Anda di halaman 1dari 9

1

REFLEKSI TEOLOGi PEDAGOGIS PEMIKIRAN FILOSOFIS


SOKRATES

leonardussiby77@gmail.com
(Mahasiswa Pascasarjana IAKN Manado)

A. Riwayat Hidup Socrates


Socrates adalah seorang filsuf Yunani yang hidup sekitar tahun 469
-399 SM.1 Ia adalah salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis
Barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari
tiga ahli filsafat besar dari Yunani selain Plato dan Aristoteles. Socrates
adalah guru Plato, kemudian Plato pada gilirannya mengajar Aristoteles. 2
Socrates pernah menjadi tantara Athena yang disebut sebagai hoplitês,
pasukan pejalan kaki (infantri), yang mengindikasikan bahwa ia bukanlah
seorang yang berkurangan secara materi. Karena di masa itu hanya para
pemilik tanah yang dapat bergabung dalam pasukan tersebut, karena
mereka harus membiayai sendiri senjata-senjata yang mereka pakai. 3
Socrates dijatuhi hukuman mati pada tahun 399 SM saat ia berumur
70 tahun.4 Socrates dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan bahwa ia
menentang agama yang diakui oleh negara (menentang allah-allah yang
diakui oleh polis), dan mengajarkan praktek religious yang baru, 5 ia juga
didakwa membawa dampak yang kurang bagi katas kaum muda. 6
Socrates dinyatakan bersalah dan dituntut hukuman mati dengan
mayoritas 60 suara, 280 melawan 220. Plato dalam tulisannya yang
berjudul Phaidōn, menjelaskan bahwa Socrates menjalani hukuman mati
tersebut dengan tenang. Ia meminum cawan berisi racun pada waktu
senja dengan dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. 7 Semasa hidupnya,
Socrates tidak pernah meninggalkan karya berupa tulisan. Pemikiran

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Socrates, diakses 18 September 2020.
2
Ibid.
3
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani. (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 82
4
Ibid. h. 81
5
Fahriansyah, Antisofisme Socrates, dalam Jurnal Al’Ulum Vol. 61 No. 3, 2014. h.
25
6
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani. h. 83
7
Ibid.
2

filsafat sejak masa Socrates tidak lagi berorientasi pada pembahasan


kosmos, melainkan mulai membicarakan tentang manusia, etika, politik,
negara dan masalah keadilan.
B. Beberapa Sumber yang menjadi Rujukan Pemikiran Socrates
Dalam bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa Socrates tidak
meninggalkan karya filosofinya dalam bentuk tulisan. Karena itu, jejak
pemikiran Socrates dapat diketahui dari orang-orang yang hidup se
zaman dengannya, atau melalui murid-muridnya. Bertens, menjelaskan
bahwa pemikiran Socrates dapat dilihat melalui beberapa sumber, yaitu: 8
1. Aristophanes. Ia adalah seorang komedi ternama di Athena yang
hidup se zaman dengan Socrates. Ia beberapa kali menyebut nama
Socrates dalam karya-karya komedinya, bahkan dalam komedia
berjudul “Awan-awan” yang dipentaskan tahun 423, ia
menggunakan Socrates sebagai pelaku utama.
2. Xenophon. Ia sempat menulis beberapa karangan di masa akhir
hidupnya (360-350SM). Karangan terpenting berhubungan dengan
Socrates adalah Memorabilia (“Kenang-kenangan akan Socrates),
yang berisikan berbagai tulisan kecil mengenai percakapan
Socrates dengan teman-temannya.
3. Plato. Plato adalah murid Socrates yang lahir di Athena pada tahun
428 SM. Plato merupakan rujukan terbesar bagi pemikiran
Socrates. Ada beberapa tulisan Plato yang secara langsung
berhubungan dengan Socrates, misalnya Apologia (berisikan
pembelaan Socrates saat ia didakwa hukuman mati), Phaidon
(berisikan percakapan-percakapan terakhir Socrates dengan
teman-temannya), serta dialog-dialog, yang menunjukkan
bagaimana Socrates bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya
dan juga dengan orang-orang lainnya.
4. Aristoteles. Ia adalah murid Plato, yang lahir 15 tahun setelah
Socrates meninggal. Dalam karya-karyanya, Aristoteles kerap
mengikhtisarkan pendirian filsuf-filsuf sebelumnya, dan dalam

8
Ibid. h. 78-79, 83
3

konteks ini ia beberapa kali menyinggung juga ajaran Socrates,


yang diketahuinya dari Plato.

