Anda di halaman 1dari 17

IDENTITAS BUKU

 Identitas Buku Pertama

1. Judul Buku : Agama Khatolik


2. Pengarang : Yakobus Ndona dan Oscar R. Tampubolon
3. Penerbit : Unimed Press
4. Tahun terbit : 2013
5. Kota Terbit : Medan
6. Tebal Buku : 109 Halaman
7. Ukuran Buku : 2 cm
8. Bahasa Teks : Bahasa Indonesia

 Identitas Buku Kedua

1. Judul Buku : Pendidikn Agama Katolik


2. Pengarang : KEMENRISTEKDIKTI
3. Penerbit : Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan
4. Tahun terbit : 2016
5. Kota Terbit : Jakarta
6. Tebal Buku : 215 halaman
7. Bahasa Teks : Bahasa Indonesia

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
“Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia
sehingga, Engkau mengindahkannya? (Mzm 8:5). Pertanyaan puitis ini
menyiratkan kedalaman pergumulan iman sang Pemazmur tentang identitas
manusia. Baginya, manusia itu misteri ‘Ia hina sekaligus mulia’.
Sejak awal mula, manusia bergumul dengan misteri dirinya. Para filsuf dan
para bijak pandai berusaha menjawab pertanyaan dasar ini, “siapak au? Apa arti
dan makna hidupku? Apa tujuan hidupku? Dan jawaban yang ditemukan belum
pernah secara tuntas menyingkapkan misteri ini. Sehingga pencarian jati diri,
merupakan pencarian tanpa henti.
Kitab kejadian dengan indah meliddskan manusia, sebagai ‘citra Allah’.
Gagasan ini mendasari seluruh refleksi iman yudaisme dan kristianisme sampai
sekarang. Sejak abad-abad pertama, para Bapa gereja terus m,endalami gagasan
ini, terutama dalam kaitan dengan pribadi dan mini Yesus Kristus. Magisterium,
gereja dan para teolog pada setiap zaman juga tidak pernah meninggalkan aspek
ini dalam refleksi dan pengajaran mereka. Bahkan pada zaman ini ketika secara
luar biasa pertambahan dan semakin gawat ancaman-ancaman bagi kehidupan
orang-orang dan bangsa-bangsa, terutama terhadap kehidupan lemah dan tanpa
perlindungan, refleksi dan pewartaan tentang martabat manusia sebagaimana
diciptakan Allah semakin penting dan mendesak.

B. Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mahasiswa dapat menerangkan gambaran kitab kejadian tentang manusia
sebagai citra Allah.
2. Mahasiswa dapat menerangkan penegrtian Imago Dei dalam ajaran para
bapa gereja, terutama Agustinus dan thomas Aquinas.
3. Mahasiswa dapat menerangkan perbedaan citra, Allah pada binatang dan
manusia.

2
4. Mahasiswa dapat menerangkan ajaran konsili vatikan tentang manusia
sebagai pribadi.
5. Mahasiswa dapat menerangkan tujuan manusia diciptakan secitra dengan
Allah.
6. Mahasiswa dapat menerangkan hubungan manusia dengan manusia lain
sebagai citra Allah.
7. Mahasiswa dapat menerangkan dosa bagi kodrat manusia.
8. Mahasiswa dapat menerangkan rahmat kristus bagi pemulihan kodrat
manusia.
9. Mahasiswa dapat memberikan beberapa refleksi pemikiran tentang manusia
sebagai citra Allah.

3
BAB II
ISI BUKU

A. Manusia Diciptakan Secitra Dengan Allah


Kitab Kejadian menceritakan bahwa manusia diciptakan menurut citra atau
gambar Allah. “Menurut gambar Allah diciptakan dia, laki-laki dan perempuan
diciptakan mereka. (Kej 1:16-27). Dengan diciptakan menurut citraNya, Allah
telah menjadikan manusia lebih unggul dari semua makhluk yang lain. Manusia
adalah puncak dan mahkota, seluruh ciptaan Allah. Semua yang telah diciptakan
Allah tertuju manusia (1:29) dan berada dibawah kekuasaan manusia, “Beranak
cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah
atas ikan-ikan di laut dan burung di udara dan atas segala binatang yang merayap
dibumi” (1:28). Maka sejak semula manusia telah dianugerahi martabat mulia dan
rajawi. Martabat yang istimewa itu dimadahkan secara mengagumkan oleh
pemazmur.

