Anda di halaman 1dari 33

KB DUA

ESENSI MANUSIA: IDENTITAS DIRI YANG MEWUJUD

Deskripsi Umum
Setelah memahami posisi manusia secara teologis sebagai ciptaan Allah yang
memercik citra diri Allah dalam dirinya, maka KB Dua modul ini menulis tentang
bagaimana manusia dalam laku hidupnya mulai dari diri individu dan person,
badan dan rohani, kebebasan dan impelementasinya.

Petunjuk Penggunaan Modul


Pemaparan pada KB Dua ini dilengkapi dengan sumber-sumber di mana
Guru Pendidikan Agama Kristen akan dapat mengembangkan diri dengan
mempelajari secara lebih lanjut dan mendalam. Pemahaman atas masing-masing
bagian pada KB Dua akan semakin mendapatkan bentuk dan pemahaman yang
baik jika Guru Pendidikan Agama Kristen dapat melanjutkan dengan penelusuran
pada sumber-sumber baik berupa tulisan pada jurnal yang dapat diakses secara
online, kanal Youtube, juga diskusi-diskusi hangat yang akan menjadi pemantik
dalam menelaah materi KB Dua ini secara kontekstual berdasarkan masalah-
masalah yang memang dihadapi saat ini. Pemahaman atas KB Satu akan semakin
bermakna dan dalam hubungan dengan masalah yang nyata makan Guru Agama
Kristen dapat melanjutkan nya dalam pertemuan dengan peserta didik siap
diperkaya dengan pemahaman yang baik dari Guru Pendidikan Agama Kristen.

Capaian Pembelajaran:
Mampu merumuskan secara tepat hakikat esensi manusia dalam
perwujudannya secara nyata

Sub Capaian Pembelajaran


1. Menelaah hakikat manusia sebagai individu dan person
2. Menelaah hakikat jiwa dan badan manusia
3. Menganalisis pandangan-pandangan tentang kebebasan
4. Menganalisis implementasi esensi sebagai pribadi dan sosial

Pokok Materi
1. Individu dan persona dalam diri Manusia
2. Jiwa dan roh yang berbadan
3. Kebebasan dan determinasi manusia
4. Implementasi esensi manusia yang mewujud

37
Pokok Materi dalam Peta Konsep:

Individu Jiwa dan Pribadi dan


Kebebasan
dan person badan sosial
dalam diri
dalam diri dalam diri dalam diri
manusia
manusia manusia manusia

38
Uraian Materi:

A. INDIVIDU DAN PERSON DALAM DIRI MANUSIA


1. Self Person, Self Determination, Self Existence

Kekhasan manusia adalah manusia memiliki keunikan sebagai individu dan


keunikan sebagai pribadi atau person. Manusia adalah mahkluk yang berdiri
sendiri. Warna, bentuk, pengetahuan hanya ada dalam subjek yang berdiri sendiri.
Dalam pemahaman Aristoteles, ini disebut sebagai substansi (berdiri sendiri dan
tidak membutuhkan suatu subjek sebagai pembawanya) dan cara berada yang
kedua disebut sebagai aksidental.

Tidak semua filsuf mengakui prinsip manusia sebaai


mahkluk yang berdiri sendiri.

Filsafat Spinoza (1623-1677) - Monisme - alam


semesta seluruhnya hanya satu substansi saja.

Empirisisme David Hume (1711-1776) tidak


mengakui substansi sebagai suatu kenyataan,
karena substansi tidak disaksikan oleh indera.

Monisme filsafat Barat juga Timur bertentangan dengan


pengalaman. "Aku mengalami diriku sendiri", suatu
identitas tersendiri bukan penampakan dari keseluruhan.

Pengertian substansi bersifat analog, di mana terdapat persamaan juga


perbedaan. Persamaan ada karena masing-masing memiliki individualitas. Mereka
masing-masing merupakan suatu kesatuan kodrati tersendiri dalam keseluruhan
dunia alam. Dari sana, satu individu dapat dibedakan dengan individu yang lain.
Van Melsen (1961:150-151) menyebutnya sebagai a natural coherence in space and
time. Hanya manusia yang benar-benar berdiri sendiri. Diri merupakan sumber
dari kegiatan dan tindakannya. Manusia berdiri sendiri, bertindak sendiri,
bertanggung jawab sendiri. Manusia adalah person.

Selanjutnya van Melsen (165) menyebutkan individualitas sebagai:

Even on the level of the most elementary forms of matter such as photons (particles
of light). There seems to be hesitating of forming individuals in the general
substratum of matter. With electrons, this corpuscular aspect becomes more strongly
remarked, but the influence of the general substratum of matter is still noticable in

39
such an way that the individuality remains very weak and easily disappears
again in the general substratum of matter… With living beings the individuality
becomes more pronounced, there is something of self-existence… Even with the
human beings the individuality of material worlds culminates, there is not an
absolute distinction, but there can not doubt about their self-existence.

Baru pada manusia terdapat suatu pusat serba baru. Sumber gerakannya
berasal dari dalam diri manusia. Aku memutuskan dan bertindak. Dari cara
beradanya, berkat kesadaran dan refleksi manusia dapat memasuki diri dan
mengambil jarak terhadap diri sendiri. Manusia sadar akan dirinya. Manusia
memiliki daya refleksi, sehingga mampu berdistansiasi terhadap diri, dan dapat
kembali pada diri sendiri. Manusia tahu dan ia juga tahu bahwa ia tahu.
Akibatnya bahwa daya refleksi tersebut sangat besar. Teilhard de Chardin (1965 :
165) mengatakan: no other world is born. Abstraction, reasonal choice and invention,
mathematics, art, calculation of space and time, anxieties and dreams of love… all these
activities of inner life are nothing else than the evervescene of the newly-formed centre as it
explodes into itself.

Manusia mempunyai kesadaran, ia hadir pada dirinya dan menyentuh diri


dari dalam. Manusia mengatakan “aku”. Berkat kesadaran ia dapat memasuki diri
sendiri. Manusia mampu berefleksi. Ia dapat mengambil jarak terhadap diri dan
terhadap dunia di luar dirinya. Kenyataan diketahui dalam objektivitasnya.
Manusia terbuka untuk kebenaran (penngetahuan yang sesuai dengan kenyataan).
Pengetahuan itu diungkapkan dalam suatu keputusan. Berkat distansi yang
mampu dilakukan manusia maka dalam situasi konkret manusia dapat
menangkap prinsip yang umum. Berkat daya abstraksi, ia membentuk ide-ide
yang terlepas dari kenyataan konkret. Dengan daya abstraksi manusia maka
kemajuan terjamin ada (bandingan misalnya hewan memiliki teknik sebagai seekor
hewan yang tetap sama dari masa ke masa, namun teknik manusia yang maju dan
berkembang).

40
Manusia juga berdistansiasi terhadap kegiatannya dan kemungkinan-
kemungkinannya. Kegiatannya berada di tangannya sendiri. Ia menyentuh
dirinya dari dalam. Bukan determinisme, tetapi self determination. Dengan
kemampuan berdistansiasi manusia menjadi mahkluk yang bebas. Kemungkinan-
kemungkinannya diketahui, pro dan kontra dipertimbangkan. Ia mampu memilih
dan memutuskan. Arahnya ditentukan dari dalam, yaitu dari dirinya sendiri.
Kebebasan inilah yang disebutkan tadi sebagai self determination. Manusia bebas
dan bertanggungjawab. Manusia bersifat otonom. Hukum yang harus ditaati
bukan sesuatu dari luar dirinya, tetapi tertulis dalam kodratnya. Ia mampu
membaca hati nuraninya. Pelaksanaannya berada dalam tangannya sendiri.

