Anda di halaman 1dari 97

NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Bab 1
Pendahuluan

Maksud pendahuluan ini adalah memperkenalkan inti dari metafiska. Namun


seperti biasa, orang baru bisa mengenal ilmu itu setelah ia mempelajarinya. Demikian juga
halnya dengan metafisika. Kita baru tahu secara persis, apa itu metafisika, setelah
menggelutinya secara langsung. Orang bisa mencapai pengertian yang jelas tentang
metafisika sesudah kursus berlangsung. Untuk sementara, kita hanya berusaha mencapai
pemahaman tentang metafisika terutama dengan menemukan: nama, metode, objek,
perbedaan metafisika dengan ilmu-ilmu eksperimental, keterkaitan metafisika dengan
disiplin-displin filsafat lainnya, pandangan dan sikap tentang metafisika, kesulitan
mempelajari metafisika, serta aktulitas metafisika saat ini.

1. Tentang Nama Metafisika


Nama metafisika berkaitan dengan karya filsafat Aristoteles. Istilah metafisika dapat
dipandang dari beberapa segi: (1) Etiket bibliografis: Arti dasar istilah metafisika ada
hubungan dengan pembagian karya-karya Aristoteles yang dibuat oleh Andronikos. 1
Pembagian karya Aristoteles dibuat sesudah Aristoteles meninggal, dan itu berarti, nama
metafisika yang ditempelkan pada kelompok tulisannya tidak dibuat oleh Aristoteles sendiri.
Andronikoslah yang menemukan bahwa sesudah buku-buku tentang fisika, ada 14 buku tanpa
nama, dan ia sebut buku-buku itu dengan nama ta meta ta physica (yang datang setelah fisika,
yang mengikuti fisika). Di dalam buku-buku ini terdapat uraian tentang realitas, kualitas,
kesempurnaan, ada, yang tidak terdapat pada dunia fisik. Hal-hal itu mengatasi dunia fisik..
(2) Secara pedagogis: Karena ada anggapan bahwa metafisika adalah ilmu yang paling sulit,
maka tepatlah kalau dia ditempatkan setelah fisika yang relatif mudah. Dari segi isi,
metafisika adalah bidang yang membahas sebab-sebab terdalam realitas, dan karena itu
Aristoteles menyebutnya sebagai prima philosophia (filsafat pertama). (3) Arti filosofis: Para
filsuf Skolastik memberi arti filosofis terhadap istilah metafisika, bahwa metafisika adalah
ilmu tentang ens ut ens (ada sebagai ada). Dialah ilmu tentang yang „sesudah dan melebihi
yang fisik“ (post physicam et supra physicam). Istilah „sesudah“ di sini berarti obyek
metafisika berada pada tahap abstraksi terakhir. Sedang istilah „melebihi“ menunjukkan
bahwa metafisika melampaui abstraksi yang lain, jadi sebagai abstraksi yang paling tinggi.
Di sini kita melihat bahwa Aristoteles menyusun filsafat tentang dasar segala yang-
ada (filsafat pertama) bertolak dari „yang berkembang“ (physis). Mula-mula ia sepaham
dengan Plato untuk menemukan suatu realitas yang mengatasi dunia fisik-empiris (ta hyper ta
physika) dan yang melampaui dunia fisik itu (ta meta ta physika, sehingga dunia itu menjadi
inteligibilis. Kenyataan yang dimaksud menjadi dasar bagi yang fisik, dan tetap distinkt
daripadanya. Ilmu itu disebut theologia.

1
Hal ini dapat ditelusuri lewat sejarah pengumpulan karya Aristoteles. Aristoteles meninggalkan
perspustakaannya pada muridnya Teofratos. Di dalam perpustakaan ini terdapat karya-karya filsuf lain
dan juga karyanya sendiri yang pada waktu itu terbatas pada murid-muridnya. Ketika Teofratos
meninggal, perpustakaan itu diwariskan kepada Neleo. Oleh Naleo, perpustakaan itu dipindahkan ke
negerinya di Troade. Kemudian raja-raja dari Pergamon dan Alexandrea menyembunyikan buku-buku
itu di dalam tanah, ditinggalkan dan dilupakan orang. Pada tahun 100 SM Appelicone
menemukannya kembali dan membawa ke Atena. Ketika Atena dikalahkan oleh Sisilia (86 SM),
semua manuskrip dibawa ke Roma dan diserahkan ke Andronikos dari Rodi. (Lorens Bagus,
Metafisika, Gramedia, Jakarta 1991, h. 18; Rudolf Carnap, Überwindung der Metaphysik durch
logische Analise der Sprache, dalam : Erkenntnis, 2931, h. 219-242, Metaphysik, Damstadt 1977, h.
50-53).

1
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Di lain pihak Aristoteles menolak pendapat Plato bahwa hanya dunia non-fisik (ta
paradeigmata) yang benar-benar nyata (ontoos on), sedangkan dunia fisik cuma
bayangannya. Menurut Aristoteles dunia fisik juga benar-benar nyata. Lalu ia mencari suatu
pemahaman yang sesuai untuk keduanya itu. Oleh karena itu ta meta ta physik tidak lagi
disamakan dengan ta hyper ta physika, tetapi dianggapnya lebih luas daripadanya. Maka prote
philosophia (filsafat pertama) ini harus meliputi baik ta hyper physika maupun ta physika.
Menurut Aristoteles filsafat tentang ta meta ta physika berpusat pada to on hei on: ens
in quantum ens, ens qua ens, a being as being (ada sebagai ada). Oleh karena itu objek
materialnya adalah segala yang-ada. Dari segi formal hal-hal itu ditinjau bukan menurut
aspek ini atau itu yang terbatas, bukan juga sekadar manusia, atau dunia, atau Tuhan tetapi
menurut sifat mengadanya. Berdasarkan kekhasannya ini, maka di kemudian hari muncul
istilah baru yang lebih sesuai dengan objek formalnya, yakni Ontologi. Nama ini diberikan
oleh Christian Wolf pada abad ke-17. Ontologi adalah ilmu tentang ada.2 Istilah Ontologi
untuk pertama kali ditemukan dalam Leksikon Filsafat dari Goclenius (1613). Istilah itu
selalu dikaitkan dengan Christian Wolf hanya atas dasar, bahwa dialah yang pertama
2
Ontologi memang berarti ilmu tentang ada. Yang menjadi persoalan dalam uarian-uraian metafisik
dalam bahasa Indonesia adalah pemakaian istilah ada. Bahasa Indonesia tidak mempunyai ciri
metafisik sebagaimana pada bahasa-bahasa barat seperti, Latin, Inggris dan Prancis. Orang
Indonesia cukup mengatakan: „Saya sedang makan“, sementara dalam bahasa Inggris mengatakan
kenyataan itu dengan melibatkan unsur ada ( to be) : „I am eating“, yang secara hurufiah: Saya ada
sementara makan. Orang Jerman mengatakan: Ich bin Lehrer, padahal bahasa Indonesia sudah
cukup dengan mengatakan „Saya guru“, jadi tidak memerlukan Verba „Sein“. Hanya oleh karena
pengaruh bahasa asing, orang lalu menyebutkannya „saya adalah guru“.
Adapun istilah pokok dalam Ontologi adalah ada atau yang ada sebagai terjemahan konsep ens.
Dalam bahasa Inggris kata being dapat dipakai untuk kedua-duanya dan hal itu dapat menyebabkan
kesulitan pemakaian tepat. Dalam Bahasa Perancis terhadi hal sama dengan kata etre. Bahasa
Jerman membedakan Sein dan Seiende. Begitu juga Bahasa Latin: esse dan ens. Terjemahan
konsep-konsep itu dalam bahasa indonesia tidak seragam.: ada, ADA dan berada. Dalam arti biasa
kata ada hanya dikenal sebagai „tidak absen“, atau „tidak mati. Sedangkan istilah berada tidak banyak
menunjukkan perbedaannya dengan ada, atau juga bisa berarti lain sekali, yakni „agak kaya“. Untuk
itu perlu pembentukan istilah teknis ontologis sehingga tidak membingunkan.
Bertens memakai kata adaan untuk menerjemahkan ens (Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jl. I,
Gramedia, Jakarta 1981, h.115, dan Seiende (a being dalam Inggris) pada Heidegger (Ibid.h. 153).
Sebelum itu N.Driyarkara sudah juga mempergunakan kata pengada untuk menerjemahkan kata lètre
pada Sartre (Percikan Filsafat, Jakarta, 1966, h.77). Dalam Pidato pengukuhan Profesornya,
Driyarkara pada 1962 menunjukkan aspek aktif dalam Sein pada Heidegger dengan terjemahan
mengada (Sosialitas Sebagai Eksistensial, Jakarta, Pembangunan, 1962, h. 22). Kemudian ia
memakai istilah mengada itu lepas dari Heidegger itu bagi pikirannya sendiri. Driyarkara
membandingkan kata pengada dengan kata seperti: pemuda, pemudi, pekerja,petugas, pemain
(Percikan, h. 77). Langsung akan kelihatan perbedaan pengada dengan istilah adaan yang dipakai
Bertens, jika di samping adaan ditempatkan kata-kata seperti : mainan, minuman, dorongan. Arti kata-
kata ini lebih abstrak, lebih merupakan objek, dan kurang berciri personal, atau lebih merupakan
kegiatan objektif. Demi daya yang aktif dan personal ini, maka dalam Buku „Ontologi, Metafisika
Umum“, Kanisius, Yogyakarta 1992, Anton Bakker mengikuti jejak Driyarkara dengan
mempergunakaan kedua kata itu „pengada“ dan „mengada“. Lebih jauh Anton Bakker berusaha
menghindari dari pemakaian kata „keadaan“ atau „keberadaan“, dengan memakai istilah teknis yang
khas baginya ialah „mengadanya“ dan „kemengadaan“.
Sedangkan Lorens Bagus, Metafisika, Gramedia, Jakarta 1991, memakai hanya secara bervariasi
antara: ada, yang-ada, dan adanya, untuk menerjemahkan kata esse dan ens bahasa Latin.
Kecenderungan yang sama ada pada Yoseph Pienazek Dosen Filsafat STFK Ledalero, Manuskrip
untuk kebutuhan Kuliah, 1990. Ia secara bervariasi menggunakan kata ada dan adanya juga yang
ada, untuk menerjemahkan kata esse dan ens itu. Adapun dalam uraian dalam perkuliahan ini, kita
akan memakai istilah yang tidak begitu khas teknis sebagaimana pada Bakker, Driyarkara dan
Bertens. Kita akan memakai istilah yang merupakan terjemahan hurufiah dari kata Latin esse
(adanya, yang ada) dan ens (ada), sehingga tidak ada kesan seakan-akan Metafisika itu adalah suatu
ilmu yang mengada-ada tentang ada, komentar para Mahasiswa angkatan III FFA Unwira Kupang.
Yang jelas, metafisika itu berbicara tentang ada.

2
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

membuat pembagian metafisika atas: Pertama, metaphysica generalis (metafiska umum,


metafisika dasar), yang membahas tentang ada sebagai ada. Itulah yang disebut Ontologi,
ilmu tentang ada. Kedua, metaphysika specialis, yang mencakupi beberapa bidang, seperti:
Theologia Naturalis (filsafat ketuhanan), Anthrophologia Philosophia (filsafat manusia) dan
Kosmologi.3
Pada abad 19 istilah Ontologi tidak begitu berperan. Baru pada abad 20 muncul lagi
pemikiran-pemikiran ontologis. N. Hartman misalnya, mengembangkan Schichtenontologie.
Menurut Hartman ada itu memiliki tingkat-tingkat beradanya: organisches, anorganisches
und geistiges Sein. Ia memperhitungkan hal-hal kejiwaan dan mental ke dalam struktur dari
ada. Konsepsi tentang Ontologi juga memainkan peranan utama dalam filsafat Husserl.
Berdasarkan analisis fenomenologisnya ia menggambarkan dunia itu sebagai das Universum
des Seienden (ontische Universum). Ia membagi Ontologi atas dua macam: (1)
Universale/formale Ontologie, yang menyelidiki pengertian-pengertian dasar-formal. (2)
Regionale Ontologie, yang menyelidiki bidang-bidang khusus dari ada. Filsuf Jerman
lainnya, seperti M. Heidegger juga menempatkan soal Sinn von Sein (makna ada) sebagai
pertanyaan fundamental dalam filsafat. Ontologi Heidegger dikenal dengan nama
Fundamentalontologie.