B. Manusia Sebagai ‘Amago Dei’ Dalam Ajaran Gereja


Para Bapa gereja, di antaranya Origenes, Gregorius dari Nyssa dan
Agustinus mempertegas ajaran kitab suci tentang kodrat manusia sebagai citra
Allah. Manusia adalah imago Dei. Kodrat manusia itu disebabkan oleh percikkan
hidup ilahi sewaktu manusia diciptakan. Percikan hidup ilahi itu terutama terdapat
dalam jiwa atau roh manusia. Oleh karenanya roh itu sanggup mengenal dan
mengekspresikan semua yang ada, menembus batas-batas kodrat dan struktur
materi, mengenal semua tentang semua. Dengan kehausan yang tak tanpa batas
dan kapasitasnya yang tak terbatas, jiwa bahkan mampu menjangkau yang tak
terbatas. Dengan demikian jiwa menjadi jalan bagi manusia menuju Allah.
Pujangga gereja abad pertengahan, Thomas Aquinas mengatakan bahwa
percikan-percikan hidup Allah dalam diri manusia itu menjadi semacam materai
Allah dalam diri manusia dengan daya magnet yang selalu mengarahkan, menarik,
mengkonsentrasikan manusia menuju penyatuan degana Allah. Sehingga, semua
orang entah baik atau buruk, salah atau benar, ditarik kearah pemenuhannya pada
Allah. Ia menimbulkan kehausan yang mempersonakan yang hanya dapat

4
terpuaskan dalam Allah. Materai itu adalah materai abadi dan kodrati. Ia tidak
akan musnah betapapun manusia itu berdosa atau menolaknya.

1. Manusia Sebagai Pribadi


Penciptaan manusia sebagai citra Allah memberikan manusia martabat
sebagai pribadi. Pendapat ini ditegaskan oleh para Bapa gereja. St. Agustinus
mengatakan bahwa pribadi manusia merupakan suatu substansi, basil penyatuan
substansi jiwa dan badan. Bapa-bapa gereja berikutnya, meskipun berbeda dalam
gagasan tentang relasi antara badan dan jiwa, tetap mempertahankan gagasan
manusia sebagai pribadi. Konsili vatikan II dalam konstribusi Gaudiwn Et Spess
menegaskan kembali, bahwa oleh karena citra Allah dalam dirinya, manusia
memperoleh martabat sebagai pribadi.

2. Jiwa dan Badan Dalam Pribadi Manusia


a. St. Agustinus
(1) Pengaruh Filsafat Plato
Menurut Plato, badan dan jiwa memiliki asal usul yang berbeda. Jiwa
berasal dari dunia idea dan badan berasal dari dunia maya/jasmani. Karena berasal
dari dunia idea, jiwa bersifat abadi dan memiliki kecenderungan ke hal yang baik
dan luhur. Sedangkan badan karena berasal dari dunia maya bersifat fana dan
rap[uh, dan memiliki kecenderungan ke hal yang baik dan buruk.
Pemikiran Plato banyak mempengaruhi para Bapa gereja awal, antara lain
Agustinus, Origenes, Gregorius dari Nyssa dan Anselmus. Mereka melakukan
dikotomi berat, sebelah badan dan jiwa. Keyakinan bahwa jiwa memiliki
kekekalan membuat mereka beranggapan bahwa jiwa sudah memiliki substansi
sendiri sebelum menyatu dengan badan. Bahkan kesatuannya dengan badan justru
menghambat penyatuan dengan yang Ilahi.

(2) Asal Usul Jiwa


Agustinus menjelaskan juga perihal asal usul jiwa. Dengan bersumber dari
Sir 18:1, !6:24-17:4 dan berinspirasi dari Kej 1:1-29, Agustinus mengatakan
bahwa jiwa manusia diciptakan oleh Allah dari ketiadaan. Ia menolak pandangan

5
kaum Manikheis yang menyatakan bahwa jiwa merupakan ‘sebagian’ yang
dilepaskan dari substansi ilahi, dan pandangan Origenes tentang preksistensi jiwa.

