Anda di halaman 1dari 11

S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya

Maret 2022

GENDING PANGKUR DALAM PERSPEKTIF HISTORY


SEKAR MACAPAT, SINDENAN DAN GERONGAN
Adiyanto
Mahasiswa S-3 Antropologi Budaya
Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Email: yantoadipuji@gmail.com

Sejarah Gending Pangkur


Garap gending dalam sebuah sajian karawitan jawa sangat banyak macamnya,
disesuaikan oleh skill kemampuan, rasa, serta selera dari penyajinya. Salah satu
diantaranya adalah gending pangkur. Menurut R. Ng. Pradjapangrawit atau Warsadinigrat
salah satu empu karawitan kraton di tahun 1920-an dalam bukunya yang berjudul
Wedhapradangga, mengatakan bahwa pencipta gending Pangkur adalah R.M. Harya
Tandhakusuma. Induk dari gending Pangkur sebenarnya adalah sekar Macapat Pangkur
paripurna yang kemudian terjadi pergeseran fungsi dan tujuan yang semula sebagai sekar
waosan kemudian berubah menjadi gending Pangkur laras slendro pathet sanga, yang
dalam penyajiannya menggunakan sarana seperangkat gamelan yang digunakan untuk
gending beksan langendriyan, dalam penyajiannya digarap dengan model sindenan
menggunakan cakepan Pangkur Paripurna dan tidak menggunakan lagu gerongan.
(K.R.T. Warsodiningrat, 1972: 155).
Dalam buku Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal Music
tercatat sebagai berikut:

“Gendhing Pangkur came from Pangkur Paripuma, slendro pathet sanga, a gendhing
langen driya composed by Raden Mas Harya Tandhakusuma with no gerongan but with a
sindhenan whose text was sekar pangkur Paripuma”. (Judith Becker, 1987:155).

Artinya adalah: “gending pangkur diambil dari sekar macapat Pangkur paripurna laras
slendro pathet sanga, gending Pangkur digunakan untuk beksan langendriyan, yang
diciptakan oleh Raden Mas Harya Tandhakusuma, tidak menggunakan lagu gerongan,
tetapi disajikan dengan garap sindenan dengan mengunakan syair lagu sekar macapat
Pangkur Paripurna”.

Sumarsam mengemukakan pendapat dalam bukunya yang berjudul “Gamelan:


Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa”, dikatakan olehnya bahwa
gending pangkur merupakan karya gending dari sekar macapat pangkur paripurna yang
dimulai dari bagian irama ciblon atau wilet terlebih dahulu, sedangkan gending pangkur
pada bagian irama tanggung dan irama dadi diciptakan belakangan. Irama tanggung dan

1
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

irama dadi tersebut merupakan versi ringkasan dari gending pangkur irama ciblon atau
wilet. (Sumarsam, 2003: 283-284).
Dalam buku pengetahuan karawitan jilid I dan II, R.L. Martopangrawit mengatakan
bahwa gending pangkur yang kuno, dulunya tidak mempunyai bagian yang disebut
dengan irama tanggung dan irama dadi. pada perkembangannya gending Pangkur yang
selanjutnya munculah gending Pangkur dengan menggunakan irama tanggung dan irama
dadi. (Martopangrawit, 1975 : 35-36).
Perubahan dari sekar Macapat Pangkur Paripurna ke dalam balungan gending
Pangkur bagian irama ciblon atau wilet, adalah sebagai berikut:
Sekar Macapat Pangkur dan balungan gending Pangkur irama ciblon atau wilet

Perkembanga dari irama ciblon atau wilet gending Pangkur ke dalam bagian irama
tanggung dan dadi, adalah sebagai berikut:

2
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

Kajian gending Pangkur menurut sejarah seperti yang telah tersebut diatas, dapat
dianalisa bahwa keberadaan gending Pangkur tersebut berasal dari sekar Macapat
Pangkur Paripurna, yang disajikan untuk kebutuhan beksan langendriyan. Dengan garap
sajian menggunakan sindenan dengan cakepan sekar macapat Pangkur Paripurna, tanpa
menggunakan lagu gerongan. Dalam penyajian gending Pangkur tersebut, digarap dengan
menggunkan irama ciblon atau wilet, yang pada perkembangannya disusul dengan garap
sajian menggunakan irama tanggung dan irama dadi.
Penyajian gending Pangkur secara tradisional diawali dengan sajian irama tanggung
atau irama dadi kemudian selanjutnya digarap menggunakan irama wilet, selalu diawali
dengan sajian irama dadi. Apabila mengacu pada pendapat tersebut, Ladrang Pangkur
Paripurna diciptakan pertama kali untuk keperluan gending langendriyan yang
mengedepankan garapan bagian irama wilet sebagai sarana untuk dialog, maka Ladrang
Pangkur Paripurna bagian irama tanggung dan dadi, hanya digunakan sebagai rambatan
sebelum menuju pada sajian irama wilet.

Gerongan Gending Pangkur (Cakepan Sekar Kinanthi Dan Sekar Pangkur)


Menurut cerita di lingkungan pengrawit keraton Surakarta, gerongan baru lahir
pada masa pemerintahan Paku Buwana IX (akhir abad XIX), konon pada waktu itu, secara
periodik susuhunan berkenan bersilaturahmi dengan Pangeran Mangkunegara IV di
pasanggrahan Langen Harjo ( kurang lebih sekitar 5 km dari Surakarta kearah selatan).
Selain berbincang-bincang, pada setiap pertemuan tersebut selalu disuguhkan pula acara-
acara kesenian. Pada suatu pertemuan, Paku Buwana IX berkenan menyuguhkan sajian
kesenian baru/ kejutan dengan menampilkan vokal gerong, yaitu sajian vokal bersama
yang dilakukan oleh sekelompok wiraswara/ vokalis pria yang disebut penggerong.
Dalam sajian vokal bersama tersebut dilagukan menggunakan irama metris (mengikuti
matra dari gending). Dari peristiwa tersebut diperkirakan mulai timbulnya gerongan pada
karawitan. (R.L. Martapangrawit, 1988)
Sebelumya di dalam karawitan hanya terdapat istilah sindenan untuk menyebut seni
suara vokal didalam gending. Sindenan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
seni suara vokal baik untuk vokal bersama atau koor (yang pada waktu itu dilakukan oleh
sekelompok pesinden) wanita dan atau pria (seperti sindenan bedaya/ srimpi), maupun
vokal tunggal putri yang dilakukan oleh pesinden/ waranggana atau swarawati dengan

3
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

irama lagu ritmis (tidak terikat oleh matra gending). Sejak dikenalkannya gerong prakarsa
paku Buwana IX tersebut, yang konon disajikan oleh Pangeran Kusumabrata, saat itu
gending yang di sajikan adalah gending Pangkur Paripurna laras slendro patet sanga.
Kemudian barulah muncul pemisahan penggunaan istilah sindenan dengan gerongan.
Sindenan digunakan untuk menyebut vokal putri, baik vokal tunggal maupun vokal
bersama pada sindenan bedaya/ srimpi, sedangkan untuk vokal bersama pria disebut
penggerong. (R.L. Martapangrawit, 1988).
K.R.T Warsodiningrat dalam Wedhapradangga, menyebutkan:
“Sareng jumeneng dalem ingkang Sinuwun Paku Buwana XI kaping sewelas,
sadhatengipun Nipon (Jepang) nguwaosi tanah jawi, sedaya ungel-ungelan utawi
pakecapan ingkang mawi basa landi wau, dhawuh dalem, ingandikakaken anyantuni
cakepanipun gending Ludira piyambak, inggih punika: Mideringrat hangelangut,
sapiturutipun, mijilipun wastra ngangrang tebinging patani, sapiturutipun, dene gendhing
Ludiramadura minggah Kinanthi lajeng Mijil, dalah sakcakepanipun wau yasan dalem
Paku Buwana V”.

“Panembrama gendhing Ludira kasebut nginggil wau, kejawi kagem sisindhen Kinanthi
Sarimpi, dawuh dalem Paku Buwana X, ingandikakaken kangge gerongan gendhing
Pangkur ingkang laras slendro pathet sanga”. (K.R.T. Warsodiningrat, 1979: 90).