C. Beberapa Pemikiran Filosofi Socrates


1. Dialektika sebagai Metode berfilsafat.
Semua sumber yang memberi informasi tentang ajaran
Socrates setuju, bahwa metode berfilsafat Socrates bersifat praktis
dan dilakukan dalam bentuk percakapan. Socrates tidak menyelidiki
fakta-fakta, melainkan ia menganalisa pendapat-pendapat atau
perkataan yang dikemukakan lawan bicaranya. Hal ini didasari oleh
keyakinan bahwa setiap orang mempunyai pendapat-pendapat
tertentu. Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai
pekerjaan manusia dan hal-hal praktis dalam hidup manusia.
Socrates selalu mulai dengan menganggap jawaban pertama
sebagai hipotesa dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya sebagai konsekuensi yang dapat disimpulkan dari
jawaban tersebut. Jika hipotesa tersebut tidak dapat dipertahankan
(karena membawa konsekuensi-konsekuensi mustahil), maka
hipotesa tersebut diganti dengan hipotesa lain, yang juga akan
diselidiki dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Socrates menarik
kesimpulan bahwa ia lebih bijaksana karena ia menyadari bahwa ia
tidak bijaksana atau tidak mengetahui apa-apa. 9
Metode Socrates ini biasanya disebut dengan “dialektika”10
(Yun. dialegestai: bercakap-cakap atau berdialog). Bagi Socrates,
dialog mempunyai peranan penting dalam memperoleh
pengetahuan. Socrates sendiri mengusulkan nama lain untuk
menunjukkan metode ini, yaitu “maieutikē tekhnē” (seni kebidanan).
Teknik ini didasarkan pada sumsi bahwa manusia pada dasarnya
sebelum lahir telah memiliki/membawa pengetahuan bawaan.
Karena itu tugas filsafat adalah bagaimana menarik atau

9
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik hinga Kontemporer, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2016), h. 7
10
https://id.wikipedia.org/wiki/Socrates, diakses 18 September 2020
4

mengeluarkan pengetahuan tersebut dalam kesadaran kita. 11 Bagi


Socrates, ia tidak menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan
pertanyaan-pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat
dalam jiwa orang lain, dan dengan pertanyaan lanjutan, ia menguji
nilai pikiran-pikiran yang sudah dilahirkan. 12 Bertolak dari
pengalaman konkrit, Socrates membawa seseorang dalam proses
dialektika, untuk “melahirkan” pengetahuan akan kebenaran yang
dikandung dalam batin orang tersebut.
Aristotes memberikan memberikan catatan mengenai dasar
ilmu pengetahuan dalam metode dialektika Socrates, yaitu: induksi
dan defenisi. Induksi adalah proses pemikiran di mana akal budi
manusia, dengan bertolak dari pengetahuan tentang hal-hal yang
khusus, menyimpulkan sesuatu yang umum. Bagi Socrates defenisi
merupakan intisari atau hakekat dari suatu hal, yang dihasilkan atas
dasar proses induksi. Defenisi adalah pembentukan pengertian
yang bersifat dan berlaku umum. Di titik inilah Socrates
bertentangan dengan kaum sofis, yang mengajarkan relativisme.13

2. Etika
Sebagai seorang Filsuf, Socrates dikenal pula sebagai
seorang yang berpendirian teguh dan memiliki moralitas yang
tinggi. Keteguhan hati dan moralitas itulah yang membuat dia
menghadapi hukuman matinya dengan sangat tenang. Menurut
Socrates ajaran filosofinya dilakukan dengan perbuatan. Ia malah
tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia
filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan
dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari
kebenaran. Sebagai seorang guru, Socrates mengabdikan seluruh
14
hidupnya untuk mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari
kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan,