Manusia adalah person . individu dan person dalam diri manusia bukan
dua hal yang terpisah, melainkan berbeda. Justru karena manusia adalah person,
maka berdiri sendiri mendapat arti yang seba baru. Hanya manusia lah yang self
existence dalam arti sepenuhnya. Ia seorang diri dan dari situlah sumber segala
kegiatannya yang khas manusiawi.

Identitas dengan diri sendiri bersifat dinamis. Aku adalah aku, tetapi juga
aku belum aku. Kualami diriku dalam suatu ketegangan di antara aku yang faktif
dengan aku yang sebenarnya. Aku tetap ada dalam perjalanan menuju diriku yang
sejati. Diri yang sejati itu sekaligus penggerak dan norma. Aku harus
merealisasikan diri sehingga aku makin menuju diriku yang sebenarnya. Dalam
pemahaman yang seperti ini, maka Sartre pernah berkata: man is what he is
not…Manusia adalah faktual dan sekaligus proyek. Manusia selalu terarah ke
depan.

2. Manusia menjadi Pribadi

Manusia sebagai mahkluk yang sadar dan bebas disebut pribadi atau
person. Manusia sebagai pribadi dipanggil dan dibujuk dari dalam untuk menjadi
“a personality” yaitu menuju pada dirinya yang sejati. Bagi setiap manusia tetap
berlaku bahwa ia adalah person meskipun pada awalnya kesadaran dan kebebasan
belum berkembang, atau perkembangannya terhalang akibat suatu kerusakan
pada otaknya. Ia tetap pribadi dengan segala hak-hak asasi yang berdasar pada
kodratnya sebagai manusia.

Seorang pribadi belum tentulah berkepribadian. Seseorang disebut


berkepribadian jika ia berhasil merealisasikan dirinya sesuai dengan panggilan
kodrati sebagai person. Semakin manusia menuju diri yang sejati semakin ia

41
berkepribadian . ia menjadi seseorang yang berdiri sendiri dan tidak diombang-
ambingkan oleh berbagai macam pengaruh dari luar. Sebagai mahkluk social,
dalam proses pembentukan dirinya, factor lingkungan, keluarga lingkungan social
dan faktisitas social ikut memainkan peranan. Namun dalam menjadi penggerak
adalah ‘diri’ orangnya. Panggilan untuk menjadi pribadi bersifat etis. Aku harus
menjadi aku. Manusia sekaligus pemberian dan tugas. Sebagaimana disampaikan
Driyarkara, agar betul-betul menjadi pribadi harus menjadi kepribadian.

Manusia dipanggil untuk menjadi orang yang autentik. Hidup secara


autentik tidak berarti bahwa setiap perbuatan dan tindakan harus dilakukan
dirimu dengan sadar dan kritis. Berkat faktisitas, pola pikiran dan kelakuan
lingkungan diambil alih sebagai hal yang wajar. Manusia berkembang sebagai
manusia dengan hidup bersama dengan orang lain. Membentuk diri dengan bebas
dan sadar terutama harus terjadi dalam pilihan-pilihan penting yang menentukan
arah kehidupan, juga pada saat yang kritis atau waktu keyakinan spontan mulai
diragukan. Pelan-pelan akan terbentuk dalam diri suatu sikap dasar yang
menjiwai dan hadir dalam segala tindakan yang dilakukan dan pergaulan dengan
sesama di sekitar. Dari sana, seseorang menjadi berwatak dan berkepribadian.

Dalam pertumbuhan menjadi dewasa, seseorang dapat menerima diri apa


adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan, dengan keanehan juga cacat cela
yang dimiliki. Bahkan bekas luka pun tetap memiliki keindahan asal kemudian
pulih dengan baik. Dalam setiap faktisitas terkandung kemungkinan yang baru
dan juga batasannya. Aku harus berusaha menjadi menjadi diri, tidak lebih dan
tidak kurang. Sebagai orang dewasa, maka dia akan memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan kelompok di mana dia hidup. Dia akan terampil
mendengarkan sekaligus bersikap kritis, mampu berdialog dengan seseorang yang
lebih tinggi ataupun rendah.

Kewenangan seseorang tidak berdasar pada kedudukan, melainkan atas


dasar kepribadian yang dimilikinya. Ia akan mengakui dan memberikan hak
kepada orang lain untuk berpikir, bertindak, dan memutuskan. Ia tidak akan
bergantung pada pujian atau kritik, tetapi bertindak atas dasar keyakinan yang
dimilikinya. Ia sabar atas keadaan yang memang tidak diubahnya atau diubah oleh
orang lain, namun berani untuk mengubah jika memang dapat diubah untuk
menjadi semakin baik. Ia menjadi seimbang dan bijaksana untuk melihat sejauh
mana kesabarannya, dan sampai sejauh mana keberanian yang dimilikinya. Ia
diperkaya dengan pengalamannya dan pengalaman tersebut akan digunakan

42
dalam situasi yang baru. Ia sadar akan kewajibannya, dapat dipercayai dan
bertanggung jawab. Ia mampu merencanakan masa depan, baik untuk dirinya
sendiri ataupun orang lain.

Dalam hal nilai, ia dapat membedakan apa yang paling hakiki dan apa yang
sekedar incidental. Ia terampil memperlihatkan emosi yang tepat dan sesuai situasi
yang dihadapi, yaitu sedih, gembira, marah, sesal, heran atau kagum. Ia dapat
melihat dengan hati yang terbuka sesuatu yang indah pada diri sesama, dan peka
dengan situasi di sekelilingnya. Hal seksualitas pun dapat diintegrasikan dengan
baik sesuai panggilan dirinya sehingga ia tahu bahwa ia membutuhkan orang
lain dan orang lain pun membutuhkan dirinya. Proses pembentukan diri tetap
berjalan, dari diri yang faktif menuju diri yang semakin indah. Semakin panggilan
ini direalisasikan maka manusia semakin menjadi seseorang yang berkepribadian
dan semakin menjadi pribadi yang matang.

Individu berakar pada kejasmanian dan perbedaan di antara individu yang


satu dengan yang lain bersifat kuantitatif dan numerik. Dalam pandangan
hilemorfisme Aristoteles, setiap individu tersusun dari dua unsur. Materi sebagai
“matéria prima” tidak mempunyai bentuk dari dirinya sendiri. Bentuknya berasal
dari forma substansial. Materi bagaikan semacam substrat yang mendapat
individualitas tertentu berkat kesatuan dengan formal. Forma menentukan
jenisnya, sedangkan materi merupakan potensi yang memungkinkan jenis yang
sama menjadi banyak. Perbedaan kuantitatif berasal dari materi, sedangkan
perbedaan kualitatif berasal dari forma. Seorang individu dihargai bukan karena
individualitasnya, melainkan karena jenisnya (individuum est propter speciem).

Baru pada manusia, individualitas mendapatkan suatu keunikan yang serba


baru. Keunikan itu berasal dari kerohaniannya. Manusia sadar akan dirinya sendiri.
Manusia berharga karena dirinya sendiri, bukan saja karena ia adalah salah satu
eksemplar dari jenis yang sama. Dia dikehendaki demi dan untuk dirinya sendiri.
Manusia bukan hanya suatu ulangan numerik dan jenis yang sama. Perbedaan di
antara orang yang satu dengan orang yang lain bersifat kualitatif dan intensif.
Namun, dalam keunikan yang serba baru itu tidak terhapus unsur
kejasmaniannya. Dari segi materi manusia merupakan satu individu. Keunikan
kuantitatif dapat ditentukan dengan sangat teliti (misalnya pada pasport, arsip
kantor polisi, warna kulit. Warna mata, tinggi badan, cap jempol, dll). Akan
tetapi, di dalam semuanya itu manusia sebagai pribadi belum nampak atau belum
dikenal. Yang dikenal hanya hanya wajah atau badan tanpa jiwa, kejasmanian

43
tanpa kerohanian. Keunikan kuantitatif sebagai pribadi berbeda dengan keunikan
secara kualitatif.

