NIM : 20101154
Pkk/Semester: 1/4
Istilah Antropologis dalam Perjanjian Lama berangkat dari satu organ konkrit
dalam diri manusia dan sebagai pernyataan antropologis, istilah-istilah itu
menyoroti dimensi tertentu pada diri manusia. Beberapa istilah tersebut antara
lain:
-Nefesy : bearti leher, kerongkongan, bisa juga diartikan sebagai nafas, hidup,
nyawa. Istilah ini menyoroti kenyataan bahwa manusia merupakan mahkluk
yang hidup dan memiliki pelbagai kebutuhan dan kerinduan.
-Ruah: artinya tidak jauh berbeda dengan nefesy. Sejatinya kata ruah bearti
angin, Roh, atau nafas. Sebagai istilah antropologis kata ruah menunjuk pada
dinamika dalam diri manusia yang digerakkan Allah.
-Basar: bearti daging (dalam arti yang sangat konkrit, dibedakan dari tulang).
Istilah ini menyoroti kenyataan bahwa manusia adalah makhluk fana dan lemah,
yang hidupnya akan berakhir. Selain itu juga menyatakan manusia makhluk
sosial, secara fundamental merupakan anggota suatu kelompok, seperti keluarga
atau suku/bgsa.
-Leb: atau lebab menurut pengertian Ibrani merupakan satu organ penting
dalam tubuh manusia, yakni otak. Dengan pengertian ini manusia digambarkan
sebagai makhluk yang berperasaan, bergembira, atau bersedih. Juga manusia
sejauh dia bijaksana, penuh pertimbangan dalam keputusan, disebut dengan
kata leb.
Para pendoa mendekati persoalan nasib orang mati dari dua sudut.
Orang yang sudah mati tinggal di tempat yang jauh dari Allah.
Bagi mereka yang memiliki pengalaman religius persahabatan dengan Allah dan
kesetiaan Allah, tidak bisa dibatalkan oleh kematian.
Warisan antropologis sintetis dari budaya Ibrani, agama Kristen masuk ke dalam
dunia budaya helenis dengan antropologinya yang jauh berbeda, yakni bersifat
dualistis. Bagi para penganut helenis, manusia terdiri dari dua unsur yaitu jiwa
dan badan. Masing-masing unsur mempunyai asal dan mutu yang berbeda. Jiwa
itu baik dan luhur dan jiwa itu adalah manusia. Sedangkan badan adalah unsur
yang rendah dan kurang baik. Badan merupakan sumber dosa dan sumber
segala kekacauan dalam diri manusia. Badan dianggap sebagai penjara bagi jiwa.
Setelah jiwa dipisahkan dari badan oleh kematian, jiwa bisa mulai hidup bebas
seturut hakekatnya.
Ajaran Thomas Aquinas tentang jiwa sebagai forma badan (anima forma
corporis), mencoba menangkal antropologi helenis tentang dualisme manusia
yang memengaruhi ajaran Kristen. Thomas Aquinas menegaskan: jiwa dan
badan tidak merupakan dua substansi yang masing-masing bisa berdiri sendiri,
tetapi dua prinsip metafisis yang bersama-sama menjadi nyata dan ada.
Ajaran Thomas Aquinas lebih mempertegas bahwa jiwa dan badan bukan dua
kenyataan yang dipadukan di dalam manusia, melainkan manusia hanya berada
sebagai kesatuan jiwa-badan. Manusia menjadi manusia yang seluruhnya jiwa
dan seluruhnya badan. Artinya bahwa apa yang dikatakan tentang jiwa
menyangkut seluruhnya manusia, begitu pula apa yang dikatakan tentang badan
merupakan sifat manusia seluruhnya. Maka kematian, meski masih didefinisikan
sebagai pemisahan jiwa dan badan, merupakan kematian diri manusia
seutuhnya.
Jiwa tetap terarah pada badan dan mempunyai appetius naturalis, yakni
kerinduan alamiah akan badan. Sebelum kebangkitan badan pada akhir zaman,
kebahagiaannya dikurangi karena jiwa itu sangat cacat tanpa badan. Dengan
teori ini mau dipertahankan keyakinan biblis Kristen; bahwa di satu pihak
setelah kematian manusia berada bersama Kristus, tetapi di pihak lain
kebangkitan badan seutuhnya baru terjadi pada akhir zaman.
1). Meskipun menurut Thomas jiwa adalah satu-satunya forma badan, namun
harus dikatakan bahwa sesudah pemisahan jiwa dan badan dalam kematian,
mayat masih mempunyai forma juga.
2) Meskipun jiwa sebenarnya tidak bisa berada terlepas dari badan, namun
diandaikan bahwa antara kematian dan kebangkitan badn, jiwa berada dalam
keadaan melawan kodratnya. Supaya jiwa bisa berada dalam keadaan demikian,
Allah harus menggantikan badan secara ajaib.
3). Kebakaan jiwa yang menurut Thomas merupakan sifat alamiah, sulit
diperdamaikan dengan sifat rahmat dari kebangkitan manusia, bahwa Allah
secara bebas memanggil manusia melalui kebangkitan.
4). Jiwa tanpa badan yang berada dalam keadaan melawan kodratnya tetapi
sudah menikmati kebahagiaan surgawi. Pada kebangkitan badan kebahagiaan
itu ditinggalkan, namun kebahagiaan jiwa adalah kebahagiaan sempurna.
Kedua kisah penciptaan dalam KSPL (Kej 1:26-27; 2:7, 18, 22)
menggambarkan manusia sebagai bagian integral dari dunia. Manusia
mempunyai tempat di antara semua mkhluk yang lain dan hidup dalam pelbagai
hubungan dan keterikatan dengan ciptaan sekitarnya. Tetapi sekaligus manusia
digambarkan sebagai makhluk istimewa yang merupakan puncak atau pusat
dari seluruh ciptaan dan mempunyai hubungan khas dengan Allah pencipta.
Berangkat dari sub judul ini kita akan merefleksikan penciptaan melalui
Firman Allah, untuk memahami dengan jelas bahwa manusia merupakan
puncak dan tujuan seluruh ciptaan Allah. Penciptaan melalui firman berarti,
Allah sendiri “berinisiatif” untuk mencipta bukan karena permintaan yang
tercipta (manusia dan segala ciptaan lainnya).
Dengan kata lain, antara cerita penciptaan di Kejadian 1 dan Kejadian 2 tidak ada
pertentangan. Manusia tidak diciptakan hanya dengan melalui firman Allah saja
seperti ciptaan yang lainnya tetapi dikerjakan dengan sempurna oleh tangan
Allah yang maha kuasa lalu diberikan napas kehidupan sehingga manusia
memiliki hubungan atau relasi yang khusus dengan Allah.
Pemberitaan ini bertolak dari keyakinan mereka terhadap Allah sebagai Pencipta
langit dan bumi dan menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan
seperti menurunkan hujan dari langit dan memberikan musim-musim subur
kepada manusia.
Kedua, Kisah Para Rasul 17:22-31 berisi pemberitaan yang terkenal dari Rasul
Paulus di Athena terkait dengan tulisan “kepada Allah yang tidak dikenal” yang
dilihatnya di sebuah mezbah kafir di kota itu. Pemberitaan itu juga bertolak dari
peran Allah sebagai Pencipta langit dan bumi.