2. Objek dan Metode Metafisika

2.1. Objek Metafisika


Metafisika memang sebuah usaha sistematis, reflektif, dalam mencari sebab-sebab
terdalam dari realitas (ex ultimis causis), yang ada di belakang hal-hal fisik, tetapi tidak
berarti tidak berdasarkan kenyataan empirik. Ia melampaui yang fisik, tetapi titik tolak
refleksinya tetap berdasarkan yang fisik, berdasarkan yang dialami secara fisik. Jadi, ia tetap
bertolak dari kenyataan, bertolak dari pengalaman. Untuk bermetafisika, orang harus bergaul
dengan pengalaman, karena metafisika tetap merupakan sebuah bentuk pengetahuan manusia.
Dan, pengetahuan manusia itu, secara epistemologis, tidak bisa tanpa pengalaman. Dalam
mengalami apa saja, saya sebagai subyek sadar akan kegiatanku itu. Saya sadar bahwa saya
sementara mengalami sesuatu, saya sadar bahwa saya lagi menangkap sesuatu yang ada (yang
real). Dengan menyadari objek itu, saya menyadari diriku. Saya sadar akan realitasku sendiri.
3
Christian Wolf, Philosophia prima sive Ontologia, Ed. J.Ecole, Hildesheim, 1962, h. 132. Sepintas
kita sejarahnya hingga munculnya pemakaian istilah Ontologi. (1) Tetap kita akui bahwa Aristoteleslah
peletak dasar metafisika, sekalin istilah metafisika itu sendiri tidak berasal dari dia. Dalam
metafisikanya dibicarakan tentang segala yang ada dan mengenai sumbernya yang mutlak. Dalam
tradisi Aritoteles ini „filsafat pertama“ itu sudah meliputi apa yang sekarang disebut ontologi dan
teologi (filosofis). (2) Dalam Filsafat Abad Pertengahan yang begitu erat hubungan dengan teologi
kristiani tidak disusun suatu metafisika sitematis. Pada masa itu semua unsur filosofis hanya
dikemukankan dalam kaitan dengan teologi. Bahkan juga komentar-komentar mengenai kyara
Aristoteles tidak terlepas dari nasib demikian. (3) Baru pada Abad ke-13 mulai ada usaha untuk
menyusun sistem metafisika tersendiri, yang lepas dari teologi kristiani. Mereka juga berusaha
membetulkan sistematika Aristoteles. Namun selama tiga abad usaha itu tetap dilaksankan dalam
bentuk komentar atas metafisika Aristoteles. (4) Pada Aba ke-16 Francesco Suarez menyusun traktat
sistematis dalam Disputaiones Metaphyiscae. Traktat ini lepas dari sifat komentar atas Aristoteles.
Sejak itu metafisika sungguh-sungguh merupakan ilmu lengkap dan otonom, sekalipun dengan tetap
memuat ontologi dan teologi (filosofis). (5) Abad ke-17 Francis bacon menempatkan bahan Ontologi
di depan semua ilmu pengetahuan lainnya di dalam buku Instarautio Magna Scientiarum. Ilmu yang
paling umum itu disebutnya Philosophia Prima atau Sophia, tetapi belum disebut Ontologi. Baru Du
Hamel (1681) memberikan nama khusus bagi bagian pertama metafisika, yakni Ontologia, namun
tanpa memisahkannya dari teologi. (6) Baru pada abad ke-18 Christian Wolf membedakan
Metaphysica Generalis, yang disebutnya juga dengan nama Ontologi dan Metaphysica Specialis,
yang meliputi antropologi, kosmologi dan teologi. Pembagian Wolf berlangsung hingga sekarang
(Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum, h. 17-18; bdk. Bela Weissmar, Ontologie, Kohlhammer,
Köln 1991, h. 9-12).

3
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Mengingat bahwa metafisika bekerja berdasarkan data pengalaman, maka perlu


dijelaskan tiga ciri yang terdapat pada objek yang disampaikan kepada saya itu: (1) Sebagai
fakta: Yang saya alami itu adalah suatu faktisitas yang tidak tergantung dari saya. Ia hadir
pada saya sebagai ada dan saya tidak tahu mengapa hadir pada saya. Saya terima sebagai
telah terjadi, dan hadir di hadapan saya sebagai hal yang baru sama sekali, sulit ditebak. Pada
saat pertama, saya tidak melihat keharusan kehadirannya, selain hanya mengafirmasi: „Itu
ada“. (2) Sebagai sesuatu yang kompleks: Sesuatu itu datang dengan berbagai macam segi,
dengan keanekaan bentuk dan seakan-akan menyerang saya dengan keanekaan seginya itu.
Pada saat pertama saya tidak merinci segi-seginya. Saya terima sebagai yang self-evident.
Kehadirannya tidak bisa disangkal, dan mesti diterima begitu saja. Menerimanya adalah
sebuah kemestian, sebab tidak tergantung pada kemauan saya dan saya tidak diberi
kesempatan untuk mengelaknya. (3) Sebagai sesuatu yang dinamis: Sesuatu yang menjadi
fakta dan tidak polos tapi kompleks itu, bukanlah sesutau yang statis. Ia selalu berubah dan
bidang pengalamanku mengikuti perubahannya itu. Pada dasarnya, sesuatu itu sulit dipegang,
selalu terlepas, sebab ia tidak tetap. Sesuatu yang hadir sebagai fakta itu selalu dalam proses
„menjadi“.
Berdasarkan itu, maka metafisika adalah sebuah ilmu yang titik tolak refleksinya tetap
mengenai kenyataan yang dialami. Untuk membedakannya dengan usaha sistematis lainnya
tentang kenyataan empirik, maka kita perlu memperhatikan kekhasan objek material dan
formal metafisika. Objek materialnya adalah ada, dalam arti semua realitas, atau apa saja
yang berada. Metafisika merupakan suatu studi yang unik. Ilmu ini menyangkut realitas
dalam semua bentuk, bukan bagian tertentu dari realitas. Karena ada itu bersifat universal,
maka metafisika bersifat universal pula. Namun itu tidak berarti bahwa ia menyangkal batu
sebagai batu, kambing sebagai kambing, atau manusia sebagai manusia. Ia tetap menerima
semuanya itu sebagaimana adanya. Hanya saja ia mengkaji batu sebagai yang ada, kambing
sebagai yang ada dan manusia sebagai yang ada. Batu, kambing dan manusia dilihat sebagai
pendukung dari ada. Semuanya dilihat sebagai memiliki ada. Dalam hal ini yang kabur pun,
maksudnya walaupun saya belum bisa memberi nama seperti batu, kambing dan manusia itu,
namun tetap merupakan yang ada. Yang ada dan yang hadir itu bersifat universal karena
menyangkut seluruh realitas.
Adapun objek formal Metafisika adalah ens in quantum ens 4(ada sebagai ada).
Metafisika adalah sebuah ilmu tentang ada, tetapi bukan ada seperti pada umumnya kita
temukan pada setiap bentuk pengalaman sensibilis, seperti dalam contoh di atas: ada batu,
ada kambing dan ada manusia. Kita keluarkan dari batu, dari kambing dan dari manusia itu
unsur umumnya, yakni ada. Dalam refleksi metafisika, batu, kambing dan manusia
ditinggalkan, yang diambil hanyalah sifat yang sama dari mereka, yakni bahwa mereka ada.
Itulah sebabnya, metafisika disebut sebagai studi tentang makna dan hakekat dari ada.
Ilmu lain juga berkecimpung dengan ada, akan tetapi mereka menyinggungya secara
implisit, dan karenanya bersifat kabur dan umum. Misalnya, Biologi mempelajari makhluk
hidup, seperti kerbau, babi, manusia. Tentu saja, objek-objek itu hadir sebagai yang ada di
hadapan ilmuwan itu. Hanya saja, dalam ilmu pengetahuan (Biologi) , yang ada hanya dilihat
dari satu segi saja, sementara yang diteliti metafisika adalah hal yang paling sederhana, yakni
ada, namun ada terdapat pada segala sesuatu yang ada. Jika kita mengatakan meja itu keras.
4
Istilah „ada sebagai ada“ merupakan istilah teknis ontologis. Harus dikatakan secara demikian untuk
bisa membedakan dengan pengungkapan bentuk ada itu dalam pelbagai wujudnya, seperti ada
sebagai batu, yang kita sebut secara biasa, cukup dengan mengatakan „batu“ atau „itu batu“. Bentuk
eskpresi „tertentu“ dari ada ada banyak, namun bukan semua bentuk tertentu dari ada itu yang
menjadi objek formal metafisika, melainkan bahwa semua bentuk ekspresi tertentu dari ada itu
hanyalah sebagai titik tolak refleksi untuk bisa menemukan prinsip-prinsip terdalam dari ada. Itulah
yang dimaksud dengan ungkapan „ada sebagai ada“ (ens in quantum ens, atau ens ut ens), yakni
bahwa metafisika hanya melihat ada itu dalam dirinya sendiri (Bela Weissmar, Ontologie, h. 13; bdk.
Lorens Bagus, Metafisika, h. 26).

4
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Yang menjadi soal filsafat ialah bahwa meja itu sebagai yang ada, bukan kerasnya meja itu.
Sebab keras sebagai keras atau keras itu sendiri kita tidak bisa lihat dan karenanya kita juga
tidak bisa mengatakannya bahwa „itu keras“. Keras itu kita kenal hanya melalui sesuatu yang
ada, yang dalam hal ini pada meja. Meja itu diterima sebagai pendukung ada, karena ada
tidak dapat melayang. Kita tidak bisa melihat ada itu sendiri, ada dalam dirinya, selain
melalui sesuatu yang berada. Tetapi ada tetap terdapat di belakang meja, itulah yang menjadi
telaah metafisika. Jadi, objek formalnya adalah ada sebagaimana adanya (ens in quantum
ens), dan bukan ada sebagai ini atau ada sebagai itu.

2.2. Metode Metafisika


Sebagai sebuah pengetahuan sistematis metafisika memiliki metode tertentu. Ia
sebagai filsafat pertama atau filsafat umum, menempati tingkat refleksi tertinggi yang bisa
dicapai akalbudi. Kedudukannya dari segi refleksi lebih tinggi dari ilmu lain. Skolastik
menyebutnya sebagai post et supra physicam. Tetapi itu tidak berarti, metafisika lebih mulia
dari ilmu-ilmu lain. Secara aksiologis semua ilmu dan semua bentuk refleksi sama nilainya
sejauh mereka memperkaya kehidupan manusia yang multi dimensional melalui
sumbangannya masing-masing. Hanya, intensitas penggunaan daya rohani tidak sama untuk
semua ilmu.
Metafisika, bagi Thomas Aquinas, adalah ilmu demonstratif. Metafisika sebagaimana
semua ilmu pengetahuan lainnya bersifat demonstratif, mesti memakai penalaran. Metode
metafisika Skolastik (Thomas Aquinas) adalah reductio. Metode reduksi ini ditemukan dalam
karyanya De Veritate. Kata reduksi dalam metode metafisik adalah khas Thomas. Reduksi ini
sampai kepada asas per se notum (yang dari sendirinya diketahui). Ini bukanlah proses logis
dari penjelasan akan sesuatu, melainkan kembali ke fundamen semua pengetahuan. Prinsip
reduksi adalah per se intellectui nota. Itu berarti, asas-asas itu harus self-evident, harus dari
sendirinya jelas. Asas semacam itu perlu bagi sebuah pengetahuan yang bersifat demonstratif
seperti metafisika. Asas self-evident ini perlu sebagai dasar objektif dalam membuktikan
adanya sesuatu. Tanpa itu kita akan mundur ke akhir yang tak berhingga.
Demonstrasi di sini berarti bahwa adanya sesuatu hanya dimungkinkan oleh adanya
prinsip-prinsip yang mengatasi segala bukti dan penolakan. Di sini tidak perlu ada bukti, juga
bukan soal „engkau menerima atau menolak adanya prinsip-prinsip itu“, sebab mereka sudah
self-evident. Dalam pembahasan Aquinas tentang metode kembali ke fundamen, ke dasar,
kepada prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya bagi intelek, kita temukan tiga hal pokok:
bahwa yang-ada diketahui secara intuitif; bahwa konsep apa saja dijabarkan kepadanya;
bahwa konsep-konsep lain itu hanyalah tambahan dan bentuk ekspresi dari ada.
Pertama, ada itu adalah sesuatu yang sangat jelas (notissimum). Ada itu adalah
primum notum. Jika sesuatu hadir di depan kita dan jika tidak mempunyai konsep untuk itu,
kita pasti bertanya: adakah sesuatu (aliquid)? Konsep ada tidak dapat diperdebatkan. Bukan
bergantung, apakah kita menerima atau tidak tatkala berhadapan dengan suatu realitas. Th.
Aquinas mulai dengan suatu intuisi mengenai ada. Tanpa dasar ini tidak mungkin ilmu
pengetahuan. Di sini tampak metode reduksi Thomas Aquinas menunjukkan fungsinya:
bahwa harus kembali ke dasar. Thomas Aquinas mengantar kita ke asal yang menjadi akar
dari semua pengetahuan: ens in quantum ens. Tetapi pengertian ens in quantum ens (ada
sejauh ada) dalam metafisika tidak sama dengan pengertian ada dalam konteks lain.
Kedua bahwa semua konsep apa saja dijabarkan kepada ada. Ada adalah arah intelek
menjabarkan semua konsep-konsep (in quo omnes conceptiones resolvit intellectus). Intelek
manusia mengembalikan semua konsep pada ada. Semua persoalan konseptual yang
dikerjakan oleh intelek berakar dan bermuara ke sana: ada. Ada adalah awal dan akhir dari
semua konsep. Ia merupakan konsep primordial. Prinsip primum notum berarti bahwa yang
dikenal pertama oleh manusia tidak lain adalah ada. Intelek manusia menangkap pertama-
tama adalah ada. Berpikir tidak lain berarti bahwa orang mulai memikirkan sesuatu sebagai
5
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

