Bab 1
Pendahuluan
1
Hal ini dapat ditelusuri lewat sejarah pengumpulan karya Aristoteles. Aristoteles meninggalkan
perspustakaannya pada muridnya Teofratos. Di dalam perpustakaan ini terdapat karya-karya filsuf lain
dan juga karyanya sendiri yang pada waktu itu terbatas pada murid-muridnya. Ketika Teofratos
meninggal, perpustakaan itu diwariskan kepada Neleo. Oleh Naleo, perpustakaan itu dipindahkan ke
negerinya di Troade. Kemudian raja-raja dari Pergamon dan Alexandrea menyembunyikan buku-buku
itu di dalam tanah, ditinggalkan dan dilupakan orang. Pada tahun 100 SM Appelicone
menemukannya kembali dan membawa ke Atena. Ketika Atena dikalahkan oleh Sisilia (86 SM),
semua manuskrip dibawa ke Roma dan diserahkan ke Andronikos dari Rodi. (Lorens Bagus,
Metafisika, Gramedia, Jakarta 1991, h. 18; Rudolf Carnap, Überwindung der Metaphysik durch
logische Analise der Sprache, dalam : Erkenntnis, 2931, h. 219-242, Metaphysik, Damstadt 1977, h.
50-53).
1
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Di lain pihak Aristoteles menolak pendapat Plato bahwa hanya dunia non-fisik (ta
paradeigmata) yang benar-benar nyata (ontoos on), sedangkan dunia fisik cuma
bayangannya. Menurut Aristoteles dunia fisik juga benar-benar nyata. Lalu ia mencari suatu
pemahaman yang sesuai untuk keduanya itu. Oleh karena itu ta meta ta physik tidak lagi
disamakan dengan ta hyper ta physika, tetapi dianggapnya lebih luas daripadanya. Maka prote
philosophia (filsafat pertama) ini harus meliputi baik ta hyper physika maupun ta physika.
Menurut Aristoteles filsafat tentang ta meta ta physika berpusat pada to on hei on: ens
in quantum ens, ens qua ens, a being as being (ada sebagai ada). Oleh karena itu objek
materialnya adalah segala yang-ada. Dari segi formal hal-hal itu ditinjau bukan menurut
aspek ini atau itu yang terbatas, bukan juga sekadar manusia, atau dunia, atau Tuhan tetapi
menurut sifat mengadanya. Berdasarkan kekhasannya ini, maka di kemudian hari muncul
istilah baru yang lebih sesuai dengan objek formalnya, yakni Ontologi. Nama ini diberikan
oleh Christian Wolf pada abad ke-17. Ontologi adalah ilmu tentang ada.2 Istilah Ontologi
untuk pertama kali ditemukan dalam Leksikon Filsafat dari Goclenius (1613). Istilah itu
selalu dikaitkan dengan Christian Wolf hanya atas dasar, bahwa dialah yang pertama
2
Ontologi memang berarti ilmu tentang ada. Yang menjadi persoalan dalam uarian-uraian metafisik
dalam bahasa Indonesia adalah pemakaian istilah ada. Bahasa Indonesia tidak mempunyai ciri
metafisik sebagaimana pada bahasa-bahasa barat seperti, Latin, Inggris dan Prancis. Orang
Indonesia cukup mengatakan: „Saya sedang makan“, sementara dalam bahasa Inggris mengatakan
kenyataan itu dengan melibatkan unsur ada ( to be) : „I am eating“, yang secara hurufiah: Saya ada
sementara makan. Orang Jerman mengatakan: Ich bin Lehrer, padahal bahasa Indonesia sudah
cukup dengan mengatakan „Saya guru“, jadi tidak memerlukan Verba „Sein“. Hanya oleh karena
pengaruh bahasa asing, orang lalu menyebutkannya „saya adalah guru“.
Adapun istilah pokok dalam Ontologi adalah ada atau yang ada sebagai terjemahan konsep ens.
Dalam bahasa Inggris kata being dapat dipakai untuk kedua-duanya dan hal itu dapat menyebabkan
kesulitan pemakaian tepat. Dalam Bahasa Perancis terhadi hal sama dengan kata etre. Bahasa
Jerman membedakan Sein dan Seiende. Begitu juga Bahasa Latin: esse dan ens. Terjemahan
konsep-konsep itu dalam bahasa indonesia tidak seragam.: ada, ADA dan berada. Dalam arti biasa
kata ada hanya dikenal sebagai „tidak absen“, atau „tidak mati. Sedangkan istilah berada tidak banyak
menunjukkan perbedaannya dengan ada, atau juga bisa berarti lain sekali, yakni „agak kaya“. Untuk
itu perlu pembentukan istilah teknis ontologis sehingga tidak membingunkan.
Bertens memakai kata adaan untuk menerjemahkan ens (Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jl. I,
Gramedia, Jakarta 1981, h.115, dan Seiende (a being dalam Inggris) pada Heidegger (Ibid.h. 153).
Sebelum itu N.Driyarkara sudah juga mempergunakan kata pengada untuk menerjemahkan kata lètre
pada Sartre (Percikan Filsafat, Jakarta, 1966, h.77). Dalam Pidato pengukuhan Profesornya,
Driyarkara pada 1962 menunjukkan aspek aktif dalam Sein pada Heidegger dengan terjemahan
mengada (Sosialitas Sebagai Eksistensial, Jakarta, Pembangunan, 1962, h. 22). Kemudian ia
memakai istilah mengada itu lepas dari Heidegger itu bagi pikirannya sendiri. Driyarkara
membandingkan kata pengada dengan kata seperti: pemuda, pemudi, pekerja,petugas, pemain
(Percikan, h. 77). Langsung akan kelihatan perbedaan pengada dengan istilah adaan yang dipakai
Bertens, jika di samping adaan ditempatkan kata-kata seperti : mainan, minuman, dorongan. Arti kata-
kata ini lebih abstrak, lebih merupakan objek, dan kurang berciri personal, atau lebih merupakan
kegiatan objektif. Demi daya yang aktif dan personal ini, maka dalam Buku „Ontologi, Metafisika
Umum“, Kanisius, Yogyakarta 1992, Anton Bakker mengikuti jejak Driyarkara dengan
mempergunakaan kedua kata itu „pengada“ dan „mengada“. Lebih jauh Anton Bakker berusaha
menghindari dari pemakaian kata „keadaan“ atau „keberadaan“, dengan memakai istilah teknis yang
khas baginya ialah „mengadanya“ dan „kemengadaan“.
Sedangkan Lorens Bagus, Metafisika, Gramedia, Jakarta 1991, memakai hanya secara bervariasi
antara: ada, yang-ada, dan adanya, untuk menerjemahkan kata esse dan ens bahasa Latin.
Kecenderungan yang sama ada pada Yoseph Pienazek Dosen Filsafat STFK Ledalero, Manuskrip
untuk kebutuhan Kuliah, 1990. Ia secara bervariasi menggunakan kata ada dan adanya juga yang
ada, untuk menerjemahkan kata esse dan ens itu. Adapun dalam uraian dalam perkuliahan ini, kita
akan memakai istilah yang tidak begitu khas teknis sebagaimana pada Bakker, Driyarkara dan
Bertens. Kita akan memakai istilah yang merupakan terjemahan hurufiah dari kata Latin esse
(adanya, yang ada) dan ens (ada), sehingga tidak ada kesan seakan-akan Metafisika itu adalah suatu
ilmu yang mengada-ada tentang ada, komentar para Mahasiswa angkatan III FFA Unwira Kupang.
Yang jelas, metafisika itu berbicara tentang ada.
2
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
3
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
4
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Yang menjadi soal filsafat ialah bahwa meja itu sebagai yang ada, bukan kerasnya meja itu.
Sebab keras sebagai keras atau keras itu sendiri kita tidak bisa lihat dan karenanya kita juga
tidak bisa mengatakannya bahwa „itu keras“. Keras itu kita kenal hanya melalui sesuatu yang
ada, yang dalam hal ini pada meja. Meja itu diterima sebagai pendukung ada, karena ada
tidak dapat melayang. Kita tidak bisa melihat ada itu sendiri, ada dalam dirinya, selain
melalui sesuatu yang berada. Tetapi ada tetap terdapat di belakang meja, itulah yang menjadi
telaah metafisika. Jadi, objek formalnya adalah ada sebagaimana adanya (ens in quantum
ens), dan bukan ada sebagai ini atau ada sebagai itu.
yang ada. Ada itu selalu hadir pada seluruh proses berpikir, baik secara implisit maupun
secara eksplisit. Semua pembuktian ilmiah, baik ilmu pengetahuan, filsafat maupun teologi,
memuat dan mengenal selalu yang ada. Konsep ada selalu ada, baik secara implisit maupun
secara eksplisit dalam konsep lain. Karena bagi konsep-konsep lain ada itu adalah dasar.
Ketiga bahwa konsep-konsep lain merupakan tambahan dan bentuk ekspresi dari ada.
(Quid omnes aliae conceptiones intellectus accipiantur est additione ad ens). Itu berarti,
bahwa semua konsep lain yang dimiliki intelek merupakan tambahan pada ada. Kata additio
(tambahan) berarti tambahan sesudah konsep ada. Maksudnya, intelek pertama-tama tahu
tentang ada itu sendiri, sedangkan konsep-konsep lain hanya mengembangkan konsep ada
itu. Yang sedang diketahui intelek sebenarnya tetaplah ada, meski dengan cara yang semakin
dalam. Di sini mau digarisbawahi metode yang cocok untuk metafisika seperti dimaksudkan
Thomas Aquinas, yakni perpaduan antara analisis dan sintesis. Konsep-konsep lain seolah-
olah memilah-milah konsep pokok ada dan memperkaya konsep pokok kita tentang ada.
Singkatnya, konsep-konsep lain hanyalah suatu aktuasi atau perwujudan untuk memperdalam
dan mengembangkan kosep dasar ada. Konsep lain merupakan pengembangan konsep dasar
yang ada.
J.B. Lotz SJ menilai metafisika Thomas Aquinas bersifat antroposentrik. Ia
menyebutnya sebagai antropo-ontologi Ia mengintrodusir istilah ini di dalam metafisika
dengan menekankan dua hal: Pertama, ontologi dan eksistensi manusia mempunyai kaitan
yang sangat erat. Ontologi merupakan penataan realitas yang dialami manusia dalam
eksistensinya. Kedua, manusia sebagai pribadi „disuapi“ oleh kehadiran nyata dari ada. Justru
sejauh sebagai pribadi ia diberi corak oleh kesadaran diri (saya) dan terbuka secara bebas.
Dua aktivitas ini muncul dari manifestasi ada. Jadi, ontologi mempunyai dasar antropologi
dan antropologi memuncak pada ontologi. Masalah metafisika bukanlah penemuan manusia,
melainkan sesuatu yang termuat dalam kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk berpikir.
Ada rasionalitas yang bersifat metafisik dalam diri manusia. Rasionalitas metafisik itu tidak
lain daripada semacam mengetahui yang telah-ada, yang sedang-ada dan yang akan-ada.
Heidegger menekankan dan menafsir pandangan metafisik tradisional dari Aristoteles dan Th.
Aquinas ke arah rasionalitas metafisik dalam diri manusia. Heidegger melihat ontologi dasar
sebagai analisis eksistensi dari Dasein.5
Perlu ditambahkan bahwa ada pada manusia, sejauh ia hidup secara manusiawi,
keinginan untuk mengenal segala sesuatu. Ia mau mengenal segala-galanya dengan
seharusnya. Karena saya mau sungguh-sungguh mengenal dan mengerti sesuatu dengan
sepenuhnya, maka saya tidak berhenti pada satu penjelasan, melainkan selalu mencari terus
dan bertanya terus sampai menemukan suatu penjelasan ultim. Adapun metafisika dapat
melayani keinginan yang manusiawi ini. Oleh karena itu metafisika dapat dianggap sebagai
ilmu yang paling manusiawi, karena sesuai dengan unsur yang paling dalam dari psike
manusia.
Kalau dikatakan bahwa metafisika bermaksud mencapai suatu pandangan yang benar-benar
merangkum seluruh realitas tanpa kecuali, suatu pendekatan yang benar-benar total yang menangkap realitas
pada akarnya, maka kita perlu memperhatikan perbedaan berikut ini: bahwa in ordine essendi, jadi dalam
tataran ontologis, yang pertama dikenal manusia adalah Tuhan sebagai sumber dari ada; dan bahwa in ordine
cognoscendi, jadi dalam tataran epistemologis, yang pertama dikenal manusia bukanlah Tuhan melainkan ada.
Mengatakan bahwa objek mengenal yang pertama adalah Tuhan adalah suatu ontologisme.
5
Stegmüller, Hauptrömungen der Gegenwartsphilosohie, Kröner, Stutgart 1989, h. 160-162; Caspar
Nink, Zur Grundlegung der Metaphysik. Das Probelm der Seins- und Gegenstandskosntitution,
Freiburg 1957, h. 221.
6
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
7
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
8
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
pengetahuan yang benar, apa syarat-syarat dan batas-batas pengetahuan itu. Hubungan
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) dengan Metafisika dapat digambarkan demikian:
Mengenal adalah suatu cara berada yang khas pada manusia. Adapun cara berada (modus
essendi) merupakan salah satu pokok bahasan metafisika. Hubungan mereka juga terletak
dalam kenyataan, bahwa keduanya mempunyai titik tolak yang sama, yakni ada.
5) Filsafat Moral: Disiplin ini berhubungan dengan kegiatan khas lainnya, yakni
kegiatan yang bebas berdasarkan kehendak. Objek material etika adalah actus humanus,
yakni perbuatan yang berada di bawah kontrol kehendak yang bebas. Objek formalnya
adalah kelurusan perbuatan itu. Suatu perbuatan dinilai lurus kalau perbuatan itu terarah
kepada tujuan manusia, yakni kesempurnaan manusia. Jadi, etika membahas prinsip-
prinsip perbuatan manusia sebagai perbuatan baik atau buruk. Perbuatan baik adalah
perbuatan yang sesuai dengan kodrat manusia dan memajukan kesempurnaan manusia.
Tetapi dalam membentuk prinsip-prinsipnya, filsafat moral terutama bergantung dari
metafisika, karena perbuatan itu adalah suatu being, dan ia juga bergantung dari filsafat
manusia sebab subyek perbuatan itu adalah manusia.
6) Cabang Filsafat khusus: Dari cabang-cabang yang disebutkan di atas masih
dijabarkan lebih khusus lagi dalam bentuk: filsafat pendidikan, filsafat kebudayaan,
filsafat sosial, filsafat politik. Pelbagai jenis cabang khusus itu menjadi mungkin, karena
semua ilmuwan mengandaikan suatu rasionalitas mengenai esensi objek spesifik yang
ditelitinya. Tetapi bukanlah tugas mereka untuk mentematisir dan mencari penjelasan
mengenai pemahaman rasional itu. Pemahaman itu sudah merupakan metafisika, walau
hanya secara implisit.
7) Logika: Dalam arti tegas (in sensu stricto) logika tidak merupakan bagian filsafat,
karena objeknya bukan tentang ada tapi tentang jalan pikiran. Ia hanya berurusan dengan
forma pikiran. Ia berurusan dengan teknik berpikir lurus dan benar, tidak mengenai
kebenaran dalam dirinya sendiri. Masalah kebenaran merupakan objek pembahasan filsafat
pengetahuan. Tetapi karena pikiran itu tidak muncul begitu saja dalam intelek manusia
tanpa bertolak dari realitas, maka bagaimanapun logika tetap punya hubungan dengan
realitas yang ada. Karena itu logika tetap tidak terlepas dari Metafisika.
9
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
penelusuran sebab-sebab terbatas. Filsafat Ketuhanan hanya menggarisbawahi, bila tidak ada
sebab pertama yang tidak disebabkan, maka kedudukan barang-barang kontingen menjadi
tidak inteligibilis. Sedang Teologi berusaha menjelaskan hakikat Allah dengan seluruh
misteriNya berdasarkan wahyu.
Perlu diakui juga, bahwa hubungan antara budi dan iman sangat kompleks dan
misterius. Di sini cukup kita memperhatikan, bahwa hubungan itu sangat erat dan bahwa
berdasarkan sejarah filsafat, jelas bahwa iman, wahyu dan teologi sangat penting bagi
perkembangan filsafat. Wahyu di mata filsafat adalah norma negativa. Maksudnya, kalau
suatu kesimpulan filosofis bertentangan dengan wahyu, maka kesimpulan filsafat itu harus
dipandang sebagai keliru, sebab adalah tidak mungkin bahwa wahyu itu keliru karena Tuhan
sendiri yang mengatakannya, sedangkan bisa terjadi bahwa manusia bisa membuat kesalahan
dalam menarik kesimpulan itu. Wahyu juga mempunyai peran positip berhubungan dengan
filsafat, yakni ia bisa menunjukkan jalan menuju kebenaran yang dulu tidak dipikirkan.
10
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
11
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
participatio, maka ada bahaya bahwa dapat muncul Pantheisme, Deisme dan
Antrhropomorfisme.
Kebutuhan akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia.
Manusia adalah makhluk rasional; ia mau merenungkan kehidupan secara mendasar. Ini
menandakan bahwa manusia tidak mau jatuh dalam kekinian dan terbelenggu oleh kondisi
dan keadaan kekiniannya itu. Tetapi biarpun orang sama-sama bermetafisika, mereka sering
sampai pada metafisika yang tidak seragam. Metafisika tertentu mempengaruhi pemikiran
tertentu pula. Lebih jauh, metafisika memenuhi kebutuhan dasar intelektual manusia, yakni
keinginan untuk mencapai pengertian tentang kesatuan alam raya dalam keanekaannya.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa manusia itu adalah makhluk metafisik, dalam arti, ia mampu
berpikir. Ia tidak saja sanggup memikirkan dan memahami apa yang ditampilkan kepada
indranya, tetapi ia bisa berbuat lebih dari itu, yakni ia bisa mengatasi semua yang dindrai.
Manusia tidak hanya mampu melihat sebuah pohon di hadapannya, melainkan ia juga mampu
melihat sesuatu di balik pohon itu, yakni bahwa pohon itu tidak bisa tidak sebagai sesuatu
yang-ada. Jadi, pada hakekatnya manusia itu bersifat metafisik. Daya yang mengatasi yang
kodrati itu disebut daya rohani. Itulah sebabnya manusia itu juga disebut homo additus
naturae. Dalam aktus mengenal yang eksistensial ia bisa melampaui alam yang fisis-material.
13
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Bab 2
Prinsip-prinsip Ada
Apa yang merupakan unsur terdalam dari realitas? Atau, apa yang membuat sesuatu
itu benar-benar riil ada, sehingga bisa dibedakan dari yang mungkin saja? Ada macam-
macam jawaban. Ada dua jawaban. Jawaban pertama mengatakan bahwa yang paling rill
adalah perubahan, sebab perubahan ada terus-menerus sedangkan yang lain tidak.
Jawaban kedua mengatakan sebaliknya yakni bahwa hanya yang tinggal tetap itulah yang
paling riil.
Untuk menjawab soal ini kita bertolak dari pengalaman tentang barang material.
Pada benda material terdapat sesuatu yang sangat nyata dan umum yakni bahwa mereka
ada dan bahwa mereka juga berubah. Dan tentang soal perubahan dijawab oleh Aristoteles
dengan membuat distinksi ens in potentia dan ens in actu.
Setelah ditemukan, bahwa perubahan itu adalah riil namun sejauh berhubungan
dengan sesuatu yang ada, maksudnya bahwa tidak ada perubahan sebagai perubahan
selain sesuatu yang berubah, maka kita akan memperlihatkan bagaimana teori umum itu
dipakai untuk menerangkan kenyataan perubahan aksidental dan perubahan substansial. Di
sini kita butuh prinsip materia-forma. Barang-barang yang berubah itu merupakan suatu
komposisi dari substantia-accidentia, dan secara mendasar merupakan suatu komposisi dari
materia-prima-forma substantialis. Akan tetapi, kedua unsur ini tidak bisa sebagai jawaban
atas pertanyaan: apa yang membuat barang-barang itu benar-benar riil? Sebab, paduan
keduanya hanya menjawab pertanyaan tentang essentia sesuatu. Esensi memang penting
sebagai prinsip ens, namun tidak membuat sesuatu itu menjadi riil. Untuk itulah kita kaitkan
pengetahuan tentang essensi dan eksistensi. Eksistensi adalah aktus melalui mana sesuatu
bersama dengan segala kekhasannya berada.
