Anda di halaman 1dari 22

POKOK BAHASAN 5

ESKATOLOGI KHUSUS

5.1. Pengantar :

Eskatologi Khusus pada pokoknya merupakan teologi kematian. Refleksi atas


kematian dengan sendirinya menimbulkan pertanyaan sekitar “pengadilan” dan
“ganjaran”, yakni surga dan neraka, dan berhubungan dengan itu juga api pencucian.
Refleksi atas kematian merupakan refleksi di mana, kematian tak dapat dipikirkan tanpa
kebangkitan. Oleh karena hidup Kristiani merupakan partisipasi dalam hidup Kristus, maka
kita menyadari bahwa dalam kematian orang beriman, juga terlaksana misteri wafat dan
kebangkitan Kristus, dengan demikian refleksi tentang kematian harus berpikir juga tentang
kebangkitan. Konsekuensinya bahwa tema-tema tentang pengadilan (baik perorangan
maupun umum), surga, neraka, dan api pencucian dibahas dalam hubungan langsung dengan
kematian: menjadi bagian dari Eskatologi Khusus sebagai “teologi kematian”.

5.2. Teologi Kematian

Ada dua pertanyaan yang muncul, ketika orang berhadapan dengan fakta kematian:

1. Bagaimanakah orang mengalami iman dalam kematian?


2. Apakah kematian itu dalam cahaya iman?

Pertanyaan pertama, mengenai kematian sebagai pengalaman iman, merupakan


pertanyaan yang khas bagi teologi modern. Pertanyaan ini untuk sebagian besar disebabkan
oleh perhatian umum akan kematian sebagai pengalaman. (Ini terutama sejak penyelidikan
yang dilakukan oleh Elisabeth Kübler-Ross, serta ahli-ahli lainnya, mengenai orang-orang
yang – setelah dinyatakan mati secara klinis – denyut jantungnya terhenti dan otaknya tidak
dikirimi darah lagi - sempat direanimasi lalu diwawancarai mengenai apa yang telah mereka
alami pada saat kematian klinis itu).

Makna k e m a t i a n

Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab di sini:

1. Seberapa jauh kematian dapat menjadi suatu “pengalaman iman?”’


2. Apakah manusia aktif atau pasif dalam kematian?.

Kematian sebagai pengalaman iman.

Menanggapi pertanyaan pertama (Seberapa jauh kematian dapat menjadi suatu


“pengalaman iman?”) ada dua kelompok pengarang yang masing-masing memiliki pendapat
yang bertentangan dan kelompok ketiga yang menganut pendapat medium.

1. Kelompok pertama, berpendapat bahwa: kematian merupakan saat pengalaman iman


yang istimewa. Ketika meninggalkan dunia ini, manusia dengan paling jelas
mengambil sikap terhadap Allah. Saat yang dimaksudkan bukanlah suatu saat yang
terjadi di dalam waktu dunia ini, melainkan suatu saat metafisis, yakni saat manusia
beralih dari waktu dan ruang dunia ini ke alam baka. “Saat” itu tidak bisa disaksikan
oleh orang yang mengelilingi dia yang sedang menghadapi ajalnya dan tidak juga
boleh disamakan dengan sakrat maut, demikian dikatakan Ladislaus Boros.

2. Kelompok Teolog kedua menganggap kematian sebagai saat paling gelap, karena itu
paling sulit bagi iman – demikian Collopy dan Jüngel.

3. Kelompok teolog yang ketiga, termasuk di dalamnya Karl Rahner, mereka


mengatakan kematian harus dipandang sebagai pengakhiran hidup, dan oleh
karenanya merupakan situasi iman yang secara hakiki tidak berbeda dengan situasi
hidup yang lainnya. Sejauh menyangkut penghayatan iman, saat kematian itu saat
biasa, sama seperti semua saat kehidupan yang mendahuluinya.

Permasalahan ini berhubungan langsung dengan paham kematian itu sendiri.


Umumnya, tradisi Kristiani memandang kematian sebagai berpisahnya jiwa dari badan,
namun pandangan ini tidak bersifat dogma. Malah dengan memandang kematian sebagai
perpisahan antara jiwa dan badan, timbul kesan seolah-olah jiwa tidak membutuhkan badan.
Pendapat terakhir ini bertentangan dengan ajaran Gereja mengenai dua hal ini :

1. mengenai kebangkitan orang mati, sebab kebangkitan itu tidak perlu lagi jika
jiwa tidak membutuhkan badan;
2. mengenai berakhirnya hidup manusia peziarah yang terjadi dengan
kematian, sebab jika jiwa hidup terus, kematian bukan lagi akhir hidup.

Bila sesudah kematian, orang meneruskan hidupnya sebagai jiwa saja, kematian kurang
dianggap serius. Padahal bagi orang Kristiani, kematian ada arti dan nilai tersendiri sejauh
orang turut serta dalam wafat Kristus.

Kematian sebagai pengalaman iman, bukanlah masalah jiwa dan badan. Masalahnya
ialah : Sejauh manakah manusia itu beriman pada saat kematian?. Tentang hal ini, posisi
ketiga kelompok teolog di atas dapat memberi bantuan untuk kita.

Boros, memandang kematian sebagai saat manusia membuat keputusannya yang


terakhir, tidak menyangkal adanya kesatuan antara roh dan tubuh. Kematian dilihatnya dalam
keseluruhan perkembangan dunia – secara khusus menurut konsep Theilard de Chardin
(filsuf dan teolog Jesuit yang tersohor). Dalam evolusi alam semesta, di satu sisi terdapat
perkembangan ke arah kesempurnaan yang makin lama makin rohani, sedangkan di sisi lain
ada satu proses penghabisan energi. Gejala rangkap dua ini terlihat juga dalam hidup
manusia. Dalam kematian, manusia lahiriah menghilang seluruhnya, tetapi bersamaan dengan
itu berkembanglah manusia batiniah. Mengutip St. Paulus, Boros mengatakan: “Meskipun
manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari
sehari ke sehari” (2Kor 4:16).

Dengan melepaskan diri seluruhnya, manusia baru menemukan diri. Dan manusia
menemukan diri dalam penyerahan total kepada Allah. Itulah sebabnya baru dalam kematian,
bila sempat melepaskan diri seratus persen, manusia dapat mencapai pelaksanaan diri yang
sepenuh-penuhnya.

Karena itu, bagi Boros, pada “saat” kematian seluruh hidup manusia ibarat suatu film diputar
lagi di depan mata rohaninya, dan ia diberi kesempatan terakhir untuk memutuskan pro cinta
kasih (dengan menyerahkan diri dengan tahu dan mau demi yang lain) dan kontra egoisme
(dengan tidak menahan sedikit pun bagi dirinya sendiri), pro kebaikan dan kontra kejahatan,
pro Allah dan bukan melawan-Nya.(Banyak orang melihat tesis ini sebagai perkembangan
pandangan Rahner, tapi Rahner tidak setuju).

Rahner, melihat kematian bukan sebagai puncak, dan keputusan definitif dibuat
justru selama seluruh kehidupan yang menuju ke maut. Kita sendiri adalah ‘kitab hidup’
kita, dengan sepenuh diri kita sebagaimana kita jadi, dan hanya Allah-lah yang dapat
menampilkan itu. Malahan mungkin bahwa keputusan hidup yang terakhir dibuat sebelum
kematian biologis, demikian Rahner. Manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga
melaksanakan diri dalam tubuh. Akan tetapi, dalam pemenuhan diri ia mengatasi yang
jasmaniah, termasuk tubuhnya sendiri. Manusia mempergunakan yang fana untuk mencapai
yang baka, dan dengan demikian mengatasi yang fana. Justru karena Rahner menganggap
saat kematian pada dasarnya tidak berbeda dengan hidup manusia sebelumnya, maka
disangkalnya baik keistimewaan saat itu seakan-akan saat itu kehidupan manusia memuncak
maupun pendapat bahwa dalam kematian itu manusia sama sekali tak berdaya.

E. Jüngel, melihat kematian sebagai pengalaman yang pasif belaka: “Manusia tidak
berpartisipasi pada tindakan Allah yang mengakhiri hidup manusia sebab dalam hal ini
suatu kegiatan dari manusia berarti mendahului Allah, dan itu tidak boleh.”

G. Greshake, juga berpendapat bahwa Rahner memberikan terlalu banyak inisiatif


kepada manusia karena sama seperti kelahiran, begitu pula kematian terjadi pada manusia
tanpa kegiatan dari pihak manusia sendiri. Ia menyetujui pandangan Jüngel bahwa akhir
hidup yang dikerjakan oleh Allah harus dipandang sebagai anugerah.

Collopy, kendati ia setuju bahwa kematian harus diterima secara pasif, menurutnya
kematian tak dapat diterima sebagai anugerah sebab death is unthelogical, “sama sekali tanpa
resonasi terhadap iman atau perhatian teologis”. Dan “bila kematian dipandang sebagai
kegelapan radikal, eksistensi Allah sendiri sungguh-sungguh menjadi soal. Sebab, justru
kalau Allah ada, kata Maut, Allah tidak berarti bagi yang mati, tidak mempunyai arti yang
entah bagaimana dapat ditangkap, dilukiskan atau dimengerti. Karena itu, dalam kehancuran
pribadi manusia di dalam maut, iman sungguh dipersoalkan. Namun demikian, pada saat itu
juga tugas khusus teolog keluar, yakni tugas memperlihatkan bagaimana – di hadapan maut -
iman menjadi sesuatu yang secara empiris tak terlindung dan dari sudut manusia suatu
kemungkinan yang tidak dapat direncanakan. Maka, bagi Collopy, kematian bukanlah
pengalaman iman, melainkan penghalang yang paling besar bagi iman.

Keaktifan dan kepasifan manusia dalam kematian

Pertanyaan yang muncul dari diskusi di atas adalah: “apakah manusia aktif atau pasif dalam
kematian?. Atau bagaimanakah hubungan antara aktif dan pasif?.

1/. Mati berarti jatuh, tetapi … ke dalam tangan Allah Bapa.