yang ada. Ada itu selalu hadir pada seluruh proses berpikir, baik secara implisit maupun
secara eksplisit. Semua pembuktian ilmiah, baik ilmu pengetahuan, filsafat maupun teologi,
memuat dan mengenal selalu yang ada. Konsep ada selalu ada, baik secara implisit maupun
secara eksplisit dalam konsep lain. Karena bagi konsep-konsep lain ada itu adalah dasar.
Ketiga bahwa konsep-konsep lain merupakan tambahan dan bentuk ekspresi dari ada.
(Quid omnes aliae conceptiones intellectus accipiantur est additione ad ens). Itu berarti,
bahwa semua konsep lain yang dimiliki intelek merupakan tambahan pada ada. Kata additio
(tambahan) berarti tambahan sesudah konsep ada. Maksudnya, intelek pertama-tama tahu
tentang ada itu sendiri, sedangkan konsep-konsep lain hanya mengembangkan konsep ada
itu. Yang sedang diketahui intelek sebenarnya tetaplah ada, meski dengan cara yang semakin
dalam. Di sini mau digarisbawahi metode yang cocok untuk metafisika seperti dimaksudkan
Thomas Aquinas, yakni perpaduan antara analisis dan sintesis. Konsep-konsep lain seolah-
olah memilah-milah konsep pokok ada dan memperkaya konsep pokok kita tentang ada.
Singkatnya, konsep-konsep lain hanyalah suatu aktuasi atau perwujudan untuk memperdalam
dan mengembangkan kosep dasar ada. Konsep lain merupakan pengembangan konsep dasar
yang ada.
J.B. Lotz SJ menilai metafisika Thomas Aquinas bersifat antroposentrik. Ia
menyebutnya sebagai antropo-ontologi Ia mengintrodusir istilah ini di dalam metafisika
dengan menekankan dua hal: Pertama, ontologi dan eksistensi manusia mempunyai kaitan
yang sangat erat. Ontologi merupakan penataan realitas yang dialami manusia dalam
eksistensinya. Kedua, manusia sebagai pribadi „disuapi“ oleh kehadiran nyata dari ada. Justru
sejauh sebagai pribadi ia diberi corak oleh kesadaran diri (saya) dan terbuka secara bebas.
Dua aktivitas ini muncul dari manifestasi ada. Jadi, ontologi mempunyai dasar antropologi
dan antropologi memuncak pada ontologi. Masalah metafisika bukanlah penemuan manusia,
melainkan sesuatu yang termuat dalam kenyataan, bahwa manusia adalah makhluk berpikir.
Ada rasionalitas yang bersifat metafisik dalam diri manusia. Rasionalitas metafisik itu tidak
lain daripada semacam mengetahui yang telah-ada, yang sedang-ada dan yang akan-ada.
Heidegger menekankan dan menafsir pandangan metafisik tradisional dari Aristoteles dan Th.
Aquinas ke arah rasionalitas metafisik dalam diri manusia. Heidegger melihat ontologi dasar
sebagai analisis eksistensi dari Dasein.5
Perlu ditambahkan bahwa ada pada manusia, sejauh ia hidup secara manusiawi,
keinginan untuk mengenal segala sesuatu. Ia mau mengenal segala-galanya dengan
seharusnya. Karena saya mau sungguh-sungguh mengenal dan mengerti sesuatu dengan
sepenuhnya, maka saya tidak berhenti pada satu penjelasan, melainkan selalu mencari terus
dan bertanya terus sampai menemukan suatu penjelasan ultim. Adapun metafisika dapat
melayani keinginan yang manusiawi ini. Oleh karena itu metafisika dapat dianggap sebagai
ilmu yang paling manusiawi, karena sesuai dengan unsur yang paling dalam dari psike
manusia.
Kalau dikatakan bahwa metafisika bermaksud mencapai suatu pandangan yang benar-benar
merangkum seluruh realitas tanpa kecuali, suatu pendekatan yang benar-benar total yang menangkap realitas
pada akarnya, maka kita perlu memperhatikan perbedaan berikut ini: bahwa in ordine essendi, jadi dalam
tataran ontologis, yang pertama dikenal manusia adalah Tuhan sebagai sumber dari ada; dan bahwa in ordine
cognoscendi, jadi dalam tataran epistemologis, yang pertama dikenal manusia bukanlah Tuhan melainkan ada.
Mengatakan bahwa objek mengenal yang pertama adalah Tuhan adalah suatu ontologisme.

5
Stegmüller, Hauptrömungen der Gegenwartsphilosohie, Kröner, Stutgart 1989, h. 160-162; Caspar
Nink, Zur Grundlegung der Metaphysik. Das Probelm der Seins- und Gegenstandskosntitution,
Freiburg 1957, h. 221.

6
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

3. Metafisika dan Ilmu Pengetahuan

3.1. Metafisika dan Pengetahuan Biasa


Pertama-tama kita menggarisbawahi perbedaan metafisika dari pengetahuan biasa.
Pengetahuan biasa menyangkut soal ada. Orang mengetahui apa saja, baik yang sudah ada,
maupun yang mungkin ada. Kondisi pengetahuan biasa ialah, bahwa kita tidak bertemu
dengan ada berdasarkan prinsip-prinsip adanya. Kita memang mengetahui sesuatu sebagai
ada namun kita tidak mengetahui secara persis ciri ada dari barang-barang itu. Kita
berhubungan dengan ekstensi, raga, wujud dan bukan ada itu sendiri pada barang-barang
itu. Ada tiga hal perlu dicatat di sini: (1) Dalam pengetahuan biasa kita mengenal ada
dan menerima begitu saja keberadaannya serta menganggapnya sebagai fakta polos yang
tidak membutuhkan banyak penjelasan lebih jauh. Sebaliknya, metafisika justru berusaha
mencari struktur dasar dari ada itu, mencari prinsip-prinsip dasar dan kategori-kategori yang
memperjelas keberdaan itu. (2) Pengetahuan biasa hanya menyangkut ada secara terbatas.
Ada dalam pengetahuan biasa diketahui dalam rupa-rupa ekspresi. Sedangkan metafisika
menyelidiki unsur pemersatu dari keanekaan bentuk ekspresi ada itu. Metafisika mencari tahu
sifat yang umum dari semua, yakni bagaimana ada itu bisa menjadi sama untuk semua. (3)
Pengetahuan biasa mengenai ada hanya terbatas pada tingkat keberadaan empiris. Jika kita
berpikir mengenai ada, tidak lain kita memikirkannya dalam hubungan dengan benda-benda
material-sensibilis. Sebaliknya, metafisika tidak begitu peduli dengan masalah kejasmian
sesuatu. Metafisika menarik dari yang metarial itu suatu yang mengatasi pengalaman
langsung, yakni adanya.

3.2. Metafisika dan Ilmu Pengetahuan


Dari situ kita baru membandingkan metafisika dengan Ilmu Pengetahuan
(Pengetahuan Ilmiah), demi memperjelas kedudukan objek formal metafiska: (1) Ilmu
pengetahuan berkutat dengan sebagian realitas. Ia menyelidiki bagian tertentu dari ada.
Antropologi, misalnya, menyelidiki hanya ada tertentu, yakni manusia dan bukan tentang
seluruh ralitas. Adapun metafisika tidak mempunyai objek partikular seperti itu, melainkan
semua apa saja sejauh ada. (2) Kekhususan metafisika ialah, bahwa ia melihat semuanya
secara menyeluruh, yakni unsur ada yang ada pada semua hal. Karena itu, metafisika, dalam
hubungan dengan Ilmu-ilmu pengetahuan, disebut scientia univeralis (ilmu universal).6 Tetapi
itu tidak berarti, metafisika adalah kumpulan dari ilmu-ilmu pengetahuan partikular,
melainkan bahwa dia memandang segala sesuatu dalam aspek univerasl, yang ada pada segala
sesuatu, yakni aspek adanya, memandang ens ut ens (being as being, being as such).
6
Ilmu-ilmu eksperimental disebut juga scientia particularis, sebab objek telaahnya hanya menyangkut
bidang tertentu realitas. Jika pada ilmu-ilmu itu objek telaahnya terdari objek material dan objek
formal. Kekhasan, yang menjadikan suatu ilmu itu distinkt dari ilmu lainnya terletak dalam objek
formalnya. Sedangkan objek material hanya memberikan keterangan tentang unsur yang umum dari
kelompok ilmu tertentu. Sebagai contoh: Manusia adalah objek material dari serumpun ilmu manusia,
seperti Antropologi, Biologi, Sosiologi, Psikologi. Tetapi, yang membedakan Sosiologi dari Psikologi
adalah pada objek formalnya, telaah khusus berdasarkan aspeknya yang khas. Sosiologi beda dari
psikologi, sebab sosiologi berbicara tentang manusia, tetapi dari aspek sosialnya, sementara
Psikologi juga tentang manusia tetapi dari aspek kejiwaannya. Ada yang umum bagi keduanya ialah
tetap mengenai manusia (objek formal), dan yang khusus bagi mereka berdua (aspek telaah) itulah
objek formal. Itulah yang disebut, bahwa kekhususan adalah objek formal dan keumuman adalah
objek material.
Demikian tentang ilmu-ilmu eksperimental (scientia particularis). Lain halnya metafisika sebagai
scientia universalis, kekhususan metafisika justru terletak pada keumumannya. Ia menelaah bukan
yang khusus melainkan yang umum. Sesuatu yang paradoksal: Keumuman merupakan kekhusuan
metafisika. Kekhususan metafisika justru terletak pada telaahnya tentang yang umum, yang ada
pada segala apa saja sejauh ada.

7
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Kelirulah, kalau melihat metafisika sebagai penjumlahan ilmu-ilmu pengetahuan. (3)


Metafisika memandang hal-hal dalam cahaya sebab-sebab yang univerasl dan terdalam, dan
oleh karena itu ia merupakan ilmu yang tertinggi, karena ilmu-ilmu pengetahuan lain
memandang hanya fenomen-fenomen dan sebab-sebab yang terdekat. Dengan demikian
metafisika tidak sederajad dengan ilmu (partikular) lain itu.
Untuk mempertegas perbedaan itu kita melihat juga kedudukan metafisika dalam
tataran abtsraksi, dimana abstraksi-metafisika menduduki tingkat tertinggi (terakhir). Untuk
itu, kita perlu catat dulu, bahwa pengalaman adalah titik tolak pengetahuan ilmiah, sebab
seluruh pengetahuan manusia pada akhirnya bertolak dari dunia empiris. Setiap pengetahuan
berangkat dari data pengalaman indrawi. Dari sana baru muncul aktivitas intelektual dalam
bentuk abstraksi. Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tak sesuatu pun ada
dalam pikiran tanpa melalui indera). Di sini mau digambarkan bahwa mengetahui lewat
akalbudi berarti mengadakan abstraksi materi yang diterima oleh pengalaman. Masing-
masing bentuk abstraksi tidak sama derajadnya. Terdapat semacam hirarki pengetahuan,
karena terdapat jenjang abstraksi. Tipe pengetahuan berdasarkan abstraksi, menurut
Aristoteles dan Aquinas, ada tiga, fisika, matematika dan metafisika.

