Anda di halaman 1dari 97

KEMATIAN MANUSIA

PERMASALAHAN
1. Fakta kematian
 Manusia berkembang dengan memuncak

1
 Akan tetapi tidak disangkal juga adanya fakta
kematian.
 Bagaimana perkembangan dan kematian itu
harus dibayangkan?
 Apakah memang seluruh kenyataan manusia itu
akhirnya dihapus dan binasa?
 Ataukah kematian merupakan peralihan kepada
keadaan tetap dan definitif?

2
 Menurut kesan spontan saja badan manusia
meninggal dan hancur dan rupanya hanya bagian
rohani mencapai keadaan tetap yang disebut
keabadian. Dengan demikian hanya satu aspek
atau bagian dari keseluruhan manusia mengalami
kematian. Jiwa lolos dari kematian; jiwa terpisah
dari badan.

3
 Sebenarnya manusia adalah jiwa yang memba-
dan dari badan yang menjiwa. Jiwa dan badan
sejajar dan tidak dapat dipisahkan. Jadi, bila ma-
nusia meninggal, seluruh manusia, jiwa-badan,
meninggal. Bila manusia itu tetap maka seluruh
manusia, jiwa-badan, juga tetap. Bagaimanakah
pertentangan ini dapat diatasi?

4
2. Kematian manusia
Ada kecenderungan untuk memandang kematian
manusia dengan bertitik tolak dari pengalaman
mengenai segala macam makhluk pada umumnya.
Segala sesuatu yang hidup itu mati: tumbuh-
tumbuhan, hewan dan manusia.

5
Dengan demikian kematian dilihat sebagai nasib
natural bagi segala sesuatu yang hidup. Demikian
juga halnya manusia ikut serta dalam hakikat alam
semesta: ia lahir, berkembang, menyumbangkan
dirinya kepada dunia, dan akhirnya mati.

6
Hakikat kematian manusia dapat dirumuskan
sebagai “berakhirnya kehidupan” (cessatio vitae)
atau “berhentinya makhluk” (cessatio entis viven-
tis).
 Dgn demikian kematian pada dasarnya dilihat
sebagai sesuatu yg negatif.
 Kemudian ada pertanyaan khusus mengenai
manusia: apakah di samping kematian masih ada
segi lain yg lebih positif, yg tdk dpt binasa atau tdk
dpt meninggal?

7
 Dgn definisi yg dikemukakan di atas blm diung-
kapkan kematian sebagai peristiwa khas manu-
siawi (kematian justru hrs diterangkan sebagai
peristiwa manusiawi secara penuh dan formal).
 Kematian seperti terungkap dlm definisi di atas
hanya dipandang sebagai fakta biologis-medis.
 Pada hal kematian harus diberikan pemahaman
noumental (metafisis dan hakiki); justru pada ke-
matian kehidupan manusia memuncak.

8
3. Kematian manusia pribadi
 Manusia tahu akan kematian berdasarkan peris-
tiwa kematian orang lain, sebagai suatu penga-
laman umum. Maka kematian bagi manusia
dalam hal ini dilihat sebagai fakta di luar diri
sendiri. Dengan demikian kematian belum meru-
pakan unsur eksistensial, belum menjadi kenyata-
an bagi manusia itu sendiri secara pribadi.

9
 Yang mau dikemukakan di sini adalah bukan
kematian umat manusia pada umumnya melain-
kan kematian perorangan: manusia sendiri ada di
tengah-tengah jalan ke arah kematian dan selama
seluruh hidupnya ia menuju ke peristiwa kema-
tian.

10
POKOK-POKOK BAHASAN

 Beberapa pandangan filofis


 Kematian menurut segi negatif
 Kematian menurut segi positif
 Kematian dan hakikat manusia

11
BEBERAPA PANDANGAN FILOSOFIS
MENGENAI KEMATIAN
1. Keabadian supraindividual
a. Monisme spiritual dan panteisme: jiwa pero-rangan
diisap ke dalam realitas ilahi (tdk menerima keaba-
dian perorangan).
b. Averoes: menolak keabadian pribadi tetapi hanya
keabadian satu intelek umum bagi semua orang.

