Anda di halaman 1dari 66

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL

(HOMO SOCIALIS)

Pendahuluan
Manusia memiliki kecenderungan sosial dan politis.
 Ciri sosial menunjuk pada kehidupan bersama
dengan orang lain (socii), berkomunikasi dengan
mereka, bertukar pengalaman, cita-cita dan ke-
inginan, saling membagikan (sharing) emosi dan
milik dsbnya.

1
 Ciri politis menunjuk pada hubungan-hubungan yang
dislenggarakan oleh individu-individu dengan yang
lain sejauh mereka ambil bagian dalam suatu kelom-
pok sosial. Jadi ada kaitan erat antara sosialitas dan
politik. Aristoteles berkata, manusia adalah makhluk
politis dan karenanya juga sosial.

2
I. Fenomen Sosial

Pada hakikatnya manusia adalah pribadi, makhluk


individual tetapi ia juga berhubungan dengan makh-
luk-makhluk lainnya, termasuk manusia lainnya. Ia
selalu ada bersama dan berhubungan dengan
makhluk-makhluk serta orang-orang lainnya. Keber-
samaan itu dapat dijelaskan dengan bantuan bebe-
rapa ciri dasar dalam hidup manusia sendiri.

3
Ciri-ciri dasar manusia itu sebagai makhluk sosial
adalah:
1. Seksualitas manusia (pria dan wanita). Manusia ada-
lah entah pria entah wanita. Anatomi,fisiologi dan psi-
kologinya sudah menunjukkan bahwa manusia ter-
arah kepada yg lain.

4
Artinya, paling tidak, untuk memperoleh keturunan,
pria membutuhkan wanita, dan dengan demikian juga
sebaliknya. Baik pria maupun wanita dalam hal ini,
membutuhkan hubungan sosial, khususnya hubungan
seksual dengan yang lain.

5
Akan tetapi hubungan seksual ini janganlah dire-
duksikan menjadi hubungan biologis belaka. Bagai-
manapun juga hubungan ini adalah hubungan
antar-pribadi. Dan sebagai hubungan antarpribadi,
hubungan ini melampaui hubungan yang melulu
biologis.

6
2. Manusia selalu termasuk ke dalam suatu keluarga
(batih). Setiap orang dilahirkan dalam suatu keluar-
ga atau batih. Karena itu sejak semula ia sudah
dikelilingi oleh orang-orang lain, paling tidak oleh
orangtuanya sendiri. Ia berada bersama dengan
mereka dan berhubungan dengan mereka juga.

7
Ia bahkan menemukan orang-orang lain ‘lebih
dahulu’ daripada dirinya sendiri. Semua itu terjadi
dalam keluarganya. Perluasan dari kelompok kecil ini
(keluarga) adalah klan, suku, dan lambat laun dalam
kelompok yang lebih besar: desa, kota, negara.

8
3. Gejala bahasa. Kemampuan berbahasa membeda-
kan manusia dari makhluk-makhluk lainnya. Salah
satu fungsi bahasa adalah menjadi alat untuk berko-
munikasi dengan orang-orang lain. Fungsi ini pasti
tidak dapat diwujudkan, jika setiap orang mempu-
nyai bahasa dan tata bahasanya sendiri.

9
4. Ketergantungan ekonomis. Hubungan manusia de-
ngan barang-barang menunjukkan bahwa kepenting-
an setiap orang saling bergantungan. Tetapi kepen-
tingan mereka juga dapat saling bertentangan. Kea-
daan saling bergantung ini tampak paling jelas dalam
pembagian kerja.

10
Dalam pembagian kerja itu tampak bahwa setiap
orang membutuhkan orang lainnya. Kelalaian satu
orang dapat merusakkan segala sesuatu. Ketergan-
tungan semacam itu semakin terasa hebat dewasa
ini.

11
5. Media komunikasi. Media komunikasi modern
membuat setiap manusia dapat saling berhubungan
satu sama lain dalam segala macam situasi dan
tempat.

