Anda di halaman 1dari 11

Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

SARASEHAN MACAPAT DI SIDOARJO


SENIN 15 MEI 2023

‘GENDING PANGKUR DALAM PERSPEKTIF HISTORY


SEKAR MACAPAT, SINDENAN DAN GERONGAN’
Adiyanto
Pamong Budaya Ahli Muda
Disbudpar Prov. Jatim

Sejarah Gending Pangkur


Garap gending dalam sebuah sajian karawitan jawa sangat banyak macamnya,
disesuaikan oleh skill kemampuan, rasa, serta selera dari penyajinya.Salah satu
diantaranya adalah gending pangkur. Menurut R. Ng. Pradjapangrawit atau
Warsadinigrat salah satu empu karawitan kraton di tahun 1920-an dalam bukunya yang
berjudul Wedhapradangga, mengatakan bahwa pencipta gending Pangkur adalah
R.M.HaryaTandhakusuma. Induk dari gending Pangkur sebenarnya adalah sekar
Macapat Pangkur paripurna yang kemudian terjadi pergeseran fungsi dan tujuan yang
semula sebagai sekar waosan kemudian berubah menjadi gending Pangkur laras slendro
pathet sanga, yang dalam penyajiannya menggunakan sarana seperangkat gamelan yang
digunakan untuk gending beksan langendriyan, dalam penyajiannya digarap dengan
model sindenan menggunakan cakepan Pangkur Paripurna dan tidak menggunakan lagu
gerongan. (K.R.T. Warsodiningrat, 1972: 155).
Dalam buku Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal
Musictercatat sebagai berikut:

“Gendhing Pangkur came fromPangkurParipuma, slendro pathet sanga, a gendhing


langen driya composed by Raden Mas Harya Tandhakusuma with no gerongan but with a
sindhenan whose text was sekar pangkur Paripuma”.(Judith Becker, 1987:155).

Artinya adalah: “gending pangkur diambil dari sekar macapat Pangkur paripurna laras
slendro pathet sanga, gending Pangkur digunakan untuk beksan langendriyan, yang
diciptakan oleh Raden Mas Harya Tandhakusuma, tidak menggunakan lagu gerongan,
tetapi disajikan dengan garap sindenan dengan mengunakan syair lagu sekar macapat
Pangkur Paripurna”.

Sumarsam mengemukakan pendapat dalam bukunya yang berjudul “Gamelan:


Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa”, dikatakan olehnya bahwa
gending pangkur merupakan karya gending dari sekar macapat pangkur paripurna yang

1
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

dimulai dari bagian irama ciblon atau wilet terlebih dahulu, sedangkan gending pangkur
pada bagian irama tanggung dan irama dadi diciptakan belakangan. Irama tanggung dan
irama dadi tersebut merupakan versi ringkasan dari gending pangkur irama ciblon atau
wilet. (Sumarsam, 2003: 283-284).
Dalam buku pengetahuan karawitan jilid I dan II, R.L. Martopangrawit
mengatakan bahwa gending pangkur yang kuno, dulunya tidak mempunyai bagian yang
disebut dengan irama tanggung dan irama dadi. pada perkembangannya gending
Pangkur yang selanjutnya munculah gending Pangkur dengan menggunakan irama
tanggung dan irama dadi.(Martopangrawit, 1975 : 35-36).
Perubahan dari sekar Macapat Pangkur Paripurna ke dalam balungan gending
Pangkur bagian irama ciblon atau wilet, adalah sebagai berikut:
Sekar Macapat Pangkur dan balungan gending Pangkur irama ciblon atau wilet

Perkembanga dari irama ciblon atau wilet gending Pangkur ke dalam bagian irama
tanggung dan dadi, adalah sebagai berikut:

