Anda di halaman 1dari 10

LAKON WAYANG SUKRASANA DAN SUMANTRI:

Kajian Filosofis tentang “Kita dan Liyan” dalam lakon Sukrasana dan
Sumantri : gambaran rakyat jelata dengan pejabat penguasa
Adiyanto

Abstrak
Artikel ini mengkaji tentang lakon Sukrasana dan Sumantri dalam cerita
wayang kulit, cerita ini menggambarkan cinta kasih, kesetiaan, dan
kepahlawanan Sukrasana serta keegoisan, lupa diri dan ambisi dari Sumantri
untuk sebuah jabatan dan kekuasaan. Cerita ini adalah cerita carangan yang
hidup di masyarakat jawa sebagai warisan secara historis tradisional.
Dalam lakon ini saya kaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini yang mana
Sukrasana sebagai penggambaran rakyat kecil sedangkan Sumantri sebagai
bentuk penggambaran seseorang yang mempunyai ambisi dan lupa diri
ketika jabatan dan kekuasaan sudah diraih.
Filsafat “kita dan liyan” menunjukkan sebuah makna kita atau kami yang
mempunyai sifat kesatuan perasaan antara individu-individu dan
mementingkan kebersamaan dalam menanggung suka dan duka, saling
menolong, saling membantu dan yang lainnya. Sedangkan “liyan”
mempunyai makna orang lain, dalam hal ini adalah orang yang berbeda
kepentingan sehingga terjadi ketertindasan.
Kita keluarga maupun kita negara mempunyai makna apabila masih dalam
kesatuan perasaan, mementingkan kepentingan bersama, saling menolong
dan saling membantu. Apabila sifat-sifat tersebut telah memudar atau
meredup maka akan ada yang namanya “liyan”.
Kata Kunci : Sukrasana, Sumantri, Filosofis, Gambaran

1
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Sukrasana dan Sumantri dalam Filsafat “kita”

Dalam buku Pertempuran di Maespati karya Ki Hajar Sukowiyono


menceritakan, di sebuah depok pertapaan yang sunyi tenteram tinggalah
seorang pendeta yang bernama Resi Aswandani atau disebut Suwandageni,
beserta kedua putranya yang besar bernama Bambang Sumantri, yang kecil
bernama Sukrasana. Agak aneh juga bila orang memperhatikan kedua anak
pertapa itu, karena dari seorang ayah lahir dua putera yang sangat berbeda
rupa lahiriah. Yang sulung, Sumantri tubuhnya tinggi semampai dengan
tubuh atletik, romannya cakap ngganteng, dan gagah perkasa, sedangkan
adiknya Sukrasana tubuhnya mirip raksasa tetapi kecil kerdil, mukanya
hitam dengan benjolan kecil-kecil, kepalanya besar gundul tanpa rambut,
kaki kecil seperti galah, perut buncit seperti periuk, namun demikian dewata
maha adil, Sukrasana yang jelek rupa diberi anugrah, yaitu menarik hati
siapapun yang melihatnya, orang merasa sayang dan kasian.

Pada waktu Sumantri berlatih dalam ilmu-ilmu bela diri, Sukrasana


senantiasa duduk nongkrong di bawah pohon, sambil memperhatikan
dengan mata kelap-kelip penuh kekaguman. Bila sang kakak telah
menyelesaikan latihannya, dengan cepat menghampiri dan dengan kain
putih yang dibawanya disusutinya keringat yang bercucuran di tubuh
sumantri; lalu ditariknya tangan kakaknya untuk sama-sama mandi di sungai
yang jernih, dengan pancaran kasih sayangnya, Sukrasana membantu
menggosok badan Sumantri hingga bersih dan segar.

Sumantri juga mencintai adiknya itu, namun disaat-saat tertentu sebagai


layaknya masa kanak-kanak dalam hubungan kakak adik, sang kakak pun
sering menggoda adiknya sampai menangis, tetapi segera setelah itu
ditariknya sang adik dan dipeluknya, sambil disusut air matanya dengan
penuh kasih sayang. Begitulah kedua saudara itu setiap hari bergaul rapat,
hidup rukun, perbedaan wajah tidak mempengaruhi keintiman dan
kemesraan sehingga kemanapun selalu berdua.

