Anda di halaman 1dari 17

SISTEM SOSIAL-BUDAYA DI INDONESIA

As’ad Sulthon Al Hanif

Pascasarjana IAIN Kediri

Abstract
Human creature and culture together build a socio-cultural life, patterned and
systematically referred to a socio-cultural system. Systematization through adjustments with the
socio-cultural thoughts and practices in norms, ideas, values, aesthetics, tradition, all of which
can be realized through cultural elements, at one time was the cultural content. Sociocultural
systems can be understood as the bowl of developing cultural elements as the embodiment of
cultural contents which are intertwined. Five Indonesian socio-cultural systems, which are
formed by cultural background and experiences from period to period, can be considered as the
fruits of civilization and nation experiences perpetually moving and growing.

Key words: culture, society, socio-cultural systems, Indonesia

A. Pendahuluan
Masyarakat dan kebudayaan, yang dapat disebut kehidupan sosial-budaya, merupakan
pengertian-pengertian, konsep-konsep dan kategori-kategori yang dalam ilmu-ilmu sosial dan
budaya seperti sosiolog, antropologi sosial dan antropologi budaya, ilmu politik dan
pemerintahan, filsafat, psikologi, sejarah, ilmu susastra dan ilmu bahasa, sering dibahas. Dalam
pembahasan, sistem sosial seringkali dipisahkan dari sistem budaya, padahal kedua pengertian
tersebut tak dapat dengan tegas dipisah-pisahkan. Dalam kehidupan masyarakat, gejala-gejala
sosial dan gejala-gejala budaya hampir selalu, atau bahkan selalu, saling berhubungan dan
berpengaruh, sehingga gejala-gejala dan kebiasaan-kebiasaan sosial tidak bisa dipisahkan dari
gejala-gejala dan kebiasaan-kebiasaan budaya, demikian pun sebaliknya. Bahkan, seringkali
tidak mudah orang melihat suatu gejala atau peristiwa itu gejala atau peristiwa sosial atau
budaya, sistem-sistem sosial tidak bisa dipisahkan secara tegas dari sistem-sistem budaya,
sehingga persoalan konseptual mengenai sistem sosial dan sistem budaya lebih memadai apabila
dilakukan dalam satuan pembahasan sehingga kita mengenal sistem-sistem sosial-budaya (socio-
cultural systems).1
Sistem sosial adalah gabungan dari sistem sosial dan sistem budaya, oleh karena itu
tersusun menjadi sistem sosial yang mencakup hubungan sosial orang-orang dalam masyarakat,
yang memproduksi dan mengembangkan unsur-unsur budaya untuk memenuhi kebutuhan sosial
budaya masyarakat. masyarakat dalam mencapai dan mengembangkan kehidupan sosial
budayanya. Menurut Acher, masyarakat yang kompleks terdiri dari sistem sosiokultural yang
kompleks yang memadukan unsur-unsur sosiokultural dengan berbagai tingkat kontradiksi dan
kohesi. Sistem sosial budaya merupakan kesatuan dari semua nilai, tatanan sosial dan tingkah
laku manusia yang saling bergantung dan setiap unsur saling bekerja sama untuk saling
mendukung guna mencapai tujuan. Prinsip-prinsip yang mendasari model berpikir, model
tindakan, struktur dan proses pelaksanaan sistem sosial budaya Indonesia harus mewujudkan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, transformasi dan pengembangan sistem sosial budaya harus
melestarikan identitas nasional Indonesia.2

Pada dasarnya masyarakat Indonesia sebagai satu kesatuan lahir sebelum masyarakat
Indonesia lahir. Salah satu buktinya adalah pada acara sumpah pemuda, di mana terdapat
konsensus nasional untuk dapat berintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia sesuai dengan cita-
cita Bhinneka Tunggal Ika.

Pada artikel kali ini peneliti akan menjelaskan bagaimana sistem sosial dan budaya yang
ada di Indonesia. Yang mana akan meliputi inti permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sistem sosial secara umum?