2
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

Kajian gending Pangkur menurut sejarah seperti yang telah tersebut diatas, dapat
dianalisa bahwa keberadaan gending Pangkur tersebut berasal dari sekar Macapat
Pangkur Paripurna, yang disajikan untuk kebutuhan beksan langendriyan. Dengan garap
sajian menggunakan sindenan dengan cakepan sekar macapat Pangkur Paripurna, tanpa
menggunakan lagu gerongan. Dalam penyajian gending Pangkur tersebut, digarap
dengan menggunkan irama ciblon atau wilet, yang pada perkembangannya disusul
dengan garap sajian menggunakan irama tanggung dan irama dadi.
Penyajian gending Pangkur secara tradisionaldiawalidengan sajian irama
tanggung atau irama dadi kemudian selanjutnya digarap menggunakan irama wilet,
selalu diawalidengan sajian irama dadi. Apabila mengacupada pendapat tersebut,
Ladrang Pangkur Paripurna diciptakan pertama kali untuk keperluangending
langendriyan yang mengedepankan garapan bagian irama wilet sebagai saranauntuk
dialog, maka Ladrang Pangkur Paripurna bagian irama tanggung dan dadi, hanya
digunakan sebagai rambatan sebelum menuju pada sajian irama wilet.

Gerongan Gending Pangkur (Cakepan Sekar Kinanthi Dan Sekar Pangkur)


Menurut cerita di lingkungan pengrawit keraton Surakarta, gerongan baru lahir
pada masa pemerintahan Paku Buwana IX (akhir abad XIX), konon pada waktu itu,
secara periodik susuhunan berkenan bersilaturahmi dengan Pangeran Mangkunegara IV
di pasanggrahan Langen Harjo ( kurang lebih sekitar 5 km dari Surakarta kearah
selatan). Selain berbincang-bincang, pada setiap pertemuan tersebut selalu disuguhkan
pula acara-acara kesenian. Pada suatu pertemuan, Paku Buwana IX berkenan
menyuguhkan sajian kesenian baru/ kejutan dengan menampilkan vokal gerong, yaitu
sajian vokal bersama yang dilakukan oleh sekelompok wiraswara/ vokalis pria yang
disebut penggerong. Dalam sajian vokal bersama tersebut dilagukan menggunakan
irama metris (mengikuti matra dari gending). Dari peristiwa tersebut diperkirakan mulai
timbulnya gerongan pada karawitan. (R.L. Martapangrawit, 1988)
Sebelumya di dalam karawitan hanya terdapat istilah sindenan untuk menyebut
seni suara vokal didalam gending. Sindenan adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut seni suara vokal baik untuk vokal bersama atau koor (yang pada waktu itu

3
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

dilakukan oleh sekelompok pesinden) wanita dan atau pria (seperti sindenan bedaya/
srimpi), maupun vokal tunggal putri yang dilakukan oleh pesinden/ waranggana atau
swarawati dengan irama lagu ritmis (tidak terikat oleh matra gending). Sejak
dikenalkannya gerong prakarsa paku Buwana IX tersebut, yang konon disajikan oleh
Pangeran Kusumabrata, saat itu gending yang di sajikan adalah gending Pangkur
Paripurna laras slendro patet sanga. Kemudian barulah muncul pemisahan penggunaan
istilah sindenan dengan gerongan. Sindenan digunakan untuk menyebut vokal putri,
baik vokal tunggal maupun vokal bersama pada sindenan bedaya/ srimpi, sedangkan
untuk vokal bersama pria disebut penggerong.(R.L. Martapangrawit, 1988).
K.R.T Warsodiningrat dalam Wedhapradangga, menyebutkan:
“Sareng jumeneng dalem ingkang Sinuwun Paku Buwana XI kaping sewelas,
sadhatengipun Nipon (Jepang) nguwaosi tanah jawi, sedaya ungel-ungelan utawi
pakecapan ingkang mawi basa landi wau, dhawuh dalem, ingandikakaken anyantuni
cakepanipun gending Ludira piyambak, inggih punika: Mideringrat hangelangut,
sapiturutipun, mijilipun wastra ngangrang tebinging patani, sapiturutipun, dene
gendhing Ludiramadura minggah Kinanthi lajeng Mijil, dalah sakcakepanipun wau
yasan dalem Paku Buwana V”.

“Panembrama gendhing Ludira kasebut nginggil wau, kejawi kagem sisindhen Kinanthi
Sarimpi, dawuh dalem Paku Buwana X, ingandikakaken kangge gerongan gendhing
Pangkur ingkang laras slendro pathet sanga”.(K.R.T. Warsodiningrat, 1979: 90).