12
Kehidupan masing-masing kita “dapat berubah drastis
dari puncak ke dasar hanya karena suatu kejadian di
suatu bagian dunia di mana ia sama sekali tidak per-
nah menginjakkan kakinya (G. Marcel, L’homme pro-
blematique) dan tindakan manusia yang paling kecil
dan realitas apa pun, kendati kecil ambil bagian dalam
suatu rezim sosial yang mengarahkan dan meresap ke
seluruh bagian.

13
Saya tidak dapat lepas dari kenyataan bahwa
kegiatan saya yang paling kecil sekali pun dilingkupi
dan didukung oleh solidaritas ekonomis, sosial,
yuridis dsbnya yang menjadi dasar dari kontrak-
kontrak saya. Kejadian embargo komoditi tertentu
dalam suatu negara mempunyai penga-ruh yang
saya rasakan. Ada jalinan kait-mengait antara
orang-orang.

14
II. Interpretasi Dari Fenomen Sosialitas

1. Dalam masa Yunani


a. Plato: individualitas lebih penting. Manusia tdk mem-
butuhkan yang lain karena utk mencapai kesempur-
naan, ia sendiri dpt bermeditasi merenungkan dunia
ideal.

15
b. Aristoteles: sosialitas lebih penting krn dari dirinya
sendiri manusia tidak pernah bisa memenuhi kebu-
tuhannya, ataupun mewujudkan aspirasinya. Jadi
dari kodratnya sendirilah manusia itu cenderung un-
tuk mengorganisasikan diri untuk bekerja sama de-
ngan sesama dalam masyarakat.

16
2. Dalam Abad Pertengahan

a. Komunitas kaum beriman: ada sosialitas duniawi


(yg berdasarkan rasionalitas) dan sosialitas kaum
beriman (satu tubuh mistik Kristus yg berdasarkan
rahmat).
b. Augustinus: dualisme masyarakat
 Masyarakat duniawi (yg tercemar oleh dosa) dan
masyarakat ilahi (yg diangkat oleh rahmat).

17
 Kedua masyarakat ini dibangun atas dasar cinta
(masyarakat ini dibangun atas dasar cinta ilahi
sedangkan masyarakat duniawi dibangun oleh cinta
diri, cinta buta dan egois yg memuncak dalam
penyangkalan Tuhan sendiri).

18
c. Thomas Aquinas: gereja dominan terhadap negara.
Thomas Aquinas mempunyai pandangan yang
berbeda dari Augustinus. Mengikuti Aristoteles,
Thomas berpendapat bahwa kodrat manusia adalah
hidup bersama.
 Ada dua masyarakat, yaitu Negara dan Gereja.
 Negara adalah masyarakat sempurna krn mem-
punyai tujuan dan sarananya sendiri utk melayani
manusia.

19
 Gereja mengusahakan keselamatan abadi (lewat
khotbah dan sakramen, dsbnya).
 Negara tergantung pd Gereja karena tujuan Gereja
adalah kebaikan adikodrati yg mengatasi kebaikan
lainnya.
 Dlm hal lainnya Negara tetap merdeka.

20
3. Dalam masa modern

a. Faham individualisme (Th. Hobbes, J. Locke, J. J.


Rousseau). Interpretasi Plato mengenai dasar-
dasar masyarakat diambil alih oleh Spinoza, Hob-
bes, Locke, Leibniz, Vico dan Rousseau.
 Semua filsuf ini mengajukan perbedaan antara
kodrat asli manusia dan peradaban.

21
 Menurut kodrat aslinya manusia mencukupi dirinya
sendiri dan tidak memerlukan orang lain. Locke,
misalnya, berpendapat “Kodrat manusia mem-
punyai hukumnya sendiri, mengajarkan kepada
semua manusia, ketika mereka menyadari ini,
bahwa sebagai yang sama dan tidak tergantung
satu sama lain, tidak seorang pun boleh
mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan dan
harta orang lain” (Locke, Due trattati sul Governo,
II. 6.6).