2. Bagaimanakah sistem budaya secara umum?
3. Bagaimanakah sistem sosial-budaya di Indonesia?

B. Pembahasan
1. Sistem sosial secara umum

1
Nurdien H Kistanto, Sistem Sosial-Budaya Di Indonesia, Semarang: Universitas Diponegoro, 2008, 3(2), hal. 1
2
Sri Rahmayanti Berutu, Tiara Pramita Br. Purba, & Sahlan, Sistem Budaya Dan Sistem Sosial, Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara Medan, Jurnal Inspirasi Pendidikan (ALFIHRIS), Vol.1, No.1 Januari, 2023, hal. 122-123
(online) diakses 16 Nov. 2023 https://ejurnalqarnain.stisnq.ac.id/index.php/ALFARISI/article/download/122/126
Seperti yang telah diuraikan dalam pendahuluan di atas bahwa kita hidup dalam suatu
masyarakat yang di dalamnya terdapat tata aturan, tata aturan ini mengatur anggota
masyarakat dalam berhubungan sosial, melalui hubungan sosial inilah terbentuk
kelompok-kelompok sosial, pelapisan/stratifikasi sosial, pranata sosial, perubahan sosial,
dinamika sosial budaya, dan gejala-gejala sosial lainnya.
Di dalam Sosiologi khususnya dan ilmu sosial lainnya sering sekali kita mendengar
kata sistem sosial. Sistem berasal dari kata Latin systema yang berarti keseluruhan dari
beberapa bagian-bagian atau anggota-anggota, sistem disebut komposisi yaitu
seperangkat komponen yang saling berinteraksi atau saling tergantung dalam membentuk
keseluruhan yang tereintegrasi (en.wikipedia.org/wiki/system). Sistem juga mempunyai
karakteristik (a) memiliki struktur, (b) memiliki tatanan perilaku, (c) memiliki beberapa
fungsi (d) memiliki interkonektivitas, di mana bagian bagian dari sistem itu
berhubungan secara fungsional.3
Lalu apa itu sistem sosial? Sistem sosial dalam Dictionary of Sociology didefinisikan
sebagai sebuah masyarakat atau sebuah organisasi atau bisa juga sebuah sistem interaksi
antara dua orang aktor atau lebih yang merupakan suatu kesatuan yang memiliki satu
tujuan yang satu sama lain terikat dalam pemeliharaan sistem.4
Jadi, sistem diartikan sebagai suatu kesatuan dari elemen-elemen yang satu sama lain
saling tergantung secara fungsional untuk mencapai tujuan tertentu; sedangkan sistem
sosial adalah satu kesatuan dari berbagai elemen dalam kehidupan sosial untuk mencapai
tujuan dan masing-masing anggota/aktor saling tergantung satu sama lain agar tercipta
keharmonisan sosial melalui pemeliharaan sistem itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa sistem terdiri dari elemen-elemen yang
tergantung satu sama lain maka marilah kita kaji bersama elemen atau komponen apa
saja yang termasuk dalam sistem sosial dan mengapa elemen-elemen tersebut saling
berhubungan. Dalam sistem sosial yaitu masyarakat di mana pun tempatnya terdapat
komponen sebagai berikut.

3
en.wikipedia.org/wiki/system
4
David Jary dan Jary Julia, Dictionary of Sociology, Illinois: Dos Jones Irwin, 1991, hal. 598
1. sejumlah orang yang relatif besar jumlahnya, saling berkomunikasi dan berinteraksi satu
dengan lainnya baik secara individu maupun berkelompok, membentuk satu kesatuan dan
memproduksi kebudayaan (sistem budaya);
2. memiliki kesadaran bahwa mereka merupakan satu kesatuan;
3. memiliki struktur baik dalam skala kecil maupun skala besar;
4. menempati daerah tertentu dan hidup di daerah tersebut dalam waktu yang relatif lama (dari
generasi ke generasi berikutnya).

Dari komponen-komponen di atas dapat dipahami bahwa satu bagian elemen dari sistem
sosial dengan elemen lainnya saling tergantung. Misalnya, anggota dari suatu masyarakat ia
tidak akan bisa hidup sendiri tanpa kehadiran anggota masyarakat lainnya, sementara itu mereka
yang telah hidup berkelompok membutuhkan lokasi untuk tempat tinggal, ketika satu kelompok
bermukim maka kelompok ini akan hidup berelasi dengan kelompok lainnya selanjutnya akan
tumbuh satu kesadaran bahwa mereka adalah satu kesatuan dan dalam kehidupan sosial selalu
terbentuk struktur.
Kesadaran bahwa mereka satu kesatuan disebut oleh Durkheim sebagai ’kesadaran kolektif’
(collective consciousness) yaitu suatu totalitas kepercayaan-kepercayaan dan perasaan bersama
yang melekat pada anggota masyarakat.5 Kepercayaan dan perasaan bersama ini menumbuhkan
kesatuan atau integrasi dalam masyarakat dan Durkheim menengarai bahwa kesadaran kolektif
akan menjadi dasar adanya solidaritas sosial. Solidaritas sosial melekat pada setiap masyarakat
manapun termasuk masyarakat dari berbagai suku bangsa seperti halnya di Indonesia.
Durkheim membagi solidaritas sosial ke dalam dua tipe yaitu solidaritas sosial mekanik dan
solidaritas sosial organik, adapun karakteristik dari tipe solidaritas mekanik dan solidaritas
organik dapat dilihat dalam tabel berikut:6

SOLIDARITAS MEKANIK SOLIDARITAS ORGANIK

5
Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 1, Terjemahan Robert MZ Lawang, Jakarta:
Penerbit PT Gramedia. 1986, hal. 163
6
Ibid, hal. 188
- Pembagian kerja rendah - Pembagian kerja tinggi
- Kesadaran kolektif kuat - Kesadaran kolektif rendah
- Hukum represif dominan - Hukum restitutif dominan
- Individualitas rendah - Individualitas tinggi
- Konsensus terhadap pola- - Konsensus pada nilai abstrak
pola normatif itu penting dan umum itu penting
- Keterlibatan komunitas - Badan-badan kontrol sosial
dalam menghukum orang yang menghukum orang
yang menyimpang yang menyimpang
- Secara relatif saling - Saling ketergantungan yang
ketergantungan itu rendah tinggi
- Bersifat primitif atau - Bersifat industrial-perkotaan
perdesaan