12
2. Tanpa keabadian
a. Materialisme. Manusia individual meninggal dan
hilang. Ia hanya memiliki ‘keabadian’ fungsional
sejauh ia hidup terus-menerus dalam anaknya,
hasil karyanya dan pengaruhnya, penghargaan
dan kenangan orang.
b. Humanisme: seluruh manusia meninggal dan
musnah dlm kematian (Stoa, Schopenhauer,
Nietzsche. Heidegger, Sartre dan Camus).

13
3. Keabadian perorangan
a. Kant: keabadian ada tetapi tdk dpt dibuktikan dan
tdk dpt disangkal.
b. Dualisme yg mementingkan segi spiritual (Plato,
Aristoteles, Skolastik): mengakui keabadian jiwa
sedangkan badan hancur.
c. Para eksistensialis teistis: walaupun rupanya selu-
ruh manusia dimusnahkan namun kematian diha-
dapi dgn kepercayaan (Marcel, Jaspers).

14
 Marcel : bercinta kasih berarti mengatakan, “eng-
kau tidak akan mati”. Sebab di dalam cinta kasih
kita termuat suatu kepastian yang menjembatani
kematian.
 Jaspers: hanya di dalam kecerobohan dan ke-
gagalannya manusia akan menemui hakikatnya
sendiri. Kematian sebagai “Grenz-situation” terkhir
akan membuka jalan pemahaman definitif.

15
d. Pada umumnya: kontinuitas antara hidup abadi
diterangkan dengan beberapa cara:
 Apokaliptis: seluruh manusia hancur dan timbullah
manusia yg serba baru yg diskontinu dgn hidup yg
lama.

16
 Teleologis: jiwa sesudah mati mempunyai konti-
nuitas dgn hidup duniawi dan juga diskontinuitas.
Keabadian merupakan kristalisasi hidup ini.
 Profetis: harapan akan keabadian itu sebagian
besar hanya merupakan khayalan dan proyeksi
keingian subjektif (harapan gelap dan penyerahan
dgn hasilnya tdk diketahui).

17
STRUKTUR KEMATIAN MENURUT SEGI NEGATIF
 Kemungkinan kematian sebagai pemberhentian
dinamika perkembangan itu harus ditemukan di
dalam struktur manusia sendiri.
 Akan tetapi sudah jelas bahwa kemungkinan
kematian tidak dapat menumpu pada kesatuan
jiwa-badan karena jiwa-badan itu sejajar dan tidak
ada yang lebih rendah atau lemah dari yang
lainnya.

18
 Kesatuan substansi manusia tidak mengizinkan
pemisahan antara badan yang (harus) meninggal
dan binasa, dan jiwa yang tidak (dapat) mening-
gal dan bersifat transenden.
 Manusia juga satu di dalam kematiannya dan per-
kembangan seluruh manusia berhenti.

19
1. Struktur perkembangan: fakta induk dan fakta sekunder

Perkembangan manusia bersendi pada struktur


jiwa-badan dan bukan pada struktur aktualitas-
potensialitas, melainkan pada susunan fakta
induk dan fakta-fakta sekunder. Di dalam setiap
gelom-bang fakta-fakta sekunder (atau ‘aku fe-
nomenal’) baru ‘aku’ induk berkembang dan
bertambah kaya.

20
Sebaliknya, sesuai dengan kepadatan dan keluas-
an fakta induk, fakta-fakta sekunder ataupun fe-
nomen-fenomen juga makin ekstensif dan kompre-
hensif juga. Karena itu dua segi utama harus
diperhatikan secara khusus.

21
a. Noumenon (fakta induk) itu hanya dapat berkembang di
dalam fenomen-fenomen. Adanya fakta-fakta sekunder
merupakan syarat mutlak bagi segala kemajuan karena
justru di dalam fakta sekunder yang terus-menerus
baru, manusia menggenggam dirinya seluruhnya dan
menghayati substansi total. Dengan demikian ia makin
menyadari dan mengakui diri sendiri dan yang lain.
Akan tetapi perkembangan itu selalu sesuai dengan
luas-padatnya fakta sekunder baru itu.

22
b. Adanya fakta induk hanya dapat ditemukan di
dalam adanya fakta-fakta sekunder. ‘Aku’ induk
hanya tampak bagi orang-orang lain sejauh
mengeksplisitkan diri di dalam fenomen-fenomen
ataupun fakta-fakta sekunder. Korelasi selalu via
fakta-fakta sekunder. Maka fakta sekunder-lah
satu-satunya yang tampak dan di dalamnya terda-
pat fakta induk.