Individu dan person tidak sama namun merupakan kesatuan. Individualitas


memberikan wajah pada kepribadian. Karena itu, apabila seseorang semakin
mempribadikan, maka kepribadian orang itu juga akan semakin nampak dalam
gerak-geriknya, wajahnya dan tingkah lakunya. Di dalam kesatuan itu terdapat
suatu dualitas, dan dalam dualitas hadir kesatuan.

44
3. Dasar Keunikan sebagai Individu dan sebagai person

Individualisme muncul jika keunikan sebagai individu diutamakan atas


keunikan pribadi. Sebagai individu, manusia merupakan salah satu realisasi dari
jenis yang sama, seakan-akan seperti hasil dari mesin yang memproduksi banyak
barang. Demikian juga kalau keunikan sebagai individu diekstremkan. Manusia
menjadi nomor dan diperlakukan sebagai nomor saja, sehingga nomor yang satu
dapat dengan mudah diganti dengan nomor yang lain. Orang yang menilai diri
dengan yang lain agar tidak tenggelam dalam kesamaan dengan yang lain. Jika
hal demikian yang terjadi keunikannya dirasakan terancam. Orang lain lalu
menjadi saingan. Dia mencari perbedaan diri dengan orang lain melalui pakaian
yang dikenakan, warna atau gaya rambut tertentu, make up, handphone, sepeda
motor, mobil dll. Atas cara yang demikian, keunikan menjadi nyata, dan
keunikan dan perbedaan orang lain membuat ia iri hati. Dalam pandangannya
keunikan orang lain merupakan bahaya bagi keunikan dirinya. Orang lain harus
sependapat dengan dia. Ia tidak mau tergantung dari orang lain. Dia menuntut
kebebasan yang mutlak. Ini menjadi bahaya, karena keunikan material dilepaskan
dari keunikan pribadi.

Keunikan sebagai pribadi berdasar pada kerohanian. Kelainan dihayati


sebagai sesuatu yang memperkaya. Kegembiraan yang dibagikan akan menambah
kegembiraan, dan duka cita yang dibagi menjadi lebih ringan. Semakin seseorang
berdiri sendiri dan pendapatnya original, dialog dan diskusi semakin memperkaya
satu dengan yang lain. Diri sesama dihargai serta dihormati, dan keunikannya
menjadi kegembiraan bersama.

Manusia menjadi diri dengan memperkembangkan relasi dengan sesama


dan dengan membangun dunia. Karena itu, berdiri sendiri sebagai person tidak
terletak di luar relasi-relasi tersebut. Berdiri sendiri sebagai person terjadi dalam
relasi eksistensialis dan dasarian. Dalam segala relasi ini aku berkembang sebagai
pribadi. Apabila aku menjadi semakin pribadi, maka aku juga semakin
memperkembangkan relasi-relasi ini. Person dan relasi tidak terpisahkan.

Manusia sebagai person merupakan pusat dan sumber keaktifannya, aku


sendiri yang berpikir, memutuskan, dan bertindak. Aku bertanggung jawab karena
tindakanku berasal dari diriku sendiri. Manusia adalah mahkluk paradoksal di
mana sumber tindakanku berasal dari diriku sendiri, tetapi aku membutuhkan
sesama untuk menjadi seseorang yang otonom. Aku menjadi dewasa yang
bertanggung jawab berkat dan dengan pertolongan sesama. Melalui pendidikan

45
dan faktisitas sosial, aku semakin menjadi seseorang yang mampu berpikir
sendiri, bebas dan ikut menciptakan suasana di mana sesamaku dapat juga
menjadi dirinya.

Manusia sebagai person manusia sebagai pribadi


• Self - present • realisasi sebagai person
• Self - determination • membentuk diri dengan bebas
• Self - existence dalam relasi dengan sesama

B. JIWA DAN BADAN, JASMANI DAN ROHANI

Manusia adalah mahkluk yang berbadan. Diri manusia adalah rohani dan
jasmani. Badan adalah bentuk konkret dari kejasmanianku, atau dari padaku
sepanjang aku ini jasmani. Yang ada bukan badan, yang ada ialah aku ini dan
badan adalah aku dalam bentuk jasmani. Badan adalah aku sendiri dalam
kedudukanku sebagai mahkluk jasmani, badan adalah wujudku sebagai mahkluk
jasmani.

Untuk mengerti hubungan antara diri dan badan: pikiran


dan suara merupakan satu kesatuan. Menangkap suara
berarti menangkap pikiran. Pikiran berbentuk suara (kata-
kata). Tetapi antara pikiran dan suara tetap ada
perbedaan.

46
•Jiwa merupakan aspek yang pertama, lebih unggul dari
badan, bahwa ia menjadi prinsip hidup, kesadaran,

Plato - interioritas, pemikiran dan kebebasan (dalam Phaedo).


•jiwa merupakan substansi yang eksistensinya
mendahului badan, lalu tertutup dalam badan seperti

Dualisme penjara, dan yang dapat menjadi dirinya secara


sempurna hanya setelah ia dikeluarkan dari badan itu.

•jiwa hanya prinsip konstitutif esensial mahkluk hidup.


Ialah yang menstrukturkannya menjadi sesuatu yang

Aristoteles hidup, dinamismenya yang promordial, aktusnya yang


pertama, bentuk substansialnya.
•Badan merupakan penerima dinamisme primordial itu

- Monisme yang dengannya ia distrukturkan dan dihidupkan,


menjadi keseluruhan organisasi secara tetap,
melaksanakan kegiatan-kegiatan hidup.

Gambar 2.1.

Pandangan mendasar tentang hubungan Jiwa dan Badan

Perkembangan pemikiran hubungan jiwa dan badan dalam fase Abad


Pertengahan dan Abad Modern: bisa dikatakan kurang lebih sama dengan
pendapat-pendapat kuno yang disampaikan Plato dan Aristoteles.
Sementara filsuf-filsuf kontemporer kurang suka membicarakan hal jiwa
dan badan. Mereka lebih suka menggarisbawahi kesatuan tingkah laku
manusiawi, dan mengatakan bahwa manusia pertama-tama adalah suatu
badan yang hidup, yang bersifat perseptif, afektif, yang berkesadaran dan
yang mempunyai inferioritas. Sebuah badan yang dipersonalisasikan.
Pembicaraan tentang hubungan badan dan jiwa dijauhkan dari
pembahasan materialisme atau dualism namun sekaligus menghormati
kesatuan substansial manusia dan transendensi atau superioritas “aku”
atas badan.

47
Dalam seluruh aktivitas manusia
fungsi badan tidak dapat
dihilangkan. Contoh tangan manusia
yang mampu digerakkan dengan
gemulai dalam gerakan yang lincah
dan memukau atau bagaimana
kelenturan dalam melakukan gerakan
olahraga tertentu, dll. Bahkan dalam
kegiatan kita beribadah kita pun
aspek badan - jasmani kita turut
serta.

Beberapa pandangan yang keliru tentang badan


manusia: Badan akan luhur jika
hidupnya mengabdi pada
1. Pandangan idealistis tentang badan, badan
roh. Badan adalah
hanyalah sinar dari roh. Roh adalah seperti
pengejawantahan rohani.
listrik, badan cahayanya. Badan dan roh tidak
Jika pribadi seseorang luhur
pernah bertentangan, tetapi badan seolah-olah
tidak ada, yang ada hanya roh. maka badan dalam dalam
2. Pandangan materialistis yang berpendapat sikap-sikapnya, gerak-
bahwa yang ada hanya badan. geriknya, tampilannya juga
3. Memandang badan sebagai musuh yang akan mencerminkan
jahat, sehingga sering terjadi bertentangan keluhuran tersebut.
terus-menerus antara roh dan badan. Badan Sebaliknya, jika orang inin
dianggap penarik kepada kejahatan. menjadi pribadi luhur maka
ia juga harus mengatur segi-
segi luar dari hidupnya
tersebut.