(3) Keunggulan Jiwa dari Badan


Agustinus mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang berakal budi yang
dipersiapkan untuk mengemudikan badan. Manusia adalah jiwa berakal budi yang
mempunyai dan memakai badan. Karena itu, jiwa merupakan hakikat manusia
yang sesungguhnya. Jiwa bersifat rohani, hadir pada dirinya sendiri dalam
keintiman dan keinsafan akan dirinya sendiri.

(4) Keabadian Jiwa


Menurut Agustinus karena asal usulnya dan karena kodratnya sebagai
wadah kebenaran abadi, maka jiwa juga bersifat abadi. Betapa pun badan
mengalami kemusnahan, tetapi kemusnahan badan tidak dapat memusnahkan jiwa
seta kebenaran-kebenaran di dalamnya; dan sekalipun dosa memang merugikan
jiwa, tetapi ia tidak dapat memusnahkannya. Jiwa memiliki hubungan ontologism
dengan kebenaran-kebenaran yang berdiam didalamnya. Namun jiwa tidak bisa
musnah oleh berbagai kontradiksi kebenaran-kebenaran itu.

b. Thomas Aquinas
Thomas mengatakan bahwa hanya lewat badan, jiwa manusia mampu
bereksprensif dan bereksistensi. Dalam setiap dinamisme penjelajahan, pemikiran
cemerlang, pengalaman rohani paling inters dari jiwa, tetap berakar dan
dikondisikan oleh badan, pengindaraan dan imajinatif, termasuk Allah, tetap
dalam kesatuan dengan badan dan menimbulkan efek badaniaah (seperti emosi,
gerakan badan). Di puncak ekstasi itu, manusia mencapai kehidupan Allah, ia
justru menikmati kesenangan indrawi secara sempurna dan utuh. Untuk itu
Thomas mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan tidaak hanya harus diterima
tetaapi juga dipuji dan dirayakan.

6
c. Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II menegaskan kembali gagasan Thomas Aquinas. Dalam
konstitusi Gaudium et Spes, para Bapa konsili mengatakan bahwa keastuan jiwaa
dan raga dalam pribadi manusia merupakn kodrat manusia. Badan tidak boleh
diremehkan, melainkan harus pandang baik dan dihargai, sebab badan adalah
ciptaan Allah, akan dibangkitkan/dimuliakan pada hari terakhir. Badan adalah
pemersatu semua unsur-unsur jasmani, dan melalui meluhurkan Allah.
Dengan tanpa merendahkan badan, konsili juga menyadari keunggulan jiwa
yang bersifat rohani dan kekal abadoi, sebab didalamnya Allah berdiam dan
memberi pencerahan kepada pribadi manusia agar dapat menentukan keputusan-
keputusannya berdasarkan kebenran-kebenaran yang mendalam.

(5) Menelusuri Citra Allah Tritunggal


a. Jejak-jejak Tuhan Trinitas Pada Semua Makhluk
Menurut Agustinus, manusia bukan satu-satunya makhluk yang
menampakkan citra Allah. Semua makhluk karena diciptakan menurut ide-ide
Allah, mempunyai kemiripan dengan Allah. Kemiripan dalam makhluk-makhluk
itu tidak memiliki kadar yang sama, tetapi sesuai dengan derajat kesempurnaan
dalam keberadaan ontologisnya. Dalam suatu tatanan yang teratur, ciptaan-ciptaan
secara tidak sama mengambil bagian dalam kesempurnaan ide-ide Allah
Tritunggal. Karena derajat partisipasi yang berbeda, maka makhluk yang satu bisa
lebih jelas menampakkan citra Allah dari pada makhluk lain.

b. Citra Tuhan Trinitas dalam diri Manusia


Pertigaan pertama terdiri dari mens (akal budi), notitia (pengertian,
pengenalan) dan amor (cinta) berbeda satu terhadap yanag lain sekaligus
merupakan kesatuan yang hakiki, saling mengikat sehingga tampak sebagai
sebuah pertigaan. Pertigaan ini terjadi ketika pengenalan dan cinta yang ada dalam
akal budi terarah kepada diri sendiri. Menurut Agustinus, pertigaan antara ketiga,
unsur ini memperlihatkan gambaran Allah Tritunggal, yaitu pertigaan tiga, pribadi
ilahi yang saling berhubungan dalam keesaan ilahi.

