Anda di halaman 1dari 19

SOSIOLOGI DAN POLITIK (EKU 116 E)

“ STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT”

Disusun oleh : Kelompok 5

Arya Damar Kamajaya 1807511122

Anak Agung Gde Agung Bismaputra 1807511126

Anak Agung Rika Prahastiwi 1807511128

Putu Adika Aryasatya 1807511136

Leony Puspitha Sari 1807511139

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
1.1 Pengertian Struktur Sosial Masyarakat

A. Pengertian
Struktur sosial masyarakat merupakan rangkaian atau tatanan sosial yang membentuk
kelompok sosial di suatu masyarakat. Menurut salah satu ahli, yaitu Raymonf Firth.
Struktur social merupakan pergaulan hidup manusia yang meliputi berbagai jenis
kelompok dan banyak orang yang terlibat, meliputi lembaga-lembaga yang orang-
orangnya ikut andil di dalamnya.
Secara sosiologi, Masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai unsur di
dalamnya, unsur-unsur itu saling berhubungan satu sama lain , pola saling ketergantungan
unsur mana terwujud dalam berbagai gejala sosial dengan jaringan hubungan yang
fungsional, gejala-gejala sosial ditelaah sebagai bagian dari suatu sistem. Struktur sosial
diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-
peranan. Interaksi dalam sistem sosial dikonsepkan secara lebih terperinci dengan
menjabarkan manusia yang menempati posisi-posisi dan melaksanakan peranannya.
Sistem sosial merupakan konsep yang lebih luas daripada struktur sosial dan mencakup
aspek fungsional dari sistem, konsekuensi- konsekuensi positif dan negatif dan sub-
kebudayaan terhadap keseluruhan sistem, sebagai tambahan terhadap aspek strukturalnya.
Menurut Soerjono Soekanto (1983), mengatakan bahwa struktur sosial itu merupakan
suatu jaringan daripada unsur - unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur pokok
tersebut meliputi: Kelompok sosial, Stratifikasi sosial, Lembaga sosial, Kekuasaan dan
wewenang, Kebudayaan

B. Kelompok Sosial

Menurut (Brym & Lie, 2018) disebutkan kelompok sosial (social group) terbentuk
karena adanya satu atau lebih jaringan individu yang teridentifikasi sama dengan yang
lainnya yang saling mengikat membentuk norma-norma, peran, dan status sosial
C. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya pembedaan
dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat. Misalnya:
dalam komunitas tersebut ada strata tinggi, strata sedang dan strata rendah. Pembedaan
dan/atau pengelompokan ini didasarkan pada adanya suatu simbol - simbol tertentu yang
dianggap berharga atau bernilai baik berharga atau bernilai secara sosial, ekonomi,
politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya dalam suatu kelompok sosial
(komunitas). Simbol tersebut misalnya kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam
beragama, dan pekerjaan. Dengan kata lain, selama dalam suatu kelompok sosial
(komunitas) ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, dan dalam suatu kelompok
social pasti ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, maka selama itu pula akan
ada stratifikasi sosial dalam kelompok sosial tersebut.
D. Lembaga Sosial
Menurut beberapa ahli, salah satunya Leopold Von Weise dan Becker. Mengatakan
bahwa Lembaga sosial adalah jaringan proses hubungan antar manusia dan antar
kelompok yang berfungsi memelihara hubungan itu beserta pola-polanya yang sesuai
dengan minat kepentingan individu dan kelompoknya. Adapun macam – macam dari
Lembaga social (ada 6 macam), antara lain: Lembaga Pendidikan, Lembaga Ekonomi,
Lembaga Kebudayaan, Lembaga Keagamaan, Lembaga Politik, Lembaga Keluarga
E. Kekuasaan dan Wewenang

Menurut Max Weber, kekuasaan adalah kemampuan untuk dalam suatu hubungan
sosial, melakukan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa-pun dasar
kemampuan ini. Dan wewenang sendiri merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan
(legitimate power). Unsur dari kekuasaan dan wewenang ini adalah: Kemampuan,
Kemauan/keinginan dari seseorang/kelompok/Lembaga, Dalam situasi hubungan social,
Wujudnya berbentuk keputusan yang membatasi dan memperluas alternatif bertindak.
F. Kebudayaan
Menurut Ward Goodenough: Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu
yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang
dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu
penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-
emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut.

1.2 Perspektif Sosiologis Terhadap Struktur Sosial Indonesia


A. Gambaran struktur sosial masyarakat Indonesia

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu (1) secara
horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan- perbedaan kedaerahan.
Sedangkan (2) secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-
perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh
Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda.

B. Perspektif sosiologi dalam melihat struktur sosial masyarakat Indonesia

 Perspektif Fungsionalisme

Tokoh-tokoh perpektif ini yang dikenal luas antara lain: Talcott Parsons, Neil
Smelser. Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat
(societalneeds). Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat melangsungkan
keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar kehidupan sosial struktur
sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap
permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang
ada memberi kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan
seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut. Analogi dengan tubuh
manusia mengakibatkan Parsons merumuskan konsep keseimbangan dinamis-stasioner, jika
satu bagian tubuh manusia berubah maka bagian lain akan mengikutinya. Demikian juga
dengan masyarakat, masyarakat selalu mengalami perubahan tetapi teratur. Perubahan sosial
terjadi pada satu lembaga akan berakibat perubahan di lembaga lain untuk mencapai
keseimbangan baru.

