Anda di halaman 1dari 12

Nama : Christian Yosefansia Tambunan

NIM : 200510022
Kelas/Semester : III A/ VI

MANUSIA SEBAGAI PRIBADI: Sebuah Tinjauan Filosofis dan Etis Manusia dalam
Konteks Kebiarawanan

1. PENGANTAR

Sebagai makhluk hidup yang bertubuh, berbudi, berjiwa, dan beroh, manusia tidak
hanya terkurung dalam tubuhnya sendiri, tetapi juga mampu bertransendensi atas diri dan
lingkungan hidupnya. Hidupnya dan keberadaan manusia sebegitu kaya sehingga dapat
disoroti dari pelbagai sudut pandang.1

Setiap pribadi manusia mempunyai keunikan masing-masing karena prilaku


seseorang selalu dibentuk oleh dua hal: sikap dan karakter pribadi. Sikap dapat dimengerti
sebagai keadaan batin yang mengandung pendirian dan keyakinan terhadap seseorang
ataupun sesuatu, yang terungkap secara lahir dalam kata-kata serta tingkah laku. Sikap tidak
dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan hidupnya.
Sikap inilah yang memperngaruhi karakter pribadi seseorang.

Sikap dan karakter yang kita miliki dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya,
lingkungan tempat tinggal kita, pendidikan di dalam keluarga, pendidikan formal yang kita
peroleh, media informasi dan perkembangan kepribadian kita. Maka tidak akan pernah ada
dua manusia yang sama persis di dunia ini, kendatipun dilahirkan kembar identik. Pasti
keduanya mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, meraka tumbuh dan berkembang dari
lingkungan dan kepribadian yang mempengaruhi mereka.

Manusia yang satu dengan manusia yang lainnya tidak akan pernah dapat disamakan.
Setiap orang mempunyai pribadi yang unik, karena perasaan, pengalaman, pendidikan, dan
lingkungan yang selama ini mempengaruhinya. Sifat dan karekter tidak dibangun secara
instan atau cepat, melainkan melalui proses yang panjang dan bertahap. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia merupakan pribadi yang unik. Sikap tidak dibawa sejak lahir melainkan
dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan hidupnya, sikap inilah yang mempengaruhi
karakter pribadi seseorang. Uraian tersebut akan penulis sajian dalam paper singkat ini
dengan menyoroti manusia dan tindakannya dari sudut tinjauan etika.
1
William Chang. Pengantar Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 47.

1
2. MANUSIA SEBAGAI PRIBADI
2.1 Sebagai Pribadi

Manusia sebagai makhluk yang sadar dan bebas disebut pribadi atau person. Manusia
sebagai pribadi dipanggil dan dibujuk dari dalam untuk menjadi “a personality” yaitu untuk
menuju dirinya yang sejati. Prinsip pergerakannya adalah dirinya sendiri. Pusat yang serba
baru itu itulah “aku”. Bagi setiap manusia tetap berlaku bahwa ia adalah person meskipun
pada awalnya kesadaran dan kebebasan belum berkembang atau perkembangnya terhalang
akibat suatu kerusakan pada otaknya. Ia tetap pribadi dengan segala hak-hak asasi yang
berdasar pada kodratnya sebagai manusia.2

Akan tetapi, seorang pribadi belum tentu berkepribadian. Orang disebut


berkepribadian jika ia berhasil merealisasikan diri sesuai dengan panggilan kodrati sebagai
person. Semakin manusia menuju diri yang sejati semakin ia berkepribadian. Ia menjadi
seseorang yang berdiri sendiri dan tidak diombang-ambingkan oleh pelbagai macam
pengaruh dari luar. Ia menjadi orang yang dewasa. Manusia juga makhluk sosial. Dalam
proses pembentukan diri, faktor lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan faktisitas sosial
ikut memainkan peranan. Namun, dalam yang menjadi penggerak adalah “diri” orangnya.
Panggilan untuk menjadi pribadi bersifat etis.3