48
Dalam kesatuan jiwa dan badan, maka definisi
SEHAT menjadi: situasi total manusia, baik
jasmani maupun rohani, yang memungkinkan
seseorang untuk menjalankan hidupnya
dengan menempatkan diri dalam keadaannya.
Kesehatan bukan hanya soal badan tetapi soal
seluruh atau keutuhan manusia. Mensana in
corpore sano.

C. KEBEBASAN MANUSIA
1. Apa itu Kebebasan

Begitu esensial dan konkret unsur kebebasan bagi eksistensi atau adanya
manusia di dunia, sehingga kebebasan dalam penziarahan hidup manusia menjadi
suatu yang secara terus-menerus diperjuangkan. Kebebasan merupakan suatu nilai
yang dijunjung tinggi oleh manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya
secara penuh jika ia bebas. Gagasan kebebasan semacam ini selalu aktual dalam
hidup manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan
dari diri manusia, juga karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu
yang bersifat "fragile"; kebebasan bersifat sensitif dan rapuh. Manusia adalah
makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus
senantiasa memperjuangkan kebebasannya. Aktualisasi ide kebebasan manusia
juga didasarkan pada kenyataan adanya perkembangan arti kebebasan sesuai
dengan situasi dan kondisi manusia.

Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan
hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno atau masyarakat
pramodern. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai
keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern,
di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya
dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan
yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna
yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar

49
terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk
mengangtualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini.

Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merupakan salah satu


keinginan insani yang sangat mendasar, karena itu Louis Leahy memasukan prinsip
kebebasan ini dalam salah satu dimensi esensial pribadi manusia. Faktor esensial
kebebasan manusia inilah yang menyebabkan dan mendorong banyak tokoh untuk
menyoroti masalah kebebasan, sehingga muncul bermacam-macam anggapan,
pendapat dan pandangan yang sering kali berbeda satu sama lain. Dalam arti
tertentu adanya perbedaan konsep itu dapat dimengerti karena kebebasan itu
sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebebasan mempunyai karakter relatif atau
dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai sesuatu yang relatif atau
bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan ketidakbebasan. Maka
manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh. Namun situasi dan kondisi
manusia itu pada dasarnya bukan hanya merupakan faktor yang membatasi dan
menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga dan serentak merupakan faktor yang
memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena di luar situasi yang sifatnya
terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak. Sebagai eksistensi, manusia
selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasi-situasi batas. Sebagai
eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya sendiri di dunia
ini. Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek atau
komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain.

Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang,


paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya
tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas
adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan
adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut bebas
kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas
perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang
mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal
itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan
internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan
diri.

 Freedom is self-determination, pengertian itu dapat dikatakan bahwa


kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang
hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda.

50
Kebebasan yang nampak secara sekilas dalam binatang-binatang pada dasarnya
bukan kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi
semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan
binatang bukanlah hasil dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah
kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan instingtualnya. Dengan istilah
instingtual dimaksudkan tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu
sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri
binatang tidak ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan
dirinya. Sedang manusia mempunyai kemampuan untuk berhasrat dan
berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan kehendak yang bebas. Manusia
mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan bahwa manusia adalah
tuan atas perbuatannya sendiri. Kebebasan sejati hanya terdapat di dalam diri
manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas.
Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak
bebas manusia.

2. Kebebasan Fisik, Moral dan Psikologis

Pengertian kebebasan yang diuraikan di atas merujuk pada pengertian


kebebasan secara umum. Dalam merenungkan arti dan makna kebebasan kita tidak
akan berhenti pada arti yang paling umum dan mendasar itu. Oleh karena itu pada
bagian ini kita akan memperdalam arti kebebasan dalam arti-arti yang lebih khusus.
Kebebasan dalam arti khusus ini tidak berarti lepas dari pengertian bebas secara
umum. Kebebasan dalam arti khusus merupakan pengkhususan arti dari kebebasan
dalam pengertian umum. Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau
bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan
psikologis:

Kebebasan fisik artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-


rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang
menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-
rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik
untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel
tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan
bebas jika masa tahanannya sudah lewat. Dengan demikian paksaan di sini berarti
bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki. Jangkauan
kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri.

51
Jangkauan itu terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru
mencirikan kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu
bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata
disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang
dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan
yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain.

Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang,
bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia
dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia.
Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah
dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan
kehendaknya.

Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau


dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa
sungguh-sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah
ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya
kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam. Kebebasan
fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan
bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana. Namun demikian
kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif. Kebebasan
fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati.

Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang


dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk
mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia
mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang
men-ciri-khas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah
Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk
memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan memilih atau kebebasan
berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil
keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara
begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah
kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau
menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus
ditawarkan kepada manusia.

52
Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai
makhluk yang berakal budi. Manusia bisa berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari
dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Karena itu jika orang bertindak
secara bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa
melakukannya. Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan
kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti
dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak.
Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting.
Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk
memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai
kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B. Kemungkinan untuk
memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek ini tidak bisa
dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis. Mengapa? Karena
pemilihan bukan merupakan hakikat kebebasan psikologis. Hakikat kebebasan
psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.

Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara langsung
dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu. Misalnya
dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan semua uang
dan harta yang saya punya, penyerahan itu saya lakukan atas kehendak saya. Dalam
arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya masih mempunyai
kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas secara fisik, karena
dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara tidak langsung bentuk
paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis yang memaksa seseorang
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis juga dapat
dihalangi dengan mengondisikan orang sehingga tidak mungkin melakukan
beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang ibu yang mengharuskan anaknya
untuk langsung pulang setelah jam sekolah selesai. Ibu itu membatasi kebebasan
psikologis anaknya karena dia tidak memberi kemungkinan pada anaknya
untuk melakukan tindakan lain selain langsung pulang setelah sekolah.

Kebebasan moral adalah ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban.


Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun demikian
antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Kebebasan moral
mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis
belum tentu ada kebebasan moral. Contohnya suatu ketika saya berjalan dan
melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Pikiran yang
muncul saat itu adalah saya mengambil dompet itu, dan memang kemudian saya

53
mengambil dompet itu. Namun setelah mengambil dompet itu saya masih
menimbang lagi: dompet ini saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya
mengambil dan tidak memberikan pada pemiliknya. Dalam hal ini saya
mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai
kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan
moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Saya telah mengambil barang orang lain yang bukan hak
saya.

Contoh lain: Seorang wanita yang disandra yang harus memilih di antara dua
pilihan, yaitu atau menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya
perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam
pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena
perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi penentu
atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis, namun ia
tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu memilih secara
terpaksa. Ia dipaksa secara moral. Ia berhadapan dengan dua pilihan dilematis yang
sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan itu menjadi tidak berdaya.
Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis.
Dan sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral.
Dan karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis
dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan
atau pewajiban secara moral. Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah
larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.

Kebebasan adalah suatu keadaan atau situasi di mana manusia benar-benar


merasa diri sebagai seorang pribadi yang berdiri sendiri dan tidak diasingkan dari
diri sendiri. Kebebasan adalah keadaan dan cara hidup yang stabil, yaitu suatu
keadaan bebas, yang olehnya manusia menjadi tuan atas hidupnya sendiri dan
memiliki diri sendiri. Di dalam keadaan seperti itu diandaikan manusia bisa
mengambil dan mengatur tanggung jawabnya sendiri. Kondisi ideal seperti itu
dalam kenyataan ternyata belum dialami oleh manusia secara penuh.

