Anda di halaman 1dari 3

Filsuf Klasik: Plato (428-347 SM)

Plato merupakan seorang filsuf Yunani dengan beberapa pemikiran yang terkenal
paling berpengaruh tentang manusia, dunia ide, etika, maupun tentang negara ideal dan
politik. Menurut Plato, manusia merupakan makhluk ganda yang terbentuk dari material dan
nonmaterial yang merepresentasikan raga dan jiwa. Keduanya bukan kesatuan, namun
keduaan (dualisme). Raga/badan/tubuh yang lekat dengan dunia indera dianggap sebagai
suatu material fisik yang dapat berubah, hancur, dan karenanya tidak abadi, sedangkan jiwa
adalah nonmaterial yang tidak bersifat fisik, abadi, dan dapat menyelidiki dunia ide. Apa
yang dirasakan oleh dunia pengamatan secara empiris tidak layak dipercaya karena badan
hanyalah alat/wadah bagi jiwa, sedangkan kebenaran serta kesempurnaan sesungguhnya
adalah milik dunia ide karena disanalah tempatnya akal dan rasio manusia.
Plato meyakini bahwa “jiwa” sebenarnya sudah ada jauh sebelum bersatu dengan
badan. Jiwa menempati dunia ide dan menikmati kepuasan dengan mengerti ide-ide yang
sempurna itu, dan ketika jiwa tidak bisa memusatkan perhatian pada ide-ide itu, masa
terjadilah “hukuman” yaitu penyatuan jiwa dengan fisik. Jiwa akan kembali memperoleh
kebebasannya ke dunia ide setelah tugasnya selesai di dunia pengamatan. Eksistensi manusia
dimulai ketika jiwa bersatu dengan badan, maka manusia juga disebut memiliki pra-eksistensi
yakni sebelum kedua unsur itu bersatu. Lebih jelasnya, Plato menggambarkan hubungan jiwa
dan tubuh seperti kampak. Jika kampak dianggap benda hidup, metal dan kayu adalah bentuk
fisiknya (raga) sedangkan kemampuannya untuk membelah adalah jiwanya. Kampak tidak
bisa disebut kampak bila tidak dapat membelah, melainkan hanya metal dan kayu. Seperti
itulah jiwa yang membuat tubuh memiliki kehidupan (Ghoni, 2016).

Filsuf Modern: Rene Descartes


Renatus Cartesius atau Rene Descartes adalah seorang ahli matematika yang dianggap
sebagai peletak dasar-dasar utama filsafat modern. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
fisika dan astronomi. Dalam memandang manusia, Descartes termasuk penganut paham
dualisme karena adanya perbedaan yang tajam antara jiwa dan badan sebagai dua substansi
yang terpisah. Descartes memandang alam dengan pemisahan fundamental antara alam
materi (res extansa) dan alam pikiran atau “benda berpikir” (res cogitans), dan pemisahan
tersebut juga berlaku bagi manusia (Pramono, 2009). Tubuh dianggap sebagai substansi
material, dan seperti benda fisik lainnya, ia terdiri dari partikel-partikel yang bergerak, tak
berpikir, dan berkeluasan. Sedangkan jiwa adalah substansi imaterial yang esensinya adalah
berpikir dan kesadaran, tidak berkeluasan dan tidak bergantung pada ruang dan waktu
(Abidin, 2006).
Lebih jauh lagi, menurut Descartes, tubuh tanpa jiwa hanyalah otomat atau mesin
belaka, yang tak berkesadaran dan digerakkan secara mekanik oleh stimulus-stimulus
eksternal sesuai hukum alam (Abidin, 2006). Sebaliknya, jiwa tanpa tubuh memang memiliki
kesadaran, namun hanya berupa ide-ide bawaan tanpa pengalaman inderawi dan gagasan-
gagasan material. “Mesin” ini digerakkan oleh jiwa yang memberinya rasionalitas dan
kemampuan berpikir. Oleh karena itu, esensi manusia terletak pada pikirannya (cogito ergo
sum), sebab hanya kesadaran dan pikiranlah yang dapat memanusiakan manusia (Pramono,
2009). Tubuh menambah kekayaan isi pada kesadaran jiwa (melalui pengalaman inderawi
yang hanya bisa dirasakan substansi material) sedangkan jiwa menambah rasionalitas pada
setiap penyebab perilaku. Inilah hal baru yang ditambahkan Descartes pada pandangan-
pandangan pendahulunya tentang jiwa dan badan, bahwa banyak gejala penting yang muncul
bukan hanya dari jiwa saja atau badan saja, tetapi merupakan hasil dari interaksi kedua
substansi tersebut. Interaksi kedua substansi tersebut dikatakan oleh Descartes terjadi pada
sebuah struktur yang tidak terbagi di dalam otak, yakni kelenjar pinealis (pinealis gland)
yang dipercayanya sebagai ciri khas yang hanya ditemukan pada otak manusia. Jiwa akan
menangkap sinyal-sinyal inderawi dan melakukan persepsi serta mengadakan seleksi untuk
menolak, menghindari, atau memodifikasi respon-respon mekanistik dari tubuh (Abidin,
2006).