 Perspektif Konflik

Manusia membuat sejarah; sejarah yang kita buat selalu terjadi dalam suasana
interaksi dengan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial yang keberadaannya diciptakan
dalam acuan interaksi sosial. Karena itu beberapa pemikir melihat interaksi sosial sebagai
mekanisme yang mengerakan perubahan, terutama menggerakan konflik. Beberapa tokoh
seperti Ibnu Khaldun, Karl Marx, Vilfredo Pareto melihat jalannya sejarah didorong oleh
konflik antar manusia. Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural
yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial, dengan kata lain
konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan
kekuasaan yang ada. Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif ini
memiliki proporsi sebagai berikut: Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses
perubahan; perubahan sosial terjadi dimana saja, Setiap masyarakat dalam segala hal
memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik sosial terdapat dimana saja, Setiap
unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya dan
Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya
terhadap anggota yang lain.

1.3 Struktur Sosial Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan

Masyarakat pedesaan kehidupannya berbeda dengan masyarakat perkotaan. Perbedaan-


perbedaan ini berasal dari adanya perbedaan yang mendasar dari keadaan lingkungan, yang
mengakibatkan adanya dampak terhadap personalitas dan segi-segi kehidupan. Kesan populer
masyarakat perkotaan terhadap masyarakat pedesaan adalah bodoh, lambat dalam berpikir
dan bertindak, serta mudah "tertipu", dan sebagainya. Kesan ini disebabkan masyarakat
perkotaan mengamatinya hanya sepintas, tidak banyak tahu, dan kurang pengalaman dengan
keadaan lingkungan pedesaan. Masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan memiliki ciri
sendiri-sendiri. Mengenal ciri-ciri masyarakat pedesaan, akan lebih mudah dan lebih baik
dengan membandingkannya dengan kehidupan masyarakat perkotaan.

Dalam memahami masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, tentu tidak akan
mendefinisikannya secara universal dan objektif, tetapi berpatokan pada ciri-ciri masyarakat.
Ciri-ciri itu ialah adanya sejumlah orang, tinggal dalam suatu daerah tertentu, adanya sistem
hubungan, ikatan atas dasar kepentingan bersama, tujuan dan bekerja bersama, ikatan atas
dasar unsur- unsur sebelumnya, rasa solidaritas, sadar akan adanya interdependensi, adanya
norma-norma dan kebudayaan. Kesemua ciri-ciri masyarakat ini dicoba ditranformasikan
pada ealitas desa dan kota, dengan menitik beratkan pada kehidupannya.

Untuk menentukan suatu komunitas apakah termasuk masyarakat pedesaan atau


masyarakat perkotaan, dari segi kuantitatif sulit dibedakan karena adanya hubungan antara
konsentrasi penduduk dengan gejala sosial; dan perbedaannya bersifat graudal. Lebih sesuai
apabila menentukan perbedaannya dengan sifat kualitas atau kriteria kualitatif, di mana
struktur, fungsi, adat-istiadat, serta corak kehidupannya dipengaruhi oleh proses penyesuaian
ekologi masyarakat. Masyarakat pedesaan ditentukan oleh basis fisik dan sosialnya, seperti
ada kolektivitas, petani individu, tuan tanah, buruh tani, pemaro, dan lain-lain. Ciri lain
bahwa desa terbentuk erat kaitannya dengan naluri alamiah untuk mempertahankan
kelompoknya, melalui kekerabatan tinggal bersama dalam memenuhi kebutuhannya.
Perkembangan lanjut suatu desa akan memunculkan desa lainnya, sebagai fungsi induk desa.
Masyarakat kota ditekankan dari pengertian kotanya dengan ciri dan sifat kehidupannya serta
kekhasan dalam interes hidupnya. Dalam masyarakat kta kebutuhan primer dihubungkan
dengan status sosial dan gaya hidup masa kini sebagai manusia modern. Berbicara tentang
masyarakat pedesaan dan perkotaan, sesungguhnya akan berbicara tentang sistem hubungan
antara unsur-unsur yang membentuknya. Terkadang di dalam percakapan dan di dalam
anggapan, desa senantiasa dipertentangkan dengan kota, seakan-akan siang dan malam. Desa
pada hakikatnya bukan sebuah istilah yang menunjukkan benda "tunggal", tetapi "desa"
mempunyai unsur-unsur yang kemudian, kalau dirakit sedemikian rupa, akan berbentuk desa.
Setiap unsur dalam suatu sistem itu dapat diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh.
Masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan masing-masing dapat diperlakukan
sebagai sistem jaringan hubungan yang kekal dan penting, serta dapat pula dibedakan
masyarakat yang bersangkutan dengan masyarakat yang lain.

Oleh karena itu, untuk mengetahui struktur sosial masyarakat pedesaan dan
perkotaan dapata dilihat dari perbedaan atau ciri-ciri dari kedua masyarakat tersebut. dapat
ditelusuri dalam hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran
komunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenitas, diferensiasi sosial, pelapisan
sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran
kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau sistem nilainya.

