Anda di halaman 1dari 3

1 FILSAFAT MANUSIA

BARUCH SPINOZA
“INTELEK YANG TENGGELAM DALAM TUHAN”
By. Ohan Kilmas, MSC

1. Manusia menurut Spinoza

Menurut Spinoza manusia adalah suatu hubungan modi, suatu hubungan dari cara berada
Allah dibawa sifat-sifat asasi pemikiran dan keluasan atau suatu realitas yang menamakan diri
dengan dua cara, yaitu sebagai tubuh dan sebagai jiwa. Spinoza juga menunjukkan perbedaan
antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya, yakni bahwa tubuh manusia lebih ruwet daripada
tubuh makhluk-makhluk lainnya. Mengapa demikian? Spinoza mengatakan bahwa tubuh
manusia adalah alat jiwa manusia untuk mengungkapkan diri dalam banyak ide. 1 Realitas yang
dimaksud, yakni Substansi. Descartes mendefenisikan substansi sebagai sesuatu yang tidak
membutuhkan sesuatu yang lain untuk berada. Dengan kata lain Descartes memaksudkan bahwa
hanya ada substansi tunggal. Tetapi muncullah ‘kebingungan’ Descartes dengan mengatakan
bahwa manusia memiliki dua substansi yakni res cogitans dan res extensa dimana keduanyalah
yang membentuk manusia2. Jika demikian ada tiga substansi, yakni Tuhan, pemikiran dan
keluasan. Walau Descartes mengatakan bahwa substansi sejati adalah substansi dalam arti yang
sebenarnya sebab Ia berada karena Diri-Nya sendiri. Spinoza sendiri menyetujui sebagian
pendapat Descartes bahwa substansi adalah sesuatu yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain
untuk berada. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa substansi adalah sesuatu yang paling asali
(Primum Ontologicum). Tetapi Spinoza menambahkan bahwa substansi harus juga merupakan
yang pertama dan yang absolut dalam tatanan logis (Primum Logicum), dan karena itu harus
dimengerti pula pada dirinya sendiri. Spinoza akhirnya sampai pada suatu kesimpulan atau
batasan, yaitu substansi adalah sesuatu yang berada pada dirinya, artinya yang tidak
membutuhkan pengertian lain untuk membentuknya. Bagi Spinoza hanya mungkin satu substansi
saja yang disebut Yang tak Berhingga, Allah, atau alam (Deus sive natura).3 Untuk membedakan

1
DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kansius, 1980),
hlm. 28
2
Tjahjadi, Simon Petrus, Tuhan Para Filosof Dan Ilmuwan, Pustaka Filsafat, Jakarta,
2007. Hal. 30
3
Lih. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, hal. 77
2 FILSAFAT MANUSIA

alam dan Allah dapat dilihat dari perspektifnya, yaitu sebagai Allah alam adalah natura
naturans. Sebagai dirinya sendiri alam adalan natura naturata.

1.1. Kebebasan Manusia


Menurut Spinoza, manusia (tubuh dan jiwa) adalah modi dari Allah. Dengan demikian
manusia tidak memiliki kebebasan secara fisik dan mental. Namun disisi lain, manusia memiliki
kebebasan dalam berpikir. Namun Spinoza juga memberikan ruang bagi kebebasan yakni dengan
kebebasan kita “berusaha menangkap segala sesuatu yang ada dengan rasio kita dari segi
substansi Yang Satu”. Dengan kata lain, secara intrinsik manusia tidak memiliki kebebasan
karena hanya menjadi modi dari Allah, sedangkan kebebasan yang dimiliki dalam berpikir
adalah salah satu sifat dari Allah yang diberikan kepada manusia. Kesimpulannya kebebasan
manusia sifatnya terbatas.