Artinya adalah: “bersamaan dengan naiknya tahta kerajaan Paku Buwana XI yang
kesebelas, dengan kedatangan tentara Jepang (Nipon) menguasai tanah Jawa, semua
pembicaraan yang menggunakan bahasa Belanda, raja memerintahkan, untuk memeriksa
syair gending Ludira sendiri, yaitu: Mideringrat hangelangut, dan seterusnya. Mijilnya:
Wastra ngangrang tebinging patani, dan seterusnya, Sedangkan gending Ludiramadura
minggah Kinanthi terus Mijil, beserta syairnya adalah ciptaan Paku Buwana V”.

“penyajian gending Ludira tersebut diatas, selain digunakan suara vokal Kinanti Sarimpi,
perintah Paku Buwana X, mengatakan untuk digunakan dalam gending Pangkur yang
menggunakan laras slendro patet sanga”.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa gending Pangkur laras


slendro patet sanga, memiliki vokal gerongan yang diambilkan dari syair gending
Ludiramadura, karena situasi pada saat itu, Sinuwun Paku Buwana XI memerintahkan
untuk tidak menggunakan bahasa Belanda, sehingga beliau memeriksa sendiri syair
yang digunakan dalam gending Ludira tersebut. Syair lagunya adalah: Mideringrat
hangelangut dan seterusnya, yang merupakan karya dari leluhur beliau yaitu Paku
Buwana V.Penyajian gending Ludiramadura minggah Kinanti lajeng Mijil tersebut,

4
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

Sinuwun Paku Buwana X memerintahkan supaya syair vokal pada Kinanti Sarimpi
digunakan dalam gending Pangkur Laras Slendro patet sanga.
Menurut para empu dikalangan pengrawit sepuh keraton Surakarta, bahwa pada
masa Paku Buwana IX dan Pangeran Mangunegara IV selain untuk Bedaya dan Srimpi
belum ada gending yang mempunyai vokal bersama atau koor, akan tetapi setelah
peristiwa gending Pangkur yang di garap menggunakan vokal bersama atau koor yang
disuarakan oleh vokalis pria (penggerong), lalu timbulah bakat seni Pangeran
Mangkunegara IV yang menumbuhkan inspirasi dan kemudian menyusun sembilan
paket gending berbentuk ketawang yang mengutamakan vokal gerongan sebagai tulang
punggungnya, yaitu: ketawang Langengita, Walagita, Rajaswala, Sitamardawa,
Puspanjala, Tarupala, Puspagiwang, Lebdasari dan Puspawarna. (Haryono, 1994: 44).
Keberadaan ngelik gending Pangkur pada irama ciblon atau wilet, meminjam dari
bagian ngelik ladrang Kasmaran (Eling-Eling). Penambahan bagian ngelik pada ladrang
Pangkur ini dimaksudkan sebagai pelengkap agar sajian gending tidak kemba atau
hambar. Buku “Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal Music”,
tercatat sebagai berikut:
“When Paku Buwana X obtained Gendhing Pangkur, he changed the laras to pelog
pathet barang and added a gerong part. The wilet of the gendhing and the melody and
wilet of the gerong part reflect great feeling and a sense of respect proper to the kraton.
To enhance the beauty and effectiveness of Gendhing Pangkur, angelik from Ladrang
Kasmaran was added. Upon approaching the first kenong, the irama changes to rangkep.
After the gong, the irama reverts to its previous state. [These alternations in irama]
became standard [during the reign of Paku Buwana] X, and for that reason Pangkur
[played in this style] is referred to as "the Pangkur of Kaping Sadasa" [that is, of Paku
Buwana X].(Judith Becker, 1987:155).

Artinya adalah: “Ketika Paku Buwana X memperoleh Gendhing Pangkur, ia mengubah


laras menjadi pelog pathet barang dan menambahkan bagian gerong. Wilet dari gendhing
dan melodi, dan wilet dari bagian gerong mencerminkan perasaan yang besar dan rasa
hormat yang tepat untuk keraton. Untuk meningkatkan keindahan dan efektivitas
gendhing Pangkur, ditambahkan sebuah ngelik dari Ladrang Kasmaran. Saat mendekati
kenong pertama, irama berubah menjadi rangkep. Setelah gong, irama kembali ke
keadaan sebelumnya. Pergantian irama ini menjadi standar pada masa pemerintahan Paku
BuwanaX, dan oleh karena itu Pangkur yang dimainkan dengan gaya ini, disebut sebagai
"Pangkur Kaping Sadasa" yaitu: Paku Buwana X.