1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam : Masyarakat pedesaan


berhubungan kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografinya di daerah desa.
Mereka sulit "mengontrol' kenyataan alam yang dihadapinya, padahal bagi petani
realitas alam ini sangat vital dalam menunjang kehidupannya. Penduduk yang tinggal
di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan- kepercayaan dan hukum-hukum
alam, seperti dalam pola berpikir dan falsafah hidupnya. Tentu akan berbeda dengan
penduduk yang tinggal di kota, yang kehidupannya "bebas" dari realitas alam,
Misalnya dalam bercocok tanah dan menuai harus pada waktunya, sehingga ada
kecenderungan nrimo. Padahal mata pencaharian juga menentukan relasi dan reaksi
sosial.
2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian : Pada umumnya atau kebanyakan mata
pencaharian daerah pedesaan adalah bertani. Tetapi mata pencaharian berdagang
(bidang ekonomi) pekerjaan sekunder dari pekerjaan yang nonpertanian. Sebab
beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha (business) atau industri,
demikian pula kegiatan mata pencaharian keluarga untuk tujuan hidupnya lebih luas
lagi. Di masyarakat kota mata pencaharian cenderung menjadi terspesialisasi, dan
spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan, mungkin menjadi manajer suatu
perusahaan, ketua atau pimpinan dalam suatu birokrasi. Sebaliknya seorang petani
harus kompeten dalam bermacam-macam keahlian seperti keahlian memelihara tanah,
bercocok tanam, penyakit, pemasaran, dan sebagainya. Jadi, petani keahliannya lebih
luas bila dibandingkan dengan masyarakat kota.
3. Ukuran Komunitas : Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dari komunitas
perkotaan. Dalam mata pencaharian di bidang pertanian, imbangan tanah dengan
manusia cukup tinggi bila dibandingkan dengan industri; dan akibatnya daerah
pedesaan mempunyai penduduk yang rendah per kilometer perseginya. Tanah
pertanian luasnya bervariasi. Bergantung kepada tipe usaha taninya, tanah yang cukup
luasnya sanggup menampung usaha tani dan usaha ternak sesuai dengan
kemampuannya. Oleh sebab itu komunitas pedesaan lebih kecil daripada komunitas
perkotaan.
4. Kepadatan Penduduk: Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila dibandingkan
dengan kepadatan penduduk kota. Kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya
berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri. Contohnya dalam perubahan-
perubahan permukiman, dari penghuni satu keluarga (individual family) menjadi
pembangunan multikeluarga dengan flat dan apartemen seperti yang terjadi di kota.
5. Homogenitas dan Heterogenitas : Homogenitas atau persamaan dalam ciri-ciri
sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku sering nampak
pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
Kampung-kampung bagian dari suatu masyarakat desa mengenai minat dan
pekerjaannya hampir sama. sehingga kontak tatap muka lebih sering. Di kota
sebaliknya, penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dengan macam-macam
subkultur dan kesenangan, kebudayaan, mata pencaharian. Sebagai contoh, dalam
perilaku, dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen. Hal ini karena daya tarik
dari mata pencaharian, pendidikan, komunikasi, dan transportasi, menyebabkan kota
menarik orang-orang dari berbagai kelompok etnis untuk berkumpul di kota.
6. Diferensiasi Sosial: Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya
derajat yang tinggi di dalam diferensiasi sosial. Fasilitas kota, hal-hal yang berguna,
pendidikan, rekreasi, agama, bisnis, dan fasilitas perumahan (tempat tinggal),
menyebabkan terorganisasi-nya berbagai keperluan, adanya pembagian pekerjaan,
dan adanya saling membutuhkan serta saling tergantung. Kenyataan ini bertentangan
dengan bagian-bagian kehidupan di masyarakat pedesaan. Tingkat homogenitas alami
ini cukup tinggi, dan relatif berdiri sendiri dengan derajat yang rendah daripada
diferensiasi sosial.
7. Pelapisan Sosial : Klas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam
perwujudannya seperti "piramida sosial', yaitu klas-klas yang tinggi berada pada
posisi atas piramida, klas menengah ada di antara kedua tingkat klas eksterm dari
masyarakat. Ada perbedaan "pelapisan sosial tak resmi" ini antara masyarakat desa
dan masyarakat kota: Pada masyarakat kota aspek kehidupan pekerjaan, ekonomi,
atau sosial-politik lebih banyak sistem pelapisannya dibandingkan dengan di desa.
Pada masyarakat desa kesenjangan (gap) antara klas eksterm dalam piramida sosial
tidak terlalu besar, sedangkan pada masyarakat kota jarak antara klas eksterm yang
kaya dan miskin cukup besar. Di daerah pedesaan tingkatannya hanya kaya dan
miskin saja.
8. Mobilitas Sosial :Mobilitas sosial berkaitan dengan perpindahan atau pergerakan
suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya; mobilitas kerja dari suatu
pekerjaan ke pekerjaan lainnya; mobiltias teritorial dari daerah desa ke kota, dari kota
ke desa, atau di daerah desa dan kota sendiri. Terjadinya peristiwa mobilitas sosial
demikian disebabkan oleh penduduk kota yang heterogen, terkonsentrasinya
kelembagaan-kelembagaan, saling tergantungnya organisasi-organisasi, dan tingginya
diferensiasi sosial. Demikian pula di kota. Maka mobilitas sering terjadi di kota
dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Hal lain, mobilitas atau peripindahan
penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) lebih banyak ketimbang dari kota ke desa.
Tipe desa pertanian dan kebiasaan pindah mempengaruhi mobilitas sosial, seperti
perpindahan yang berkaitan dengan mencari kerja, ada yang menetap atau tinggal
sementara, sesuai dengan musim dan waktu pengolahan pertanian. Apabila
dibandingkan, penduduk kota lebih dinamis dan mobilitasnya cukup tinggi.
Kesemuanya berbeda dalam hal waktu dan arah mobilitasnya.
9. Interaksi Sosial : Tipe interaksi sosial di desa dan di kota perbedaannya sangat
kontras, baik aspek kualitasnya maupun kuantitasnya. Perbedaan yang penting dalam
interaksi sosial di daerah pedesaan dan perkotaan, di antaranya :
a. Masyarakat pedesaan lebih sedikit jumlahnya dan tingkat mobilitas sosialnya rendah,
maka kontak pribadi per individu lebih sedikit. Demikian pula kontak melalui radio,
televisi, majalah, poster, koran, dan media lain yang lebih sophisticated.
b. Dalam kontak sosial berbeda secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Penduduk kota lebih sering kontak, tetapi cenderung formal sepintas lalu, dan tidak
bersifat pribadi (impersonal), tetapi melalui tugas atau kepentingan yang lain. Di desa
kontak sosial terjadi lebih banyak dengan tatap muka, ramah-tamah (informal), dan
pribadi.