4. Metafisika dan Disiplin-disiplin Filsafat


Adalah keliru mengatakan, bahwa hanya metafisika layak disebut filsafat, atau
mengatakan bahwa filsafat tidak lain daripada Metafisika. Benar, bahwa metafisika adalah
Filsafat Pertama, dan bahwa bagian-bagian lain dari filsafat adalah bawahan dalam
hubungannya dengan metafisika. Namun mereka itu bukanlah bagian-bagian dari metafisika,
karena cabang-cabang filsafat itu memliki objek formalnya sendiri-sendiri. Juga keliru, kalau
melihat bahwa tidak ada hubungan antara metafisika dan cabang-cabang lain filsafat.
Bagaimana pun tetap ada hubungan yang langsung dan sangat erat antara metafisika dan
cabang-cabang lain filsafat, dimana hubungan semacam itu tidak terdapat antara metafisika
dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Semua cabang filsafat lain bersandar pada metafisika:
1) Filsafat Alam: Cabang ini menyelidiki dunia metarial, yang dipandang sebagai entia
atau barang yang dikuasai oleh gerak dan perubahan. Satu dari masalah utamanya adalah
struktur terdalam dan essensi dari materi. Dia juga menyelidiki sebab-sebab gerak dan
hakekat dari waktu dan ruang. Di dalam Metafisika Dasar justru dibahas prinsip-prinsip
yang dipakai dalam Kosmologi (filsafat alam). Hubungan ini menjadi cukup jelas, kalau
kita memperhatikan pembagian metafisika dari Christian Wolf: Metafisika Dasar
(Ontologi) dan Metafisika Khusus (Kosmologi, Antropologi dan Teologi Natural).
2) Filsafat Manusia: Cabang ini, pada taraf yang lebih rendah, mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan filsafat alam, dan pada taraf yang paling tinggi/dasar, mempunyai
hubungan dengan metafisika. Seturut pembagian Wolf, jelas bahwa Filsafat Manusia
(Anthropologia Metaphisica) ada hubungan erat dengan metafisika, sebab Filsafat Manusia
merupakan metafisika khusus, yang mencari pemahaman fundamental tentang manusia
sebagai yang ada yang berkesadaran.
3) Filsafat Ketuhanan: Christian Wolf menyebut Teologi Natural (Filsafat Ketuhanan)
sebagai Metaphysica Specialis. Objeknya adalah eksistensi dan essensi dari ada yang tidak
diadakan, yakni Tuhan. Oleh karena itu Teologi Natural merupakan aplikasi prinsip-
prinsip umum tentang being bagi Being yang istimewa itu. Tetapi dari pihak lain Being
istimewa itu, dalam arti tertentu, melengkapi metafisika, karena Dia sebagai pencipta dari
segala-galanya, Dia yang mendasari segala ada lainnya. Namun perlu juga diingat, bahwa
metafisika turut membantu Filsafat Ketuhanan karena dalam memandang objek khususnya
ia juga memakai prinsip-prinsip metafisika.
4) Filsafat Pengetahuan: Cabang ini menyelidiki essensi dan syarat-syarat kegiatan
manusia yang khas, yakni mengenal: apa itu mengenal, apakah manusia mampu mencapai

8
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

pengetahuan yang benar, apa syarat-syarat dan batas-batas pengetahuan itu. Hubungan
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) dengan Metafisika dapat digambarkan demikian:
Mengenal adalah suatu cara berada yang khas pada manusia. Adapun cara berada (modus
essendi) merupakan salah satu pokok bahasan metafisika. Hubungan mereka juga terletak
dalam kenyataan, bahwa keduanya mempunyai titik tolak yang sama, yakni ada.
5) Filsafat Moral: Disiplin ini berhubungan dengan kegiatan khas lainnya, yakni
kegiatan yang bebas berdasarkan kehendak. Objek material etika adalah actus humanus,
yakni perbuatan yang berada di bawah kontrol kehendak yang bebas. Objek formalnya
adalah kelurusan perbuatan itu. Suatu perbuatan dinilai lurus kalau perbuatan itu terarah
kepada tujuan manusia, yakni kesempurnaan manusia. Jadi, etika membahas prinsip-
prinsip perbuatan manusia sebagai perbuatan baik atau buruk. Perbuatan baik adalah
perbuatan yang sesuai dengan kodrat manusia dan memajukan kesempurnaan manusia.
Tetapi dalam membentuk prinsip-prinsipnya, filsafat moral terutama bergantung dari
metafisika, karena perbuatan itu adalah suatu being, dan ia juga bergantung dari filsafat
manusia sebab subyek perbuatan itu adalah manusia.
6) Cabang Filsafat khusus: Dari cabang-cabang yang disebutkan di atas masih
dijabarkan lebih khusus lagi dalam bentuk: filsafat pendidikan, filsafat kebudayaan,
filsafat sosial, filsafat politik. Pelbagai jenis cabang khusus itu menjadi mungkin, karena
semua ilmuwan mengandaikan suatu rasionalitas mengenai esensi objek spesifik yang
ditelitinya. Tetapi bukanlah tugas mereka untuk mentematisir dan mencari penjelasan
mengenai pemahaman rasional itu. Pemahaman itu sudah merupakan metafisika, walau
hanya secara implisit.
7) Logika: Dalam arti tegas (in sensu stricto) logika tidak merupakan bagian filsafat,
karena objeknya bukan tentang ada tapi tentang jalan pikiran. Ia hanya berurusan dengan
forma pikiran. Ia berurusan dengan teknik berpikir lurus dan benar, tidak mengenai
kebenaran dalam dirinya sendiri. Masalah kebenaran merupakan objek pembahasan filsafat
pengetahuan. Tetapi karena pikiran itu tidak muncul begitu saja dalam intelek manusia
tanpa bertolak dari realitas, maka bagaimanapun logika tetap punya hubungan dengan
realitas yang ada. Karena itu logika tetap tidak terlepas dari Metafisika.

5. Metafisika dan Teologi


Teologi adalah ilmu dan metafisika juga adalah ilmu, sebab keduanya memakai
demonstratio (pembuktian). Letak perbedaannya adalah bahwa metafisika bertolak dari
prinsip-prinsip, bertolak dari kebenaran-kebenaran yang dicapai oleh budi manusia dan yang
evident secara langsung, sedangkan teologi bertolak dari prinsip-prinsip atau kebenaran-
kebenaran yang Tuhan wahyukan. Sangat jelas kita lihat letak perbedaan itu, manakala kita
perhatikan posisi metafisika khusus filsafat ketuhanan dan teologi: (1) Berdasarkan objectum
formale quod: Objek teologi adalah Tuhan, tetapi sejauh Tuhan dilihat dari dirinya sendiri
dan juga tentang dunia yakni sejauh dunia itu ada hubungan dengan Tuhan. Sedangkan
dalam Filsafat Ketuhanan, Tuhan adalah objek tetapi di situ Tuhan dilihat sebagai sebab dari
segala sesuatu dan dunia juga adalah objeknya sejauh dilihat hubungannya dengan Tuhan. (2)
Berdasarkan objectum formale quo: Dalam teologi sarana yang dipakai adalah budi dan
wahyu, sementara dalam filsafat ketuhanan yang dipakai hanya budi. Oleh karena itu, teologi
menghasilkan refleksi lebih kaya dan pasti daripada filsafat ketuhanan.
Perbedaan antara filsafat (metafisika) dan teologi jelas terbaca, manakala keduanya
berbicara tentang Allah. Filsafat mengambil Allah sebagai titik akhir atau kesimpulan dari
seluruh uraiannya, sedangkan teologi justru memandang Allah sebagai titik awal
pembahasannya. Filsafat memahami Allah sebagai sebab pertama alam semesta. Filsafat
tidak dapat menjelaskan Allah dalam diriNya sendiri. Ia baru bisa mengatakan bahwa tidak
bisa tidak harus ada sebab yang tidak disebabkan dan itulah Allah, setelah ia melakukan

9
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

penelusuran sebab-sebab terbatas. Filsafat Ketuhanan hanya menggarisbawahi, bila tidak ada
sebab pertama yang tidak disebabkan, maka kedudukan barang-barang kontingen menjadi
tidak inteligibilis. Sedang Teologi berusaha menjelaskan hakikat Allah dengan seluruh
misteriNya berdasarkan wahyu.
Perlu diakui juga, bahwa hubungan antara budi dan iman sangat kompleks dan
misterius. Di sini cukup kita memperhatikan, bahwa hubungan itu sangat erat dan bahwa
berdasarkan sejarah filsafat, jelas bahwa iman, wahyu dan teologi sangat penting bagi
perkembangan filsafat. Wahyu di mata filsafat adalah norma negativa. Maksudnya, kalau
suatu kesimpulan filosofis bertentangan dengan wahyu, maka kesimpulan filsafat itu harus
dipandang sebagai keliru, sebab adalah tidak mungkin bahwa wahyu itu keliru karena Tuhan
sendiri yang mengatakannya, sedangkan bisa terjadi bahwa manusia bisa membuat kesalahan
dalam menarik kesimpulan itu. Wahyu juga mempunyai peran positip berhubungan dengan
filsafat, yakni ia bisa menunjukkan jalan menuju kebenaran yang dulu tidak dipikirkan.

6. Sikap dan Pandangan tentang Metafisika

6.1. Keengganan Bermetafisika


Di tengah kemajuan dunia moderen berkat teknologi, metafisika menjadi tidak
mempunyai tempatnya lagi. Ia dipandang sebagai ilmu yang lesu dan mati, kerena itu tidak
perlu lagi dipelajari. Kematian itu dikukuhkan lagi oleh minat semakin besar pada hal-hal
yang cepat selesai, yang bisa langsung dirasakan hasilnya. Padahal metafisika tidak pernah
menunjukkan hasil yang langsung. Ia merupakan ilmu yang menantang arus, dan
membutuhkan suatu ketekunan dan displin diri yang tinggi. Sementara itu minat ilmiah hanya
beroreintasi pada pencapaian bukti positif. Minat ini datang dari kecenderungan manusia
modern yang mendapat pengaruh yang kuat dari teknologi, di mana setiap hasil studi harus
bisa diukur. Semuanya perlu dibuktikan. Pengertian dibuktikan ini dipersempit lagi menjadi
dapat diukur. Tentu saja metafisika tidak dapat memenuhi kebutuhan ini, karena metafisika
membahas masalah yang umum dan tidak praktis. Bersamaan dengan itu datang suatu
pandangan yang keliru tentang metafisika itu sendiri, bahwa metafisika adalah khayalan dan
imajinasi. Metafisika penuh dengan istilah-istilah yang sulit dipahami dan bersifat esoterik.
Akhirnya, keengganan bermetafisika diperkuat oleh kenyataan dalam kegiatan bermetafisika
yang membutuhkan suatu konsentrasi penuh dalam mengadakan abstraksi metafisik. Di sini
orang perlu mengatur konsentrasi tenaga intelektual.
Berkaitan dengan pandangan yang mengatakan bahwa metafisika adalah imajinasi,
maka adalah perlu kita perlihatkan hubungan yang ada antara metafisika dan imajinasi.
Seperti disinggung di atas, objek metafisika adalah ada pada umumnya. Ia tidak
menghiraukan barang material-individual, yang konkret. Imajinasi, sebaliknya, selalu
menggambarkan barang material, konkret dan indivdiual. Oleh karena itu sudah dapat dilihat
bahwa ada suatu pertentangan antara imajinasi dan metafisika. Hubungan itu dapat dijelaskan
demikian: (1) Perlu diakui, bahwa manusia itu sulit untuk berpikir secara murni, atau
katakanlah, pada umumnya orang malas berpikir. Dalam kondisi ini imajinasi selalu rela
mengambil peranan pikiran. Oleh karena yang dibayangkan dalam imajinasi itu selalu
konkret, sedangkan yang dipikirkan (metafisika) selalu kurang lebih abstrak, maka orang
dengan mudah mengakui apa yang ia bayangkan sebagai sesuatu yang riil dan yang
dipikirkannya justru dianggapnya sebagai tidak riil. Di sini dengan gampang orang ditipu oleh
imajinasi. (2) Perlu juga diakui, bahwa sering kali dalam usaha menjelaskan soal filosofis
dipakai gambaran, metafora, yang berdasarkan dan bersandar pada imajinasi. Orang yang
mendengar penjelasan-penjelasan dengan menggunakan metafora mendapat kesan, bahwa
gambaran-gambaran dari metafora itu menolongnya untuk maju dalam mengerti soal-soal
metafisik.