Mari kita bahas karakteristik dalam tabel tersebut di atas, pertama, mengenai pembagian
kerja dalam masyarakat yang dimaksudkan dengan pembagian kerja yang rendah, sifatnya
minim artinya dalam masyarakat tersebut variasi pembagian kerjanya belum kompleks misal
dalam masyarakat desa agraris, maka mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani dan ada pula petani subsistem mereka sebagai produsen sekaligus konsumen saling
ketergantungan di antara mereka itu rendah dan karakteristik ini ada pada tipe solidaritas
mekanik. Sedangkan, pembagian kerja yang tinggi artinya dalam masyarakat tersebut memiliki
pembagian kerja yang kompleks dan variatif, Durkheim mengkaji perkembangan industri
perkotaan membuat individu semakin terspesialisasi, misalnya ada yang sebagai produsen,
konsumen, jasa maupun barang dan hal ini tercermin dalam jenis pekerjaan atau mata
pencaharian yang bervariatif, juga menyebabkan saling ketergantungan di antara mereka itu
tinggi, karakteristik ini ada pada tipe solidaritas organik.
Kedua, karakteristik kesadaran kolektif kuat artinya anggota masyarakat memiliki kesamaan
kepercayaan dan perasaan yang sama, perasaan ini melekat pada warga masyarakat begitu
kuatnya, ini pula yang menyebabkan individualitas rendah dan karakteristik ini ada pada
masyarakat dengan tipe solidaritas mekanik, berbeda dengan masyarakat tipe solidaritas
organik, kesadaran kolektifnya rendah tentu bersamaan dengan individualitas yang tinggi.
Ketiga, hukum represif yang dominan ada pada masyarakat bertipe solidaritas mekanik,
artinya hukum yang menekan sangat berpengaruh terhadap perilaku anggota masyarakatnya.
Hukuman bagi anggota masyarakat yang menyimpang benar-benar diberlakukan, hal ini
menunjukkan bahwa konsensus masyarakat terhadap hal-hal yang normatif itu penting, bahkan
keterlibatan anggota komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang pun menjadi wajar.
Misalnya, pada masyarakat perdesaan bila ada pemuda yang bermalam di rumah seorang gadis
maka komunitas yang tinggal di dekatnya akan menegur dan memberikan sanksi kepada gadis
dan keluarga si gadis tersebut, hal ini berbeda dengan masyarakat di perkotaan (tipe solidaritas
organik), anggota komunitas setempat tidak akan langsung memberi sanksi namun minimal akan
melaporkan kepada badan kontrol yang berwenang yaitu Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat.
Bagi masyarakat bertipe solidaritas organik, hukum yang berlaku adalah hukum restitutif artinya
hukum yang memberikan ruang untuk membangun perbaikan perilaku anggota masyarakat
bagaimanapun juga pada masyarakat tipe ini konsensus pada nilai abstrak dan umum masih
dianggap penting. Heterogenitas yang ada pada masyarakat bertipe solidaritas organik juga
memberi banyak ruang untuk otonomi individu meski demikian individu masih terikat dengan
ikatan sosial yang didasarkan pada konsensus moral. Misalnya, dalam masyarakat bertipe
solidaritas organik (masyarakat perkotaan/industrial) individu tidak dipaksa untuk menikah
dalam satu klan, ada ruang kebebasan individu, tetapi nilai-nilai abstrak dalam artian konsensus
moral masih tetap berlaku yaitu perkawinan adalah lembaga sakral maka membangun keluarga
yang langgeng, bertahan lama masih dipandang penting.
Jadi, masyarakat pada umumnya dikategorikan dalam dua tipe yaitu masyarakat
bersolidaritas mekanik dan masyarakat bertipe solidaritas organik, kedua tipe ini ada pada
masyarakat di Indonesia. Tipe mekanik ada pada masyarakat yang tinggal di perdesaan atau
masyarakat yang bersifat rural yaitu masyarakat agraris yang notabene relatif banyak kita
jumpai baik di Indonesia bagian Barat, bagian Tengah, ataupun bagian Timur dan tipe organik
ada pada masyarakat yang tinggal di perkotaan atau bersifat urban yang juga dapat kita jumpai
di kota-kota yang ada mulai dari ujung Sumatera sampai dengan kota-kota di wilayah Timur
Indonesia.