Artinya adalah: “bersamaan dengan naiknya tahta kerajaan Paku Buwana XI yang
kesebelas, dengan kedatangan tentara Jepang (Nipon) menguasai tanah Jawa, semua
pembicaraan yang menggunakan bahasa Belanda, raja memerintahkan, untuk memeriksa
syair gending Ludira sendiri, yaitu: Mideringrat hangelangut, dan seterusnya. Mijilnya:
Wastra ngangrang tebinging patani, dan seterusnya, Sedangkan gending Ludiramadura
minggah Kinanthi terus Mijil, beserta syairnya adalah ciptaan Paku Buwana V”.

“penyajian gending Ludira tersebut diatas, selain digunakan suara vokal Kinanti Sarimpi,
perintah Paku Buwana X, mengatakan untuk digunakan dalam gending Pangkur yang
menggunakan laras slendro patet sanga”.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa gending Pangkur laras


slendro patet sanga, memiliki vokal gerongan yang diambilkan dari syair gending
Ludiramadura, karena situasi pada saat itu, Sinuwun Paku Buwana XI memerintahkan
untuk tidak menggunakan bahasa Belanda, sehingga beliau memeriksa sendiri syair yang
digunakan dalam gending Ludira tersebut. Syair lagunya adalah: Mideringrat
hangelangut dan seterusnya, yang merupakan karya dari leluhur beliau yaitu Paku
Buwana V. Penyajian gending Ludiramadura minggah Kinanti lajeng Mijil tersebut,
Sinuwun Paku Buwana X memerintahkan supaya syair vokal pada Kinanti Sarimpi
digunakan dalam gending Pangkur Laras Slendro patet sanga.

4
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

Menurut para empu dikalangan pengrawit sepuh keraton Surakarta, bahwa pada
masa Paku Buwana IX dan Pangeran Mangunegara IV selain untuk Bedaya dan Srimpi
belum ada gending yang mempunyai vokal bersama atau koor, akan tetapi setelah
peristiwa gending Pangkur yang di garap menggunakan vokal bersama atau koor yang
disuarakan oleh vokalis pria (penggerong), lalu timbulah bakat seni Pangeran
Mangkunegara IV yang menumbuhkan inspirasi dan kemudian menyusun sembilan paket
gending berbentuk ketawang yang mengutamakan vokal gerongan sebagai tulang
punggungnya, yaitu: ketawang Langengita, Walagita, Rajaswala, Sitamardawa,
Puspanjala, Tarupala, Puspagiwang, Lebdasari dan Puspawarna. (Haryono, 1994: 44).
Keberadaan ngelik gending Pangkur pada irama ciblon atau wilet, meminjam dari
bagian ngelik ladrang Kasmaran (Eling-Eling). Penambahan bagian ngelik pada ladrang
Pangkur ini dimaksudkan sebagai pelengkap agar sajian gending tidak kemba atau
hambar. Buku “Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal Music”,
tercatat sebagai berikut:
“When Paku Buwana X obtained Gendhing Pangkur, he changed the laras to pelog pathet
barang and added a gerong part. The wilet of the gendhing and the melody and wilet of the
gerong part reflect great feeling and a sense of respect proper to the kraton. To enhance
the beauty and effectiveness of Gendhing Pangkur, a ngelik from Ladrang Kasmaran was
added. Upon approaching the first kenong, the irama changes to rangkep. After the gong,
the irama reverts to its previous state. [These alternations in irama] became standard
[during the reign of Paku Buwana] X, and for that reason Pangkur [played in this style] is
referred to as "the Pangkur of Kaping Sadasa" [that is, of Paku Buwana X]. (Judith Becker,
1987:155).

Artinya adalah: “Ketika Paku Buwana X memperoleh Gendhing Pangkur, ia mengubah


laras menjadi pelog pathet barang dan menambahkan bagian gerong. Wilet dari gendhing
dan melodi, dan wilet dari bagian gerong mencerminkan perasaan yang besar dan rasa
hormat yang tepat untuk keraton. Untuk meningkatkan keindahan dan efektivitas gendhing
Pangkur, ditambahkan sebuah ngelik dari Ladrang Kasmaran. Saat mendekati kenong
pertama, irama berubah menjadi rangkep. Setelah gong, irama kembali ke keadaan
sebelumnya. Pergantian irama ini menjadi standar pada masa pemerintahan Paku Buwana
X, dan oleh karena itu Pangkur yang dimainkan dengan gaya ini, disebut sebagai "Pangkur
Kaping Sadasa" yaitu: Paku Buwana X.