Mengapa manusia disebut sebagai pribadi? Dalam diri manusia terdapat badan, jiwa
dan roh. Manusia adalah makhluk yang paradoksal. Paradoks berhubungan dengan jiwa
manusia sendiri. Manusia adalah suatu kesatuan, tetapi dalam kesatuan ini tampak adanya
suatu keduaan (jiwa-badan/ spirit-matter).4 Badan, jiwa, dan roh merupakan tiga dimensi
yang berlainan. Ketiga dimensi itu Bersatu dalam diri manusia. Unsur jasmaniah ini
berhubungan dengan manusia secara keseluruhan, maka manusia dapat dibahas dengan
metode ilmu alam. Manusia juga makhluk biologis, maka manusia dapat dibahas dengan
metode ilmu hayat. Ilmu manusia dengan refleksi atas diri membahas hal yang manusiawi.
Maka, pada manusia terdapat dua sumber pengetahuan yaitu pengetahuan inderawi dan
pengetahuan refleksi atas diri.5
Manusia sebagai pribadi dapat juga ditinjau dari sudut pandang kristiani. Iman Kristen
memberikan jawaban, karena manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah (Kej 1: 26).

2
Adelbert Snijders. Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius,
2004), hlm 90.
3
Adelbert Snijders. Antropologi Filsafat Manusia …, hlm. 90.
4
Adelbert Snijders. Antropologi Filsafat Manusia …, hlm. 97.
5
Adelbert Snijders. Antropologi Filsafat Manusia …, hlm. 99.

2
Dalam teks Kitab Suci, manusia diciptakan Allah menurut gambar dan citra-Nya, seperti
dalam teks Kejadian 1:26-31. Hanya kepada manusia diberi kemampuan untuk menata,
melestarikan, mengembangkan, dan menggunakannya secara bertanggung jawab. Adapun
anugerah yang diperoleh manusia untuk mengembangkan kemampuannya adalah:6
a. Kemampuan Akal budi

Dengan akal budi manusia dapat mengerti dan menyadari diri sendiri, manusia
mengerti dan sadar bahwa ia sedang berbuat sesuatu. Ia dapat merefleksikan kembali apa
yang ia lakukan. Hanya manusia yang dapat berbuat demikian, sementara binatang tidak
dapat. Manusia mengerti dan menyadari apa di luar dirinya, manusia dapat menyadari adanya
kemampuan untuk menghubungkan dua variabel yang berhubungan. Manusia dapat
mengembangkan dirinya, dan dapat membuat sejarah serta riwayat hidupnya, manusia dapat
bertanya dan memberi jawaban sehingga ia dapat menentukan arah hidupnya. Manusia dapat
membangun hubungan yang khas dengan sesama, manusia dapat bertemu dan mengalami
kebersamaan dan persahabatan.7

b. Kemampuan Kehendak Bebas

Kehendak bebas berarti kemampuan untuk bertindak dengan tidak ada


paksaan. Dengan kehendak bebas manusia dapat bertindak dan melakukan segala sesuatu
dengan sengaja. Dengan kehendak bebas manusia dapat melakukan suatu tindakan dan
perbuatan moral. Sebab hanya manusia yang dapat bertindak secara tahu dan mau, manusia
mempunyai kewajiban-kewajiban moral, dan kewajiban moral dibisikan oleh hati nurani kita
masing-masing. Dengan kehendak bebas manusia dapat bertindak secara bertanggungjawab.

c. Kemampuan menguasai

Tuhan menyerahkan alam lingkungan ini kepada manusia untuk dikuasainya, manusia
bukannya menguasai alam ini secara sewenang-wenang, tetapi harus bertanggung jawab. Kita
harus menjadi rekan kerja Tuhan untuk mengembangkan alam dan lingkungan ini sebaik
mungkin. Dengan adanya kemampuan tersebut, kiranya jelas bahwa manusia adalah makhluk
pribadi yang unik. manusia adalah mahluk yang bermartabat dan berkepribadian.8

Dari segala ciptaan yang kelihatan, hanya manusia itu “mampu mengenal dan
mencintai Penciptanya” (GS 12,3): ialah “yang di dunia merupakan satu-satunya makhluk,

6
Largus Nadeak. Topik-Topik Moral Fundamental: Memahami Tindakan Manusiawi dengan Rasio
dan Iman (Medan: Bina Media Perintis, 2015), hlm. 84.
7
Largus Nadeak. Topik-Topik Moral Fundamental: …, hlm. 89.
8
Largus Nadeak. Topik-Topik Moral Fundamental: …, hlm. 91.