2. Sistem budaya secara umum


Sistem Budaya atau sistem kultural adalah kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan.
Budaya menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistem
sosial. Budaya mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistem yang lain. Lebih
lanjut Ritzer mengutip Parsons yang menegaskan bahwa budaya dipandang sebagai sistem
simbol yang terpola, teratur yang menjadi sasaran orientasi aktor, aspek-aspek sistem
kepribadian yang sudah ter internalisasikan dan pola-pola yang sudah terlembagakan di dalam
sistem sosial.
Ada tiga komponen budaya menurut Alex Thio yaitu komponen kognitif, komponen
normatif, dan komponen simbolik.7 Pertama, komponen kognitif adalah salah satu komponen
kebudayaan yang membantu manusia mengembangkan pengetahuan tertentu dan kepercayaan
yang berlaku di sekitar kehidupan kita. Pengetahuan sebagai bagian dari komponen kognitif
adalah sekumpulan ide dan fakta tentang dunia fisik dan dunia sosial kita yang secara relatif
objektif, nyata, dan dapat dibuktikan. Pengetahuan dapat dikembangkan dalam teknologi, dan
dapat digunakan untuk mengendalikan lingkungan alam dan berbagai masalah sosial. Pada
kehidupan modern, standar yang tinggi dalam kehidupan dapat dilihat dari atribut-atribut
pengetahuan, dan teknologi yang canggih. Seperti yang telah dikaji oleh Lewis Mumford bahwa
teknologi modern dimulai sejak tahun 1832 ketika ditemukannya turbin air yang disempurnakan
sebagai hasil dari kajian ilmiah. Ilmu pengetahuan dan teknologi tergantung satu sama lain dan
sangat melekat dengan kehidupan ekonomi masyarakat.8
Contohnya, kini teknologi modern mengembangkan teknologi tingkat tinggi seperti
penemuan chips, laser, electron microscope, dan semua teknologi canggih lainnya. Semua
teknologi ini berpengaruh kepada kehidupan masyarakat karena teknologi ini digunakan untuk
kepentingan ekonomi, keamanan, kesehatan, dan lain-lain. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga dialami masyarakat di Indonesia seperti masalah sosial yang dihadapi Indonesia
akibat tingginya kepadatan penduduk di Indonesia membuat cara pandang masyarakat kita
berubah yaitu perlunya mengatur kelahiran anak dengan menggunakan alat kontrasepsi
(teknologi di bidang kedokteran), semboyan ”banyak anak banyak rezeki” yang dianut keluarga-
keluarga di Indonesia, telah memudar. Alat kontrasepsi banyak digunakan pasutri (pasangan
suami istri) dan hal ini mampu memberikan kontribusi dalam mengatasi masalah sosial tersebut

7
Alex Thio, Sociology An Introduction, Third Edition, New York: Harper Colins Publishers Inc, 1992, hal. 56
8
Ibid hal,498
dan hal ini berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia terutama di tahun 1980-
an.
Kedua, komponen normatif dari kebudayaan berkaitan dengan nilai dan norma karena
kebudayaan juga membuat bagaimana manusia harus bertindak. Nilai secara sosial meliputi apa
yang dianggap baik, diharapkan, dan dianggap penting dalam masyarakat dan biasanya menjadi
dasar terbentuknya norma dan aturan bagi tindakan orang-orang dalam masyarakat. Nilai sifatnya
lebih umum (general) dari pada norma karena norma adalah aturan yang lebih spesifik yang
digunakan orang untuk bertindak dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, mencuri, atau
mengambil barang orang lain itu tidak baik, ini adalah sebuah nilai dan kemudian diderivasi
dalam peraturan bahwa barang siapa yang mencuri akan dikenakan hukuman. Contoh lain,
misalnya nilai tentang kebebasan berpendapat di sebuah negara demokrasi yang kemudian
membuat masyarakat bebas bertindak mengkritik pemerintah, namun hal ini diatur dalam aturan
perundangan, aturan perundangan ini adalah norma.
Nilai dan norma sangat bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya lainnya karena
subjektivitas dari masing-masing budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat di Amerika Serikat
bila orang mendapat pujian ”Good Job” (kerja yang bagus!) makanya jawabannya adalah
”Thank You”, hal ini tidak sama dengan kebiasaan berbagai etnik pada masyarakat di Indonesia,
bila orang Indonesia dipuji dengan perkataan ”Pekerjaan Anda bagus sekali”, jawabannya ”Ah
sebenarnya saya masih belajar” atau ”Ah, pekerjaan saya ini sebenarnya masih belum baik”, hal
ini menunjukkan bahwa ada sebuah nilai bahwa bila dipuji, kita harus merendah hati.
Nilai dan norma juga dari suatu waktu ke waktu yang lain dapat berubah. Seperti halnya
pada masyarakat di Amerika Serikat sekitar tahun 1950-an masih berlaku norma pemisahan ras
di sekolah karena adanya nilai ketidaksetaraan ras (ras kulit putih dengan ras kulit hitam), akan
tetapi kini norma tersebut telah berubah, di sekolah diberlakukan norma integrasi yang
merupakan perwujudan nilai kesetaraan ras. Di Indonesia juga pernah mengalami perubahan
nilai dan norma, misalnya pada waktu pemerintahan Hindia Belanda terdapat diskriminasi
fasilitas pendidikan, bagi anak-anak
Bumiputra memperoleh fasilitas yang berbeda dengan kelompok Timur Asing (Cina, India
dan Arab) dan kelompok Eropa (Belanda dan Inggris), kelompok Timur Asing dan kelompok
Eropa memperoleh fasilitas yang lebih baik dibandingkan kelompok Bumiputra.9 Namun, sejak