10. Pengawasan Sosial : Tekanan sosial oleh masyarakat di pedesaan lebih kuat karena
kontaknya yang bersifat pribadi dan ramah-tamah (informal), dan keadaan
masyarakatnya yang homogen. Penyesuaian terhadap norma-norma sosial lebih tinggi
dengan tekanan sosial yang informal, dan nantinya dapat berarti sebagai pengawasan
sosial. Di kota pengawasan sosial lebih bersifat formal, pribadi, kurang "terkena"
aturan yang ditegakkan, dan peraturan lebih menyangkut masalah pelanggaran.
11. Pola Kepemimpinan : Menentukan kepemimpinan di daerah pedesaan cenderung
banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individdu dibandingkan dengan kota.
Keadaan ini disebabkan oleh lebih luasnya kontak tatap muka, dan individu lebih
banyak saling mengetahui daripada di daerah kota. Misalnya karena kesalehan,
kejujuran, jiwa pengorbanannya, dan pengalamannya. Kalau kriteria ini melekat terus
pada generasi selanjutnya, maka kriteria keturunan pun akan menentukan
kepemimpinan di pedesaan.
12. Standar Kehidupan : Berbagai alat yang menyenangkan di rumah, keperluan
masyarakat, pendidikan, rekreasi, fasilitas agama, dan fasilitas lain akan
membahagiakan kehidupan bila disediakan dan cukup nyata dirasakan oleh penduduk
yang jumlahnya padat. Di kota, dengan konsentrasi dan jumlah penduduk yang padat,
tersedia dan ada kesanggupan dalam menyediakan kebutuhan tersebut, sedangkan di
desa terkadang tidak demikian. Orientasi hidup dan pola berpikir masyarakat desa
yang sederhana dan standar hidup demikian kurang mendapat perhatian.
13. Nilai dan Sistem Nilai : Nilai dan sistem nilai di desa dengan di kota berbeda, dan
dapat diamati dalam kebiasaan, cara, dan norma yang berlaku. Pada masyarakat
pedesaan, misalnya mengenai nilai-nilai keluarga, dalam masalah pola bergaul dan
mencari jodoh kepala keluarga masih berperan. Nilai-nilai agama masih dipegang
kuat dalam bentuk pendidikan agama (madrasah). Aktivitasnya nampak hidup
(fenomenanya). Bentuk-bentuk ritual agama yang berhubungan dengan kehidupan
atau proses mencapai dewasanya manusia, selalui diikuti dengan upacara-upacara.
Nilai-nilai pendidikan belum merupakan orientasi bernilai penuh bagi penduduk desa,
cukup dengan bisa baca-tulis dan pendidikan agama. Dalam hal nilai-nilai ekonomi,
terlihat pada pola usaha taninya yang masih bersifat subsistem tradisional, kurang
berorientasi pada ekonomi. Masih banyak nilai lainnya yang berbeda dengan
masyarakat kota. Dalam hal ini masyarakat kota bertentangan atau tidak sepenuhnya
sama dengan sistem nilai di desa.

Perubahan Sosial Kultural Masyarakat Pedesaan Dalam dinamika kehidupan


masyarakat terutama masyarakat pedesaan banyak perubahan dan perkembangan yang
dialami salah satunya adalah peniruan teknologi dalam bidang pertanian yang merupakan
orientasi utama pembangunan di Indonesia. Menurut Munandar (1996) penerimaan terhadap
teknologi bagi masyarakat terutama masyarakat desa baik itu yang dipaksakan maupun
inisiatif sendiri dari masyarakat akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) dalam
skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat membawa
implikasi terhadap perubahan sosial kultural masayarakat. Di kota-kota kecil biasanya terjadi
gerakan penduduk dengan pola desa-kota dan kota-desa, yang dilakukan oleh orang-orang
desa yang menjual barang-barang hasil bumi dan kemudian berbelanja untuk keperluan
hidupnya. Dengan hijrahnya masyarakat desa ke daerah perkotaan ini akan berimplikasi pada
perubahan karakteristik masyarakat desa. Bila sebelumnya masyarakat desa masih terikat
oleh adanya suatu hubungan kekerabatan serta sifat solidaritas yang tinggi di antara
sesasamya, karena melihat perkembangan kehidupan masyarakat yang rumit dan kompleks,
misalnya berpandangan pada budaya materialistis, maka dengan sendirinya masyarakat desa
sedikit demi sedikit akan mengikuti pola kehidupan tersebut, sehingga akan menggeser tata
nilai yang telah lama terbentuk dalam kehidupanya masyarakatnya.