7
Pertigaan kedua lebih sempurna menampakkan gambaran Allah Tritunggal.
Dalam pertigaan ini, apa yang sudah dikenal dalam akal budi (mens) digali dan
dieksplisitkan secara lebih sempurna, dalam pengertian, pemahaman, pengetahuan
yang tersimpan dalam ingatan.
Pertigaan yang paling tinggi adalah memoria Dei, intelligentia dan amor.
Pada pertigaan ini, tidak hanya dibentuk suatu relasi dengan dirinya sendiri, tetapi
juga suatu relasi jiwa dengan Allah. Dia bukan lagi seperti pertigaan dalam akal
yang diwarnai dengan mengingat diri sendiri, mengerti diri sendiri dan mencintai
diri sendiri. Dalam pertigaan ini jiwa kita mengingat, mengerti dan mencintai
Allah yang adalah pengada.

4. Kehendak Bebas dan Hati Nurani


a. Kehendak Bebas
Tradisi (P) dalam menyajikan kisah penciptaan menekankan kebebasan
manusia sebagai citra Allah. Dengan kebebasan itu manusia memiliki
kemmungkinan untuk memilih. Kitab Sirakh menyatakan bahwa dengan
kebebasan itu, Allah menyerahkan kepada manusia, atas apa yang dilakukannya
berdasarkan pertimbangannya sendiri. Dan berdasarkan kebebasannya itu, ia harus
bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.
Menurut Agustinus, kehendak bebas memainkan peranan penting dalam
jiwa manusia. Ratio berada pada posisi netral, kehendaklah yang mengarahkan
jiwa. Kehendaklah yang memberi keterarahan bagi jiwa untuk memilih antara, ke
atas, yakni kepada Allah pencipta atau ke bawah, yakni ke dunia yang bukan
kediaman yang sesungguhnya. Dan jiwa harus bertanggung jawab atas pilihannya.
Ia harus menerima segala konsekwensi yang harus ditanggungnya. Di sinilah letak
dimensi moral dan jiwa. Keterarahan ke atas menjadikannya bermoral baik
(bijaksana), sedangkan keterarahan ke bawah akan menjadikannya bermoral
buruk. Keterarahan menentukan moralitas manusia. Jika keterarahan itu jahat,
maka semua dorongan hati dan hasrat pun jahat. Jika keterarahan itu baik, semua
dorongan hati dan hasrat pun baik. Keterarahan jahat timbul dari keangkuhan
untuk menikmati ketinggian dan kemuliaan palsu. Manusia menjauhkan diri dari

8
Allah, asalnya sebenarnya, dan menjadikan dirinya sendiri sebagai asalnya
sendiri.
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kebebasan manusia yang sejati
merupakan tanda keserupaannya dengan Allah, supaya dengan sukarela dan sadar
mencari sang pencipta dan mengabdi kepadaNya sampai mencapai kesempurnaan
sepenuhnya yang membahagiakan. Ia dapat mencapai martabat itu, bila
membebaskan diri dari penawaran nafsu-nafsu, secara bebas memilih apa yang
baik, serta dengan tepat guna dan jerih payah yang tekun mengusahakan sarana-
sarana yang memadai.

b. Hati Nurani
Selain akal budi dan kehendak, dalam jiwa manusia juga terdapat hati
nurani. Konsili mengatakan bahwa hati nurani adalah inti manusia yang paling
rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah yang sapaanNya
menggema dalam batinnya.
K. Bertens dalam bukunya, ‘Etika, mengatakan bahwa sesungguhnya hati
nurani adalah bagian dari akal budi manusia, tepatnya akal budi praktis. Akal budi
manusia tidak hanya berada pada tataran teoritis, yang membuatnya bissa
bereksplorasi dengan berbagai gagasan, menembusi batas - batas materi. Akal
budi juga berkaitan pada tataran praktis, yakni ketika seorang berhubungan
langsung dengan tindakan konkretnya. Di sinilah letak hati nurani, ia semacam
intuisi yang menilai suatu perbuatan konkret yang sudah, sedang atau yang akan
dilakukan. Hati nurani itu semacam instansi, penghakiman dalam diri individu;
dan menjadi jalan bagi pribadi manusia menerima tanggung jawab personal atas
perbuatan yang dilakukan.
Katekismus gereja Katolik menyatakan bahwa martabat pribadi manusia
mengandung dan merindukan hati nurani yang menilai suatu perbuatan secara
tepat. Hati nurani mengandaikan pemahaman prinsip – prinsip moral dan
kehendak bebas dan ketajaman budi akan situasi konkret yang dihadapi.
Kebijaksanaan seorang pribadi manusia terwujud ketika hati nuraninya
memutuskan secara konkret menurut kebenaran – kebenaran moral yang
dinyatakan dalam hukum akal budi.