9
Paulus Wirutomo, , Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Penerbit UI-Press. 2012, hal. 61
kemerdekaan nilai dan norma ini sudah berubah karena ada upaya perjuangan dan perbaikan
politik etis sehingga fasilitas pendidikan dapat dinikmati oleh golongan apapun.
Nilai dalam bahasa Indonesia adalah ”konsepsi tentang hal yang seharusnya diinginkan” hal
ini berbeda dengan ”hal yang diinginkan”, nilai adalah abstrak sesuatu yang dibangun dan
berada di dalam pikiran dan akal budi, tidak dapat diraba dan dilihat dengan pancaindra.10 Nilai
pada hakikatnya mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak sesuai dengan apa yang
dianggap baik dalam masyarakat dan menjauhi tindakan yang dianggap buruk dalam
masyarakat. Nilai merupakan bagian yang penting dalam kebudayaan karena tindakan seseorang
dapat diterima atau dianggap sah oleh masyarakat bila selaras dengan nilai yang berlaku di
dalam masyarakat manakala orang tersebut bertindak. Misalnya, ada nilai yang berlaku bahwa
orang yang selalu beribadah mengindikasikan orang yang bermoral tinggi, oleh karena itu nilai
ini akan selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat. Nilai bukan hanya berlaku bagi orang
perorangan, tetapi juga bagi kelompok demikian pula dengan Indonesia sebagai sebuah bangsa
memiliki suatu nilai untuk mempersatukan kelompok yang berbeda-beda suku bangsa (etnis)
yaitu nilai persatuan yang dikenal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika karena nilai ini
mengandung faktor pemersatu, seperti identitas bersama dan solidaritas bersama yang melekat
pada beragamnya etnis pada masyarakat Indonesia.
Jadi, perlu ditekankan kembali bahwa nilai itu bersifat abstrak karena nilai berupa pedoman
perilaku yang dicita-citakan oleh masyarakat dan bersifat umum karena masyarakat selain
mempunyai pedoman umum juga memiliki nilai sosial yang berbeda antara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain tergantung kepada sistem budaya masyarakatnya. Misalnya, ada
nilai bahwa pernikahan adalah tindakan yang memiliki nilai tinggi karena tahapan ini adalah
tahapan melepas masa lajang dan menghalalkan tindakan berhubungan suami istri oleh karena
itu dilarang untuk mencuri gadis dan melarikannya, ini adalah nilai umum, tetapi ada nilai sosial
lainnya yang lebih khusus yaitu pada suku Sasak ada yang disebut merariq yaitu suatu tindakan
mencuri atau melarikan gadis sebagai bagian dari pernikahan.
Nilai adalah sebuah konsep yang hanya diketahui dan dipahami oleh masyarakat melalui
ucapan, tulisan, dan perilaku orang atau sekelompok orang yang dipelajari generasi satu ke
generasi berikutnya melalui proses sosialisasi. Seperti yang pernah kita pelajari bahwa sosialisasi
pertama (primary socialization) adalah dalam keluarga, hal ini dinyatakan oleh CH Cooley
10
Amri Marzali, Antropologi dan Pembangunan Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, hal. 105
bahwa kelompok primer adalah kelompok kecil seperti keluarga atau kelompok kerja, pada
kelompok primer akan membentuk norma-norma untuk bertindak dan melibatkan interaksi tatap
muka di antara semua anggotanya.11 Contoh sederhana nilai yang biasa disosialisasikan dalam
keluarga Jawa (tradisional) adalah nilai urmat (hormat) kepada orang tua yaitu nilai mana orang
yang lebih muda harus menghormati orang yang usianya lebih tua dengan cara salah satunya
adalah bila berkomunikasi harus menggunakan bahasa kromo inggil (bahasa Jawa halus),
demikian pula dalam keluarga-keluarga etnik yang lain, nilai selalu disosialisasikan.
Nilai juga mengandung moralitas karena sebagai pedoman bagi orang dalam bertindak yang
dianggap baik, patut, luhur di mata masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dianggap
bermoral bila ia tunduk pada nilai moral yang berlaku pada masyarakatnya. Seperti Emile
Durkheim tokoh fungsionalis yang memandang bahwa nilai dan norma adalah fakta sosial yang
memiliki karakteristik eksternal, memaksa dan berlaku umum. Arti dari eksternal adalah bahwa
nilai dan norma berada di luar individu, sedangkan bersifat memaksa artinya nilai dan norma
memaksa individu untuk bertindak, dan bersifat umum artinya nilai dan juga norma tidak hanya
berlaku bagi satu individu saja tetapi seluruh anggota masyarakat secara umum. Tampak bahwa
”fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang memperlihatkan sifat
patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu”.12
Dalam kenyataannya nilai tidak selamanya dipatuhi oleh anggota masyarakat karena tidak
sedikit anggota masyarakat yang bertindak menyimpang dari nilai, hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pemahaman dan penafsiran di antara anggota masyarakat tidak sama. Realitas ini selalu
terjadi dalam masyarakat manapun, hal ini terjadi karena sifat nilai yang abstrak tersebut, selain
tingkat pemahaman individu satu dengan yang lain juga berbeda.
Setelah kita memahami konsep nilai maka kita pelajari apa itu norma? Norma terbentuk
melalui proses sosial yang berlangsung terus menerus dalam kehidupan masyarakat yang tidak
disadari oleh anggota masyarakat itu sendiri. Awal mula timbulnya norma sosial dimulai setelah
anggota masyarakat merasakan manfaat dan sekaligus kerugian dari pola perilaku yang
berkembang di dalam masyarakat. Sebagai contoh, pada masyarakat desa pola perilaku mencuri
hewan ternak seperti ayam, kambing, atau sapi, sangat merugikan bagi pemilik dan akhirnya
diberlakukan norma bahwa barang siapa yang melakukan tindakan mencuri hewan ternak akan