Suparlan (1986) misalnya membedakan perubahan sosial dan perubahan


kebudayaan. Menurutnya perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam
pola-pola hubungan sosial antara lain mencakup sistem status, hubungan- hubungan dalam
keluarga, sistem-sistem politik dan kekuasaan serta persebaran penduduk, sedangkan
perubahan kebudayaan perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh
para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, yang antara lain mencakup
aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga
masyarakat yang meliputi nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan
bahasa.

1.4 Modernisasi Struktur Sosial Masyarakat


Modernisasi tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, karena modernisasi merupakan
salah satu perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat yang akan membawanya ke arah
yang lebih maju. Masyarakat tidak bisa menghindarinya karena setiap masyarakat manusia
selalu mengalami perubahan dan selalu ingin berubah. Perubahan-perubahan pada kehidupan
masyarakat tersebut merupakan fenomena sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia
mempunya kepentingan yang tak terbatas. Modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk
menyamai standar yang dianggap modern baik oleh rakyat banyak maupun oleh elite
penguasa. Berikut adalah syarat-syarat modernisasi yaitu :

1. Cara berpikir yang ilmiah (scientific thinking) yang melembaga dalam kelas penguasa
maupun masyarakat. Hal ini menghendaki suatu sistem pendidikan dan pengajaran
yang terencana dan baik.
2. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur dan terpusat pada suatu
lembaga atau badan tertentu. Hal ini memerlukan penelitian yang kontinu agar data
tidak tertinggal.
4. Penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara
penggunaan alat komunikasi massa. Hal ini harus dilakukan tahap demi tahap, karena
banyak sangkut pautnya dengan sistem kepercayaan masyarakat (bellief system).
5. Tingkat organisasi yang tinggi, disatu pihak berarti disiplin, sedangkan dilain pihak
berarti pengurangan kemerdekaan.
6. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial (social planning).

Modernisasi tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Jika
masyarakat mau berubah dan menerima modernisasi yang sedang melanda dunia ini, maka
mau tidak mau masyarakat pasti akan berubah, dan diharapkan perubahan itu membawa
dampak yang positif bagi masyarakat. Walaupun kadang-kadang ada pertentangan diantara
warga masyarakat sehingga akan menyulitkan terhadap proses perubahan yang mungkin
sudah direncanakan. Modernisasi dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi karena
dengan adanya modernisasi menimbulkan perbedaan kelas atau status sosial berdasarkan
pendidikan ataupun kekayaan, menimbulkan kelompok - kelompok sosial tertentu bahkan
hingga monopoli kekuasaan, terjadi perubahan sosial budaya dalam masyarakat yang sulit
untuk dihindarkan. Serta modernisasi menimbulkan perubahan dalam bidang demografi,
sistem stratifikasi, pemerintahan, pendidikan, sistem keluarga, dan nilai, sikap serta
kepribadian. Perubahan demografis khas yang terjadi bersamaan dengan upaya modernisasi,
mencakup pertumbuhan penduduk (tingkat kematian menurun), dan urbanisasi.

A. Stuktur Sosial Masyarakat Papua

Dinamika penduduk di Papua dominan dipengaruhi migrasi dibanding pertambahan alami


serta membentuk masyarakat majemuk di perkotaan. Situasi masyarakat ini cenderung
melahirkan ketegangan sosial, melemahnya daya tampung sosial dan konflik sosial yang
perlu dimengerti. Kondisi sosial politik turut mempengaruhi konstruksi konflik dalam
masyarakat majemuk ini. Mengembangkan kesadaran bersama, kemauan bersama, interaksi
sosial dan jaringan sosial saling silang menyilang dalam masyarakat majemuk penting
dilakukan dalam upaya menekan atau meminimalisasi ketegangan sosial, kontraversi,
perselisihan, dan suasana konflik. Perbedaan latar belakang menyebabkan masyarakat
merupakan elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa dan atau kurang ada pembauran satu
sama lain, dan otonomi khusus mempertegas pemisahan penduduk atas dasar ras. Struktur
sosial vertikal bermasalah karena bersinggungan dengan struktur sosial horizontal.
Keberhasilan pembangunan diukur dari membangun struktur sosial masyarakat ideal, seperti
meminimalisasi kesenjangan masyarakat mampu dan tidak mampu, perbaikan kesejahteraan
orang asli, penguatan sumber daya manusia orang asli, keberpihakan pada orang asli, dan
meningkatkan keeratan dalam keberagaman masyarakat. Pertanda paling jelas dari
masyarakat yang bersifat majemuk ini adalah kurang adanya kehendak bersama (common
will) karena aspek beragam. Masyarakat Papua sebagai keseluruhan terdiri atas elemen-
elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan latar belakang, masing-masing
lebih merupakan kumpulan individu individu daripada sebagai suatu keseluruhan yang
bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial masyarakat tidaklah utuh sehingga
diperlukan keinginan untuk hid up bersama, kemauan hidup harmonis bersama migran atau
kemampuan migran hidup. Unsur sosial seperti norma sosial, lembaga sosial, kelompok
sosial, institusi sosial, dan lapisan sosial dapat direkonstruksi guna mempererat hubungan
sosial masyarakat majemuk ini