23
2. Menjelang kematian: fakta induk dan sekunder

 Pd akhir hidup manusia lama kelamaan keluasan


dan kepadatan aku fenomenal (fakta-fakta induk)
yg baru mulai berkurang.
 Fakta induk masih tetap mengeksplisitasikan diri
dalam fenomen; fenomen-fenomen masih tetap
mengandung seluruh noumeron. Setiap fenomen
masih tetap bersifat spiritual-material tetapi mere-
ka mulai mengerunyut.

24
 Dalam perwujudannya fenomen-fenomen menjadi
lelah dan lebih lambat: bicara, bergaul, bertingkah
laku.
 Fenomen-fenomen itu kehilangan plastisitas dan
elastisitasnya, seakan-akan mulai menjadi ken-
dur.
 Intensitas dan vitalitas fenomen-fenomen itu ber-
kurang.

25
 Fenomen-fenomen itu seakan-akan mulai kehi-
langan pegangannya pd fakta induk dan fakta
induk mulai tergelincir ke bawah permukaan air.
 Fakta induk seakan-akan tdk dapat menguasai
serta mengemudikan fakta-fakta sekunder sehing-
ga mereka mulai melayang dari genggaman fakta
induk.

26
Dengan demikian terjadilah dua hal:
a. Fakta induk tidak pernah merosot:
 Kekayaan dan kepadatan manusia tetap ber-kem-
bang sampai saat terakhir sebab selalu masih
muncul fakta-fakta sekunder baru.
 Akan tetapi perkembangan itu mulai makin mereda
dan melambat sebab fakta-fakta sekunder itu ma-
kin menipis.

27
 Yang berkurang itu bukan manusia induk, melain-
kan hanya ia sejauh masih mampu berkembang.
 Bersamaan dengan itu bagi manusia ini, masa de-
pannya sebagai penantian dan harapan makin ber-
kurang.

28
 Ia mulai hidup dalam kenangan-kenangan akan
peristiwa-peristiwa yang sudah lama lampau.
 Tetapi juga masa lampaunya mulai ‘berkurang’
sebab makin tidak diolah kembali tetapi hanya
diceritakan secara berulang-ulang.

29
b. Keluasan dan kepadatan fakta-fakta sekunder
berkurang dgn akibatnya:
 Manusia dlm korelasinya semakin kurang meng-
eksplisitasikan dirinya sebab hanya dlm fenomen-
fenomen ia dpt menampakkan diri.

30
 Bagi observasi orang lain, manusia induk seakan-
akan menyuran dan mulai kelam; apinya di-
padamkan dan bentuknya mengabur.
 Ia makin tersembunyi di belakang tirai dan kabut
yang sukar diterobos. Seluruh manusia seakan-
akan mulai berdisintegrasi.

31
3. Menjelang kematian: empat taraf
 Fakta induk dan fakta-fakta sekunder tetap memu-
at empat taraf (fisis, biotis, psikis dan kesadaran).
 Dari keempat taraf tersebut, taraf yg lebih rendah
hanya bersifat manusiawi sejauh diresapi oleh taraf
keempat.
 Dlm proses pengurangan dgn sendirinya semua
fenomen fisis, biotis, psikis, kesadaran ikut ber-
kurang dan merosot.

32
 Akan tetapi dalam arti yang lain, manusia
fenomenal lama-kelamaan berkurang dan menipis
juga sebab di antara keempat taraf itu sendiri
terjadi pengaburan.
 Sejauh fenomenal, taraf lebih tinggi, terutama
taraf kesadaran makin tenggelam dan menjadi
kabur di dalam dan di belakang taraf-taraf yang
lebih rendah (fisis-biotis).

33
 Manusia seakan-akan hanya mulai merupakan
jiwa-badan pada taraf 1 dan 2 saja (yaitu tubuh).
 Makin lama ia makin kurang manusia, ia rupanya
bervegetasi saja, dan kegaiatan taraf fisis-biotis
itu pun makin minim dan diredusir.
 Secara ekstrim itu terjadi pada orang yang sudah
mati pada taraf 3 dan 4 tetapi masih dihidupkan
terus pada taraf 1 dan 2 berkat alat-alat medis.