Menurut Rahner, kematian harus “dijalankan dan dideritakan sekaligus”; dan


dengan demikian ditunjukkannya bahwa segi aktif dan pasif sama-sama ada. Dengan
memandang kematian bukan secara biologis melainkan secara antropologis, Rahner
membandingkannya dengan gejala antropologis yang lain, yakni pengetahuan.
Di bidang pengetahuan pun ada unsur aktif, yakni berpikir, menalar, menyimpulkan,
tetapi selalu dengan berpangkal pada unsur pasif, yakni pengalaman indrawi ( pancaindra
“kena” atau “tersentuh” ). Begitu pula kematian harus dipandang sebagai kesatuan dari unsur
pasif dan aktif: kematian itu “diderita sebagai person”. “Diderita” sebab Rahner memandang
kematian sebagai puncak pasivitas manusia yang menyangkal seluruh eksistensinya. Waktu
meninggal, paling pasiflah manusia, paling menderita. Namun demikian, ia menderita sebagai
“person”, artinya ada segi “aktif”. Aktivitas manusia dalam kematian terletak dalam
pengharapannya akan tindakan Allah. Waktu mati, berakhirlah aktivitas sebab manusia
meninggal sebagai kesatuan tubuh dan jiwa. Kalau badan berhenti, jiwa juga berhenti. Oleh
karena itu, secara hakiki kematian berarti kegelapan.

“Mati berarti jatuh, dan hanya dalam iman kejatuhan ini dapat diartikan sebagai
jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup, yang disebut Bapa.”

Sikap iman ini telah dibina sejak manusia hidup dan mengkristal dalam kematian. Setiap
perbuatan moral yang memilih yang lebih tinggi-luhur dan “jauh’, sambil melepaskan yang
lebih dekat dan menarik, merupakan antisipasi kematian, demikian St. Ignatius dari Loyola.

2/. Mati berarti bangkit?

Greshake dan banyak teolog modern lain memandang kematian sebagai kebangkitan
individual. Mereka tidak menerima adanya “jarak” antara kematian dan kebangkitan badan.
Dengan mati, terjadi perubahan tertentu dalam relasi antara jiwa dan badan; dan justru
perubahan itulah yang disebut kebangkitan, kata mereka.

Perubahan itu adalah sebagai berikut:

Dalam hidup di dunia ini – yang belum diubah oleh kematian – roh ditentukan oleh
badan, khususnya sejauh badan membuat roh kita (dalam derajat tertentu) terikat pada waktu
dan tempat, dan dibatasi olehnya. Namun, dalam kebangkitan, terwujudlah waktu dan tempat
yang baru. “Langit yang baru dan bumi yang baru” (Why 21:1) adalah dunia material
seluruhnya, yang diangkat ke dalam roh. Oleh karena itu, tubuh yang bangkit disebut
“rohaniah” (1Kor 15:44), “baka” (ay. 53), “tak dapat binasa” (ay. 42, 53-54). Sungguh
jasmani, tetapi sekaligus ungkapan roh dengan sepenuhnya. Dalam hidup kebangkitan, materi
tidak lagi berarti kesementaraan dan kefanaan. Dalam kebangkitan, tubuh mencapai kebakaan
justru karena tubuh menjadi ekspresi hidup baka dalam kesatuan dengan Allah. Paham
kebangkitan ini bukan sesuatu yang baru, tetapi bahwa kematian tidak lagi terpisahkan dari
kebangkitan. Tidak ada “situasi antara” (yakni antara kematian orang perseorangan dan
kebangkitan).

3/. “Situasi antara” dan “jiwa lepas”.

Salah satu masalah yang ada dalam dokumen Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman
tahun 1979 tentang Eskatologi adalah “situasi antara”. Paus Benediktus XII, menetapkan
bahwa kebangkitan badan tidak terjadi segera sesudah kematian. “Situasi antara” ini
‘diandaikan’, dan bukan ‘dinyatakan’ sebagaimana dianggap umum. Yang mau dinyatakan di
sini adalah bahwa “semua orang yang ada di surga dianugerahi tatapan yang membahagiakan
(visio beatifica)1 : mereka boleh memandang Allah. Berbeda dengan Paus Yohanes XXII
yang menganggap visio beatifica baru dianugerahkan sesudah pengadilan terakhir, bila
Kristus menyerahkan kerajaan kepada Bapa (1 Kor 15:24) dan pelaksanaan kebahagiaan yang
penuh itu baru dimungkinkan. Keduanya yakin bahwa jiwa sesudah kematian telah masuk
surga, namun keyakinan ini bukanlah dogma melainkan pandangan teologis dalam rangka
usaha teologi Abad Pertengahan untuk memperdamaikan Eskatologi individual dengan
Eskatologi umum.

Pandangan ini berkaitan dengan anggapan bahwa “jiwa sesudah kematian manusia
masih hidup terus dalam keadaan lepas dari badan (anima separata). Namun, gagasan ini
sulit diperdamaikan dengan gagasan yang cukup resmi diajarkan oleh Gereja dalam Konsili
(“ekumenis” XV) di Viene tahun 1313, tentang ‘jiwa yang secara intrinsik berhubungan
dengan tubuh, yakni bertugas “membentuk” tubuh (forma corporis), yakni mempersatukan,
menggerakkan, menghidupkan tubuh. Kedua ajaran ini bukan merupakan dogma karena
hanya berupa pendapat teologis. Kedua pandangan ini dipengaruhi oleh pertimbangan
filosofis, dimana gagasan forma corporis lebih meyakinkan secara filosofis daripada gagasan
anima separata – dimana manusia adalah kesatuan jiwa-badan. Gereja juga mengenal
pandangan terhadap jiwa sebagai “bentuk yang berdiri sendiri” (forma subsistens) namun

1
Sebagai catatan tambahan: Menurut dokumen-dokumen Magisterium, jelas bahwa jiwa-jiwa yang
terpisah dari raganya, mengutip konstitusi Paus Benediktus XII, Benedictus Deus, “sebelum mengambil kembali
raga mereka dan sebelum penghakiman umum, ada bersama Kristus di surga, dalam kerajaan firdaus surgawi,
bergabung dengan para malaikat suci, dahulu, sekarang dan kelak” (The Christian Faith, 685). Jiwa-jiwa ini
dikatakan menikmati penglihatan akan Allah dan “benar-benar berbahagia dan memiliki kehidupan dan istirahat
kekal abadi”. Namun, karena mereka masih terpisah dari raga yang bentuknya atau “forma”-nya adalah jiwa
tersebut, jiwa-jiwa yang terpisah itu hidup, menurut St. Thomas Aquinas, dalam suatu eksistensi yang “tak
sewajarnya”. Ingatlah bahwa bagi Thomas persatuan raga dan jiwa manusia membentuk pribadi. Jadi, jiwa yang
terpisah dari raga bukan pribadi; tidak dapat berpikir dan bertindak seperti dahulu dalam hidup ini. Dan, dapat
ditambahkan, sebenarnya raga yang mati bukanlah raga, melainkan “mayat” atau “jenazah”. Perpisahan raga
dan jiwa, meskipun tak terhindarkan, tidaklah sesuatu yang wajar baik untuk raga, maupun untuk jiwa. Maka
Thomas menulis: “Jelaslah bahwa jiwa dari kodratnya bersatu dengan raga, tetapi terpisah dari raga melawan
kodratnya sendiri dan per accidens. Maka dari itu, jiwa yang terpisah dari raga, selama belum bersatu dengan
raga, adalah kurang sempurna” (Super primam epistolam ad Corinthians, c. 15, lectio 2, n. 924). Memang,
Thomas menggunakan ketidaklengkapan jiwa manusia yang terpisah dari raga sebagai argument untuk perlunya
kebangkitan.
Karena keadaan kurang sempurna, tak sewajarnya pada jiwa yang terpisah ini sukar dipertemukan
dengan kebahagiaan yang diyakini sempurna pada orang yang diselamatkan, maka beberapa ahli teologi dewasa
ini, seperti Karl Rahner, mengatakan bahwa keadaan antara itu bukan dogma melainkan kerangka konseptual
yang digunakan untuk merumuskan kepercayaan-kepercayaan tertentu mengenai hidup di akhirat. Memang,
pertanyaan-pertanyaan Magisterium tentang hidup di akhirat, seperti misalnya ajaran-ajaran Konsili Lyons,
Konsili Florence, dan Paus Benediktus XII, mengasumsikan bahwa ada keadaan antara itu. Persoalannya ialah
apakah mereka bermaksud mendefinisikan keadaan antara itu sebagai ajaran iman.
Beberapa teolog berpendirian bahwa mereka tidak mempunyai maksud itu; ajaran-ajaran mereka
semata-mata berkenaan dengan ganjaran dan hukuman yang langsung terwujud sesudah kematian dan bukan
dengan keadaan antara. Sebagaimana dikatakan Rahner: “Sama sekali tidak pasti bahwa ajaran tentang keadaan
antara itu lebih dari suatu kerangka intelektual saja atau suatu cara berpikir. Oleh karenanya, apa pun yang
diberitahukan kepada kita oleh ajaran itu (leps dari pernyataan-pernyataan bahw bentuk akhir sejarah kebebasan
pribadi manusia mulai melalui kematin, dan raga termaktub dalam bentuk akhir ini) tidak niscaya harus menjdi
bagian dari eskatologi Kristen sendiri.. Hal ini dapat dikatakan secara lain: Tidak ada orang yang ada dalam
bahaya membela sebuah bidaah apabila orang berpendirian bahwa satu tindak penyempurnaan pribadi manusia
secara menyeluruh dalam ‘raga’ dan ‘jiwa’ terjadi langsung sesudah kematian, dan bahwa kebangkitan badan
dan penghakiman umum terjadi ‘sejajar’ dengan sejarah dunia dalam waktu; dan bahwa keduanya bertepatan
dengan jumlah keseluruhan penghakiman-penghakiman khusus laki-laki dan perempuan perseorngan. (Keadaan
Antara”, Theological Investigation, 17:14-15). Dikutip dari PETER C. PHAN, 101 TANYA JAWAB TENTANG
KEMATIAN DAN KEHIDUPAN KEKAL, Kanisius, Yogyakarta, 102-104.
dalam pengertian “jiwa manusia bersifat rohani” – inilah yang disebut dengan istilah forma
subsistens.

4/. “Kebangkitan” : suatu istilah keselamatan.

Pelbagai spekulasi tentang “situasi antara” dapat diatasi dengan menerima adanya
kebangkitan dalam kematian. Namun perlu diperhatikan di sini bahwa istilah “kebangkitan”
di sini merupakan istilah keselamatan, karena arti dan maknanya adalah “kesatuan dengan
Allah”, hidup ilahi yang sebagai demikian berarti hidup kekal yang tak kenal mati (bdk. Yoh
5:24). Karena itu, kebangkitan orang mati selalu menyangkut keselamatan. Orang berdosa –
dalam pandangan Alkitab – sebetulnya tidak bangkit. Gagasan bahwa orang jahat pun bangkit
baru muncul menjelang jaman Kristiani; dan hal ini merupakan pengaruh dari filsafat
Yunani, dan menjadi bahan diskusi antara kaum Farisi dan Saduki (lih. Mrk 12:18-27; Kis
23:6 dst). Bagi Santo Paulus, kebangkitan berarti partisipasi dalam kebangkitan Kristus (lih.
1Kor 6:14; 2 Kor 4:14; Rm 8:11).