Manusia masih harus berhadapan dengan pelbagai hal yang tidak sempurna.
Manusia masih harus berhadapan dengan aneka pembatasan-pembatasan yang
selalu menghalangi proses pengembangan hidupnya. Manusia masih harus
berusaha mendobrak segala macam rintangan yang membelenggu kebebasan
dirinya. Bahwa dalam kenyataan manusia senantiasa harus berjuang melawan

54
bentuk-bentuk rintangan dan paksaan yang membatasi kebebasannya, merupakan
tanda bahwa kebebasan manusia merupakan sesuatu yang senantiasa menuntut
penyempurnaan.

Pada hakikatnya kebebasan itu selalu terbatas, karena manusia tergantung


pada lingkungan fisik dan sosial. Misalnya orang yang buta pasti tidak bisa
menikmati keindahan seni lukis karena ia tidak mempunyai kemampuan visual.
Seorang tuna rungu tidak bisa menikmati sebuah musik yang paling indah.
Kenyataan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam hidup manusia itu pada
akhirnya melahirkan pandangan yang mengatakan bahwa kebebasan hanyalah
sebuah slogan-slogan kosong dan wishful thinking yang tidak mungkin dapat dicapai
oleh semua orang.

Apakah manusia sungguh bebas? Benarkah


manusia adalah tuan atas tindakannya sendiri?
Benarkah manusia mempunyai kemampuan
menentukan dirinya sendiri? Apakah kebebasan
hanya sekedar ide dan tidak bisa dicapai
sepenuhnya?

Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas secara langsung mendorong orang untuk


membuktikan adanya kebebasan dalam hidup manusia. Atas pelbagai cara banyak
pemikir yang mencoba membuktikan kebebasan. Kita sendiri, sebagai mahkluk
yang bereksistensi sebenarnya juga ditantang untuk meyakinkan diri kita sendiri
dan orang lain, bahwa kita adalah bebas. Bagaimanapun kita menginginkan
kepastian. Namun ternyata tidak mudah memulai usaha untuk membuktikan
adanya kebebasan, apalagi kebebasan tidak mungkin dibuktikan secara matematis.
Pembuktian selalu mengandaikan adanya jarak antara subyek yang meneliti dan
obyek yang harus diteliti. Dalam hal ini kita akan menemukan kesulitan jika kita
harus membuktikan kebebasan dalam diri manusia. Alasannya adalah karena antara
kebebasan dan eksistensi manusia itu terdapat hubungan yang sangat erat, sehingga
seakan-akan tidak mungkin manusia melepaskan diri dari padanya. Karena
pembuktian secara matematis tidaklah mungkin, maka satu-satunya pembuktian
yang bisa ditempuh adalah refleksi kritis.

55
Louis Leahy menempuh tiga jalan, yaitu dengan argumen persetujuan umum,
argumen psikologis, dan argumen etis. Tiga jalan itu ditempuhnya terutama dalam
kaitannya dengan pemikiran kritis para pemikir modern dan para ahli psikologi
yang mengingkari adanya kebebasan dalam diri manusia. Sistem pemikiran mereka
dikenal dengan sebutan Determinisme. Mereka berkata bahwa pada dasarnya
manusia itu tidak bebas. Segala perbuatan manusia dalam hidupnya telah
ditentukan. Kata determinisme berasal dari bahasa latin determinare yang berarti
menentukan batas atau membatasi. Determinisme merupakan tesis filosofis yang
menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk manusia, ditentukan oleh
hukum sebab akibat. Tidak ada hal yang terjadi berdasarkan kebebasan
berkehendak atau kebebasan memilih. Juga di dunia ini tidak ada hal yang terjadi
secara kebetulan. Artinya sesuatu hal itu bisa terjadi karena telah ditentukan untuk
terjadi. Dengan tesis itu aliran determinisme hendak mengatakan bahwa di dunia ini
tidak ada kebebasan.

Determinisme menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-


faktor yang dapat ditunjukkan secara jelas. Faktor-faktor itu berupa motif yang tidak
disadari, pengaruh masa kecil, pengaruh keturunan, pengaruh kultural, dan lain
sebagainya. Aliran ini berpendapat bahwa seandainya manusia mengingat dan
mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhinya, maka semua tindakan manusia
dapat diperhitungkan sebelumnya. Kalau sekarang manusia belum bisa
menentukan dan belum mengetahui apa yang akan dilakukan dalam menghadapi
hal-hal tertentu yang mungkin akan terjadi, itu karena manusia belum mempunyai
pengetahuan yang cukup mendalam tentang hal-hal yang menentukan tindakan-
tindakannya. Atau bahkan karena manusia tidak mau memperhatikan sebab-sebab
yang menentukan setiap tindakan mereka.

Dalam dunia ilmu pengetahuan kata determinisme itu mendapat pelbagai


bentuk istilah. Istilah-istilah itu muncul karena aneka ragam pandangan dan
pertimbangan dalam pemikiran. Dalam pembahasan ini kita akan mencoba melihat
sekilas bentuk-bentuk istilah itu. Di antaranya adalah determinisme universal,
behaviorisme, fatalisme, dan predestinasi. Determenisme universal merupakan teori
tentang alam semesta. Teori ini mengatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi di
alam semesta merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebab-
sebab yang mendahului. Sebab-sebab itu adalah hukum alam. Determinisme
universal juga berpendapat bahwa bentuk jagat raya ini merupakan hasil
determenasi dari hukum-hukum alam yang ada di dalamnya. Behaviorisme berasal
dari kata behaviour yang berarti tingkah laku. Behaviorisme merupakan aliran

56
dalam psikologi yang mempelajari perilaku manusia. Secara khusus pusat perhatian
mereka adalah perilaku manusia yang nampak. Di dalamnya mereka berusaha
mengamati hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). John B.
Watson menyatakan bahwa kepribadian manusia merupakan hasil pembentukan
kebiasaan dan kemampuan, terutama yang ditentukan oleh orang lain. Pembiasaan
ini pada akhirnya menciptakan refleks kondisional, yaitu suatu pola tingkah laku
yang terjadi secara spontan karena pembiasaan terus-menerus. Fatalisme berasal
dari kata Latin fatum yang berarti nasib atau takdir. Fatalisme adalah paham yang
menyatakan bahwa semua kejadian alam semesta dan hidup manusia berada di
bawah kuasa penuh suatu prinsip mutlak, yaitu nasib. Menurut aliran ini manusia
tidak memiliki kebebasan karena semua pilihannya sudah ditentukan oleh nasib.
Sementara predestinasi berasal dari bahasa Latin pradestinare yang berarti meramal
atau menebak. Predestinasi mengajarkan bahwa peristiwa yang sudah terjadi,
sedang terjadi, dan yang akan terjadi telah ditentukan untuk terjadi oleh Allah.
Dalam konteks teologi aliran ini mengajarkan bahwa keselamatan atau
penghukuman manusia, mulai dari awal sampai akhir, sudah ditentukan oleh Allah.
Dengan gagasannya itu penganut predestinasi menyatakan bahwa Allah memiliki
kekuasaan absolut. Allah menentukan bukan hanya disposisi final manusia tetapi
juga seluruh peristiwa hidup manusia. Dan karena itulah predestinasi juga termasuk
salah satu aliran determinisme.

3. Manusia Berdistansiasi dan Kesadaran terhadap Tindakan Etis

Kelakuan yang bersifat bebas dapat dibedakan dari kelakukan yang


determinis karena manusia hadir pada dirinya sendiri. Kehadiran pada diri sendiri
juga merupakan syarat mutlak untuk bertindak bebas. Justru karena manusia
berdistansiasi kepada dirinya sendiri, maka ia dapat dengan sengaja mengikuti
kecenderungan-kecenderungan yang ikut menarik ke kiri atau kanan. Manusia
berdistansiasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terbuka,
mempertimbangkan pro dan kontra, kemudian memutuskan.