11
David Jary dan Jary Julia, Dictionary of Sociology, Illinois: Dos Jones Irwin, 1991, hal. 195
12
Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 1, Terjemahan Robert MZ Lawang, Jakarta:
Penerbit PT Gramedia. 1986, hal. 177
diberikan sanksi. Norma yang berkaitan dengan mencuri selalu ada pada masyarakat manapun
tidak hanya di desa karena diberlakukannya norma akan mengurangi tindakan menyimpang dan
menciptakan tertib sosial dan kehidupan harmonis di dalam masyarakat.
Ketiga, komponen simbolik, adalah komponen yang sangat penting sebagai komponen
kebudayaan karena komponen nilai dan norma tidak akan eksis tanpa adanya simbol. Simbol
dapat berupa bahasa, gesture, atau suara. Simbol dapat diciptakan, dikomunikasikan dan
disosialisasikan kepada generasi berikutnya. Melalui simbol kita dapat memiliki budaya dan di
dalam proses sosial kita akan menjadi manusia seutuhnya.
Simbol dalam bentuk bahasa adalah penggunaan rangkaian kata-kata oleh anggota
masyarakat ketika melakukan koneksi dengan anggota masyarakat yang lain. Di Indonesia kita
mengetahui dan mengenal berbagai bahasa daerah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
dalam berbagai komunitas etnik yang ada. Jumlah bahasa daerah di Indonesia tepatnya adalah
746 bahasa yang tersebar dari Sabang, pulau We sampai Merauke, Papua.
Marilah kita pelajari beberapa contoh simbol, mulai dari suara, suara bel misalnya menurut
orang Jawa suara bel berbunyi ”thing-thong”, tetapi orang Sunda menyebutnya dengan ”teng-
tong”, contoh yang lainnya adalah suara ayam berkokok, menurut orang Sunda suara ayam
berbunyi ”kongkorongok” sedangkan orang Jawa bilang ”cukurukuk”. Dapat kita bayangkan
bagaimana dengan jumlah bahasa daerah di Indonesia yang sebanyak itu, jadi tentu ada kurang
lebih 746 variasi bunyi dan juga bahasa.
Selain, suara dan bahasa, kita mengenal juga gesture atau bahasa tubuh atau nonverbal
communication. Bahasa tubuh seperti juga bahasa pada umumnya dikonstruksi secara sosial
daripada secara biologis. Bahasa tubuh juga bervariasi sesuai dengan budaya yang ada pada
masing-masing masyarakat karena memang ada perbedaan antara budaya di satu masyarakat
dengan budaya di masyarakat lain. Sebagai contoh, bahasa tubuh bagi orang Jawa bila orang
tersebut ditanya ”Apakah anda menerima bila dipilih menjadi ketua RT di sini?” bila diam saja
dan mengedipkan matanya maka berarti ’menerima’, hal ini berbeda dengan budaya masyarakat
lain yang lebih terbuka yang akan dengan terus terang menjawab ”ya, saya menerima”.
Bahasa sebagai simbol sangat berpengaruh dalam dunia sosial (social world) mengingat
bahasa lahir dari interaksi tatap muka (face to face). Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan
maksud hati dari individu yang satu ke individu yang lain, melalui bahasa juga kita akan
mengetahui perilaku orang dan karakteristik orang tersebut. Selain itu, bahasa juga dapat
menunjukkan posisi atau status orang dalam sistem stratifikasi sosial. Misalnya, ketika ada
seseorang dari etnik Sunda katakanlah si A berbahasa Sunda halus kepada seseorang si B maka
dapat diinterpretasi bahwa si B memiliki stratum yang lebih tinggi dari si A, kemungkinan bisa
dari usia artinya si B lebih tua dari si A atau jabatan si B lebih tinggi dari si A.

3. Sistem sosial-budaya di Indonesia


Indonesia dikenal luas sebagai bangsa dengan realitas sosial-budaya yang begitu majemuk.
Hubungan sosial-budaya antar masyarakat di Indonesia merupakan produk sejarah yang panjang,
yang dari zaman ke zaman mengalami perkenalan dan pergaulan dengan bangsa-bangsa, agama-
agama, dan kebudayaan-kebudayaan dunia. Demikian juga, nasionalisme Indonesia, kebangsaan
Indonesia pun terbentuk, terbangun dan teruji oleh sejarah panjang, dari hasil interaksi “bangsa
Indonesia” dengan bangsa-bangsa, agama-agama, dan kebudayaan-kebudayaan dunia.
Pengalaman ini membentuk nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru dalam masyarakat Indonesia.
Sebagian nilai-nilai lama hendak ditinggalkan atau diperbaharui, sedangkan nilai-nilai baru yang
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradaban bangsa pada masa sekarang dan masa
mendatang harus senantiasa dipahami, diwujudkan dan diuji dalam pergaulan sosial-budaya.13

Kemajemukan dan Sistem Budaya

Dengan hampir 14.000 (empat belas ribu) pulau, Indonesia merupakan kepulauan yang
terbesar, seluas hampir 2 (dua) juta kilometer persegi, dan sepanjang dari ujung barat (Sabang di
P. Weh) ke ujung timur (Merauke di Irian Jaya) sekitar 5.000 (lima ribu) km, yang dihuni oleh
hampir 240 (dua ratus empat puluh juta) juta jiwa (terbesar kelima setelah Cina, India, AS,
Rusia); dan dengan 5 (lima) pulau besar (Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian), Jawa
merupakan pulau terpadat dan Irian Jaya terjarang penduduknya. Dengan sekitar 400 (empat
ratus) suku dan kelompok etnik, sebanyak 726 (tujuh ratus dua puluh enam) bahasa daerah, yang
sebagian punah atau hampir punah, selain bahasa Indonesia sebagai karya budaya bangsa yang
memayungi bangsa dan mempermudah komunikasi antar warga bangsa, agama-agama dan
unsur-unsur kebudayaan besar hidup dan berkembang dalam masyarakat bangsa dan komunitas-
komunitas yang plural.14