Kebangkitan badan bukan suatu proses yang begitu saja dapat dihubungkan dengan
kematian, melainkan merupakan partisipasi penuh pada karya keselamatan Allah yang
terlaksana dalam Kristus. Rumusan “kebangkitan dalam kematian”, sebenarnya rumusan
untuk mengungkapkan apakah surga itu, sambil mengingat sifat badaniah manusia. Maka dari
itu, sebetulnya neraka harus dirumuskan dengan cara yang serupa. Kalau surga itu
“kebangkitan dalam kematian”, maka neraka adalah “tiada kebangkitan dalam kematian”.
Barangkali istilah “kematian yang kedua” sebagaimana neraka disebut dalam Why 2:11;
20:6. 14; 21:8, harus dipikirkan sebagai korelatif dengan “kebangkitan dalam kematian”.

K e m a t i a n dan d o s a.

Kematian mewarnai seluruh hidup manusia.2

Sebuah lagu tua Jerman mengatakan: “di tengah kehidupan kita dikelilingi kematian”.
Benar, kematian bukan sesuatu yang hanya mengakhiri hidup kita, bukan saja saat terakhir
hidup kita, melainkan seluruh hidup kita sejak saat pertama sudah diwarnai oleh kematian,
dan mendapat sutu kualitas khusus oleh karena adanya kematian. Sejak dari saat pertama
hidup kita adalah hidup yang berakhir, yang akan bermuara ke dalam jurang gelap, kematian.
Cepat atau lambat kematian akan menutup acara hidup kita. Bahwa kita akan mati adalah
kenyataan yang paling pasti di dalam hidup kita. Hidup kita di dunia bukan hidup tetap yang
tidak berakhir, melainkan hidup yang berlangsung hanya selama jangka waktu tertentu, yang
tidak begitu lama. Kenyataan kematian ini mewarnai seluruh hidup kita.

Kalau kematian mengakhiri hidup kita, maka ia menimbulkan pertanyaan mengenai


arti hidup kita. Apakah kematian itu hanya mengakhiri dan membinasakan hidup manusia
ataukah ia mempunyai arti yang lebih positif?. Misalnya dalam arti tertentu kematian
menyempurnakan atau paling sedikit menyelesaikan hidup kita. Sebelum kematian kita
bersifat sementara, kita masih bisa mengubah diri dan membentuk diri serta hidup secara
baru. Baru dengan kematian kita, hidup kita memperoleh bentuknya yang definitip.
Bagaimanapun juga, pendapat mengenai kematian menentukan hidup kita. Kita akan
menjalankan hidup kita atas cara yng berbeda-beda, kalau pandangan tentang kematian dan
2
Dr. G. Kirchberger, SVD, Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia, Nusa Indah Ende, Flores,
1985, 219ss.
apa yang terjadi dalam kematian itu berbeda-beda. Maka sangat berarti dan penting bagi kita
untuk mengerti dengan lebih baik kematian dan artinya dalam terang tradisi Kristen.

Kematian sebagai upah dosa.

Manusia mengalami kematian sebagai sesuatu yang gelap dan menakutkan, sebagai
ancaman. Atas dasar pengalaman ini, tradisi Kristen yakin, bahwa kematian yang gelap itu
tidak berasal dari kehendak Allah pencipta yang baik, tidak diciptakan Allah melainkan
berasal dari dosa, merupakan akibat dosa manusia. Karena itu, Rasul Paulus berkata:

“Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh
dosa itu juga maut, dan maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua
orang telah berbuat dosa” (Rm 5:12).

Paulus menyebut maut sebagai “upah dosa” (Rm 6:23; lih. 1:32; 6:21; 1Kor 15:56). “Dosa
memimpin kepada kematian” (Rm 6:16). Dengan nyata Paulus melihat suatu hubungan sebab
akibat antara dosa dan maut. Maut ada didalam dunia karena dosa.

Untuk mengerti perkataan itu, kita perlu membedakan kematian biologis sebagai batas
hidup manusia yang tidak bisa tidak ada dan caranya kita mengalami kematian. Kematian
sebagai batas hidup manusia tidak merupakan akibat dosa, melainkan harus ada, entah kita
berdosa atau tidak. Keadaan hidup di dunia ini bersifat demikian, bahwa ia mesti berakhir, ia
mempunyai batas alamiah. Dan hidup kita diciptakan Tuhan secara demikian.

Akan tetapi dosa mengubah cara kita mengalami batas itu. Oleh karena dosa manusia
telah membalikkan hidupnya. Ia tidak lagi menerima hidup sebagai hadiah dari tangan Allah
untuk menjalankannya penuh tanggungjawab terhadap Tuhan dalam sikap cinta kasih akan
sesamanya, melainkan berdosa, “hidup untuk dirinya sendiri” (bdk 2 Kor 5:15). Kita ada
dalam kebutaan dosa menyangka bahwa kita memiliki hidup, dan bahwa kita harus
membangun dan menjamin hidup kita dengan daya kekuatan sendiri. Terhadap sikap ini
kematian menjadi ancaman fundamental. Karena bagi manusia yang mau membangun dan
menjamin hidupnya, kematian merupakan suatu kenyataan yang membuktikan kesia-siaan
usahanya sepanjang umur. Seluruh bangunan yang didirikan manusia itu runtuh dan binasa,
karena ia tidak sanggup untuk memegangnya di dalam kematian. Kalau kita menjalankan
hidup dalam sikap dosa, yaitu mau memiliki, memperoleh, merebut, maka kematian
merupakan ancaman fundamental, karena kematian akan mengosongkan tangan kita secara
radikal dan seluruh identitas yang melaksanakan diri sebagai “mau memiliki” terancam oleh
kematian, karena didalam kematian, seluruh cita-citanya dihancurkan sama sekali.

Berbeda sekali, kalau seluruh hidup dijalankan dalam sikap terbuka terhadap Allah,
menerima hidup sebagai hadiah, memberikan kembali hidup itu ke dalam tangan Tuhan
dengan penuh syukur dan terima kasih. Dalam sikap demikian, kalau Allah dialami sebagai
pemberi hidup yang mencintai kita dan menjamin hidup kita, ketakutan akan kematian akan
hilang. Maka sungguh benar, bahwa maut sebagai kenyataan gelap yang mengancam,
merupakan akibat dosa.
Konsili Trente3 mengajarkan bahwa maut merupakan akibat dosa : Adam
“mendatangkan pada dirinya murka dan geram Allah, dan oleh sebab itu maut”. Dan lagi :
“Adam meneruskan maut”. Namun demikian, penting dicatat bahwa hilangnya keadaan tak-
dapat-mati itu menurut Konsili yang sama merupakan hilangnya suatu “anugerah khusus”.
Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan begitu saja bahwa andaikata manusia tidak berdosa,
ia akan hidup terus, seakan-akan demi kodratnya ia tak dapat mati, bukan demikian halnya.
Kebebasan dari dosa bukan hal kodrat melainkan soal rahmat. Begitu pula dalam hal
kematian, harus dibedakan antara kodrat dan rahmat. Kesimpulan yang dapat ditarik dari
ajaran Trente hanyalah bahwa andaikata manusia pada “awal mula” tidak dirahmati dengan
anugerah khusus, manusia akan mati, juga seandainya tidak ada dosa. Kematian itu soal
kodrat insani, dan sebagai demikian menyangkut hubungan antara jiwa dan badan sebab demi
kodratnya ia merupakan kesatuan jasmani-rohani.

Kegelapan maut tak teratasi tanpa iman.

Dalam melaksanakan diri, manusia selalu tergantung pada tubuh, juga dalam
kematian. Bila manusia dianugerahi rahmat untuk berhubungan pribadi dengan Allah,
hubungan itu mempunyai arti bagi manusia seluruhnya, jiwa raganya. Dan bila dosa asal
dilihat sebagai ketidakmampuan asasi untuk berhubugan pribadi dengan Tuhan, tidaklah
mengherankan bahwa tidak mampunyai manusia itu ada artinya bagi kematian manusia. Arti
itu terletak dalam hal ini, bahwa kematian memang secara hakiki ( demi kodrat manusia )
bersifat kegelapan, tetapi akibat dosalah bahwa manusia tidak mampu mengatasi kegelapan
itu dalam penyerahan kepada Allah. Jadi akibat dosa bukanlah kegelapan kematian,
melainkan tidak teratasinya kegelapan itu. Akan tetapi Allah sendiri mendatangi manusia
dalam Kristus, dan hanya karena itu manusia dapat “mati dalam Tuhan” (Why 14:13; lih
1Tes 4:16; 1Kor 15:18). Manusia dapat mengatasi kegelapan kematian (hanya) karena
Kristus menerima kegelapan itu: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi
dosa” (2 Kor 5:21).

Karena iman, orang mati pun tetap bersatu dengan Allah.

Yang “mati dalam Tuhan”, yaitu orang yang – karena imannya – sudah dalam hidupnya
berada “dalam Kristus”. Semua yang telah dibabtis dalam Kristus, kata Rasul Paulus, telah

3
Konsili Trente (1545-1563) diprakarsai oleh Paus Paulus III untuk menanggapi kebutuhan yang amat
besar untuk membaharui diri. Konsili ini diadakan di kota Trente, Italia Utara, dan dianggap oleh Gereja Katolik
sebagai Konsili Ekumenis yang kesembilan belas. Konsili yang merupakan konsili kontra-reformasi ini
menjelaskan ajaran Gereja dan membaharui disiplin hidupnya. Ada tiga periode pertemuan. Delapan pertemuan
yang pertama (1545-1547) membicarakan masalah-masalah besar yang diajukan oleh para reformator seperti
hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi, dosa asal, pembenaran, dan sakramen (lih. DS 1500-1630). Konsili ini
berhenti karena ketegangan antara Raja Karolus V dengan Paus Paulus III dan baru dibuka lagi pleh Paus Yulius
III (1551-1552). Yang dihasilkan dalam periode kedua yang meliputi pertemuan kesembilan sampai keempat
belas adalah dekrit mengenai ekaristi, sakramen tobat, dan pengurapan orang sakit ( DS 1635-1719). Dengan
adanya pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa pangeran melawan Raja Karolus V, konsili dihentikan
lagi dan akhirnya bersidang lagi di bawah Paus Pius IV pada tahun 1562-1563. Pertemuan kelima belas sampai
kedua puluh lima merumuskan ajaran mengenai ekaristi, sakramen tahbisan, perkawinan, dan api penyucian.
Hal-hal yang berkaitan dengan disiplin meliputi “forma” perkawinan, indulgensi, perlunya daftar buku-buku
yang harus dilarang dan sejumlah pembaruan bagi Gereja (lih. DS 1725-1861). Keputusan-keputusan Konsili
Trente yang disetujui oleh Paus Pius IV pada tahun 1564 (lih. DS 1862-1870) membeikan landasan yang kuat
dan jelas bagi ajran teologi, pembaruan kelembagaan dan rohani dalam Gereja Katolik selanjutnya. (Conf. Ibid.,
161-162).
dibabtis ke dalam kematian-Nya (Rm 6:13). Dan kematian Kristus “adalah kematian terhadap
dosa”. Karena itu, kita pun yang percaya kepada-Nya “telah mati bagi dosa” (Rm 6:10-11).
Ini tidak berarti bahwa kita tidak usah mati lagi, tetapi bahwa dosa tidak berkuasa lagi karena
iman. Akan tetapi, kegelapan kematian tetap ada juga karena kematian sebagai akibat dosa
menudungi cahaya Allah. Namun demikian, tetap adanya kegelapan itu tidak dapat
memisahkan manusia dari Allah jika manusia sudah dipersatukan dengan Allah dalam iman.