Kutipan pernyataan diatas menunjukan, bahwa bagian ngelik Ladrang Pangkur


tersebut ada sejak zaman Paku Buana X, yang meminjamdari bagian ngelik Ladrang
Kasmaran (Eling-eling). Penambahan bagian ngelik ini dimaksudkan sebagai pelengkap
agar sajian ladrang Pangkur tidak kemba (hambar) karena disajikan dalam bentuk

5
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

klenengan, jika disajikan dalam bentuk langendriyan makatidak akan memerlukan


penambahan ngelikyang digarap rangkep seperti pada LadrangKasmaran (Eling-
eling),karena dalamlangendriyan hanya dibutuhkan vokal sindenan atau macapatnya
saja. Pada sajian klenengan, ngelik menjadi ajang garap terutama pada irama rangkep.
Maka semuanya juga akan ikut untukmenggarap rangkep yang umumnya pada garap
rangkep terkesan gayeng, serta prenes. Maka dari itu perlu ditambahkan ngelik
dariLadrang Kasmaran yang menggunakan garaprangkep agar terkesan lebih sigrak
serta tidak kemba atau hambar.
Peminjaman bagian ngelik yang disebut diatas sepertinya tidak diadopsi secara
utuh, tetapi diambil kenong pertama, kenong ke dua, dan tiga gatra kenongan ke tiga
yang digunakan untuk keperluan bagian ngelikLadrang Pangkur laras slendro pathet
sanga mempunyai kerangka balungan gending yang berbeda. Namun demikian
keduanya masih mempunyai nada-nada seleh yang sama. (Uni Ambarwati, 2019: 76).

K.R.T Wasitodiningrat dalam bukunya “The Vokal Natation Of K.R.T


Wasitadiningrat Volume I: Slendro”, mendiskripsikan garap gending Pangkur yang
disajikan dengan menggunakan sindenan tanpa menggunakan gerongan, cakepan sekar
Pangkur Paripurna tersebut yaitu: “Jinejer ning wedhatama, Mrih tan kemba
kembenganingpambudi, Mangka nadyan tuwa pikun, Yen tan mikani rasa, Yekti sepi
asepa lir sepah samun, Samangsane pakumpulan, Gonyak-ganyuk nglelingsemi”.
Disajikan padairama ciblon atau wilet tanpa menggunakan ngelik, dengan garap
sindenan mengunakan irama ritmis atau tidak terikat dengan matra gending. (K.R.T.
wasitodiningrat, 1995: 112-113).
Lagu dan cakepan gerongan gending-gending gaya Surakarta “Dibuang Sayang”
karya R.L. Martopangrawit, mencatatkan gerongan Pangkur Paripurna laras slendro
patet sanga dengan garap irama tanggung menggunakan syair rujak-rujakan, yaitu
:Rujak laos ginodhong lestari atos, Durung jegos anggepe kaya wus bontos, Ala bapak
balung sate, yen wani ijen-ijenan. Irama dadi menggunakan cakepan salisir dan pangkur
larasmadya, syair salisirnya adalah: Parabe sang smara bangun, Sepat domba kali oya,
aja dolan lan wong priya, gerameh nora prasaja, sedangkan syair pangkur laras
madyanya yaitu: Sekar pangkur kang winarna, lelabuhan kang kanggo ing ngaurip, ala
lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ingkang
tata karma, den kaesti siyang ratri. Pada irama ciblon atau wilet menggunakan ngelik
6
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

dan cakepan gerongan kinanti, syair lagunya adalah: Midering rat hangelangut, Lelana
njajah nagari, Mubeng tepining samudra, Sumengka hanggraning wukir, Anelasak
wana wasa, Tumuruning jurang terbis, sedangkan untuk ngelik menggunakan syair:
Sayekti kalamun suwung, Tangeh miriba kang warni, Lan sira pepujaning wang,
Manawa dhasaring bumi, Miwah luhuring angkasa,Tuwin jroning jalanidhi.(R.L.
Martapangrawit, 1988: 88-90).