3
yang Allah kehendaki demi dirinya sendiri” (GS 24,3): hanya dialah yang dipanggil, supaya
dalam pengertian dan cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah.9

Paulus juga memberikan pandangannya mengenai manusia dengan dirinya bahwa ia


memiliki kesatuan tubuh-jiwa-roh (1Tes 5:23). Pandangan ini berdasarkan pada pengertian
bahwa, Allah menciptakan manusia, dengan memberikan tiga unsur utama di dalam diri
manusia yaitu tubuh, jiwa dan roh. Sebagaimana juga dalam pandangan para filsuf Yunani,
memandang bahwa tubuh, jiwa dan roh adalah satu kesatuan, yang ada dalam manusia yang
hidup.

Menurut paham Ibrani, manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu tubuh, jiwa, dan roh.
Yang pertama dijadika dari tanah liat, yang kedua ialah kehidupannya (nyawa), sedang yang
ketiga ialah roh yang dapat merasa, mendengar, melihat, memikirkan dsbnya 1 Tesalonika
5:23; Kejadian 2:17; Bilangan 16:22.

Jiwa terdiri dari emosi, kehendak, dan pikiran kita, dan tentu saja, semua orang
mengetahui apa yang dimaksud dengan tubuh. Kita berbeda degan binatang, karena kita dalah
makhluk yang memiliki roh. Binatang memiliki jiwa, walaupun tidak semaju sebagaimana
jiwa manusia. Tentu saja binatang mempunyai emosi, kehendak, dan akal budi yang berbeda
tingkatannya. Sebagai manusia kita ini unik. Anda dapat mengatakan bahwa kita adalah
makhluk yang memiliki roh, yang mampu mengenal Allah. Kita mempunyai jiwa, dan kita
hidup di dalam tubuh jasmani.10

2.2 Manusia sebagai Individu

Individualisme muncul jika keunikan sebagai individu diutamakan atas keunikan


pribadi. Sebagai individu, manusia merupakan salah satu realisasi dari jenis yang sama,
seakan-akan seperti hasil dari mesin yang memproduksikan banyak barang menurut satu
contoh yang tepat. Demikian juga jika keunikan sebagai individu diekstremkan. Manusia
menjadi nomor dan diperlakukan sebagai nomor saja. Nomor yang satu dapat diganti dengan
nomor yang lain. Orang yang menilai diri atas dasar keunikan material dan kuantitatif,
manusia itu mengoposisikan diri dengan yang lain agar tidak tenggelam dalam kesamaan
dengan yang lain. Jika terjadi demikian, keunikan dirasakan terancam. Orang lain lalu
menjadi saingan. Dia mencari perbedaan diri dengan orang lain melalui pakaian, warna atau
gaya rambut, make up atau sepeda motor. Atas cara demikian, keunikannya menjadi nyata.
Keunikan dan perbedaan orang lain membuat ia iri hati. Dalam pandangannya keunikan
9
Dokumen Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes. Penerj. R. Hardawiryana, Jakarta: OBOR, 2004.
10
Largus Nadeak. Topik-Topik Moral Fundamental: …, hlm. 94.

4
orang lain merupakan bahaya bagi keunikan dirinya. Dia menuntut kebebasan yang mutlak.
Inilah bahayanya jika keunikan material dilepaskan dari keunikan pribadi.11

2.3 Manusia dalam Relasi Sosial

Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik
dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-
unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka
seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan
rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya. Manusia
sebagai individu selalu berada di tengah-tengah kelompok individu yang sekaligus
mematangkannya untuk menjadi pribadi. Proses dari individu menjadi pribadi, didukung dan
dihambat oleh dirinya sendiri dan juga oleh kelompok sekitarnya.12

Pada kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain
itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan.
Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama
dengan manusia lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena pada diri manusia
ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga
tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia. Manusia
tak akan bisa hidup tanpa bantuan manusia lainnya.13

Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial pastinya membutuhkan orang
lain. Oleh karena itu, proses interaksi dan sosialisasi selalu terjadi kapanpun dan dimanapun.
Adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat menggambarkan bahwa dalam setiap
kelompok terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai
kepada kedudukan yang paling rendah, seolah-olah yang bertingkat-tingkat dari atas ke
bawah. Strata ini terjadi karena dalam masyarakat selalu ada yang dihargai sebagai hal yang
menyebabkan timbulnya bibit-bibit strata didalam masyarakat.14

Manusia menjadi diri dengan memperkembangkan relasi dengan sesama dan dengan
membangun dunia. Karena itu, berdiri sendiri sebagai person tidak terletak di luar relasi-
relasi tersebut. Aku bukan suatu daerah kebatinan tersendiri dan terpisah. Berdiri sendiri
sebagai person terjadi dalam relasi ekstensial dan dasariah. Dalam segala relasi ini aku

11
Adelbert Snijders. Antropologi Filsafat Manusia …, hlm. 93.
12
Achmad Charris Zubair. Kuliah Etika (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 35.
13
Achmad Charris Zubair. Kuliah Etika …, hlm. 37.
14
M. Suprihadi Sastrosupono. Etika: Sebuah Pengantar (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 43.