Kutipan pernyataan diatas menunjukan, bahwa bagian ngelik Ladrang Pangkur


tersebut ada sejak zaman Paku Buana X, yang meminjam dari bagian ngelik Ladrang
Kasmaran (Eling-eling). Penambahan bagian ngelik ini dimaksudkan sebagai pelengkap
agar sajian ladrang Pangkur tidak kemba (hambar) karena disajikan dalam bentuk
klenengan, jika disajikan dalam bentuk langendriyan maka tidak akan memerlukan
penambahan ngelik yang digarap rangkep seperti pada Ladrang Kasmaran (Eling-eling),

5
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

karena dalam langendriyan hanya dibutuhkan vokal sindenan atau macapatnya saja. Pada
sajian klenengan, ngelik menjadi ajang garap terutama pada irama rangkep. Maka
semuanya juga akan ikut untuk menggarap rangkep yang umumnya pada garap rangkep
terkesan gayeng, serta prenes. Maka dari itu perlu ditambahkan ngelik dari Ladrang
Kasmaran yang menggunakan garap rangkep agar terkesan lebih sigrak serta tidak kemba
atau hambar.
Peminjaman bagian ngelik yang disebut diatas sepertinya tidak diadopsi secara
utuh, tetapi diambil kenong pertama, kenong ke dua, dan tiga gatra kenongan ke tiga yang
digunakan untuk keperluan bagian ngelik Ladrang Pangkur laras slendro pathet sanga
mempunyai kerangka balungan gending yang berbeda. Namun demikian keduanya masih
mempunyai nada-nada seleh yang sama. (Uni Ambarwati, 2019: 76).

K.R.T Wasitodiningrat dalam bukunya “The Vokal Natation Of K.R.T


Wasitadiningrat Volume I: Slendro”, mendiskripsikan garap gending Pangkur yang
disajikan dengan menggunakan sindenan tanpa menggunakan gerongan, cakepan sekar
Pangkur Paripurna tersebut yaitu: “Jinejer ning wedhatama, Mrih tan kemba
kembenganing pambudi, Mangka nadyan tuwa pikun, Yen tan mikani rasa, Yekti sepi
asepa lir sepah samun, Samangsane pakumpulan, Gonyak-ganyuk nglelingsemi”.
Disajikan pada irama ciblon atau wilet tanpa menggunakan ngelik, dengan garap sindenan
mengunakan irama ritmis atau tidak terikat dengan matra gending. (K.R.T.
wasitodiningrat, 1995: 112-113).
Lagu dan cakepan gerongan gending-gending gaya Surakarta “Dibuang Sayang”
karya R.L. Martopangrawit, mencatatkan gerongan Pangkur Paripurna laras slendro patet
sanga dengan garap irama tanggung menggunakan syair rujak-rujakan, yaitu : Rujak laos
ginodhong lestari atos, Durung jegos anggepe kaya wus bontos, Ala bapak balung sate,
yen wani ijen-ijenan. Irama dadi menggunakan cakepan salisir dan pangkur larasmadya,
syair salisirnya adalah: Parabe sang smara bangun, Sepat domba kali oya, aja dolan lan
wong priya, gerameh nora prasaja, sedangkan syair pangkur laras madyanya yaitu: Sekar
pangkur kang winarna, lelabuhan kang kanggo ing ngaurip, ala lan becik puniku,
prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ingkang tata karma, den
kaesti siyang ratri. Pada irama ciblon atau wilet menggunakan ngelik dan cakepan
gerongan kinanti, syair lagunya adalah: Midering rat hangelangut, Lelana njajah nagari,
Mubeng tepining samudra, Sumengka hanggraning wukir, Anelasak wana wasa,

6
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

Tumuruning jurang terbis, sedangkan untuk ngelik menggunakan syair: Sayekti kalamun
suwung, Tangeh miriba kang warni, Lan sira pepujaning wang, Manawa dhasaring bumi,
Miwah luhuring angkasa,Tuwin jroning jalanidhi.(R.L. Martapangrawit, 1988: 88-90).