14
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Markus, Petrus makan, Maria tersenyum, Frater Markus menari. Dasar pertama yang
memungkinkan aktus mengenal manusia adalah ada. Manusia tidak bisa mengenal sesuatu
yang tidak ada atau ketiadaan itu sendiri. Pengetahuan kita tentang ketidakadaan itu disadari
hanya sebagai suatu negasi dari ada. Jadi, dalam cahaya ada sebagai sumber mengenal
manusia kita bisa mengenal yang lain.
Ada juga merupakan dasar dari pemikiran dan bahasa. Pikiran yang lengkap terdapat
dalam putusan. Dalam putusan itu dikatakan, bahwa sesuatu ada atau tidak ada (afirmasi dan
negasi). Itu berarti, bahwa dengan sesuatu yang ada dalam pikiranku, sesuai dengan
kenyataan. Sesuatu itu dikatakan ada berarti hal itu sesuai dengan kenyataan, itulah afirmasi.
Sesuatu dikatakan tidak ada berarti hal itu tidak sesuai dengan kenyataan, itulah negasi. Oleh
karena itu copula „adalah“ yang menghubungkan S-P (subjek-predikat) dinamakan forma
putusan. Forma di sini tidak berarti figura.Tanpa dihubungkan melalui „adalah“, maka S dan
P merupakan suatu bahan yang potensial saja.
Sebenarnya segala kata kerja dapat direduksi kepada kata ada ini. Semua kata kerja
hanya mengungkapkan suatu cara tertentu dari ada. „Saya berdiri“ itu tidak bisa tidak
sebagai berarti saya ada dalam keadaan berdiri. Sebab tidak mungkin, bahwa saya tidak ada
tetapi berdiri. Apa yang berdiri, seandainya Subjek „saya“ itu tidak ada. Jadi, lenyapnya
subyek saya di sini dengan sendirinya melenyapkan „berdiri“ itu sendiri. Berdiri sebagai
berdiri atau berdiri itu sendiri tidak bisa terjadi, dan karenanya kita tidak membuat afirmasi
ataupun negasi tentangnya. Bahwa segala kata kerja direduksi kepada kata ada, sangat nyata
dalam bahasa Barat seperti bahasa Inggris, Jerman, Latin.
Paradoks ada ini terjadi karena beberapa alasan berikut: (1) Ada tak bisa
didefinisikan, sebab dalam arti yang tegas (definisi riil esensial), berarti menempatkan sesuatu
dalam batasan. Mendefinisikan berarti membuat batas sesuatu, dan itu berarti membedakan
satu dari yang lain. Akan tetapi di samping ada tidak ada yang lain selain tidak ada. Yang
ada selain ada hanya tidak ada, hanya nihil. Segala yang ada kalau dipandang dari aspek ada,
maka hanya berbeda menurut „lebih“ dan „kurang“ ada. Misalnya, ada pada manusia adalah
ada contingen, karena itu bagi manusia harus dikatakan, bahwa manusia itu „tidak harus ada“
seperti ens neccesarium (ada mutlak) melainkan makhluk yang „boleh ada“ (ens contingens).
Ketidakharus-adaannya terbukti pada kenyataan, bahwa dulu dia pernah tidak ada (belum
lahir) dan kelak akan juga menjadi tidak ada (mati). Karena itu esensinya bukan berada,
sebagaimana halnya Tuhan, dimana esensiNya adalah berada. Tentang Tuhan harus
dikatakan, bahwa essensi dan eksistensiNya adalah identik. Essensi Tuhan adalah berada.
(2) Ada tidak pernah dalam keadaan murni, melainkan selalu dalam suatu benda yang kita
tangkap. Dan benda yang kita tangkap itu tak terbatas banyaknya dengan segala cara
beradanya (modus essendi) yang berbeda-beda.
tentang perubahan adalah selalu suatu pengalaman yang konkret tentang sesuatu yang
berubah. Jadi, dalam perubahan ada sesuatu yang berubah dan ada sesuatu yang tinggal.
Yang menjadi persoalan dalam menerima realitas perubahan adalah, bagaimana kita
bisa menyesuaikan kenyataan adanya perubahan dengan prinsip identitas dan prinsip non-
kontradiksi. Kalau berubah berarti menjadi lain, maka asas non-kontradiksi dan asas identitas
menjadi tidak berlaku. Sebenarnya di sini ada dua hal yang riil: bahwa identitas itu riil dan
bahwa perubahan itu juga riil. Prinsip identitas mengatakan: Apa saja selalu identik dengan
dirinya sendiri. „Batu ini adalah batu ini“. Tidak bisa, „batu ini adalah batu itu“. „A adalah
A“. Tidak bisa A adalah sekaligus B. Asas identitas merupakan sesuatu yang riil dalam objek
pengalaman. Si individu Markus haruslah tetap si Markus yang demikian, tidak bisa menjadi
seorang Markus yang Yohanes. Pada pokoknya asas identitas merupakan pemahaman pertama
mengenai sesuatu yang ada. Tetapi ternyata, sesuatu yang ada itu tidak tetap, ia bisa berubah,
ia bisa menjadi lain. Ia berubah. Perubahan itu juga riil adanya. Pohon mangga di depan
fakultas filsafat dulu kecil, sekarang besar. Dulu pohon mangga itu belum berbuah, tetapi
sekarang berbuah dan buahnya lebat. Tetapi ia tidak bisa berubah di luar kemungkinan yang
diijinkan oleh essensinya untuk berubah, sehingga pada waktu tua pohon mangga itu tidak
menghasilkan buah pepaya, melainkan ia berubah menjadi pohon yang besar yang
menghasilkan buah mangga.
Lalu, bagaimana kita dapat menegasi yang satu dan mengafirmasi yang lain;
bagaimana kita menerima realitas perubahan dengan menyangkal adanya asas identitas, atau
menerima identitas yang berarti sekaligus menolak kenyataan perubahan yang justru juga
merupakan objek pengalaman. Pertanyaan yang sesuai untuk soal ini ialah, bagaimana kita
menjelaskan kenyataan perubahan itu tanpa harus menyangkal asas identitas. Dengan kata
lain kita harus menerima realitas bahwa sesuatu itu berubah, namun ia senantiasa juga tetap.
2.2.1. Heraklitos
Heraklitos mengakui realitas perubahan sebagai dasar terdalam realitas. Ia mengakui
kenyataan bahwa sesuatu itu berubah, dan itu merupakan suatu evidensi langsung dalam
pengalaman. Evidensi itu tak dapat disangkal, bahwa di dunia sesuatu berubah dan tidak ada
apa-apa yang tetap. Segalanya mengalir bagaikan air (pantha rei). Perubahan adalah
kenyataan yang paling jelas dan yang merupakan hukum yang paling dasariah dari realitas.
Jadi yang paling riil adalah perubahan sebab hal itu terjadi terus-menerus. Secara implisit
dalam hal ini ia mempersamakan ada dan menjadi.
Tetapi, kalau segalanya terus berubah, selalu ada dalam proses menjadi (becoming)
maka pengetahuan manusia menjadi tidak mungkin sebab yang dapat dikenal hanyalah yang
ada (being). Manusia tidak bisa mengenal sesuatu yang tidak ada. Lagi pula pendapat ini
justru menghapus kemungkinan perubahan itu sendiri. Bayangkan saja, kalau semua adalah
perubahan, kalau tidak ada yang lain selain perubahan, maka tidak ada suatu barang pada
mana perubahan itu terjadi. Padahal yang ditangkap oleh pengalaman adalah betul perubahan,
akan tetapi bukan perubahan murni, melainkan perubahan dari sesuatu.
2.2.2. Parmenides
Parmenides adalah pendiri metafisika, sebab ia menemukan konsep mengenai ada dan
mengerti bahwa yang paling dasariah adalah ada. Ada itulah inti dari realitas apa saja. Tetapi
ada itu tidak dapat berubah karena berubah berarti menjadi lain. Namun tidak ada yang lain
selain dari ada. Menurut Parmenides, ada dapat berubah hanya ada dua kemungkinan,
16
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
dimana keduanya tidak bisa direalisasi: Pertama, ada dapat berubah menjadi ada. Kedua,
ada berubah menjadi tidak ada. Akan tetapi ada itu tidak dapat menjadi ada sebab dia sudah
ada. Ada juga tidak dapat menjadi tidak ada sebab dalam hal ia sudah tidak ada lagi. Oleh
karena itu, perubahan tidak ada. Perubahan itu tidak riil.
17
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Ada in potentia selalu berhubungan dengan ada in actu. Ada in actu itulah sebagai ada
dalam arti yang penuh, yakni sesuatu yang berada. Jadi aktus tidak lain adalah ada itu sendiri.
Sesuatu itu telah menjadi realitas tertentu, telah mencapai kesempurnaan dalam berada. Biji
pepaya yang kecil sekarang ini sudah sempurna sebagai sebuah pohon pepaya. Itulah yang
disebut ada in actu. Di dalam biji yang in actu ini terdapat pohon pepaya, tetapi pohon
pepaya itu masih in potentia, yaitu masih dalam tarap kebakalan. Pohon pepaya yang ada
dalam tarap kebakalan ini yang belum kelihatan tetapi akan mungkin ada, Cajetan
menyebutnya dengan istilah existentia non existit (keberadaan yang tidak ada). Diakui bahwa
kemungkinan menjadi lain dari yang sekarang dia ada (sebuah biji pepaya) merupakan
sebuah kemungkinan riil untuk menjadi sebuah pohon pepaya sejauh proses menuju
aktualisasinya itu tidak terganggu. Jadi aktus merupakan eksistensi sesuatu. Kenyataan objek
seperti adanya disebut aktus. Kenyataan sebagaimana adanya di depan saya itulah yang
Thomas sebut quid est actus.
Jika saya mengakui bahwa biji pepaya yang saya tanam sekarang akan menjadi pohon
pepaya yang menghasilkan buah pepaya, berarti saya mengakui bahwa biji kecil itu akan
berubah yang dalam bahasa biologi disebut „bertumbuh“. Tetapi yang bereksistensi di depan
saya sekarang ini, ialah biji kecil, yang saya pegang dalam genggaman tangan bukan sebuah
pohon pepaya yang buahnya saya sedang joloki. Dengan demikian, hal yang selalu saya
tangkap adalah selalu hal yang sudah jadi, hal yang sudah selesai mengadakan proses
perubahan. Kata „bertumbuh“ adalah ungkapan yang post factum, karena tiga bulan yang lalu
biji itu belum memiliki apa-apa sekarang sudah mengeluarkan daun.
Dengan ini kita dapat mengatasi dilema Parmenides, bahwa ada tidak bisa berasal dari
tidak ada, dan bahwa ada tidak bisa berasal dari ada. Pertama, bahwa ada tidak bisa berasal
dari tidak ada: Benar, kalau tidak ada berarti nihil dalam arti absolut, sebab dari suatu
kekosongan tidak dapat timbul apa-apa. Namun, palsu kalau tidak ada berarti ada in potentia,
karena suatu pohon dapat berasal dari satu biji yang merupakan sebuah pohon in potentia.
Kedua, bahwa ada tidak bisa berasal dari ada: Benar, dalam arti tertentu, yakni bahwa
sesuatu tidak dapat menjadi yang dia sudah ada. Namun, palsu kalau ada diambil dalam arti
ada in potentia karena ada in potentia dapat menjadi ada in actu.
potentia-actus. Potentia yaitu kapasitas yang riil untuk menjadi sesuatu yang sekarang tidak
ada. Kapasitas itu adalah suatu tuntutan untuk direalisasir. Di sini, potentia adalah suatu
kekurangan yang mungkin untuk dipenuhi (diaktualisasi). Sedangkan actus adalah
pemenuhan atau realisasi dari kapasitas tadi, hasil titik sampai dari perubahan.
Supaya perubahan bisa terjadi, tidak hanya harus ada oposisi „kosong“ dan „penuh“,
tetapi juga harus ada subjek, pada mana perubahan itu terjadi, sebab tidak ada perubahan
sebagai perubahan. Subjek adalah barang itu (substratum) pada mana perubahan itu
berlangsung. Oposisi itu terjadi karena mereka berada pada satu subjek, pada mana ada suatu
kekurangan (potentia) yang dapat dipenuhi dan kekurangan itu dipenuhi atau direalisir
(actus).
Di dalam subjek itulah ada gerak peralihan. Gerak peralihan itu terjadi karena adanya
kutub „kosong“. Perubahan dapat dipandang sebagai titik sampai atau hasil dari suatu
potentia. Dalam hal ini perubahan berarti actus. Tetapi perubahan dapat berarti suatu proses
itu sendiri dari potentia ke actus. Itu berarti di sini ada gerak. Gerak ada seakan-akan antara
potentia dan actus. Dia „lebih dari potentia,“ karena pada suatu subjek kalau hanya potentia
yaitu hanya kapasitas untuk menjadi sesuatu, maka gerak belum ada. Dari lain pihak, gerak
„kurang dari actus,“ karena kalau masih ada gerak pada suatu subjek, maka itu berarti
kapasitas itu untuk menjadi sesuatu belum direalisir. Oleh karena itu, gerak didefinisikan
sebagai „actus dari ada dalam keadaan potentia“ (actus entis in potentia), sejauh ia masih ada
dalam keadaan potentia (actus entis in quantum potentia).
Berdasarkan uraian di atas, diturunkan beberapa kesimpulan pokok, berikut ini:
(1)Tidak ada oposisi mutlak antara ada dan perubahan, sehingga kita tidak perlu harus
menyangkal adanya perubahan hanya untuk membuktikan realitas dari ada. Dengan distinksi
ada in potentia dan ada in actu kita bisa menyesuaikan realitas apa saja dengan perubahan.
(2) Sekalipun tidak ada oposisi mutlak antara ada dan perubahan, akan tetapi keduanya tidak
identik. Ada tidak bisa dipersamakan dengan menjadi murni. Dimana saja ada perubahan
harus diandaikan realitas dari barang-barang yang berubah. Sebab, di mana saja ada
perubahan, maka harus ada subjek perubahan. (3) Segala yang berubah adalah terbatas dalam
adanya. Segala kesempurnaan adalah kesempurann dalam adanya, yaitu dalam cara sesuatu
itu benar-benar ada. Dan segala ketidaksempurnaan adalah keterbatasan dalam adanya. Kalau
sesuatu itu memperoleh suatu kesempurnaan, itu berarti sebelumnya ia memipiliki
kesempurnaan itu. Sedangkan sesuatu yang sempurna secara mutlak tidak kehilangan apa-apa
dan juga tidak menerima apa-apa. (4) Segala yang berubah memiliki komposisi actus-
potentia dalam adanya. Supaya ada perubahan maka harus ada potentia, yakni kapasitas untuk
menerima apa yang sekarang dia tidak miliki. Tetapi tidak ada potentia murni, sebab yang
berubah itu adalah yang berada in actu.
dari suatu proses. Titik pertama adalah titik mulai, disebut terminus a quo. Titik kedua adalah
titik tujuan, titik sampai dari proses menjadi atau gerak. Ini disebut terminus ad quem. Setiap
perubahan fisik mengandaikan dua titik itu, kalau perubahan diartikan sebagai peralihan.
Peralihan memuat pengertian saat atau momen berangkat dan momen tujuan.
Syarat terjadinya suatu proses peralihan: tidak adanya kontradiksi antara dua titik ini.
Tidak adanya kontradiksi maksudnya titik sebagai terminus a quo dan terminus ad quem tidak
saling meniadakan. Kontradiksi yang paling dasar ialah ada dan tidak ada. Kalau terjadi
kontradiksi, maka tidak terjadi proses peralihan karena tidak ada jalan tengah. Peralihan
suksesif dan sambung-menyambung tidak dapat ditemukan dalam dua hal yang kontradiktif.
Misalnya, manusia tiba-tiba menjadi sapi atau hilang sama sekali. Dalam hal yang
kontradiksi, kalau satu berhenti bereksistensi, ipso facto yang lain bereksistensi. Kalau
manusia hilang, maka sapi muncul. Dalam hal ini tidak ada manusia lagi. Karena itu
dikatakan antara ada dan tidak ada tidak terjadi proses menjadi, karena keduanya merupakan
kontradiksi.
Proses menjadi yang bersifat suksesif hanya terdapat pada hal substansial yang
berkuantitas dan berkualitas. Proses menjadi terjadi dalam kuantitas, misalnya bertambah
besar atau dalam kualitas, misalnya menjadi semakin pintar, semakin saleh. Di sini kualitas
dan kuantitas merupakan cara berada dari barang terbatas. Jadi yang berubah hanyalah
substansi yang berkualitas dan berkuantitas. Proses determinasi diri dan pengokohan diri
secara lain pada substansi merupakan proses menjadi.
20
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
21
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
perubahan. Dan setiap yang berubah memiliki waktunya sendiri seperti yang berekstensi
memiliki eksistensinya sendiri.
Akhirnya, kita boleh mengatakan bahwa waktu adalah proses menjadi yang dilihat
oleh satu kesadaran, dan dalam hal ini, diukur menurut sebelum dan sesudah. Skolastik
menggarisbawahi, waktu itu bukan numerus numerans, melainkan suatu numerus numeratus,
jadi bukan ukuran sebagaimana ada dalam subjek yang menerapkannya, tetapi jumlah atau
ukuran menurut realitas yang diukur. Jadi, persisnya adalah proses menjadi yang diukur
(terukur). Tetapi ukuran itu memuat intervensi subjek yang mengukur. Oleh karena itu, bisa
disimpulkan, pemahaman waktu sebagai numerus motus sejalan dengan pemahaman waktu
sebagai proses menjadi yang dilihat oleh subjek. Karena itu bisa ditarik kesimpulan lebih
jauh, bahwa sebuah realitas dalam waktu, sejauh ia menjadi subjek perubahan. Dan, semua
yang tidak dapat berubah tidak dapat dimasukkan dalam waktu. Jadi tidak dapat diukur. Allah
dan roh murni tidak dapat diukur, dan kerenanya mereka itu kekal.
3. Prinsip Materia-Forma
bahwa batu bukanlah pohon sekalipun keduanya adalah sama-sama barang material. Jadi
harus ada sesuatu yang mendasarkan perbedaan antara substansi material. Itulah forma, yang
merupakan prinsip aktual, yang memberikan suatu aktualitas tertentu terhadap suatu barang
material. Jadi forma menentukan materia.
Forma ini ada dua jenis: Forma substantialis dan forma accidentalis. Adapun forma
accidentalis tidak membuat sesuatu menjadi substansi karena dia hanya sebagai penentuan
yang kedua. Dia hanya sebagai penentuan yang ditambahkan pada substansi yang sudah ada,
yang memiliki unsur konstitutip materia prima - forma substantialis. Sedangkan forma
substantialis membuat sesuatu menjadi substansi dan mengaktualisasi bukan substansi yang
belum ada melainkan materia prima. Jadi forma adalah prinsip yang mengaktualisasi materia
prima menjadi barang jenis tertentu.
23
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
4.1. E s s e n t i a
Setiap barang yang ada mempunyai essensi dan essensi itu bisa dikenal. Akan tetapi
pengetahuan kita tentang essensi tidak sempurna. Pengetahuan itu diperoleh melalui simplex
apprehentio (tangkapan sederhana).
Essensi adalah apa yang membuat sesuatu barang menjadi macam barang tertentu.
Oleh adanya essensi itulah maka setiap barang beda dari barang yang lain. Essensi
menentukan barang-barang dari dasarnya, yang menyebabkan sesutau menjadi seperti adanya.
Dia merupakan prinsip yang riil yang membuat sesuatu menjadi anggota species tertentu. Dia
menentukan sesuatu sebagai substansi dan tidak sebagai substansi pada umumnya, melainkan
menentukan suatu macam substansi tertentu.
Dalam kaitan dengan itu, bagaimana kita harus menjelaskan realitas accidens-accidens
pada barang-barang, karena justru accidens juga dalam kaitan substantia justru dialah yang
menentukan substantia itu sebagai substansi tertentu. Sebab tidak ada substantia qua
substantia atau substansi tanpa suatu accidens pun. Yang kita kenal adalah substansi dengan
segala accidensnya. Tanpa accidens itu kita tidak bisa mengenalnya. Karena itu, di sini harus
ditegaskan, bahwa accidens-accidens menampakkan essensi barang tetapi tidak menentukan
adanya, karena accidens-accidens mengandaikan substansi dan justru substansi itu adalah
sesuatu yang ada.
