yang
menggunakan laras slendro patet sanga”.
4
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
Menurut para empu dikalangan pengrawit sepuh keraton Surakarta, bahwa pada
masa Paku Buwana IX dan Pangeran Mangunegara IV selain untuk Bedaya dan Srimpi
belum ada gending yang mempunyai vokal bersama atau koor, akan tetapi setelah
peristiwa gending Pangkur yang di garap menggunakan vokal bersama atau koor yang
disuarakan oleh vokalis pria (penggerong), lalu timbulah bakat seni Pangeran
Mangkunegara IV yang menumbuhkan inspirasi dan kemudian menyusun sembilan paket
gending berbentuk ketawang yang mengutamakan vokal gerongan sebagai tulang
punggungnya, yaitu: ketawang Langengita, Walagita, Rajaswala, Sitamardawa,
Puspanjala, Tarupala, Puspagiwang, Lebdasari dan Puspawarna. (Haryono, 1994: 44).
Keberadaan ngelik gending Pangkur pada irama ciblon atau wilet, meminjam dari
bagian ngelik ladrang Kasmaran (Eling-Eling). Penambahan bagian ngelik pada ladrang
Pangkur ini dimaksudkan sebagai pelengkap agar sajian gending tidak kemba atau
hambar. Buku “Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal Music”,
tercatat sebagai berikut:
“When Paku Buwana X obtained Gendhing Pangkur, he changed the laras to pelog pathet
barang and added a gerong part. The wilet of the gendhing and the melody and wilet of the
gerong part reflect great feeling and a sense of respect proper to the kraton. To enhance
the beauty and effectiveness of Gendhing Pangkur, a ngelik from Ladrang Kasmaran was
added. Upon approaching the first kenong, the irama changes to rangkep. After the gong,
the irama reverts to its previous state. [These alternations in irama] became standard
[during the reign of Paku Buwana] X, and for that reason Pangkur [played in this style] is
referred to as "the Pangkur of Kaping Sadasa" [that is, of Paku Buwana X]. (Judith Becker,
1987:155).
5
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
karena dalam langendriyan hanya dibutuhkan vokal sindenan atau macapatnya saja. Pada
sajian klenengan, ngelik menjadi ajang garap terutama pada irama rangkep. Maka
semuanya juga akan ikut untuk menggarap rangkep yang umumnya pada garap rangkep
terkesan gayeng, serta prenes. Maka dari itu perlu ditambahkan ngelik dari Ladrang
Kasmaran yang menggunakan garap rangkep agar terkesan lebih sigrak serta tidak kemba
atau hambar.
Peminjaman bagian ngelik yang disebut diatas sepertinya tidak diadopsi secara
utuh, tetapi diambil kenong pertama, kenong ke dua, dan tiga gatra kenongan ke tiga yang
digunakan untuk keperluan bagian ngelik Ladrang Pangkur laras slendro pathet sanga
mempunyai kerangka balungan gending yang berbeda. Namun demikian keduanya masih
mempunyai nada-nada seleh yang sama. (Uni Ambarwati, 2019: 76).
6
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
Tumuruning jurang terbis, sedangkan untuk ngelik menggunakan syair: Sayekti kalamun
suwung, Tangeh miriba kang warni, Lan sira pepujaning wang, Manawa dhasaring bumi,
Miwah luhuring angkasa,Tuwin jroning jalanidhi.(R.L. Martapangrawit, 1988: 88-90).
7
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
yaitu: Midering rat hangelangut, Lelana njajah nagari, Mubeng tepining samudra,
Sumengka hanggraning wukir, Anelasak wana wasa, Tumuruning jurang terbis.
8
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
Ladrang Pangkur dengan menampilkan ricikan balungan, seperti: demung, saron, dan
slentem sebagai garapan ricikan yang menonjol. Tabuhan ricikan balungan dilakukan
secara bersama-sama dengan intensitas tabuhan yang keras dan digunakan sebagai
penguatan rasa seleh pada nada-nada seleh lagu vokal. Suara gleng yang ditimbulkan dari
tabuhan ricikan balungan pada sajian ladrang Pangkur inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah Pangkur Jenggleng.
Pangkur Cengkok Kethoprak biasanya digunakan pada penyajian ketoprak,
sehingga disebut cengkok ketoprakan.Penyajian gendingnya hanya menampilkan satu
macam garapan irama, yaitu irama rangkep dengan menggunakan pola kendhang ciblon.
Dengan sajian semacam ini, maka Pangkur Cengkok Kethoprak merupakan bagian
Ladrang Pangkur yang disajikan secara mandiri, yakni bukan merupakan rangkaian sajian
Ladrang Pangkur secara keseluruhan. Pemilihan satu macam garapan irama semacam ini
merupakan bentuk interpretasi musikal yang berpijak dari tafsir irama. Penyajian pada
umumnya selalu memunculkan senggakan untuk membangun suasana kasmaran.