5
berkembang sebagai pribadi. Apabila aku semakin menjadi pribadi, maka aku juga semakin
memperkembangkan relasi-relasi ini. Person dan relasi tidak terpisahkan.15

Manusia sebagai person merupakan pusat dan sumber keaktifannya. Aku sendiri yang
berpikir, memutuskan dan bertindak. Aku bertanggung jawab justru karena tindakanku
berasal dari diriku sendiri. Hal itu dapat memberikan kesan bahwa faktisitas sosial
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan aku sebagai person. Aku tergantung dan
sekaligus tidak tergantung. Manusia adalah makhluk paradoksal. Sumber tindakanku berasal
dari diriku sendiri, tetapi aku membutuhkan sesama untuk menjadi seseorang yang otonom.
Aku menjadi dewasa yang bertanggung jawab berkat dan dengan pertolongan sesama. Berkat
pendidikan dan faktisitas sosial, aku semakin menjadi seorang yang berpikir sendiri, bebas
dan ikut menciptakan suasana di mana sesamaku dapat menjadi diri.16

2.4 Manusia sebagai Subyek Moral

Keunikan kodrat manusia, antara lain, terletak pada akal budi, yaitu kemampuan
untuk mengambil keputusan dan menentukan diri sendiri. Kemampuan ini tidak ditemukan
dalam makhluk hidup lain, seperti hewan. Boethius berpandangan bahwa individualitas dan
rasionalitas menjadikan manusia sebagai makhluk berpribadi. Sebagai dimensi rohani dalam
diri manusia, rasionalitas adalah unsur hakiki yang menentukan manusia sebagai pribadi.
Sebagai pribadi, keberadaan manusia terkait dengan dunia di luar dirinya. Kepribadian
seseorang ditemukan dalam tubuh, budi, kemampuan berkeputusan dan menentukan diri
sendiri.17

Pribadi manusia tak hanya menunjukkan dimensi rohani manusia, tetapi juga
berhubungan dengan keberadaan manusia secara menyeluruh. Pribadi menunjuk manusia
sebagai roh yang berdaging. Tubuh dan jiwa manusia adalah suatu kesatuan. Sifat yang
paling bermakna dari pribadi manusia adalah “menjadi subjek”, yaitu sumber interior
keputusan bebas. Sebagai pribadi, manusia menjadi tuan atas semua tindakan dan perwujudan
dirinya. Pribadi manusia berperan menata kembali dalam dirinya suatu pusat kegiatan
manusia dengan menguasai diri dan seluruh kegiatan hidupnya.18

Sebagai subjek moral, manusia adalah subjek hal dan kewajiban, sebab manusia
adalah pemegang hak dan kewajiban. Sebagai pemegang hak, manusia mampu melakukan

15
Adelbert Snijders. Antropologi Filsafat Manusia …, hlm. 94.
16
Adelbert Snijders. Antropologi Filsafat Manusia …, hlm. 94.
17
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 47.
18
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 48.

6
sesuatu bagi dirinya atau bagi orang lain. Hak-hak yang terletak dalam pribadi manusia
merupakan “perpanjangan” diri manusia. Hak-hak itu dipandang sebagai “ruang” yang
menjamin otonomi manusia; hak-hak itu memungkinkan manusia untuk mengambil
keputusan dan mengendalikan hidupnya. Hanya saja, manusia dapat menyalahgunakan
haknya sehingga tidak memenuhi kewajibannya sebagai pribadi dan dalam hubungan dengan
sesama. Terkadang tejadi bahwa seseorang terlalu menitikberatkan hak pribadinya sehingga
melupakan hak-hak dasar orang lain. Kewajiban untuk menghargai hak-hak orang lain harus
dipenuhi.19