10
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

6.2. Pandangan Tentang Metafisika


Pandangan tentang metafisika bergantung dari sikap epistemologis, yakni tentang
kemampuan budi manusia untuk mengenal kenyataan. Menurut Empirisme, Positivisme dan
Kritisisme Kant, bahwa manusia hanya mengenal fenomen. Oleh karena itu metafisika tidak
mungkin. Metafisika itu tidak ada, karena objeknya bukanlah fenomen-fenomen melainkan
„hal dalam dirinya sendiri“ (das Ding an sich). Anggapan seperti ini menjadi cukup radikal
pada Neo-positivisme Sekolah Wina dan Filsafat Analitik. Mereka menolak metafisika sebab
soal-soal yang dibahasnya hanya ucapan yang tidak memiliki makna sebagai akibat salah
penggunaan bahasa.
Sementara Skeptisisme berargumentasi, bahwa tidak ada apa-apa yang benar, tidak
ada suatau apa pun yang pasti. Oleh karena itu mereka menganggap metafisika sebagai suatu
ideologi saja. Ideologi biasanya mempunyai arti negatip dan dalam hal itu berarti suatu
sistem, pandangan tentang realitas yang manusia bentuk sesuai dengan kepentingan-
kepentingannya sendiri, dan biasanya kepentingan suatu golongan atau klas untuk
membenarkan pandangan mereka. Dengan kata lain, ideologi adalah suatu interpretasi atas
realitas yang dibuat dengan maksud untuk membela atau membenarkan kepentingan klas
tertentu.
Menurut suatu pandangan pragmatis, hidup manusia dapat dianggap sebagai suatu
karya berisi, kalau hidup penuh dengan banyak kegiatan yang menghasilkan barang, padahal
metafisika sama sekali tidak menghasilkan barang apa pun; metafisika bersifat kontemplatif
dan tidak menghasilkan barang-barang material. Oleh karena itu metafisika dipandang
sebagai suatu lamunan, suatu mimpi atas nama aktivitas filosofis-intelektual yang tidak
mempunyai dasarnya dalam realitas.
Tentu benar bahwa metafisika tidak menuntut banyak kegiatan. Akan tetapi nilai
hidup manusia tidak bergantung dari kegiatan-kegiatan itu saja, melainkan dari kesanggupan-
kesanggupan yang merupakan sumber bagi kegiatan (ekstern) itu dan justru kesanggupan itu
menentukan nilai dari kegiatan itu. Hidup manusia mencapai puncaknya kalau diaktipkan
kesanggupan-kesanggupan yang tertinggi mengenai objek yang tertinggi. Kesanggupan
tertinggi itu adalah intelek dan kehendak, dan objek tertinggi adalah ens absolutum (ada
mutlak). Adapun metafisika adalah jalan atau usaha untuk mencapai objek yang utama itu
dengan mengaktipkan budi dan kehendak. Jadi, menyibukkan diri dengan metafisika adalah
suatu cara hidup manusiawi yang sangat tinggi, karena kegiatan itu mengaktipkan
kesanggupan-kesanggupan yang tertinggi berhubungan dengan objek yang tertinggi.

7. Aktualitas dan Relevansi Metafisika


Metafisika, pada dasarnya, selalu aktual karena ia berusaha menyelidiki dan memberi
dasar serta menunjukkan jalan menuju kepada pemecahan soal yang paling fundamental
dalam hidup manusia yang selalu berusaha mengerti apa arti terdalam dari dunia ini: dari
mana manusia datang dan ke mana ia akan pergi. Adapun segala ilmu lain terlebih ilmu-ilmu
manusia selalu mengandaikan suatu pandangan metafisik. Karena itu kalau mereka (para
ilmuwan sosial itu) menolak metafisika, namun secara implisit mereka tetap menerima
beberapa unsur-unsur dasar metafisik. Walaupun kepercayaan itu bersifat implisit saja, akan
tetapi pengaruhnya dapat sangat besar, justru karena tidak disadari.
Yang berlaku untuk ilmu pada umumnya, berlaku secara istimewa untuk teologi
(intellectus fidei) dan juga pada umumnya tentang segala pengetahuan mengenai realitas ilahi.
Tanpa suatu metafisika yang benar, maka orang tidak dapat membuktikan adanya Tuhan,
tidak bisa mencapai suatu pengetahuan yang benar tentang kodratNya dan tentang
hubunganNya dengan dunia dan manusia. Itu berlaku terutama mengenai agama kristen,
seperti mengenai: Misteri Sanctissima Trinitas, misteri Inkarnasi, partisipasi manusia dalam
hidup ilahi dan tentang sakramen-sakramen. Tanpa suatu konsep tentang ens, analogia,

11
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

participatio, maka ada bahaya bahwa dapat muncul Pantheisme, Deisme dan
Antrhropomorfisme.
Kebutuhan akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia.
Manusia adalah makhluk rasional; ia mau merenungkan kehidupan secara mendasar. Ini
menandakan bahwa manusia tidak mau jatuh dalam kekinian dan terbelenggu oleh kondisi
dan keadaan kekiniannya itu. Tetapi biarpun orang sama-sama bermetafisika, mereka sering
sampai pada metafisika yang tidak seragam. Metafisika tertentu mempengaruhi pemikiran
tertentu pula. Lebih jauh, metafisika memenuhi kebutuhan dasar intelektual manusia, yakni
keinginan untuk mencapai pengertian tentang kesatuan alam raya dalam keanekaannya.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa manusia itu adalah makhluk metafisik, dalam arti, ia mampu
berpikir. Ia tidak saja sanggup memikirkan dan memahami apa yang ditampilkan kepada
indranya, tetapi ia bisa berbuat lebih dari itu, yakni ia bisa mengatasi semua yang dindrai.
Manusia tidak hanya mampu melihat sebuah pohon di hadapannya, melainkan ia juga mampu
melihat sesuatu di balik pohon itu, yakni bahwa pohon itu tidak bisa tidak sebagai sesuatu
yang-ada. Jadi, pada hakekatnya manusia itu bersifat metafisik. Daya yang mengatasi yang
kodrati itu disebut daya rohani. Itulah sebabnya manusia itu juga disebut homo additus
naturae. Dalam aktus mengenal yang eksistensial ia bisa melampaui alam yang fisis-material.

8. Kesulitan Mempelajari Metafisika


Kesulitan objektif: Kesulitan mempelajari metafisika, dalam arti tertentu sangat
sederhana tetapi tidak berarti, bahwa itu merupakan hal gampang bagi intelek, sebab justru
apa yang sederhana merupakan yang paling sulit bagi manusia. Salah satu prinsip metafisik
mengatakan, bahwa semakin sesuatu sederhana, semakin sulit untuk dimengerti. Berbeda
dengan prinsip epistemologis pada ilmu-ilmu eksperimental, dimana kalau objeknya semakin
sederhana justru semakin mudah dipahami, dan semakin kompleks objeknya maka semakin
sulit dimengerti.
Proses pengetahuan manusia umumnya mengenal tiga tahap: Pertama-tama orang
menangkap suatu objek secara umum dan kabur; kedua ia berusaha mengungkapkan objek itu
melalui banyak pengertian. Itulah tahap analisis. Kemudian (ketiga) intelek mamandang
objeknya sekali lagi secara umum tetapi sebagai suatu struktur yang terdiri dari unsur-unsur
yang dipersatukan. Itulah tahap sintesis yang paling tinggi dan biasanya paling sulit dicapai.
Proses yang sama dipakai dalam metafisika. Namun di sini bagi pemula yang
bermetafisika ada suatu kesulitan besar dan paradoksal. Tahap awal adalah mencapai bukan
pengertian tetapi suatu pandangan tentang ada, di situ ia menjadi sadar akan aspek terdalam
dari segala-galanya. Namun pada permulaan sulit dicapai. Oleh karena itu banyak kali terjadi,
memang terpaksa terjadi, bahwa orang mengikuti pembahasan-pembhasan tentang ada tanpa
menangkap dengan sepenuhnya apa itu ada itu sendiri. Mungkin dia baru akan mengerti apa
itu ada di tengah proses. Diharapkan, bahwa dia akan mengerti apa itu ada pada akhir kursus.
Sebelum ia mencapai penerangan itu, maka jalan satu-satunya yang bijaksana adalah
mengikuti uraian-uraian dengan percaya, bahwa apa yang dibicarakan itu sungguh-sungguh
berarti, benar-benar berdasarkan realitas. Di sini kita perlu dengan rendah hati mengakui
keterbatasan kita.
Kesulitan subjektif: Kesulitan subjektif merupakan suatu kesulitan eksistensial,
merupakan suatu fakta yang dialami. Ini berlaku bagi segala pendidikan. Kalau kita menerima
sesuatu yang benar-benar baru dengan hati yang sungguh terbuka, maka pada permulaan
proses itu kita mengalami bahwa kita kehilangan sesuatu. Orang yang selalu sadar akan
kontingensinya tidak mau kehilangan apa-apa dari apa yang ia sudah miliki sekarang. Ada
suatu resistensi dalam belajar.
Dari aspek perkembangan psikologis dapat dijelaskan demikian. Pada manusia, secara
otomatis dan spontan, badan berkembang lebih dahulu daripada jiwa, jika syarat tertentu
dipenuhi. Lagi pula perkembangan badan itu mau mempengaruhi dan menentukan
12
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

perkembangan rohani dan membawa manusia bertindak sebagai binatang. Perkembangan


rohani mulai kemudian dan merupakan hasil kerjasama antara si anak didik dan pendidiknya.
Jadi pendidikan dalam arti tertentu merupakan perjuangan antara badan dan jiwa, unsur
binatang dan unsur manusia, karena jiwa berusaha menghapuskan cara bertindak seperti
binatang. Kemajuan dalam pendidikan mengakibatkan kekalahan bagi unsur binatangnya,
karena dulu dialah yang pertama, yang menguasai, sekarang dialah yang kedua karena
menerima bimbingan dari jiwa.
Dengan bemetafisika, orang dapat mengalami suatu positive desintegration
(kehancuran yang positip). Supaya dapat berkembang, bertumbuh, maka unsur yang lama
padanya tidak binasa dalam arti yang tegas, melainkan menjadi bahan untuk pembentukan
struktur yang baru, menerima fungsi yang lebih tinggi. Unsur yang baru itu memiliki nilai
lebih tinggi: Karena itu disebut positive desintegration. Hukum ini berlaku untuk semua
macam pendidikan. Orang harus meninggalkan kebiasaan primitip untuk mencapai
pengetahuan yang lebih tinggi dan lebih murni.

13
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Bab 2
Prinsip-prinsip Ada

Apa yang merupakan unsur terdalam dari realitas? Atau, apa yang membuat sesuatu
itu benar-benar riil ada, sehingga bisa dibedakan dari yang mungkin saja? Ada macam-
macam jawaban. Ada dua jawaban. Jawaban pertama mengatakan bahwa yang paling rill
adalah perubahan, sebab perubahan ada terus-menerus sedangkan yang lain tidak.
Jawaban kedua mengatakan sebaliknya yakni bahwa hanya yang tinggal tetap itulah yang
paling riil.
Untuk menjawab soal ini kita bertolak dari pengalaman tentang barang material.
Pada benda material terdapat sesuatu yang sangat nyata dan umum yakni bahwa mereka
ada dan bahwa mereka juga berubah. Dan tentang soal perubahan dijawab oleh Aristoteles
dengan membuat distinksi ens in potentia dan ens in actu.
Setelah ditemukan, bahwa perubahan itu adalah riil namun sejauh berhubungan
dengan sesuatu yang ada, maksudnya bahwa tidak ada perubahan sebagai perubahan
selain sesuatu yang berubah, maka kita akan memperlihatkan bagaimana teori umum itu
dipakai untuk menerangkan kenyataan perubahan aksidental dan perubahan substansial. Di
sini kita butuh prinsip materia-forma. Barang-barang yang berubah itu merupakan suatu
komposisi dari substantia-accidentia, dan secara mendasar merupakan suatu komposisi dari
materia-prima-forma substantialis. Akan tetapi, kedua unsur ini tidak bisa sebagai jawaban
atas pertanyaan: apa yang membuat barang-barang itu benar-benar riil? Sebab, paduan
keduanya hanya menjawab pertanyaan tentang essentia sesuatu. Esensi memang penting
sebagai prinsip ens, namun tidak membuat sesuatu itu menjadi riil. Untuk itulah kita kaitkan
pengetahuan tentang essensi dan eksistensi. Eksistensi adalah aktus melalui mana sesuatu
bersama dengan segala kekhasannya berada.