34
 Dengan demikian, yang tinggal dan yang tampak
dari fakta-fakta sekunder itu seakan-akan hanya
merupakan ‘kulit’ dan siput saja dari manusia
induk, yang makin mendangkal lagi.
 Itu minimum mutlak yang masih mungkin bagi
manusia. Satu-satunya yang masih kelihatan
pada orang yang menghadapi ajalnya adalah
realisasi paling minim itu, sebagai kelip-kelip
terakhir.

35
 Akan tetapi yang tampak itu tetap manusia.
Semua taraf tetap masih hadir bersama-sama.
Taraf yang lebih tinggi tetap berakar pada taraf
yang lebih rendah itu dan meresapinya. Kelip-
kelip terakhir itu masih disatukan dalam substansi
manusia itu.

36
4. Titik akhir:aspek yang menghilang

Proses penjauhan dan pengendoran makin berlan-


jut sampai pada suatu titik akhir. Mungkin dapat
disebut suatu jalan peralihan yang berlangsung
sampai akhirnya, namun sekaligus merupakan pe-
ngalaman yang tragis dan menyedihkan, baik bagi
subjek sendiri maupun untuk orang di sekitarnya.

37
a. Perkembangan berhenti

 Sampai saat terakhir pun fakta induk masih tetap


mengeksplisitasikan diri di dalam fakta-fakta se-
kunder, dan masih berkembang seluruhnya.

38
 Akan tetapi pada akhirnya sampailah fakta sekun-
der yang paling akhir. Fenomen penghabisan itu
paling lemah dan paling menipis dari semua feno-
men sampai saat ini. Dalam lewatnya fakta sekun-
der ini manusia meninggal.

39
 Pada saat kematian ini, badan manusia tidak
hancur dan terbongkar tetapi munculnya fakta-
fakta sekunder baru berhenti. Manusia berhenti
berkembang. Segala dinamika maju berhenti,
jasmani-rohani, dan empat taraf.

40
b. Hilang dari mata

Sampai saat terakhir pun seluruh manusia masih


hadir secara fenomenal dalam otonomi dan kore-
lasi. Akan tetapi pada saat fenomen baru tidak
muncul lagi, maka pada waktu itu juga seluruh ‘aku’
induk menghilang dari pengamatan dan penga-
laman, dan tidak hadir lagi dalam otonomi-korelasi
menurut arti empiris.

41
C. Jenazah
 Satu-satunya yang tinggal adalah jenazah.
 Akan tetapi jenazah bukan bagian manusia yang
ditinggalkan.
 Pada saat kematian, sama sekali tidak ada feno-
men manusiawi lagi.
 Semua fakta sekunder manusiawi berhenti selu-
ruhnya dan tidak muncul lagi: spiritual-material
dan empat taraf.

42
 Oleh karena itu fakta induk manusia tidak ‘hadir’
lagi.
 Dengan demikian jenazah itu bukan badan-jiwa
fenomen atau empiris yang seakan-akan mele-
paskan diri dari manusia induk itu.
 Jenazah itu sama sekali bukan lagi badan dan
jiwa manusia.

43
 Dan jenazah itu bukan taraf pertama manusiawi
yang ditinggalkan oleh taraf 2+3+4.
 Jenazah itu sama sekali bukan manusiawi; hanya
untuk sementara masih menyimpan bayangan dari
kesatuan manusiawi induk-sekunder, spiritual-ma-
terial, seperti ada pada saat-saat terakhir.

44
 Jenazah merupakan titik akhir dari suatu proses
yang berlaku di dalam manusia sejak permulaan
hidupnya.
 Selama manusia itu hidup dan berkembang,
terus-menerus ada “intake” bahan mentah yang
menyangga perkembangannya itu: bernapas,
berjemur, makan, minum.

45
 Bahan mentah itu hanya bertaraf satu (fisis-
kimis) dan bahan itu diintegrasikan di dalam
taraf fisis-biotis manusia sehingga menjadi
bagian integrasi dalam substansi manusia.