A k h i r H i d u p.

Karena kematian merupakan akhir hidup, Gereja menekankan bahwa dengan


kematian tidak ada lagi kemungkinan untuk bertobat dan mengumpulkan pahala. Maksud
pernyataan ini ialah bahwa manusia mengambil keputusan definitive mengenai hidupnya
bukan sesudah hidup di dunia ini, melainkan selama hidupnya di sini: “Barangsiapa malu
karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa
ini, Anak Manusia pun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan
Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus” (Mrk 8:38 dst, lih juga Mat 10:33; Luk 9:26;
12:9).

Arti hidup manusia ditentukan dunia ini. Kematian berarti penyelesaian “pengembaraan”
manusia (lih Ibr 11:13; Mzm 39:13; 1 Ptr 1:1; 2:11). Dengan mati, hidup manusia berakhir.
Dengan “meninggalkan dunia”, manusia melakukan tindakannya yang terakhir. Akan tetapi,
seberapa jauh tindakan yang terakhir itu juga merupakan penyelesaian adalah pertanyaan
pokok mengenai kematian.

Bagaimanapun juga hidup akan diakhiri dan (harus) diselesaikan menurut arah dan dinamika
yang terletak di dalamnya. Hal itu tidak berarti bahwa manusia menyelesaikan hidupnya
menurut suatu mekanisme. Malah tidak disangkal kemungkinan bahwa penyelesaian hidup
dapat berarti pemberian orientasi baru kepada hidup, yakni suatu pertobatan. Apakah
kematian akan menjadi kebangkitan atau kehancuran total, hal itu tergantung dari orientasi
dasar hidup manusia. Dan, oleh karena itu, yang menentukan dalam kematian adalah rahmat
atau dosa, masing-masing dalam arti: hubungan dengan Allah untuk hidup (rahmat) atau
penolakan total terhadap kebahagiaan ilahi (dosa).

Kepercayaan yang penuh akan cinta Allah sebagai pemberi hidup membangkitkan
harapan, bahwa kematian itu bukan kata terakhir dalam dialog cinta antara Allah dan
manusia, melainkan hanya merupakan satu pintu yang melaluinya manusia memasuki suatu
fase baru dari kehidupannya: “bagi orang beriman hidup hanyalah diubah, bukanlah
dilenyapkan”.

5.3. Teologi Salib.

“Kita diselamatkan dalam pengharapan”( Rm 8:24). Pengharapan kita bukan tak


berdasar sebab dasarnya ialah wafat dan kebangkitan Kristus.. Karena itu juga, berhadapan
dengan kematian menjadi jelas bahwa inti sari iman Kristiani ialah wafat dan kebangkitan
Kristus sebagai peristiwa penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Kristus membebaskan
manusia dari kematian berkat wafat dan kebangkitan-Nya : wafat Kristus adalah solidaritas
Allah dengan manusia sampai ke dalam kematian, dan dalam kebangkitan Kristus kesatuan
Allah dengan manusia itu dibawa kepada kepenuhannya. Hubungan antara wafat dan
kebangkitan Kristus diungkapkan Paulus secara eksplisit dalam Flp 2:9 bila mengatakan
bahwa peninggian Yesus oleh Bapa dalam kebangkitan itu disebabkan oleh ketaatan-Nya
kepada Bapa sampai mati. Hubungan wafat-bangkit yang (secara implisit) terdapat juga
dalam banyak teks lain (sept 1 Kor 15:3-5) dapat dirumuskan dalam 3 tesis sebagai berikut:

1. Hubungan antara wafat dan kebangkitan Kristus adalah hubungan pribadi


antara Kristus dengan Bapa.

Tanpa kebangkitan Kristus, kematian sebetulnya tak dapat dipikirkan sebagai


penyelesaian hidup. Dan tanpa hubungan pribadi antara Putra dan Bapa, tidak ada hubungan
antara wafat dan kebangkitan Kristus. Eskatologi Kristiani pada hakikatnya bersifat teologi,
bukan filsafat. Dan sebagai teologi, titik pangkal Eskatologi bukan kodrat melainkan rahmat.
Oleh karena itu, Eskatologi Kristiani tidak berpangkal pada “hakikat” kematian tetapi pada
wahyu Allah dalam wafat dan kebangkitan Kristus sebagai suatu peristiwa yang unik, tiada
duanya. Peristiwa unik ini mendapat artinya dari hubungan Kristus dengan Allah Bapa:
dalam kebangkitan Kristus, Allah mewahyukan diri sebagai Allah keselamatan, dan dari
cahaya kebangkitan itu juga kematian mendapat artinya.

2. Wafat Kristus berarti keterbukaan Kristus bagi tindakan keselamatan Allah


Bapa.

Misteri Yesus Kristus sebagai Sang Allah-Manusia memang salah satu misteri paling
besar, dan misteri ini harus diteruskan sampai dalam kematian. Memang benar bahwa Allah
tidak dapat mati, dan bahwa kodrat insani Yesus harus dibedakan bukan hanya dari kodrat
ilahi-Nya melainkan juga dari kepribadian-Nya yang ilahi namun tidaklah benar mengatakan
bahwa Kristus hanya wafat menurut kodrat insani-Nya, seolah-olah kodrat itu tinggal di luar
diri pribadi Kristus. Kodrat dan pribadi tidak begitu saja dapat disejajarkan : “kodrat”
menyangkut “apa”, sedangkan “pribadi” menyangkut “siapa”. Misteri inkarnasi berarti bahwa
Allah (Putra, Sabda) – tanpa kehilangan kodrat ilahi-Nya – melaksanakan diri secara insani,
dalam bentuk kodrat manusia, maka dalam bentuk yang terbatas, bahkan dalam kegelapan
maut. Jadi, kematian Kristus itu kena pada Allah. Dengan demikian, sudah dikatakan bahwa
misteri kematian Allah hanya mungkin dalam misteri Trinitas. Yang mati adalah Allah Putra,
tetapi dalam penyerahan total kepada Bapa. Dan justru dalam penyerahan total kepada Bapa
dalam maut memungkinkan keadaan Putra sebagai Putra: “Aku datang dari Bapa dan Aku …
pergi kepada Bapa” (Yoh 16:28).

Keluar dari Bapa, kembali kepada Bapa, demikianlah hidup putra yang tidak mengerjakan
sesuatu dari diri-Nya sendiri (Yoh 5:19), tetapi seluruhnya hidup dari Bapa yang mempunyai
hidup dalam diri-Nya sendiri (Yoh 5:26). Dalam eksistensi insani, khususnya situasi manusia
berdosa, hal ini berarti bahwa Putra hanya dapat hidup kalau diberikan hidup oleh Bapa
dalam kekosongan maut. Hanya karena Putra “mengosongkan diri-Nya sendiri” (Flp 2:7), Ia
mampu menerima hidup dari Bapa

Pada dasarnya, kematian Yesus adalah pengungkapan ketergantungan total pada Bapa.
Karena itu, dengan tepat Yohanes menyebut wafat Yesus itu “pergi kepada bapa” (Yoh
14:28; 6:28). Pengarang surat Ibrani mengungkapkannya secara triniter demikian: “Kristus
oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri kepada Allah” (Ibr 9:14). Kekosongan
maut, tanda dosa itu, oleh Kristus dijadikan ungkapan ketaatan total: “taat sampai mati,
bahkan mati di kayu salib” (Flp 2:8). Yang sebetulnya tanda dosa, sekarang menjadi tanda
rahmat. Dengan demikian, maut menjadi hidup. Kematian sebagai penyerahan total Putra
kepada Bapa ditanggapi dengan penerimaan Putra oleh Bapa dalam kebangkitan. Bukan
Kristus sendiri yang “menyelesaikan” penyerahan-Nya kepada Bapa, melainkan Bapa-lah
yang menyelesaikannya dengan memahkotai penyerahan itu dalam kemuliaan kebangkitan.
Dengan dibangkitkannya Kristus oleh Bapa, persembahan Kristus dibawa sampai
kepenuhannya: “Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar taat dari apa yang telah diderita-
Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi
bagi semua orang yang taat kepada-Nya” (Ibr 5:8-9).
3. Kebangkitan: tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus.

Kitab Suci Perjanjian Baru mengatakan bahwa Yesus “dibangkitkan”; peristiwa


dilihat “dari atas”, sebagai anugerah dari Allah: Allah (Bapa) membangkitkan Putra-Nya dari
antara orang mati. , Manusia tidak bisa mengerti kebangkitan dengan berpangkal pada
eksistensinya. Kebangkitan hanya bisa dimengerti sebagai rahmat Allah. Dan Kristus-lah
rahmat Allah itu sejauh Ia bersatu dengan mnusia maupun Allah:

-. Dalam kematian-Nya Yesus bersatu dengan manusia.


Kristus dibangkitkan “dari antara orang mati”. Ini berarti bahwa Ia berada di antara
mereka, solider dengan mereka, senasib dan sepenanggungan. Rahmat Allah memang
dimaksudkan untuk semua orang sebab bersama dengan Kristus, Anak-Nya, Allah
Bapa menerima semua orang yang bersatu dengan Kristus. Dan justru (serta hanya)
karena Kristus solider dengan orang mati, bersatu dengan mereka, kebangkitan-Nya
pun mempunyai akibat bagi mereka. Akibatnya, yaitu merekapun diselamatkan. Yang
diterima oleh Bapa bukan hanya Kristus, melainkan semua orang yang dalam
kematian bersatu dengan Kristus.