1. Ada adalah Dasar


Ada adalah dasar segala realitas, dasar dalam mengenal, dasar dalam berpikir dan
bahasa, namun hal itu kurang disadari. Itulah paradoksnya. Adanya ada itu hanya diakui
secara implisit dalam aktivitas berpikir, aktivitas mengenal.
Ada adalah paling dasariah dalam realitas. Segala apa saja ada arti sejauh sesuatu itu
ada: sesuatu ada atau tidak ada, kalau tidak ada maka tidak ada arti dan tidak ada guna untuk
memikirkannya. Hal-hal seperti, besar, makan, manusia, tertawa, dasarnya adalah ada. Jika
ada ini ditiadakan, maka segala yang lain tidak terjadi atau tidak ada. Besar sebagai besar
atau besar itu sendiri, besar dalam dirinya sendiri, kita tidak bisa kenal adanya, kita tidak
bisa tahu, selain melalui atau di dalam sesuatu sebagai yang ada. Besar tidak lain adalah
sesuatu yang „besar“. Demikian pula makan, kita tidak bisa kenal makan sebagai makan,
makan dalam dirinya sendiri, selain pada sesuatu yang ada yang melakukan kegiatan makan.
Jadi harus ada sesuatu atau seseorang, tanpa itu maka makan itu sendiri kita tidak
menangkapnya. Singkatnya, ada itu memberikan eksistensi kepada apa saja, memberikan
keberadaan kepada yang lain. Yang lain tidak perlu atau tidak harus ada, dapat dihapuskan,
akan tetapi ada harus tinggal tetap.
Dalam aktus mengenal, ada juga merupakan yang paling dasariah. Yang dikenal
pertama-tama oleh budi adalah esse, ada sesuatu. Sesudah mengenal bahwa sesuatu ada
barulah manusia mengatakan ada sesuatu „sebagai ini“ dan „sebagai itu“: ada manusia, itu

14
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Markus, Petrus makan, Maria tersenyum, Frater Markus menari. Dasar pertama yang
memungkinkan aktus mengenal manusia adalah ada. Manusia tidak bisa mengenal sesuatu
yang tidak ada atau ketiadaan itu sendiri. Pengetahuan kita tentang ketidakadaan itu disadari
hanya sebagai suatu negasi dari ada. Jadi, dalam cahaya ada sebagai sumber mengenal
manusia kita bisa mengenal yang lain.
Ada juga merupakan dasar dari pemikiran dan bahasa. Pikiran yang lengkap terdapat
dalam putusan. Dalam putusan itu dikatakan, bahwa sesuatu ada atau tidak ada (afirmasi dan
negasi). Itu berarti, bahwa dengan sesuatu yang ada dalam pikiranku, sesuai dengan
kenyataan. Sesuatu itu dikatakan ada berarti hal itu sesuai dengan kenyataan, itulah afirmasi.
Sesuatu dikatakan tidak ada berarti hal itu tidak sesuai dengan kenyataan, itulah negasi. Oleh
karena itu copula „adalah“ yang menghubungkan S-P (subjek-predikat) dinamakan forma
putusan. Forma di sini tidak berarti figura.Tanpa dihubungkan melalui „adalah“, maka S dan
P merupakan suatu bahan yang potensial saja.
Sebenarnya segala kata kerja dapat direduksi kepada kata ada ini. Semua kata kerja
hanya mengungkapkan suatu cara tertentu dari ada. „Saya berdiri“ itu tidak bisa tidak
sebagai berarti saya ada dalam keadaan berdiri. Sebab tidak mungkin, bahwa saya tidak ada
tetapi berdiri. Apa yang berdiri, seandainya Subjek „saya“ itu tidak ada. Jadi, lenyapnya
subyek saya di sini dengan sendirinya melenyapkan „berdiri“ itu sendiri. Berdiri sebagai
berdiri atau berdiri itu sendiri tidak bisa terjadi, dan karenanya kita tidak membuat afirmasi
ataupun negasi tentangnya. Bahwa segala kata kerja direduksi kepada kata ada, sangat nyata
dalam bahasa Barat seperti bahasa Inggris, Jerman, Latin.
Paradoks ada ini terjadi karena beberapa alasan berikut: (1) Ada tak bisa
didefinisikan, sebab dalam arti yang tegas (definisi riil esensial), berarti menempatkan sesuatu
dalam batasan. Mendefinisikan berarti membuat batas sesuatu, dan itu berarti membedakan
satu dari yang lain. Akan tetapi di samping ada tidak ada yang lain selain tidak ada. Yang
ada selain ada hanya tidak ada, hanya nihil. Segala yang ada kalau dipandang dari aspek ada,
maka hanya berbeda menurut „lebih“ dan „kurang“ ada. Misalnya, ada pada manusia adalah
ada contingen, karena itu bagi manusia harus dikatakan, bahwa manusia itu „tidak harus ada“
seperti ens neccesarium (ada mutlak) melainkan makhluk yang „boleh ada“ (ens contingens).
Ketidakharus-adaannya terbukti pada kenyataan, bahwa dulu dia pernah tidak ada (belum
lahir) dan kelak akan juga menjadi tidak ada (mati). Karena itu esensinya bukan berada,
sebagaimana halnya Tuhan, dimana esensiNya adalah berada. Tentang Tuhan harus
dikatakan, bahwa essensi dan eksistensiNya adalah identik. Essensi Tuhan adalah berada.
(2) Ada tidak pernah dalam keadaan murni, melainkan selalu dalam suatu benda yang kita
tangkap. Dan benda yang kita tangkap itu tak terbatas banyaknya dengan segala cara
beradanya (modus essendi) yang berbeda-beda.

2. Perubahan sebagai Titik-tolak

2.1. Duduk Soalnya


Berdasarkan pengalaman kita tahu bahwa barang-barang „berubah“. Perubahan adalah
data primer dalam kesadaran kita. Menyangkal realitas perubahan sama dengan menyangkal
kesaksian yang eviden dari pengalaman kita atau kesadaran kita. Tentu saya tidak bisa
sangkal kenyataan bahwa dulu saya kecil dan belum beruban dan sekarang menjadi dewasa
dengan rambut putih. Itulah suatu kenyataan perubahan yang saya alami dalam diri saya.
Akan tetapi juga saya mengalami adanya perubahan pada benda-benda yang ada di luar saya.
Segala objek yang diberikan dalam pengalaman merupakan subjek perubahan.
Perubahan adalah kenyataan universal di dunia material. Akan tetapi kita tidak mempunyai
pengalaman tentang perubuahan murni. Kita tidak mempunyai pengalaman mengenai
perubahan sebagai perubahan atau perubahan itu sendiri tanpa suatu subjek. Pengalaman kita
15
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

tentang perubahan adalah selalu suatu pengalaman yang konkret tentang sesuatu yang
berubah. Jadi, dalam perubahan ada sesuatu yang berubah dan ada sesuatu yang tinggal.
Yang menjadi persoalan dalam menerima realitas perubahan adalah, bagaimana kita
bisa menyesuaikan kenyataan adanya perubahan dengan prinsip identitas dan prinsip non-
kontradiksi. Kalau berubah berarti menjadi lain, maka asas non-kontradiksi dan asas identitas
menjadi tidak berlaku. Sebenarnya di sini ada dua hal yang riil: bahwa identitas itu riil dan
bahwa perubahan itu juga riil. Prinsip identitas mengatakan: Apa saja selalu identik dengan
dirinya sendiri. „Batu ini adalah batu ini“. Tidak bisa, „batu ini adalah batu itu“. „A adalah
A“. Tidak bisa A adalah sekaligus B. Asas identitas merupakan sesuatu yang riil dalam objek
pengalaman. Si individu Markus haruslah tetap si Markus yang demikian, tidak bisa menjadi
seorang Markus yang Yohanes. Pada pokoknya asas identitas merupakan pemahaman pertama
mengenai sesuatu yang ada. Tetapi ternyata, sesuatu yang ada itu tidak tetap, ia bisa berubah,
ia bisa menjadi lain. Ia berubah. Perubahan itu juga riil adanya. Pohon mangga di depan
fakultas filsafat dulu kecil, sekarang besar. Dulu pohon mangga itu belum berbuah, tetapi
sekarang berbuah dan buahnya lebat. Tetapi ia tidak bisa berubah di luar kemungkinan yang
diijinkan oleh essensinya untuk berubah, sehingga pada waktu tua pohon mangga itu tidak
menghasilkan buah pepaya, melainkan ia berubah menjadi pohon yang besar yang
menghasilkan buah mangga.
Lalu, bagaimana kita dapat menegasi yang satu dan mengafirmasi yang lain;
bagaimana kita menerima realitas perubahan dengan menyangkal adanya asas identitas, atau
menerima identitas yang berarti sekaligus menolak kenyataan perubahan yang justru juga
merupakan objek pengalaman. Pertanyaan yang sesuai untuk soal ini ialah, bagaimana kita
menjelaskan kenyataan perubahan itu tanpa harus menyangkal asas identitas. Dengan kata
lain kita harus menerima realitas bahwa sesuatu itu berubah, namun ia senantiasa juga tetap.

2.2. Beberapa Jawaban dalam Filsafat Yunani

2.2.1. Heraklitos
Heraklitos mengakui realitas perubahan sebagai dasar terdalam realitas. Ia mengakui
kenyataan bahwa sesuatu itu berubah, dan itu merupakan suatu evidensi langsung dalam
pengalaman. Evidensi itu tak dapat disangkal, bahwa di dunia sesuatu berubah dan tidak ada
apa-apa yang tetap. Segalanya mengalir bagaikan air (pantha rei). Perubahan adalah
kenyataan yang paling jelas dan yang merupakan hukum yang paling dasariah dari realitas.
Jadi yang paling riil adalah perubahan sebab hal itu terjadi terus-menerus. Secara implisit
dalam hal ini ia mempersamakan ada dan menjadi.
Tetapi, kalau segalanya terus berubah, selalu ada dalam proses menjadi (becoming)
maka pengetahuan manusia menjadi tidak mungkin sebab yang dapat dikenal hanyalah yang
ada (being). Manusia tidak bisa mengenal sesuatu yang tidak ada. Lagi pula pendapat ini
justru menghapus kemungkinan perubahan itu sendiri. Bayangkan saja, kalau semua adalah
perubahan, kalau tidak ada yang lain selain perubahan, maka tidak ada suatu barang pada
mana perubahan itu terjadi. Padahal yang ditangkap oleh pengalaman adalah betul perubahan,
akan tetapi bukan perubahan murni, melainkan perubahan dari sesuatu.

2.2.2. Parmenides
Parmenides adalah pendiri metafisika, sebab ia menemukan konsep mengenai ada dan
mengerti bahwa yang paling dasariah adalah ada. Ada itulah inti dari realitas apa saja. Tetapi
ada itu tidak dapat berubah karena berubah berarti menjadi lain. Namun tidak ada yang lain
selain dari ada. Menurut Parmenides, ada dapat berubah hanya ada dua kemungkinan,

16
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

dimana keduanya tidak bisa direalisasi: Pertama, ada dapat berubah menjadi ada. Kedua,
ada berubah menjadi tidak ada. Akan tetapi ada itu tidak dapat menjadi ada sebab dia sudah
ada. Ada juga tidak dapat menjadi tidak ada sebab dalam hal ia sudah tidak ada lagi. Oleh
karena itu, perubahan tidak ada. Perubahan itu tidak riil.

2.2.3. Plato (427-347 SM)


Pendapat Plato mengenai perubahan tidak terlepas dari pahamnya tentang „idea-idea“.
Barang material yang terus menerus berubah, dalam arti tertentu tidak ada. Menurut dia, yang
benar-benar ada dan riil adalah idea-idea yang bersifat imaterial, sempurna dan tetap. Dunia
idea ini berada di atas dunia yang kelihatan (fisik). Yang riil menurut Plato, bukan kursi yang
kita duduki, melainkan idea kursi itu. Sebab kursi yang fisis-material itu bisa rusak dan
akhirnya lenyap, akan tetapi idea „kursi“ tetap ada. Yang tinggal tetap adalah idea kursi.
Dunia fisis-material tidak riil dari dirinya sendiri justru karena dia berubah terus.
Adapun realitas dari barang material itu diperoleh dari dunia idea melalui „partisipasi“. Dia
riil sejauh dia merupakan suatu partisipasi dari dunia idea. Baginya, yang riil adalah yang
tidak berubah dan imaterial. Realitas yang ada pada barang material tidak mempunyai
dasarnya dalam barang material itu sendiri melainkan dalam idea-idea.