Manusia tahu tentang kecenderungan naluri, pengaruh lingkungan dan


pengaruh pendidikan, maka manusia bersikap kritis terhadap semua pengaruh itu.
Manusia tahu dari pengalaman bahwa ia dapat menahan diri walaupun lapar dan
haus yang tidak terkira, karena motivasi rasional yang dimilikinya. Manusia
bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang irasional meskipun tindakannya sering
irasional dan kurang dewasa.

57
Manusia harus memilih, karena ia dapat menyeleweng. Dengan memilih
yang sungguh-sungguh baik, manusia menuju pada kemerdekaan yang sejati.
Manusia tetap berada di tengah perjalanan dan tidak pernah selesai. Aku sungguh
aku, tetapi aku juga belum aku. Suatu pertentangan yang bersifat paradoksal.
Keharusan dalam kehendak direalisasikan secara bebas. Keharusan etis menyatakan
diri kepadaku sebagai suatu imperatif kategoris, bukan hipotesis. Suatu imperatif
kategoris berdasar pada suatu syarat: jika ingin pandai ber-bahasa Inggris, maka
harus rajin belajar. Imperative kategoris bersifat mutlak dan berdasar pada kodrat
diri manusia sendiri. Keharusan kategoris diwajibkan secara mutlak, namun tidak
terlaksana secara paksa, melainkan secara bebas. Keharusan kodrati dihayati
sebagai imperatif kategoris. Hubungan mereka lebih dihayati sebagai suatu seruan
yang mengharapkan jawaban.

Kewajiban diketahui dan dilaksanakan dengan bebas. Ia tetap dapat


bertindak bertentangan dengan kewajibannya. Keharusan kodrati mendorong
namun tidak memaksa. Manusia merealisasi keharusan kodrati menuju diri yang
sejati secara bebas. Dengan kebebasan pilihan dimaksud bahwa manusia bebas
untuk dapat memilih antara ini atau itu, untuk bertindak ataupun tidak bertindak.
Kehendak sendiri harus menentukan. Namun tidak ada apapun di luar kehendak
yang menentukan, tidak ada paksaan. Seluruh penentuan berasal dari kehendak
sendiri.

Kebebasan pilihan ada dalam diri saya sebagai seorang manusia. Setiap saat
saya harus menentukan diri saya sendiri. Sayalah yang bertanggung jawab.
Kebebasan ada dalam diri saya tanpa jasa saya sendiri karena itu adalah anugerah.
Aku dipanggil untuk semakin bebas dari segala penghalang menuju pada diriku
yang sejati. Kebebasan sejati adalah panggilan sekaligus perjuangan. Kebebasan
sejati direalisasikan melalui kebebasan pilihan. Semakin manusia dengan suara
ketetapan terarah pada kebaikannya yang sejati, maka kebebasan pilihan semakin
kurang berfungsi. Pertentangan antara kebebasan pilihan dan sejati merupakan hal
yang khas manusia, karena dalam kebebasan pilihan hadir suatu keharusan kodrati
yang mewajibkan secara etis. Hakikat kebebasan menjadi tidak sekedar bebas untuk
memilih namun penentuan diri (self determination).

Keharusan dalam kebebasan menyatakan diri kepada manusia dalam suatu


imperative kategoris, yang kemudian harus ditaati dan mengandung kewajiban
secara etis. Dengan mengetahui diri sendiri (being man), otomatis diketahui juga
keharusan yang etis untuk menjadi manusia (having to be man). Intuisi etis dihayati

58
dalam hati nurani, dengan pengetahuan yang bersifat implisit: yang baik harus
dibuat dan yang jahat harus dihindari). Kewajiban etis bersifat mutlak dan tanpa
syarat. Kewajiban bersifat objektif dan rasional karena berdasar pada kenyataan
dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga bersifat universal dan berlaku bagi
semua orang dalam keadaan dan kondisi yang sama. Hubungan suara hati dengan
tindakan buka suatu aksi-reaksi melainkan hubungan yang bersifat personal
bagaikan seruan dan jawaban.

Diri kenyataan adalah norma segala perbuatan etis. Hal ini berlaku untuk
pergaulan manusia dengan alam juga, di mana manusia tidak dapat
memperlakukan alam dengan semena-mena. Dalam kebebasan kita berhadapan
dengan suatu keharusan yang mesti ditaati. Manusia harus merealisasikan dirinya
dengan bebas memilih. Ikatan itu bukannya sesuatu yang dating dari luar diriku,
melainkan dari kenyataan diriku sendiri. Kenyataan ini menyatakan diri kepada
budi sebagai kenyataan yang benar dan objektif. Budi memperlihatkan kenyataan
itu kepada kehendak sebagai suatu kebaikan yang menarik.

Manusia adalah mahkluk yang bebas, bersifat otonom, namun bukanlah roh
murni, melainkan terjelma. Faktisitasku membatasi sekaligus membuka
kemungkinan-kemungkinan yang riil. Manusia sudah dan belum, mahkluk yang
dinamis dan menyejarah. Dalam kemungkinan-kemungkinan yang terbuka aku
tidak boleh memilih dengan sewenang-wenang. Aku dipanggil untuk menjadi
manusia yang baik dan taat kepada keharusan yang hadir dalam kebebasan. Aku
menjadi aku. Inilah seruan etis yang bersifat imperatif kategoris, suatu keharusan
dalam kebebasan. Kebebasan bersifat paradoksal, karena manusia adalah mahkluk
yang berelasi maka merealisasikan diri artinya membangun dunia dan membuat
dunia menjadi dunia yang baik untuk kebersamaan manusia.

Keterarahan menuju diriku bukan merupakan determinisme meskipun


diakuui bahwa ada persamaan. Dalam segala mahkluk terdapat keterarahan yang
khas menuju kebaikan yang khas. Keterarahan menuju diri yang sejati pada
manusia bersifat aktif dan pelaksanaannya bersumber pada diri sendiri. Manusia
tetap menjadi manusia yang baik, tetapi manusia tetap berada di tengah perjalanan,
sehingga menjadi manusia adalah panggilan yang tidak pernah selesai secara
definitif.

4. PERWUJUDAN ESENSI SEBAGAI PRIBADI DAN SOSIAL


a. Hakikat manusia sebagai individu dan sosial

59
Individu berasal dari bahasa Latin individuum yang berarti tidak terbagi.
Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan suatu
kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia
secara keseluruhan yang tidak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan
terbatas, yaitu perseorangan manusia. Manusia lahir sebagai individu yang
bermakna tidak terbagi atau terpisahkan antara jiwa dan raga. Secara biologis,
manusia lahir dengan kelengkapan fisik, tidak berbeda dengan mahkluk
hewan. Namun secara rohani, ia sangat berbeda dengan mahkluk hewan pun.
Jiwa manusia merupakan satu kesatuan dengan raganya untuk selanjutnya
melakukan aktivitas atau kegiatan. Kegiatan manusia tidak semata-mata
digerakkan oleh jasmaninya, tetapi juga aspek rohani. Manusia mengarahkan
seluruh jiwa raganya untuk berkegiatan dalam hidupnya.

Dalam perkembangannya, manusia sebagai mahkluk individu tidak


hanya bermakna kesatuan jiwa dan raga, tetapi akan menjadi pribadi yang khas
dengan corak kepribadiannya, termasuk kemampuan dan kecakapannya.
Dengan demikian, manusia sebagai individu merupakan pribadi yang terpisah,
berbeda dari pribadi lain. Manusia sebagai mahkluk individu adalah manusia
sebagai perseorangan yang memiliki sifat sendiri-sendiri, bersifat nyata dan
berupaya merealisasikan potensi diri yang hanya dimiliki olehnya.