Tetapi essensi itu tidak mendasarkan realitas. Dia tidak menyebabkan suatu barang.
Dia hanya menyebabkan sesuatu barang menjadi suatu barang yang tertentu. Ia hanya
menentukan kekhasan (species) dari suatu barang yang ada. Jika essensi dari suatu barang itu
riil, dan seperti dijelaskan bahwa essensi itu menentukan kekhasan atau species, maka dalam
hal itu mungkin ada sesuatu di luar barang itu atau species itu yang essensinya adalah berada.
Karena dalam kenyataan terdapat pelbagai species barang, maka dalam realitas itu juga
terdapat pelbagai essensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu berada tidak merupakan essensi
dari suatu species.
Essensi menjelaskan mengapa suatu barang itu demikian dan mengapa ia termasuk
species yang ini atau yang itu, tetapi dia tidak menjelaskan mengapa barang itu ada. Essensi
bukanlah prinsip yang menjelaskan, mengapa suatu barang itu ada. Oleh karena itu,
pertanyaan yang dikemukakan di atas, apa unsur terdalam dari realitas, atau apa yang
menyebabkan barang-barang benar-benar ada riil, jawabannya bukan essensi. Essensi tidak
menjelaskan berada nya sesuatu barang.
Dari uraian itu dapat disimpulkan: (1) Tidak dikatakan bahwa essensi barang-barang
tidak riil. Hanya dikatakan bahwa keriilan barang-barang tidak terletak dalam essensi. Karena
itu tidak ada pertentangan kalau dikatakan bahwa essensi barang-barang adalah riil. Tetapi ia
riil sejauh ada hubungan dengan barang-barang yang berada. Tidak ada dunia essensi atau
dunia froma saja yang berada sendiri. Dengan ini, teori Plato tentang dunia forma yang
berdiri sendiri, bisa ditolak. (2) Objek pengalaman kita dengan seharusnya selalu mengenai
ada yang tertentu dengan essensi, namun tidak berarti bahwa realitas dari barang itu terletak
dalam essensinya itu. Spesifikasi dari suatu barang tidak membawa serta adanya atau tidak
adanya barang itu. Dengan membentuk pengertian atau pola dari suatu barang tidak
meyangkutkan adanya barang itu dalam realitas. (3) Kalau barang-barang mempunyai essensi
dan essensi itu bukan berada, maka itu berarti, realitas dari barang itu harus terdapat pada
suatu prinsip yang lain, di mana prinsip itu harus distinkt dari essensi.
24
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
4.2. E x i s t e n t i a
Apa saja mempunyai adanya sendiri,dengan seharusnya. Adanya sendiri itu, itulah
yang mendasarkan kejamakan barang-barang, yang menampakkan kepada pengetahuan kita
bahwa barang-barang itu tidak hanya satu melainkan banyak. Seandainya dua barang
mempunyai adanya yang sama, maka mereka tidak lagi dua barang melainkan satu. Jadi, dua
barang itu dikatakan dua barang justru karena masing-masing memiliki adanya sendiri.
Adanya sendiri itulah eksistensi. Eksisteni adalah sesuatu riil pada setiap barang.
Dialah prinsip intrinsik dari sesuatu, yang berbeda dari prinsip intrinsik kedua yang essensi.
Untuk mencapai idea tentang eksistensi kita harus kembali kepada distinksi antara ens in actu
dan ens in potentia. Dalam kerangka itu, eksistensi adalah yang membuat ens in actu
(aktualisasi) dari ada karena berada berarti ada aktual (in actu). Jadi eksistensi adalah actus.
Namun ia bukan actus sebagaimana pada forma substantialis atau forma accidentalis, karena
kedua forma itu tidak membuat barang menjadi ada. Eksistensi adalah actus melalui mana
barang-barang dengan segala kekhasannya berada (actus essendi). Dan segala barang yang
riil mempunyai actus essendi hanya untuk dirinya sendiri, itulah yang disebut esse.
Barang adalah riil karena berada (esse). Esse adalah dasar terdalam dari realitas. Jika
dasar dari realitas adalah perubahan seperti dikemukakan oleh Heraklitus, maka itu berarti,
segala kesempurnaan atau kualitas pada barang-barang termasuk eksistensinya sendiri harus
dianggap bersumber pada perubahan. Namun jelas bahwa eksitensi tidak berasal dari
perubahan. Jutsru sebaliknya terjadi bahwa asal dari perubahan itu adalah eksistensi. Memang
perubahan itu riil namun ia tidak riil dalam dirinya sendiri, sebab perubahan itu adalah
perubahan pada suatu barang material.
Supaya barang material dapat „berada“, maka materia harus diaktualisasi oleh forma,
namun aktualisasi itu hanya menentukan essensi. Karena itu, supaya segala sesuatu yang
terdiri dari materia dan forma itu berada, maka perlu diaktualisasi oleh suatu prinsip yang
lain dari essensi. Prinsip itu ialah esse atau eksistensi. Jadi, esse adalah actus yang paling
dasariah dalam segala barang, melalui mana barang itu dan segala sesuatu yang ada padanya
(materia-forma) berada.
Dari uraian itu disimpulkan beberapa hal: (1) Essensi dari sesuatu yang merupakan
objek pengalaman berbeda secara riil dari esse. Memang essensi disebut juga actus tetapi
dalam arti terbatas, karena dia hanya merupakan suatu komposisi materi prima dan forma
substansialis untuk membentuk suatu species. Akan tetapi kalau essensi itu diperbandingkan
dengan actus essendi, maka essensi hanya suatu potentia untuk berada. (2) Hubungan antara
essensi dan eksistensi adalah sperti actus-potentia. Eksistensi adalah artikulasi itu sendiri dari
essensi dan dialah jawaban terakhir, mengapa sesuatu itu bisa ada riil. (3) Segala objek
pengalaman adalah komposisi antara essensi-eksistensi. Ini adalah komposisi yang terdalam.
Dia lebih dalam dari komposisi materi prima - forma substantialis, antara susbtantia-
accidentia.
25
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Bab 3
Potentia – Actus
Benda material yang merupakan objek pengalaman adalah komposisi dari actus-
potentia. Dalam bab ini kita mau membahas secara lengkap tentang arti dan macam-
macam penerapan prinsip actus-potentia itu. Untuk itu akan dibagi dalam beberapa sub
bahasan sebagai berikut: (1) Pembahasan prinsip actus-potentia, yakni tentang bagaimana
hubungan antara keduanya sebagai asas umum bagi segala barang yang ada. (2) Lalu
disusul pembicaraan tentang aplikasi prinsip actus-potentia itu untuk memecahkan soal
kejamakan barang-barang. Bagaimana dapat ada banyak barang atau bagaimana sifat-
sifat (aksidental dan essensial) bisa terdapat dalam banyak subjek menurut kadarnya
masing-masing. Itulah yang disebut sebagai soal yang satu dan yang banyak. (3) Hal yang
berkaitan dengan itu, ialah soal analogi, yang menjelaskan bagaimana esse bisa ada pada
banyak subjek. Pertanyaannya, dalam arti apa esse itu disebutkan tentang barang-barang
yang banyak dan berbeda. (4) Lalu, bagaimana teori analogi itu dalam kaitan dengan
pemakaian bahasa teologi. Uraian di dalam sub ini adalah suatu penerapan paham analogi
dalam menerangkan soal tentang kemungkinan bahasa manusia tentang Allah. (5)
Akhirnya, soal tentang bagaimana manusia mengenal ada itu. Ada adalah analog dalam
realitas dan oleh karena itu manusia mengenalnya secara analog.
26
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
suatu barang itu tidak memiliki realitas sendiri sebagai barang, namun mereka tetap riil
sebagai prinsip dari barang yang mereka susun. Dalam arti itulah potentia-actus riil.
Kalau potentia-actus disebut sebagai bagian-bagian dari barang yang riil itu, namun
bukanlah bagian-bagian material yang mempunyai kuantitas fisik. Mereka disebut bagian-
bagian dalam arti bahwa sesuatu barang yang ada dalam realitas memiliki komposisi intrinsik
potentia-actus. Karena itu, kalau di sini dikatakan bahwa potentia-actus adalah bagian-bagian
suatu barang yang riil, maka harus dimengerti bukan bagian dalam arti tegas. Kita tidak boleh
membayangkan actus-potentia sebagai bagian-bagian material seperti halnya barang yang ada
dalam kenyataan. Oleh karena itu adalah lebih tepat menyebutnya „prinsip-prinsip“ dan
bukan „bagian-bagian“.
27
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Tetapi apakah juga segala actus selalu berhubungan dengan potentia? Kalau kita
perhatikan barang-barang material yang merupakan objek pengalaman, maka benar bahwa
segala actus berhubungan dengan potentia yang sesuai dengannya. Aktus „main gitar“,
misalnya, mengandaikan kesanggupan untuk melakukan kegiatan itu. Tetapi, kalau kita
memandang actus dalam dirinya sendiri, maka ternyata actus sebagai actus bisa tidak
memiliki potentialitas apa pun. Karena itu bisa ada suatu actus purus, yakni suatu actus yang
tidak berhubungan dengan suatu potentia, karena dirinya adalah sempurna.
Actus yang berhubungan dengan potentia itu, seperti tampak dalam pengalaman,
adalah selalu terbatas dan terbagi. Kualitas „merah“ adalah kesempurnaan, namun kita tidak
mempunyai pengalaman tentang sesuatu yang merupakan „merah murni“, merah sempurna
dalam kemerahannya. Berdasarkan pengalaman indrawi, ada banyak barang di mana terdapat
kesempurnaan kemerahan tetapi menurut derajad yang berbeda. Merahnya barang ini tampil
secara berbeda dengan merahnya barang itu. Kualitas merah itu selalu secara tertentu pada
barang-barang. Kesempurnaan kemerahan menjadi terbatas karena memang tidak ada apa-apa
yang merah murni.
Mengapa kesempurnaan (actus) itu terbatas? Apakah sumber dan sebab keterbatasan
itu ada pada actus itu sendiri atau pada suatu prinsip yang distinkt dari actus? Jika sebab
keterbatasan adalah actus itu sendiri, maka harus disimpulkan bahwa suatu barang dapat ada
sempurna dan tidak ada kesempurnaan pada prinsip yang sama. Namun pernyataan semacam
ini kontradiktoris. Karena itu, tidak mungkin actus membatasi dirinya sendiri. Maka jelaslah
bahwa sebab keterbatasan actus harus ada pada suatu prinsip lain dan prinsip itu distinkt dari
actus. Itulah prinsip potentia pada mana actus itu diterima.
Tetapi bagaimana potentia itu membatasi actus? Atau, bagaimana potentia menerima
actusnya? Tetapi bagaimana potentia menerima actusnya? Menerima di sini tidak boleh
dibayangkan secara fisis, seperti menerima sesuatu dalam suatu wadah. Karena hubungan
potentia-actus itu bersifat transandental, yaitu mengatasi segala kategori, maka potentia
menerima actus itu secara langsung. Actus diterima secara langsung dalam potentia dan itu
berarti mengaktualisasi potentia itu sendiri. Hubungan ini harus dipandang sekaligus,
sehingga harus dikatakan bahwa potentia disempurnakan oleh actus ketika ia diaktualisasi
dan ketika itu pula actus dibatasi oleh potentia.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana potentia dan actus „terbagi“? Karena keduanya
tidak dapat didefinisikan secara tegas, maka potentia-actus juga tidak dapat dibagi secara
tegas. Pembagian logis yang tegas yang menyebutkan genus dan species, tidak bisa
ditempatkan pada potentia-actus. Potentia-actus bukanlah genus atau species, melainkan
prinsip-prinsip dari ada dan antara keduanya itu ada hubungan transendental dan bukan
hubungan logis. Pembagian logis berarti juga bagian-bagian harus dihubungan secara univok
dengan keseluruhan. Akan tetapi syarat ini tidak berlaku untuk potentia-actus. Pembagian
potentia-actus di sini bersifat analog.
1.3.1. Macam-macam A c t u s
1. Actus purus dan actus mixtus: Actus purus sama sekali tidak mengandung potentia. Ia tidak
dibatasi oleh potentia, karena itu ia sempurna. Actus ini tunggal, unik, dalam arti ia tidak
terdiri dari prinsip atau unsur. Dengan kata lain, tidak ada padanya suatu komposisi. Actus
purus disebut juga dengan nama actus irreceptus. Sedangkan actus mixtus atau disebut
juga dengan nama actus non purus atau actus receptus, dibatasi oleh potentia. Karena itu,
ia merupakan unsur komposisi antara actus dan potentia.
28
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
2. Actus entitativus dan actus formalis: Actus dalam arti utama, yaitu actus melalui mana
sesuatu berada (esse). Actus ini yang disebut juga dengan nama actus essendi (eksistensi).
Karena itu, actus entitativus disebut juga actus eksistensial. Sedangkan actus formalis
adalah actus yang tidak menyebabkan barang berada, melainkan hanya menentukan cara
adanya atau menentukan speciesnya barang-barang. Actus formalis masih dibagi lagi
menjadi actus formalis primus dan actus formalis secundus. (1) Adapun actus formalis
primus menentukan essensi barang, membuat sesuatu menjadi species tertentu. Oleh
karena itu actus formalis primus dari barang material adalah forma substansialis. Hal ini
masih dibagi lagi menjadi forma substansialis dari barang yang tidak bisa berada sendiri
tanpa materi, seperti binatang, manusia. Itulah yang disebut forma substanbsialis non
subsistens. Sedang untuk barang yang bisa berada tanpa materi memiliki forma
substansialis susbsitens. (2) Actus formalis secundus: Actus ini adalah penentu tambahan
pada suatu subjek yang sudah ada. Actus ini benar-benar mempengaruhi suatu barang tapi
tidak menyebabkan essensi dari barang itu. Dia adalah kesempurnaan aksidental.
3. Actus receptus dan actus non receptus: Actus receptus adalah actus yang diterima oleh
suatu potentia. Actus non receptus adalah actus yang tidak diterima oleh potentia.
Misalnya, forma substansialis dari segala barang material adalah actus receptus.
Sedangkan untuk forma murni tidak diterima dalam potentia dan oleh karena itu forma
non recepta. Dalam realitas segala actus essendi kecuali actus purus yakni Tuhan, adalah
actus receptus.
tetapi adalah mungkin untuk menjadi kenyataan. Dalam sebatang pohon ada kapasitas untuk
berubah atau untuk menjadi besar. Kualitas atau kesempurnaan „besar“ itu belum dia miliki,
akan tetapi adalah mungkin dia akab berubah menjadi „besar“ (bertumbuh atau berkembang).
Itulah yang disebut potentia subjectiva. Akan tetapi pohon itu juga memiliki suatu potentia
objectiva untuk ditebang. Kemungkinan atau kapasitas riil untuk ditebang ini disebut sebagai
potentia objetiva dari sebatang pohon.
30
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Oleh karena itu, suatu accidens yang umum bagi keduanya akan terbatas sesuai essensi
masing-masingnya. Mengenal misalnya, sama-sama dimiliki oleh keduanya, namun aktus
mengenal seturut kodrat masing-masingya. Mengenal pada binatang hanya pada tataran
mengenal sensitip, sedangkan pada manusia mengenal serentak sensitip dan intelektip.
Tetapi baik manusia maupun binatang dapat mengenal apa yang essensinya masing-masing
mengijinkan. Essensi adalah prinsip yang membatasi kesempurnaan aksidental yang
terdapat pada barang.
2. Substansi adalah Individu: Accidens dibatasi oleh substansi dengan individualitasnya.
Kesempurnaan accidental itu yang merupakan pengetahuan yang berbeda-beda pada
individu-indivudu justru karena pada mereka ada perbedaan individual. Tiap barang
mempunyai individualitasnya sendiri. Prinsip pembatasan accidens-accidens adalah
substansi bersama dengan individualitasnya. Tidak ada kesempurnaan yang sama yang
dimiliki secara persis sama pada dua individu dari species yang sama justru karena
individualitasnya. Inilah yang memungkinkan berlakunya aksioma: Quid quid recipitur, ad
modum recipientis recipitur = Apa saja yang diterima, diterima sesuai dengan cara
penerima itu.
31
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Seandainya materia prima tidak ada, maka tidak mungkin ada banyak forma yang
berbeda dalam species yang satu dan sama,sebab materia prima adalah prinsip yang menerima
dan membatasi forma substantialis. Namun kenyataan ada banyak forma yang berbeda dalam
tiap species, dan sebab dari multiplisitas itu terletak tidak pada kodrat forma itu sendiri
melainkan pada kodrat materia. Jadi, alasan terdalam mengapa dapat ada banyak barang yang
mempunyai macam forma yang sama terletak pada sifat potential dari materia. Oleh karena
itu tiap kali materia prima berfungsi sebagai prinsip yang menerima forma substansialis,
maka sejauh itu pula terjadi multiplisitas individu dalam species yang sama.
potentia jika dipandang dalam hubungannya dengan eksistensi, tetapi dia adalah actus jika
dipandang sebagai forma yakni unsur itu yang yang membuat barang-barang tertentu. Dan
cara adanya (modus essendi) dari barang-barang tergantung dari essensi. Oleh karena itu ada
diperbanyakan tiap kali dia diterima dalam essensi yang distinkt dari padanya. Dengan
demikian, Essensi dalam hal ini adalah prinsip pembatasan dari esse. Karena itu tidak
mungkin barang-barang „menjalankan“ actus essendinya di luar batasan essensi.
Bab 4
33
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Analogia Entis
Objek formal metafisika adalah ens in quantum ens. Itu berarti metafisika
berkonsentrasi pada actus essendi. Akan tetapi dalam realitas actus essendi itu tidak satu
melainkan banyak. Tiap barang mempunyai actus essendi sendiri. Di sini kita mau
mempertanyakan, mengapa terdapat banyak barang, dan pertanyaan itu senilai dengan
mempertanyakan unsur kesatuan dan kejamakan dalam pengalaman indrawi kita. Kita ingin
mencari di tengah keanekaan, keberbedaan prinsip kesatuan yang mengikat semua yang
ada.
Dalam kenyataan kita mengalami ada banyak barang. Semuanya berbeda dalam
cara berada. Batu, cara beradanya, lain dari cara beradanya seekor sapi. Malahan batu yang
ada di kali lain dari cara beradanya batu yang di gunung. Batu ini beda dari batu itu. Dua
barang tidak sama dalam keberadaannya. Dua individu tidak pernah mempunyai cara
berada yang sama. Barang-barang itu masing-masing dengan actus essendinya sendiri.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa kalau dua barang itu sama dalam adanya,
maka barang-barang itu bukan lagi dua melainkan satu barang. Akan tetapi ada itu dapat
diterapkan pada apa saja yang ada riil dan semuanya sama dalam ada: ada batu, ada sapi
dan ada manusia.
Yang menarik untuk ditelusuri di sini adalah kenyataan bahwa justru antara batu,
sapi dan manusia itu terdapat suatu yang identik dan yang berbeda. Sebagai yang ada,
batu, sapi dan manusia, semuanya adalah identik, tetapi bagaimana pun mereka tetap
berbeda satu sama lain, karena mereka hadir atau bereksisteni dengan cara masing-masing.
Tiap barang mempunyai actus essendi-nya sendiri. Adapun persoalan yang hendak dibahas
di sini, bukan bagaimana dapat ada banyak barang. Sebab, soal ini telah dipecahkan dengan
prinsip potensial dari esse yakni essensi. Yang hendak dipersoalkan sekarang adalah
bagaimana mungkin bahwa segala barang itu, dalam arti tertentu, toh satu dalam adanya.
Bagaimana dapat dikatakan bahwa ada adalah umum bagi segala sesuatu yang berada.
34
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
mereka tetap memiliki sesuatu yang umum yakni bahwa mereka semua ada. Jadi, barang
yang berbeda atau yang sama, selalu berbeda dan sama dalam adanya.
Intinya, kalau segala barang mempunyai ada bersama, maka bagaimana barang-
barang individual, barang ini dan barang itu, dapat berada. Atau, sebaliknya. Kalau segala
barang berbeda dalam ada, maka bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka mempunyai ada
bersama? Kelihatannya kedua ekstrem itu tidak dapat dipersatukan
macam-macam analogi, sampai menemukan suatu macam analogi yang sesuai untuk
menerangkan ada.