2. Ajaran Kristiani

2.1. Tubuh dan Jiwa


Katekismus Gereja Katolik 362-365 mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut citra
Allah (bdk. Kej. 2:7). Manusia dikatakan memiliki dua bagian yakni jiwa dan tubuh. Jiwa sering
berarti seluruh kehidupan manusia (bdk. Kis. 2:41) sedangkan tubuh dicahayai oleh jiwa. Tubuh
dan jiwa adalah dua kodrat yang bersatu (bdk. KGK 365) . Spinoza mengatakan bahwa Tubuh
adalah perwujudan ide dari jiwa. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan sifat keduanya (tubuh dan
jiwa) adalah modus/cara berada dari Allah.

2.2. Kebebasan Manusia


Dalam Kej. 2:17 kisah mengenai manusia dianugerahkan ‘felix culpa’ yakni memakan
buah dari pohon kehidupan sehingga diperolehlah kebebasan untuk mengetahui dan memilih
yang baik dan yang jahat, sehingga sejak saat itu manusia mempunyai kebebasan; dan Tuhan pun
menyerahkannya (Bdk. VS 38 dan Sir. 15:14) dengan tujuan mencari Penciptanya dan mengabdi
dengan bahagia pada-Nya (GS 17). Bagi Spinoza, manusia tidak bebas karena hanya merupakan
modi dari Allah, pun seandainya ada kebebasan sifatnya sangat terbatas.
3 FILSAFAT MANUSIA

3. Kritik dan refleksi


Bagi saya, Spinoza dengan cepat menyamakan Allah dengan Alam (Deus Sive Natura).
Bagaimana bisa disamakan antara Allah yang sifatnya immortal dan tak terbatas dengan Alam
yang sifatnya mortal dan terbatas. Bagaimana juga Spinoza menjelaskan moral yang menjadi
bagian dari kehidupan manusia, padahal moral meniscayakan kebebasan dan independensi
manusia?
Saya merefleksikan bahwa kebebasan adalah martabat manusia yang luhur (bdk.
Rangkuman Libertas Prestantisimum, ensiklik Leo XIII, 20 Juni 1888), namun kebebasan itu
sendiri harusnya menghantar manusia pada kesatuannya dengan Allah karena kebebasan itu
adalah anugerah dari-Nya. Kebebasan yang dimiliki manusia menuntut kewajiban untuk
menggunakannya dengan bertanggungjawab. Tanggungjawab manusia yang dalam hubungan
dengan kebebasannya itu perlu dilihat juga secara keseluruhan, yakni bahwa tanggungjawabnya
terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang manusia. Mortalitas pribadi manusia menunjukkan
kerapuhannya sebagai pribadi yang terbatas dihadapan “Yang tak terbatas yakni Tuhan sendiri”.
Bahwa manusia selamanya tidak pernah akan terlepas atau berada tanpa dan menghindar dari
campur tangan Tuhan sebagai penciptanya. Manusia sebagai hasil dari perwujudan ide yang juga
datang dari Tuhan sebenarnya menunjukkan adanya hubungan kausalitas dalam hidup setiap
manusia, yakni bahwa kelalaian manusia dalam mempergunakan kebebasannya itu membawa
konsekwensi pada dirinya dan menjauhkan diri dari Tuhan sebagai pemberi kebebasan itu.
Selanjutnya tanggungjawab manusia juga menunjuk pada tanggungjawab terhadap jiwa dan
tubuhnya yang membentuk substansi hidupnya sebagai seorang manusia. Tanggungjawab ini
tidak menunjuk pada ajaran Spinoza tetapi lebih pada ajaran Kristiani tentang keselamatan jiwa.
Oleh karena itu manusia tetap memelihara tubuh dan jiwanya agar dengan demikian ia
menunjukkan hidupnya sebagai modi yang sejati dari yang tak terbabatas yakni Tuhan sendiri.

Pustaka

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kansius, 1980.


Tjahjadi, Simon Petrus. Tuhan Para Filosof Dan Ilmuwan. , Jakarta: Pustaka Filsafat, 2007.
Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia.

Anda mungkin juga menyukai