B. Struktur Sosial Masyarakat Bali

Walupun tidak begitu jelas asal mulanya tentang system kasta ini di masyarakat Bali
masih tetap dilestarikan. Masyarakat tetap menghargai dan menghormati orang-orang yang
berkasta lebih tinggi. Yang berkasta lebih tinggi juga menghargai orang-orang yang berkasta
lebih rendah. Mengenai jabatan dimasyarakat dan pemerintah system ini sudah mulai
bergeser. Orang-orang yang memegang jabatan dipemerintahan sekarang tidak harus orang-
orang kesatria. Apalagi di alam demokrasi dan masyarakat yang semakin maju, bukanlah
kasta yang menentukan tetapi kemampuan seseorang untuk memegang jabatan tertentu.
Pergeseran atau jabatan di masyarakat dan pemerintahan tidak menjadi masalah yang penting
orang yang memegang jabatan itu mampu. Dengan adanya pergeseran ini sebenarnya
masyarakat akan semakin maju,semakin cepat mengikuti perkembangan dunia yang ada
disekitar kita, sehingga masyarakat tidak ketinggalan. Dalam pergeseran-pergeseran ini  yang
tidak dikatahui dengan pasti adalah apakah seorang Imam yang dipegang oleh orang
Brahmana dapat dijabat atau dipegang oleh seorang yang bukan dari dari kasta Brahmana.
Dalam masyarakat adat Bali yang berada di pulau Bali memang masih memegang adat dan
tradisi dari leluhur hanya saja sudah tidak begitu mengikat. Untuk masyarakat Bali yang ada
di perantauan atau yang sudah tidak lagi berada di pulau Bali adat dan tradisi ini sudah tidak
begitu dipakai lagi. Ini berkaitan erat dengan lingkungan pergaulan social mereka sehari-hari
yang tidak hanya bertemu dan bergaul dengan sesama orang dari suku Bali. Bahkan yang ada
di pulau Sulawesi sudah ada yang menikah dengan orang dari suku di Sulawesi. Jadi adat
istiadat tiap suku bangsa itu perlu tetap dijaga dan dilestarikan, hanya saja harus disesuaikan
dengan kemajuan zaman dan lingkungan tempat kita hidup dan bergaul atau lingkungan
social tempat kita hidup.

C. Struktur Sosial Masyarakat Jakarta

Masalah sosial yang menyelimuti kota Jakarta adalah tingginya angka kriminilitas yang
terkait dengan kemiskinan warganya. Kemiskinan warga Jakarta dapat dipotret dari
perkampungan kumuh yang letaknya dibawah gedung-gedung pencakar langit.
Perkampungan kumuh tersebut sebagian besar dihuni oleh kaum urban tidak berpendidikan
dan bekerja di sektor informal dan non formal. Terjadi penurunan jumlah urbanisasi ke
Jakarta. Penurunan angka urbanisasi ke DKI Jakarta tak bisa dipungkiri sebagai akibat
meluasnya pembangunan ekonomi di kota-kota kecil sekitar Jakarta.
Dari rangkaian program pembangunan ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan,
Pembangunan perkotaan yang telah menyebabkan terjadinya gerak penduduk dari desa ke
kota tanpa disadari telah membentuk struktur sosial yang timpang. Megahnya kota Jakarta
dengan perencanaan yang modern baik dari segi fisik bangunan dan maupun tata perencanaan
kotanya telah memunculkan wajah ganda dalam struktur sosialnya. Hal ini disebabkan karena
struktur sosial yang timpang. Ditunjukkan dengan terbentuknya perkampungan-
perkampungan menunjukkan adanya entitas hubungan kekerabatan seperti yang ada dalam
kampung Jawa, Kampung Bali, kampung Makasar, Kampung Madura sehingga dengan
sendirinya terdapat "desa di kota". Hal ini tidak terlalu merisaukan jika akulturasi budaya
tidak menyebabkan tercerabutnya budaya asli Jakarta bahkan terkikisnya sedikit demi sekidit
masyarakat asli dari kota kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dengan semakin
terpinggirkannya mereka dari tanah kelahirannya. Isu otonomi daerah di satu sisi memang
telah menggugah semangat patriotic warga asli Jakarta untuk membangun kotanya. Namun di
sini lain semangat tersebut juga membentuk satu gerakan primordial yang justru kerap
merisaukan karena kerap hadir dalam setiap persoalan konflik sosial seperti Forum Betawi
Rempug dan lain sebagainya. Urbanisasi dan pembangunan wilayah perkotaan bak dua sisi
mata uang yang saling terkait. Pembentukan elit baru juga bagian dari proses dan dinamika
sosial perkotaan selain permasalahan usang yang kerap mengiringi urbanisasi yakni berupa
kemiskinan, tata ruang kota yang amburadul sehingga menimbulkan permasalahan seperti
macet, banjir, sampah yang menumpuk dan kepadatan hunian. Dan masalah yang sering
terlupakan dalam kajian sosial perkotaan adalah luruhnya budaya local masyarakat Jakarta
dan terpinggirkannya mereka dari kampung nenek moyangnya.