2.2.4. Aristoteles (384-322 SM)


Menurut Aristoteles perubahan itu adalah riil, tetapi dapat dijelaskan hanya kalau kita
mengerti ada dan tidak ada. Dalam analisisnya ada dan tidak ada dapat mempunyai arti yang
berbeda-beda. Pengertian itu diperoleh berkat bantuan teori Hylemorfismenya berupa asas
aktus-potensia. Prinsip aktus-potensia berkisar seputar soal mempertanggungjawabkan
adanya perubahan tanpa harus mengabaikan asas identitas. Menerima perubahan tanpa
menegasi asas identitas. Ia menyelesaikan soal ini dengan mengadakan dinstinksi antara
potensi dan aktus dan menetapkan relasi antara keduanya.
Jika kita memakai pengertian ada, maka kita harus membedakan ada in potentia dan
ada in actu. Ada in potentia dapat dijelaskan dengan contoh berikut: Pohon pepaya berasal
biji pepaya. Pohon pepaya itu sudah ada dalam biji pepaya secara in potentia (dalam taraf
kebakalan). Betul, melihat sebuah biji kecil kita tidak melihat adanya sebuah pohon, jadi
pohon itu betul tidak kelihatan pada biji. Akan tetapi biji itu memiliki kapasitas untuk
berubah (bertumbuh) menjadi sebuah pohon pepaya. Aristoteles menyebut kenyataan seperti
ini dengan ens in potentia, bahwa dari sebuah biji muncul suatu kemampuan untuk berada
sebagai pohon pepaya.
Dengan itu ia mampu menjawab persoalan filsafat sebelumnya, yang tidak bisa
memadukan antara ada dan tidak ada, bahwa kedua atribut itu tidak mungkin ada bersama
pada suatu hal yang sama dan dalam waktu yang sama dengan perspektif pandangan yang
sama. Dengan konsep ens in potentia (kemungkinan untuk berada), maka realitas perubahan
menjadi inteligibilis dengan tidak menyangkal prinsip identitas dan prinsip non-kontradiksi.
Hanya perlu ditegaskan di sini, bahwa potensi itu bukan kemungkinan murni logis
atau kemungkinan objektif. Batu dapat dipindahkan atau pohon dapat dipotong merupakan
suatu kemungkinan objektif. Tetapi potensi yang dimaksudkan di sini ialah potensi sebagai
kemampuan riil subjek yang dapat berubah (potentia subjectiva). Subjek itu sendiri, dari
dalam dirinya, memiliki kemungkinan untuk berubah. Dalam pohon sendiri ada kemampuan
untuk menjadi besar. Pohon pepaya itu sendiri ada kemampuan untuk menjadi besar (potentia
subjectiva), dan juga ada kemungkinan untuk bisa dipotong dan akhirnya mati (potentia
objectiva). Namun yang dijelaskan di atas hanya mengenai potensi subjektif, yakni biji pepaya
memiliki kemampuan untuk bertumbuh menjadi pohon pepaya yang besar.

17
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Ada in potentia selalu berhubungan dengan ada in actu. Ada in actu itulah sebagai ada
dalam arti yang penuh, yakni sesuatu yang berada. Jadi aktus tidak lain adalah ada itu sendiri.
Sesuatu itu telah menjadi realitas tertentu, telah mencapai kesempurnaan dalam berada. Biji
pepaya yang kecil sekarang ini sudah sempurna sebagai sebuah pohon pepaya. Itulah yang
disebut ada in actu. Di dalam biji yang in actu ini terdapat pohon pepaya, tetapi pohon
pepaya itu masih in potentia, yaitu masih dalam tarap kebakalan. Pohon pepaya yang ada
dalam tarap kebakalan ini yang belum kelihatan tetapi akan mungkin ada, Cajetan
menyebutnya dengan istilah existentia non existit (keberadaan yang tidak ada). Diakui bahwa
kemungkinan menjadi lain dari yang sekarang dia ada (sebuah biji pepaya) merupakan
sebuah kemungkinan riil untuk menjadi sebuah pohon pepaya sejauh proses menuju
aktualisasinya itu tidak terganggu. Jadi aktus merupakan eksistensi sesuatu. Kenyataan objek
seperti adanya disebut aktus. Kenyataan sebagaimana adanya di depan saya itulah yang
Thomas sebut quid est actus.
Jika saya mengakui bahwa biji pepaya yang saya tanam sekarang akan menjadi pohon
pepaya yang menghasilkan buah pepaya, berarti saya mengakui bahwa biji kecil itu akan
berubah yang dalam bahasa biologi disebut „bertumbuh“. Tetapi yang bereksistensi di depan
saya sekarang ini, ialah biji kecil, yang saya pegang dalam genggaman tangan bukan sebuah
pohon pepaya yang buahnya saya sedang joloki. Dengan demikian, hal yang selalu saya
tangkap adalah selalu hal yang sudah jadi, hal yang sudah selesai mengadakan proses
perubahan. Kata „bertumbuh“ adalah ungkapan yang post factum, karena tiga bulan yang lalu
biji itu belum memiliki apa-apa sekarang sudah mengeluarkan daun.
Dengan ini kita dapat mengatasi dilema Parmenides, bahwa ada tidak bisa berasal dari
tidak ada, dan bahwa ada tidak bisa berasal dari ada. Pertama, bahwa ada tidak bisa berasal
dari tidak ada: Benar, kalau tidak ada berarti nihil dalam arti absolut, sebab dari suatu
kekosongan tidak dapat timbul apa-apa. Namun, palsu kalau tidak ada berarti ada in potentia,
karena suatu pohon dapat berasal dari satu biji yang merupakan sebuah pohon in potentia.
Kedua, bahwa ada tidak bisa berasal dari ada: Benar, dalam arti tertentu, yakni bahwa
sesuatu tidak dapat menjadi yang dia sudah ada. Namun, palsu kalau ada diambil dalam arti
ada in potentia karena ada in potentia dapat menjadi ada in actu.

2.3. Hakekat Perubahan


Perubahan adalah „menjadi lain namun tidak sama sekali lain dan bagaimanapun juga
tinggal yang sama“. Di sini ada dua unsur, yakni ada perbedaan dan ada kesamaan. (1) Unsur
perbedaan: Segala barang yang berubah menerima cara adanya yang tidak dia miliki
sebelumnya. Cara adanya yang baru itu (sebagai unsur perbedaannya) disebabkan oleh hal itu
bahwa segala barang yang berubah mau menerima sesuatu kesempurnaan, menerima suatu
aktus yang baru. (2) Unsur kesamaan: Dalam segala perubahan ada penerusan, ada
kontinuitas antara yang dulu dan yang sekarang, antara yang lama dan yang baru. Hal itu
mempunyai dasarnya dalam subjek yang tinggal tetap dan pada mana ada kapasitas potentia
untuk menerima sifat yang dulu dia tidak miliki.
Segala kesempurnaan (sifat) yang baru adalah perkembangan dari yang sudah lebih
dahulu ada secara potensial. Kesempurnaan yang baru itu tidak baru dengan sepenuhnya,
sebab yang baru itu mempunyai sumbernya dalam kapasitas dari subjek yang sama, dan yang
baru itu timbul dari potentia itu. Dengan demikian jelas bahwa perubahan tidak berarti,
bahwa sesuatu timbul dari nihil, tanpa mengandaikan apa-apa. Parmenides benar kalau ia
mengatakan bahwa ada tidak mungkin timbul dari nihil.
Tiap perubahan menuntut dua kutub „kosong“ dan „penuh“. Jika perbedaan itu tidak
ada, maka perubahan tidak mungkin terjadi. Pertama-tama, supaya kita bisa menjelaskan
segala macam perubahan, maka kedua kutub itu harus diungkapkan secara paling universal-
fundamental sebagai prinsip-prinsip pertama dari perubahan. Prinsip pertama itu adalah
18
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

potentia-actus. Potentia yaitu kapasitas yang riil untuk menjadi sesuatu yang sekarang tidak
ada. Kapasitas itu adalah suatu tuntutan untuk direalisasir. Di sini, potentia adalah suatu
kekurangan yang mungkin untuk dipenuhi (diaktualisasi). Sedangkan actus adalah
pemenuhan atau realisasi dari kapasitas tadi, hasil titik sampai dari perubahan.
Supaya perubahan bisa terjadi, tidak hanya harus ada oposisi „kosong“ dan „penuh“,
tetapi juga harus ada subjek, pada mana perubahan itu terjadi, sebab tidak ada perubahan
sebagai perubahan. Subjek adalah barang itu (substratum) pada mana perubahan itu
berlangsung. Oposisi itu terjadi karena mereka berada pada satu subjek, pada mana ada suatu
kekurangan (potentia) yang dapat dipenuhi dan kekurangan itu dipenuhi atau direalisir
(actus).
Di dalam subjek itulah ada gerak peralihan. Gerak peralihan itu terjadi karena adanya
kutub „kosong“. Perubahan dapat dipandang sebagai titik sampai atau hasil dari suatu
potentia. Dalam hal ini perubahan berarti actus. Tetapi perubahan dapat berarti suatu proses
itu sendiri dari potentia ke actus. Itu berarti di sini ada gerak. Gerak ada seakan-akan antara
potentia dan actus. Dia „lebih dari potentia,“ karena pada suatu subjek kalau hanya potentia
yaitu hanya kapasitas untuk menjadi sesuatu, maka gerak belum ada. Dari lain pihak, gerak
„kurang dari actus,“ karena kalau masih ada gerak pada suatu subjek, maka itu berarti
kapasitas itu untuk menjadi sesuatu belum direalisir. Oleh karena itu, gerak didefinisikan
sebagai „actus dari ada dalam keadaan potentia“ (actus entis in potentia), sejauh ia masih ada
dalam keadaan potentia (actus entis in quantum potentia).
Berdasarkan uraian di atas, diturunkan beberapa kesimpulan pokok, berikut ini:
(1)Tidak ada oposisi mutlak antara ada dan perubahan, sehingga kita tidak perlu harus
menyangkal adanya perubahan hanya untuk membuktikan realitas dari ada. Dengan distinksi
ada in potentia dan ada in actu kita bisa menyesuaikan realitas apa saja dengan perubahan.
(2) Sekalipun tidak ada oposisi mutlak antara ada dan perubahan, akan tetapi keduanya tidak
identik. Ada tidak bisa dipersamakan dengan menjadi murni. Dimana saja ada perubahan
harus diandaikan realitas dari barang-barang yang berubah. Sebab, di mana saja ada
perubahan, maka harus ada subjek perubahan. (3) Segala yang berubah adalah terbatas dalam
adanya. Segala kesempurnaan adalah kesempurann dalam adanya, yaitu dalam cara sesuatu
itu benar-benar ada. Dan segala ketidaksempurnaan adalah keterbatasan dalam adanya. Kalau
sesuatu itu memperoleh suatu kesempurnaan, itu berarti sebelumnya ia memipiliki
kesempurnaan itu. Sedangkan sesuatu yang sempurna secara mutlak tidak kehilangan apa-apa
dan juga tidak menerima apa-apa. (4) Segala yang berubah memiliki komposisi actus-
potentia dalam adanya. Supaya ada perubahan maka harus ada potentia, yakni kapasitas untuk
menerima apa yang sekarang dia tidak miliki. Tetapi tidak ada potentia murni, sebab yang
berubah itu adalah yang berada in actu.

2.4. Perubahan dan Waktu

2.4.1. Pengertian Proses Menjadi


Menjadi in sensu lato berarti mengenai semua proses perubahan. Akan tetapi in sensu
stricto menjadi menyangkut gerak yang bersifat suksesif atau bertahap. Dalam pengertian
pertama atau menjadi pada umumnya, terjadinya suatu pikiran baru dalam pikiran kita juga
disebut perubahan; atau dalam alam semesta, munculnya sesuatu yang baru disebut pula suatu
perubahan. Gerak dalam arti sempit adalah gerakan di mana sebuah entitas baru muncul lewat
suatu proses bertahap, lewat suatu peralihan tahap demi tahap.
Adapun topik perubahan yang mau kita bahas adalah gerak dalam arti sempit, yakni
perubahan yang bersifat bertahap, seperti terjadi di dalam dunia jasmani. Titik acuan kita
adalah dunia fisik, yang ditempati oleh hal-hal yang bersifat fisik, yang berwujud. Di dalam
barang-barang itu terjadi proses menjadi bertahap dengan dua titik yang menempati dua ujung
19
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

dari suatu proses. Titik pertama adalah titik mulai, disebut terminus a quo. Titik kedua adalah
titik tujuan, titik sampai dari proses menjadi atau gerak. Ini disebut terminus ad quem. Setiap
perubahan fisik mengandaikan dua titik itu, kalau perubahan diartikan sebagai peralihan.
Peralihan memuat pengertian saat atau momen berangkat dan momen tujuan.
Syarat terjadinya suatu proses peralihan: tidak adanya kontradiksi antara dua titik ini.
Tidak adanya kontradiksi maksudnya titik sebagai terminus a quo dan terminus ad quem tidak
saling meniadakan. Kontradiksi yang paling dasar ialah ada dan tidak ada. Kalau terjadi
kontradiksi, maka tidak terjadi proses peralihan karena tidak ada jalan tengah. Peralihan
suksesif dan sambung-menyambung tidak dapat ditemukan dalam dua hal yang kontradiktif.
Misalnya, manusia tiba-tiba menjadi sapi atau hilang sama sekali. Dalam hal yang
kontradiksi, kalau satu berhenti bereksistensi, ipso facto yang lain bereksistensi. Kalau
manusia hilang, maka sapi muncul. Dalam hal ini tidak ada manusia lagi. Karena itu
dikatakan antara ada dan tidak ada tidak terjadi proses menjadi, karena keduanya merupakan
kontradiksi.
Proses menjadi yang bersifat suksesif hanya terdapat pada hal substansial yang
berkuantitas dan berkualitas. Proses menjadi terjadi dalam kuantitas, misalnya bertambah
besar atau dalam kualitas, misalnya menjadi semakin pintar, semakin saleh. Di sini kualitas
dan kuantitas merupakan cara berada dari barang terbatas. Jadi yang berubah hanyalah
substansi yang berkualitas dan berkuantitas. Proses determinasi diri dan pengokohan diri
secara lain pada substansi merupakan proses menjadi.