22
 Utk menghindari konflik antara individu menyangkut
kepentingan masing-masing maka bersama-sama
membentuk negara.
 Negara adalah sekunder dan bukan kodrat pertama
manusia.

23
 Ide dasar ini berkembang dan menghasilkan
“Deklarasi Hak-Hak Manusia” dlm revolusi Peran-
cis (1789).
 Pengandaian ini memberikan kelonggaran utk sis-
tem ekonomi kapitalis (di mana kebebasan indivi-
du dimanfaatkan).

24
b. Faham sosialisme: K. Marx, A. Comte. Suatu per-
ubahan mendasar muncul dari gagasan Marx me-
nyangkut hubungan antara individu dan sosiali-
tas. Bagi Marx di luar sosialitas, individu tidak ter-
bayangkan adanya.

25
Pandangan Karl Marx

 Marx mengemukakan bahwa masyarakat (sosia-


litas) adalah hal yg utama.
 Individu tdk bisa hidup tanpa sosialitas (masya-
rakat).
 Masyarakat (sosialitas) merupakan dasar utama
kehidupan manusia.

26
Pandangan A. Comte

 Memperkuat anggapan sosialitas sebagai yg


utama.
 Hal-hal yg dikemukakannya adalah:
1. manusia terus-menerus berkembang dan tidak
henti-hentinya merealisasikan kesempurnaan,

27
1. manusia mengarah pada persatuan politis,
2. manusia dibimbing hanya dgn hukum moral: hi-
dup utk orang lain.
 Comte hanya memutlakkan satu dimensi manu-
sia, yaitu sosialitas

28
4. Dalam masa kini

a. Sosiologisme (Durkheim dan Lévy-Bruhl). Pada


awal abad ini muncul pemikir E. Durkheim dan
Lévy-Bruhl yang mengikuti garis sosiologi’
 Keduanya berkecimpung dalam bidang penyelidik-
an moral, terutama menyangkut asal-usul moral.
Dalam masyarakat, individu-individu terdorong un-
tuk menaati perintah-perintah.

29
 Persoalan pertama yang diajukan adalah manakah
sumber pertama dari perintah-perintah itu? Per-
soalan kedua, alasan-alasan mana yang menye-
babkan individu merasa harus menaatinya?
 Persoalan pertama dijawab oleh Durkheim dgn
mengemukakan bahwa peraturan-peraturan dibe-
bani masyarakat kpd individu dan individu taat kpd
peraturan-peraturan itu krn takut dihukum.
 Dengan demikian menurut Durkheim, asal-usul ke-
wajiban moral adalah masyarakat itu sendiri.

30
 Dgn mengikuti Durkheim, Lévy Bruhl menge-
mukakan bahwa adat-kebiasaan mampu menga-
tur kehidupan etis manusia.
 Lévy-Bruhl mengembangkan sosiologi adat kebia-
saan yg otonom.

31
b. Pribadi yg bersosial: J. Maritain

 Melawan kedua tokoh (E. Durkheim dan Lévy


Bruhl) yang memutlakkan ilmu sosial ini muncul
pemikir-pemikir lain: Nietzsche, Heidegger, Sartre
dan Maritain. Ketiga yang pertama dengan meno-
lak sosiologisme jatuh kembali pada ekstrim
individualisme dgn menekankan hak individu
sehingga seolah-olah tdk memiliki lagi dimensi
sosial.

32
 Maritain melihat dimensi sosial dalam cahaya martabat
pribadi yang ada dalam individu.
 Sebagai individu manusia cenderung menutup diri utk
mempertahankan kebeadaannya tetapi sebagai pribadi
dia terbuka kpd yang lain (memberi dan menerima dan
ini mengandaikan komunikasi intelektual dan cinta.
Komunikasi secara sungguh-sungguh adalah hakiki bagi
pribadi.

33
c. Sosiologi baru: P. Sorokin.