11
Lubis, Filsafat Ilmu. h. 8
12
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani. h. 87
13
Fahriansyah, Antisofisme Socrates, h. 25
14
Lubis, Filsafat Ilmu. h. 7
5

melainkan pemikir. kebenaran itu tetap dan harus dicari. 15 Dalam


tulisan Plato yang berjudul Apologia, Socrates menerangkan bahwa
yang terutama adalah jiwa manusia. Jiwa lebih berarti dari pada
Kesehatan, kekayaan, kehormatan atau hal-hal lainnya yang tidak
sebanding dengan jiwa. Bagi Socrates tujuan tertinggi kehidupan
manusia adalah membuat jiwanya jadi sebaik mungkin, atau
dengan kata lain untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonia).
Dalam bahasa Yunani, eudaimonia berarti suatu keadaan objektif
yang tidak bergantung pada perasaan subjektif. Bagi bangsa
Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan: dalam arti “mempunyai
daimon yang baik. Plato dan Aristoteles mengakui bahwa
eudaimonia sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.
Pendapat Socrates yang terkenal ialah “keutamaan adalah
pengetahuan”, maksudnya ialah: perilaku baik timbul karena
pengetahuan. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya akan
berbuat baik. Kebaikan moralitas dan etika seseorang bersumber
dari pengetahuannya akan nilai-nilai universal dalam kehidupan.
Itulah sebabnya etika Socrates dikenal sebagai “intelektualisme
etis”.16
Dari pendirian Socrates bahwa keutamaan adalah
pengetahuan, ia menarik 3 kesimpulan:
a. Manusia tidak berbuat salah dengan sengaja. Ia berbuat salah
karena keliru atau ketidaktahuan.
b. Keutamaan bersifat universal.
c. Keutamaan dapat diajarkan kepada orang lain. 17
Seruan etis Socrates ditujukan pada kemampuan manusia
untuk berpikir menertibkan, meningkatkan dan mengubah dirinya.
Pengetahuan adalah kebajikan; orang yang sekedar tidak berpura-
pura saja terhadap cita-cita teoritis, tetapi sungguh-sungguh
mengetahui dan mengerti apa yang benar, karena ia telah
15
Johanes Hasibuan, Filsafat Aristoteles, Plato, Socrates. Resume Sosiologi (Riau:
Fisip Universitas Riau, 2017), h. 7
16
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani. h. 91
17
Ibid. h. 90-91
6

mengalami dan menyadari konsekuensi-konsekuensi akan berbuat


apa yang benar. Karena itu siapa yang tahu akan kebaikan dengan
sendirinya mesti dan harus berbuat yang baik. Ungkapan Socrates
yang sangat terkenal adalah "kenalilah dirimu sendiri". 18 Manusia
adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan
yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat
kondisi-kondisi eksistensinya. Socrates berkata dalam Apologia,
"Hidup yang tidak dikaji" adalah hidup yang tidak layak untuk
dihidupi.

D. Refleksi Teologi Pedagogis Pemikiran Filosofis Sokrates

Dari pemikiran filosofis Sokrates, ada beberapa hal yang dapat


menjadi sumbangan penting filsafat Socrates dalam berteologi, yaitu:
1. Metode dialektika sebagai metode berteologi. Melalui model
dialektika, maka proses berteologi akan menjadi lebih dinamis.
Karena proses berteologi akan dilakukan dengan bertanya dan
terus bertanya untuk menemukan hakekat terdalam dari pokok
teologi yang hendak dibahas. Pokok teologi akan dapat ditemukan
melalui proses dialog yang Panjang, baik dialog dengan teks-teks
kitab suci, tetapi juga dialog dengan masing-masing individu dalam
konteks mereka masing-masing. Sehingga dapat menghasilkan
teologi yang lebih kontekstual.
2. Proses berteologi dengan model dialektika akan mendorong
seorang belajar untuk berpikir secara cermat, untuk menguji coba
diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seseorang
guru tidak memaksa wibawanya atau memaksa gagasan-gagasan
atau pengetahuan kepada seorang siswa. Sebaliknya, seorang
siswa dituntut untuk mengembangkan pemikirannya sendiri dengan
berpikir secara kritis, ini adalah suatu metode untuk meneruskan
inteleknya dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaannya dan
kekuatan mental.