2
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Dalam “Filsafat Kita” di chanel youtube STFT Widya Sasana, Prof. Dr. FX.
Eko Armada Riyanto1 mengatakan bahwa “kita” adalah orang pertama
plural, Asal usul keluarga adalah dari laki-laki dan perempuan yang tertarik
satu sama lain, yang kemudian menyatukan diri dalam cinta, dan
membangun suatu masyarakat kecil yang di sebut keluarga. Jadi keluarga
berasal dari relasionalitas komunikasi “aku” “engkau”, dengan fondasi
cinta, dalam ilmu sosial relasi komunikasi “aku” “engkau” adalah relasi
intersubyektif. Konsep untuk meneguhkan relasi intersubyektif “aku”
“engkau” atau “kita”, yaitu pertama: solidaritas, kedua: kerjasama yang
saling menghormati, ketiga: tata damai dan yang ke empat: kebebasan.

Solidaritas artinya bahwa ada kebersamaan, kebersatuan atau kesolidan,


kalau kita berelasi saling menghormati dalam kesolidan maka kalau ada
saudara kita itu mengalami kesulitan, kita tentu mengambil bagian dalam
kesulitan itu, untuk meringankan bebannya. Jika saudara kita bergembira
dan tertawa, tentu saja kita senang melihatnya. Solidaritas bisa di ringkas
dengan yang disebut tertawa bersama dengan orang yang tertawa, menangis
bersama dengan orang yang menagis, dan tidak hanya dimengerti sebagai
sikap akan tetapi harus dilanjutkan dalam sebuah tindakan.

Kerjasama atau kolaborasi artinya bahwa suatu kerjasama pasti


mengandaikan sebuah mimpi, dan mengkomunikasikan mimpi itu dan
selanjutnya dalam kehidupan keduanya mewujudkan mimpinya itu.
Contohnya, ketika di kampung ada jalan rusak tentu saja mimpi kita adalah
orang yang tinggal di kampung itu akan mempunyai mimpi jalan yang
bagus. Sehingga kolaborasi atau kerjasama antara orang yang satu dengan
yang lain mengkomunikasikan mimpinya dan merealisasikannya, sehingga
jalan yang rusak tadi menjadi jalan yang bagus.

Tata damai artinya bahwa secara umum dimana tidak ada konfik, tidak ada
pertikaian, tidak ada perkelahian. Akan tetapi menurut Armada Riyanto
menggunakan teori tata damai dari seorang filosof yaitu emmanuel levinas,
bahwa tata damai yang kita impikan bukan seperti makam atau kuburan

1
https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE

3
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
dimana semuanya benar-benar sunyi, senyap dan tidak ada apa-apa. Akan
tetapi kita semua sebagai manusia- manusia yang hidup, tata damai harus
kita simak sebagai suatu realita yang dinamis, bukan tidak ada konflik tetapi
tata damai berarti saling menghormati, saling mengapresiasi, saling
mendengarkan dan pada gilirannya merealisasikan apa yang di suarakan.
Seperti contohnya, keadilan, kesejahteraan, kesehatan dan yang lainnya.
Dengan kata lain bahwa tata damai adalah penuh dengan kepedulian.

Kebebasan artinya bahwa ketika dalan societas tidak ada kebebasan maka di
sini kita tidak akan bisa menemukan yang namanya nilai intersubyektif.
Nilai intersubyektif itu akan ada ketika ada penghargaan keluhuran martabat
kemanusiaan sebagai manusia.

Dalam lakon Sukrasana dan Sumantri terkait dengan filsafat “kita”, ketika
Sukrasana dan Sumantri sebagai keluarga, disitu ada relasionalitas “aku”
“engkau” dengan fondasi cinta. Antara Sukrasana dan Sumantri sebagai
kodrat societas dalam keluarga, dalam melestarikan atau keteguhan sebuah
keluarga disitu ada relasi intersubyektif diantaranya solidaritas, kerjasama
yang saling menghormati, tata damai dan kebebasan. Ketika relasi
intersubyektif dalam sebuah keluarga antara Sukrasana dan Sumantri masih
terjalin artinya mereka berdua bisa disebut dengan yang namanya “kita”.

Sukrasana Dianggap Liyan Oleh Sumantri Dalam Filsafat” Liyan


(Other).
Armada Riyanto mengatakan bahwa Liyan2 menemukan kejelasannya
karena menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalah tata kelola hidup
bersama. Liyan berada dalam wilayah pinggiran3. Liyan berarti mereka yang
kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti bahwa mereka terpisah,
terpinggirkan dari peran-peran pengelolaan tata hidup bersama). Liyan juga

2
Konsep liyan menurut Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto, dalam bukunya Relasionalitas
Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen. Dalam sub bab filsafat “liyan”,
3
Warga negara diberkati dengan segala “fasilitas” ruang pengetahuan dan waktu luang,
artinya negara secara sosial mendapatkan segalanya untuk mengembangkan kapasitas
manusiawinya. Sementara liyan berada dalam wilayah pinggiran.