 Menolak sosiologi yang dengan buta mengguna-


kan istilah-istilah yang berlalu untuk gejala terba-
tas duniawi dan fisik untuk melukiskan peristiwa
manusia.

34
 Ada sesuatu yang tidak dapat dijabarkan dalam
jumlah dan fakta baik dalam pribadi manusia
maupun dalam sosialitas manusia. Sesuatu ini
adalah “makna”, unsur non-material yang tidak
dapat dipulangkan kepada materi dan kehidupan.

35
 Melawan pemutlakan dari pengalaman sensoris,
khas manusia modern, Sorokin mengajukan jenis-
jenis pengetahuan yang lain: pengalaman rasio-
nal (logico-matematica) dan intuitif.

36
 Manusia dalam pandangan Sorokin adalah makh-
luk yang utuh atau suatu sintesis harmonis dari tiga
kemungkinan hakiki:
1. pengetahuan empiris dari kenyataan yang diper-
oleh lewat organ sensoris dan perpanjang teknis-
nya (teleskop, mikroskop), dan hasilnya adalah pe-
ngenalan empirico-sensoris, pengetahuan empiris,

37
2. pengetahuan rasional dari kenyataan yang diper-
oleh lewat pemikiran logis-matematis dan hasil-
nya adalah pengetahuan rasional, pengetahuan
eksakta,
3. pengetahuan intuitif (supra-rasional) diperoleh le-
wat iluminasi mulia dan inspirasi ilahi dan hasil-
nya adalah pengetahuan intuitif, yang merupakan
perwujudan paling tinggi dari kreativitas manusia:
seni, moral, agama.

38
 Kekeliruan yang terjadi adalah pemutlakan penge-
tahuan eksperimental yang dilakukan oleh kelom-
pok borjuis-proletar yang membawa bencana de-
wasa ini.
 Bencana ini hanya dpt diubah dgn transformasi in-
terior dari manusia dgn peningkatan altruisme dan
cinta kreatif.

39
III. Hubungan Antar-subjek

Pemutlakan sosialitas atau individualitas tdk se-


suai dgn kodrat manusia. Manusia adalah makh-
luk yg sekaligus individual-sosial.
 Manusia tdk bisa hidup terisolasi dari yg lain.
 Dlm hubungan dgn orang lain, individualitas ma-
nusia ditingkatkan menjadi pribadi (persona).

40
 Sebagai pribadi manusia adalah subjek aktif dlm
pergaulan dgn orang lain.
 Manusia menentukan model masyarakat yg akan
dibentuknya sendiri.
 Bagaimana model pergaulan antar-subjek itu, ada
beberapa pandangan yang berbeda.

41
1. Hubungan antar-subjek model konflik (J. P. Sartre)

Tetapi siapakah sesama manusia? Dalam bebe-


rapa pandangan filsafat sesama manusia dicurigai
sebagai lawan, pesaing, yang mempunyai kepen-
tingan yang sama sampai saling memusuhi satu
sama lain. J. P. Sartre, seorang eksistensialis,
menempatkan situasi ini dalam pengalaman eksis-
tensial manusia. Untuk menjawab hubungan antar-
manusia, Sartre lebih dahulu menjelaskan manu-
sia sebagai eksistensi.

42
Beberapa pokok pikiran Sartre:

a. Eksistensi manusia adalah ada utk dirinya:


 Berbeda dgn cara berada binatang sebagai berada
pada dirinya.
 Perbedaan yg langsung tertangkap adalah adanya
kesadaran.

43
 Kegiatan kesadaran yg utama adalah berhubungan
dgn yang lain.
 Kesadaran muncul pertama sebagai kesadaran diri.
 kesadaran diri ini bisa bertahan dengan cara me-
ngambil jarak dari yang lain dan mengobjekkan
yang lain.
 Dengan demikian tampaklah nafsu kesadaran untuk
mengarah pada hal-hal lain, menguasainya agar da-
pat mempertahankan dirinya.