Tuntunan Karawitan gending Jawi mendiskripsikan gerongan gending pangkur


pada irama dadi menggunakan cakepan yang diambil dari serat “Pralambangin Rasa
Kenya” karya Mangkunegara IV. Syair cakepan tersebut pada gending pangkur irama
dadi menggunakan salisir, yaitu :Indahe swasana mahya, Sapta wlas agustus warsa,
Eka nawa catur panca, Dorengan wiwit mardika. Irama ciblon atau wilet menggunakan
cakepan kinanti, yaitu: Kinanti pralambangipun, Kenya kang nedeng birahi,Anglir
sekar naga puspa, kang medem mencit neng uwit,Sekare mudra salaga, Kang sari misih
piningit, untuk gerongan pada ngelik, yaitu: Kang ganda mung sumber arum, Tan
kongas sangkaning tebih, Marma sagung kang sadmada, Kang ngruruh maduning sari,
kekilapan kang mangkana, mung marsudi kang kaeksi. (Kodirun, B.A, 1975: 28-31).

K.R.M.T Bodjrodiningrat mengatakan bahwa gerongan gending Pangkur irama


ciblon atau wilet yang pertama ada adalah menggunakan cakepan sekar Kinanti. Adanya
gerongan gending Pangkur menggunakan cakepan sekar Pangkur adalah perkembangan
kemudian. Gending Pangkur pada irama ciblon atau wilet dianggap lebih sigrak,
sedangkan gending Pangkur yang menggunakan cakepan sekar Pangkur dianggap
kurang sigrak dan dianggap sulit untuk para wiraswara yang belum berpengalaman,
karena guru wilangan atau jumlah suku katanya tidak sama. Untuk guru wilangan atau
jumlah suku kata sekar Kinanti : 8, 8, 8, 8, 8, 8. Sedangkan sekar Pangkur : 8, 11, 8, 7,
12, 8, 8. (R.M.S. Gitasapraja,1996: 38).
Buku panduan rekaman gendhing mat-matan volume 5-8, mendiskripsikan
gerongan Pangkur pada irama dadi menggunakan cakepan salisir, syairnya yaitu:
Parabe sang smara bangun, Sepat domba kali oya, aja dolan lan wong priya, gerameh
nora prasaja. Sedangkan untuk irama ciblon atau wilet diberikan opsi pilihan antara
menggunakan gerongan cakepan sekar Pangkur dan cakepan sekar Kinanti. Gerongan
yang menggunakan cakepan sekar pangkur, yaitu dengan syair: Sekar pangkur kang

7
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

winarna, lelabuhan kang kanggo ing ngaurip, ala lan becik puniku, prayoga
kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ingkang tata karma, den kaesti
siyang ratri, sedangkan untuk gerongan yang menggunakan cakepan sekar Kinanti,
dengan syairnya yaitu: Midering rat hangelangut, Lelana njajah nagari, Mubeng
tepining samudra, Sumengka hanggraning wukir, Anelasak wana wasa, Tumuruning
jurang terbis.

Berbagai Garap sajian Gending Pangkur


Sebagai karya kreatifitas, gending Pangkur terbuka untuk diinterpretasi
musikalitasnya sesuai dengan citra rasa estetik dari para penggarapnya. Bentuk
interpretasi musikal terhadap sajian Ladrang Pangkur yang berupa: tafsir instrumentasi,
tafsir irama, tafsir dinamik, tafsir laras dan pathêt, tafsir vokal, dan sebagainya
diwujudkan dalam garapan aneka Pangkur yang kemudian diberi sebutan sesuai dengan
unsur garap yang ditonjolkan, seperti: Pangkur Pamijen, Pangkur Jengleng, Pangkur
Gobyog, PangkurCengkok Kethoprak, Pangkur Wolak-walik, dan sebagainya.
Pangkur Pamijenadalah ladrang Pangkur yang disajikan secara tradisional dengan
sajian gending, seluruh ricikanatau instrumen dalam sajian ini ikut dimainkan. Namun
demikian, untuk menambah variasi garap dalam sajian tersebut, kadang-kadang
diselingi garapan gendhingdengan hanya menampilkan ricikan tertentu untuk
ditonjolkan garap-nya. Pemilihan garap ricikan yang demikian merupakan bentuk
perkembangan garap musikal yang berpijak dari tafsir instrumentasi. Salah satu sajian
gending yang berpijak dari tafsir instrumentasi tersebut adalah Pangkur Pamijèn.
Garapan Pangkur Jenggleng diduga berasal dari daerah Yogyakarta.Hal ini dapat
dilihat dari lagu vokal yang diambil dari lagu Rambangan PangkurParipurna yang
digarap Jenggleng. Selain itu garap PangkurJenggleng sangat populer di daerah
Yogyakarta. Ketika almarhum Basiyo (pelawak) masih hidup, ia selalu menyajikan
Pangkur Jenggleng pada setiap acara uyon-uyon manasuka di RRI Yogyakarta.
Penyajiannya diselingi dengan banyolan-banyolan yang segar, sehingga menjadikan
garapan PangkurJenggleng banyak disukai oleh para pendengarnya. Cakepan sekar
Pangkur yang selalu disajikan oleh almarhum Basiya dalam garapannya, mengambil
dari Serat Wedhatama pupuh I, yaitu: Uripe sepisan rusak, nora mulur nalare ting

8
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

seluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng
anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki. (Sugimin,
2013: 101).
Pangkur Jengglengadalah bentuk pengembangan garap musikal ladrang Pangkur
yang berpijakdari tafsir garap intrumentasi yang lain. Pangkur Jenggleng adalah sajian
Ladrang Pangkur dengan menampilkan ricikan balungan, seperti: demung, saron, dan
slentem sebagai garapan ricikan yangmenonjol. Tabuhan ricikan balungan dilakukan
secara bersama-sama denganintensitas tabuhan yang keras dan digunakan sebagai
penguatan rasa seleh pada nada-nada seleh lagu vokal. Suara gleng yang ditimbulkan
dari tabuhanricikan balungan pada sajian ladrang Pangkur inilah yang kemudian
dikenaldengan istilah Pangkur Jenggleng.
Pangkur Cengkok Kethoprak biasanya digunakan pada penyajian ketoprak,
sehingga disebut cengkok ketoprakan.Penyajian gendingnya hanya menampilkan satu
macam garapan irama, yaitu irama rangkep dengan menggunakan pola kendhang ciblon.
Dengan sajian semacam ini, maka Pangkur Cengkok Kethoprak merupakan bagian
Ladrang Pangkur yang disajikan secara mandiri, yakni bukan merupakan rangkaian
sajian LadrangPangkur secara keseluruhan. Pemilihan satu macam garapan irama
semacamini merupakan bentuk interpretasi musikal yang berpijak dari tafsir irama.
Penyajian pada umumnya selalu memunculkan senggakanuntuk membangun suasana
kasmaran.
Pangkur Wolak-walik adalah garap ladrang Pangkur yang disajikan dalam
larasslendro maupun pelog, pada umumnya disajikan dalam irama wiled danrangkep
dan disajikan dengan menggunakan dua perangkat gamelan larasslendro dan pelog
secara bergantian dalam satu sajian gending. Sajiansemacam ini merupakan bentuk
perkembangan garap musikal yang berpijakdari tafsir larasdan patet.Pemilihan patet
dalam sajian Pangkur wolak waliksangat mempertimbangkan larasan gamelan yang
digunakan,supaya pada saat pergantian dari laras slendro menjadi laraspelog atau
sebaliknya tidak terasa njeglek. (Sugimin, 2013: 101-108).
Gending Pangkur garapan Ki Nartasabda adalah bentuk reinterpretasi yang
berpijak dari balungan gending Ladrang Pangkur. Beliau banyak menggarap Ladrang
Pangkur dengan menonjolkan garap irama dan vokal yang kemudian diberi judul sesuai
dengan tema yang terkandung dalam syair lagu, seperti Pangkur Gala-gala, Pangkur

9
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

Padhang Rembulan, PangkurSumbangsih, Pangkur Rimong Batik, Pangkur Macan


Ucul, dan sebagainya(A. Sugiarto, 1998 : 137-162).

Kesimpulan
Terdapat opini dalam masyarakat pelaku seni atau seniman bahwa gerongan
gending Pangkur harus menggunakan cakepan sekar pangkur, dan yang menggunakan
cakepan sekar kinanti adalah sesuatu yang tidak ada dan bahkan dianggap sesuatu yang
salah. Diantara perdebatan para seniman tersebut, dalam perspektif historis telah
terjawab bahwa gerongan gending Pangkur yang menggunakan cakepan sekar kinanti
dibenarkan oleh sejarah dan bahkan keberadaannya sudah ada sejak dulu yaitu pada
masa Paku Buwana IX.
Dengan kajian analisa literatur terkait dengan gending Pangkur dalam perspektif
historis,sebenarnya pendapat para pelaku seni atau seniman terkait dengan garap vocal
macapat, sindenan ataupun geronganhanya berpijak pada situasi yang terjadi maupun
pada hasil penyajiannya. Kajian analisa tentang gending Pangkur tersebut bukan dilihat
dari aspek sejarah yang telah tertulis melainkan lebih condong kepada informasi verbal
yang ditularkan melalui turun temurun. Hal tersebut membuat seolah-olah gerongan
gending Pangkur yang benar, hanya di gerongi menggunakan cakepan sekar Pangkur.
Secara historis gending Pangkur yang ada, disajikan dengan garap vokal sindenan
tanpa menggunakan vokal gerongan dengan memakai cakepan sekar Macapat
Pangkur.Sajian gending Pangkur tersebut digunakan sebagai sajian untuk kebutuhan
langendriyan, pada perkembangannya dimasa Paku Buwana IX munculah gerongan
gending Pangkur yang mengambil cakepan dari syair bedhaya Ludiramadura dengan
cakepan syair Kinanti.Selanjutnya dalam irama wilet ditambahi ngelik dengan
mengambil ngelik dari ladrang Eling-Eling Kasmaran. Perkembangan selanjutnya
terdapat aneka garapan gending Pangkur yang merupakan karya kreatifitas para pelaku
seni menyesuaikan kebutuhan.
Berbagai ragam garap ladrang Pangkur seperti yang telah dipaparkan tersebut
diatas menunjukkan bahwa sampai tahapan ini gending Pangkur telah mengalami
perkembangan garapvokal danmusikal sesuai dengan dinamika yang berkembang dalam
duniakarawitan. Terkait dengan penyajian gending Pangkur yang hanya sindenan saja,
menggunakan gerongan kinanti, menggunakan gerongan Pangkur ataupun digarap

10
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

dengan versi yang lain itu semua disesuaikan dengan kebutuhan dan selera dari pelaku
seninya. Dalam sajian gending Pangkur sudah tidak ada lagi garapan yang salah dan
benar, yang ada hanyalah enak dan tidak enak, harmonis dan tidak, disesuaikan dengan
skill dari pelaku seni itu sendiri atau dengan kata lain menyesuaikan selera. Dengan
munculnya aneka garapan gending Pangkurtersebut, yang akan terjadi keberadaan
gending Pangkur semakin populer di masyarakat khususnya seni karawitan.
Daftar Pustaka

Ambarwati U, Suyoto (2019). “Ngelik Silihan Dalam Karawitan Gaya Surakarta”.


Keteg. Vol. 19. No. 2. hlm. 67-84.

Becker, Judith (1987). “Karawitan Source Readings In Javanese Gamelan And Vocal
Music”.America, Center for South and Southeast Asian Studies The
University of Michigan.

Gitosaprojo, R. M. S (1996). “Buku Panduan Rekaman Gendhing Mat-Matan Volume 5


- 8”. Surakarta: Hadiwijaya.

(1992). “Titi Laras Gendhing Jilid I”. Surakarta: Hadiwijaya.

Haryono (1994). “Gending Ketawang Puspawarna Awal Jadi Dan Perkembangannya”.


Yogyakarta. Lembaga Penelitian Institut Seni Yogyakarta.

Kodirun, B.A (1975). “Tuntunan Karawitan Gending Jawi Jilid I”. Surakarta: T.B
Pelajar.

Martapangrawit, R.L (1975). “Pengetahuan Karawitan” Jilid I dan II”.


Surakarta:ASKI.

_____________(1988). “Dibuang Sayang”. Surakarta: Seti-Aji. ASKI.

Sugiarto, A (1998). “Kumpulan Gending-gending Karya Ki Nartosabdo”.Semarang :


Pemda Tingkat I Jawa Tengah.

Sugimin (2013). “Aneka Garap Ladrang Pangkur”. Keteg. Vol. 13. No. 1. hlm. 88-122.

Sumarsam (2003). “Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal”.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar offset.

Warsodiningrat, K.R.T (1979). “Wedhapradangga”. Surakarta: Sekolah Menengah


Kesenian Indonesia.

11
Adiyanto/ Sarasehan Macapat/ Sidoarjo/ 2023

Anda mungkin juga menyukai