46
 Bahan mentah itu merupakan syarat mutlak bagi
perkembangan pada semua taraf. Tetapi ber-
angsur-angsur dikeluarkan lagi jikalau selesai
berfungsi: kulit, rambut, kuku, keringat, ludah, dan
segala macam pembuangan.

47
 Di dalam kematian proses itu lalu berakhir secara
radikal. Dengan serentak semua bahan ‘mentah’
pada taraf satu yang berhubungan dengan per-
kembangan lebih lanjut itu dilepaskan dari sub-
stansi manusia, sekali untuk selama-lamanya. Itu-
lah jenazah.

48
 Jadi, jenazah itu dilihat sebagai ampas yang tidak
terpakai lagi, yang disaringkan dari substansi
manusia yang tetap utuh.
 Jenazah merupakan sisa dari apa-apa saja dalam
manusia yang berhubungan dengan suatu masa
depan lagi, yang sekarang dibuangkan.

49
 Jenazah itu merupakan bahan substansial ber-
taraf satu, yang spiritual-material pula pada taraf
itu. Sudah tidak berfungsi atau terangkat di
dalam substansi human lagi.

50
KEMATIAN MENURUT SEGI POSITIF
1. Kristalisasi
 Pada saat kematian itu perkembangan manusia
berhenti.
 ‘Aku’ induk atau fakta induk mencapai titik kris-
talisasi atau pembulatan yang definitif.

51
 Sampai dengan saat terakhir itu, ia masih
berkembang, dengan mengendapkan feno-
men-fenomen baru di dalam substansinya.
 Tetapi sekarang ia mencapai puncak per-
kembangan, ia tidak akan bertambah lagi.

52
 Kematian itu merupakan titik penutup bagi
seluruh hidupnya, dan mengumpulkan segala-
galanya.
 Kristalisasi itu tidak hanya memuat fakta induk,
melainkan juga fakta induk sejauh menjadi real
oleh karena endapan semua fakta sekunder
yang lampau.
 Jadi, tetap ada kesatuan fakta induk dan fakta-
fakta sekunder, hanya tidak ada fakta sekunder
baru lagi.

53
 Semua kegiatan, putusan dan pilihan, pengartian
dan penghargaan, komunikasi dan partisipasi yang
telah dilakukan, pendek kata seluruh sejarahnya,
bermuara pada saat ini dan mendapat “status”-nya
yang definitif, tidak ditiadakan lagi.

54
 Tidak ada sesuatu yang didrop dari manusia,
tidak ada yang ditinggalkan. Jenazah tidak me-
muat apa-apa dari yang telah direalisir. Seluruh
manusia – dengan segala arti dan nilai manu-
siawi yang telah dibangunkannya – mencapai
ketetapan. Ketetapan itu disebut keabadian.

55
2. Rohani - jasmani
 Seluruh manusia mencapai titik kristalisasi.
 Bukan hanya jiwa tetapi juga badan itu abadi
(immortal) karena manusia itu adalah jiwa-yang-
membadan dan badan-yang-menjiwa. Jiwa-ba-
dan selalu sejajar.
 Seluruh manusia-lah yg meninggal dan seluruh
manusia-lah yg mencapai titik kristalisasi.

56
 Jadi, manusia mencapai realisasi keunikannya
hanya karena dan di dalam perwujudan terus-
menerus; dan hanya sejauh demikian dan
menurut ukuran itu ia juga rohani atau jiwa.
Pengakuannya terus-menerus, dan sekali untuk
selama-lamanya, dicap dan terwujud di dalam
‘kebudayaan’ pribadi yang multiform itu, di
dalam setiap pertemuan dan pergaulan dalam
situasi-situasi baru.

57
 Setiap perwujudan baru mengendap lagi di
dalam ‘aku’ induk, menjadi badan induk. Begitu
juga segala tingkah laku, pengambilan sikap,
pengeks-presian diri, segala wawancara dan
pemakaian alat.
 Akhirnya di dalam kematian seluruh sejarah ba-
daniah terhablurkan; bukan hanya salah satu
taraf saja melainkan semua keempat taraf ber-
sama.

58
 Badan induk manusiawi pun tidak dapat
musnah lagi dan tidak menghilang. Kristalisasi
manusia secara hakiki juga bersifat badaniah,
dan tidak mungkin terjadi lepas dari badan.
Seluruh manusia-lah yang meninggal, dan
seluruh manusia-lah yang mencapai titik krista-
lisasi, jiwa-yang-membadan dan badan-yang
menjiwa.