44
Ada untuk dirinya (being for Ada pada dirinya (being in itself)
himself)
manusia binatang, tumbuhan, benda-benda mati

makhluk sadar tidak mempunyai kesadaran

sadar diri dan sadar akan yang lain tidak mempunyai hubungan dengan yang lain

sebagai subjek mengobjekkan yang lain tidak ada subjek, tidak ada objek

“menidak” untuk menangkap objek tidak bertindak apa-apa terhadap yang lain

terus-menrus mencari objek (“haus”) puas diri, tidak merasa “haus”

untuk mempertahankan subjekti-vitas- nya tidak ada masa depan

sebagai eksistensi tidak ada eksistensi

45
b. Kesadaran membuat manusia ingin menguasai yg
lain utk dirinya dan utk mempertahankan eksis-
tensinya.
 Manusia haus dan tak henti-hentinya menguasai
dan mengobjekkan yg lain dan memasukkan yg
lain ke dlm dunianya.
 Nafsu manusia utk menguasai yg lain diungkap-
kan dgn “sorotan mata”.

46
c. Evaluasi
 Pandangan Sartre bukanlah angan-angan.
 Banyak kejadian sosial bisa dikembalikan pada
hubungan konflik ini (Peperangan antar-bangsa
atau suku bangsa, kecurigaan antar-agama, per-
saingan dalam bisnis, politik, sampai masalah wa-
risan).

47
 Akan tetapi pandangan ini tampak terlalu berat sebe-
lah. Sartre melihat eksistensi dalam perspektif oto-
nomi individual dan dari situ hubungan manusia ditu-
runkan. Ia tidak melihat kenyataan manusia sebagai
“koeksistensi”, berada bersama di dunia, mempu-
nyai pengalaman-pengalaman bersama.

48
 Pengalaman manusia tidak semata-mata sendiri,
juga dalam keadaan-keadaan yang mencemaskan
dan menakutkan, manusia tidak sendirian; belum
lagi pengalaman-pengalaman yang membaha-gia-
kan dalam kehidupan bersama: komunitas, keluar-
ga, pasangan suami-isteri yang bahagia.

49
2. Hubungan antar-subjek model cintakasih
(Gabriel Marcel)
Pandangan G. Marcel berlawanan dgn pandangan
Sartre. Marcel melihat adanya keterbukaan manu-
sia utk berkomunikasi dgn yg lain (keberadaan
bersama) sebagai ciri manusia di dunia.

50
Beberapa pokok pikiran G. Marcel:

a. Berada dan memiliki:


 Manusia bereksistensi berarti ia mengalami hi-
dupnya, merasakan banyak hal (kekaguman, ke-
kecewaan, cinta dsbnya.
 Manusia juga memiliki kecenderungan utk memi-
liki (mengambil hal di sekitarnya sebagai miliknya,
sebagai bagian dari hidupnya).

51
 Akan tetapi tidak dapat disangkal, hidup manusia
lebih dari sekedar kecenderungan untuk memiliki.
Dalam hidupnya ada tataran-tataran kegiatan.
Dalam tataran yang lebih tinggi, manusia merasa
“dipanggil” untuk membebaskan dirinya dari se-
kedar nafsu pemilikan.

52
 Ia bisa melihat hal-hal lain di sekitarnya bukan
hanya sebagai objek untuk dirinya, melainkan
sebagai sarana di mana ia bertemu dengan yang
lain.
 Itulah awal kesadaran eksistensi menjadi “ko-
eksistensi”, ada bersama dengan yang lain.
 Dalam perspektif ini maka yang lain tidak bisa
direduksi menjadi objek, tubuh belaka, atau di-
tangkap dalam definisi yang mati.

53
b. Hubungan dgn yang lain adalah hubungan cinta
(G. Marcel)

 Mengikuti pemikiran Husserl, aku yg sadar men-


capai realitasnya bukan dlm hubungan dgn diri-
nya tetapi dlm hubungan dgn objek lain di luar di-
rinya utk membangun dunia.
 Aku yg sadar menjadi aku yg mampu mencintai.