Masalahnya, bagaimanakah jika terjadi konfrontasi antara hak pribadi dan hak orang
lain atau orang banyak? Hak siapakah yang harus dipertahankan supaya tidak timbul konflik
sosial yang mudah menular dalam suatu masyarakat majemuk, seperti Indonesia? Dalam hal
ini, secara umum dapat dikatakan bahwa hak-hak orang banyak diutamakan daripada hak
pribadi. Nilai kesejahteraan dan kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai pribadi sungguh ditekankan dalam
suatu kehidupan bersama sebagai keluarga dan masyarakat. Dimensi kesetiakawanan
mendapat sorotan. Hak seseorang dan hak orang lain harus dihargai sebagaimana mestinya,
namun manusia tidak boleh melakukan sesuatu demi pemenuhan hak pribadinya tanpa
memerhatikan orang-orang lain. Tanggung jawab sosial perlu diperhatikan dalam konteks
hidup bermasyarakat.20

Secara khusus mengenai petugas keamanan yang menghadapi kasus-kasus yang


berkenaan dengan masalah HAM dalam negara kita, apakah TNI berhak bertindak keras
dalam menghadapi rentetan kerusuhan yang melanda banyak kawasan negara kita? Beberapa
pertimbangan moral ini perlu diperhatikan: a) anggota TNI harus berdiri netral dan tidak
menganut sistem pilih kasih. Unsur primordialisme (suku, agam, bahasa, latar belakang)
harus dihidari, supaya kehadiran TNI dapat diterima pihak-pihak yang terlibat dalam
kerusuhan. Dimensi sentimen golongan harus disingkirkan; b) situasi kerusuhan harus
dipahami secara menyeluruh dan tidak terpotong-potong. Duduk masalah harus diketahui
dengan baik sambil memelajari keadaan budaya dan hidup sosial setempat; c) dengan
objektif, setiap anggota TNI melindungi tiap warga sipil yang tidak bersalah (kaum lemah)
dalam kerusuhan. Mereka yang tidak bermasalah dan menjadi korban kerusuhan berhak
mendapat pertolongan pertama; d) dalam keadaaan rusuh, yang diutamakan adalah

19
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 48.
20
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 49.

7
keselamatan dan kepentingan umum dan sama sekali bukan demi kepentingan politik
golongan tertentu. Yang bersalah, yaitu mereka yang memprovokasi dan merusuhkan
keadaan, harus ditindak tegas atau keras tanpa pandang bulu. Kehadiran pihak keamanan
seharusnya memerhatikan hak-hak dasar mereka yang tidak bersalah, lemah, dan menjadi
korban provokasi.21

Hak tiap pribadi manusia selalu terpaut pada hak-hak orang lain, khususnya
menyangkut hak untuk berpendapat, berkumpul, dan mewujudkan diri sebagai makhluk
religious dengan menunaikan kewajiban beragama. Keterkaitan moral ini mengingatkan kita
akan kewajiban moral yang harus dipenuhi dalam hubungan dengan sesama dimana pun dan
kapan pun.

2.5 Manusia Sebagai Makhluk Menyejarah

Manusia adalah makhluk dinamis, yang hidup, bertumbuh, dan berkembang dalam
dinamika sejarah. Manusia hidup dalam sejarah, menyejarah dan malah manusia menjadi
“sejarah”. Manusia yang berkeutamaan termasuk buah sejarah dan hidup menyejarah.
Diperlukan suatu proses dalam sejarah supaya manusia dapat hidup dalam keutamaan.
Sejarah pribadi manusia ikut membentuk dan menentukan watak kepribadian. Dimensi
sejarawi manusia merupakan bagian dari realitas objektif. Moralitas objektif dipandang
sebagai kenyataan yang tidak terlepas dari konteks sejarah.22

Kesejarahan manusia merentang di antara keberadaan manusia kini dan proses


“sedang menjadi”. Dalam kesejarahan ini tercakup dimensi manusia yang sedang
berkembang. Manusia selalu berada dalam proses “sedang menjadi”. Jika begitu, manusia
sebagai citra Tuhan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Dinamika manusia ini, antara
lain, terletak pada akal budinya. Manusia harus membentuk citra wataknya dengan tingkah
laku dalam hidup harian. Di samping itu, manusia masuk ke dalam konteks “sedang menjadi
diri” dan melakukan sesuatu yang memengaruhi perkembangannya. Perkembangan dan
pertumbuhan manusia tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui suatu proses dalam konteks
hidup menyejarah. Saat menyejarah ini dikenal sebagai saat yang menentukan, yang hadir
sekarang dan berpengaruh dalam hidup manusia. Setiap manusia harus membentuk dan
membenahi citra wataknya dalam sejarah dunia, yaitu sejarah keselamatan. Harus dicatat
bahwa dari awal hingga akhir sejarah manusia tidak bersifat statis. Panggilan sejarah adalah

21
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 49.
22
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 50.