4
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
memaksudkan lenyapnya kapasitas parsipatoris (dalam arti bahwa mereka
terbelenggu oleh kehadiran kategorialnya sebagai bagian yang dilindungi,
dan dengan demikian dikekang). Liyan juga menampilkan realitas
keterbelengguan , bahwa dirinya bukan miliknya; tubuhnya bukan
kepunyaannya; hidupnya pun bukan berada dalamkekuasaannya.4

Liyan adalah sosok-sosok manusia yang berlumuran dengan derita


penindasan. Mereka tidak memiliki aneka akses bagi keberadaan
manusiawinya. Liyan adalah subyek penderita. Liyan adalah non-being
dalam ranah politik kolonial.5

Liyan adalah mereka yang terpinggirkan. Liyan menempati wilayah


pinggiran kehidupan, Liyan identik dengan keterbelakangan.6 Liyan dalam
zaman pencerahan adalah mereka yang terdesak dan tersisih sebagai
manusia.7 Liyan pada periode ideologi adalah sekelompok masyarakat yang
tersisih, tertindih oleh beban kehidupan di satu pihak tetapi terpojok oleh
kemiskinan telak. Struktur masyarakat berada dalam wilayah yang sangat
rentan dengan ketidakadilan.8

Liyan berarti mereka yang ada dalam ketertindasan. Liyan berarti mereka
yang ada dalam ketersingkiran. Liyan berarti mereka yang lenyap dalam
keterasingan kehidupan sehari-hari. Liyan berarti mereka yang tertindih oleh
pasar, oleh masyarakat kapitalis.9

Didalam lakon Sukrasana dan Sumantri, Sukrasana dianggap liyan oleh


Sumantri karena Ia malu mempunyai adik yang buruk rupa. Sehingga demi
jabatan dan kekuasaan Sukrasana dianggap sebagai liyan.

4
Eko Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan,
Fenomen, 2019, hlm. 260-261.
5
Ibid., hlm. 261
6
Bagaimana liyan kita mengerti dalam skema besar peradaban modern? Ketika
modernitas identik dengan rasionalitas, dan rasionalitas terkait dengan ilmu, dan ilmu
adalah kekuasaan.
7
Pada zaman pencerahan ilmu pengetahuan mengukir keunggulan manusia,
keterbelakangan menjadi keterasingan.
8
Eko Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi Aku, Teks, Liyan,
Fenomen, 2019, hlm. 265.
9
Ibid., hlm. 265

5
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Begini lanjutan ceritanya, Sumantri diminta memindahkan taman Sriwedari
dari gunung Nguntara ke negara Maespati. Bila tidak mampu, Ia tidak
diperkenankan kembali mengabdi kepada sang prabu lagi.

“Apa kau tidak sanggup memindahkan taman Sriwedari?” Tanya sang adik.

“Apalagi memindahkan, sedangkan letak gunung itupun sampai sekarang


belum diketahui” jawab Sumantri.

“O akang Mantri”, kata Sukrasana, itu hanya siasat Pabu Maespati yang
tidak ingin menerimamu lagi, karena ia sendiripun belum tentu mampu
melaksanakan pekerjaan itu. Itu permintaan yang aneh dan dibuat-buat saja.
Maka untuk apa kau susah-susah, marilah kita pulang saja ke gunung kita
yang indah dan tentram, menjadi orang yang bebas merdeka, main-main di
pinggir hutan, memburu burung-burung dengan sumpian, mandi bersenang-
senang di telaga yang jernih dan sejuk.

“tidak, adikku aku tak akan pulang ke pertapaan Jatisrana lagi, bila aku tak
sanggup melaksanakan permintaan Prabu Sasrabahu, lebih baik aku mati
saja, dari pada hidup menanggung malu”.

“ Jadi, sudah bulatkah niatmu itu kakang?” tanya adik dengan serius”.

“betul Sukrasana, itulah keputusanku”.

“Ha, ha, ha, ha,. Sang adik tertawa. Rupanya saja yang cakap dan gagah,
tetapi kemampuanmu tidak ada. Berapa sulitnya memindahkan Taman
sriwedari itu sih? Pekerjaan itu hanya mainan anak-anak, hanya cukup
dengan dua jari saja pekerjaan itu dapat diselesaikan”.