Pertama, analogi metaforis: Satu term disebutkan secara seharusnya (propriae) untuk
suatu hal, kemudian term yang sama disebutkan dalam arti kiasan untuk banyak hal lain,
berdasarkan suatu hubungan perbandingan antara dua sifat atau fungsi atau unsur. „Kepala
Kantor“ dikenakan kepada Markus, maka itu berarti fungsinya Markus di kantor dapat
diperbandingkan dengan fungsi kepala pada tubuh. Kedua fungsi itu tidak sejenis, namun
berdasarkan pengetahuan kita tentang fungsi kepala pada tubuh kita dapat mengerti dalam
garis besar tentang fungsi si Markus di kantor itu. Hanya perlu diperhatikan, bahwa kepala
disebutkan secara seharusnya yaitu dalam arti yang asli hanya bagi primum analogatum,
yakni mengenai tubuh. Term kepala untuk secundum analogatum yakni si Markus
mengandaikan bahwa sudah dimengerti apa arti term itu kalau dipakai bagi primum
analogatum. Pemakaian secara metaforis dari suatu term didasarkan bukan atas kesamaan
antara barang atau kodrat tetapi atas kemiripan: kepala sebagai bagian dari tubuh dengan
Markus sebagai personal kantor.
Akan tetapi ada bukan dalam arti metaforis, karena dalam term metaforis, yang
dipakai untuk mengungkapkan suatu kesamaan, dipakai secara propriae hanya pada primum
analogatum, padahal analogi yang berhubungan dengan ada harus dipakai secara propriae
mengenai segala barang, dimana segala barang itu memuat di dalam dirinya pengertian ada.
Mereka dikatakan barang ini dan barang itu karena mereka ada. Akan tetapi mereka ada
sebagai barang ini dan barang itu secara berbeda. Semua mereka memang berada tetapi
berada menurut cara mereka masing-masing.
Kedua, analogi atribusi: Di sini suatu term yang dipakai secara propriae tentang
primum analogatum dapat dipakai juga tentang analogata yang lain, adalah karena adanya
suatu hubungan langsung antara subjek yang sama (primum analogatum) dengan subjek lain
(secunda analogata). Demikian, makanan dinamakan sehat bukan karena ada kesehatan
padanya atau ada kesamaan antara badan yang sehat dengan makanan yang sehat, melainkan
karena ia menyebabkan atau memungkinkan kesehatan tercipta pada tubuh.
Analogi atribusi ini mempunyai beberapa sifat: (1) Kesempurnaan atau fungsi yang
dipakai dalam analogi itu ada secara intrinsik hanya pada primum analogatum (princeps
analogatum). (2) Kesempurnaan itu berhubungan dengan secunda analogata berdasarkan
hubungan ekstern. (3) Alasan, mengapa term yang sama dipakai juga mengenai secunda
analogata adalah bahwa analogata itu berhubungan dengan primum analogatum sebagai
sebab atau akibat. Misalnya, sehat disebutkan tentang tubuh secara seharusnya karena
kesehatan itu ada secara intrinsik pada badan. Sehat disebutkan tentang segala yang lain
secara ekstrinsik oleh karena suatu hubungan sebab atau akibat. Sehat disebutkan mengenai
makanan, karena makanan memelihara kesehatan. Sehat disebutkan tentang obat, karena obat
itu memulihkan kesehatan.
Akan tetapi analogi atribusi ini juga tidak memadai untuk mengungkapkan soal
kesatuan ada, sebab dalam analogi ini yang disebutkan secara intrinsik hanya pada primum
analogatum dan secara ekstrinsik dengan analogata yang lain oleh karena suatu hubungan
sebab atau akibat dengan primum analogatum. Padahal ada disebutkan secara intrinsik
tentang segala barang yang ada, justru karena ada itu de facto termuat pada segala barang.
Namun analogi atribusi sangat bernilai dalam pembicaraan tentang Tuhan sebagai Ens
Primum atau Causa Prima. Dalam perspektip itu Tuhan adalah primum analogatum yang
mempunyai ada dari dirinya sendiri, sedangkan segala yang lain adalah secunda analogata
yang mempunyai ada oleh karena suatu atribusi, sebagai akibat, kausalitas ilahi atau oleh
karena partisipasi dalam ada dari Tuhan.
Ketiga, analogi proporsi proprie: Ada disebutkan secara proprie tentang segala barang
yang ada, karena ada adalah inti terdalam dari segala barang yang ada. Dari kedua macam
analogi terdahulu tidak mampu menerangkan analogia entis, karena analogia entis harus
36
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
berdasarkan atas hubungan yang intrinsik dengan segala barang. Untuk itu kita harus bertolak
dari definisi umum tentang analogi, yakni kesamaan dalam perbedaan, sehingga duduk
soalnya adalah bagaimana barang-barang yang berbeda, toh sama, dalam ada.
Supaya jangan sampai terjadi salah paham tentang kesamaan dan perbedaan itu, maka
perlu dijelaskan: (1) Kesamaan pada ada itu tidak dapat didasarkan atas perbandingan yang
langsung dan sederhana antara dua barang apa saja, karena dua barang apa saja dipandang
menurut keseluruhan masing-masing barang itu sebagai kesatuan selalu berbeda. (2)
Kesamaan tidak didasarkan atas kesamaan yang sederhana antara bagian-bagian yakni essensi
dan actus essendi.
Mengenai ada ini ada kesamaan, namun bukan kesamaan yang sederhana dan
langsung antara dua barang, melainkan kesamaan yang sebanding/sepadan (proporisonal).
Kesamaan antara barang yang satu dengan barang yang lain didasarkan bukan atas bagian-
bagiannya, melainkan „kesamaan hubungan“ antara bagian-bagian itu. Ada kesamaan antara
barang-barang, karena pada yang satu dan yang lain ada proporsi bagian-bagian, yaitu
proporsi antara essensi dan actus essendi yang ada pada barang yang sama dengan propossi
bagian-bagian pada barang lain apa saja.
Ada kesamaan dalam ada antara dua barang apa saja yang berbeda, karena masing-
masing mereka menjalankan actus essendi sepadan (proporsi) dengan essensinya. Misalnya,
sepotong besi sepadan dengan essensi kebesiannya. Tumbuh-tumbuhan ada sepadan atau
proporsional dengan essensinya sebagai tumbuhan. Walaupun tidak ada dua barang yang
mempunyai actus essendi yang sama, namun segala barang yang berbeda mempunyai actus
itu secara sepadan dengan essensinya.
Karena itu betapapun besarnya perbedaan antara dua barang apa saja, namun mereka
selalu mirip mengenai hubungan intern antara bagian-bagian mereka. Garam berada sesuai
dengan essensi sebagai garam, persis seperti bunga berada sesuai dengan essensinya sebagai
bunga. Jadi, analogia entis didasarkan atas kesamaan dari hubungan-hubungan seperti itu.
Berdasarkan penjalasan itu, maka analogia entis disebut analogia proportionalitatis
propriae. Dinamakan propriae karena bagian-bagian yang dimaksud (essensi dan actus
essendi) ada secara intrinsik pada setiap term pada mana terdapat kesempurnaan itu.
Sekalipun analogi metaforis juga mengenai proportionalitas, yakni mengenai kesamaan atau
kemiripan antara proporsi-proporsi, namun dianggap sebagai cara analogi improper, karena
kesempurnaan yang merupakan pokok analogi itu tidak ada secara intrinsik pada segala term
(analogata).
Inti analogia entis adalah bahwa barang-barang yang berbeda dengan bagian-bagian
yang berbeda mempunyai proporsi bagian yang sama. Barang semirip karena tiap barang
mempunyai actusnya secara proporsional dengan kodratnya.
menunjukkan Allah itu, bisa diambil begitu saja dari bahasa yang kita gunakan dalam konteks
pengalaman konkret kita? Apakah bahasa yang selalu berkaitan dengan dunia terbatas itu,
bisa diterapkan begitu saja kepada Allah yang „tak terbatas“? Bukankah Allah itu „unik“,
berlainan sama sekali dengan sesuatu yang lain?
Dengan demikian terdapat suatu inadequatio antara bahasa dan objek yang
dibahasakan. Bahasa yang kita gunakan tidak lain adalah bahasa yang terdiri dari konsep-
konsep atau pengertian-pengertian. Konsep itu tidak lain adalah representasi, yaitu suatu
gambaran akali atas realitas material. Ketergantungan ekstrinsik pada materi inilah yang
membuat pengetahuan manusia itu pada hakekatnya terikat pada dunia sensibilis, sehingga
selamanya dan bagaimana pun sempurnanya, tetap tidak mungkin menangkap atau
mengungkapkan secara memadai realitas ilahi.
Tetapi bagaimanapun kita harus menggunakan konsep-konsep itu manakala kita
berbicara tentang Allah, sebab tanpa konsep itu mustahil kita berpikir dan berbahasa. Tidak
ada jalan lain selain, kalau kita berbicara tentang Allah, maka di situ kita harus memperbaiki
konsep-konsep itu dengan meniadakan sifat-sifat „terbatas“ yang dimilikinya. Bagaimanakah
itu mungkin dilakukan? St. Thomas Aquinas dengan teori Analoginya mengatakan bahwa
Allah itu untuk sebagian adalah tidak beda dari ada-ada yang ditunjuk oleh konsep-konsep
insani yang bersifat sensibilis, dan untuk sebagian bukan seperti ada-ada itu.
itu, maksud kita tidak persis sama dengan apa yang kita maksudkan dengan cara berbicara itu
mengenai manusia atau ciptaan pada umumnya. Manakala kita berbicara tentang Allah dan
manusia secara persis sama, secara univok, maka dengan itu kita „menyetarakan“ Allah
dengan manusia. Padahal secara ontologis kita telah akui bahwa Allah itu sebagai „ada yang
tak terbatas“ dan manusia sebagai „ada yang terbatas“. Itulah bahaya antropomorfisme
dalam pemakain bahasa univok mengenai realitas ilahi. Padahal, kalau kita memakai
pengertian bijaksana seperti disebutkan itu, maka dengan sifat itu kita maksudkan sebagai
kualitas yang ada pada manusia, yang lalu dikenakan kepada Allah dalam tingkat yang lebih
tinggi.
Dengan demikian pemakaian bahasa secara univok mengenai Allah akan
menghilangkan nilai „absolut“ dari ada yang dimilikinya. Ia adalah „ens a se“, Ia adalah ada
dari sendirinya. Sedang barang ciptaan, memang mereka ada namun tidak dari sendirinya.
Mereka menjadi ada selalu oleh yang lain, yang dalam hal ini adalah oleh Allah. Allah adalah
asal dari segala apa saja yang ada. Sekalipun Allah itu sendiri disebut sebagai ada, namun
pengertian ada di sini tidak persis sama dengan pengertian ada pada makhluk ciptaan.
Karenanya, ada di sini tidak bisa dipakai secara univok mengenai Tuhan dan makhluk
ciptaan. Kalimat seperti „Tuhan ada“ dan „Manusia ada,“ hanya secara logis sama, sebab
pengertian ada di sini berlaku sebagai predikat. Akan tetapi, secara ontologis justru berbeda.
Ada bagi manusia adalah „ada yang diadakan“, sedangkan ada bagi Allah adalah „ada yang
tidak diadakan“. Bahasa kita harus mengatakan bahwa Allah itu adalah ada, dan ada itu
sebenarnya tidak lain adalah Allah.
Penolakan pemakaian bahasa univok mengenai Allah tidak saja berdasarkan analisis
status ontologik dari ada seperti itu. Analisis hubungan sebab-akibat juga bisa
memperlihatkan ketidakmungkinan pemakaian bahasa seperti itu mengenai Allah. Prinsip
metafisik mengatakan, bahwa „kesempurnaan pada sebab sama dengan kesempurnaan pada
akibat“. Itulah asas tentang sebab-univok. Demikian misalnya, seorang anak adalah termasuk
species yang sama dengan orangtuanya. Dalam hal ini, orangtua adalah sebab univok bagi
lahirnya seorang anak. Tegasnya, dari manusia hanya menurunkan seorang anak manusia dan
bukan seekor hewan. Dari seekor kerbau hanya menurukan seekor anak kerbau dan bukan
seekor kuda, sekalipun kuda dan kerbau sama-sama hewan. Kita tidak bisa menantikan
munculnya seekor kuda dari sebutir telur ayam, sebab ayam bukan sebab univok bagi kuda.
Kembali kepada persoalan hubungan Tuhan di satu pihak dan manusia atau ciptaan di
lain pihak, di mana Tuhan dilihat sebagai sebab dan ciptaan sebagai akibat. Pertanyaan,
apakah ada yang dimiliki Tuhan atau salah satu kesempurnaan yang dimilikiNya di mana
kesempurnaan itu identik dengan ada tersebut, bisa menjadi sebab univok dari ada pada
makhluk ciptaan? Kalau jawabannya bisa, maka itu berarti Tuhan tidak lagi berlaku sebagai
„sebab universal“ bagi kesempurnaan yang makhluk ciptaan miliki. Tegasnya, hubungan
antara Allah di satu pihak dan makhluk ciptaan di pihak lain tidak bisa dipandang dalam
konteks sebab univok. Kalau kepada Allah kita kenakan pengertian sebab univok, maka itu
berarti makhluk ciptaan sebagai akibatnya memiliki kesempurnaan yang serupa denganNya.
Bisa saja kita mengatakan bahwa yang memiliki keserupaan dalam kesempurnaan dengan
Allah adalah manusia. Jadi, manusia adalah akibat univok dari sebabnya Tuhan. Akan tetapi,
bagaimankah kita harus menjelaskan bahwa ciptaan di atas alam semesta ini dengan begitu
banyak jenisnya, tidak hanya manusia. Apakah ciptaan-ciptaan itu tidak disebabkan oleh
Allah? Jelas, semuanya itu diadakan oleh Allah. Tak ada satu barangpun di atas alam ini yang
menjadi ada oleh dirinya sendiri (ens a se). Bagaimanapun, segalanya dijadikan oleh Allah,
kecuali Allah sendiri.
Dengan demikian Allah adalah sebab dari segala sesuatu yang ada, tetapi bukan
sebagai sebab univok melainkan sebagai sebab universal. Bahwa, segalanya adalah Allah
sebagai sebab adanya. Di situlah Allah dilihat sebagai sebab universal bagi apa saja yang ada.
Oleh karena itu, pengertian sebab univok mengenai Tuhan tidak berlaku. Seandainya
39
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
pengertian semacam itu dikenakan kepada ciptaanNya, maka dengan itu pula Allah
disetarakan dengan makhluk ciptaanNya. Analisis sebab-akibat ini juga memperlihatkan
bahwa Allah tidak bisa dibahasakan secara univok, dengan pengandaian bahwa Allah itu
adalah ada absolut dalam arti yang tegas.
tarap manusia jelas berbeda sekali dengan kesetiaan pada tarap binatang. Pada tarap anjing
terdapat kualitas yang sesuai dengan apa yang disebut setia pada tarap insani. Kita mengerti,
seekor anjing itu setia sejauh kita mengerti bagaimana kualitas yang sama dipakai mengenai
manusia. Yang sesungguhnya memiliki kualitas setia hanya manusia. Karena itu kita baru
mengerti bagaimana kata itu dimaksudkan pada binatang setelah kita mengerti mengenai
kesetiaan pada manusia.
Bisa juga analogi bergerak dari tarap manusia kepada yang mengatasi manusia secara
ontologis. Itulah yang disebut „analogi ke arah atas“. Demikian misalnya, kata atau
pengertian yang manusia miliki (dalam pengalaman insani), dipakai juga mengenai realitas
adi-alami yakni mengenai Allah. Kebaikan dan kebijaksanaan misalnya, bisa dikenakan
kepada Allah. Maka, itu berarti kedua kualitas itu sejauh mengenai Allah adalah „sempurna“.
Maksudnya, kedua kualitas itu dipakai mengenai Allah dalam arti yang „sempurna“, dan kita
mengenai itu hanya secara analog. Kita tidak menempatkan kata-kata itu secara persis sama
seperti mengenai manusia. Juga, tidak berarti bahwa kata-kata itu kalau dipakai mengenai
Allah, maka artinya menjadi lain sama sekali (ekuivok). Akan tetapi, kata-kata itu dipakai
mengenai Allah justru setelah kita tahu pemakaiannya pada tarap insani yakni dalam
pengalaman insani kita. Kita mengerti maksud kata-kata itu tentang Allah setelah kita
pertama-tama tahu apa yang dimaksudkan manusia dalam pengalaman sehari-hari dengan
kata itu.
41
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
42
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
sebenarnya mengenai manusia (ciptaan) dan kepada secunda analogata dikenakan dalam arti
turunan. Jadi, pada tataran mengenal manusiawi yang selalu merupakan kerja sama antara
„sensus“ dan „intellectus“, kata-kata itu dipakai dalam arti yang sebenarnya, dan justru
setelah kita mengerti pemakaian kata-kata itu dalam kehidupan sehari-hari barulah menjadi
mungkin untuk kita kenakan kepada yang melampaui pengalaman indrawi. Kalau kita tidak
mengerti artinya dalam pemakaian sehari-hari, maka mustahil kita mengerti pengenaannya
kepada Allah, sebab pemakaian kepada Allah itu hanyalah dalam arti turunan. Itu berarti,
harus ada arti yang pertama sebagai arti yang sebenarnya.
Kita bisa kenakan kepada Allah bahwa Allah itu baik, karena adanya suatu relasi
dengan kebaikan yang kita alami setiap hari pada tarap pengenal insani. Kebaikan pada
pengalaman insani setiap hari merupakan primum analogatum, sedangkan kualitas itu
dikenakan kepada Allah selalu merupakan secundum analogatum. Akan tetapi, kita tidak
boleh memahami bahwa pemakaian kata baik kepada Allah hanya sebagai pemakaian
simbolis. Teori analogi justru mau menjernihkan pemahaman seperti ini, bahwa kata-kata
manusia itu dikenakan kepada Allah bukan dalam arti sebagaimana dalam pengalaman insani
sehari-hari.
Adapun pada tarap ontologis justru sebaliknya terjadi. Kata-kata itu dipakai dalam
arti yang sebenarnya yaitu sebagai primum analogatum bagi Allah dan arti turunan yaitu
sebagai secunda analogata mengenai barang ciptaan. Itulah sebabnya tentang kualitas baik
tadi, haruslah kita mengatakan bahwa „Allah adalah baik“ dan itu dipakai dalam arti yang
sebenarnya. Kalau kita mengatakan bahwa „Tuhan itu adalah baik“, maka predikat baik di
sini kita tidak maksudkan sebagai sesuatu yang lain dari essensiNya, sebab Tuhan adalah
kebaikan. Sedangkan bagi manusia, kata baik itu dikenakan kepadanya namun tidak
menyangkut essensinya, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia adalah
kebaikan. Antara kebaikan dan manusia ada distinksi, sedang antara Tuhan dan kebaikan ada
identitas. Pada Allah tidak ada perbedaan (distinksi) antara pengertian baik dan diriNya.
Karena itu Tuhan disebut sebagai sumber dan sebab dari segala sesuatu yang dikatakan baik
pada tarap ciptaan.
Allah memiliki sifat-sifat itu secara formaliter dan eminenter, yaitu sesuai dengan arti formal
mereka dan tanpa pembatasan yang selalu ada pada barang ciptaan.
Atribut, baik, benar, hidup, mengenai Allah, maka itu berarti bahwa tidak hanya hal
benar, baik dan hidup itu berasal dari Allah, tetapi juga berarti bahwa Allah itu sendiri adalah
„lebih benar“, „lebih baik“ dan „lebih hidup“, daripada apa saja yang ada. Atribut-atribut itu
disebutkan mengenai Allah dan manusia berdasarkan kodratnya masing-masing. Mengenai
Allah disebut dengan atribut itu secara seharusnya, sedang atribut itu disebutkan mengenai
manusia secara per accidens. Untuk mengatakan „per essentiam“ bahwa Allah itu baik, Allah
itu benar dan Allah itu hidup, dan mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan itu lebih dari
sekadar metafora belaka, maka konsep kebaikan, kebenaran dan kehidupan itu haruslah
mengandung suatu kemampuan untuk membentangkan hingga menandakan sesuatu yang
mengatasi bidangnya sendiri sebagai representasi. Sesungguhnya dalam kemampuan yang
mengatasi representasi atau objektivisasi inilah letak penggunaan analogi dari bahasa insani
mengenai Allah.