59
 Dalam pandangan dualistis, dikhayalkan kema-
tian seperti pelepasan manusia dari badannya
yang membatasi itu sehingga ia dengan lebih
bebas dapat mengakui dan menyadari diri dan
yang lain. Akan tetapi sebenarnya ia hanya ‘aku’
sejauh telah mewujudkan pengakuannya dalam
badan, dan pewujudan itu juga menentukan
kristalisasinya.

60
3. Otomoni dan korelasi

 Manusia yang meninggal tidak lagi berkorelasi


dengan orang lain secara tampak dan feno-
menal karena semua fakta sekunder baru
sudah berhenti.

61
 Akan tetapi itu tidak berarti bahwa ia tidak
berkorelasi lagi. Selama hidupnya ia hanya men-
capai otonominya dalam korelasi, dalam komu-
nikasi dan partisipasi dengan yang lain. Di dalam
setiap situasi dan setiap pertemuan dengan mitra
(partner) makin lama subjek makin merangkum
keseluruhan dunianya; ia berada dengannya.

62
 Hanya pertemuan dengan manusia dan dunia
merealisasikan manusia, dan seluruh sejarah so-
sialnya serta ikut memuncak di dalam kristalisasi
definitif.
 Segala kebaikan atau kejahatan yang dibuatnya
terhadap yang lain, dan segala berkat atau kutuk-
an yang diterimanya dari yang lain itu telah
mengendap dan tersimpan di dalam substan-
sinya.

63
 Segala pengartian dan penghargaan telah dikum-
pulkan secara definitif. Bahwa dia menjadi baik
atau jahat, bahagia atau celaka dalam korelasi
dengan orang lain itu tetap tidak akan musnah,
dan hidup terus dalam dia, dan menjadi pokok
pengakuannya.

64
 Bahkan juga substansi-substansi infrahuman me-
ngambil bagian pada keabadian manusia: ru-
mahnya, alat-alatnya, hasil karyanya. Sejauh me-
reka telah berperan dalam hidupnya, dan mem-
berikan serta diberikan arti dan nilai, mereka diba-
wa ke dalam kristalisasi.

65
 Dalam pandangan dualistis dikhayalkan kematian
sebagai pelepasan dari badannya demikian
sehingga manusia dapat keluar dari segala batas
dan mendapat keluasan kosmis. Ia berkorelasi
mendalam dengan seluruh kosmos dan mere-
sapinya dengan kehadiran yang intim.

66
 Namun dalam kristalisasi terakhir manusia tetap
hanya berkorelasi dengan kosmos dan sesama
sejauh telah direalisasikannya selama hidup.
Tidak kurang dan tidak lebih dari itu.

67
 Manusia yang telah meninggal masih tetap ber-
komunikasi dan berpartisipasi secara dimensional.
Namun ia tidak bertempat menurut arti biasa.
Kehadirannya pada manusia dan dunianya yang
telah dibentuk selama hidupnya dan sejarahnya,
sekarang dikukuhkan dalam kristalisasi sehingga ia
secara khusus hadir pada orang, benda, dan tempat
yang sangat berperan dan bersifat personal dalam
hidupnya.

68
4. Pengakuan
 Di dalam kematian dikristalisasikan segala peng-
artian dan penghargaan manusia tentang dirinya
sendiri dan tentang manusia lain dan dunianya.
 Oleh karena pengakuannya tidak lagi dirun-
cingkan dalam satu fakta sekunder baru maka ia
mencapai pengartian dan penghargaan induk
yang total-penuh sejauh telah terbentuk di dalam
korelasinya.

69
 Pengakuan ini bukan merupakan intuisi murni dan
eksplisit melainkan hanya hasil menyeluruh dari
pengertian dan penghendakan yang manusiawi.

70
5. Kesimpulan
Jadi, ‘kematian’ bukan hanya berarti negatif teta-
pi juga mempunyai segi positif. Di dalam kema-
tian, manusia mencapai puncak faktual, penye-
lesaian, titik akhir, yang menyimpulkan seluruh
hidupnya.

