Pembelajaran II
Modul II ini membahas dimensi sosial kehidupan manusia, ’Manusia sebagai Homo
Socius’. Topik ini sangatlah penting untuk dipelajari lebih dulu sebelum kita
memperbincangkan mengenai eksistensi negara
Kompetensi Dasar:
1. Mahasiswa memiliki pemahaman tentang eksistensi manusia dan
kebutuhannya terhadap keberadaan negara
2. Mahasiswa memiliki rasa tanggungjawab dalam keterlibatannya
membangun kehidupan bersama yang dialogis, harmonis, dan dinamis
3. Mahasiswa memiliki kepedulian terhadap isu-isu kehidupan bersama,
terutama berkaitan dengan kemasyarakatan dan kebangsaan
dunia manusia. Dia memasuki alam subjek-subjek lain. Akan tetapi, ia pun sebagai
subjek dimasuki juga. Jadi, dia bersatu dengan subjek-subjek lain. Jika demikian,
dalam konteks kehidupan manusia, ada berarti ada bersama, ada bersama dengan
saling membangun. Jika manusia itu harus memanusiakan diri dan ini berarti
membudaya, maka dengan sendirinya membudaya berarti membudaya bersama
karena cara manusia berada tidak bisa lain daripada berada bersama.
Dalam hidup bersama, manusia harus merupakan sesama, harus sederajat,
sehingga ia ikut serta dalam “permainan bersama” yang disebut “masyakarat”. Di
mana itu tidak terjadi, menurut Pater Driyarkara, di situ terjadi dehumanisasi atau
perendahan martabat manusia. Adanya manusia adalah ada bersama; tanpa hidup
bersama, manusia tidak dapat berkembang. Kebersamaan adalah esensi dasar dari
cara hidup manusia. Disadari atau tidak, hidup manusia adalah hidup saling
terhubung, terhubung secara struktural dengan sesamanya, baik yang dikenal
maupun tak dikenal.
Di sekitar kita, tegas Pater Driyarkara, kita melihat barang seperti meja, kursi,
pakaian, buku-buku, dan lain sebagainya; semua itu menghubungkan kita baik
dengan pembuat maupun pembeli. Lanjut beliau, jika kita makan sesuap nasi,
ingatlah berapa saja tangan yang sudah dilalui nasi sebelum sampai ke tangan kita.
Semua itu, tangan yang bekerja, mulai dari menanam sampai menanak dan
menghidangkan. Jika kita keluar rumah, maka ladang-ladang yang kita pandang
menghubungkan kita dengan kaum tani. Jalan-jalan yang kita lalui dan tanda-tanda
lalu lintas, semuanya itu menunjukkan arti yang sama bagi kita dan sesama yang
lain. Pun berbagai macam pekerjaan seperti dokter, pedagang, wartawan, dan lain
sebagainya, semua memperlihatkan kebersamaan dari banyak orang.
Bagi manusia, bekerja berarti bekerja sama. Tidak ada ”Aku” yang terpisah,
tersendiri, dan tanpa yang lain. Bidang-bidang kehidupan manusia (politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan lain-lain) memperlihatkan bahwa bagi manusia dunia selalu
dunia bersama dan ada berupa ada bersama. Dengan kata lain, kesosialan itu
melekat pada kodrat manusia. Hidup bersama dan kerja sama merupakan sesuatu
yang niscaya bagi manusia. Melalui keduanya, manusia dapat mengaktualisasikan
kedaulatan dirinya. Pada saat yang sama, melalui keduanya pula manusia
membudaya, merajud peradaban.
2
Pendidikan Kewarganegaraan USD 2020
Seperti telah dikemukakan di depan, manusia tidak bisa hidup tanpa manusia
lain. Bahkan, seorang penulis cerita fiktif sekalipun tidak akan bisa menulis cerita
mengenai kisah manusia yang dari awal hingga akhir cerita hidup seorang diri tanpa
pernah bertemu dan berkomunikasi dengan orang lain. Sebagai ilustrasi, cerita
Tarzan yang sejak kecil tinggal di hutan seorang diri dan telah mampu “bergaul”
dengan aneka binatang pun toh pada usia remajanya harus “dikotakan” oleh
penulisnya untuk dipertemukan dengan manusia-manusia lain. Lebih menarik lagi
cerita Tarzan versi Indonesia, Tarzan Cilik, yang telah harus “dikotakan” pada usia
dini. Ini semua memberikan bukti penguat bahwa adanya manusia itu benar-benar
adalah ada bersama sesamanya.
Sekali lagi, kebersamaan dan kerja sama dengan sesama adalah sesuatu yang
niscaya bagi manusia. Melaluinya manusia secara bersama-sama dan terus-menerus
mengkreasi hidupnya dan memutakhirkan konstruksi sosialnya. Inovasi-inovasi
3
Pendidikan Kewarganegaraan USD 2020
kaya nilai muncul silih berganti sejak zaman batu hingga era teknologi informasi
saat ini. Hidup bersama dan kerjasama dalam relasi setara antar subjek (Homo
Homini Socius), bukan subjek-objek, menjadi prasyarat bagi terciptanya nilai-nilai
kemanusiaan. Sejarah amat panjang umat manusia telah memberikan begitu banyak
bukti. Sebaliknya, bila relasi antar manusia berpola subjek-objek, dimana yang kuat
menindas yang lemah (Homo Homini Lopus), maka robohlah keadaban manusia.
Untuk tindakan-tindakan destruktif anti-nilai itu pun banyak bukti sejarah dengan
mudah bisa ditemukan.
Menghindari Homo Homini Lopus dan memperkokoh Homo Homini Socius
menjadi tugas perutusan seluruh umat manusia. Sikap inklusif, sikap terbuka, atau
sikap “mengkawankan” sesama, atau “mensesamakan” siapa pun merupakan modal
sosial yang sangat berharga. Sikap inklusif menjadi prasyarat bagi optimalisasi
kesosialan manusia, suatu sikap yang terbukti sangat handal untuk menghidupi
pluralitas/kemajemukan manusia. Manusia sosial adalah manusia yang senantiasa
bersedia membuka diri, sanggup menghormati aneka perbedaan, dan siap untuk
memosisikan orang lain sebagai sesama, sebagai kawan, sama-sama sebagai subjek
hidup dan kehidupan.
Refleksi
1) Kapan manusia berkarakter homo homini lopus, kapan pula manusia
berkarakter homo homini socius? Deskripsikan!
2) Bila dikaitkan dengan kodrat sosial manusia, bagaimana tanggapan
reflektif Anda tentang semboyan Bhinneka Tunggal Ika?
3) Mengikuti pandangan Driyarkara tentang manusia, SIAPAKAH DIRIKU
yang semestinya?
Referensi
A. Sudiarja, S.J. dkk (ed), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh
dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Kerjasama PT. Kompas Media Nusantara, Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama, Penerbit Percetakan Kanisius, dan Ordo Serikat Jesus Provinsi
Indonesia, 2006.