Adapun analogia proportionalitatis impropriae di dalamnya ada relasi keserupaan
tertentu antara kata yang kita kenakan pada pengalaman insani di satu pihak dan arti kata itu
bila kita kenakan pada Allah di lain pihak, walaupun artinya sendiri tidak dipertahankan
melainkan diubah menjadi kiasan. Analogi model ini umumnya mengenai perfectiones
mixtae, yaitu mengenai kesempurnaan-kesempurnaan yang demi kodratnya (dari kodratnya
sendiri) mengandung ketidaksempurnaan. Kalau kita mengatakan bahwa Allah adalah terang,
atau Allah adalah sumber, maka ketidaksemprunaan tertentu dari terang dan sumber
disingkirkan (dinegasi) manakala dikenakan kepada Allah. Dengan itu kata-kata itu mendapat
arti yang lain dan yang sangat sesuai dengan realitas ilahi.
Kita tidak bisa menerapkan kepada Allah suatu sifat yang dalam kodratnya sendiri
mengandung suatu ketidaksempurnaan. Sifat-sifat itu pada hakikatnya mengandung suatu
hubungan dengan materi, ruang dan waktu. Kesehatan dan ketrampilan misalnya, adalah sifat-
sifat campuran. Dalam diri Allah sifat itu memang ada tetapi secara virtualiter dan eminenter.
Itu berarti bahwa Allah menyebabkan sifat-sifat itu dalam kahluk ciptaanNya dan Allah
sendiri memiliki sifat-sifat apapun yang terkandung dalam makhluk ciptaan itu dengan
tingkat yang lebih tinggi dan tanpa ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan yang melekat
pada sifat-sifat itu.
(gambaranNya) selalu kurang sempurna, akan tetapi apa yang kita artikan atau maksudkan itu
adalah benar dan tepat, oleh karena didasarkan atas intuisi dinamika intelek manusia. Karena
itu, semua istilah atau konsep tentang Allah hanya id quod significatur yang selalu bersifat
kurang sempurna, sebab semua konsep itu hanya mengungkapkan satu aspek saja dan juga
karena konsep itu tidak pernah bisa mengungkapkan yang konkret dan individual. Distinksi di
atas akhirnya bermuara kepada distinksi yang tegas antara signifikasi (pengertian) dan
representasi (gambaran), dalam hal membahasakan Allah. Jika kita mengatakan bahwa kita
bisa berbicara tentang Allah, maka itu berarti lebih sebagai membuat signifikasi tentang Allah
dan suatu representasi.
Distinksi ini juga telah menyelesaikan soal ketidaksesuaian (inadequatio) antara
„bahasa yang insani yang selalu terbatas“ dan Allah yang dibahasakan yang selalu bersifat tak
terbatas. Sebenarnya, pendapat yang mengatakan bahwa kita manusia tidak memiliki
pengetahuan tentang Allah seperti dianut Agnotisme, karena mereka melihat pengetahuan itu
melulu sebagai representasi (konsep atau gambaran). Gambaran itu selalu berhubungan
dengan semacam visualisasi atau objektivasi, yaitu hal bagaimana melihat hakikat Allah itu.
Tidak mempunyai gambaran tentang Allah berarti tidak melihat apa Dia itu.
Akan tetapi, berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa pengetahuan semacam itu tentang
Allah tidak mungkin bagi manusia. Manusia siapa pun dalam keadaan bagaimanapun, sejauh
dia sebagai makhluk ciptaan yang bersifat terbatas di atas dunia ini, tidak mungkin mencapai
pengetahuan seperti itu. Seandainya pengetahuan semacam itu mungkin dicapai, maka itu
berarti suatu pengetahuan univok. Dengan itu pula, Allah tidak lagi sebagai Allah, atau
manusia tidak lagi sebagai manusia. Sebab pengetahuan univok itu menunjukkan keduanya
harus setarap, entah manusia menjadi setarap dengan Allah atau Allah menjadi setarap dengan
manusia.
Jelasnya kita tetap mengakui adanya perbedaan antara Allah dan manusia secara
ontologis. Juga mungkin bagi manusia untuk mengenal Allah. Akan tetapi manusia mengenal
Allah dalam transendisNya hanya kalau manusia mengenalNya sebagai tujuan terakhir dari
segala sesuatu yang diketahui. Hal itu mungkin apabila kita telah memahami bahwa dalam
setiap perbuatannya, pengetahuan kita mentransendensikan objek yang terbatas dan yang
membatasi pengetahuan tersebut.
Oleh karena itu adalah tidak benar bahwa istilah-istilah positip yang kita gunakan
tentang Allah tidak memberikan pengetahuan positip tentangNya. Dengan demikian,
manakala kita berkata bahwa Allah bijaksana dan baik, maka kita tidak hanya bermaksud
bahwa Allah adalah sumber (causa) dari sifat-sifat ini dalam makhluk ciptaan. Hal ini tidak
akan menerangkan banyak kepada kita tentang Allah sendiri, sebab kita tidak pernah berkata
tentang Dia bahwa Dia adalah sehat, walaupun kita tahu bahwa Dialah sumber dari sifat ini
pada ciptaan.
4.3.4. Kesimpulan
Dari uraian di atas harus diakui bahwa memberi hak kepada bahasa untuk berbicara
tentang Allah sebenarnya akan membawa kepada penolakan begitu saja terhadap „ yang
maha-mutlak“ pada tarap akal. Hal mana berarti pula bahwa „wahyu“ (khusus) menjadi tidak
mungkin bagi akal. Kalau seorang teolog mengatakan, bahwa wahyu itu adalah sabda Allah,
tetapi dalam arti apa sabda Allah itu, kalau bukan yang dimaksud juga adalah bahasa insani.
Wahyu itu terjadi melalui mediasi bahasa manusia.
Lalu dalam arti apa istilah-istilah yang berasal dari pengalaman insani itu dapat
dikenakan kepada Allah? Menurut Skolastik, seperti diuraikan di atas, bahwa itu bukan dalam
arti univok yaitu dalam arti sama dengan arti yang dimiliki dunia pengalaman insani, dan
bukan pula dalam arti ekuivok yaitu pelbagai arti yang tidak mempunyai kesamaan sedikit
pun, melainkan secara analog yaitu memiliki arti yang sama dan sekaligus beda. Dengan teori
45
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
analogi itu mereka bisa mempertahankan sekaligus kemahalainan (transendisi Allah) dan
kesamaanNya (partisipasi ciptaan pada Allah). Itu berarti pula soal inadekuasi pengenalan
dan pengetahuan manusia mengenai Allah yang berakibatkan bahwa kita tidak memiliki
konsep mengenai Allah, dapat diselesaikan. Kita pun mampu membuat suatu konsep yang
jelas bersifat positip dan distinktip.
Demikian juga halnya terhadap keberatan yang mengatakan bahwa kalau manusia
mampu berbicara mengenai Allah berarti manusia tidak setia kepada Allah, bisa dijernihkan.
Kepada mereka yang berpendapat demikian kita harus mengatakan demikian: Kita harus
mengakui bahwa tidak berkata-kata tentang Dia adalah mengkhianati pengalaman yang
mendorong kita untuk menyatakan dalam bahasa kehadiran terasa dari yang „maha-mutlak“.
Di sini jelas bahwa pembicaraan manusia mengenai Allah sebenarnya memiliki bobot noetik
(aspek intelektual) yang penuh arti, yaitu menyangkut martabat roh manusia ke tarap yang
melampaui dirinya (transkonsepsional), sehingga ia bisa tiba kepada yang „tak
terungkapkan“. Dasar antroplogisnya ialah bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kapasitas
rohani untuk melampaui dirinya, justru karena dia tidak merupakan materi belaka.
Akan tetapi kemampuan melakukan „transkonseptual“ itu tidak hanya melibatkan
intelek melainkan juga melibatkan aspek etik sebagai dimensi moral roh manusia yang lebih
eksistensial sifatnya. Justru pembicaraan mengenai Allah tidak dapat memperoleh
pembenarannya kecuali dalam pengakuan yang lebih menyeluruh yang mendahului
pembicaraan sendiri dalam manusia. Orang yang tidak merasakan bahwa dirinya sendiri
sedalam-dalamnya diolah oleh suatu hukum praktis dari dorongan pelampauan (transendensi)
dan perjalanan tak kunjung henti menuju suatu ada yang lebih secara moral, orang itu
sesuungguhnya dalam bahasanya menghadapi bahaya mengucapkan flatus vocis mengenai
Allah.
pada indra, namun secara ekstrinsik yakni sejauh indra-indra menghidangkan bagi intelek
suatu kenyataan, dan dari data itu intelek menarik arti (abstraksi) sehingga essensinya
ditangkap. Namun pengetahuan intelektual itu sendiri ada tingkat-tingkatnya seturut
kemampuan membuat suatu abstraksi. Karena itu ada tingkat-tingkat abstraksi pada
pengetahuan manusia.
47
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
48
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
yaitu sebagai sesuatu yang bisa diindrai. Sebabnya adalah ketergantungan budi kita terhadap
indra-indra, sebagaimana asas pengetahuan indrawi yang berbunyi: „nihil est in intellectu
quod non prius fuerit in sensu“ (= tidak suatu pun ada dalam pikiran tanpa melalui indera).
Namun kita mengenal ada secara yang benar-benar metafisis, hanya jika kita mengenalnya
sedemikian cara sehingga kita mengerti, bahwa ada itu dapat berada tanpa materi.
Agar tidak memahami secara keliru terhadap abstraksi model ini, maka kita perlu
kembali kepada pemahaman sebelumnya, bahwa ada adalah yang actusnya adalah berada.
Namun bagaimana kita mengetahuinya, atau bagaimana pengetahuan itu bisa dicapai? Seperti
disinggung di atas, bahwa ada itu tidak bisa dikenal seperti pada tataran abstraksi pertama
dan kedua yaitu melalui „simplex apprehentio“, sebab ada bukanlah essensi. Karena itu di
dalam abstraksi metafisik ini kita tidak berkecimpung dengan pengertian melainkan dengan
putusan. Ada dua macam putusan:
1. Perceptual judgement, yaitu putusan yang berkaitan dengan pengetahuan indrawi
mengenai suatu barang material. Namun tidak berarti, siapa saja yang menegaskan „ada
sesuatu“, maka orang itu sudah memiliki pengetahuan metafisik tentang realitas, sebab
putusan seperti itu masih terikat pada materi. Karena itu putusan jenis ini tidak mampu
mengungkapkan ada. Putusan perseptual hanya menunjukkan bahwa kita mengenal ada,
yakni mengenai ada dari barang material. Putusan ini hanya mengungkapkan apa yang kita
terima dalam tataran mengenal indrawi, di mana kita bisa mengenal ada batu, ada kayu,
ada manusia. Oleh karena itu, sekalipun semua makhluk berakal bisa membuat putusan
model itu berdasarkan kontaknya dengan realitas apa saja, namun pengetahuan itu masih
jauh dari ens ut ens sebagai objek telaah Metafisika. Karena itu masih dibutuhkan putusan
yang memungkinkan pengetahuan kita tentang ens ut ens, yang tidak lain berarti
mengungkapkan realitas dari ada.
2. Judgement of separation, adalah putusan melalui mana kita memisahkan unsur-unsur
yang tidak termasuk atau yang tidak berhubungan dengan ada. Contohnya, putusan
pemisahan dalam uraian kita tentang hubungan antara ada dengan perubahan, bahwa
perubahan memang riil tetapi tidak ada perubahan qua perubahan. Perubahan terjadi pada
sesuatu yang ada. Karena itu perubahan tidak bisa dijadikan dasar terdalam dari realitas.
Yang menjadi dasar terdalam dari realitas adalah ada itu sendiri. Demikian juga soal
hubungan materia - forma, di dalamnya kita juga telah membuat putusan pemisahan,
bahwa materi murni tidak dapat berada sendiri dan juga kalau materia ada dalam persatuan
dengan forma, maka di situ, ia merupakan prinsip pembatasan ada.
Dengan putusan pemisahan ini kita berusaha melalaui analisis-analisis memisahkan
ada dan prinsip-prinsipnya dari unsur-unsur yang tidak termasuk ens ut ens. Dan itu kita
lakukan terus-menerus, bilamana kita mau mencapai ens ut ens. Tidak boleh dianggap bahwa
putusan pemisahan adalah putusan yang defnitip. Dan fungsi putusan itu bukan memisahkan
ada dari barang-barang yang berada, melainkan memisahkannya aspek-aspek yang tidak
termasuk ens ut ens. Karena itu, tidak benar anggapan, bahwa perbedaan antara pengetahuan
biasa dengan pengetahuan metafisik tentang ada adalah bahwa pengetahuan biasa tentang ada
berhubungan dengan barang-barang yang berada, sedangkan pengetahuan metafisik
memandang ada dalam dirinya sendiri sebagai hasil abstraksi. Ini salah. Yang benar, bahwa
pengetahuahn metafisik diperoleh dengan memisahkan unsur-unsur dari barang-barang yang
tidak termasuk ens ut ens (being as being)dan bukan memisahkan ada dari barang-barang
yang berada.
49
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
perbedaan-perbedaan yang terdapat pada barang, sedangkan pengetahuan kita tentang ada
justru tetap mengandung perbedaan-perbedaan itu. Sebab, perbedaan yang riil adalah
perbedaan dalam ada. Lagi pula abstraksi sempurna menghasilkan pengertian univok,
sementara pengetahuan kita tentang ada tidak pernah bersifat univok, bagaimanapun
pengetahuan kita tentang ada tetap selalu bersifat analog. Karena itu jawaban yang tepat atas
pertanyaan, bagaimana ada itu satu dalam pengetahuan, haruslah bertolak dari dua tuntutan
analogia entis itu sendiri.
Pertama, bahwa pengetahuan kita tentang ada harus bagaimanapun juga tetap
mengandung perbedaan yang ada pada barang-barang. Ketika kita memikirkan ada, maka
adalah mustahil bahwa dalam pengetahuan itu terdapat satu referensi yang eksplisit dan
tertentu kepada tiap barang yang berada. Pengetahuan jenis ini, yang merangkum segala
sesuatu secara eksplisit dan tertentu hanya ada pada Tuhan. Pengetahuan komprehensip
seperti itu tidak dapat dicapai oleh budi manusia yang bersifat terbatas. Namun di pihak lain,
kalau pengetahuan kita tentang ada adalah pengetahuan sungguh-sungguh, maka pengetahuan
itu harus bagaimanapun juga mengandung perbedaan-perbedaan sebagaimana terdapat pada
barang-barang, karena segala perbedaan riil pada dasarnya adalah perbedaan dalam adanya.
Bagaimana pengetahuan kita tentang ada bersama dengan perbedaan-perbedaan riil
itu? Jawabannya, adalah bahwa pengetahuan kita tentang ada mengandung suatu referensi
implisit kepada segala barang yang ada dengan menunjukkan secara tak tertentu kepada
kodrat dari barang-barang yang berada. Oleh karena essensi adalah prinsip differensiasi dari
ada, maka essensi itu juga yang menetapkan differensiasi dalam pengetahuan kita tentang
ada. Jadi, tiap kali kita memikirkan ada, maka setiap kali itu juga kita memikirkannya dalam
hubungan dengan „sesuatu“ yang berada, yakni dalam hubungan dengan suatu subjek
bersama dengan essensi tertentu, yang mempunyai esse sebagai actusnya. Sekalipun
pengetahuan semacam ini tidak mengungkapkan secara tertentu essensi dari barang, namun
pengetahuan model ini dibuat untuk bisa dipakai mengenai barang riil apa saja yang berada.
Pemakaian itu dibuat tiap kali kita, dalam suatu penyebutan aktual, menyatakan bahwa
sesuatu ada, misalnya pohon ada. Jadi, kalau kita mengatakan, bahwa pengetahuan kita
tentang ada mengandung segala perbedaan, maka itu kita maksudkan bahwa pengetahuan itu
mengandung perbedaan secara implisit, memilikinya secara tak tertentu.
Kedua, bahwa pengetahuan kita tentang ada bersifat analog seperti ada itu sendiri
bersifat analog. Telah dijelaskan bahwa ada itu adalah umum bagi segala yang berada, dalam
arti actus essendi. Ia adalah umum atau sama bagi segala yang berada seturut proporsi
essensinya masing-masing. Ada itu sama secara proposional dengan essensinya masing-
masing. Kalau ada itu umum juga dalam pengetahuan kita, maka pengetahuan itu
mencerminkan macam analogi itu melalui mana barang-barang dipersatukan dalam ada. Oleh
karena itu untuk mengenal ens ut ens kita harus mengenalnya sebagai actus yang umum
secara proporsional bagi segala barang yang ada. Sifat analog itu dari pengetahuan kita
tentang ada tampak tiap kali kita mengenakan actus essendi secara proporsional bagi barang
apa saja yang ada. Walaupun pemakain term ada, berbeda secara intrinsik berhubungan
dengan tiap barang individual, namun dalam tiap hal atau barang ada itu disebutkan sebagai
actus yang umum secara proporsional bagi segala barang yang ada.
Dari uraian ini dapat disimpulkan. (1) Kesatuan pengetahuan kita tentang ada tidak
bersifat univok. Itu tidak berarti kita tidak mengenal ada sebagai essensi dengan melepaskan
segala perbedaan. Kekhasan pengetahuan metafisis tentang realitas atau pengetahaun tentang
ada adalah bahwa objeknya „kurang satu“ dan mengandung secara tak tertentu namun aktual
perbedaan-perbedaan pada barang-barang. (2) Pengetahuan tentang ada itu adalah
pengetahuan analog.
Tidak hanya ada dikenal secara analog dalam pengetahuan, tetapi juga prinsip dasar
pengetahuan mengenai ada itu sendiri bersifat analog. Prinsip adalah sumber, dari mana
sesuatu berasal. Prinsip metafisi adalah ungkapan dari hukum yang seharusnya tentang ada,
50
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
dengan sifat-sifatnya sebagai berikut: (1) Ia adalah utama dan pertama. Itu berarti, segala
putusan lain tentang ada bergantung pada putusan-putusan itu. (2) Ia adalah universal, karena
dipakai mengenai segala barang yang ada. (3) Ia adalah transendental, karena tidak dibatasi
pada kategori-kategori atau modus tertentu dari ada. Sekalipun segala prinsip itu bersumber
pada pengalaman namun pengetahuan tentang prinsip-prinsip itu mengatasi tingkat
pengalaman dan oleh karena itu bersifat transendental. (4) Prinsip-prinsip pengetahuan kita
tentang ada bersifat analog, karena ada itu sendiri adalah bersifat analog.
Hukum pertama mengenai realitas adalah Prinsip Identitas. Prinsip ini dapat
dirumuskan dalam putusan, seperti „ada adalah ada“ (being is being). Dengan mengatakan
bahwa „apa saja yang ada, ada,“ kita maksudkan bahwa dalam pengetahuan kita sesuatu
adalah dirinya sendiri. Apa saja adalah identik dengan dirinya sendiri, tetapi secara
proporsional dengan essensinya. Dengan mengatakan „Tuhan ada“ dimaksudkan suatu
identitas tunggal dan absolut yang sama sekali tidak terdapat pada barang-barang yang
terbatas. Mengatakan „Tuhan ada“ berarti menyatakan identitas absolut antara subjek (Tuhan)
dan predikat (ada). Tetapi kalau kita mengatakan „Petrus ada“, identitas di sini tidak absolut
melainkan relatif. Identitas di sini mengijinkan distinksi yang riil antara prinsip-prinsip
essentia dan actus essendi.
Bab 5
Transcendentalia
Sejauh ini kita telah menemukan, bahwa ada adalah yang actusnya adalah berada,
dan bahwa actus itu adalah umum secara proporsional bagi segala barang. Di samping kita
memurnikan pengertian tentang ada, kita juga memperluas pemahaman kita tentangnya.
Pengetahuan kita tentang ada diperluas tidak dengan menambah sesuatu dari luar ada,
sebab di luar ada tidak ada apa-apa lagi (ketiadaan), karena itu tidak dapat ditambahkan
51
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
padanya sesuatu dari luar. Yang bisa dilakukan hanya memeriksa cara berada (modus
essendi).
Pengetahuan mengenai modus essendi ini diperoleh melalui dua cara: Cara pertama,
dengan mengungkapkan salah satu dari modus khusus dari ada, seperti substansi dengan
accidensnya. Cara adanya yang khusus ini akan diuraikan pada bab tentang kategoria. Cara
kedua, dengan mengungkapkan modus umum bagi segala barang yang ada. Cara berada
yang umum ini disebut transendentalia. Jadi, bentuk eskpresi dari ada ada dua macam,
bentuk khusus berupa kategori substantia-accidentia, dan bentuk umum berupa
pengungkapan sifat-sifat transendental, seperti satu, benar, baik, dan bagus. Sifat-sifat
umum itu dibagi berdasarkan ada dilihat dalam dirinya sendiri atau ada dalam hubungan
dengan yang lain.