71
KEMATIAN DAN HAKIKAT MANUSIA
1. Historisitas dan keabadian
a. Sejarah memuncak
 Pemahaman akan kematian melengkapi penger-tian
historisitas manusia.
 Kematian itu bukan pendobrakan atau pematahan
sejarah yang sebenarnya harus memuncak tanpa
akhir, melainkan penyelesaiannya yang hakiki.

72
 Pada hakikatnya, sejarah manusia menuju kema-
tian sehingga kematian itu merupakan unsur
intrinsik pada sejarahnya sendiri.
 Kematian adalah kejadian ‘kodrati’ dan natural
bagi manusia. Fakta kematian sendiri tidak dapat
dipandang sebagai suatu malapetaka atau seba-
gai hukuman.
 Menurut strukturnya manusia mengarah kepada
kematian; secara esensial ia adalah substansi
yang (akan) mati.

73
 Kematian itu mengikhtisarkan hidup manusia.
Oleh karena itu historisitas manusia tidak dihapus
atau dipotong-singkat oleh kematian.
 Sebab sejarah manusia pribadi tidak hanya
berarti ‘berjalan terus’, melainkan berkembang
dengan ‘memuncak’.

74
 Dengan mengendapnya fakta-fakta sekunder,
sejarah dan waktu ditabung oleh manusia; dalam
kematiannya sejarah dan waktu manusia pribadi
bertumbuh, dikumpulkan dalam kristalisasi, dan
menjadi apa yang disebut ‘keabadian’.

75
 Jadi, sejarahnya merupakan ancang-ancang dan
tumpuan bagi kristalisasi (abadi), dan keabadian
bertumpu dan mematang dalam sejarah, dan
merupakan buah hasil, klimaks, dan apoteose
sejarah. Puncak ini bukan puncak ideal melainkan
hanya puncak faktual.

76
b. Di dalam kematian
 Kurang tepat kalau dikatakan bahwa keabadian
itu datang sesudah hidup dan sejarah manusia.
 Kematian bukanlah passage, pelewatan, atau
peralihan, atau pintu dari hidup ke keabadian.

77
 Kematian sendiri mengangkat dan membulatkan
sejarah menjadi keabadian.
 Jadi, kristalisasi dan keabadian tidak tercapai se-
sudah kematian melainkan di dalam kematian,
dan merupakan hakikat intrinsik (positif) kematian
sendiri.

78
 Keabadian tidak berlangsung terus dengan tidak
terbatas sesudah kematian.
 Bagi manusia yang mati secara pribadi sudah
tidak ada perkembangan, jadi sudah tidak ada
perlangsungan atau waktu atau sejarah yang
berkembang.

79
 Keabadian adalah kepenuhan definitif dari semua
realisasi yang telah ditabung dalam sejarah dan
waktu.
 Maka kematian merupakan kejadian yang menen-
tukan seluruh sejarah manusia perorangan, dan
merupakan peristiwa paling penting dari seluruh
sejarahnya.

80
C. Hakikat sejarah
 Baru dari kematian jelaslah hakikat sejarah secara
definitif.
 Struktur masa lampau dan masa depan di dalam
‘sekarang’ tetap berlaku, tetapi mendapat pembu-
latan di dalam kristalisasi.
 Masa depan tidak hilang; yang berhenti itu hanya
perkembangan masa depan, perkembangan ha-
rapan dan janji ke arah yang masih terbuka.

81
 Dengan demikian, masa depan dimiliki bukan lagi
sebagai ramalan kabur, melainkan dengan
komplit dan secara lengkap.
 ‘Sekarang’-ku telah memiliki masa depan secara
matang dan menyeluruh, memahaminya dan me-
nyetujuinya; inilah keabadian.

82
 Bersama dengan itu (karena masa lampau dan
masa depan selalu bersatu dan luasnya sama)
maka masa lampau juga tidak berkembang lagi,
melainkan dimiliki secara definitif.

83
2. Hidup menuju kematian
 Kematian itu bukan hanya suatu malapetaka
yang menimpa manusia dari luar belaka.
 Kematian itu merupakan unsur formal-human di
dalam eksistensi manusia; dan dari semula disa-
dari sebagai struktur imanen yang tidak terelak-
kan .