9
C. Terarah Kepada Hubungan Kasih dengan Sang Pencipta.
Dengan percikan kehidupan Allah dalam diriNya, maka manusia memiliki
kemampuan dasar dan kehausan tanpa batas untuk berjumpa dan berelasi dengan
Allah. Hal ini menjadi inti teologi antropologis Thomas Aquinas. Karl Rahner,
hampir dalam seluruh karyanya berbicara tentang hal yang sama. Pada dasarnya
manusia adalah potential oboedientialis, terarah dan tertuju kepada Dia yang dari
pada Nya ia berasal dan kepadaNya ia dipanggil pulang.
Namun dalam membangun relasi itu, manusia bukan pada posisi inisiatif.
Inisiatif selalu berasal dari Allah yang mewahyukan diri. Posisi manusia adalah
memberi tanggapan atas panggilan Allah. Ia sudah terstruktur sebagai makhluk
responsif. Manusia bisa menjadi diri sendiri hanya bila manusia itu berada dalam
relasi. Relasi kasih hanya dapat dibangun dalam kebebasan. Kesukarelaan adalah
dasar dari kasih sejati. Dan sebaliknya dalam kasih bebas kita menemukan bentuk
perwdujudan paling tinggi.

D. Menjadi ‘Wakil’ yang ditentukan Allah


Dengan diciptakan secitra dengan Allah, sesungguhnya manusia (pria dan
wanita) memiliki panggilan untuk menjadi wakil Allah untuk ‘menaklukkan
dunia’. Allah memberi kemungkinan kepada manusia untuk mengambil bagian
secara bebas dalam penyelenggaraanNya dan menyerahkan tanggung jawab,
untuk menaklukan dunia dan berkuasa atasnya. Keistimewaan itu tidak dapat
menjadi sumber kelaliman yang menghancurkan, tetapi mengambil bagian dalam
citra Allah yang mengasihi dunia untuk bertanggung jawab atas semua makhluk
ciptaan Allah. Dengan demikian manusia sesungguhnya adalah partner Allah
dalam melengkapi karya ciptaan dan untuk menyempurnakan harmoninya demi
kesejahteraan diri dan sesama. Ia mengaruniakan kepada kita berbagai
kemampuan, talenta – talenta, bakat – bakat, serta kharisma – kharisma supaya
kita dapat ambil bagian dalam tugas ini. Dalam dan melalui kita, Allah bekerja
dan selalu bekerja. Dan dengan itu martabat kita ditinggikan.
St Gregorius dari Nisa mengatakan : “Allah memampukan manusia
menjalankan peranannya sebagai raja bumi .... segala sesuatu memperlihatkan
bahwa sejak semula kodrat manusia ditnadai oleh martabat rajawi ... manusia itu

10
raja. Diciptakan untuk berdaulat atas bumi, dikaruniai keserupaan dengan Raja
semesta alam. Ialah citra yang hidup, yang karena martabatnya berpartisipasi
dalam kesempurnaan Sang Pola Dasar Ilahi.
Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae menegaskan kembali ajaran
ini. Panggilan manusia sebagai citra diwujudkan dalam pengadaan keturunan yang
dijalankan dengan cinta kasih dan sikap hormat terhadap Allah, penugasan atas
bumi dan berdaulat atas makhluk – makhluk yang lebih rendah dan atas ‘hidup’
dan dirinya sendiri dalam semangat pengabdian kepada Allah, dan dijalankan
dengan kebijaksanaan dan cinta kasih. Namun manusia bukan tuan “yang mutlak”
atau hakim yang terakhir, melainkan dalam keagungannya ia merupakan pelayan
rencana Allah. Dalam mengembangkan panggilan ini, manusia wajib
mendengarkan rencana Tuhan dan memperhatikannya dalam setiap tindakannya.
Yesus Tuhan, dalam pekerjaanNya sebagai tukang di Nazaret telah menunjukkan
teladan menjalankan panggilan ini.