8
panggilan Tuhan kepada manusia, dan keberadaan manusia bukan kegagalan belaka,
melainkan keberadaan dan bagi Tuhan.23

Dalam dunia moral, kesejarahan manusia berperan penting, karena kesejarahan adalah
bagian dan dimensi hakiki keberadaan manusia. Dia sendiri menjadi sejarah, tempat
pembentukan dan pengembangan diri sebagai manusia. Pengalaman manusiawi adalah
jembatan masa lampau dengan keadaan sekarang dan masa depan. Manusia tidak hidup
dalam awang-awang. Sebagai makhluk bermora, kita menerima dan berhadapan dengan
sejarah secara sadar dan kritis. Keberadaan moral dan religious manusia selalu berada dalam
konteks sejarah. Akibatnya, dalam memberikan penilaian moral atas tindakan seseorang,
perlu diketahui latar belakang dan sejarah tindakannya. Unsur ini akan membantu seseorang
untuk memberikan penilaian secara lebih utuh dan menyeluruh.24

2.6 Manusia Sebagai Totalitas

Pandangan mengenai manusia sebagai suatu kesatuan atau totalitas merupakan titik
tolak pandangan moral kita. Subjek moral adalah manusia yang integral dan total. Tindakan
manusia hendaknya dipandang sebagai ungkapan kepribadian manusia sebagai totalitas.
Kriteria ini, menurut Vidal, banyak diterapkan dalam antropologi moral. Tindakan manusia
yang disadari atau disengaja mencerminkan pribadi seseorang.25

Manusia mengungkapkan dirinya sebagai suatu totalitas dalam jawaban dan tindakan
nyata. Seseorang yang mengatakan “ya’ sebagai “ya” dan “tidak” sebagai “tidak” adalah
manusia yang mengungkapkan diri dalam kejujuran. Manusia yang menjadi bebas dan
beriman di dalam Yesus Kristus perlu memiliki ciri “totalitas”. Manusia bisa bertanggung
jawab dan kreatif hanya jika melibatkan seluruh diri, integritas batiniah dan integritas dari
seluruh energi manusia. Ini berarti ide-ide yang selalu diulang (Leitmotif) dan pilihan dasar
(optio fundamental) mendarah daging dalam hidup manusia. Dengan demikian, maksud dan
tujuan dasariah manusia menjadi tingkah laku dan tindak-tanduk dasariah manusia.
Perwujudan pilihan dasar inilah yang dimaksudkan dengan “keutamaan”.

Totalitas manusia perlu disoroti sebagai makhluk yang memiliki tubuh, jiwa, dan roh.
Pendekatan terhadap manusia dapat dilakukan dari pelbagai disiplin ilmu berbeda (biologi,
psikologi, antropologi). Sorotan dari pelbagai sudut pandang mengenai kepribadian manusia

23
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 51.
24
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 51.
25
William Chang. Pengantar Teologi …, hlm. 51.

9
sebagai totalitas akan membantu manusia lebih memahami dan mengenal kepribadian
manusia.

3. REFLEKSI ATAS PANGGILAN

Penulis merupakan seorang religius Kapusin yang sedang menjalani proses menjadi
seorang imam dengan menempuh pendidikan Filsafat di Fakultas Filsafat St. Thomas.
Seorang religius (read: Kapusin) hidup dalam komunitas dengan semangat persaudaraan.
Penulis sebagai pribadi terwujud dalam kebersamaan dalam komunitas. Tersentuh hatinya
oleh Allah dan terpikat olehNya, kaum religius mencari suatu cara hidup, dimana ia dapat
memberikan diri dengan segenap hati kepada Tuhan. Iapun lalu menggabungkan diri pada
orang-orang lain, yang juga tersentuh hatinya. Bersama-sama mereka membentuk sebuah
persekutuan hidup, suatu komunitas, yang terarah kepada Tuhan, dimana mereka
mengharapkan dapat memperkembangkan diri dalam hubungannya dengan Tuhan serta
memperdalam pengalaman Allahnya. Bersama-sama mereka menciptakan suatu suasana
hidup yang optimal untuk perkembangan hubungan pribadi dengan Tuhan. Mereka saling
bahu-membahu, saling mendorong untuk bersama-sama mencapai tujuan hidup mereka.
Dengan demikian mereka bersama-sama tumbuh ke arah Tuhan dan pada waktu yang
bersamaan pula, cinta persaudaraanpun berkembang.