“Apa benar adikku!”

“Kenapa tidak? Gunung Nguntara terletak tidak jauh dari sebelah utara
pertapan Jatisrana, hanya saja tidak nampak oleh mata manusia, karena
gunung itu adalah bekas Kahyangan Batara Wisnu, yang sekarang ini dijaga
oleh setan dan dedemit. Marilah kau naik ke atas punggungku, dan
pejamkan matamu, agar tidak pusing dan jatuh ketakutan, aku akan bawa
terbang supaya cepat sampai”.

6
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
Singkat cerita Taman Sriwedari dapat dipindahkan ke Negara Maespati
berkat bantuan Sukrasana.

Pada suatu hari sang ratu di kala ingin bersenang-senang di taman Sriwedari
tiba-tiba sang ratu ketakutan karena telah melihat Sukrasana yang berwajah
buruk dan berbadan kerdil itu. Sehingga sang ratu mengadukannya kepada
sang raja. Lalu sang raja memerintahkan kepada Sumantri untuk memeriksa
keadaan di taman Sriwedari.

Setelah tiba di taman Sriwedari, ternyata yang ditemuinya adalah adiknya


sendiri yaitu Sukrasana. Sumantri marah kepada adiknya dan berkata:

“Sukrasana, apakah kau tidak mengetahui bahwa wajahmu jelek dan


menyeramkan, sehingga berani mendekati putri-putri itu”.

Sukrasana, cengar-cengir dengan lucunya dan menjawab: “ cantik-cantik


putri-putri itu, kakang mantri, tetapi ku kasih kembang tidak sudi, malahan
lari ketakutan”.

“Sukrasana, bentak sumantri, dengan suara yang berwibawa dan sungguh-


sungguh, kau sekarang pulang dahulu ke pertapaan, sebab bila kau ada
disini bersamaku, aku akan ditolak lagi oleh sang prabu”.

“Akang antri”, kata sang adik dengan air mata berlinang, aku tidak betah
hidup berpisah dari mu, maka aku ingin tetap disini, biarlah aku tidur di
kandang kuda, kalau sang Prabu atau siapapun menanyakan, kau bilang saja
aku ini pembantumu, jangan diaku saudaramu, tentu orang akan percaya,
karena rupaku memang jelek dan sama sekali tidak mirip akang.

Oh, kakang janganlah usir aku pulang, sebab aku tidak dapat hidup berpisah
denganmu”.

Sumantri bertambah marah, maka diambillah Cakranya seraya berkata :


“Hai Sukrasana, kau tau ini senjata apa?”.

“ Itu Cakrabaswara, akang Mantri, senjata yang diatas bumi ini tiada yang
sanggup menerima benturannya”, “Kalau kau sudah tahu, maka aku bilang

7
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
sekali lagi, pulanglah, pulanglah ke gunung, Sukrasana, bila kau tidak
menurut kata-kataku, kau akan tewas disini juga”.

“Tidak akang Mantri, karena hidup berpisah denganmu akan sangat


sengsara bagiku, oh kakang, biarlah aku tinggal disini saja, dekat denganmu
agar aku bisa menyusut keringatmu, bila kau pulang kecapaian, seperti
dahulu ketika kita masih bersama-sama hidup di gunung”.

Suara rombongan pengiring sang prabu, terdengar semakin dekat, maka


Sumantri menjadi gugup, lagi-lagi ia menengok ke belakang, berkali-kali.

Cakra Baswara telah terpasang pada gandewanya, jempol dan jari tangan
yang memegang ekor cakra karena gugupnya menjadi berkeringat dan licin,
dalam kepanikan, dengan tidak di sangka-sangka pegangan cakra terlepas,
sehingga meluncurlah cakrabaswara menjurus ke arah Sukrasana yang
dengan tepat mengenai dada Sukrasana sampai terbelah menjadi dua.

“Aduh, Sukrasana, Sukrasana”.... Seru Sumnatri sambil menangis dan


memeluk mayat adiknya.

Setelah itu keadaan sunyi kembali, hawa udara dingin sekali. Sumantri
duduk bengong sendirian dangan penyesalan. Setelah rombongan baginda
raja sampai ke tempat itu, barulah Sumantri tersadar dan segera menyembah
hormat kepada sang Prabu. Sumantri menjadi patih di Maespati dengan
hidup mewah, senang dan tentram di Istana.

