Anda di halaman 1dari 23

MATERI SARASEHAN MACAPAT RABU 13 OKTOBER 2021

DI SIDOARJO
Oleh Adiyanto, S.Sn, MM

VOKAL MACAPAT

A. Pengertian Macapat
Berdasarkan keterangan dari serat Mardawalagu (R. Ng. Ranggawarsita)
macapat berasal dari kata maca dan pat, yang berarti buku bacaan (serat waosan)
yang ke empat. Disebutkan juga sebagai frasa maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan
maca-tri-lagu. Dikatakan bahwa Maca-sa-lagu menjadi yang tertua yang konon
diciptakan oleh para dewa yang diturunkan kepada pandita Walmiki dan
diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Kategori ini yang
sekarang disebutkan sebagai Tembang Gedhe. Maca-ro juga termasuk tipe tembang
gedhé yang mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah
sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.
Sementara itu, Maca-tri menjadi kategori yang ketiga dan termasuk dalam tembang
tengahan. Konon jenis ini diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala
dan disempurnakan lagi oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Terakhir
adalah Maca-pat-lagu yang mewakili Macapat atau disebut juga tembang cilik.
Tembang ini diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.
Menurut Padmopuspito dan Suwardi Endraswara mengartikan macapat
adalah membaca empat-empat (macane papat-papat).
R.M.S Gitosaprodjo menyebutkan bahwa sekar macapat berasal dari kata
macapat yang berarti dari desa ke desa. Jadi sekar macapat mempunyai arti
tembangnya rakyat pedesaan.
Mula-mula macapat itu tidak untuk dilagukan, tetapi untuk membaca suatu
cerita. Biasanya macapat itu berisi suatu cerita, pendidikan (tuladha), kisah
(lelakon). Bahasa yang digunakan dalam macapat itu merupakan bahasa yang
populer. Bentuk lagunya pun sederhana sehingga macapat ini seperti sudah
memasyarakat dalam kehidupan orang Jawa. Walaupun kelihatannya sederhana,

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


tetapi sebenarnya di dalam macapat ini banyak terdapat hukum-hukum atau
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh para seniman karawitan.

B. Sejarah Macapat
Tembang Macapat memiliki sejarah yang cukup rumit untuk diketahui. Secara
umum sejarah macapat ketika merujuk pada pendapat Pegeaud diketahui tercipta
pada akhir masa Majapahit atau sejak hadirnya pengaruh Walisongo. Hanya saja,
pendapat Pegeud bisa dikatakan kalau hanya berlaku untuk tembang macapat di
Jawa Tengah, sebab di Jawa Timur dan Bali, sejarah Macapat telah dimulai sejak
sebelum datangnya Agama Islam.
Di sisi lain, Purbatjaraka mengatakan bahwa macapat lahir bersamaan Syair
Jawa Tengahan. Pendapat itu juga diperkuat oleh Karseno Saputra. Ia mengatakan
“Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama dengan pola
metrum tembang tengahan. Jika tembang macapat tumbuh berkembang sejalan
dengan tembang tengahan, maka diperkirakan Macapat telah hadir dikalangan
masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 Masehi”.
Perkiraan diatas adalah berdasar angka tahun yang terdapat pada kidung
Subrata, Juga Rasa Dadi Jalma = 1643 J atau 1541 Masehi. (Saputra, 1992 : 14 ).
Pada kisaran tahun tersebut hidup berkembang puisi berbahasa jawa kuno, jawa
tengahan dan jawa baru yaitu kekawin, kidung dan macapat.
Tahun perkiraan diatas sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder lebih kurang
pada abad XVI di jawa hidup bersama tiga bahasa, yaitu jawa kuno, jawa tengahan
dan jawa baru.
Melihat dalam Mbombong manah (Tedjohadi Sumarto 1958 : 5), disana telah
disebutkan bahwa Macapat, dalam hal ini mencakup 11 Metrum adalah diciptakan
oleh Prabu Dewawasesa (Prabu Banjaransari) di Segaluh di tahun Jawa 1191
(Masehi 1279). Meskipun begitu, selalu aja terdapat sumber lain yang
memperkirakan bahwa Tembang Macapat diperkirakan telah dibuat tidak hanya
oleh satu orang saja, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan. ( Laginem,
1996 : 27 ). Sebut saja Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang,

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan
Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra dan
Adipati Nata Praja.
Kajian Ilmiah telah menyebutkan bahwa terdapat dua pendapat yang berbeda
mengenai keberadaan macapat. Jika pendapat yang pertama mengatakan bahwa
macapat adalah lebih tua ketimbang Tembang Gede, pendapat yang kedua
mengatakan sebaliknya. Kecuali pendapat itu ada pendapat lain tentang timbulnya
macapat berdasarkan perkembangan bahasa.
Pendapat yang mengatakan bahwa macapat lebih tua dari pada Tembang
Gede memperkirakan macapat timbul pada zaman Majapahit akhir ketika pengaruh
kebudayaan Islam mulai berkembang ( Danusuprapta, 1981 : 153-154 ).
Dikemukakan pula oleh Purbatjaraka bahwa timbulnya macapat bersamaan
dengan kidung, dengan anggapan bahwa tembang tengahan tidak ada. (
Poerbatjaraka, 1952 : 72 ).
Sedangkan yang berpendapat bahwa macapat lebih muda dari Tembang Gede
beranggapan bahwa tembang macapat timbul pada waktu pengaruh kebudayaan
Hindu semakin menipis dan rasa kebangsaan mulai tumbuh, yaitu pada zaman
Majapahit akhir.
Lahirnya macapat berurutan dengan kidung, muncullah tembang gede
berbahasa jawa pertengahan. Berikutnya muncul macapat berbahasa Jawa Baru
dan pada zaman Surakarta awal, timbul tembang gede kawi miring. Bentuk gubahan
berbahasa jawa baru yang banyak digemari adalah kidung dan macapat.
Proses pemunculan bermula dari lahirnya karya-karya berbahasa jawa
pertengahan yang biasa disebut dengan kitab-kitab kidung. Kemudian muncul
karya-karya berbahasa jawa baru berupa kitab-kitab suluk dan kitab-kitab niti. Kitab
suluk dan kitab niti itu memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan
macapat.
Dalam hipotesis Zoetmulder (1983 : 35) disebutkan bahwa secara linguistik
bahasa jawa pertengahan bukan merupakan pangkal Bahasa Jawa Baru. Melainkan
merupakan dua cabang yang terpisah dan divergen pada bahasa jawa kuno. Bahasa

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


jawa kuno merupakan bahasa umum selama periode Hindu – Jawa sampai
runtuhnya Majapahit. Sejak datangnya pengaruh Islam, bahasa jawa kuno
berkembang menurut dua arah yang berlainan yang menimbulkan Bahasa Jawa
Pertengahan dan Bahasa Jawa Baru. Kemudian, Bahasa Jawa Pertengahan dengan
kidungnya, berkembang di Bali dan Bahasa Jawa Baru dengan macapatnya
berkembang di Jawa. Bahkan, sampai sekarang tradisi penulisan karya Sastra Jawa
Kuno dan Pertengahan masih ada di Bali.

C. Unsur Pokok Tembang Macapat

Dalam pengertiannya, selain menyiratkan gambaran hidup manusia sejak


lahir sampai mati, tembang macapat juga mempunyai unsur pokok, karena
sebelumnya tembang memiliki arti karangan dengan aturan tertentu dan cara
membacanya dilakukan dengan menggunakan seni suara. Dalam pengertian
tersebut, unsur pokok yang dimiliki adalah sebagai berikut.
1. Karangan
Tembang adalah karangan. Karangan sebagai karya manusia seperti para
pujangga, sastrawan, guru, dosen, mahasiswa, pembelajar, petani, buruh.
Siapa saja diperbolehkan membuat tembang, asal mampu dan mau mentaati
aturan (guru gatra, guru lagu guru wilangan).
2. Aturan tertentu
Aturan dalam tembang telah ditentukan dan tidak dapat dirubah.
Merubah aturan tembang berarti merusak tatanan tembang. Akibatnya,
tembang sulit dilagukan nada, irama, dan lagunya, baik dilagukan dengan
vokal saja (accapela) maupun dilagukan dengan iringan gamelan.
3. Cara membaca tembang dilagukan
Cara membaca tembang dilagukan dengan seni suara. Jika tidak
dilagukan bukan nembang, tetapi membaca tembang. Agar dapat dilagukan
dibuatlah rangkaian nada. Nada-nada ini yang melambangkan tinggi
rendahnya suara. Menurut Padmopuspito (Suwardi, 2010: 13) Tembang

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


macapat merupakan tembang yang berasal dari kata “mocone papat papat”
(membacanya empat-empat). Hal ini dapat dinalar, karena dalam melagukan
macapat hampir selalu silabik (empat suku kata).
Ada beberapa pengertian tentang tembang macapat yang menyatakan
bahwa tembang macapat iku tembang anggone maca papat-papat “tembang
macapat itu tembang yang dilagukan empat-empat (jeda pada setiap empat
suku kata)”, dari suku kata larik, dan suku kata selanjutnya sisa dalam setiap
lariknya. (Suwarna, 2008: 70).

Contoh tembang Mijil :

Dhek samana / durung ana / mijil / : 4-4-2


Pangkur miwah / sinom / : 4-2

Dhandhanggula / pocung kinan- / thine / : 4-4-2


Gambuh mega- / truh lawan mas / kintir / : 4-4-2
Durung ana / lair / : 4-2

Kabeh tembang / kidung / : 4-2

4. Konvensi Struktural Tembang Macapat


Konvensi struktural tembang macapat meliputi aspek sastra dan aspek
lagu. Konveksi struktural tembang macapat adalah kaidah atau ketentuan
terkait dengan aspek bahasa atau sastra dalam teks tembang macapat. Kaidah
dalam tembang macapat meliputi: guru gatra, guru lagu, atau guru wilangan.

D. Struktur Tembang Macapat


Menurut para ahli, tembang macapat ada bermacam-macam jumahnya, di
dalam Widyaswara, tembang macapat terdapat delapan jenis, antara lain: pucung,

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


dandanggula, sinom, pangkur, asmaradana, kinanti, durma, dan mijil
(Sastrasuwignya dan Moelyono, 1981 :23-25).
Menurut Sarining Kasusastran Djawa, tembang macapat terdiri atas sembilan
jenis, yaitu semua jenis tembang yang terdapat di dalam Widyaswara ditambah
maskumambang (Subalidinata, 1968: 89).
Di samping itu, menurut "Serat Purwaukara", Kasusaslran Djawi I
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1946:29), Ngengrengan Kasusastra
Djawa I (Padmosoekotjo, 1958: 17), dan Pengantar Puisi Djawa (Darnawi, 1964:
13) tembang macapat berjumlah sembilan jenis.
Selanjutnya, menurut buku yang berjudul Purwakanthi, tembang macapat
terdiri atas sepuluh jenis, yaitu semua jenis tembang yang terdapat di dalam
Sarining Kasusastran Djawa dilambah dengan megatruh atau dudukwuluh
(Mangunwidjaja, 1992: (19). Hal itu terdapat juga di dalam Panglipur
(Sasrasumarta, 1931 :3-21) dan kasusatran djawa I (Samidjo, 1975: 13).
Menurut buku yang berjudul Himpunan Tembang Mataraman, tembang
macapat terdiri atas sebelas jenis, yaitu seperti pada jenis tembang yang terdapat
di dalam Purwakanthi ditambah dengan gambuh (Madukusuma, 1980:3-54). Hal itu
terdapat juga dalam Mbombong Manah I (Tedjohadisumarto, 1958:5), Serat Sekar
Macapat (Bratadipura dkk .), Dasar Kasusastran Jawi (Soetetarno dan Hadisubrata,
1974:27), "Serat Kasusastran Jawa" (Hadisubrata, 1974:73), dan "Sekar Alit/
Macapat, Sekar Tengahan, Sekar Ageng, Lagon-Lagon".
Menurut Tata Sastra, tembang macapat terdiri atas lima belas jenis, yaitu
seperti pada jenis tembang yang terdapat di dalam Himpunan Tembang Mataraman
ditambah dengan balabak, jurudemung, wirangrong. dan gurisa atau girisa
(Hadiwidjana. 1967:54). Hal itu terdapat juga di dalam Pathokaning Nyekaraken
(Hardjowirogo. 1952: 9-12, 18-19). "Teori Tembang Jawi" (Sugiyo. 1978:9--10) dan
Sekar Macapat (Arintoko. 1981:3).
Untuk saat ini pada umumnya tembang macapat yang berkembang di Jawa
Timur, untuk gaya Surakarta sebanyak sebelas (11) tembang yaitu,
1. Maskumambang

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


2. Mijil
3. Kinanti
4. Sinom
5. Asmarandana
6. Gambuh
7. Dandanggula
8. Durma
9. Pangkur
10. Megatruh
11. Pucung

Sedangkan untuk gaya Malangan sebanyak tujuh (7) tembang, yaitu :

1. Durma
2. Gambuh
3. Dangdanggula
4. Asmarandana
5. Pangkur
6. Mijil
7. Sinom

Sedangkan untuk gaya Madura sebanyak sembilan (9) tembang, yaitu :

1. Mijil
2. Maskumambang
3. Selangit (kinanti)
4. Pocung
5. Durma
6. Kasmaran (Asmarandana)
7. Pangkor
8. Artate (Dandanggula)
9. Sinom

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Sedangkan untuk gaya Gresik sebanyak Sepuluh (10) tembang, yaitu :

1. Pocung
2. Maskumambang
3. Kinanti
4. Mijil
5. Pangkur
6. Durma
7. Asmarandana
8. Sinom
9. Dandanggula
10. Balabak
Tembang Macapat disajikan dalam beberapa jenis yang mana masing-masing
tembang tersebut dibedakan dengan aturan-aturan yang membentuknya. Adapun
aturan-aturan dalam sekar macapat adalah :
1. Terikat Guru Wilangan, yaitu banyaknya suku kata pada tiap-tiap baris.
2. Terikat Guru Lagu, yaitu dong-dingnya suara ( suara akhir pada tiap baris :
a,i,u,e,o).
3. Terikat Guru Gatra, yaitu baris pada tiap pupuh tembang.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini :

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Untuk aturan-aturan seperti guru gatra, guru lagu dan guru wilangan, berlaku
untuk tembang macapat gaya Surakarta, gaya Madura dan gaya Gresik. Untuk gaya
malangan tidak terikat oleh aturan- aturan tersebut, Contohnya :

Macapat Sinom 1 (gaya Malangan)

Golar Galir keno guna 8a


Wong mbatik sinambi nagis 8i
Malam wutah belabaran 8a
Geni murup den damoni 8i
Cantinge den uring-uring 8i
Gawangan sinandung putung 8u
Rujak gadung mas pangeran 8a
Kecubung lara mendemi 8i
Eman-eman wong ayu yen keno guna 12a

Macapat Sinom (gaya Gresik)

Edan manira kusuma 8a


Lamun ora aningali 8i
Sedina jangkep ping sang 8a
Atemahan lara brangti 8i
Sawengi datanpa guling 8i
Tang ana ingkang kaetok 8a
Mider ingsun kusuma 7a
Negara sabrang lan jawi 8i
Tembe tuwuh duh wong ayu kang kaya ndika 13a

Perhatikan contoh tembang macapat Sinom gaya malangan ini untuk aturan
guru gatra, guru lagu dan guru wilangan, Macapat Sinom 1 (8a-8i-8a-8i-8i-8u-8a-
8i-12a) dan Macapat Sinom gresik (8a-8i-8a-8i-8i-8a-7a-8i-13a). Cari contoh kedua
tembang Sinom tersebut, tidak sama dengan aturan pada umunya yaitu, (8a-8i-8a-
8i-7i-8u-7a-8i-12a). Dan hal itu terjadi untuk tembang macapat yang lain pada gaya

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Malangan. Seperti Durma, Gambuh, Dangdanggula, Asmarandana, Pangkur dan
Mijil.

E. Jenis Tembang Macapat

Secara umum ada beberapa jenis tembang macapat yang berkembang sampai
saat ini ada sebelas (11). Tembang macapat tersebut, adalah: Maskumambang,
Mijil, Kinanti, Sinom, Asmarandana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur,
Megatruh dan Pucung. Jenis-jenis tembang macapat menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Macapat Dandanggula, Istilah Dangdanggula diambil dari nama Raja Kediri
yang terkenal setelah Prabu Jayabaya yakni Prabu Dhangdhanggendhis.
Dhandhanggula diberi arti ngajeng-ajeng kasaean, bermakna menanti-nanti
kebaikan (Serat Purwaukara).
2. Macapat Sinom, Sinom bisa dikaitkan dengan istilah Sinoman yang memiliki
arti perkumpulan pemuda untuk membantu orang punya hajat. Pendapat lain
menyatakan bahwa Sinom ada kaitannya dengan upacara-upacara bagi anak-
anak muda zaman dahulu. Dalam Serat Purwaukara, Sinom diberi arti sekaring
rambut yang berarti anak rambut. Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda
sehingga kadang-kadang diberi isyarat dengan lukisan daun muda.
3. Macapat Asmarandana, Asmaradana merupakan dua gabungan kata yakni
Asmara dan Dhana. Asmara sendiri bisa diartikan sebagai dewa percintaan,
sedangkan Dhana mewakili api. Penamaan tembang Asmaradana sering
dikaitkan dengan peristiwa hangusnya Dewa Asmara oleh sorot mata ketiga
Dewa Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu
Darmaja. Dalam Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing
paweweh, berarti suka memberi.
4. Macapat Pangkur, Dikatakan bahwa istilah Pangkur berasal dari nama
punggawa dalam kependetaan yang biasa tercantum pada piagam – piagam
bahasa jawa kuno. Pangkur diartikan sebagai Buntut atau Ekor (Serat

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Purwaukara). Identik dengan sasmita atau isyarat tut pungkur berarti
mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti.
5. Macapat Kinanti, Kinanti berarti bergandengan, teman, nama zat atau
benda, nama bunga. Sesuai arti itu, tembang Kinanthi berwatak atau biasa
digunakan dalam suasana mesra dan senang.
6. Macapat Mijil, Mijil memiliki arti keluar. Bisa juga dihubungkan dengan Wijil
yang bersinonim dengan lawang atau pintu. Kata Lawang juga berarti nama
sejenis tumbuh-tumbuhan yang bunganya berbau wangi. Bunga tumbuh-
tumbuhan itu dalam bahasa latin disebut heritiera littoralis.
7. Macapat Pucung, Pucung merupakan nama biji kepayang, yang dalam
bahasa latin disebut Pengium edule. Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti
kudhuping gegodhongan ( kuncup dedaunan ) yang biasanya tampak segar.
Ucapan cung dalam Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat
lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya kucung dan kacung. Sehingga
tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam suasana santai.
8. Macapat Gambuh, Gambuh berarti ronggeng, tahu, terbiasa, nama
tetumbuhan. Berkenaan dengan hal itu, tembang Gambuh berwatak atau
biasa digunakan dalam suasana tidak ragu-ragu.
9. Macapat Megatruh, Megatruh berasal dari awalan am, pega dan ruh. Pegat
berarti putus, tamat, pisah, cerai. Dan ruh berarti roh. Dalam Serat
Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala ( membuang yang
serba jelek ). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana,
tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau
samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti
petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
10. Macapat Maskumambang, Istilah Maskumambang dihasilkan dari
gabungan dua kata yakni Mas dan Kumambang. Kata Mas berasal dari Premas
yang berarti punggawa dalam upacara Shaministis. Sedangkan Kumambang
bisa diartikan dengan terapung yang juga bisa berarti kembang. Selanjutnya
Maskumambang membawa pengertian bahwa punggawa yang melaksanakan

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


upacara Shamanistis. Mengucap mantra atau lafal dengan menembang
disertai sajian bunga. Dalam Serat Purwaukara, Maskumambang diberi arti
Ulam Toya yang berari ikan air tawar, sehingga kadang-kadang di isyaratkan
dengan lukisan atau ikan berenang.
11. Macapat Durma, Durma (Jawa Klasik) bisa diartikan sebagai Harimau.
Seperti namanya, Macapat Durma identik dengan watak atau digunakan dalam
suasana seram.

Ada pula yang memasukkan tembang gede dan tembang tengahan ke dalam
macapat. Tembang-tembang tersebut antara lain :

1. Macapat Wirangrong, berarti trenyuh ( sedih ), nelangsa ( penuh derita ),


kapirangu ( ragu-ragu ),. Namun dalam teks sastra, Wirangrong digunakan
dalam suasana berwibawa.
2. Macapat Jurudemung, berasal dari kata juru yang berarti tukang, penabuh,
dan demung yang berarti nama sebuah perlengkapan gamelan. Dengan
demikian, Jurudemung dapat berarti penabuh gamelan. Dalam Serat
Purwaukara, Jurudemung diberi arti lelinggir kang landep atau sanding (pisau)
yang tajam.
3. Macapat Girisa, berarti arik (tenang), wedi (takut), giris (ngeri). Girisa yang
berasal dari bahasa Sansekerta, Girica adalah nama dewa Siwa yang bertahta
di gunung atau dewa gunung, sehingga disebut Hyang Girinata. Dalam Serat
Purwaukara, Girisa diberi arti boten sarwa wegah, bermakna tidak serba
enggan, sehingga mempunyai watak selalu ingat.
4. Macapat Balabak, dalam Serat Purwaukara diberi arti kasilap atau terbenam.
Apabila dihubungkan dengan kata bala dan baka, Balabak dapat berarti
pasukan atau kelompok burung Bangau. Apabila terbang, pasukan burung
Bangau tampak santai. Oleh karena itu tembang Balabak berwatak atau biasa
digunakan dalam suasana santai.

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


F. Filosofi Tembang Macapat

Dibalik keindahan ritme bahasa ataupun kesyahduan tembang macapat,


tersimpan sebuah kedalaman pemikiran dari sang pembuatnya. Sebuah filosofi
kehidupan yang sering terkandung dalam kebiasaan dan adat Jawa tertanam juga
dalam tembang-tembang Macapat.

Tembang Macapat merupakan harmoni antara keindahan dan khasanah


kearifan. Ajaran keluhuran budi dan sebuah gambaran perjalanan hidup manusia
sejak lahir hingga sampai dengan meninggalnya.

Berikut ini adalah detail penjelasan Filosofi Tembang Macapat yang


terkandung dalam setiap metrumnya :

1. Macapat Maskumambang
Maskumambang berasal dari kata mas dan kumambang. Mas atau emas
berarti sesuatu yg sangat berharga, yang bermakna bahwa Anak meskipun
masih dalam kandungan merupakan harta yang tak ternilai harganya.
Mambang atau kemambang artinya mengambang. Maskumambang
menggambarkan Bayi yang hidup mengambang dalam rahim ibunya. Selama
9 bulan tumbuh dan hidup dalam dunianya yaitu rahim ibunda
2. Macapat Mijil
Mijil bisa dikatakan sebagai sebuah ilustrasi proses kelahiran manusia,
dimana telah jelas jenis kelaminnya, Mijil bisa diartikan sudah lahir atau keluar.
3. Macapat Kinanti
Berasal dari istilah “Kanthi” yang berarti dituntun supaya bisa berjalan.
Menjadi lambang hidupnya anak kecil atau bayi yang perlu tuntunan lahir dan
batin supaya bisa berjalan di dalam samudra alam dunia. Gambaran sebuah
proses pembentukan jati diri dan meniti jalan menuju cita-cita.

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


4. Macapat Sinom
Berasal dari tembung “Sinoman” atau bisa di maknai sebagai para
pemuda. Dimana manusia yang masih muda itu memiliki arti penting dalam
babak kehidupannya.
Karena itu perlu banyak belajar untuk mempersiapkan diri hidup
berumah tangga. Sebuah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh
dengan harapan dan angan-angan.
5. Macapat Asmarandana
Mewakili sebuah proses dimana manusia telah memiliki rasa cinta pada
lawan jenis. Telah menjadi kehendak sang Khalik, dimana ini merupakan awal
untuk membangun kehidupan rumah tangga.
Masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam
lautan kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati.
6. Macapat Gambuh
Berasal dari kata “Jumbuh” yang bisa dimaknai telah didapati kecocokan
antara pria dan wanita yang didasari cinta (Asmaradana). Sebuah komitmen
untuk membangun kehidupan rumah tangga. Saling melengkapi dan
bersinergi secara harmonis.
7. Macapat Dandanggula
Ilustrasi hidup seseorang ketika keinginannya terkabul yang intinya
semua itu menjadikan dia bahagia (Punya Istri, Punya Anak, Rumah serta
cukup sandang dan pangan).
Sebuah tahap kemapanan sosial, dimana dalam tahap ini dibutuhkan
kedewasaan berfikir, karena kunci hidup bahagia adalah rasa syukur.
8. Macapat Durma
Berasal dari kata “darma” yang bisa diartikan dengan berbakti, manusia
jika sudah hidup kecukupan harus melihat kanan kirinya. Melihat keadaan
saudaranya dan tetangga yang masih dalam kesengsaraan, lalu member
pertolongan pada sesamanya.
9. Macapat Pangkur

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Berasal dari kata “Mungkur”. Dimaknai dengan manusia yang musti
menghindari sifat angkara murka, selalu berfikir dan bergerak dengan niat
berbuat baik dan bermanfaat bagi sesama.
10. Macapat Megatruh
Bermula dari kata “Megat Ruh” atau telah terpisahnya Ruh dari Raga.
Kehendak sang Khalik yang tidak bisa dielakkan, setiap manusia akan
menghadapi kematian.
11. Macapat Pucung
Gambaran manusia yang telah mati, sesuai dengan syariat Islam, dimana
jasad manusia dibungkus kain mori putih, diusung dipanggul laksana raja-raja.
Itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang lahat, rumah terakhir kita
didunia

G. Watak Tembang Macapat


Tembang macapat pada umumnya apabila di tinjau berdasarkan wataknya,
yaitu:
1. Mijil berwatak himbauan dan mengasihi. Cocok digunakan untuk
menyampaikan nesehat.
2. Kinanthi mempunyai watak gembira, senang, cinta kasih. Tembang ini
biasanya digunakan untuk menyampaikan piwulang, cerita cinta.
3. Sinom berwatak lincah dan bermasyarakat. Cocok untuk nasehat dan
pendidikan atau pengajaran.
4. Asmaradana mempunyai watak sedih karena cinta, biasanya digunakan
dalam cerita cinta.
5. Dhandhanggula berwatak luwes, indah dan menyenangkan. Tembang ini
cocok untuk menyampaikan suasana apapun.
6. Gambuh berwatak cocok, senang bergaul. Melukiskan kesenangan karena
telah menemukan kecocokan.
7. Maskumambang berwatak memilukan. Tembang ini melukiskan perasaan
sedih dan memilukan.

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


8. Durma berwatak keras, marah. Tembang ini biasanya digunakan untuk
menyamapaikan suasana marah, dan cerita perang.
9. Pangkur berwatak keras. Tembang ini digunakan untuk menceritakan sesuatu
yang keras, cinta yang menyala-nyala atau membara.
10. Megatruh berwatak prihatin, sedih, biasanya digunakan untuk menceritakan
sesuatu penyesalan dan kesedihan.
11. Pocung berwatak menggemaskan. Biasanya digunakan untuk menyampaikan
sesuatu yang lucu dan sesuka hati.
12. Wirangrong berwatak : Wibawa berwibawa Kegunaan: kemuliaan keagungan,
Menjelaskan Kebesaran.
13. Balabak berwatak: Sembrana, Saenake, Lucu Kegunaan: Sembrono, Bercanda
14. Girisa berwatak: Gagah, wibawa, wanti-wanti/ Pengingat, Kegunaan:
Piwulang/ Pelajaran.
15. Jurudemung berwatak: Kenes, Kasmaran/ Genit, Kegunaan: Mancing Asmara/
Memancing Cinta.

H. Beberapa Pengertian Fungsi Tembang Macapat


Beberapa fungsi tembang macapat yang berkembang dan masih eksis di
kalangan masyarakat, diantaranya adalah:
1. Sebuah karya sastra yang lokal genius
a. Karya sastra istimewa, menyampaikan pesan-pesan moral yang
mengandung nilai Pendidikan etik, estetik, religi, menjadi inspirasi
seniman kreatif (seni sastra)adalah sebuah nilai puisi jawa (sastra dan
lagu) yang mencerminkan nilai-nilai yang adiluhung, dapat membangun
dan mengembangkan imaginasi.
b. Berbentuk seni sastra ( susastra jawa yang indah) disenangi oleh orang
jawa sepanjang masa.
c. Berbentuk metrum yang waton dan beragam, terdiri dari judul/ jenis/
pupuh/ pada/ pedhotan/ gatra/ wilangan/ lagu yang beragam cengkok
lagu dan wiletannya.

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


2. Macapat dalam fungsi waosan (lagu winengku sastra) yang artinya lagu sangat
dibatasi oleh sastra atau kejelasan sastranya lebih diutamakan daripada
keindahan lagunya.
a. Membaca harus benar (maca kudu bener kedaling lesan)
b. Keindahan (ngesing kata)harus dapat diluluhkan, misalnya ngenes ing
tyas menjadi ngenesing tyas.
3. Macapat dalam pertunjukan (sastra winengku lagu) yang artinya sastra sangat
dibatasi oleh lagu atau keindahan lagu seperti cengkok gregel, luk dan
sebagainya sangat diutamakan daripada sastranya.
a. Dalam sekar gendhing macapat menjadi gerongan, palaran, sindenan,
laras madya, suluk dalang dan sebagainya.
b. Dalam bentuk drama tembang macapat menjadi langen driyan, langen
mandrawanaran, drama gong di Bali dan sebagainya.
c. Dalam bentuk upacara adat macapat menjadi hastungkara, macapatan
mantra wedha, nebus kembar mayang dan sebagainya
4. Macapat dalam edukatif, tembang mengandung nilai-nilai pendidikan (estetik,
etik, religi, spiritual dan kearifan lokal).
a. Nilai estetik, keindahan tembang tercermin pada penyusunan penciptaan
suku kata (sastra) kalimat lagu suasana lagu dalam metrum tembang
macapat, sebagaimana tercipta puisi sastra jawa yang menarik, elok
indah dalam sajiannya. Serta Teknik vocal melalui cengkok, wiletan, luk
gregel menjadi sesuatu yang mengesankan.
b. Nilai etik, makna yang tersirat dalam syair tembang menyampaikan
pesan-pesan yang penting, unggah-ungguh, sopan santun dan sebagai
kata-kata pesan moral dalam kearifan lokal.
c. Nilai Religi, nilai ketuhanan tercermin pada bentuk tembang yang isinya
tentang ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga menjadi
hastungkara.

I. Tembang Macapat dalam berbagai etnik dan cengkok

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Tembang macapat yang berkembang di daerah jawa timur, diantaranya adalah
gaya Surakarta, gaya Madura, gaya Gresik dan gaya Malangan dengan berbagai
cengkok yang berbeda sesuai dengan etnik yang berkembang di daerahnya:
diantaranya adalah :

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/
DAFTAR PUSTAKA

……………………., 1951. Surat Tuntunan Aku Bisa Nembang 1. Jakarta: Kementerian Pendidikan
Pengajaran, dan Kebudayaan.

Adiyanto, 2019. Pengetahuan Vokal Jawatimuran. Surabaya: Karunia

Hardjowirogo, R, 1980. Pathokaning Nyekaraken (jarwan Sulistyo HS). Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.

Martopagrawit, RL, 1988. Dibuang Sayang, Lagu dan Cakepan Gerongan Gending-Gending Gaya
Surakarta. Surakarta: Setiaji bekerjasama dengan Akademi Seni Karawitan
Indonesia.

Nartasabda, Ki, 1994. Kumpulan Gendhing-Gendhing lan Lagon Dolanan Jilid 1 (pangimpun Sri
Widodo Bima Putro). Sukaharja: Cenrawasih

Padmosoekotjo, S, tt.Limpad Nembang Macapat. Surabaya: Trimurti

Padmosoekotjo, S, 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hie Hoo Sing.

Prabawanti. Wingit, 1983. Pengetahuan Karawitan Daerah Surakarta. Jakarta: Depdikbud.


Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kejuruan.

Sulistiani, Sri dkk, 2017. Mata Pelajaran/ Paket Keahlian Bahasa Jawa: Tembang Dolanan lan
Tembang Dolanan. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan.

Sutardjo, Imam, 2015. Tembang Jawa (Macapat). Surakarta: Bukutuju.

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


DATA PRIBADI

Adiyanto dilahirkan di Semarang pada tanggal 02 Juli 1982.

Sejak kecil ia sudah diajari oleh orang tuanya di bidang seni,

diantaranya, seni karawitan, pedalangan dan seni tatah

sungging wayang. Setelah remaja Ia mematangkan

ketrampilan olah seninya di SMKN 8 Surakarta Jurusan

Karawitan pada tahun 1998, kemudian melanjutkan kuliah di STSI Surakarta

pada tahun 2001 sampai semester 4 transfer ke STKW Surabaya lulus pada

tahun 2006. Tahun 2011-2013 Sambil bekerja kuliah lagi jenjang Magister di

jurusan Manajemen Pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia

Malang. Dan kemudian tahun 2020 ini masih menempuh pendidikan program

Doktor di Fisip Unair Surabaya dengan konsentrasi Ilmu Sosial Budaya sampai

sekarang.

Sejak tahun 2011 di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Bidang Budaya, Seni dan Perfilman.

Kemudian pada tahun 2015 diangkat sebagai Pamong Budaya Jawa Timur

sampai sekarang.

Di sela-sela kesibukanya sebagai Pamong Budaya Ia juga membantu mengajar

sebagai Dosen mata kuliah bahasa Jawa, Tembang Macapat dan Mata kuliah

Seni sakral dan eni Profan di STAH Santika Dharma Malang pokja Sidoarjo.

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


Sampai sekarang masih aktif sebagai seniman, baik pelaku seni, pengkarya seni

dan pemerhati seni. Aktif menulis baik di media elektronik, media massa

maupun media cetak.

Aktif menjadi Juri dan Narasumber di berbagai kegiatan seni, seperti Macapat,
Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan dll.

PENGALAMAN BERKESENIAN

1. 3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sabet pada Festival Dalang dalam
rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya.
2. 3 (tiga) Dalang Penyaji Terbaik Bidang Sanggit Cerita pada Festival Dalang
dalam rangka Pekan Wayang se Jawa Timur tahun 1999 di Surabaya.
3. Sebagai Pengamat Daerah pada Parade Lagu daerah Taman Mini “
Indonesia Indah” tahun 2011 mewakili provinsi Jawa Timur.
4. Menjadi salah satu pemusik dalam pertunjukan Festival Kesenian
Indonesia III tingkat Nasional tahun 2011 di Surabaya.
5. Menjadi Duta Seni mewakili Indonesia ke Ho Chi Mint City, Vietnam pada
tahun 2005.
6. Komposer dalam Festival Gegitaan tingkat Nasional pada tahun 2013 di
Jogjakarta.
7. Komposer Iringan Tari Ganggasmara dalam acara Festival Tari Sakral
tingkat Nasional pada tahun 2013 di Jogjakarta.
8. Juara 1 (satu) Komposer Iringan Tari Kidung Kasanga dalam acara Festival
tari Sakral tingkat Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 di Sidoarjo.
9. Komposer Iringan Tari Mandaragiri dalam acara melasti tingkat Provinsi
Jawa Timur di Surabaya.
10. Komposer Iringan Tari Nawa Cita Negara Kertagama dalam acara Mahasaba
Tingkat Nasional pada tahun 2016 di Surabaya.

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/


11. Menjadi Komposer pada Pembukaan Festival Seni Sakral tahun 2019
dengan Judul “ Babar Sastra Pamucang”.
12. Juara Penata Musik tradisional Terbaik pada Festival Seni Sakral Tingkat
Nasional Tahun 2019.
13. Menjadi Ketua Lembaga Seni Keagamaan Provinsi Jawa Timur, masa
bhakti 2019-2023.
14. Aktif menjadi Juri dan Narasumber di berbagai kegiatan seni, seperti
Macapat, Gegitan, Tari, Karawitan, pedalangan dll.

BUKU YANG PERNAH DITULISNYA

Djoko Langgeng Dan Wayang Kulit Karyanya, Balungan Gending Jawa Timuran,
Karawitan Jawatimuran, Pengetahuan Vokal Jawatimuran, Campursari Sekar
Melati, Profil Sekar Melati, Tinjauan Seni Karawitan, Inspirasine urip

Adiyanto, S.Sn, MM/ sarasehan macapat sidoarjo/2021/

Anda mungkin juga menyukai