Setiap manusia memiliki perbedaan karena karakteristik sendiri, dengan


watak, sifat, keinginan, kebutuhan, dan cita-cita yang berbeda satu dengan
lainnya. Setiap manusia diciptakan Tuhan dengan ciri dan karakteristik yang
unik dan spesifik. Karena itu, manusia sebagai mahkluk individu adalah unik
dan tidak mungkin sama dengan yang lainnya di dunia ini, bahkan
kembarannya pun.

Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi oleh berbagai


factor, yaitu:

a) Pandangan nativistik yang menyatakan bahwa pertumbuhan


individu semata-mata ditentukan atas dasar faktor dalam dalam
individu, seperti bakat dan potensi, termasuk pula hubungan atau
kemiripan dengan orangtuanya. Contoh: jika ayahnya seniman maka
anak menjadi seniman juga.

60
b) Pandangan empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan individu
semata-mata didasarkan pada faktor lingkungan. Lingkunganlah
yang menentukan pertumbuhan seseorang.
c) Pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan
individu dipengaruhi oleh individu dan lingkungan. Bakat anak
merupakan potensi yang harus disesuaikan dengan diciptakannya
lingkungan yang baik sehingga ia bisa tumbuh dengan optimal.

Manusia sebagai individu ternyata tidak mampu untuk hidup sendiri,


dan akan senantiasa bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling
membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan
hidupnya. Sejak manusia dilahirkan, ia membutuhkan pergaulan dengan orang
lain terutama dalam hal kebutuhan makan dan minum. Pada usia bayi, ia sudah
menjalin hubungan terutama dengan ayah dan ibunya, dalam bentuk gerakan,
senyuman, dan kata-kata. Pada usia 4 tahun, ia mulai berhubungan dengan
teman-teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia selanjutnya
ia terikat dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan hidupnya yang
semakin luas. Manusia hidup dalam lingkungan sosialnya.

Menurut kodratnya, manusia di manapun dan pada zaman apapun akan


selalu hidup bersama, hidup berkelompok. Dalam sejarah perkembangan
manusia tidak dapat hidup seorang diri dan terpisah dari manusia lainnya.
Aristoteles mengatakan manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia
itu sebagai mahkluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat.
Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri,
namun manusia sebagai mahkluk sosial tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Manusia lahir, hidup, berkembang, dan meninggal dalam
masyarakat.

Adapun yang menyebabkan manusia selalu hidup bermasyarakat antara


lain karena adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri
manusia, misalnya hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum
(sebagai yang paling primer dan mendasar), hasrat untuk membela diri, hasrat
untuk mengadakan keturunan. Dalam kenyataannya, sejak manusia dilahirkan
selalu memiliki dua keinginan yang pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu
dengan manusia di sekelilingnya, dan keinginan untuk menjadi satu dengan
suasana alam sekelilingnya.

61
Keluarga merupakan lingkungan manusia yang pertama dan utama.
Dalam keluarga manusia menemukan kodratnya sebagai mahkluk sosial,
karena dalam lingkungan itulah untuk pertama kalinya manusia berinteraksi
dengan orang lain. Kelompok berikutnya adalah kelompok pertemanan,
pergaulan, kelompok pekerja, dan masyarakat secara luas.

b. Peranan manusia sebagai mahkluk individu dan sosial

Sebagai individu, manusia memiliki harkat dan martabat yang mulia.


Setiap manusia dilahirkan sama dan sederajat. Perbedaan yang ada seperti
berbeda keyakinan, tempat tinggal, ras, suku, golongan tidak meniadakan
persamaan akan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, pengakuan dan
penghargaan manusia sebagai manusia mutlak diperlukan. Pengakuan dan
penghargaan itu dapat diwujudkan dengan pengakuan akan jaminan atas hak-
hak asasi manusia. Manusia memiliki hak-hak dasar yang sama yang tidak
boleh dihalangi oleh pihak lain. Penindasan terhadap hak-hak dasar orang lain
pada dasarnya adalah merendahkan derajat kemanusiaan.

Manusia sebagai mahkluk individu berupaya merealisasikan segenap


potensi dirinya, baik jasmani maupun rohani. Jasmani atau raga adalah badan
atau tubuh manusia yang bersifat kebendaan, dapat diraba, dan bersifat riil.
Rohani atau jiwa adalah unsur kerohanian, tidak berwujud, tidak bisa diraba,
atau ditangkap dengan indera.

Sebagai mahkluk individu, manusia berusaha memenuhi kepentingannya


atau mengejar kebahagiaan sendiri. Motif tindakannya adalah untuk
memenuhi keutuhan jasmani dan rohani. Penekanan pada kepentingan diri
memunculkan sifat individualistis dalam diri pribadi yang bersangkutan. Di
samping itu, factor pemenuhan atas kepentingan diri sendiri tersebut juga
mengakibatkan individu akan saling bersaing untuk hal tersebut.

Dalam hidup bermasyarakat, individu memberikan fungsi-fungsi positif


antara lain: perlu dihargainya harkat dan martabat seorang manusia, adanya
jaminan akan hak dasar setiap manusia, dan berkembangnya potensi-potensi
diri yang kreatif dan inovatif. Tidak jarang ditemui dalam masyarakat ada orang
yang memiliki potensi yang baik sehingga dapat menggerakkan masyarakat
untuk maju. Namun demikian, dalam hidup kemasyarakatan, individu bisa
menghasilkan fungsi yang negatif. Misalnya, unsur pemenuhan kepentingan

62
diri sendiri menjadikan orang per orang memiliki sifat individualistis dan egois.
Orang tidak lagi mau membantu, bersimpati, atau berempati terhadap orang
lain dikarenakan kepentingan sendiri yang lebih ditonjolkan. Karena itulah
sebenarnya, dalam hidup bermasyarakat lalu dibutuhkan norma-norma yang
mengatur yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk bertingkah laku, antara
lain:

a. Norma agama atau religi, yaitu norma yang dianggap bersumber dari
Tuhan yang diperuntukkan bagi umat-Nya. Norma agama berisi
perintah agar dipatuhi dan larangan agar dijauhi umat beragama.
b. Norma kesusilaan atau moral, bersumber dari hati nurani manusia
untuk mengajak pada kebaikan dan menjauhi keburukan. Norma ini
bertujuan agar manusia berbuat baik secara moral.
c. Norma kesopanan, bersumber dari masyarakat dan berlaku terbatas
pada lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
d. Norma hukum, dibuat masyarakat secara resmi yang
pemberlakuannya bersifat pemaksaan. Norma ini dimuat dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis.

Manusia dalam kelompok sosialnya, misalnya hidup bernegara, terikat pada


norma-norma sebagai hasil interaksi dari manusia itu sendiri. Keterikatan kepada
norma termasuk pula keterikatan untuk menghargai adanya orang lain. Jadi, jika
dalam dimensi individu, muncul hak-hak dasar manusia maka dalam dimensi social
ini, muncul kewajiban dasar manusia yaitu menghargai hak dasar orang lain serta
menaati norma-norma yang berlaku di masyarakatnya. Dengan demikian, sebagai
mahkluk social, manusia memiliki implikasi-implikasi:

a. Kesadaran akan ketidakberdayaan manusia bila seorang diri;


b. Kesadaran untuk senantiasa dan harus berinteraksi dengan orang
lain;
c. Penghargaan terhadap hak-hak orang lain;
d. Ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku.