Dalam beberapa syarat modernisasi ada 1 syarat yang tidak terlaksana dengan efektif
yaitu sistem pemerintahan yang kurang efektif yaitu terkait otonomi daerah sehingga
menimbulkan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah mengakibatkan
perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang kemudian juga membawa pengaruh
terhadap kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan
ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi
daerah diantaranya adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai
politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin
dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah, termasuk sumber keuangan serta pembaharuan manajemen birokrasi
pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan Indeks pembangunan manusia
sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 

1.5 Kasus Dinasti Politik Kota Banten


Dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan
dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih
merupakan kalangan sanak keluarga. Adanya sikap pro dan kontra terhadap kemunculan
dinasti politik tersebut sangatlah erat kaitannya dengan budaya politik yang berkembang di
masyarakat. Dinasti Politik merupakan ekses negatif dari otonomi daerah yang menjadikan
demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh sirkulasi hubungan berdasarkan relasi
kekeluargaan maupun di luar garis keluarga yang memiliki kepentingan terhadap
pelanggengan kekuasaan famili. Hal itulah yang kemudian memicu kalangan kerabat menjadi
elit sebagai kata kunci pemahaman dinasti dalam praktek pemerintahan. Saat ini, politik
dinasti tengah menjadi trendi berbagai daerah di Indonesia. Praktik semacam ini harus segera
dihentikan, bukan hanya bertentangan dengan semangat hakiki demokrasi, namun praktik
politik dinasti berpotensi kuat menutup peluang masyarakat untuk menjadi pemimpin. Politik
Dinasti telah ada dan telah berlangsung di Indonesia sejak Bung Karno berkuasa. Meskipun
Politik Dinasti tidak melanggar peraturan berdemokrasi, dalam praktiknya namun dinasti
politik menahan adanya mobilisasi sosial, sebab kekuasaan hanya diasosiasikan pada
golongan masyarakat tertentu saja.

Di Indonesia pada provinsi Banten, jejak-jejak dinasti politik lebih kentara. Ratu Atut
Choisyah Gubernur Banten 2007-2012 misalnya, keluarga besarnya memiliki setidaknya 9
orang yang memimpin di masing masing “kerajaannya”. Seperti dirinya sendiri yang
memimpin Banten, suami menjadi anggota DPR, anak menjadi anggota DPD, menantu
menjadi anggota DPRD Kota Serang, adik menjadi anggota DPRD Banten, Adik tiri mejadi
wakil wali kota Serang, ibu tiri menjadi anggota DPRD Kabupaten Pandeglang, Ibu tirinya
yang satu lagi menjadi anggota DPRD kota Serang, dan adik iparnya Airin menjadi Walikota
Tangerang Selatan.

Dalam hal ini, terdapat tiga varian familisme dalam membincangkan dinasti politik
dalam konteks ini. Pertama adalah familisme (familism), yakni dinasti politik yang
didasarkan secara murni pada hubungan darah langsung dalam keluarga (consanguinity) dan
hubungan perkawinan (marriage) dengan klan lainnya. Kedua adalah quasi-familisme. Model
ini didasarkan pada solidaritas dari anggota keluarga dalam struktur kekuasaan. Ketiga adalah
egoismefamilisme. Model dinasti politik ini didasarkan pada pemenuhan aspek
fungsionalisme dibanding hanya menuruti garis keturunan maupun ikatan darah.Dinasti
politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik yang berbasiskan pertalian
darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik menyebutnya sebagai oligarkhi
politik. Namun kemudian bagaimana kita menempatkan dinasti politik sebagai bagian dari
proses input dalam transisi demokrasi yang tidak sempurna Dalam hal ini, terdapat tiga
karakteristik mendasar dalam menganalisis dinasti politik. Pertama, fungsi partai politik yang
melemah di aras lokal karena terkooptasi oleh para elit daerah. Pada akhirnya timbul sikap
pragmatisme dari partai politik dengan cenderung mengangkat elit dan keluarganya menjadi
pejabat publik daerah. Kedua, neo-feodalisme yang menguat di daerah, yakni revitalisasi
kekuatan tradisional dalam arena politik modern yang berbasis tribalisme, regionalisme,
premanisme, dan lain sebagainya. Ketiga, biaya politik yang mahal dalam setiap Pemilukada
mereduksi partisipasi politik aktif dari masyarakat. Demokrasi lokal yang esensinya
menjembatani partisipasi politik aktif maupun pasif masyarakat justru terjebak dalam logika
demokrasi yang mahal baik dalam proses pengajuan kandidat hingga pemilihan (Harjanto
2011).

Suksesi pemerintahan lokal di Indonesia yang dilakukan dalam dua jenis yakni secara by
design dan by accident. Dalam mayoritas kasus Pemilukada di Indonesia sendiri, suksesi
kekuasaan berbasis familisme ada yang dilakukan secara by accident maupun by design di
berbagai kabupaten/kota. Model by design yang dominan adalah istri yang maju
menggantikan suami atau anak menggantikan bapaknya. Sementara itu, model by accident
adalah kerabat sebagai calon kepala daerah hanya sebagai bayangan atas kerabat lain yang
difavoritkan akan memenangkan Pemilukada. Pola pengajuan kandidat tersebut biasanya
dilakukan secara sporadis untuk menghalangi calon lain maju dalam proses pengajuan
kandidat. Dapat dikatakan bahwa intimitas hubungan keluarga kemudian menjadi platform
politik guna mengamankan kekuasaan daerah.