52
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
suatu intuisi yang sempurna lengkap, maka kita terpaksa memandangnya berturut-turut dari
aspek yang berbeda-beda. Dengan cara itu kita bisa mencapai pengetahuan yang lebih
mendalam dan lebih lengkap tentang ada. Jadi, kita tetap perlu mengadakan distinksi itu
antara ada dan transendentalia. Kemungkinan distinksi itu ada, sebab sesungguhnya pada tiap
sifat transendental itu memperlihatkan secara eksplisit sesuatu yang terdapat pada konsep ada
hanya secara implisit.
Di sini mungkin dilakukan hanya suatu distinksi logis. Namun distinksi itu tidak logis
murni, sebab ada itu sendiri memperlihatkan dirinya kepada budi kita aspek yang berbeda-
beda. Karena itu distinksi yang sesuai untuk maksud ini hanya distinksi virtualis minor atau
distinksi logis minor. Suatu distinksi virtualis minor ada, kalau distinksi itu mempunyai
dasarnya dalam barang, biarpun term-term transendental itu „ens-unum“, „ens-verum“ dan
„ens-bonum“ tidak distink secara riil. Singkatnya, distinksi logis seperti ini berlaku, manakala
satu term, misalnya ens, secara implisit mengandung pengetahuan tentang term-term yang
lain (unum, verum dan bonum).
species, dengan melepaskan segala perbedaan individual mereka. Demikian genus adalah satu
setelah „differentia specifica“ dikeluarkan dari species-species yang dipersatukan dalam
genus itu. Species adalah satu, dalam arti bahwa dari barang-barang yang termasuk dalam
species itu dilepaskan segala perbedaan individual (kekhasan mereka masing-masing). Dari
sini jelas, bahwa ada perbedaan antara „unitas metaphysica“ dan „unitas logica“, seperti: (1)
Di dalam logika, kesatuan itu berhubungan dengan essensi, sedangkan dalam metafisika
kesatuan berhubungan dengan esse (ada) dari barang-barang yang berada. (2) Di dalam
logika, kesatuan adalah hasil abstraksi, sehingga ia melepaskan unsur-unsur perbedaan dari
barang-barang diabstraksikan itu. Sedangkan di dalam metafisika, kesatuan dari suatu barang
justru mengandung perbedaan-perbedaan yang ada pada barang-barang itu.
Singkatnya, satu metafisik bersifat analog. Kalau mengenai dua barang apa saja
dikatakan bahwa mereka „ada“, maka dengan sebutan itu kita maksudkan bahwa mereka
mempunyai essenya sesuai dengan essensi masing-masing. Karena ada itu bersifat analog,
maka satu juga analog sifatnya, sebab satu sebagai sifat transendental hanyalah ekspresi
khusus dari ada itu. Karena relasi antara satu dan ada begitu padat, maka „kesatuan adalah
adanya“ dan „adanya adalah kesatuan“. Itulah prinsip „ens et unum conventuntur“ (ada dan
satu bisa dipertukarkan). Sebab dari kesatuan barang adalah adanya (esse). Oleh karena itu,
tiap kali kita menyebut „satu“ tentang dua atau lebih barang, maka arti dari term itu
bergantung pada essensi dari barang itu. Kesatuan roti dengan kesatuan manusia yang makan
roti itu, misalnya. Kesatuan roti jelas berbeda dengan kesatuan seorang manusia. Kesatuan
masing-masingnya seturut „modus essendi“nya.
arti terbatas ia disebut „satu“. Bila susunan itu hilang dengan memisahkan bagian-bagiannya,
maka hilang juga kesatuannya, dan dengan itu hilang juga adanya barang itu.
Kesatuan barang susunan masih dirinci lagi menjadi, barang susunan dalam arti
„proper“ dan barang susunan yang bukan „barang“ dalam arti proper: (1) Barang susunan
yang merupakan barang dalam arti proper adalah barang yang mempunyai esse sendiri.
Kesatuan mereka disebutkan per essentiam, sehingga kesatuan mereka disebut „unum per se“.
Ini berlaku bagi substansi-substansi, seperti batu, pohon, manusia. Mereka memiliki actus
essendi sendiri. Mereka mempunyai bagian-bagian tetapi satu actus essendi. (2) Sedangkan
barang yang bukan „barang“ dalam arti proper, adalah barang yang tidak memiliki essenya
sendiri, sehingga kesatuan mereka juga hanya disebutkan per accidens. Kesatuan mereka
disebut „unum per accidens“. Kesatuan di sini bukan „dalam“ satu barang atau substansi,
melainkan „antara“ dua atau lebih barang. Ada suatu persatuan antara „bagian“, yang dalam
dirinya sendiri bagian itu merupakan barang-barang juga.
Perlu diperhatikan di sini, agar kesatuan aksidental tidak boleh dipersamakan dengan
kesatuan yang merupakan suatu substansi dengan accidens-accidensnya. Kesatuan aksidental
antara mahasiswa anggota tingkat yang sama tidak sama dengan kesatuan substansial dari
masing-masing individunya yang lengkap dengan accidens-accidens mereka masing-masing.
Kesatuan yang kedua itu adalah kesatuan yang terdapat „dalam“ substansi itu sendiri, bukan
kesatuan „antara“ suatu substansi dengan sesuatu atau substansi yang lain. Itu misalnya,
kesatuan dari seorang individu Markus sebagai salah satu bagian atau anggota dari kesatuan
anggota tingkat tersebut.
Kesatuan aksidental di sini tidak dalam arti, kesatuan accidens-accidens dengan
substansi. Betul, bahwa accidens-accidens selalu ada bersama dengan substansi. Tidak ada
suatu substansi murni, suatu susbtansi tanpa accidens. Demikian pula, tidak ada accidens
murni, accidens tanpa suatu substansi. Bagaimanapun accidens itu selalu dengan suatu
substansi, dan suatu susbtansi selalu berada bersama dengan accidens tertentu. Dalam hal ini
kita perlu perhatikan, bahwa accidens itu tidak ditambah dari luar kepada substansi; ia timbul
daripadanya. Hubungan antara substansi dan accidens-accidensnya adalah hubungan yang ada
antara dua prinsip yang berbeda dari ada dan bukan hubungan dua barang yang lengkap
dalam dirinya sendiri. Padahal yang dimaksud dengan kesatuan aksidental adalah kesatuan
yang terjadi antara barang yang bisa berada sendiri.
Masih berkaitan dengan „unum per accidens“ ini ada beberapa hal untuk dicatat: (1)
Jika dua atau lebih barang bersatu untuk membentuk suatu keseluruhan yang tersusun, maka
keseluruhan itu tidak mempunyai kodratnya sendiri. Demikian misalnya, sebuah rumah tidak
mempunyai kodratnya sendiri melalui mana ia ada dan bergiat sebagai suatu barang yang
independen dalam dirinya sendiri. (2) Kesatuan dari barang buatan adalah kesatuan yang
ditambah dari luar. Barang buatan tidak mempunyai kodrat sendiri, dan oleh karena itu dia
satu bukan secara substansial, melainkan hanya secara aksidental. (3) Betapa pun erat dua
atau lebih barang bersatu, namun tidak mungkin mereka dipersatukan dalam satu actus
essendi, selama mereka mempertahankan identitasnya sebagai barang-barang berada sendiri.
Karena dua barang itu in actu tidak bisa sekaligus satu barang in actu. (4) Kesatuan susunan
dalam arti yang benar, tidak bisa merupakan akibat dari persatuan dua barang tetapi hanya
akibat dari persatuan dua prinsip yang saling berhubungan secara transendental seperti
potentia dan actus.
Dari uraian itu kita bisa mengatakan, bahwa kesatuan suatu barang mengikuti adanya.
Kesatuan itu adalah tanda kesempurnaan. Kesempurnaan suatu barang bergantung dari
derajad kesatuannya: „makin satu, makin ada“. Barang alamiah lebih sempurna dari barang
buatan, karena mereka mempunyai adanya sendiri dan oleh kerena itu mereka lebih „satu“.
Kesatuan barang alamiah lebih utuh daripada barang buatan. Mengenai segala macam
kesatuan atau macam ada berlaku prinsip ini, bahwa „makin sesuatu itu satu, makin ia
sempurna“. Asas ini berlaku bagi segala barang. Adanya setiap barang diukur menurut
55
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
kesatuannya. Seperti halnya, kesatuan adalah tanda kesempurnaan dalam adanya, demikian
pula „kekurangan“ kesatuan adalah tanda kekurangan dalam adanya. Di mana tidak ada
kesatuan, maka tidak ada adanya.
Aplikasi asas ini berlaku dalam dunia kehidupan manusia. Asas „makin satu, makin
sempurna“ berlaku mengenai suatu karangan, sebuah sandiwara, karya seni, karaya ilmiah,
sebab di sana juga memakai prinsip integrasi yang mempersatukan „yang banyak“ itu menjadi
suatu kesatuan yang utuh. Demikian pula kesempurnaan hidup manusia dalam bidang moral,
spiritual dan intelektual, bergantung pula derajad kesatuannya. Kesempurnaan-kesempurnaan
manusiawi itu diukur menurut kesatuannya, atas dasar itu sesorang bisa dikatakan seorang
pribadi yang integer. Ia memiliki suatu integritas kepribadian, manakala ia „satu dengan
dirinya sendiri“, manakala hidupnya dituntun oleh suatu maksud yang tertentu, yakni kalau
dia tidak „dipisahkan dalam dirinya“ oleh kecenderungan-kecenderungan yang saling
bertentangan. Banyak konflik dalam kehidupan manusia disebabkan oleh kekurangan atau
tidak adanya kesatuan dalam hidup, tidak adanya integritas diri.
Asas yang sama berlaku bukan saja mengenai „ada“ tetapi juga mengenai kegiatan
„mengenal“ pada manusia. Kita tidak bisa mengenal sesuatu kecuali kalau kita mengenalnya
sebagai sesuatu yang satu. Yang kita kenal selalu dan hanya mengenai sesuatu yang tidak
dipisahkan dalam dirinya sendiri. Demikian misalnya, „mengenal“ seorang manusia, maka itu
berarti kita mengenal orang itu sebagai satu orang tertentu. Kita mengenalnya sebagai satu
orang, mengenalnya sebagai orang „ini“ dan bukan sebagai „seseorang“ yang lain.
Hal yang sama berlaku juga mengenai mengenal manusia pada umumnya, yaitu
mengenai mengenal manusia sebagai manusia. Di sini kita mengenal manusia itu sebagai satu
kodrat, sebagai satu essensi yang distinkt dari essensi binatang. Dari sini dapat disimpulkan
dua hal pokok berikut: Pertama, „yang banyak“ sebagai „yang banyak“ tidak dapat ada, dan
karena itu, juga tidak dapat dikenal, sebab yang kita kenal hanyalah „yang ada“. Jadi apa saja
yang dikenal harus dikenal sebagai „yang satu“. Kedua, apa saja yang berada, harus berada
sebagai yang satu, baik secara substansial maupun secara aksidental.
bagian tidak „dari atau oleh sendiri“ ( a se) menyusun diri menjadi suatu keseluruhan sebagai
satu barang.
Putusan afirmatif tentang ada seperti itu mempunyai hubungan erat dengan model putusan
negatif yang mengatakan: „Ada tak terpisahkan dalam dirinya sendiri“ dan bahwa „ada“ itu
sama sekali tidak bisa dipersamakan dengan „tidak ada“. Bentuk prinsip kontradiksi metafisik
selalu dirumuskan demikian, bahwa „ada bukanlah tidak ada“. Dalam hal ini, kita melihat
bahwa dari aspek logis sebenarnya prinsip kontradiksi hanyalah imbangan negatif dari prinsip
identitas. Jika prinsip identitas mengatakan bahwa „ada adalah ada“, maka prinsip kontradiksi
mengatakan untuk mempertegas itu secara negatif, bahwa „ada bukanlah tidak ada“.
Prinsip kontradiksi dirumuskan secara lebih lengkap demikian: „Sesuatu tidak bisa
serentak ada dan tidak ada dalam aspek yang persis sama“. Rumusan ini sebenarnya
mengatakan secara lain dari apa yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa „ada tidak
terpisahkan“. Di situ mau ditekankan, bahwa ada (ens) itu satu kesatuan. Oleh karena „ada
adalah ada“, maka dia sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan „tidak ada“ (non ens).
Singkatnya, tidak mungkin sesuatu itu sekaligus dan dalam aspek yang sama „ada“ dan „tidak
ada“.
Akan tetapi, kalau di sini dikatakan bahwa prinsip kontradiksi sama dengan prinsip
identitas yang hanya berbeda dalam perumusan, di mana yang satu dalam putusan afirmatif
dan yang lain dalam putusan negatif, maka itu bukan mengungkapkan suatu hukum pikiran
(sebagai prinsip logis), melainkan hukum tentang ada itu sendiri (sebagai prinsip ontologis).
Secara ontologis kedua prinsip itu sama, karena sama-sama mengungkapkan dan menekankan
„kemandirian“ dari ada. Oleh karena prinsip kontradiksi itu adalah prinsip mengenai ada,
maka prinsip itu berlaku bagi segala barang yang ada. Dia adalah prinsip universal yang
mengatasi segala kategori dan species barang-barang.
58
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
bahwa sesuatu itu ada atau tidak ada, ada seperti itu atau tidak ada seperti itu. Dan, putusan
itu berhubungan dengan sesuatu (realitas) yang ada di luar budi. Dalam putusan yang benar,
ada bukan saja persesuaian budi dan intelek (adaequatio rei et intellectus), tetapi bahwa
hubungan persesuaian itu diketahui oleh budi itu sendiri. Hubungan persesuaian yang dikenal
intelek itulah kebenaran logis.
Tuhan itu adalah penyebab (pencipta) yang berakal budi. Jadi Ia menyebabkan segala yang
lain menurut i d e - i d e yang ada padaNya.
I d e yang ada pada Tuhan yang sama dengan essensiNya, itulah „ukuran“ dari
kebenaran barang yang ada. Budi manusia tidak bisa merupakan „ukuran pertama“ dari
kebenaran barang-barang, sebab budi manusia justru pertama-tama „diukur“ atau
„ditentukan“ oleh barang-barang yang merupakan objek pengalaman. Oleh karena itu, budi
manusia dikatakan ukuran atau patokan hanya sebagai ukuran kedua, yakni ukuran dari
barang-barang yang diciptakannya, karena manusia memprodusir barang itu sesuai dengan
idenya. Pertama-tama manusia itu membuat pola atau i d e dari barang yang hendak
dihasilkannya dan kemudian idea itu direalisir. Adapun kebenaran ontologis tidak lain adalah
adanya persesuaian antara yang direncanakan dengan yang dilaksanakan.
60
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
pengetahuan sensibilis kita, sekalipun prinsip-prinsip itu sendiri bersifat transenden dan
universal.
Apa saja adalah intelligibilis dalam dirinya sendiri karena prinsip-prinsip adanya
mereka, yakni essensi dan actus essendi, adalah prinsip-prinsip mereka sendiri. Bahwa,
prinsip-prinsip itu ada pada mereka sendiri. Dengan mengatakan „barang-barang intelligibilis
dalam dirinya sendiri“, itu tidak dimaksudkan bahwa seluruh intelligibilitas tentang adanya
mereka terdapat dalam diri mereka. Yang dimaksud dengan pernyataan itu adalah bahwa
prinsip-prinsip intrinsik adanya mereka adalah prinsip-prinsip mereka sendiri.
Kalau semuanya benar dan semuanya bisa dimengerti, lalu di mana letak kesalahan
atau kekeliruan? Jelasnya, berdasarkan uraian di atas, kesalahan tidak ada pada barang-
barang, melainkan ada pada putusan tentang barang-barang. Hal itu terjadi, karena beberapa
barang memiliki beberapa aspek yang sama. Kekeliruan ada pada penilaian manusia melalui
putusannya, bukan pada barang itu sendiri. Dengan putusan itu, kita mengadakan afirmasi
atau negasi tentang sesuatu. Dalam mengafirmasi dan menegasi ini, kita bisa jatuh ke dalam
kekeliruan. Putusan mengenai barang itu berada pada tataran cognitio entis , bukan dalam
yang ada itu sendiri.
misalnya. Apakah kita tidak harus menerima kenyataan itu? Soal ini dapat dijawab demikian:
Pada dasarnya tidak ada barang yang palsu. Emas palsu dalam kenyataannya adalah kuningan
yang berwarna keemas-emasan.
Secara ontologis tidak ada kepalsuan pada barang-barang yang ada, sejauh barang-
barang itu berada seturut kodratnya. Pada barang tidak ada kepalsuan apa pun, seperti tidak
ada keburukan (malum). Malum berarti kekurangan adanya sesuatu, yang seharusnya ada,
sedangkan kepalsuan berarti kekurangan kebenaran yang seharusnya ada pada suatu barang.
Suatu kepalsuan ada pada emas, karena ciri kodrat keemasan dari emas itu tidak terdapat di
dalamnya, yang seharusnya ada di dalam emas itu. Dengan demkian, fakta bahwa ada barang
yang palsu, hanya menunjukkan adanya suatu kekurangan adanya secara aksidental. Padahal
secara tegas, tidak ada barang yang palsu dalam dirinya sendiri. Tidak ada kepalsuan dalam
intinya, karena segala sesuatu selalu ada sesuai dengan kodratnya. Karena itu kepalsuan
hanyalah sesuatu yang aksidental pada barang. Kepalsuan itu adalah suatu kekurangan pada
sesuatu yang ada sesuai dengan kodrat. Kepalsuan hanyalah suatu kekurangan dari sesuatu
yang ada, jadi suatu kekurangan pada suatu yang benar.
62
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Sebenarnya kebenaran dan kebaikan saling terkait. Mereka merupakan dua ciri
transendental yang terdapat pada ada. Keduanya merupakan unsur konstitutif pada barang
yang ada. Keterkaitan antara kebenaran dan kebaikan ini dapat dilihat dalam prinsip dasar
nilai objektif moralitas. Di sini ada hubungan antara realitas dengan subjek, yang di satu
pihak dia „memahami“ realitas itu dan di lain pihak ia „menghendaki“nya. Realitas itu, bagi
budi, „dimengerti“, sementara bagi kehendak „dimaui“. Karena itu prinsipnya mengatakan,
bahwa tidak ada apa-apa masuk ke dalam budi (dipahami), kalau sebelumnya tidak ada dalam
realitas. Kerena memang pengetahuan kita, secara hakiki, merupakan ungkapan tentang
realitas. Selanjutnya prinsip itu mengatakan, bahwa tidak apa-apa masuk ke dalam kehendak
(dikehendaki), kalau sebelumnya tidak terdapat dalam budi (dipahami). Singkatnya, kita
kenal dulu relitasnya, baru kita kehendaki. Kita tidak bisa mengendaki sesuatu yang tidak kita
ketahui. Dan, kita tidak bisa mengetahui sesuatu yang tidak ada (realitas).
Dengan demikian, realitas menurunkan pengetahuan, lalu pengetahuan itu
menurunkan tatalaku perbuatan manusiawi (actus humanus). Jadi, nilai moral (kebaikan) itu
mengandaikan adanya nilai kebenaran, dan nilai kebenaran mengandaikan nilai dari realitas.
Itulah sebabnya, selalu dikatakan bahwa tidak ada Etika tanpa Metafisika. Bagaimana pun
metafisika memberikan dasar bagi pembentukan nilai-nilai moral perbuatan manusia.
Ibaratnya sebuah gelas dengan keretakannya. Ada sebuah gelas. Kemudian ia lalu menjadi
retak. Gelas itu bereksistensi, pertama sebagai gelas utuh dan ini memang sewajarnya
demikian, kemudian ia bereksistensi secara lain, yakni sebagai gelas retak. Keretakan tidak
mungkin ada , kalau tidak ada gelas (utuh). Demikian pun halnya kebaikan. Dan, dalam hal
ini, kebaikan bisa ada tanpa keburukan. Namun tidak mungkin ada keburukan tanpa kebaikan.