E. Manusia dan Manusia Lain


Setiap orang diciptakan menurut gambar Allah yang sama, supaya seluruh
bangsa manusia yang mendiami muka bumi ini berasal dari satu asal, menjadi satu
keluarga, saling menghadapi dengan sikap persaudaraan dan dipanggil untuk
tujuan yang sama, yakni mencapai kepenuhan dalam Allah. Paus Pius XII
mengatakan bahwa kesamaan asal usul semua manusia ini menunjukkan semua
manusia, berada dalam kesatuan kodrat, kesatuan tujuan, kesatuan tebusan, dan
kesatuan tugas di dunia. Semua umat manusia berdiam dalam bumi yang sama,
maka semua berhak menikmati hasil – hasilnya untuk bertahan dalam kehidupan
dan berkembang. Karena itu meskipun keanekaragaman pribadi, kebudayaan serta
bangsa, semua manusia adalah saudara dan saudari. Inilah hukum solidaritas kasih
masyarakat manusia.
Untuk itu Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa cinta kasih kepada Allah
tidak bisa terpisahkan dari cinta kasih kepada sesama. Yesus Tuhan telah
menetapkan ini menjadi hukum yang utama. Semua hukum lain mencapai
kepenuhan dalam hukum ini. “Hendaklah engkau mengasihi sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri.” (Roma 3:9 – 10). Maka sesungguhnya umat manusia

11
memiliki kesatuan dan kesalingtergantungan. Dalam doaNya, Yesus menunjukkan
bahwa kemiripan kesatuan pribadi-pribadi ilahi (Allah Tritunggal ) merupakan
dasar kesatuan semua orang dalam kebenaran dan cinta kasih.

F. Dosa, Melukai Kodrat Manusia sebagai Citra Allah.


Kodrat manusia terletak dalam keterarahan hidupnya kepada Allah dan
berjuang mencapai kesempurnaan dalam Allah. Allah adalah pusat dan arah hidup
manusia. Kodrat manusia menjadi terluka ketika ia memilih yang lain sebagai
pusat dan arah hidupnya. Inilah sesungguhnya dosa, yakni menjauhkan diri dari
Allah, pusat dan arah hidup asasinya, dan menjadikan yang lain sebagai pusat dan
arah pencapaian hidupnya. Dengan kata lain, dosa adalah kesombongan manusia
yang mencari kebahagiaan di luar Allah.
Akibat yang terjadi, kodrat manusia sebagai citra Allah mengalam
keterlukaan. Pada aspek ini gereja Katolik bertentangan dengan gereja – gereja
Protestan. Luther mengatakan bahwa ketika manusia jatuh dalam dosa, seluruh
kodrat manusia mengalami kehancuran. Gereja Katolik menolak pandangan ini.
Bagi para Bapa gereja Katolik, citra Allah dalam diri manusia tidak rusak secara
total. Thomas Aquinas mengumpamakan citra Allah yang terluka dosa dengan
berlian yang terbenam lumpur, Ia tetap berlian namun tak mampu bercahaya lagi.
Dengan menempatkan hal lain (bukan Allah) menjadi pusat dan arah hidupnya,
manusia telah memburamkan cahaya citra Allah dalam dirinya. Relasinya dengan
Allah tetap ada namun terisolasi di samping prioritas – prioritas yang lain. Dalam
keadaan demikian manusia menjadi teralienisasi dengan Allah dan dirinya sendiri.
Keadaan dosa adalah keadaan keterasingan dari Allah pencipta.

G. Dipulihkan dan Diangkat menjadi Anak Angkat Allah


Santo Gregorius dari Nisa berkata : “Kodrat kita yang sakit membutuhkan
dokter, manusia yang jatuh membutuhkan orang yang mengangkatnya kembali;
yang kehilangan kehidupan membutuhkan sesorang yang memberi hidup.
Santo Paulus dalam beberapa suratnya mengatakan bahwa Yesus pertama
– tama adalah citra sejati Allah dan oleh Dia kita semua beroleh pemulihan kodrat
dan berpartisipasi dalam kodrat ilahi. Yesus Kristus adalah gambar yang

12
sesungguhnya dari Allah yang tidak kelihatan. Penginjil Yohanes juga
menegaskan bahwa keserupaan Yesus dengan Allah. “Firman itu adalah Allah”
(Yoh. 1:1); “Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Dalam
suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus mengatakan bahwa Yesus adalah jalan
pemulihan dan pengangkatan kodrat manusia. Oleh dan dalam Dia, semua anak –
anak Adam tidak hanya dipulihkan dari kodratnya yang terluka dosa, tetapi juga
diangkat ke martabat sebagai anak – anak Allah.