Tuntunan Karawitan gending Jawi mendiskripsikan gerongan gending pangkur


pada irama dadi menggunakan cakepan yang diambil dari serat “Pralambangin Rasa
Kenya” karya Mangkunegara IV. Syair cakepan tersebut pada gending pangkur irama
dadi menggunakan salisir, yaitu : Indahe swasana mahya, Sapta wlas agustus warsa, Eka
nawa catur panca, Dorengan wiwit mardika. Irama ciblon atau wilet menggunakan
cakepan kinanti, yaitu: Kinanti pralambangipun, Kenya kang nedeng birahi, Anglir sekar
naga puspa, kang medem mencit neng uwit, Sekare mudra salaga, Kang sari misih
piningit, untuk gerongan pada ngelik, yaitu: Kang ganda mung sumber arum, Tan kongas
sangkaning tebih, Marma sagung kang sadmada, Kang ngruruh maduning sari,
kekilapan kang mangkana, mung marsudi kang kaeksi. (Kodirun, B.A, 1975: 28-31).

K.R.M.T Bodjrodiningrat mengatakan bahwa gerongan gending Pangkur irama


ciblon atau wilet yang pertama ada adalah menggunakan cakepan sekar Kinanti. Adanya
gerongan gending Pangkur menggunakan cakepan sekar Pangkur adalah perkembangan
kemudian. Gending Pangkur pada irama ciblon atau wilet dianggap lebih sigrak,
sedangkan gending Pangkur yang menggunakan cakepan sekar Pangkur dianggap kurang
sigrak dan dianggap sulit untuk para wiraswara yang belum berpengalaman, karena guru
wilangan atau jumlah suku katanya tidak sama. Untuk guru wilangan atau jumlah suku
kata sekar Kinanti : 8, 8, 8, 8, 8, 8. Sedangkan sekar Pangkur : 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8. (R.M.S.
Gitasapraja,1996: 38).
Buku panduan rekaman gendhing mat-matan volume 5-8, mendiskripsikan
gerongan Pangkur pada irama dadi menggunakan cakepan salisir, syairnya yaitu: Parabe
sang smara bangun, Sepat domba kali oya, aja dolan lan wong priya, gerameh nora
prasaja. Sedangkan untuk irama ciblon atau wilet diberikan opsi pilihan antara
menggunakan gerongan cakepan sekar Pangkur dan cakepan sekar Kinanti. Gerongan
yang menggunakan cakepan sekar pangkur, yaitu dengan syair: Sekar pangkur kang
winarna, lelabuhan kang kanggo ing ngaurip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana,
adat waton puniku dipun kadulu, miwah ingkang tata karma, den kaesti siyang ratri,
sedangkan untuk gerongan yang menggunakan cakepan sekar Kinanti, dengan syairnya

7
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

yaitu: Midering rat hangelangut, Lelana njajah nagari, Mubeng tepining samudra,
Sumengka hanggraning wukir, Anelasak wana wasa, Tumuruning jurang terbis.

Berbagai Garap sajian Gending Pangkur


Sebagai karya kreatifitas, gending Pangkur terbuka untuk diinterpretasi
musikalitasnya sesuai dengan citra rasa estetik dari para penggarapnya. Bentuk
interpretasi musikal terhadap sajian Ladrang Pangkur yang berupa: tafsir instrumentasi,
tafsir irama, tafsir dinamik, tafsir laras dan pathêt, tafsir vokal, dan sebagainya
diwujudkan dalam garapan aneka Pangkur yang kemudian diberi sebutan sesuai dengan
unsur garap yang ditonjolkan, seperti: Pangkur Pamijen, Pangkur Jengleng, Pangkur
Gobyog, Pangkur Cengkok Kethoprak, Pangkur Wolak-walik, dan sebagainya.
Pangkur Pamijen adalah ladrang Pangkur yang disajikan secara tradisional dengan
sajian gending, seluruh ricikan atau instrumen dalam sajian ini ikut dimainkan. Namun
demikian, untuk menambah variasi garap dalam sajian tersebut, kadang-kadang diselingi
garapan gendhing dengan hanya menampilkan ricikan tertentu untuk ditonjolkan garap-
nya. Pemilihan garap ricikan yang demikian merupakan bentuk perkembangan garap
musikal yang berpijak dari tafsir instrumentasi. Salah satu sajian gending yang berpijak
dari tafsir instrumentasi tersebut adalah Pangkur Pamijèn.
Garapan Pangkur Jenggleng diduga berasal dari daerah Yogyakarta. Hal ini dapat
dilihat dari lagu vokal yang diambil dari lagu Rambangan Pangkur Paripurna yang
digarap Jenggleng. Selain itu garap Pangkur Jenggleng sangat populer di daerah
Yogyakarta. Ketika almarhum Basiyo (pelawak) masih hidup, ia selalu menyajikan
Pangkur Jenggleng pada setiap acara uyon-uyon manasuka di RRI Yogyakarta.
Penyajiannya diselingi dengan banyolan-banyolan yang segar, sehingga menjadikan
garapan Pangkur Jenggleng banyak disukai oleh para pendengarnya. Cakepan sekar
Pangkur yang selalu disajikan oleh almarhum Basiya dalam garapannya, mengambil dari
Serat Wedhatama pupuh I, yaitu: Uripe sepisan rusak, nora mulur nalare ting seluwir,
kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung
gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki. (Sugimin, 2013: 101).
Pangkur Jenggleng adalah bentuk pengembangan garap musikal ladrang Pangkur
yang berpijak dari tafsir garap intrumentasi yang lain. Pangkur Jenggleng adalah sajian