-. Dalam kematian-Nya Yesus bersatu dengan Allah.


Fakta pembangkitan Yesus oleh Allah Bapa membuat umat Kristen purba
berkesimpulan bahwa juga dalam kematian-Nya Yesus bersatu dengan Allah. Paulus
menafsirkan kematian Yesus sebagai “ketaatan”, yakni kesatuan dalam kegelapan,
kesatuan dalam situasi keterpisahan.

Kematian sebagai akibat dosa menampakkan hakikat dosa: dengn berdosa, manusia
menolak Allah. Dan dalam kematian jelaslah bahwa otonomi yang melawan Allah
adalah otonomi palsu. Pada saat kematiannya, manusia tidak mempunyai dasar lain
bagi otonominya daripada hidup yang pada saat itu diambil daripadanya. Karena
menolak Allah, manusia harus mati tanpa Allah. Dan justru kematian seperti itulah
yang rela diderita oleh Yesus. Dengan demikian, genaplah yang dikatakan Kitab
Suci :”Ia akan terhitung di antara orang-orang durhaka” (Mrk 15:28 = Yes 53:12).

Kristus menderita kematian orang berdosa; akan tetapi sekaligus dalam kematian itu,
Ia bersatu dengan Allah. Paradoks antara kematian sebagai keterasingan dari Allah di
satu pihak dan kematian sebagai kesatuan dengan Allah dalam ketaatan di lain pihak
berarti wafat sebagai penebusan umat manusia. Arti keselamatan yang ada pada wafat
Kristus tidak menjadi jelas dari kematian itu sendiri, tetapi baru dari kebangkitan-
Nya. Kesatuan dengan Allah yang diwahyukan dalam kebangkitan itu dipahami
sebagai arti yang sesungguhnya dari wafat Kristus. Jadi, kematian Kristus merupakan
peristiwa keselamatan bagi kita justru karena – dan hanya sejauh – dalam kematian-
Nya itu Yesus menghayati kesatuan-Nya baik dengan manusia maupun dengan Allah.
5.4. Pengadilan dan Akibat-akibatnya.

Menurut ajaran iman Kristiani yang tradisional, ketika orang mati,jiwanya terpisah
dari badan dan ketika itu juga jiwanya diadili, dan sesudah “pengadilan perseorangan” –
yang dibedakan atas pengadilan umum atau terkhir - ini jiwa akan pergi ke surga, neraka
atau api penyucian. Gagasan mengenai pengadilan ini disebut dalam syahadat4 baik dalam
syahadat Para Rasul5 maupun Syahadat Konsili Nikaia/Nicea-Konstantinopel: “Ia akan
datang mengadili orang hidup dan mati”; tanpa menyebut ke mana perginya jiwa setelah
pengadilan itu, kecuali “kebangkitan badan dan hidup kekal”.

Pengadilan.

Ada dua segi yang perlu dibedakan dalam gagasan pengadilan ini, yakni:
“Allah/Kristus sebagai Hakim, dan manusia yang bertanggungjawab atas hidupnya”. Di
samping itu, juga perbedaan antara “pengadilan umum dan pengadilan individual”.

*. Allah/Kristus sebagai Hakim:

Gagasan ini berasal dari pandangan Israel bahwa YHWH membela umat-Nya dan
menghukum musuh-musuh-Nya. Tuhan akan mengadili bngsa-bangsa pada “hari Tuhan” (lih
Yeh 13:3; Zef 1:7; bdk. Mzm 9:9-10). Gagasan yang sama dikenakan pula pada Israel sendiri:
“Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan
menghukum kamu karena segala kesalahanmu” (Am 3:2).

Dalam Dan 7:9-22, pengadilan ini sungguh menjadi sidang penghakiman atas seluruh
dunia. Selanjutnya, gagasan ini juga terdapat dalam Perjanjian Baru, misalnya Mat 25:31-46;
Why 20:11-15. Penghakiman ini dilihat sebagai suatu fungsi khusus dari Anak Manusia (Mat
25:31; Dan 7:13), dan oleh karena itu juga diberikan kepada Yesus (yoh 5:27).

*. Tanggungjawab manusia atas perbuatannya :

Gagasan ini jelas dalam Perjanjian Baru, misalnya dalam Luk 16:19-31:
perumpamaan orang kaya dan Lazarus yang miskin; Mat 7:13-14 : desakan Yesus untuk
berusaha masuk melalui pintu yang sempit. Paulus-pun menegaskan dalam Rm 2:6; 1 Kor
3:10-15 : “Allah akan membalas setiap orang menurut perbuatannya”.Yohanes lebih
menekankan hal ini, sambil memperlihatkan arti pengadilan itu dan berulangkali mengatakan
bahwa “Allah mengutus Anak-Nya kedalam dunia bukan untuk menghakimi dunia,

4
Syahadat – Creed – Rumusan ringkas mengenai ppokok-pokok iman Kristiani. Sebagai jawban
terhadap pertanyaan mengenai Bapa, Putra, dan Roh Kudus, syahadat berkembang sehubungan dengan babtisan.
Adanya perbedaan pandangan dan munculnya bidaah memaksa Gereja untuk lebih jauh menjelaskan ajaran-
ajaran yang dirumuskan dalam bentuk syahadat. Conf. Gerald O’Collins., Op.Cit., 309.
5
Syahadat yang penggunaannya didorong oleh Kaisar Karolus Agung (742-814) dan di Gereja Barat
dipakai dalam pembabtisan. Isi syahadat ini berkisar pada Bapa, Putra dan Roh Kudus. Rufinus (345-410)
menceritakan dongeng bahwa yang menyusun syahadat ini adalah keduabelas rasul, masing-masing rasul
menyusun satu kalimat. Ibid.
melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:17; 8:15; 12:47). Walau bukan untuk
menghakimi dunia, namun sabda Tuhan:

“Barang siapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-KU, ia sudah ada
hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya
pada akhir zaman”. (Yoh 12:48; 3:19-20).

Menurut sikap seseorang terhadap Yesus, ia mengadili dirinya sendiri. Pengadilan


sebenarnya bukan tindakan baru yang ditambahkan sesudah orang melakukan perbuatan-
perbuatannya, melainkan penampilan manusia dalam keadaannya yang sebenarnya, seperti
dikatakan:

“Sebab kita semua harus menghadap tahta pengadilan Kristus, supaya setiap orang
memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan apa yang dilakukan dalam
hidup ini, baik maupun jahat” (2 Kor 5:10; Gal 6:7).

Dengan demikian jelaslah bahwa pengadilan tidak boleh dilihat sebagai balas
dendam, bahkan tidak juga sebagai balas jasa, tetapi lebih tepat disebut penampakkan –
dimuka umum - dari semua manusia dalam keadaannya yang sesungguhnya. Pengadilan
berarti konfrontasi manusia dengan Allah yang tidak dapat ditipu. Di dalam Yoh 5:24; 12:31
dan 16:8, malah dikatakan bahwa pengadilan itu telah terjadi di dunia ini.

Selanjutnya mengenai pengadilan umum dan pengadilan perseorangan,

*. Pengadilan Perseorangan:

Secara teologis, penghakiman khusus harus dipahami dalam konteks proses


meninggal sendiri. Bagi manusia, meninggal adalah pertama-tama suatu tindak pribadi, saat
seseorang membawa sejarahnya kepada kesudahan yang final, definitive, dan tak dapat
dibatalkan. Dalam tindak meninggal yang diterima secara bebas ini, seseorang menyatakan
posisi atau sikapnya yang telah diambilnya selama hidupnya dan yang sekarang ini
direkapitulasi dan dijadikan tak dapat diubah dalam tindak terakhir yang bersifat pribadi ini,
yakni tindak meninggal dunia. Dengan demikian, seseorang “menghakimi” dirinya sendiri.
Memang, kita menghakimi diri kita sendiri selama hidup kita setiap kali kita meneliti nurani
kita dan menilai motif-motif dan perilaku-perilaku kita. Akan tetapi, dalam penghakiman-
penghakiman ini kita mungkin dikelabui atau dibutakan oleh hawa nafsu atau prasangka.
Namun, dalam proses meninggal kemungkinan keliru atau menipu diri seperti itu tidak
mungkin lagi sebab seseorang dibawa berhadap-hadapan muka dengan Allah. Apapun
keputusan yang dibuat orang itu di hadapan Allah disahkan oleh Allah dan dengan cara ini
“dihakimi” oleh-Nya. Dalam penghakiman ini Allah juga membuat jelas bagi orang itu apa
yang telah diperbuatnya dengan hidupnya dan oleh karenanya dengan tujuan kekalnya.6

*.Pengadilan umum :

Syahadat kita meyakini bahwa Kristus akan datang lagi “untuk mengadili orang hidup
dan mati”. Penghakiman terakhir ini, tentu saja tidak mengulangi “penghakiman khusus” :
kita tidak akan harus menghadapi risiko rangkap. Kepercayaan bahwa Allah akan
6
Peter C. Phan, 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehiduan Kekal, Op. Cit., 106.
menghakimi bangsa-bangsa dan Israel berakar mendalam pada pewartaan para nabi: Yeh
34:17-22: Yahwe tampil sebagai gembala yang memisah-misahkan domba-domba yang baik
dan yang tidak baik dalam kawanannya; Yes 27:12; Yer 15:7: sebagai pekerja dalam
panenan; Yes 63:1-6: sebagai pengirik dan pemeras buah-buahan anggur; Yeh 22:18-22:
sebagai pemilik tungku perapian untuk melebur dan memurnikan. Namun, “hari Yahwe”
tidak hanya akan mendatangkan hukuman tetapi juga keselamatan: Allah akan melihat sekali
lagi dengan berkenan akan umat-Nya dan bangsa-bangsa.

Dari dua segi penghakiman ilahi, keselamatan selalu lebih ditekankan sejak jaman
Pembuangan, khususnya dalam Yehezkiel dan Deutero-Yesaya. Dalam susastra apokaliptik,
penghakiman Allah sangat menonjol, dengan lukisan berwarna-warni dan hidup mengenai
aneka macam tindakan penghakiman, tempat, watak, tata langkah, kitab, neraca, dan bentuk
siksaan. Namun, tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menanamkan
kepercayaan dalam diri orang-orang yang menderita penganiayaan demi Yahwe.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus digambarkan sebagai yang mewartakan penghakiman


yang akan datang dalam setiap tahap pelayanan-Nya, misalnya pada Khotbah di Atas Bukit
( Mat 5:22, 26, 29; 7:1, 21, 24-27), dalam pembicaraan kepada murid-murid ( Mat 10:28,33),
dalam pembicaraan tentang zaman eskatologi (Mrk 13 dan yang sejajar ), dalam perkataan-
Nya kepada orang-orang Farisi (Mat 23:13-25), dan akhirnya dalam beberapa perumpamaan
yang lebih penting (mis. Luk 16:1-8, 19-31; Mat 22:11 dst; 24:37 dst; 25). Yesus sendiri
dikatakan akan menjadi hakim dalam penghakiman terakhir ini, sehingga “hari Yahwe”
dalam Perjanjian Lama menjadi “hari Tuhan” ( 1 Kor 1:8; 1 Tes 5:2; Ibr 10:25).