13
Nurdien H Kistanto, Sistem Sosial-Budaya Di Indonesia, Semarang: Universitas Diponegoro, 2008, 3(2), hal. 9
14
Ibid
Kemajemukan ini menyebabkan para ahli kebudayaan tidak mudah menentukan apa yang
disebut kebudayaan nasional. Namun demikian, secara garis besar, ada 3 (tiga) macam
kebudayaan, atau sub-kebudayaan, dalam masyarakat Indonesia, sebagai berikut.
a) Kebudayaan nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45;
b) kebudayaan suku-suku bangsa; dan
c) kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi lestarinya
perbedaanperbedaan identitas suku bangsa serta masyarakat-masyarakat yang saling berbeda
kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah, misalnya pasar atau kota.15

Sementara itu, Harsya W. Bachtiar menyebut berkembangnya 4 (empat) sistem budaya di


Indonesia, sebagai berikut.16
(1). Sistem budaya etnik, yang berasal dari bermacam-macam etnik yang masingmasing
memiliki wilayah budaya (18 masyarakat etnik, atau lebih); (2) sistem budaya agamaagama
besar, yang bersumber dari praktek agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik; (3)
sistem budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia, Pancasila dan UUD-
RI; dan (4) sistem budaya asing yang bersumber dari India, Belanda, Arab/Timur Tengah, Cina,
Amerika, Jepang, dan sebagainya.

Sistem Sosial-Budaya di Indonesia

Dengan latar-belakang dan pengalaman sosial-budaya yang begitu majemuk, meninjau


gagasan-gagasan tentang sistem sosial-budaya, dalam masyarakat-bangsa Indonesia terdapat
sistem-sistem sosial-budaya dan/atau subsistem-subsistem sosial-budaya, sebagai berikut.

Sistem Sosial-Budaya Nasional Indonesia

Sistem sosial-budaya nasional Indonesia merupakan sistem masyarakat-bangsa yang


menghasilkan, berlandaskan dan mewadahi (1) Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan (2)
Undang-Undang Dasar 45 sebagai Dasar Hukum, (3) nama Indonesia, sebagai nama bangsa dan
negara, (4) bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional, yang semuanya menempati dan mengisi
(5) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam bingkai (6) Garuda Pancasila, yang

15
M. Junus Melalatoa, (Penyunting), Sistem Budaya Indonesia, Jakarta: FISIP UI dengan PT Pamator, 1997, hal. 6
16
Bachtiar, Harsya W., Mattulada, Haryati Soebadio, Budaya dan Manusia Indonesia, Yogyakarta: Hanindita. 1985,
hal. 1-17
dilengkapi (7) semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai karya-karya budaya nasional yang
memayungi dan mempersatukan masyarakat-bangsa Indonesia.
Bahan-bahan bagi hasil karya budaya berupa sistem sosial-budaya nasional Indonesia
tersebut sudah ada dan dipraktekkan dalam kegiatan masyarakat dari zaman ke zaman, selama
berabad-abad, dalam wilayah-wilayah yang sekarang menjadi Indonesia.

Sistem Sosial-Budaya Suku Bangsa dan Etnik Bangsa

Sistem atau sub-sistem sosial-budaya suku bangsa dan kelompok etnik bangsa merupakan
sub-subbudaya yang hidup di daerah-daerah dan wilayah-wilayah geografis Indonesia yang
terbentuk secara turun-temurun dengan satuan-satuan subbudaya yang terbentuk sejak jauh
sebelum kelahiran masyarakat-bangsa dalam negara Indonesia. Satuan-satuan ini terdiri dari
bermacam-macam suku dan etnik yang masing-masing memiliki daerah atau wilayah budaya
atau sub-budaya, dengan masyarakat kesukuan dan etnik. Satuan-satuan itu bukan berasal dari
bangsa seperti yang terjadi di Amerika Serikat, misalnya, orang-orang atau bangsa Inggris atau
Jerman, atau Afrika Selatan, atau Amerika Latin (Chicano), atau Jepang dan Cina yang
membentuk sub-subbudaya di Amerika Serikat, melainkan rumpun-rumpun kesukuan dan etnik
bangsa yang sejak lama, secara turun-temurun, menetap di wilayah yang kemudian disepakati
disebut Indonesia.