84
 Dengan demikian manusia tidak dapat meninggal
seperti hewan, dalam putus asa atau penyerahan
yang buta, tetapi kematiannya pun merupakan
kegiatan manusia formal.
 Seperti seluruh hidupnya, begitu juga pengakhir-
annya. Mau tidak mau kematiannya bersifat pero-
rangan dan unik.

85
 Kematian itu tidak dapat dihitungkan, atau diku-
asai, atau ditentukan secara otonom.
 Tetapi otonominya berarti: menerima keadaan
manusia, menerima fakta human ini sebagai kon-
sekuensi inheren pada adanya manusia, dan
membuatnya putusan dan pilihannya pribadi.

86
 Hidup manusia ialah sama dengan menja-
lankannya. Hidup adalah makin lama makin mati,
dan di dalam kematian itu hidup menyelesaikan
diri (Sein zum Tode).

87
 Oleh karena kristalisasi di dalam kematian itu
maka manusia makin menyadari bahwa sega-
lanya yang dibuat dan ditentukannya itu bersifat
unik dan mutlak; merupakan peristiwa yang tidak
kembali lagi dan tidak terulang lagi.

88
 Titik akhir itu sekarang pun telah menentukan
seluruh eksistensinya, dan mempengaruhi semua
pilihannya. Sebab kematian itu sekarang telah
menyadarkan manusia akan arti dan nilai hidup-
nya, dan menghadapkannya dengan akibat
proyek yang mau direalisasikannya.

89
3. Putusan dan pilihan pribadi.
 Kehidupan manusia merupakan persiapan bagi
kematiannya sebagai putusan dan pilihan ter-
akhir.
 Seluruh hidupnya yang dijalankannya dengan
sadar dan bebas itu diberi penyelesaian di dalam
kematian.
 Kematiannya merupakan putusan dan pilihan
perorangan yang definitif, yang total, dan tidak
dapat dicabut lagi.

90
 Semua putusan dan pilihan sebelumnya, semua
pertemuan, proyek, dinamika, dan kecondongan
merupakan persiapan bagi saat terakhir itu;
mereka dikumpulkan bersama dan diberikan cap
dan pengesahan terakhir.

91
 Manusia menyelesaikan diri dan mengakui diri
secara definitif dan hasil seluruh hidupnya dikris-
talisasi dalam kegiatan kematian itu.
 Dalam pengakuan terakhir ini ia menciptakan kea-
badiannya perorangan. Dengan mengucapkan “a-
ku” yang terakhir ini, ia melantingkan diri ke da-
lam keabadian, dan menjadi ‘aku’ utuh selesai.

92
 Putusan dan pilihan terakhir ini tidak terjadi sebe-
lum atau sesudah kematian, melainkan meru-
pakan inti hakiki pada kematian itu sendiri.
 Kegiatan itu adalah fakta sekunder dan fenomen
paling akhir.
 Seluruh hidup dan sejarah pribadi diperhitungkan
dan ditinjau kembali untuk terakhir kalinya dalam
kegiatan ini.

93
 Maka putusan dan pilihan ini, dari satu pihak,
adalah kegiatan yang paling bulat dan penuh dari
seluruh hidup.
 Dari lain pihak, sebagai fakta sekunder terakhir,
sekaligus bersifat sangat tipis dan minim, dan
mungkin hanya menampakkan diri sejauh orang
yang menghembuskan napas penghabisan, dan
bergentar untuk terakhir kalinya.

94
 Maka secara normal putusan dan pilihan terakhir
ini tidak mengubahkan seluruh orientasi hidup
melainkan sesuai dengan sikap dan kebiasaan
sendiri, tidak menambah suatu hal baru tetapi
hanya memberikan persetujuan dengan tanda
tangan dan cap terakhir kepada hidup dan seja-
rah itu.

95
4. Kebebasan dan determinasi definitif
 Dalam putusan dan pilihan terakhir itu manusia
membulatkan kebebasannya seperti telah dikem-
bangkannya selama hidupnya.
 Ia mencapai kebebasan definitif.

96
 Kebebasan itu sekaligus bersifat stabil dan tidak
terubahkan lagi sebab sudah tidak ada perkem-
bangan.
 Maka juga determinasinya mencapai puncaknya.

97

Anda mungkin juga menyukai