Maka dari itu, penghakiman umum berfungsi untuk memperlihatkan keallahan dan
kekuasaan Yesus. Pada waktu itu kita masing-masing akan memahami rencana Allah bagi
dunia dan mengetahui peranan Yesus dan juga peranan kita sendiri di dalam rencana Allah
itu. Katekismus Gereja Katolik menyatakan : “Penghakiman Terakhir akan datang apabila
Kristus datang kembali dalam kemuliaan….. Pada waktu itu melalui Anak-Nya Yesus
Kristus, Allah akan mengucapkan firman terakhir atas seluruh sejarah. Kita akan mengetahui
makna terakhir seluruh karya penciptaan dan seluruh tata keselamatan dan memahami cara-
cara yang menakjubkan bagaimana Penyelenggaraan Ilahi menuntun segala sesuatu menuju
tujuan akhirnya” (no. 1041).7

Surga

Di dalam eskatologi, kita berbicara tentang surga sebagai tujuan akhir hidup yang
dikehendaki oleh Allah untuk semua orang dan neraka hanya sebagai penolakan manusia
terhadap surga8.

Surga berarti, bahwa keadaan rahmat mencapai kesempurnaannya yang definitif.


Maka, surga adalah dialog cinta, komunikasi mendalam dengan Allah dan di antara orang
kudus. Dengan sebutan Surga, teologi mau melukiskan persaudaraan sempurna semua
orang kudus bersama Kristus didalam rumah Bapa, dalam ikatan Roh Kudus.9 Atau dengan

7
Ibid., 198.
8
Ibid., 114.
9
P. George Kirchberger, SVD., Kursus Dasar Teologi Dogmatik Bagian I, Pandangan Kristen
Tentang Dunia dan Manusia, Manuscrip, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Santo Paulus Ledalero, 1995, 18.
kata lain, surga mengungkapkan kebahagiaan manusia dalam kesatuan dengan Allah, dan
karena itu bagi kita surga pada hakikatnya berarti partisipasi dalam kebangkitan Kristus.10

Mengenai keselamatan dan kesempurnaan yang dinikmati manusia dalam tempat


kediaman ini, Kitab Suci menggunakan aneka ragam ungkapan untuk melukiskannya:
kehidupan kekal, kemuliaan, keseutuhan, kebakaan, terang, kedamaian, keselarasan dengan
hewan-hewan dan kosmos, pulang kembali ke rumah Bapa, persatuan dengan Allah
Tritunggal, persatuan dengan Kristus dan persekutuan dengan para malaikat dan para orang
kudus.

Menurut gambar-gambar dalam Kitab Suci, surga merupakan suatu kenyataan sosial.
Yesus, sama seperti para nabi, menggambarkan surga sebagai perjamuan pesta. Atau Wahyu
Yohanes menggambarkannya sebagai kota Allah. Kitab Suci selanjutnya menggambarkan
surga sebagai firdaus yang baru, kenisah surgawi, Yerusalem baru, tanah air yang
sebenarnya, kerajaan Allah. Semua gambar yang ada menekankn aspek sosial. Kita akan
bersama-sama menikmati surga, dan kenikmatan itu tidak lain daripada persaudaraan
sempurna.

Maka jelas juga, dimana kita berhasil di dunia untuk menanam cinta persaudaraan, di
situ surga mulai berada di dunia ini. Maka supaya kita bisa menghargai janji surga itu, supaya
harapan akan surga sungguh menjadi harapan berharga bagi kita, kita butuhkan pengalaman
di dunia ini, bahwa cinta persaudaraan sejati betul membahagiakan, lebih dari segala sesuatu
yang lain.11

Neraka

Teolog-teolog seperti Karl Rahner, Hans Urs von Balthasar, menekankan bahwa
ajaran mengenai neraka pertama-tama dimaksudkan untuk menggarisbawahi tanggungjawab
manusia dalam hidup sekarang ini.12 Kalau surga dilihat sebagai dialog cinta, komunikasi
mendalam dengan Allah dan di antara orang-orang kudus, maka neraka dilihat sebagai situasi
dimana tidak ada cinta dan komunikasi. Neraka berarti manusia di dalam isolasi total,
terkurung di dalam dirinya sendiri, tanpa kontak positip dengan orang lain, hanya membenci
dan menolak orang lain.

Neraka sebagai keadaan demikian, dimana seseorang menyiksa diri di dalam isolasi
egoismenya, harus kita terima sebagai kemungkinan nyata. Yesus sendiri dengan jelas
berbicara mengenai neraka itu dalam pelbagai perkataan: “Siapa yang berkata: Jahil, harus
diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Mat 5:22), atau “Jika matamu
menyesatkan engkau cungkillah dan buanglah, karena lebih baik jika satu dari anggota
tubuhmu binasa, daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka” (Mat 2:29).

Tapi jelas juga dari perkataan ini, Yesus tidak berbicara tentang neraka sebagai
informasi mengenai suatu pokok yang menarik, melainkan untuk mendorong dan mendesak
agar orang bertobat dan menerima Kerajaan Allah. Ia mengemukakan kemungkinan negative
itu, untuk mendesak kearah yang baik. Kalau Yesus berbicara tentang neraka dengan maksud
10
Dr. Nico Syukur Dister, OFM Cap., Op. Cit., 594.
11
P. George Kirchberger, SVD., Op. Cit., 18.
12
Dr. Nico Syukur Dister, OFM. Cap., Op. Cit., 598.
demikian maka pasti Ia yakin, bahwa neraka merupakan kemungkinan riil bagi manusia.
Manusia dalam kebebasannya bisa memilih secara radikal negative.13 Neraka berarti
penolakan total terhadap Allah. Manusia dapat menutup diri untuk rahmat dan belaskasihan
Tuhan. Ini bukan sesuatu yang “kebetulan” terjadi, dan mempunyai akibat abadi Karena
kematian. Sikap ini menyangkut sikap dasar manusia, dan diteguhkan oleh kematian.14

Namun kita boleh berharap dan berdoa dan merangkul orang lain dengan cinta kita,
agar tidak ada orang yang memilih kemungkinan itu. Cinta Allah memang kuat dan kita
memiliki dasar untuk berharap, bahwa Ia berhasil untuk meyakinkan dan menarik setiap
orang, betapapun kuat benteng egoismenya. Dan satu hal sudah jelas, kita tidak usah takut,
bahwa kita dicampakkan ke dalam neraka, karena kelemahan-kelemahan yang seringkali
menguasai kita. Kita hanya bisa memilih neraka, kalau kita menutup diri sekuat tenaga
terhadap setiap usaha cinta Tuhan dan sesama15.

Api Penyucian16

13
P. George Kirchberger, SVD., Op. Cit., 19.
14
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi, Kanisius-Obor,
Jakarta, 1996, 467
15
P. George Kirchberger, SVD., Op. Cit., 19
16
Gerald O’Collins, SJ, Kamus Teologi., Purgatory (Lat. ‘pemurnian’) Keadaan orang yang meninggal
dalam keadaan bersahabat dengan Allah, tetapi masih perlu membuat silih atas dosa-dosa pribadinya (karena
jasa Kristus) dan harus berkembang secara rohani sebelum menikmati pemandangan Allah yang mulia (visio
beatifica). Teks-teks Kitab Suci yang dikutip (2 Mak 12:38-46; Mat 5:25-26; 12:31-32 dan 1 Kor 3:11-15) tidak
secara langsung menyebutkan adanya api penyucian. Adanya api penyucian dapat dibenarkan dalam terang
keadilan ilahi dan oleh praktik orang-orng Kristiani yang berdoa (sekurang-kurangnya sejak abad kedua) dan
merayakan ekaristi (sekurang-kurangnya sejak abad ketiga) bagi orang-orang yang sudah meninggal. Sejalan
dengan praktik ini para penulis Yunani seperti St. Klemens dari Aleksandria (sekitar 150-215), Origenes (sekitar
185-254) dan St. Yohanes Krisostomus (347-407) dan penulis-penulis Latin seperti Tertulianus (sekitar 160-
225), St. Cyprianus (meninggal 258) dan St. Agustinus dari Hippo (354-430) dengan berbagai cara menulis
mengenai pemurnian sesudah kematian dan persekutuan kita dengan orang-orang yang kita cintai yang sudah
meninggal melalui doa. Berdoa bagi orang yang sudah meninggal terus dilakukan dalam liturgy Timur dan
Barat. Konsili Lyons II (1274) dan Konsili Florence (1438-1445) mengajarkan mengenai penderitaan yang
dialami sesudah kematian (oleh mereka yang belum pantas menerima pemandangan Allah) sebagai yang
memurnikan, serta mengenai makna doa dan karya saleh yang dipersembahkan untuk kepentingan mereka (DS
856-857; 859;1304-1305), dan menghindarkan kata “api” yang ditentang oleh orang-orang Ortodoks. Martin
Luther (1483-1546) pertama-tama menolak makna indulgensi bagi orang-orang yang sudah meninggal, dan
kemudian menolak juga adanya api penyucian. Konsili Trente (1545-1563) mempertahankan ajaran mengenai
api penyucian, tidak mengatakan apa-apa mengenai hakikat dan lamanya orang berada di sana, dan menegaskan
lagi arti mempersembahkan doa serta ekaristi bagi mereka yang berada di api penyucian (DS 1580); 1820).
Konsili Vatikan II dengan singkat mengingat kembali persekutuan kita dengan mereka yang sedang dimurnikan
sesudah kematian dan mendukung ajaran Konsili Florence dan Trente (LG 49; 51). Keadaan di api penyucian
dapat dimengerti sebagai proses terakhir mencinta, namun juga mendatangkan sengsara sebelum kita
memandang Allah berhadapan muka. Dengan pengadilan terakhir, api penyucian berakhir (DS 1067)., p. 31.