Dalan cerita Sukrasana dan Sumantri ini, hubungan adik kakak dalam
sebuah keluarga, ketika keluarga adalah “kita atau kami” secara utuh, rukun
dan sejahtera seorang saudara adalah bagian dari hidupnya.

dalam “Filsafat Kita” di chanel youtube STFT Widya Sasana, Prof. Dr. FX.
Eko Armada Riyanto10 mengatakan “keluarga berangkat dari relasi
komunikasi aku engkau dengan fondasi cinta, dalam ilmu sosial relasi
komunikasi aku engkau adalah relasi intersubyektif, ketika relasi
intersubyektif memudar atau meredup maka konsekwensinya, tata hidup

10
https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE

8
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
menjadi kacau, akan ada pertikaian dan konflik. Maka muncul liyan (other)
sebagai musuh”.

Dengan adanya pernyataan diatas tersebut, bahwa Sukrasana dan Sumantri


hidup dalam satu keluarga sebagai saudara kandung. Ketika keluarga
mempunyai fondasi cinta dan kasih sayang sesama individu maka dalam
keluarga akan tercipta kerukunan dan ketentraman dalam sebuah keluarga.
Ketika relasi intersubyektif dalam fondasi cinta dan kasih sayang memudar
atau meredup maka akan memunculkan Sukrasana sebagai “liyan” yang
dianggap menghambat karier Sumantri untuk ambisinya untuk menjadi
pejabat dan penguasa.

Dalam lakon ini, hubungan Sukrasana dan Sumantri adalah gambaran


kesetiaan dan fairness sang Sukrasana, yang telah dikhianati oleh ambisi dan
kesombongan Sumantri karena sebuah jabatan dan kekuasaan. Pada posisi
ini sang Sukrasana di anggap “liyan” oleh sang Sumantri karena ambisinya
untuk menjadi pejabat yang berkuasa telah tercapai walaupun
mengorbankan saudaranya.

Sukrasana dan Sumantri : gambaran rakyat jelata dengan pejabat


penguasa dalam filsafat “ kita” dan “liyan”.
Lakon Sukrasana dan Sumantri terkait dengan kondisi realitas kehidupan
saat ini. Penggambaran Sukrasana sebagai rakyat jelata dan Sumantri
sebagai sesosok calon pejabat yang ingin memperoleh jabatannya. Dalam
kondisi seperti saat ini banyak sekali para calon pimpinan daerah atau
pimpinan partai yang mana ketika sebelum menjabat, di masa kampanye
para calon pimpinan tersebut mendekati para rakyat sehingga antara rakyat
dan calon pimpinan menjadi satu kesatuan, saling solidaritas, kerjasama,
tata damai dan kebebasan. Terkesan antara rakyat dan calom pimpinan
menjadi “kita” atau “kami”, untuk mencari suara, dalam pemilihan. Dengan
banyak janji kepada rakyat bila nanti sudah menjadi pimpinan maka akan
mensejahterakan, memberikan keadilan, mengentaskan kemiskinan dan
banyak lagi janji-janji politik untuk rakyat agar memperoleh suara yang

9
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021
banyak dari rakyat untuk sebuah jabatan. Ketika jabatan dan kekuasaan itu
telah di raihnya. Para pejabat itu telah lupa pada janji-janjinya, bahkan
rakyat jelata di matikan hak-haknya demi ambisi dan kekuasaan yang lebih
tinggi. Rakyat jelata menjadi “liyan” di mata para pejabat dan penguasa.
Seharusnya komunitas masyarakat adalah “kita atau kami” karena relasi
intersubyektif sudah memudar atau meredup karena sebuah tujuan
kepentingan yang berbeda maka yang terjadi rakyat jelata menjadi “ liyan”.

Kepustakaan
Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks,
Liyan, Fenomen, PT. Kanisius, 2019.
Armada Riyanto, dkk, Kearifan lokal Pancasila Bitir-Butir Filsafat
Keindonesiaan, PT. Kanisius, 2018.
Kihajar Sukowiyono, Pertempuran di Maespati:Sumantri ngenger, PT.
Tribisana Karya, 1977.
R Rio Sudibyoprono, Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium), Balai
Pustaka, 1991.
https://www.youtube.com/watch?v=yOGejoZYTDw
https://www.youtube.com/watch?v=O7qBfBw_7bE

10
Filsafat Ilmu Sosial/ Adiyanto/ 2021

Anda mungkin juga menyukai