Bila dikatakan bahwa baik itu adalah objek kecenderungan kehendak, sehingga secara
kodrati kehendak mengejarnya, itu tidak berarti bahwa pengejaran itu bersifat sadar pada
segala barang yang ada. Pengejaran pada manusia misalnya didasarkan atau ditimbulkan oleh
pengetahuan tentang yang baik itu. Manusia tidak akan memaui atau menghendaki sebelum
ia mengetahui barang itu. Sedangkan pada barang-barang yang tidak memiliki pengetahuan,
tendensi itu hanyalah berdasarkan suatu appetitus naturalis. Karena itu, perlu dikatakan lagi
bahwa tiap barang mengejar yang baik itu, namun mereka mengejar itu sesuai kodrat mereka
masing-masing.
Karena itu tepatlah, apa yang dikatakan di atas, bahwa barang yang ada riil berusaha
mempertahankan adanya secara kodrati, yang juga tidak lain sebagai mempertahankan
kebaikannya. Secara kodrati mereka mempertahankan diri dalam adanya, secara mereka ada.
Tendensi kodrati itu terdapat pada segala barang yang ada, dan secara paling jelas dalam
barang yang hidup (makhluk hidup). Mereka memelihara adanya sebagai kebaikan
fundamental.
Manusia memelihara adanya sebagai individu terutama melalui makanan dan
memelihara adanya sebagai species melalui reproduksi (seks). Akan tetapi manusia itu tidak
saja memelihara adanya, melainkan juga harus menyempurnakan adanya melalui barang-
barang di luar dirinya. Dengan ia mencari barang-barang ekstern yang lebih rendah
daripadanya, maka ia merendahkan dirinya. Dengan ia mencari barang-barang ekstern yang
lebih tinggi dari padanya, maka ia meninggikan dirinya.
Sedangkan bagi barang yang secara absolut sempurna, seperti „actus purus“, maka
kebaikan itu tidak lain adalah dirinya sendiri, sehingga ia tidak perlu mencari barang-barang
lain di luar dirinya untuk meneyemprunakan dirinya. Actus purus adalah kebaikan dalam
dirinya sendiri dan bagi dirinya sendiri. Ia tidak mengejar kebaikan itu di luar dirinya.
Bahkan harus dikatakan, kebaikan itu adalah diriNya. Kebaikan identik dengan Tuhan itu
sendiri. Tidak ada distinksi riil antara kebaikan dan Tuhan. Menyebut Tuhan itu baik,
sebenarnya lebih tepat menyebutnya Tuhan adalah kebaikan. Dia adalah kebaikan karena Dia
itu adalah kesempurnaan yang tak terbatas (actus purus). Tuhan tidak mengejar
kesempurnaan, karena padaNya terdapat kesempurnaan tak terbatas. Ia identik dengan
kesempurnaanNya.
Jika pada barang yang ada tidak ada kebaikan apa-apa, maka tidak ada kegiatan apa-
apa, sebab segala yang bergiat, bergiat oleh karena suatu „tujuan“ (kebaikan). Oleh karena
tujuan segala kegiatan adalah kebaikan, maka ketiadaan kebaikan pada barang berarti tidak
adanya kegiatan apa-apa padanya. Ungkapan ini sangat sesuai untuk penggiat yang kurang
sempurna dan tidak sesuai untuk penggiat sempurna seperti Tuhan. Secara absolut Ia
sempurna dalam dirinya sendiri dan Ia sekaligus penggiat yang absolut (actus purus). Dia
penggiat absolut justru karena objek kegiatannya adalah kebaikan yang absolut, yakni dirinya
sendiri. Sedangkan kegiatan bagi barang-barang terbatas adalah sarana melalui mana mereka
memperoleh kebaikan dari luar.
Dari kodratnya, barang terbatas adalah tidak untuk berada. Sekalipun segala sesuatu
yang ada mempunyai actus essendi (eksistensi) sendiri, namun bagi barang terbatas eksistensi
itu tidak termasuk essensi mereka. Actus essendi mereka diperoleh berkat partisipasi pada ada
yang absolut. Karena itu, apa yang berlaku mengenai adanya, berlaku juga mengenai
kebaikan mereka. Sehingga harus dikatakan, bahwa segala barang terbatas baik karena
mereka ada, namun kebaikan tidak termasuk essensi mereka. Walaupun kebaikan itu adalah
kepunyaan mereka, namun kebaikan itu merupakan actus atau kesempurnaan yang diterima
64
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
dari luar. Kesempurnaan kebaikan itu disebabkan pada mereka oleh yang lain. Jadi, barang
terbatas memiliki kebaikan tidak secara essensial sebagaimana halnya pada barang sempurna
(Tuhan).
harus dikatakan di sini, bahwa karena ada itu analog, maka baik juga bersifat analog. Itu
berarti, segala yang ada baik tetapi baik menurut essensinya. Ukuran kebaikan mereka adalah
derajad aktualitas dalam adanya mereka. Jadi ada tingkat-tingkat kebaikan dalam barang-
barang.
Perbedaan kebaikan barang-barang juga dilihat, pertama dari aspek, barang itu
dipandang dalam dirinya sendiri dan kedua dari aspek, barang itu dipandang dalam hubungan
dengan barang lain. Itu berarti, ada barang yang baik dalam dirinya sendiri dan ada barang
yang baik hanya sebagai sarana untuk suatu tujuan: (1) „Bonum honestum“ (disinterested
good), yakni barang yang baik dalam dirinya sendiri sebagai tujuan, sebagai suatu yang
dikejar, sebagai yang merupakan tujuan baik dekat maupun jauh. Misalnya „kesehatan“
merupakan kebaikan dalam dirinya sendiri, namun dia bisa juga menjadi sarana untuk suatu
yang lebih tinggi dari padanya. (2) „Bonum utile“, yakni barang-barang yang baik hanya
sebagai sarana bagi suatu tujuan. Demikian misalnya, ilmu kedokteran adalah kebaikan sarana
(useful good).
Akan tetapi masih harus ditegaskan, bahwa sarana dalam dirinya sendiri tidak bernilai.
Sarana sebagai sarana baru bernilai dalam hubungan dengan tujuannya. Jadi barang-barang
semacam itu baik hanya oleh partisipasi mereka dalam kebaikan tujuan. Oleh karena itu
tatanan yang benar dari barang-barang dibalikkan, manakala sarana-sarana dinilai sebagai
tujuan dalam dirinya sendiri.
keburukan tidak bisa merupakan sebab pertama, karena dia sendiri bergantung kepada barang
yang telah ada. Jadi ia ada tidak per essentiam melainkan per accidens pada barang yang
baik. Keburukan selalu merupakan sesuatu yang sekunder.
sebab kebaikna yang berdaulat, sedang kejahatan hanyalah sebuah „accidens“ yang tidak
meniadakan makna pernyataan pokok. Kejahatan tak pernah merupakan suatu yang mutlak. Ia
hanya suatu privasi dari kebaikan.
Pada dasarnya orang yang mengatakan, bahwa kejahatan ada maka Tuhan tidak ada,
tidak menyangkal adanya Tuhan. Sebenarnya mereka hanya keliru mengenai kodrat dari
Tuhan. Mereka memberikan sikap melawan, karena pengertian mereka mengenai kodrat
Tuhan dan keburukan adalah keliru. Mereka melihat keburukan sebagai suatu ada bukan
suatu privasi, dan melihat Tuhan sebagai sumber atau sekurang-kurangnya sebagai yang
bertanggung jawab terhadap keburukan itu. Jadi, kalau orang mengatakan bahwa Tuhan tidak
ada karena adanya kejahatan di atas dunia ini, sebenarnya mereka tidak menyangkal adanya
Tuhan. Di dalam hal ini, mereka hanya keliru mengenai kodrat Tuhan dan inti dari
keburukan.
68
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Bab 6
Kategoria
Di dalam Modus Umum cara „ada“ itu diungkapkan dalam tiga cara. Sedangkan di
dalam Modus Khusus, „ada“ itu dapat diungkapkan dalam sepuluh cara. Di dalamnya, ada
satu cara yang berdiri sendiri, itulah yang disebut substantia dan ada sembilan cara yang
berada pada yang satu itu, itulah yang disebut accidentia. Kesepuluh cara ada itu disebut
dengan nama umum kategoria. Aristoteles menyebut sebuah kategori Substansi dan
sembilan kategori aksidens. Pada bab ini akan diuraikan arti kategori pada umumnya, dan
akan diuraikan juga perbedaan antara kategori logika dan kategori metafisika. Selanjutnya
kita akan berusaha membahas keberadaan masing-masing kategori dan hubungan antara
substansi dan aksidens.
Sekalipun pada bab ini tidak diuraikan secara lengkap kesepuluh kategori itu, akan
tetapi suatu pengertian dasar tentang kategori adalah sangat penting dalam mencapai
suatu pemahaman metafisik mengenai realitas. Pada umumnya muncul aliran ini dan itu
dalam filsafat mengenai realitas ditentukan atau disebabkan oleh perbedaan paham
69
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
mengenai doktrin kategori. Kalau kategori dipandang sebagai entitas ideal, maka paham itu
akan bermuara kepada pandangan filosofis yang menyatakan bahwa budi kita tidak ada
hubungan langsung dengan realitas. Kategori itu dianggap sebagai suatu konstruksi logis
belaka. Pandangan seperti ini melahirkan satu macam subyektivisme atau idealisme dalam
filsafat. Akan tetapi tradisi Aristotelo-Thomistik memandang kategori sebagai ekspresi cara-
cara beradanya ada itu sendiri bukan sekadar suatu konstruksi logis. Karena itu, dalam garis
tradisi ini tetap berlaku prinsip: Lex entis est lex mentis, yang mengungkapkan bahwa apa
yang ada di dalam pikiran bermula dari realitas. Itu berarti, barang-barang dalam realitas
yang menentukan cara serta isi pengetahuan kita tentang realitas.
70
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
tidak merupakan kelas khusus, sebab antara individu yang satu dengan yang lain tidak ada
perbedaan dalam essensi. Tidak ada essensi ke-Markus-an, Ke-Maria-an. Yang ada hanya
essensi manusia sebagai manusia Markus dan manusia Maria.
Substantia
Differentia Genus Suprimum Differentia
materialis imaterialis
Corpus
genus subalternum
species supremum
Differentia Differentia
animatum inanimatum
Vivens
genus subalterna
species subalterna
Differentia Differentia
sensibile
non-sensibile
animal
genus infinum
Differentia Differentia
rationale irrationale
homo
genus infinum
Luas pengertian
S u b s t a n t i a
c o r p u s
v i v e ns
animal
homo
71
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
substantia
c o r p u s
v i v e n s
a n i m a l
h o m o
Isi pengertian
(lingkungan barang-barang)
Luas Pengertian
Substantia : Substantia Substantia : Malaikat, mineral, tumbuhan-
tumbuhan, manusia.
Corpus: Substantia beraga
Di dalam susunan ini, satu kelas dilihat dalam hubungannya dengan yang lebih
rendah, adalah genus. Demikian misalnya, corpus adalah genus terhadap vivens, dan vivens
sendiri adalah genus bagi animal. Dalam susunan yang sama ini, satu kelas dilihat dengan
yang lebih tinggi, adalah species. Demikian misalnya, corpus adalah species terhadap
substantia, vivens adalah species terhadap corpus, animal adalah species terhadap vivens, dan
homo adalah species bagi animal.
Kerangka Porfirius itu sudah menyangkut „comprehentio“ (isi pengertian) dan
„extentio“ (luas pengertian). Isi pengertian bisa ditemukan di dalam inti pengertian itu, dan
itulah semua unsur yang termuat di dalam suatu pengertian. Unsur-unsur itu ada yang pokok,
ada unsur tambahan. Sedangkan luas pengertian bisa ditemukan dalam bentuk mana/apa yang
ditunjukkan dengan pengertian itu, dan itulah barang-barang (lingkungan barang-barang)
yang dinyatakan oleh pengertian itu. Dalam hal hubungan antara „isi“ dan „luas“ berlaku
hukum: Isi besar, luas kecil, dan sebaliknya.
Kerangka itu menjadi semakin jelas bila kita memperhatikan soal Praedicabilia, yakni
soal nilai predikat, apakah ia menyebutkan sesuatu essensial atau aksidental tentang subjek.
Ada lima cara yang umum untuk menyebutkan predikasi (keterangan) tentang yang lain,
dapat dijelaskan demikian:
72
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
1. Predikat menyebutkan seluruh essensi dari subjek. Predikat macam ini adalah sangat
sempurna. Itu berlaku bagi „species“: „Manusia adalah makhluk berakal“. Di sini predikat
„makhluk berakal“ menyebutkan seluruh essensi manusia.
2. Predikat menyebutkan sebagian essensi yang umum bagi banyak subjek. Predikat
sedemikian hanya menyebutkan „genus“ dari subjek: „Binatang adalah makhluk“.
Penegrtian „makhluk“ di sini adalah predikat yang memberikan informasi sebagian essensi
yang umum bagi banyak species, sebab pengertian „binatang“ mengandung sekaligus
species hewan (tak berakal) dan manusia (binatang berakal).
3. Predikat menyebutkan sebagian dari essensi yang umum bagi species khusus. Predikat ini
menyebutkan „differentia specifica“ (ciri pembeda khusus): „Manusia adalah binatang
berakal“. Pengertian „berakal“ adalah ciri pembeda antara manusia dengan hewan
infrahuman.
4. Predikat menyebutkan unsur tambahan (aksidental) pada subjek, namun tambahan selalu
ada dan selalu menunjukkan essensi subjek itu. Unsur tambahan itu selalu timbul dari
essensi subjek: „Manusia tertawa“. Predikat tertawa adalah suatu yang mengungkapkan
essensi manusia, sehingga harus dikatakan, bahwa „tertawa“ hanya terdapat pada manusia.
Ini yang disebut tambahan „proprium“.
5. Predikat menyebutkan tambahan pada subjek. Tambahan itu bisa ada dan bisa juga tidak:
„Markus berkumis“. Pengertian „berkumis“ adalah tambahan yang bersifat aksidental bagi
manusia Markus. Ketiadaan „kumis“ bagi Markus tidak menunjukkan bahwa dia bukan
lagi manusia atau kemanusiaannya berkurang.
73
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
yang ada lengkap dengan kekhasan (perbedaan) masing-masing. Jadi ada mengandung segala
differentiae itu tidak saja secara potentialiter, melainkan benar-benar perbedaan itu aktual
pada setiap barang yang ada.
Oleh karena ada bukan genus, maka kategori-kategori tidak menentukan ada
sebagaimana dalam logika differentia menentukan genus, yang berarti, menambah sesuatu
dari luar. Kategori-kategori menentukan ada dengan mereduksinya kepada suatu cara khusus
(special mode), dan itulah yang kita sebut dengan accidentia. Ke-sembilan accidentia itu
tidak berada di luar dari yang ada. Tiap penentuan cara khusus itu terdapat di dalam ada itu
sendiri. Karena memang tidak ada aksidens yang berada atau berdiri sendiri di luar suatu
substansi. Juga, tidak ada substansi tanpa aksidens-aksidens. Keduanya selalu ada secara
serempak dan bersama.
Singkatnya, kategori-kategori ada (kategori metafisik) tidak menentukan ada dengan
menambahkan sesuatu dari luar, sebab di luar ada sudah tidak ada apa-apa lagi. Seharusnya
dikatakan, bahwa segala kategori adalah penentuan-penentuan yang terdapat di dalam ada itu
sendiri, bukan suatu penentuan yang ditambahkan dari luar.
74
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Dari uraian di atas jelas bahwa substansi-substansi itu ada. Pertanyaan filosofisnya
adalah mengapa mereka berada sebagai substansi. Adalah tidak cukup menjawab bahwa
mereka harus ada untuk menjadi substratum bagi keberadaan aksidens-aksidens. Jawaban
seperti ini tidak memperhatikan fungsi pokok substansi, yakni dia mengaktualisir atau
menentukan sesuatu dalam adanya. Dialah penentuan pertama (actus primus) bagi adanya
sesuatu. Adapun aksidens-aksidens hanyalah penentuan kedua (actus secundus), yang
mengandaikan adanya substansi. Dan jika sesuatu sudah berada sebagai substansi, maka dia
berada demikian oleh karena suatu penentuan yang lebih dahulu.
Kata susbtansi di atas dipakai bukan dalam arti „substantia prima“, yaitu barang itu
sendiri, melainkan sebagai „substantia secunda“, yaitu prinsip intrinsik suatu barang melalui
mana barang itu berada secara tertentu. Jadi substansi adalah prinsip yang menentukan
sesuatu berada sebagai barang dalam diri sendiri (in se), dan tidak berada pada yang lain (ab
alio). Inilah ungkapan yang mendekati definisi tentang substansi, sekalipun definisi essensial
tentangnya adalah tidak mungkin, sebab substansi adalah termasuk genus supremum. Karena
dia merupakan suatu genus tertinggi, maka ia tidak bisa dibatasi oleh suatu differentia.
Memang demikian essensinya bahwa substansi menentukan sesuatu berada dalam diri
sendiri (inseitas) dan melalui dirinya (perseitas). Sedangkan aksidens adalah sesuatu yang
tergantung pada yang lain (in-alietas). Jadi substansi mempunyai suatu independensi dalam
dirinya dan aksidens memiliki ketergantungan (dependensi) kepada yang lain. Sekalipun yang
satu berdiri sendiri, sementara yang lain berada pada yang lain, namun keduanya tetap
mempunyai hubungan. Antara substansi dan aksidens mempunyai hubungan yang sangat erat.
Memisahkan keduanya sama dengan menghilangkan makna keduanya. Dalam realitas tidak
ada substansi tanpa aksidens, dan sebaliknya. Substansi dan aksidens bukanlah dua barang
melainkan dua prinsip yang terdapat pada barang-barang, khususnya barang terbatas.
Substansi bereksistensi tetapi sejauh: mewujudkan adanya sendiri, mempunyai
konsistensi dalam dirinya sendiri, mempunyai subsistensi, mempunyai otonomi diri, ada
dalam dan bagi dirinya sendiri. Sedangkan aksidens bereksistensi tetapi sejauh: tidak
mewujudkan adanya sendiri, tidak berada dalam dan oleh dirinya sendiri melainkan di dalam
dan untuk yang lain, tidak mempunyai otonomi, tidak mempunyai konsistensi dan subsistensi,
berada di dalam dan untuk substansi. Itulah sebab aksidens disebut juga dengan nama ens
entis, ada dari ada yang lain.
3. Kategori Substansi
75
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
76
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
77
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
memiliki kodrat yang sama. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak supposita (banyak orang)
memiliki kodrat kemanusiaan yang sama. Letak perbedaannya adalah bahwa suppositum
sebagai suatu yang individual dan berhubungan dengan eksistensi, sedangkan natura sebagai
suatu yang universal dan berhubungan essensi.
Sedangkan hubungan antara substantia dan natura dapat dikatakan demikian:
Keduanya merupakan realitas yang sama. Hanya saja, natura dipandang sejauh sebagai
prinsip kegiatan. Akan tetapi kegiatan itu mengandaikan adanya substansi sebagai dasarnya.
Di dalam hal ini, kegiatan itu sebenarnya tidak lain sebagai manifestasi substansi. Dan setiap
substansi memiliki kegiatan tertentu, dan setiap kegiatan yang tertentu itu keluar dari
substansi tertentu pula.
perseitas dan sekaligus aseitas. Itulah yang dikatakan Ipsum esse subsistens (berada itu
sendiri).
4. Kategori Aksidens
79
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
3. Relatio: Kategori ini menentukan suatu subjek berhubungan dengan sesuatu yang lain dari
padanya. Demikian misalnya, relasi mahasiswa - dosen. Penting untuk diperhatikan, bahwa
ada tiga unsur di dalam suatu relasi: (1) Subjek: Suatu pribadi atau barang yang
berhubungan dengan pribadi atau barang yang lain, misalnya bapa dan anak. (2) Tujuan:
Kepada apa atau siapa hubungan itu diarahkan. Perbedaan antara subjek dan terminus
(tujuan) adalah bahwa subjek merupakan „yang dari mana“ hubungan itu bertolak,
sedangkan terminus adalah „yang ke mana ia tertuju“. (3) Dasar: Pada mana hubungan itu
berlangsung. Demikian misalnya hubungan bapa-anak, dalam hal ini adalagkelahiran atau
generasi dasar hubungan.