8
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

Ladrang Pangkur dengan menampilkan ricikan balungan, seperti: demung, saron, dan
slentem sebagai garapan ricikan yang menonjol. Tabuhan ricikan balungan dilakukan
secara bersama-sama dengan intensitas tabuhan yang keras dan digunakan sebagai
penguatan rasa seleh pada nada-nada seleh lagu vokal. Suara gleng yang ditimbulkan dari
tabuhan ricikan balungan pada sajian ladrang Pangkur inilah yang kemudian dikenal
dengan istilah Pangkur Jenggleng.
Pangkur Cengkok Kethoprak biasanya digunakan pada penyajian ketoprak,
sehingga disebut cengkok ketoprakan.Penyajian gendingnya hanya menampilkan satu
macam garapan irama, yaitu irama rangkep dengan menggunakan pola kendhang ciblon.
Dengan sajian semacam ini, maka Pangkur Cengkok Kethoprak merupakan bagian
Ladrang Pangkur yang disajikan secara mandiri, yakni bukan merupakan rangkaian sajian
Ladrang Pangkur secara keseluruhan. Pemilihan satu macam garapan irama semacam ini
merupakan bentuk interpretasi musikal yang berpijak dari tafsir irama. Penyajian pada
umumnya selalu memunculkan senggakan untuk membangun suasana kasmaran.
Pangkur Wolak-walik adalah garap ladrang Pangkur yang disajikan dalam laras
slendro maupun pelog, pada umumnya disajikan dalam irama wiled dan rangkep dan
disajikan dengan menggunakan dua perangkat gamelan laras slendro dan pelog secara
bergantian dalam satu sajian gending. Sajian semacam ini merupakan bentuk
perkembangan garap musikal yang berpijak dari tafsir laras dan patet. Pemilihan patet
dalam sajian Pangkur wolak walik sangat mempertimbangkan larasan gamelan yang
digunakan, supaya pada saat pergantian dari laras slendro menjadi laras pelog atau
sebaliknya tidak terasa njeglek. (Sugimin, 2013: 101-108).
Gending Pangkur garapan Ki Nartasabda adalah bentuk reinterpretasi yang berpijak
dari balungan gending Ladrang Pangkur. Beliau banyak menggarap Ladrang Pangkur
dengan menonjolkan garap irama dan vokal yang kemudian diberi judul sesuai dengan
tema yang terkandung dalam syair lagu, seperti Pangkur Gala-gala, Pangkur Padhang
Rembulan, Pangkur Sumbangsih, Pangkur Rimong Batik, Pangkur Macan Ucul, dan
sebagainya (A. Sugiarto, 1998 : 137-162).