Sistem Sosial-Budaya Agama

Sistem sosial-budaya agama terbentuk dengan sumber-sumber dari ajaran-ajaran dan


praktek agama-agama besar yang selama berabad-abad datang, tumbuh dan berkembang di
wilayah Indonesia, yakni Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik, serta Kong Hu Cu. Selain
itu, di daerah-daerah dan wilayah-wilayah budaya, berkembang pula praktek ajaran moral dan
spiritual dari religi kesukuan dan etnik, dan penghayatan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang kelompok pelakunya disebut Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), terutama di
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sistem Sosial-Budaya Asing

Sistem sosial-budaya asing berasal dan terbentuk dari unsur-unsur budaya asing, seperti
India, Melayu, Belanda, Arab dan Timur Tengah, Cina, Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan
sebagainya. Oleh masyarakat Indonesia, secara kreatif unsur-unsur budaya ini disaring,
disesuaikan, dirombak, dipadukan, dan dikawinkan, meskipun ada yang dikenakan begitu saja.
Unsur-unsur budaya dalam sistem sosial-budaya asing ini di satu pihak dapat dipandang
memperkaya unsur-unsur budaya nasional dan daerah, yang acapkali menghasilkan percampuran
unsur-unsur budaya baru yang unik dan diminati masyarakat; di lain pihak dipandang sebagai
unsur-unsur budaya yang menjajah, mendominasi dan menggeser unsur-unsur budaya daerah.

Sistem Sosial-Budaya Campuran

Sistem sosial-budaya campuran merupakan tanggapan masyarakat terhadap masuknya unsur-


unsur budaya lain yang diterima dan dimanfaatkan untuk memperkaya unsur-unsur budaya yang
dianggap asli, atau sudah hadir sejak lama sehingga percampuran antar unsur-unsur budaya
dapat terjadi. Sistem budaya campuran lazim terjadi dalam unsur-unsur budaya “sistem religi
dan upacara keagamaan,” misalnya dengan praktik sinkretisme dalam beragama; “bahasa,”
dengan menggunakan kata-kata dan ujaran-ujaran campuran dengan istilah dan kata-kata dari
bahasa asing dalam komunikasi tulisan maupun lisan; “kesenian,” merupakan satu unsur budaya
yang mudah bercampuran, antara unsur-unsur yang ada dalam dirinya dengan unsur-unsur lain
yang masuk, musik ndang-dut Rhoma Irama yang berhasil meraih hati penggemar dalam jumlah
besar merupakan contoh fenomenal yang menarik; “sistem dan organisasi kemasyarakatan” yang
dapat terjadi misalnya dalam praktik politik berdemokrasi beserta implementasi dan
pelaksanaannya; dan “sistem mata pencaharian hidup” yang sangat mempengaruhi cara, strategi,
dan kebijakan serta praktek dalam kebijakan dan praktek ekonomi masyarakat-bangsa.

C. Kesimpulan
Manusia dan kebudayaan bersama-sama membangun kehidupan sosial-budaya, yang
terpola dan secara sistematis disebut sistem sosial-budaya. Sistematisasi sosial-budaya terjadi
melalui penyesuaian bersama dalam norma-norma, ide-ide, nilai-nilai, estetika, tradisi, yang
semuanya dapat diwujudkan melalui unsur-unsur kebudayaan, yang sekaligus merupakan isi
kebudayaan.
Kebudayaan hidup di dalam sistem sosial-budaya yang mengembangkannya, yang
merupakan wadah dinamika dan pengembangan unsur-unsur budaya sebagai perwujudan dari isi
kebudayaan yang senantiasa saling berhubungan dan berjalinan. Lima sistem sosialbudaya yang
hidup dan mewadahi hajat hidup masyarakat Indonesia terbentuk oleh latarbelakang dan
pengalaman kebudayaan, dari zaman ke zaman sehingga merupakan buah peradaban dan
pengalaman bangsa yang senantiasa bergerak dan berkembang.
Sistem-sistem sosial-budaya di Indonesia memerlukan pembahasan lebih lanjut dan
terperinci dengan kepentingan mengidentifikasi sistem sosial-budaya yang berkembang dan
merencanakan strategi pembangunan sosial-budaya yang bermanfaat bagi penyelenggaraan
kehidupan sosial-budaya yang berbasis latar-belakang sosial-budaya, realitas sosial-budaya dan
dinamika sosial-budaya yang senantiasa bergerak dan berkembang.
Daftar Rujukan

Bachtiar, Harsya W., Mattulada, Haryati Soebadio. 1985. Budaya dan Manusia Indonesia.
Yogyakarta: Hanindita.
Berutu, Sri Rahmayanti, Purba, Tiara Pramita Br., & Sahlan. Sistem Budaya Dan Sistem Sosial.
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan. Jurnal Inspirasi Pendidikan (ALFIHRIS).
Vol.1, No.1 Januari. 2023. hal. 122-123 (online) diakses 16 Nov. 2023
https://ejurnalqarnain.stisnq.ac.id/index.php/ALFARISI/article/download/122/126
en.wikipedia.org/wiki/system (online) diakses 16 Nov. 2023
Jary, David dan Julia Jary. 1991. Dictionary of Sociology. Illinois: Dos Jones Irwin.
Kistanto, Nurdien H. 2008. Sistem Sosial-Budaya Di Indonesia. Semarang: Universitas
Diponegoro. 3(2)
Marzali, Amri. 2007. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Melalatoa, M. Junus (Penyunting). 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP UI dengan PT
Pamator.
Paul, Jhonson Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1 dan 2. Terjemahan
Robert MZ Lawang. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Thio, Alex. 1992. Sociology An Introduction, Third Edition. New York: Harper Colins Publishers
Inc.
Wirutomo, Paulus. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit UI-Press.

Anda mungkin juga menyukai