H. Pemikiran Refleksi
Hidup manusia oleh karena diciptakan secitra dengan Allah, sejak awal
melibatkan Allah, dan mengarah kepada kepenuhan dalam Allah, memiliki nilai
hidup yang agung dan tak terhingga. Konsili Vatikan II mengatakan bahwa
penjelmaan putra Allah yang menyatukan diri dengan tiap orang, tidak hanya
menyingkapkan keselamatan dan cinta kasih Allah yang tiada bandingnya,
melainkan juga nilai tiada bandingnya pribadi manusia. Hidup manusia meskipun
masih akan menuju kepenuhan dalam Allah memiliki nilai keramat dan
mengandung hak – hak kodrati yang tak dapat diganggu gugat. Karena itu Konsili
Vatikan II menyerukan perlunya suatu tatanan dunia yang lebih adil dan
mannusiawi supaya semua orang berhak menikmati hasil – hasilnya untuk
bertahan dan berkembang dalam kehidupan. Dan setiap diskriminasi dalam hak –
hak asasi pribadi entah bersifat kondisi sosial, bahasa dan agama, harus diatasi
dan disingkirkan, sebab bertentangan dengan kehendak Allah.
Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae mengatakan
bahwa dewasa ini terjadi serangan – serangan dan ancaman – ancaman terhadap
martabat dan hidup manusia secara meluas dan mencemaskan. Selain karena
berbagai malapetaka yang dahulu menimpa masyarakat, seperti kemiskinan,
kelaparan, wabah penyakit, juga bermunculan bentuk – bentuk baru kekerasan dan
perang mengerikan. Menanggapi hal ini, Paus mengulangi lagi pernyataan para
Bapa Konsili : “Apa saja yang berlaawanan dengan kehidupan sehari – hari,
misalnya dalam pembunuhan yang manapun juga, penumpasan suku,
pengguguran, euthanasia dan bunuh diri yang disengaja; apapun yang melanggar
keutuhan pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang

13
ditimpakan pada jiwa maupun badan, usaha – usaha paksaan psikologis; apapun
yang melukai martabat manusia, seperti kondisi – kondisi hidup yang tidak
manusiawi, pemenjaraan sewenang – wenang, hal – hal serupa itu adalah
perbuatan keji. Selain mencoreng peradaban manusia, perbuatan – perbuatan itu
bertentangan dengan kemuliaan sang Pencipta.

14
BAB III
PEMBAHASAN

Kelebihan dan Kelemahan Buku

1. Kelebihan Buku
Menjelaskan semua bagian yang berhubungan dengan materi sehingga kita
mendapatkan informasi yang banyak mengenai materi ini.

2. Kelemahan Buku
Pembahasannya monoton sehingga menimbulkan kebosanan terhadap
pembaca. Pembahasannya terlalu bertele-tele dan bagian-bagian setiap pembahsan
tidak jelas.

15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Panggilan utama manusia sebagai citra Allah, tidak hanya membangun
relasi dengan Allah dan berjuang untuk memperoleh kepenuhan dalam. Dia, tetapi
mejadi wail Allah dalam dunia untuk mewujudkan rencana agung bagi diri
sendiri, sesama dan alam semesta. Pada zaman ini kita mempunyai misi pokok
mewartakan injil kehidupan bagi masyarakat modern, dan bersama-sama dengan
semua penduduk bumi memulihkan keutuhan dan keharmonisan alam semesta.

B. Saran
Sebagai generasi muda, kita harus mempejalari lebih memahami bagaimana
hidup manusia diciptakan secitra dengan Allah, dimana sejak awal melibatkan
Allah, dan mengarah kepada kepemilihan Allah, memiliki nilai hidup yang agung
dan tak terhingga.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ndona, Yakobus. 2013. Agama Khatolik. Medan : Percetakan Unimed

Kemenristekdikti. 2016. Pendidikan Agama Katolik. Jakarta : Direktorat


Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan

17

Anda mungkin juga menyukai