Pada Kasus Banten adalah dinasti politik berbasis jaringan kuasa. Model dinasti politik
ini nampak dalam kasus Banten pasca otonomi daerah. Syarif Hidayat (2007) menegaskan
bahwa dinasti politik Banten ini terbangun atas koalisi klan politik, monopoli ekonomi,
kekerasan, dan sebagainya. Kasus dinasti politik Banten merupakan contoh utama dinasti
politik yang dirancang by design oleh para kerabatnya untuk terjun ke dunia politik. Dinasti
politik Banten telah berdiri kokoh seiring dengan usia Provinsi Banten sehingga jaringan
kekuasaan telah tersebar kuat di pemerintahan. Indikasinya bisa disimak dengan kerabat
gubernur Banten yang bertebaran menjadi penjabat publik di ranah legislatif maupun
eksekutif. Namun demikian, dalang sebenarnya dalam dinasti politik Banten ini adalah
Tubagus Chasan Sochib dengan “kelompok Rawu”nya yang sebenarnya merupakan nama
kawasan pasar di Kota Serang (Karomah, 2008). Akan tetapi, Rawu dalam pemahaman
publik Banten merupakan sebutan bagi kelompok bisnis atau dinasti keluarga Chasan Sochib
yang menguasai pemerintahan Banten.

Dinasti Banten berdiri dalam beberapa ranah yakni ekonomi, sosial-budaya, religus, dan
tentu saja politik. Ditinjau dari akar historisnya, sebenarnya Chasan Sochib merupakan
pengusaha biasa. Hanya saja, nasib baik berpihak kepadanya dengan menjalin hubungan erat
dengan perwira militer dan petinggi Golkar Banten yang dulunya merupakan penguasa lokal
Banten pada zaman Orde Baru. Pasca otoritarian runtuh, Chasan Sochib juga merupakan
aktor utama terbentuknya Provinsi Banten dan bertindak sebagai aktor di balik layar atas
pemerintahan lokal dengan membentuk Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya
Banten Indonesia (PPPSBBI) sebagai organisasi penampung Jawara/jagoan Banten, Satuan
Kerja Ulama (Satkar Ulama), maupun Satuan Kerja Pendekar (Satkar Pendekar) sebagai
organisasi kemasyarakatan yang berpengaruh besar dalam struktur masyarakat Banten
(Hamid, 2010: 37). Dalam ranah ekonomi, Chasan sukses merengkuh jabatan sebagai Ketua
Kadin Banten, Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensindo)
Banten, dan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) Banten.
Langkah pertama membangun dinasti politik dilakukan dengan cara menempatkan Ratu Atut
Chosiyah sebagai Gubernur Banten selama dua periode yang kemudian diikuti oleh anak,
menantu, dan cucunya yang kemudian menjadi pejabat eksekutif maupun legislatif di
pemerintahan lokal. Model dinasti Banten ini layaknya tentakel gurita menjalar ke berbagai
arah untuk menempatkan kroni maupun keluarganya masuk dalam berbagai posisi jabatan
publik di Propinsi Banten yang tujuannya meningkatkan soliditas dan solidaritas masyarakat.

Dinasti Banten ini layaknya tentakel gurita menjalar ke berbagai arah untuk
menempatkan kroni maupun keluarganya masuk dalam berbagai posisi jabatan publik di
Propinsi Banten yang tujuannya meningkatkan soliditas dan solidaritas masyarakat.
Keberadaan dinasti politik yang kini bermunculan di daerah nampaknya membuat
Kemendagri mulai memasukkan isu tersebut menjadi kajian akademik RUU Pemilukada
yang kini tengah dibahas bersama Komisi II DPR RI. Pelarangan tentang adanya kerabat
maju bersamaan dalam pemilu daerah tertuang pada pasal 70 huruf p dan pasal 12 huruf p, di
mana gubernur maupun bupati/walikota ditetapkan jika tidak mempunyai ikatan perkawinan,
garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping, sama halnya dengan gubernur,
kecuali jika ada selang waktu dengan gubernur

Kesimpulan

Kehadiran dinasti politik dalam konteks otonomi daerah dan demokratisasi memang
menimbulkan masalah kepemimpinan diaras lokal. Masalah utama adalah stagnasi
kepemimpinan dan minimnya partisipasi publik karena semua dikuasai elit. Otonomi daerah
memberi ruang besar bagi bangkitnya kekuatan lokal untuk menjadi pemain utama. Masalah
yang timbul kemudian adalah masyarakat lokal hanya menjadi penonton dalam demokratisasi
dan otonomi daerah di daerahnya. Secara garis besar, gejala yang timbul dalam proses
demokratisasi lokal adalah proses reorganisasi kekuatan tradisional untuk berkuasa di daerah
dalam arena demokrasi, fungsi partai politik yang melemah dalam melakukan kaderisasi
sehingga menimbulkan adanya pragmatisme politik dengan mengangkat para kelompok elit
tersebut. Semua itu mengkondisikan terbentuknya dinasti politik di ranah lokal.
DAFTAR PUSTAKA

Hatu, R. (2011). Perubahan Sosial Struktural Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan (Suatu
Tinjauan Teoritik-Empirik). Jurnal Inovasi, 8(04).
Rosana, Ellya (2015). Modernisasi Dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jurnal Ilmu Sosial,
Vol.10, No.1
Rowland B.F, Pasarib. 2013. “struktur sosial dan perubahan social” volume 2. (bab 7).
Singgih, Doddy Sumbodo. Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif Sosiologi.
Jurusan Ilmu Sosiologi: FISIP, Universitas Airlangga
Sumartono, (2019). Dinamika Perubahan Sosial Dalam Teori Konflik. Jurnal Ilmu
Komunikasi dan Bisnis, Vol. 5 No. 1
Effendi, Winda (2018). Dinasti Politik Dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Kota Banten.
Jurnal Trias Politika, Vol 2. No.2 : 233 – 247.

Anda mungkin juga menyukai