Indulgensi: Pembebasan dari hukuman sementara yang disebabkan oleh dosa, yang sudah disesali dan
diampuni. Penghapusan hukuman ini diberikan berkat jasa Kristus yang tanpa batas dan keikutsertaan orang-
orang kudus dalam sengsara dan kemuliaan-Nya. Dalam sejarah Gereja zaman dulu, doa orang-orang yang
menantikan kematian sebagai martir dapat mengurangi hukuman keras yang dijatuhkan kepada para pendosa
yang bertobat. Pada abad keenambelas (XVI), penyalahgunaan pemberian indulgensi menyulut api reformasi.
Hak untuk memberikan indulgensi pada dasarnya dipegang oleh Tahta Suci. Indulgensi penuh menghapuskan
seluruh hukuman, sejauh syarat-syarat untuk penerimaannya dipenuhi. Baik indulgensi penuh maupun sebagian
dapat diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal di api pencucian. Dalam Konstitusi Apostolik
Indulgentiarum Doctrina (1967), Paulus VI membatasi indulgensi penuh dan menekankan pentingnya
pertobatan pribadi dalam hati (lih. DS 1467; KHK 929-997).
Dengan istilah “api penyucian”, sudah memperlihatkan bahwa situasi manusia dalam
keadaan “pencucian” itu dilihat sebagai sesuatu di antara neraka dan surga. Dengan demikian
dapat dimengerti bahwa “yang masuk api pencucian itu adalah orang yang mati dengan
rahmat, tetapi hukuman-dosanya belum tertebus”. Maka dari satu sisi, orang yang meninggal
mempunyai rahmat dan oleh karena itu ia termasuk anggota surga, tetapi dari sisi lain masih
ada dalam situasi dosa. Konsili Trente dalam Dekrit tentang (tempat) Pencucian (tahun 1563
– dapat dibaca dalam DS 1820), mengajarkan bahwa “ada (api) pencucian”, dan bahwa
“jiwa-jiwa yang tinggal di situ dibantu oleh sumbangan (doa) kum beriman , terutama oleh
kurban Ekaristi yang berkenan kepada Allah). Dalam pernyataannya, Trente tidak
menggambarkan api pencucian sebagai hukuman, tetapi tekanan lebih kepada bantuan yang
dapat diberikan kepada jiwa-jiwa yang ada dalam purgatorium. Maka pencucian di sini
terutama dimaksudkan sebagai pembersihan dan penyembuhan. Atau dengan kata lain, api
pencucian harus dihubungkan dengan proses pembenaran dan pembersihan manusia.17

Dalam bahasa resmi Gereja tidak disebut “api”, tetapi hanya “penyucian”
(purgatorium). Yang dimaksud adalah adanya tahap terakhir dalam proses pemurnian pada
perjalanan kepada Allah. Maka kiranya mungkin bahwa proses pemurnian itu belum selesai
pada saat kematian. Maka kematian itu sendiri dapat menjadi pengalaman pemurnian itu.
Pada saat kematian manusia melihat dirinya sendiri dalam keadaan yang sesungguhnya.
Khususnya karena kematian itu berarti penyerahan kepada Allah, maka ketidakmurnian
dialami sebagai ketidakcocokan yang menyakitkan. Apa yang lasim disebut “pengadilan”,
dialami sebagai siksaan dan juga pemurnian. Kiranya itulah yang dimaksudkan dengan “api
penyucian” yang terjadi pada saat kematian sendiri.18

Meskipun kita tidak menolak Tuhan secara radikal, namun ada banyak kekurangan di
dalam hidup kita, dimana tidak membentuk diri secara benar dalam cinta. Karena itu, kalau
kita yang cacat itu bertemu dengan Tuhan dan cinta-Nya yang maha murni, maka terjadilah
pengadilan dan pembenaran, semacam proses penyembuhan, di dalamnya segala sesuatu
yang tidak berasal dari cinta dihanguskan dalam api cinta ilahi, sehingga kita menjadi
murni. Dan dalam proses itu kita merasa sakit, namun sekaligus kita dibahagiakan lewat
proses penyembuhan itu. Pengadilan dan api penyucian tidak lain daripada pertemuan kita,
manusia yang atas macam-macam cara dirusakkan atau dilukai oleh dosa, dengan cinta Allah
yang adalah api yang menghanguskan dan obat yang menyembuhkan. Di dalam api cinta itu
kita dimurnikan dan disanggupkan untuk mengambil bagian dalam komunikasi cinta yang
murni dan sempurna di surga.19

Dalam pengertian seperti ini, maka doa-doa untuk “jiwa-jiwa dalam api penyucian”
tidak kehilangan artinya. Doa untuk jiwa-jiwa di api penyucian adalah doa untuk orang yang
pada saat kematian sebetulnya belum siap menghadap Tuhan. Orang itu meninggal dalam
persekutuan iman, yang disebut Gereja. Maka sudah sewajarnyalah bahwa “persekutuan para
kudus” juga dihayati dalam doa untuk saudara-saudara itu, yang masih pada perjalanan
menuju Tuhan.20 Iman kita selalu perlu diteguhkan oleh persekutuan kegerejaan, apalagi pada
saat kematian, orang membutuhkan peneguhan iman dari Gereja21
17
Dr. Nico Syukur Dister, OFM Cap., Op. Cit., 600.
18
Konferensi Waligereja Indonesia, Op. Cit., 468.
19
P. George Kirchberger, SVD., Op. Cit., 19.
20
Konferensi Waligereja Indonesia., Op. Cit., 468.
21
Tentu saja, saat doa itu kita panjatkan tidak memainkan peranan. Entah kita mendoakannya sebelum
yang bersangkutan meninggal, entah pada saat ia menghadapi ajal, entah setelah ia (sudah lama) meninggal,
5.4. Refleksi Biblis-Sintetis atas Pengalaman Kristiani akan Pengharapan.

Eskatologi, secara hakiki bersifat “teologi pengharapan”, dalam arti refleksi atas
pengalaman orang beriman tentang pengharpan mereka sebagai sikap hati yang terarah
kepada kedatangan Allah. Dalam rangka refleksi biblis ini, surat-surat Rasul Paulus akn
menjadi pangkal/titik tolak pembahasan, dengan segi-segi yang akan dibahas antara lain:
cirikhas pengharapan, arti, sifat, dasar dan obyek pengharapan, penghayatan dan latar
belakang pengharapan.

5.4.1. Ciri Khas Pengharapan


Ciri khas pengharapan yang dimaksudkan di sini adalah sifat yang dalam lingkungan
agama Kristiani membuat pengharapan menjadi pengharapan. Yang menjadi ciri khas
pengharapan adalah : sikap orang beriman yang berhadapan dengan keselamatan berada
dalam situasi “sudah” dan “belum”. Situasi ini adalah situasi khas Kristiani. Kepercayaan
bahwa keselamatan sekaligus sudah dan belum terlaksana membedakan iman Kristiani
dengan kepercayaan orang-orang Yahudi bagi siapa suatu keselamatan yang belum terlaksana
bukanlah keselamatan. Kekhasan iman Kristiani ialah bahwa keselamatan sudah terlaksana
dalam Kristus, dan bahwa keselamatan dalam Kristus itu menyangkut semua orang, hanya
saja dalam semua orang itu keselamatan belumlah terlaksana seperti dalam Kristus. Santo
Paulus berkata:

“Jika kita telah mati bersama dengan Kristus, kita percaya bahwa kita akan hidup
juga dengan Dia” (Rm 6:8). “Orang yang benar - karena iman - akan hidup (Gal
3:11) Dan justru itulah yang diungkapkan dengan “ kita diselamatkan dalam
pengharapan” (Rm 8:24).

Situasi pengharapan seperti dimaksudkan St.Paulus adalah situasi manusia yang


karena kesatuannya dengan Kristus sudah diselamatkan, namun belum dalam dirinya
sendiri. Hal yang khas dalam teologi Paulus adalah bahwa dalam pengharapan itu “sudah”
dan “belum” menjadi satu. Pengharapan tidak hanya terarah ke masa depan sebab di dalam
pengharapan itu sekaligus diakui dan dialami realitas keselamatan sekarang: “… aku
mengejarnya, kalau-kalau aku juga dapat menangkapnya, karena aku telah ditangkap oleh
Kristus” (Flp.3:12). Sementara dari para teolog yang telah kita bahas di atas ada yang
berhubung dengan pengharapan akan (kepenuhan) keselamatan yang lebih menekankan masa
depan dan segi “belum” – seperti Moltmann, Pannenberg, Metz; ada juga yang lebih
menaruh tekanan pada situasi keselamatan sekarang ini – seperti Rahner dan Schillebeeckx.

5.4.2. Arti Pengharapan

waktu tidak penting lagi sebab Allah yang kepada-Nya kita berdoa, bersifat kekal abadi, dan (arwah) orang
beriman yang kita doakan itu tidak terikat lagi pada ruang dan waktu dunia ini, sejak saat ia meninggalkan dunia
ini dan melampaui perbatasan “dunia lain” itu. Pada tanggal 2 November setiap tahun, Gereja memperingati
arwah semua orang beriman sambil mendoakan mereka. Justru karena Allah hidup dalam “kekinian yang
kekal”, dan orang yang mati pun keluar dari waktu kita ini, doa orang yang hidup yang mendoakan
“keselamatan jiwa-jiwa dalam api pencucian” selalu “pada waktunya”, juga bila proses (api) pencucian itu
diletakkan dalam kematian itu sendiri.
Pengharapan menentukan eksistensi manusia seluruhnya justru karena tidak hanya
berarti keterarahan manusia ke masa depan, tetapi merupakan cakrawala yang mencakup
masa lalu, kini dan depan, sejauh ditentukan oleh Allah.
Pengharapan adalah daya gerak karya keselamatan Allah sendiri, dan sejauh itu
berarti suatu dinamika dalam hidup manusia. Santu Paulus berkata: ”Ia yang memanggil
kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya” (1 Tes 5:24). Karena itu ia dapat berkata
bahwa pengharapan “tinggal tetap” (1 Kor 13:13) sebagai unsur konstitutif hidup Kristiani,
paling sedikit untuk hidup di dunia ini. Dan mungkin kelak, - misalnya pandangan Rahner –
yang memandang pengharapan sebagai sikap berani melepaskan segala kuasa atas diri
sendiri, yang justru terlaksana di mana kuasa manusia secara definitif teratasi, yakni dalam
kepenuhan akhir hidup abadi.

5.4.3. Sifat Pengharapan

Untuk dapat percaya, manusia memerlukan “rahmat Allah yang mendahului serta
menolong dan bantuan batin Roh Kudus”, maka untuk berharap, manusia memerlukan
rahmat Allah sebab pengharapan merupakan kepenuhan iman dan malah mengatasinya.