Keberadaannya sebagai mahkluk sosial, memungkinkan manusia melakukan


peranan:

a. Melakukan interaksi dengan manusia lain atau kelompok;


b. Membentuk kelompok-kelompok sosial’

63
c. Menciptakan norma-norma sosial sebagai pengaturan tertib
kehidupan kelompok.

c. Dinamika interaksi sosial

Interaksi sosial merupakan faktor utama dalam kehidupan sosial. Interaksi


sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan timbal-
balik antar individu, antar kelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok
manusia. Bentuk interaksi sosial adalah akomodasi, kerja sama, persaingan dan
pertikaian. Apabila dua orang atau lebih bertemu dan terjadi interaksi sosial, bisa dalam
situasi persahabatan ataupun permusuhan, bisa dengan tutur kata, jabat tangan,
bahasa, atau tanpa kontak fisik. Interaksi sosial hanya dapat berlangsung antara pihak-
pihak apabila terjadi reaksi dari kedua belah pihak. Ciri-ciri interaksi sosial yaitu:

➢ Pelakunya lebih dari satu orang;


➢ Adanya komunikasi antar pelaku melalui kontak sosial;
➢ Mempunyai maksud dan tujuan, terlepas dari sama atau tidaknya
tujuan tersebut dengan yang diperkirakan pelaku;
➢ Ada dimensi waktu yang menentukan sikap aksi yang sedang
berlangsung.

Syarat terjadinya interaksi adalah kontak sosial dan komunikasi. Kontak dapat
bersifat primer (kontak langsung dengan cara berbicara, jabat tangan, tersenyum, dsb.)
dan sekunder (terjadi melalui perantara misalnya telepon, radio, TV, dll). Kontak sosial
dapat berupa kontak antar individu, kontak antar individu dengan satu kelompok,
ataupun kontak antar kelompok dengan kelompok lainnya.

Berlangsungnya interaksi sosial didasarkan atas berbagai faktor, antara lain


faktor imitasi, sugesti, identifikasi, simpati, motivasi, dan empati. Imitasi adalah proses
atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain baik sikap, perbuatan, penampilan,
dan gaya hidup. Sugesti adalah rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan
individu kepada individu lain sehingga orang diberi sugesti. Identifikasi adalah upaya
yang dilakukan individu untuk menjadi sama atau identik dengan individu yang
ditirunya. Proses ini erat kaitannya dengan imitasi. Simpati adalah proses kejiwaan
seseorang individu yang merasa tertarik dengan individu atau kelompok lain karena
sikap, penampilan, atau perbuatannya. Motivasi merupakan dorongan, rangsangan,
pengaruh, atau stimulasi yang diberikan individu kepada individu lain sehingga orang
yang diberi akan melaksanakannya secara kritis, rasional dan tanggung jawab. Empati
adalah proses kejiwaan seorang individu untuk larut dalam perasaan orang lain baik
suka maupun duka.

64
d. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat

Persoalan pengutamaan kepentingan apakah individu atau masyarakat


memunculkan dua pandangan yang saling bertolak belakang:

1) Pandangan individualism, yang berpangkal pada konsep dasar


ontologis bahwa manusia pada hakikatnya adalah mahkluk yang
bebas. Paham ini memandang manusia sebagai mahkluk pribadi
yang utuh dan lengkap terlepas dari manusia lainnya. Manusia
sebagai individu adalah bebas, karena ia memiliki hak-hak yang
tidak boleh dihalangi oleh siapapun. Apabila hak-hak itu terpenuhi
maka kehidupan manusia akan terjamin dan bahagia. Masyarakat
hanyalah kumpulan individu-individu. Kepentingan individu perlu
dan harus diutamakan dan harus diperjuangkan. Paham ini
melahirkan ideology liberalism. Ideologi ini menjamin hak milik
perseorangan, mementingkan diri sendiri, pemberian kebebasan
penuh kepada individu, dan persaingan bebas untuk mencapai
kepentingan masing-masing.
2) Pandangan sosialisme, yang mengutamakan kepentingan
masyarakat di atas segalanya. Masyarakat tidak sekedar kumpulan
individu tetapi merupakan entitas yang besar dan berdiri sendiri di
mana individu-individu berada. Kedudukan individu hanya objek
masyarakat, dan hak-hak individu menjadi hilang, jika timbul itu
semata karena keanggotaannya dalam suatu komunitas. Sosialisme
mementingkan masyarakat secara keseluruhan bahwa kepentingan
masyarakat yang utama, bukan individu.

Kedua pandangan di atas mengandung kelemahan masing-masing. Kebebasan


perseorangan yang merupakan inti dari ajaran individualisme dalam pelaksanaannya
justru mengingkari ajarannya sendiri, yaitu persamaan. Individualisme dapat
menimbulkan ketidakadilan, tindakan tidak manusiawi, imperialisme dan
kolonialisme, dll. Sosialisme yang ekstrem tidak menghargai manusia sebagai
pribadi sehingga bisa merendahkan sisi kemanusiaan. Sehingga, harus kembali
didudukkan bahwa manusia bukan mahkluk individu dan sosial, tetapi manusia
adalah mahkluk individu sekaligus sosial. Seperti Frans Magnis Suseno mengatakan:
“manusia adalah individu yang secara hakiki bersifat social dan sebagai individu
manusia bermasyarakat.

65
Forum Diskusi
1. Perhatikanlah beberapa gambar berikut ini, berikanlah tanggapan pribadi Anda
setelah membaca Materi KB 2 secara keseluruhan, tanyakan juga beberapa
rekan / teman / keluarga tentang tanggapan mereka, lalu uraikan dalam
deskripsi singkat tentang siapa Manusia:

2. Silahkan mencari informasi tentang negara atau masyarakat yang mengelola


kehidupan bersama secara individualis atau sosialis. Bagaimana pola-pola
kehidupan dan interaksi yang dikembangkan berdasarkan pandanga-
pandangan tersebut, gambarkanlah perbandingannya dengan baik. Bagaimana
dengan kehidupan yang dikembangkan di Indonesia (apakah individualis atau
sosialis)? Kemukakan pandangan Anda berdasarkan pola-pola kehidupan dan
interaksi yang terjadi di Indonesia.

66
Daftar Pustaka:
Cassirer Ernest, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei tentang Manusia, Jakarta,
Gramedia, 1990.

Copelston Frederick S.J., A History of Philosophy, Image Books, Doubleday, NY,


1994.

De Chardin Teilhard, The Phenomenon of Man, Harper and Row, New York, 1965.

Drijarkara Prof., Dr. N., Filsafat Manusia, Yogyakarta, Kanisius, 1994.

Hadiwojono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta, Kanisius, 1980.

---, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, 1992.

Leahy Louis, Manusia sebuah Misteri, Sintesa Filosofis tentang Mahkluk Paradoksal,
Jakarta, Gramedia, 1989.

-----, Siapakah manusia, Sintesa Filosofis tentang Manusia, Jakarta, Gramedia, 2000.

Van Melsen, The Philosophy of Nature, Pitsburg: Duquesne University, 1961.

67
Glosorarium
Distansiasi yaitu mengambil jarak tertentu sehingga dapat melihat dengan lebih
jelas.

Empirisisme yaitu pendekatan yang menekankan sumber pengetahuan harus dicari


dan ditemukan melalui pengalaman atau emperia atau empeiros.

Monisme yaitu penekanan pada satu substansi yang membentuk dan ada dalam
alam. Biasanya dilawankan dengan dualisme yang melihat bahwa ada dua
substansi yang membentuk alam.

Respon yaitu sambutan terhadap stimulus yang diterima.

Stimulus yaitu perangsangan organisme yang diberikan pada bagian tertentu


sehingga menjadi aktif.

Substansi yaitu sesuatu yang menjadi dasar penopang semua gejala. Tanpanya
maka sesuatu tidak ada, tidak akan mengalami proses menjadi sesuai hakikatnya.

68
69

Anda mungkin juga menyukai