Mereka membentuk suatu komunitas yang dipersatukan oleh iman kepercayaan


mereka kepada Kristus dan dijiwai kasih persaudaraan, yang merupakan buah dan pernyataan
iman tersebut. Didukung oleh semangat komunaitas yang demikian itu, panggilan yang
ditaburkan Tuhan dalam hati mereka masing-masing, akan tumbuh dengan suburnya. Hati
masing-masing terbuka bagi karya Roh Kudus dalam dirinya. Jadi, inilah arti komunitas itu:
merupakan suatu tanah yang subur, dimana benih-benih panggilan Tuhan dapat tumbuh
dengan baik. Oleh sebab itu dari dirinya sendiri sebuah komunitas tidak mempunyai arti apa-
apa. Ia hanya berarti sejauh mampu menghasilkan buah-buah yang nyata. Maka nilai sebuah
komunitas diukur menurut kualitas buah-buah yang dihasilkannya. Di sinilah, sebuah pribadi
menjadi integral, penuh, dengan memberikan buah bagi komunitasnya.

Jika sebuah komunitas mampu menghasilkan religius yang sungguh-sungguh “insan


Allah”, “man of God”, artinya yang sungguh-sungguh bersemangat Injili, maka benar-benar
komunitas semacam itu merupakan tempat persemaian yang tiada taranya, dan sudah
selayaknyalah ia berkembang dengan subur. Agar benih yang sudah ditaburkan itu dapat
berkembang dengan baik, perlulah menyesuaikan pendidikan dengan tujuan pokok tersebut.

10
Pendidik harus bersifat integral, dan bukan hanya intelektual belaka. Para religius muda yang
baru masuk tidak hanya harus belajar dari teori-teori saja, melainkan seluruh cara hidup
komunitas dan para religius masing-masing harus merupakan tempat belajar bagi religius
muda itu.

Pengalaman Allah merupakan dasar hidup religius, merupakan jiwanya, maka seluruh
bentuk hidup religius harus dapat membantu pengalaman Allah yang harus terarah
kepadanya. Akan tetapi bagaimanakah dalam kenyataannya? Apakah cara hidup kita yang
sekarang ini de facto “memungkinkan, mempermudah” dan “memperkembangkan”
pengalaman Allah ini, ataukah malahan menghambat? Apakah acara harian dan cara hidup
sehari-hari memberikan kemungkinan riil kepada pengalaman Allah? Apakah cara hidup kita
hanya berdasarkan suatu tradisi yang beku, atau sebaliknya hanya mengikuti mode terbaru
saja, asal ikut tanpa pengertian yang mendalam ataukah sungguh-sungguh dihayati penuh
kesadaran dan diarahkan kepada pertemuan dengan Allah, yang pada hakekatnya merupakan
inti hidup Kristiani kita? Mungkin perlu sekali diadakan perubahan yang cukup radikal, tetapi
selalu sadar akan tujuan yang ingin dicapai. Mungkin di sini kita dapat belajar banyak dari
biara-biara budhis, khususnya dalam penghayatan kemiskinan dan kelepasan, maupun dalam
mengarahkan cara hidup pada tujuan yang ingin dicapai.

Daftar Pustaka

Chang, William. Pengantar Teologi Moral . Yogyakarta: Kanisius, 2001.

11
Dokumen Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes. Penerj. R. Hardawiryana, Jakarta: OBOR,
2004.
Nadeak, Largus. Topik-Topik Moral Fundamental: Memahami Tindakan Manusiawi dengan
Rasio dan Iman. Medan: Bina Media Perintis, 2015.
Sastrosupono, M. Suprihadi. Etika: Sebuah Pengantar. Bandung: Penerbit Alumni, 1983.
Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
Zubair, Achmad Charris. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

12

Anda mungkin juga menyukai