Jadi pengharapan pada tempat pertama bersifat RAHMAT– ANUGERAH Roh


Kudus: “Oleh Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan” (Rm 15:13). Roh
Kuduslah “jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita” (2 Kor 1:22; 5:5; lih Rm
8:23). “Barang siapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu”
(Gal 6:8). Pengharapan merupakan gerakan Roh sendiri: “Jikalau kita hidup oleh Roh,
baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (Gal 5:25).

Sifat kedua adalah DINAMIS.


Roh memungkinkan proses perkembangan dalam kebenaran yang berpangkal pada
iman : “ Oleh Roh dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapkan” (Gal
5:5). Pembenaran sebagai suatu proses bersifat dinamis, dan proses yang dibangkitkan serta
dipimpin terus oleh Roh itu dialami manusia sebagai pengharapan. Bagi Paulus, anugerah
Roh berarti suatu pengalaman karismatik, namun berkaitan dengan pengharapan, karya Roh
mendapat dimensi yang lebih dalam: “tinggal tetap” ( 1 Kor 13:13). Sebagai “kasih Allah
yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita”,
Roh memberi kekuatan khas kepada pengharapan, yaitu pengharapan tidak mengecewakan
(Rm 5:5).

Sifat ketiga adalah SUKACITA, yang dalam Gal 5:22, disebut sebagai salah satu
buah Roh – karisma Roh Kudus - yang merupakan ciri dari pengharapan. Dalam Roma 12:12,
dikatakan; “Bersukacitalah dalam pengharapan”; dan Santo Paulus menasehatkan:
“Bersukacitalah senantiasa” (1 Tes 5:16; bdk 2Kor 13:11; Flp 3:1; 4:4), merupakan
himbauan untuk menjaga sikap Kristini yang berkaitan langsung dengan pengharapan sebagai
anugerah Roh: “sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1 Tes 1:6; bdk. 2 Kor 6:10).

5.4.4. Dasar Pengharapan

Dasar atau titik pangkal pengharapan adalah Iman; dan Santo Paulus menyebut juga
“kasih karunia pembenaran” (Rm 5:2), “ketekunan” (Rm 5:4, 15:4), “kasih Allah” (Rm 5:5),
“penghiburan dari Kitab Suci” (Rm 15:4), dan Allah sendiri (Rm 15:13). Ketekunan menjadi
dasar pengharapan bilamana orang yang berada dalam kesulitan tetap berpegang pada Tuhan
dan janji-Nya. Allah sendirilah yang menjadi dasar pengharapan, dan Kitab Suci memberi
kesaksian mengenai kasih Allah ( bdk. Rm 16:26)

5.4.5. Objek Pengharapan

Secara sangat konkret, yang menjadi objek pengharapan adalah:

 Keselamatan (1 Tes 5:8; bdk. 2Kor 1:10),


 Kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah (Rm 8:20),
 Kemuliaan Allah (Rm 5:2),
 Pengangkatan sebagai anak-anak = pembebasan tubuh kita (Rm 8:23),
 Kebenaran (Gal 5:5),
 Tuhan Yesus Kristus ( Flp 3:20)

Paulus mensistesiskan objek-objek pengharapan ini dari nabi Yesaya: “Taruk dari
pangkal Isai akan terbit, dan Ia akan bangkit untuk memerintah bangsa-bangsa, dan kepada-
Nyalah bangsa-bangsa akan menaruh harapan” (Rm 15:12; bdk. Mt 12:20-21; Yes 11:10).

Kristus yang bangkit mulia, sekaligus dasar dan objek pengharapan karena pengharapan
berarti berpartisipsi pada dinamika karya keselamatan Allah. Sebagimana dalam
pengangkatan-sebagai anak terdapat ketegangan eskatologis antara “sudah” dan “belum”
(Rm 8:15-23) begitu juga dalam “kebenaran “ : semuanya ini mendapat kepenuhannya, bila
“Tuhan sendiri akan turun dari surga” (1 Tes 4:16; bdk. Flp 3:20). Keselamatan Allah dalam
Kristus sudah masuk dalam realitas hidup manusia, tetapi masih akan diwahyukan dalam diri
orang beriman sendiri pada akhir zaman. Karena keselamtan dalam Kristus bersifat
eskatologis, artinya karena bergerak maju menuju kepenuhan dalam pembangkitan orang-
orang mati oleh Allah, pengharapan juga bersifat eskatologis: secara dinamis terarah kepada
kegenapan zaman.

Oleh karena itu, kendatipun seluruhnya terarah ke depan, pengharapan sebetulnya tidak
mempunyai keselamatan yang mendatang sebagai objeknya, karena objeknya adalah
keselamatan yang sudah terlaksana dalam Kristus, namun, keselamatan itu sendirilah yang
mempunyai dinamika intrinsik kearah pemenuhan eskatologis. Dalam Rm 8:32-37, arus
pemikiran ini secara jelas dirumuskan sebagai berikut:

“Dia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi
kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak menyerahkan segala sesuatu kepada kita
semua, bersama-sama dengan Dia? “Kita lebih daripada orang-orang yang menang,
oleh Dia yang telah mengasihi kita”.

Allah yang telah membuktikan kasihNya dengan menyerahkan Anak-Nya sendiri juga akan
mendampingi kita dalam pergulatan melawan dunia lama. Kasih Allah dalam Kristus
memberikan kepada Paulus suatu “keyakinan” (Rm 8:38) bahwa proses ini akan berjalan
terus, sampai kepada kepenuhannya. Paulus mengungkapkan kepastian dinamika keselamatan
ini dalam Rm 5.

5.4.6. Penghayatan Pengharapan

Moltmann menegaskan, pengharapan pertama-tama menyangkut hidup sekarang,


ketika ia berkata bahwa pengharapan memampukan kita untuk memikul salib sekarang.
Pengharapan merupakan penjabaran iman, dan iman menghindarkan kita dari bahaya
khayalan subjektif-psikologis atau objektif-apokaliptis. Santo Paulus menjelaskan bahwa
pengharapan pada tempat pertama tidak menggambarkan apa yang diharapkan, melainkan
menekankan kaitannya dengan masa sekarang: masa depan sudah dapat dialami sekarang,
yakni sebagai pengalaman iman, karena mendengarkan kabar gembira, dalam Roh.

Dengan demikian, penghayatan pengharapan Kristiani mempunyai tiga aspek berikut


ini:

 kerinduan – karena secara radikal terarahkan kepada kepenuhan;


 kepercayaan – tanpa kecemasan atau kekhawatiran karena percaya pada Tuhan yang
“akan menggenapinya” (1 Tes 5:24);
 ketekunan – karena kepercayaan tadi maka pemenuhan oleh Tuhan dapat dinantikan
dengan ketekunan yang besar (bdk. Rm 4:18).

Ketegangan antara sudah dan belum merupakan intisari penghayatan pengharapan. Dari satu
segi, terdapat kerinduan akan yang belum karena sudah mengalami karya Allah dalam iman.
Dari segi lain, kita keluar dari yang sudah dan mengarahkan diri penuh kepercayaan kepada
yang belum.

5.4.7. Latar Belakang Pengharapan

Yang menjadi latar belakang pengharapan dalam teologi Paulus adalah paham
pengharapan dalam Perjanjian Pertama/Lama. Dalam Kitab Suci berbahasa Ibrani, ada 4
istilah yang mengungkapkan pengharapan, yang masing-masing dapat diterjemahkan dengan
“merindukan”, “menantikan”, “mengharapkan”, dan “menunggu”. Dalam keterarahan
kepada masa depan, apa yang paling pokok adalah kepercayaan pada janji-janji Tuhan.
Kekkhususan pengharapan pada Tuhan ialah didasarkannya pada janji-janji Tuhan sendiri.
Karena itu dapat dikatakan : “Engkaulah harapanku, ya Tuhan” (Mzm 71:5).

Tuhan adalah tujuan, dasar, dan isi pengharapan religius Israel yang menantikan
kedatangan Tuhan dalam kemuliaan. Jadi, pengharapan Israel bersifat eskatologis, dengn
catatan bahwa kepenuhan keselamatan diharapkan dari Tuhan semata-mata, sebagai kasih
karunia : “Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku”
(Mzm 62:6). Yang “belum” itu paling menonjol dalam pengharapan ini, sedangkan yang
“sudah” ialah kepercayan kan janji Allah. “Aku ini akan menunggu-nunggu Tuhan, akan
mengharapkan Allah yang menyelamatkan aku; Allahku akan mendengarkan aku” (Mi 7:7).
Jadi, dengan menyatakan pengharpannya, umat Israel sekaligus mengungkapkan
kepercayaannya kepada Tuhan. Berharap dengan tekun dan setia adalah pengakuan iman
yang konkret bagi Israel. Dan “orang-orang yang menantikan Tuhan mendapat kekuatan
baru” (Yes 40:31).

Dalam Septuaginta, kata elpizein yang dipakai untuk menterjemahkan dalam bahasa
Yunani kata-kata Ibrani di atas, yng mengungkapkan pengharapan, namun kerap dipakai
untuk menterjemahkan paham kepercayaan atau keyakinan. Maka, dalam Septuaginta,
“pengharapan” berarti “keinginan penuh kepercayaan”. …”Diberkatilah orang yang
mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapan pada Tuhan” (Yer 17:7). Pengharapan
sebetulnya lebih tertuju kepada Tuhan daripada kepada keselamatan yang diharapkan
daripada-Nya. Pengharapan berarti kepercayaan bahwa Tuhan menjamin hidup kita:
“Tuhanlah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm 23:1), bahw Ia membimbing dan
menyelenggarakan hidup kita. Dasarnya ialah sabda Tuhan sendiri: “Aku akan menuntun
kamu keluar dari kesengsaraan di Mesir menuju ke negeri Kanaan, suatu negeri yang
berlimpah-limpah susu dan madunya” (Kel 3:17). Perjalanan melalui gurun pasir, keluar
dari sengsara Mesir menuju kebahagiaan tanah yang dijanjikan itu kemudian menjadi suatu
perjalanan melalui sejarah dunia menuju sukacita abadi (Yes 51:11; 61:7). Mengikuti Tuhan
pasti akan sampai pada kebahagian yang sejati, karena Tuhan bersabda:

“Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu –
demikianlah firman Tuhan – yaitu rancangan-rancangan damai-sejahtera dan bukan
rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan penuh harapan”
(Yer 29:11).

Paulus sangat dipengaruhi oleh pengharapan Israel, namun yang menentukan baginya ialah
pengalaman Yesus Kristus, yang telah mempersatukan diri dengan manusia dalam wafat-Nya
di kayu salib dan kemudian oleh Bapa dibangkitkan ke dalam kemuliaan abadi. Apa yang
merupakan objek pengharapan bagi Israel menjadi dasar pengharapan bagi umat Kristiani.

Anda mungkin juga menyukai