18
Lubis, Filsafat Ilmu. h. 7
7

3. Merujuk pada gagasan Sokrates, maka proses pendidikan


(termasuk pendidikan teologi), harus bertujuan untuk merangsang
penalaran yang cermat dan terus-menerus, serta disiplin mental
yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus
menerus dan standar moral yang tinggi. Hal ini terlihat dalam poin
ke-3 dari gagasan Socrates bahwa keutamaan adalah
pengetahuan, yaitu bahwa keutamaan dapat diajarkan kepada
orang lain. Proses pendidikan merupakan proses pencarian dan
pengajaran nilai-nilai kehidupan kepada orang lain. Bahkan
pendidikan merupakan bukti nyata bahwa keutamaan dapat
diajarkan kepada orang lain.
4. Proses berteologi berangkat dari kehidupan praktis manusia sehari-
hari. Nilai-nilai kehidupan justru ditemukan melalui perenungan,
pertanyaan, dialog dan pemaknaan atas kehidupan manusia setiap
hari. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses
pendidikan bersumber dari kehidupan praktis manusia yang
selanjutnya akan berguna bagi kehidupan praktis itu sendiri, melalui
penemuan nilai-nilai yang bersifat universal.
5. Perenungan Sokrates akan makna kebenaran, yang diperoleh
melalui proses dialog dengan orang lain, akan membuat kita lebih
menghargai nilai-nilai kebenaran yang dikandung dan diyakini oleh
orang lain tersebut, sehingga kita lebih memahami suatu nilai dari
berbagai perspektif, termasuk dari perspektif orang lain. Hal ini
akan sangat membantu ketika kita berteologi dalam konteks
masyarakat majemuk (seperti di Indonesia). Upaya dialog antar
umat beragama, terutama tentang isu-isu kemanusiaan,
kebenaran, keadilan dan kepedulian sosial, akan menghasilkan
keprihatinan dan tindakan aksi bersama, yang berangkat dari
kesepahaman melalui proses berdialog.
6. Sokrates sangat menjujung tinggi etika. Tujuan tertinggi manusia
adalah memiliki perilaku hidup yang baik, perilaku moral dan etik
yang bertanggung jawab. Dalam perspektif kekristenan hal ini
8

dapat dilihat sebagai konsekuensi yang terkandung dalam


panggilan menjadi Kristen. menjadi Kristen bukan terbatas pada
kehidupan memiliki agama secara formalitas semata-mata, namun
juga menghidupi prinsip-prinsip keagamaan tersebut dalam
kehidupan konkret. Hal ini dilakukan dengan memelihara dan
mengembangkan sikap moralitas yang baik dan bertanggung
jawab; baik bertanggung jawab kepada diri sendiri, kepada sesama
ciptaan (termasuk lingkungan), dan juga kepada Tuhan, Sang
Pencipta. Sikap moral dan etik yang bertanggung jawab merupakan
bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia, yang diciptakan
segambar dan serupa dengan Allah. Selain itu panggilan untuk
berperilaku baik kepada sesame manusia, merupakan tanggung
jawab orang percaya untuk melakukan hukum yang terutama
dalam Alkitab, yaitu: mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama.
7. Sikap hidup tanpa mempedulikan moralitas dan etika, akan menjadi
sikap hidup yang bertentangan dengan tujuan penciptaan dan
penebusan manusia. Tuhan Yesus menebus manusia, dari
keberdosaan mereka, sehingga setiap orang yang telah mengalami
penebusan tersebut, seharusnya bertanggung jawab untuk
membangun perilaku hidup mereka di atas moralitas yang baik,
sebagai ungkapan syukur atas penebusan dan keselamatan yang
telah diterimanya.
9

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Hasibuan, Johanes. Filsafat Aristoteles, Plato, Socrates. Resume


Sosiologi Riau: Fisip Universitas Riau, 2017.

Fahriansyah, Antisofisme Socrates, dalam Jurnal Al’Ulum Vol. 61 No. 3,


2014.

Lubis, Akhyar Yusuf . Filsafat Ilmu: Klasik hinga Kontemporer, (Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2016

https://id.wikipedia.org/wiki/Socrates

Anda mungkin juga menyukai