Filsuf Kontemporer: Alfred North Whitehead


Filsafat kontemporer adalah filsafat yang memberikan kritik terkait masalah
kemanusiaan sehingga filsuf pada masa ini mencoba menjelaskan bahwa hakikat manusia
tidak hanya akal atau rasio saja, tetapi juga spiritualitas. Spiritualitas penting untuk dipahami
eksistensinya sebagai bagian dari diri manusia dan membutuhkan tubuh untuk eksis dan
berkembang. Salah satu fisuf masa kontemporer adalah Alfred North Whitehead. Visi
spiritual filsafat Whitehead terlihat dari penolakannya terhadap independensi substansi dari
pandangan materialisme dan filsafat mekanik. Menurutnya, struktur fundamental dunia
adalah struktur matematis yang tidak dapat dikuantifikasikan karena segala dimensi intrinsik
dan kualitatif tidak terdapat dalam materi. Whitehead beranggapan bahwa pandangan
materialistis dan mekanik memang mengandung kebenaran dan berguna, namun kekeliruan
terjadi ketika terjadinya generalisasi filsafat yang bersifat latius hos (penarikan kesimpulan
yang lebih luas).
Whitehead menggunakan simbol dasar “organisme” sebagai ganti simbol dasar “mesin”
yang digunakan pandangan materialisme ilmiah dalam memandang keseluruhan realitas. Ia
menegaskan bahwa seluruh realitas (dunia, termasuk manusia dengan jiwa dan badannya,
serta Tuhan) adalah dinamis, selalu berproses, dan unsur-unsurnya saling terkait. Setiap
bagian atau unsur dari keseluruhan sistem menyumbang pada kegiatan seluruh sistem sebagai
satu kesatuan, dan sebaliknya, bukan berwujud substansi yang mandiri. Oleh karena itu,
Whitehead menolak substansialistik, sebab menurutnya setiap satuan merupakan bagian
integral tanpa melepaskan relasinya dengan yang lain dalam sebuah sistem. Pemakaian
kategori substansi yang meluas juga menurutnya berbahaya karena dapat memicu semangat
individualisme dalam masyarakat.
Sedangkan dalam pandangannya tentang Tuhan, Whitehead tidak memandang Tuhan
sebagai satuan-satuan aktual, karena memiliki sifat “primordial” yakni sebagai Pencipta Tak
Terbatas, dan “konsekuen” yakni Tuhan adalah awal dan akhir. Sebagai pencipta, Tuhan
berada di tengah segala ciptaannya, perwujudan kreativitas yang nontemporal, dan sebagai
daya dinamis yang menjadi dasar untuk menjelaskan perubahan dari satuan aktual ke satuan
aktual yang lain (Siswanto, 2006).

REFERENSI
Abidin, Z .2006. Filsafat Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ghoni, A. 2016. BAB III Manusia dalam Pandangan Plato. Diakses tanggal 14 Februari 2021
dari http://eprints.walisongo.ac.id/5826/4/BAB%20III.pdf
Parmono, M. 2009. ‘Kultur Objektivitas Tubuh: Filsafat Dualisme Cartesian’. Jurnal Ilmu
Humaniora, vol. 6. No. 2, hh 148-157.
Siswanto, j. 2006. ‘Spiritualitas Filsafat Kontemporer (Memahami “Peran” dan “Relevansi”
Tuhan dalam Evolusi Kehidupan)’. Jurnal Filsafat, vol. 16, no. 3, hh 229-242.

Anda mungkin juga menyukai