4. Actio: Suatu aksidens yang terdapat pada suatu subjek. Suatu subjek memprodusir suatu
akibat pada yang lain, misalnya memotong kayu. Harus dibedakan antara actio transciens,
yakni kegiatan yang ada pada suatu barang dan barang itu distinkt dari subjek yang bergiat,
sedangkan actio imanens adalah kegiatan yang pada subjek itu sendiri. Actio transciens
menyempurnakan sesuatu yang lain dari yang bergiat (agens). Sedangkan actio imanens
menyempurnakan pelaku itu sendiri. Baik actio transciens maupun actio imanens
menampakkan essensi dari „penggiat“ (agens). Karena itu, dari kita meninjau kegiatan-
kegiatan barang, kita mengetahui „apa barang itu“ atau apa essensi barang itu.
5. Passio: Aksidens ini adalah suatu perubahan, yang subjek alami sebagai akibat pengaruhu
dari yang lain. Passio ini berhubungan actio, dan ia merupakan akibat dari suatu yang
dibuat oleh penggiat. Suatu pengaruh yang diberikan oleh agens bagi patiens. Prinsip
tentang hubungan itu: „actio agens est in passio“ (kegiatan penggiat ada pada patiens yang
menerimanya).
6. Tempus, locus dan situs (kapan, di mana dan sikap)adalah accidentia yang dipakai sebagai
ukuran dari subjek pada mana mereka termasuk. Kalau aksidens itu adalah ukuran
lamanya, misalnya, kapan kuliah berakhir, maka itu kategori tempus. Kalau ukuran itu
menyangkut ruang tetapi tanpa menyatakan bagaimana sesuatu ada di dalamnya, maka
aksidens itu termasuk kategori „locus“, misalnya, „di kamar“. Kalau ukuran ruang
berhubungan dengan bagian dari suatu barang dalam ruang, yaitu hubungan bagian-bagian
antaranya dalam ruang, maka aksidens itu termasuk kategori situs.
7. Habitus: Aksidens yang tidak merupakan ukuran bagi subjek tetapi menempel pada suatu
subjek, itulah kategori habitus. Kategori ini sama sekali tidak timbul dari kodrat subjek.
Habitus adalah khusus menyangkut manusia yang melengkapi badannya dengan pakaian.
Jadi berbaju putih itu merupakan suatu kategori habitus bagi suatu subjek. Di sni hanya
mengenai hal yang biasa dipakai oleh manusia. Habitus merupakan kategori khusu bagi
manusia. Bisa juga diterapkan kepada hewan, tetapi sejauh berhubungan denga manusia.
Demikian misalnya, kuda berpelana kayu.
80
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Bab 7
Causalitas
Setelah kita memeriksa dasar dan sifat yang hakiki dari ada, maka kita perlu juga
memeriksa sebab dari ada, sehingga menjadikan ada itu benar-benar intelligibilis dengan
sepenuhnya. Itu berarti, kita mau mengenal barang-barang dalam sebab-sebabnya. Sebab
bisa dikelompokkan dalam „sebab intrinsik“ seperti causa materialis dan causa formalis dan
„sebab ekstrinsik“ seperti causa efficiens dan causa finalis. Keempat macam sebab itu
dipakai dalam arti berbeda-beda. Demikian misalnya, ketergantungan suatu barang dari
sebab-sebab intrinsiknya seperti materia prima dan forma substantialis, beda dari
ketergantungan barang itu kepada barang lain. Ketergantungan suatu barang kepada
barang lain diterangkan dengan sebab-sebab ekstrinsik. Dalam arti yang lebih lazim yang
dimaksud dengan „sebab“ adalah sebab-sebab ekstrinsik.
Karena „sebab-sebab intrinsik“ telah dibahas dalam bab tentang actus-potentia dan
Materia-Forma, maka konsentrasi refleksi bab ini lebih mengenai causa efficiens dan causa
finalis itu. Dalam uraian berikut, pertama-tama dipusatkan pada pemeriksaan realitas
perubahan dalam cahaya sebab-akibat, bahwa realitas perubahan baru menjadi intelligibilis
kalau ada sebabnya, yang bermuara pada kesimpulan bahwa perubahan membutuhkan
suatu sebab (causa fiendi). Bardasarkan pemeriksaan itu kita lalu membuktikan bahwa
„sebab terbatas“ mampu hanya mengalihkan pengaruh yang sudah ada dari potentia ke
actus. Sebab terbatas dapat hanya mengubah subjeknya, tetapi tidak mampu menyebabkan
sesuatu ada atau menjadi ada dari ketiadaan. Untuk itulah perlu juga bertanya mengenai
„sebab adanya“ (causa essendi) dalam cahaya causa efficiens. Untuk melengkapi
81
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
pemeriksaan mengenai sebab-sebab dari ada kita juga meninjau sebab-sebab yang
menjelaskan „tujuan“ (finis). Kita tahu, bahwa segala kegiatan terjadi oleh karena suatu
tujuan (causa finalis). Dalam hubungan dengan ini akan dibicarakan juga soal causa
exemplaris, yang merupakan model menurut mana manusia (agens berakal) mengarahkan
perbuatannya.
82
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
agens. Adapun hubungan antara barang yang berubah dan sebabnya adalah hubungan antara
subjek perubahan (patiens) dan yang memprodusir perubahan (agens). Dalam hal ini, fungsi
agens sebagai agens adalah memberi suatu actus atau kesempurnaan bagi patiens. Demikian
misalnya, seorang seniman memberi bentuk tertentu bagi suatu kuantitas tanah liat, sehingga
terbentuk sebuah patung tanah liat. Sang seniman (agens) memberi kepada tanah liat (patiens)
suatu aktualitas, suatu kesempurnaan yang dahulunya tanah liat itu tidak miliki.
Kalau ada agens harus ada supaya gerak ada, maka jelas bahwa agens sebagai agens
mempunyai sesuatu yang patiens tidak miliki. Demikian, pada tanah liat tidak terdapat
patung. Realitas patung itu baru ada setelah si seniman sebagai agens memberikan
pengaruhnya, yang dalam bahasa biasa disebut mencipta, sehingga muncul sebuah patung.
Dengan demikian, kalau kita namakan sesuatu sebagai agens, maka kita sebut itu justru
karena dia bergiat (in actu). Adalah kontradiksi mengandaikan bahwa pada suatu agens tidak
ada actus atau kesempurnaan yang dia beri kepada patiens. Sebab tidak mungkin dia memberi
apa yang dia tidak miliki. Karena itu prinsipnya berbunyi: nemo dat quod non habet (Barang
apa/siapa pun tidak memberi yang dia tidak punyai). Untuk maksud yang sama dirumuskan
secara positip: „segala agens sebagai agens bergiat in actu“.
83
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
84
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
ada sebab yang sama sekali berbeda dari akibat yang dia produsir pada patiens. Seandainya
tidak ada kesamaan antara keduanya, maka kegiatan dari sebab tidak hubungan apa pun
dengan akibat. Tetapi karena akibat benar-benar timbul dan bergantung dari sebabnya, maka
harus ada suatu kesamaan antara kesempurnaan dari agens, yaitu sebab, dan kesempurnaan
dari patiens, yaitu akibat. Akibat selalu menampakkan sesuatu dari kesempurnaan yang ada
pada sebab. Biarpun kesamaan itu begitu lemah dan sebagian saja. Dalam hal ini berlaku
prinsip omne agens agit simile sibi (segala sebab memprodusir semirip dengannya).
dalam membuat meja. Dia memang disebut sebagai sebab adanya meja, tetapi ia memerlukan
bahan-bahan. Jadi ia tidak bisa menyebabkan sesuatu menjadi ada dari ketiadaan sebagaimana
pada agens tak terbatas, yang mampu merubah „nihil“ menjadi „esse“.
Pertanyaan lebih lanjut: Apakah agens terbatas itu memindahkan atau memberi, dalam
arti harafiah, kesempurnaannya kepada patiens yang dia pengaruhi? Kalau benar bahwa
pengalihan atau pemberian pengaruh itu secara harafiah, maka konsekuensinya antara lain:
(1) Kesempurnaan pada akibat (patiens) harus identik secara numerik dengan kesempurnaan
pada agens, pemberinya. (2) Tiap kali aktus menyebabkan, maka mengakibatkan kehilangan
kesempurnaan dari agens yang berbanding lurus dengan apa yang diterima patiens. (3) Kalau
agens itu agens sempurna, maka ia memberi segala kesempurnaanya kepada patiens, sehingga
dia kehilangan kesempurnaan yang dia miliki.
Mengenai asumsi pertama bahwa ada identitas secara numerik antara kesempurnaan
pada agens dan kesempurnaan pada patiens, maka harus dikatakan bahwa yang ada hanya
identitas spesifik. Jadi, tidak ada identitas numerik, melainkan hanya suatu identitas dalam
species. Demikian misalnya, manusia melahirkan manusia. Ia memberi kepada anaknya
kesempurnaan species manusia. Namun dengan menyebabkan (menurunkan) anak, orang tua
tidak kehilangan kodrat kemanusiaannya. Ia hanya memindahkan kesempurnaan secara
specifik, yakni species manusia.
Mengenai asumsi kedua bahwa adanya kehilangan kesempurnaan yang setimbang
dengan yang agens berikan kepada patiens, maka harus dikatakan benar bahwa banyak agens
dalam kegiatannya kehilangan sebagian dari kesempurnaan mereka. Hanya saja kehilangan
kesempurnaan itu tidak berhubungan secara essensial dengan kodrat agens sebagai agens.
Kehilangan itu per accidens dan berhubungan dengan agens fisik-material. Demikian
misalnya, besi panas menjadi kurang panas dengan memanaskan air yang dingin. Dalam
kasus ini ada kausalitas timbal balik. Itulah yang disebut „causae sunt ad invicem causae“,
bahwa dalam memberi pengaruh kepada yang lain, ketika itu pula yang lain itu memberi
pengaruh kepadanya.
Tentang asumsi ketiga bahwa agens sempurna kehilangan kesempurnaanya, maka
harus diperhatikan bahwa yang benar adalah justru sebaliknya. Agens yang paling sempurna
sebagai agens adalah yang dalam kegiatannya kehilangan hanya sedikit kesempurnaan atau
sama sekali tidak kehilangan apa-apa. Demikian misalnya, guru tidak kehilangan ilmunya
dengan mengajarkan ilmu itu kepada murid. Prinsipnya bahwa suatu agens sebagai agens
makin kurang kehilangan kesempurnaan yang diberikannya kepada patiens, makin dia
sempurna.
Walaupun kausalitas dari agens terbatas tidak sebagai peralihan secara harafiah dan
fisis, bagaimanapun kegiatan dari agens tetap sampai dan mempengaruhi patiens. Antara
keduanya ada hubungan erat. Dasar hubungan itu adalah kegiatan. Dalam hal agens terbatas
hubungan itu bersumber pada kegiatannya yang merupakan accidens, dan karena kegiatan itu
adalah accidens, maka kegiatan itu jelas beda dari adanya yang bergiat itu. Seperti halnya kita
membedakan substantia dan accidentia.
Kegiatan agens harus bagaimana pun ada pada patiens. Ia memberikan kepada patiens
suatu aktualitas baru yang dulu patiens tidak miliki. Itulah prinsip actio agentes est in passio
(kegiatan agens ada pada patiens). Di mana tidak ada suatu ikatan antara kegiatan dari agens
dan patiens, maka kausalitas juga tidak mungkin terjadi. Jadi hubungan sebab dengan akibat
tidak lain adalah bubungan antara agens dan patiens, suatu hubungan antara penggiat atau
penggerak atau pemberi pengaruh dengan penerima kegiatan atau penerima pengaruh itu.
Yang dalam bahasa biasa dikatakan sebagai hubungan antara sebab dan akibat.
86
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
arti bahwa dia berada dengan seharusnya karena memang essensinya adalah justru berada.
Pada „ada“ itu, apa yang kita anggap dalam tataran pengetahuan terbatas sebagai essensi tidak
lain dari actus essendi. Demikianlah hal mengenai Ens Subsistens, ada yang berdiri atau
berada dari sendirinya. Sebab adanya tidak pada yang lain melainkan pada dirinya sendiri.
88
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
berarti penyangkalan adanya barang terbatas. Mereka benar-benar ada. Hanya saja
keberadaan mereka bergantung pada sebab pertama.
Prinsip yang sama berlaku juga mengenai kausalitas. Kalau dikatakan bahwa sebab
terbatas hanya berpartisipasi dalam kauslitas, tidak disangkal bahwa barang-barang terbatas
benar-benar sebab-sebab. Mereka benar-benar sebab-sebab. Hanya dinyatakan ketergantungan
sebab-sebab itu kepada suatu sebab yang tidak bergantung. Sebenarnya kegiatan sebab
pertama adalah menjamin kauslitas makhluk-makhluk. Jadi ketergantungan itu adalah yang
memungkinkan dan menjamin efisiensi dari sebab-sebab yang terbatas.
89
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
dibutuhkan secara absolut supaya suatu agens dapat bergiat. Dengan demikian malam yang
gelap dapat dipandang sebagai syarat dan sama sekali tidak sebagai sebab. Suatu pesta adalah
kesempatan untuk minum, mungkin terkadang sebagai syaratnya, tetapi tentu bukan sebagai
sebabnya.
90
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
kegiatan agens utama (causa principalis), sehingga alat-alat yang berbeda menghasilkan
akibat berbeda pula. Suatu akibat bergantung secara riil dari jenis alat yang dipergunakan.
Oleha karena itu, harus disimpulkan juga bahwa alat adalah sebab dalam arti yang benar.
Suatu alat adalah sebab dalam arti yang benar, sekalipun kegiatannya dengan sepenuhnya ada
atau bergantung dari causa principalis.
Kesempurnaan suatu alat bersifat relatif, sebab bergantung dari maksud untuk apa alat
itu dipakai. Sebuah pisau yang baik akan tidak baik sebagai parang, dan sebaliknya, karena
masing-masing disiapkan secara spesifik untuk suatu maksud yang spesifik. Memang secara
generik keduanya sama, yakni untuk memotong dan oleh karena itu mampu mencapai tujuan
yang sama secara generik yakini untuk memotong. Hanya secara aksidental, alat-alat yang
mempunyai fungsi berbeda, yang satu dipakai menggantikan yang lain. Akan tetapi, tetap
benar bahwa kesempurnaan suatu alat diukur menurut kecocokannya untuk mencapai tujuan
mana alat itu dipakai. Jadi, tetap benar bahwa tujuan menentukan alat, bukan sebaliknya.
seorang membangun rumah. Dipandang secara keseluruhan dalam pembangunan itu terlibat
juga penyebab-penyebab lain.
Sesuatu disebut sebab parsial, kalau akibat adalah hasil kegiatan atau kerja sama dari
beberapa sebab. Misalnya beberapa orang membangun sebuah rumah. Namun, kalau
diperhatikan bahwa bangunan rumah diakibatkan sebagian oleh causa atau causae principalis
dan oleh beberapa causae instrumentalis (gergaji, parang, kapak, pahat, dsb), maka dalam hal
itu ada bermacam-macam sebab sebagian. Karena itu istilah sebab parsial bersifat analog.
Dalam arti yang tegas segala sebab kedua (causa secunda) adalah sebab-sebab parsial karena
mereka dalam menyebabkan sesuatu selalu bergantung dari sesuatu yang lain.
Tujuan itu tetap ada, tetapi cara beradanya bersifat ideal. Justru nilai kausalitasnya terletak
dalam hal itu bahwa dia menggerakkan suatu agens karena dia dicari atau diingini.
tanpa mengenal dibatasi oleh formanya sendiri. Kalau ia menerima suatu forma baru, maka
dia terima forma itu dalam materi, sehingga ia menjadi satu dengan apa yang diterimanya.
Barang-barang tanpa pengetahuan dapat bergiat menurut forma substantialis. Mereka
bergiat dalam batasan essensinya. Sedangkan barang-barang dengan pengetahuan, bergiat
pertama-tama menurut forma substantialis mereka, tetapi juga menurut forma-forma yang
mereka kenal. Oleh karena itu, kalau mereka bergiat maka mereka bergiat dalam cahaya
pengetahuan yang mereka punyai. Itu berarti, mereka bergiat oleh suatu kesadaran akan
tujuan.
Agens dengan pengetahuan ada dua macam: Agens pengetahuan indrawi yang
objeknya adalah forma sensibilis, dan agens pengetahuan intelektual yang objeknya essensi
barang-barang. Binatang adalah agens pengetahuan indrawi. Pengetahuan mereka terbatas
pada forma material-sensibilis. Mereka tidak memiliki pengetahuan refleksip baik mengenai
tujuan kegiatan mereka maupun mengenai sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan itu.
Mereka menuju suatu tujuan, oleh karena suatu instink kodrati, melalui forma yang mereka
kenal dengan indra-indra. Sedangkan manusia sebagai agens pengetahuan intelektual,
menentukan sendiri tujuan kegiatan mereka, karena mereka mengerti forma yang mereka
kenal. Dengan kata lain, mereka bisa sendiri menentukan tujuan, karena mereka mampu
membuat refleksi.
mengenai tujuan sebagai contoh, maka itu berarti, kita memaksudkan tujuan sebagai yang
dikenal.
Dalam kerangka ini kita bisa memahami soal kebenaran barang. Segala barang itu
benar, kalau ia sesuai dengan creator intellectualis (pencipta berakal), dalam hal ini adalah
Tuhan. Dia mencipta segala sesuatu menurut contoh-contoh yang ada pada budi-Nya.
Demikian segala barang yang ada, diciptakan menurut citra-Nya.
95
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
cocok). Kasus ini kita sebut kebetulan, karena tidak ada kesesuaian antara maksud untuk
menghasilkan karya bermutu tinggi seturut kesempurnaan kecakapan si seniman, dengan apa
yang telah dihasilkan. Peristiwa itu terjadi per accidens (kebetulan) dan tidak per naturam,
sebab berdasarkan kodrat seorang seniman besar, ia semestinya menghasilkan karya bermutu
tinggi. Pengertian kebetulan diterima, namun diterima dalam arti bahwa itu terjadi per
accidens, yakni suatu peristiwa yang berlangsung tidak sesuai maksud penggiat.
DAFTAR PUSTAKA
Aristotle, Aristotle’s Metaphysics, teks yang direvisi oleh W.D.Ross, Clarendon Press,
Oxford, 1936.
Bagus, Lorens, Metafisika, Gramedia, Jakarta, 1991.
Bakker, Anton, Ontologi, Metafiska Umum. Filsafat Pengada dan Dasar-dasar kenyataan.
Kanisius, Yogyakarta, 1992.
Barthen, N., Thomistische Ontologie und Sprachanalyse, München, 1988.
Bergson, Henri, An Introduction to Metaphysics, terj. T.E. Hulme, Indianapolis, 1949.
Copleston, Frederick, A history of Philosophy, Vol. I, II dan III, Doubleday, Ne York, 1985.
Coreth, Emerich, Metaphysik: Ein Methodisch-Systematische Grundlegung, München, 1961.
Dister, Niko Syukur, Filsafat Agama Kristiani. Mempertanggungjawabkan iman akan wahyu
Allah dalam Yesus Kristus, Kanisius, Yogyakarta, 1985.
Gallus, Manser, Das Wesen des Thomismus, Freiburg, 1949.
Heinzmann, Richard, Thomas von Aquin, Kohlhammer, Köln, 1994.
Keller, Albert, Sein oder Existenz, Köln, 1968.
Lanur, Alex, Logika Selayang Pandang, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
Leahy, Louis, Manusia di hadapan Allah. Jilid 3, Komos dan Allah, Kanisius & BPK
Gunung
Mulia, Yogyakarta, 1986.
Lotz, Johannes B., Der Mensch im Sein, Herder, Freiburg, 1967.
Maritain, Jacques, A Preface to Metaphysics. Seven Lectures on Being. New York, 1962.
Pianiezek, Joseph, „Metafisika“ (Kuliah Mimbar), STFK Ledalero, 1991.
96
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR
Ritter, Joachim, Metaphysik undk Politik. Studien zu Aristoteles und Hegel, Frankfurt, 1969.
Sikora, Joseph J., Inquiry into Being, Loyola Uni.Press, Chicago, 1965.
Taylor, Ricahrd, Metaphysics, Prentice Hall, New Jersey, 1992.
Walter, Kluxen, „Thomas von Aquin: Das Seiende und seine Prinzipien“, dalam V.J.Speck,
Grundprobleme der großen Philosophen des Altertums und des Mittelalters, UTB,
Göttingen, 1972, (177-220).
Walter, WH., Metaphysics, Hutchinson, Worecester, 1991.
97