Kesimpulan
Terdapat opini dalam masyarakat pelaku seni atau seniman bahwa gerongan
gending Pangkur harus menggunakan cakepan sekar pangkur, dan yang menggunakan

9
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

cakepan sekar kinanti adalah sesuatu yang tidak ada dan bahkan dianggap sesuatu yang
salah. Diantara perdebatan para seniman tersebut, dalam perspektif historis telah terjawab
bahwa gerongan gending Pangkur yang menggunakan cakepan sekar kinanti dibenarkan
oleh sejarah dan bahkan keberadaannya sudah ada sejak dulu yaitu pada masa Paku
Buwana IX.
Dengan kajian analisa literatur terkait dengan gending Pangkur dalam perspektif
historis, sebenarnya pendapat para pelaku seni atau seniman terkait dengan garap vocal
macapat, sindenan ataupun gerongan hanya berpijak pada situasi yang terjadi maupun
pada hasil penyajiannya. Kajian analisa tentang gending Pangkur tersebut bukan dilihat
dari aspek sejarah yang telah tertulis melainkan lebih condong kepada informasi verbal
yang ditularkan melalui turun temurun. Hal tersebut membuat seolah-olah gerongan
gending Pangkur yang benar, hanya di gerongi menggunakan cakepan sekar Pangkur.
Secara historis gending Pangkur yang ada, disajikan dengan garap vokal sindenan
tanpa menggunakan vokal gerongan dengan memakai cakepan sekar Macapat Pangkur.
Sajian gending Pangkur tersebut digunakan sebagai sajian untuk kebutuhan
langendriyan, pada perkembangannya dimasa Paku Buwana IX munculah gerongan
gending Pangkur yang mengambil cakepan dari syair bedhaya Ludiramadura dengan
cakepan syair Kinanti. Selanjutnya dalam irama wilet ditambahi ngelik dengan
mengambil ngelik dari ladrang Eling-Eling Kasmaran. Perkembangan selanjutnya
terdapat aneka garapan gending Pangkur yang merupakan karya kreatifitas para pelaku
seni menyesuaikan kebutuhan.
Berbagai ragam garap ladrang Pangkur seperti yang telah dipaparkan tersebut diatas
menunjukkan bahwa sampai tahapan ini gending Pangkur telah mengalami
perkembangan garap vokal dan musikal sesuai dengan dinamika yang berkembang dalam
dunia karawitan. Terkait dengan penyajian gending Pangkur yang hanya sindenan saja,
menggunakan gerongan kinanti, menggunakan gerongan Pangkur ataupun digarap
dengan versi yang lain itu semua disesuaikan dengan kebutuhan dan selera dari pelaku
seninya. Dalam sajian gending Pangkur sudah tidak ada lagi garapan yang salah dan
benar, yang ada hanyalah enak dan tidak enak, harmonis dan tidak, disesuaikan dengan
skill dari pelaku seni itu sendiri atau dengan kata lain menyesuaikan selera. Dengan
munculnya aneka garapan gending Pangkur tersebut, yang akan terjadi keberadaan
gending Pangkur semakin populer di masyarakat khususnya seni karawitan.

10
S-3 Antropologi Budaya, Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Maret 2022

Daftar Pustaka

Ambarwati U, Suyoto (2019). “Ngelik Silihan Dalam Karawitan Gaya Surakarta”.


Keteg. Vol. 19. No. 2. hlm. 67-84.

Becker, Judith (1987). “Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal
Music”. America, Center for South and Southeast Asian Studies The
University of Michigan.

Gitosaprojo, R. M. S (1996). “Buku Panduan Rekaman Gendhing Mat-Matan Volume 5


- 8”. Surakarta: Hadiwijaya.

(1992). “Titi Laras Gendhing Jilid I”. Surakarta: Hadiwijaya.

Haryono (1994). “Gending Ketawang Puspawarna Awal Jadi Dan Perkembangannya”.


Yogyakarta. Lembaga Penelitian Institut Seni Yogyakarta.

Kodirun, B.A (1975). “Tuntunan Karawitan Gending Jawi Jilid I”. Surakarta: T.B
Pelajar.

Martapangrawit, R.L (1975). “Pengetahuan Karawitan” Jilid I dan II”. Surakarta: ASKI.

_____________(1988). “Dibuang Sayang”. Surakarta: Seti-Aji. ASKI.

Sugiarto, A (1998). “Kumpulan Gending-gending Karya Ki Nartosabdo”. Semarang :


Pemda Tingkat I Jawa Tengah.

Sugimin (2013). “Aneka Garap Ladrang Pangkur”. Keteg. Vol. 13. No. 1. hlm. 88-122.

Sumarsam (2003). “Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal”.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar offset.

Warsodiningrat, K.R.T (1979). “Wedhapradangga”. Surakarta: Sekolah Menengah


Kesenian Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai