Kajian Filosofis tentang “Kita dan Liyan” dalam lakon Sukrasana dan
Sumantri : gambaran rakyat jelata dengan pejabat penguasa
Adiyanto
Abstrak
Artikel ini mengkaji tentang lakon Sukrasana dan Sumantri dalam cerita
wayang kulit, cerita ini menggambarkan cinta kasih, kesetiaan, dan
kepahlawanan Sukrasana serta keegoisan, lupa diri dan ambisi dari Sumantri
untuk sebuah jabatan dan kekuasaan. Cerita ini adalah cerita carangan yang
hidup di masyarakat jawa sebagai warisan secara historis tradisional.
Dalam lakon ini saya kaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini yang mana
Sukrasana sebagai penggambaran rakyat kecil sedangkan Sumantri sebagai
bentuk penggambaran seseorang yang mempunyai ambisi dan lupa diri
ketika jabatan dan kekuasaan sudah diraih.
Filsafat “kita dan liyan” menunjukkan sebuah makna kita atau kami yang
mempunyai sifat kesatuan perasaan antara individu-individu dan
mementingkan kebersamaan dalam menanggung suka dan duka, saling
menolong, saling membantu dan yang lainnya. Sedangkan “liyan”
mempunyai makna orang lain, dalam hal ini adalah orang yang berbeda
kepentingan sehingga terjadi ketertindasan.
Kita keluarga maupun kita negara mempunyai makna apabila masih dalam
kesatuan perasaan, mementingkan kepentingan bersama, saling menolong
dan saling membantu. Apabila sifat-sifat tersebut telah memudar atau
meredup maka akan ada yang namanya “liyan”.
Kata Kunci : Sukrasana, Sumantri, Filosofis, Gambaran
1
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Sukrasana dan Sumantri dalam Filsafat “kita”
2
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Dalam “Filsafat Kita” di chanel youtube STFT Widya Sasana, Prof. Dr. FX.
Eko Armada Riyanto1 mengatakan bahwa “kita” adalah orang pertama
plural, Asal usul keluarga adalah dari laki-laki dan perempuan yang tertarik
satu sama lain, yang kemudian menyatukan diri dalam cinta, dan
membangun suatu masyarakat kecil yang di sebut keluarga. Jadi keluarga
berasal dari relasionalitas komunikasi “aku” “engkau”, dengan fondasi
cinta, dalam ilmu sosial relasi komunikasi “aku” “engkau” adalah relasi
intersubyektif. Konsep untuk meneguhkan relasi intersubyektif “aku”
“engkau” atau “kita”, yaitu pertama: solidaritas, kedua: kerjasama yang
saling menghormati, ketiga: tata damai dan yang ke empat: kebebasan.
Tata damai artinya bahwa secara umum dimana tidak ada konfik, tidak ada
pertikaian, tidak ada perkelahian. Akan tetapi menurut Armada Riyanto
menggunakan teori tata damai dari seorang filosof yaitu emmanuel levinas,
bahwa tata damai yang kita impikan bukan seperti makam atau kuburan
1
https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE
3
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
dimana semuanya benar-benar sunyi, senyap dan tidak ada apa-apa. Akan
tetapi kita semua sebagai manusia- manusia yang hidup, tata damai harus
kita simak sebagai suatu realita yang dinamis, bukan tidak ada konflik tetapi
tata damai berarti saling menghormati, saling mengapresiasi, saling
mendengarkan dan pada gilirannya merealisasikan apa yang di suarakan.
Seperti contohnya, keadilan, kesejahteraan, kesehatan dan yang lainnya.
Dengan kata lain bahwa tata damai adalah penuh dengan kepedulian.
Kebebasan artinya bahwa ketika dalan societas tidak ada kebebasan maka di
sini kita tidak akan bisa menemukan yang namanya nilai intersubyektif.
Nilai intersubyektif itu akan ada ketika ada penghargaan keluhuran martabat
kemanusiaan sebagai manusia.
Dalam lakon Sukrasana dan Sumantri terkait dengan filsafat “kita”, ketika
Sukrasana dan Sumantri sebagai keluarga, disitu ada relasionalitas “aku”
“engkau” dengan fondasi cinta. Antara Sukrasana dan Sumantri sebagai
kodrat societas dalam keluarga, dalam melestarikan atau keteguhan sebuah
keluarga disitu ada relasi intersubyektif diantaranya solidaritas, kerjasama
yang saling menghormati, tata damai dan kebebasan. Ketika relasi
intersubyektif dalam sebuah keluarga antara Sukrasana dan Sumantri masih
terjalin artinya mereka berdua bisa disebut dengan yang namanya “kita”.
2
Konsep liyan menurut Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto, dalam bukunya Relasionalitas
Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen. Dalam sub bab filsafat “liyan”,
3
Warga negara diberkati dengan segala “fasilitas” ruang pengetahuan dan waktu luang,
artinya negara secara sosial mendapatkan segalanya untuk mengembangkan kapasitas
manusiawinya. Sementara liyan berada dalam wilayah pinggiran.
4
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
memaksudkan lenyapnya kapasitas parsipatoris (dalam arti bahwa mereka
terbelenggu oleh kehadiran kategorialnya sebagai bagian yang dilindungi,
dan dengan demikian dikekang). Liyan juga menampilkan realitas
keterbelengguan , bahwa dirinya bukan miliknya; tubuhnya bukan
kepunyaannya; hidupnya pun bukan berada dalamkekuasaannya.4
Liyan berarti mereka yang ada dalam ketertindasan. Liyan berarti mereka
yang ada dalam ketersingkiran. Liyan berarti mereka yang lenyap dalam
keterasingan kehidupan sehari-hari. Liyan berarti mereka yang tertindih oleh
pasar, oleh masyarakat kapitalis.9
4
Eko Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan,
Fenomen, 2019, hlm. 260-261.
5
Ibid., hlm. 261
6
Bagaimana liyan kita mengerti dalam skema besar peradaban modern? Ketika
modernitas identik dengan rasionalitas, dan rasionalitas terkait dengan ilmu, dan ilmu
adalah kekuasaan.
7
Pada zaman pencerahan ilmu pengetahuan mengukir keunggulan manusia,
keterbelakangan menjadi keterasingan.
8
Eko Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan,
Fenomen, 2019, hlm. 265.
9
Ibid., hlm. 265
5
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Begini lanjutan ceritanya, Sumantri diminta memindahkan taman Sriwedari
dari gunung Nguntara ke negara Maespati. Bila tidak mampu, Ia tidak
diperkenankan kembali mengabdi kepada sang prabu lagi.
“Apa kau tidak sanggup memindahkan taman Sriwedari?” Tanya sang adik.
“O akang Mantri”, kata Sukrasana, itu hanya siasat Pabu Maespati yang
tidak ingin menerimamu lagi, karena ia sendiripun belum tentu mampu
melaksanakan pekerjaan itu. Itu permintaan yang aneh dan dibuat-buat saja.
Maka untuk apa kau susah-susah, marilah kita pulang saja ke gunung kita
yang indah dan tentram, menjadi orang yang bebas merdeka, main-main di
pinggir hutan, memburu burung-burung dengan sumpian, mandi bersenang-
senang di telaga yang jernih dan sejuk.
“tidak, adikku aku tak akan pulang ke pertapaan Jatisrana lagi, bila aku tak
sanggup melaksanakan permintaan Prabu Sasrabahu, lebih baik aku mati
saja, dari pada hidup menanggung malu”.
“ Jadi, sudah bulatkah niatmu itu kakang?” tanya adik dengan serius”.
“Ha, ha, ha, ha,. Sang adik tertawa. Rupanya saja yang cakap dan gagah,
tetapi kemampuanmu tidak ada. Berapa sulitnya memindahkan Taman
sriwedari itu sih? Pekerjaan itu hanya mainan anak-anak, hanya cukup
dengan dua jari saja pekerjaan itu dapat diselesaikan”.
“Kenapa tidak? Gunung Nguntara terletak tidak jauh dari sebelah utara
pertapan Jatisrana, hanya saja tidak nampak oleh mata manusia, karena
gunung itu adalah bekas Kahyangan Batara Wisnu, yang sekarang ini dijaga
oleh setan dan dedemit. Marilah kau naik ke atas punggungku, dan
pejamkan matamu, agar tidak pusing dan jatuh ketakutan, aku akan bawa
terbang supaya cepat sampai”.
6
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Singkat cerita Taman Sriwedari dapat dipindahkan ke Negara Maespati
berkat bantuan Sukrasana.
Pada suatu hari sang ratu di kala ingin bersenang-senang di taman Sriwedari
tiba-tiba sang ratu ketakutan karena telah melihat Sukrasana yang berwajah
buruk dan berbadan kerdil itu. Sehingga sang ratu mengadukannya kepada
sang raja. Lalu sang raja memerintahkan kepada Sumantri untuk memeriksa
keadaan di taman Sriwedari.
“Akang antri”, kata sang adik dengan air mata berlinang, aku tidak betah
hidup berpisah dari mu, maka aku ingin tetap disini, biarlah aku tidur di
kandang kuda, kalau sang Prabu atau siapapun menanyakan, kau bilang saja
aku ini pembantumu, jangan diaku saudaramu, tentu orang akan percaya,
karena rupaku memang jelek dan sama sekali tidak mirip akang.
Oh, kakang janganlah usir aku pulang, sebab aku tidak dapat hidup berpisah
denganmu”.
“ Itu Cakrabaswara, akang Mantri, senjata yang diatas bumi ini tiada yang
sanggup menerima benturannya”, “Kalau kau sudah tahu, maka aku bilang
7
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
sekali lagi, pulanglah, pulanglah ke gunung, Sukrasana, bila kau tidak
menurut kata-kataku, kau akan tewas disini juga”.
Cakra Baswara telah terpasang pada gandewanya, jempol dan jari tangan
yang memegang ekor cakra karena gugupnya menjadi berkeringat dan licin,
dalam kepanikan, dengan tidak di sangka-sangka pegangan cakra terlepas,
sehingga meluncurlah cakrabaswara menjurus ke arah Sukrasana yang
dengan tepat mengenai dada Sukrasana sampai terbelah menjadi dua.
Setelah itu keadaan sunyi kembali, hawa udara dingin sekali. Sumantri
duduk bengong sendirian dangan penyesalan. Setelah rombongan baginda
raja sampai ke tempat itu, barulah Sumantri tersadar dan segera menyembah
hormat kepada sang Prabu. Sumantri menjadi patih di Maespati dengan
hidup mewah, senang dan tentram di Istana.
Dalan cerita Sukrasana dan Sumantri ini, hubungan adik kakak dalam
sebuah keluarga, ketika keluarga adalah “kita atau kami” secara utuh, rukun
dan sejahtera seorang saudara adalah bagian dari hidupnya.
dalam “Filsafat Kita” di chanel youtube STFT Widya Sasana, Prof. Dr. FX.
Eko Armada Riyanto10 mengatakan “keluarga berangkat dari relasi
komunikasi aku engkau dengan fondasi cinta, dalam ilmu sosial relasi
komunikasi aku engkau adalah relasi intersubyektif, ketika relasi
intersubyektif memudar atau meredup maka konsekwensinya, tata hidup
10
https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE
8
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
menjadi kacau, akan ada pertikaian dan konflik. Maka muncul liyan (other)
sebagai musuh”.
9
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
banyak dari rakyat untuk sebuah jabatan. Ketika jabatan dan kekuasaan itu
telah di raihnya. Para pejabat itu telah lupa pada janji-janjinya, bahkan
rakyat jelata di matikan hak-haknya demi ambisi dan kekuasaan yang lebih
tinggi. Rakyat jelata menjadi “liyan” di mata para pejabat dan penguasa.
Seharusnya komunitas masyarakat adalah “kita atau kami” karena relasi
intersubyektif sudah memudar atau meredup karena sebuah tujuan
kepentingan yang berbeda maka yang terjadi rakyat jelata menjadi “ liyan”.
Kepustakaan
Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks,
Liyan, Fenomen, PT. Kanisius, 2019.
Armada Riyanto, dkk, Kearifan lokal Pancasila Bitir-Butir Filsafat
Keindonesiaan, PT. Kanisius, 2018.
Kihajar Sukowiyono, Pertempuran di Maespati:Sumantri ngenger, PT.
Tribisana Karya, 1977.
R Rio Sudibyoprono, Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium), Balai
Pustaka, 1991.
https://www.youtube.com/watch?v=yOGejoZYTDw
https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE
10
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021