54
 Cinta membawa saya kpd sikap-sikap kerelaan,
penerimaan, keterlibatan, dan kesetiaan.
a) kerelaan membuat saya bersedia utk melepas,
b) aktivitas melepas diperlihatkan dlm penerimaan,
yaitu menyediakan tempat bagi yang lain dan
memahami kekurangannya,

55
c) penerimaan membawa pd sikap terlibat (kese-
diaan utk ambil bagian dlm kegiatan org lain, per-
hatian terhadap rencana-rencana dan menjadi re-
kan seiring sejalan,
d) sikap pada c menuntut sikap kesetiaan krn terdo-
rong oleh tanggung jawab.

56
 Cinta dlm pandangan Marcel sangat sentral dlm
hubungan antar-pribadi. Cinta dlm pandangan Marcel
merupakan realisasi tertinggi dari eksistensi manu-
sia. Cinta itu kreatif tdk hanya dlm arti menghasilkan
sesuatu yg lain tetapi terutama krn membuka org lain
dlm kebebasannya.

57
c. Evaluasi

Titik tolak pandangan Marcel berasal dari situasi


konkret manusia (pengalaman-pengalaman eksis-
tensial). Akan tetapi pengalaman eksistensial yg
menyangkut cinta sebagaimana dimaksudkan oleh
Marcel rupanya tdk berlaku umum krn masih ba-
nyak hubungan yg masih bersifat formal daripada
cinta sejati.

58
3. Hubungan antar-subjek model moral (Levinas)

Pokok-pokok pemikiran Lavinas:


 Aku yg sebenarnya bukanlah yg berkuasa atau
dominan.
 Yang lain itulah yg lebih berkuasa daripada aku
krn yang lain tdk pernah tertangkapseluruhnya
olehku, tdk mungkin dijadikan sebagai objek krn
senantiasa terbentang jarak.

59
 Dlm kenyataannya yang lain itu datang dan hadir
bukan krn saya memanggil atau menghendakinya
melainkan krn ia mewahyukan diri.
 Dengan penampakan diri (ephiphani) ini pun saya
tetap tidak memahami “yang lain” sepenuhnya.

60
 Dengan demikian “yang lain” oleh Levinas sering
dilukiskan secara metaforis, sebagai “wajah telan-
jang” (le visage nu).
 Saya hanya bisa berharap bahwa dia memper-
lihatkan diri lebih jelas lagi.

61
 Akan tetapi penampakan ini malah memuat tun-
tutan agar saya menghormatinya, memusatkan
perhatian saya padanya, melepaskan segala pre-
tensi yang tidak berlaku untuk merumuskan “dia
yang lain” itu.

62
 “Panggilan” ini begitu radikal sehingga menuntut
saya untuk keluar dari keakuanku.
 Dia yang lain itu merupakan simbol dari “Yang ti-
dak terbatas”.

63
Evaluasi

Pandangan Levinas mengenai yang lain sebagai


yang transenden, tidak terumuskan, tidak terobjek-
kan, tidak dapat saya masukkan dalam kategori-
kategori pengetahuan dan kehendakku, sangat me-
narik. Akan tetapi pahamnya sangat sulit diterima:

64
 Bagaimana “yang lain” itu dapat menjadi asing
sama sekali dari kerangka pengetahuan atau pe-
ngalaman saya bila ia mampu menampakkan diri?
 Bukankah untuk dapat memahami revelasi seti-
daknya “yang lain” harus masuk dalam kategori pe-
mikiran saya?

65
 Lalu tuntutan moralnya yang ditarik dari sini juga
kurang memberi keyakinan sebab moral dalam arti
tertentu mengandaikan suatu otonomi, suatu aktivi-
tas dan peran dari subjek. Dengan demikian “ke-
akuan” tidak dapat saya lepaskan sama sekali.

66

Anda mungkin juga menyukai