Pangkur Wolak-walik adalah garap ladrang Pangkur yang disajikan dalam laras
slendro maupun pelog, pada umumnya disajikan dalam irama wiled dan rangkep dan
disajikan dengan menggunakan dua perangkat gamelan laras slendro dan pelog secara
bergantian dalam satu sajian gending. Sajian semacam ini merupakan bentuk
perkembangan garap musikal yang berpijak dari tafsir laras dan patet. Pemilihan patet
dalam sajian Pangkur wolak walik sangat mempertimbangkan larasan gamelan yang
digunakan, supaya pada saat pergantian dari laras slendro menjadi laras pelog atau
sebaliknya tidak terasa njeglek. (Sugimin, 2013: 101-108).
Gending Pangkur garapan Ki Nartasabda adalah bentuk reinterpretasi yang berpijak
dari balungan gending Ladrang Pangkur. Beliau banyak menggarap Ladrang Pangkur
dengan menonjolkan garap irama dan vokal yang kemudian diberi judul sesuai dengan
tema yang terkandung dalam syair lagu, seperti Pangkur Gala-gala, Pangkur Padhang
Rembulan, Pangkur Sumbangsih, Pangkur Rimong Batik, Pangkur Macan Ucul, dan
sebagainya (A. Sugiarto, 1998 : 137-162).
Kesimpulan
Terdapat opini dalam masyarakat pelaku seni atau seniman bahwa gerongan
gending Pangkur harus menggunakan cakepan sekar pangkur, dan yang menggunakan
9
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
cakepan sekar kinanti adalah sesuatu yang tidak ada dan bahkan dianggap sesuatu yang
salah. Diantara perdebatan para seniman tersebut, dalam perspektif historis telah terjawab
bahwa gerongan gending Pangkur yang menggunakan cakepan sekar kinanti dibenarkan
oleh sejarah dan bahkan keberadaannya sudah ada sejak dulu yaitu pada masa Paku
Buwana IX.
Dengan kajian analisa literatur terkait dengan gending Pangkur dalam perspektif
historis, sebenarnya pendapat para pelaku seni atau seniman terkait dengan garap vocal
macapat, sindenan ataupun gerongan hanya berpijak pada situasi yang terjadi maupun
pada hasil penyajiannya. Kajian analisa tentang gending Pangkur tersebut bukan dilihat
dari aspek sejarah yang telah tertulis melainkan lebih condong kepada informasi verbal
yang ditularkan melalui turun temurun. Hal tersebut membuat seolah-olah gerongan
gending Pangkur yang benar, hanya di gerongi menggunakan cakepan sekar Pangkur.
Secara historis gending Pangkur yang ada, disajikan dengan garap vokal sindenan
tanpa menggunakan vokal gerongan dengan memakai cakepan sekar Macapat Pangkur.
Sajian gending Pangkur tersebut digunakan sebagai sajian untuk kebutuhan
langendriyan, pada perkembangannya dimasa Paku Buwana IX munculah gerongan
gending Pangkur yang mengambil cakepan dari syair bedhaya Ludiramadura dengan
cakepan syair Kinanti. Selanjutnya dalam irama wilet ditambahi ngelik dengan
mengambil ngelik dari ladrang Eling-Eling Kasmaran. Perkembangan selanjutnya
terdapat aneka garapan gending Pangkur yang merupakan karya kreatifitas para pelaku
seni menyesuaikan kebutuhan.
Berbagai ragam garap ladrang Pangkur seperti yang telah dipaparkan tersebut diatas
menunjukkan bahwa sampai tahapan ini gending Pangkur telah mengalami
perkembangan garap vokal dan musikal sesuai dengan dinamika yang berkembang dalam
dunia karawitan. Terkait dengan penyajian gending Pangkur yang hanya sindenan saja,
menggunakan gerongan kinanti, menggunakan gerongan Pangkur ataupun digarap
dengan versi yang lain itu semua disesuaikan dengan kebutuhan dan selera dari pelaku
seninya. Dalam sajian gending Pangkur sudah tidak ada lagi garapan yang salah dan
benar, yang ada hanyalah enak dan tidak enak, harmonis dan tidak, disesuaikan dengan
skill dari pelaku seni itu sendiri atau dengan kata lain menyesuaikan selera. Dengan
munculnya aneka garapan gending Pangkur tersebut, yang akan terjadi keberadaan
gending Pangkur semakin populer di masyarakat khususnya seni karawitan.
10
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022
Daftar Pustaka
Becker, Judith (1987). “Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal
Music”. America, Center for South and Southeast Asian Studies The
University of Michigan.
Kodirun, B.A (1975). “Tuntunan Karawitan Gending Jawi Jilid I”. Surakarta: T.B
Pelajar.
Martapangrawit, R.L (1975). “Pengetahuan Karawitan” Jilid I dan II”. Surakarta: ASKI.
Sugimin (2013). “Aneka Garap Ladrang Pangkur”. Keteg. Vol. 13. No. 1. hlm. 88-122.
11