2.4.2. Gerak atau Perubahan Lokal


Aristoteles memebedakan tiga jenis proses menjadi: (1) perubahan berdasarkan
kualitas (alterasi), (2) perubahan berdasarkan kuantitas, (3) gerak lokal. Yang
mengekspresikan proses menjadi adalah terminus ad quem. Dalam sebuah alterasi terminus
ad quem adalah sebuah kualitas; dalam perubahan kuantitas terdapat penambahan atau
pengurangan jumlah. Sedangkan peralihan dalam gerak lokal sulit diidentifikasi. Mengenai
gerak lokal ada beberapa kesulitan: Pertama, kesulitan berkaitan dengan kualitas, sebab
kualitas ada hubungan erat dengan raga, dan merupakan ciri intrinsik pada barang ragawi.
Kedua, kesulitan berkaitan dengan tempat. Sebagai letak raga, tempat tidak berkaitan secara
seharusnya dengan kodrat dari yang ragawi yang terletak padanya. Jadi, lokasi dari yang
ragawi murni merupakan sesuatu yang ekstrinsik bagi yang ragawi itu sendiri.
Jika proses menjadi dispesifikasikan oleh terminus ad quem, maka lokasi murni betul-
betul merupakan sesuatu yang ekstrinsik bagi yang ragawi. Pertanyaan muncul tentang
realitas gerak lokal. Aktus mana yang dicapai atau determinasi baru mana yang dicapai oleh
yang ragawi dengan gerak atau perubahan lokal? Berdasarkan pandangan Aristoteles tentang
perubahan atau gerak (motus), pertanyaan-pertanyaan itu dijawab secara negatif. Tidak ada
determinasi baru, atau aktus tertentu sebagai terminus ad quem. Kita mesti mengatakan
bahwa gerak lokal, sejauh itu sebagai gerak lokal, tidak memberi sesuatu yang baru pada yang
bergerak atau digerakkan, jadi bukan gerak dalam pengertian Aristotelian.
Soal itu diterangkan dengan lebih baik berdasarkan asas tentang gerak atau perubahan:
„omne quod movetur ab alio movetur“ ( apa saja yang bergerak digerakkan oleh yang lain).
Ini cocok dengan asas kelembaman. Menurut asas ini yang ragawi mempertahankan
keadaannya yang tenang, tak bergerak atau bergerak dalam garis lurus dan tetap dalam irama
sama, kalau tidak ada intervensi dari suatu kekuatan lain yang memodifikasinya. Gerak dalam
garis lurus dan irama pada yang bergerak, bukan gerak dalam pengertian Aristoteles atau
aktualitas dari yang bergerak, melainkan suatu keadaan, suatu status. Inilah yang dimaksud,
bahwa gerak lokal sebagaimana adanya, bukan mengenai gerak sejauh mengandaikan
gerakan-gerakan lain, yang barangkali tidak pernah dapat dipisahkan secara riil.

20
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

2.4.3. Perubahan dan Waktu


Dalam buku IV tentang Fisika Aristoteles berbicara tentang waktu. Di sana ia
membahas tentang waktu sebagai proses menjadi. Juga Thomas Aquinas, dalam komentarnya
tentang karya Aristoteles, mengatakan bahwa waktu adalah sesuatu dalam proses menjadi. Ini
menunjukkan bahwa kita memahami proses menjadi dan waktu secara bersama-sama. Secara
spontan kita memang tidak mengalami dalam perjalanan waktu suatu gerak. Juga kita tidak
mengalami atau kurang menyadari adanya perubahan dalam tubuh kita. Sebagai pelaku luar
kita tidak merasakan suatu gerakan perubahan. Lain halnya, kalau ada gerakan dalam jiwa,
dalam pikiran kita. Kita langsung menangkap bahwa ada waktu. Jadi, dengan kata lain, dalam
memahami proses menjadi, kita memahami waktu. Juga, sebaliknya, kalau kita memahami
waktu kita memahami perubahan, proses menjadi.
Akan tetapi waktu itu tidak identik dengan perubahan. Alasannya: Pertama, kita
dapat mengukur waktu dan proses perubahan pada subjek yang berbeda-beda pada saat yang
sama. Pada saat yang sama ini, saya membawakan kuliah pada FFA dan seorang petani di
Oesao mengerjakan sawah. Saya mengajar dan petani bekerja di sawah merupakan proses
perubahan dari subjek yang berbeda. Kedua, proses menjadi atau perubahan dapat menjadi
lebih cepat atau lebih lambat pada waktu yang sama. Jadi waktu adalah sesuatu pada proses
menjadi, tetapi bukan proses menjadi itu sendiri. Aritoteles mengatakan: waktu adalah
„numerus motus secundum prius et posterius“ (waktu adalah jumlah gerak menurut sebelum
dan sesudah). Jadi, waktu adalah ukuran dari proses menjadi.
Menurut Aristoteles dan St.Th. Aquinas „sebelum“ dan „sesudah“ di sini lebih
bermakna spasial daripada temporal. Aristoteles mengatakan, bahwa proses menjadi berarti,
terutama, peralihan dari satu titik (terminus) ke titik yang lain. Tetapi di antara semua gerak,
gerak lokal merupakan gerakan pokok, sebab beranjak dari satu tempat ke tempat lain sesuai
dengan besar atau ukurannya. Waktu mengikuti gerak lokal ini, dan karena itu untuk
mempelajari waktu, perlu mempelajari gerak atau perubahan lokal. Agar gerak lokal sesuai
dengan besaran dari satu titik ke titik yang lain, dan setiap besaran bersifat continuum
(bersinambung), maka waktu juga harus sambung-menyambung.
Dengan demikian gerak lokal adalah sebagai gerak pertama atau gerak pokok, yang
semua gerak atau perubahan yang lain mengacu kepadanya. Misalnya, kita mengalami adanya
gerak atau perubahan atau proses menjadi pada sebuah pohon. Dulu pohon itu kecil, sekarang
sudah besar dan karenanya ia mengambil ruang (tempat) yang lebih luas daripada
sebelumnya. Jadi, di sini pohon bertumbuh menjadi besar juga menunjukkan adanya gerak
lokal.
Di sini kita tidak bermaksud mereduksi waktu ke dalam ekstensi dan spasial. Kita
hanya mau menjelaskan, bahwa suksesi „sebelum“ dan „sesudah“ dalam waktu muncul dari
peleburan antara proses menjadi dan ekstensi. Tepatnya kita mengatakan, pengalaman kita
adalah selalu pengalaman spasial-temporal. Ruang dan waktu hanya merupakan segi atau
aspek abstrak dari realitas konkret yang berekstensi atau berwujud dan yang sedang
mengalami proses perubahan.
Dengan itu kita dapat melihat alasan bahwa proses menjadi dan waktu tidak identik
dan aneka gerak dapat diukur pada saat yang sama. Gerak atau perubahan berhadapan dengan
waktu seperti ekstensi konkret berhadapan dengan ruang real.
Seperti ruang berbeda dari kodrat raga dari yang berekstensi, dan dari yang
berekstensi tampak hanya raga dengan dimensi-dimensinya, maka demikian juga dengan
waktu berbeda dari kodrat fiisk gerak atau perubahan. Sebagaimana aneka yang berekstensi
diukur dengan ruang, seperti halnya: 1 m bahan pakain, atau 1 m panjang jalan, maka
demikian juga yang bergerak atau gerak dapat diukur dengan waktu. Tetapi waktu riil dapat
diabstraksi dari proses menjadi, seperti ruang riil diabtraksi dari yang berekstensi. Karena itu
waktu real tidak dapat dipisahkan dari gerak dan dari subjek yang mengalami proses

21
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

perubahan. Dan setiap yang berubah memiliki waktunya sendiri seperti yang berekstensi
memiliki eksistensinya sendiri.
Akhirnya, kita boleh mengatakan bahwa waktu adalah proses menjadi yang dilihat
oleh satu kesadaran, dan dalam hal ini, diukur menurut sebelum dan sesudah. Skolastik
menggarisbawahi, waktu itu bukan numerus numerans, melainkan suatu numerus numeratus,
jadi bukan ukuran sebagaimana ada dalam subjek yang menerapkannya, tetapi jumlah atau
ukuran menurut realitas yang diukur. Jadi, persisnya adalah proses menjadi yang diukur
(terukur). Tetapi ukuran itu memuat intervensi subjek yang mengukur. Oleh karena itu, bisa
disimpulkan, pemahaman waktu sebagai numerus motus sejalan dengan pemahaman waktu
sebagai proses menjadi yang dilihat oleh subjek. Karena itu bisa ditarik kesimpulan lebih
jauh, bahwa sebuah realitas dalam waktu, sejauh ia menjadi subjek perubahan. Dan, semua
yang tidak dapat berubah tidak dapat dimasukkan dalam waktu. Jadi tidak dapat diukur. Allah
dan roh murni tidak dapat diukur, dan kerenanya mereka itu kekal.

3. Prinsip Materia-Forma

3.1. Komposisi Materia-Forma dalam Barang Material


Benda material adalah sesuatu yang bisa diindrai. Yang diterima indra adalah bentuk
tertentu, yaitu kualitas dan kuantitas tertentu. Materi tak pernah tampak dalam keadaan murni,
materi qua materi, melainkan selalu dengan kualitas atau kuantitas tertentu. Bentuk tertentu
inilah yang membedakan satu benda ragawai dengan yang lain. Benda itu bisa menerima
bentuk yang berbeda secara berturut-turut. Pokoknya, pada barang material terdapat sifat
umum, yakni mampu (in pontentia) menerima bentuk-bentuk yang berbeda-beda. Pada
dasarnya benda material itu memiliki dua unsur (co-principia). Dari satu pihak, ada materia,
yakni prinsip yang dapat ditentukan, prinsip yang potensial (mampu) menerima bentuk
(forma) yang dulu dia tidak miliki dan juga potensia kehilangan bentuk (forma) yang telah
dimiliki. Dari lain pihak, ada forma, yakni unsur yang menentukan materia, menentukan cara
adanya suatu benda material, dan dengan itu ia distinkt dengan benda ragawi yang lain.
Karena materia yang sama bisa menerima forma secara berturut-turut yang berbeda,
maka jelas bahwa antara forma dan materia ada distinksi. Namun distinksi tidak sama dengan
divisio, karena bagaimanapun barang yang kita alami selalu ada dalam komposisi materia-
forma. Oleh karena materia ditentukan oleh forma, maka hubungan antara keduanya adalah
hubungan seperti potentia dan actus. Materia adalah prinsip potentia, sebab ia memiliki
kapasitas untuk menerima bentuk apa saja, sekalipun de facto sekarang ia sudah memiliki
suatu bentuk tertentu, seperti papan tulis yang hitam, tetapi ia berpotensi untuk menerima
bentuk yang lain, sehingga bisa menjadi berkualitas lain seperti menjadi papan tulis yang
berwana putih kalau diberi cat putih.
Ada dua macam materia: materia prima dan materia secunda. Yang kita kenal melalui
indra adalah materia secunda. Dialah yang kita namakan „substansi“. Meteria secunda
disebut juga dengan nama materia informata. Sedang materia prima adalah unsur dari
substansi, yang baru membentuk suatu substansi kalau ia bekerja sama antara materia prima
dengan forma substantialis. Materia prima adalah unsur dari substansi yang dapat berubah,
yang memungkinkan perubahan dalam dan dari substansi pada mana ada kapasitas untuk
berubah. Materia prima adalah substratum dari perubahan. Tetapi perlu disadari bahwa
materia prima bukanlah barang melainkan prinsip substansial yang merupakan unsur
konstitutip dari substansi dan merupakan substratum dari perubahan substansial. Sedangkan
materia secunda adalah sebuah materia yang telah terbentuk. Dia adalah objek pengalaman
indrawi. Karena itu materia secunda disebut saja dengan nama substansi material.
Akan tetapi, benda material yang merupakan objek pengalaman sensibilis itu berada
bukan sebagai materi belaka melainkan sebagai barang dari jenis tertentu. Sehingga, jelas
22
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

bahwa batu bukanlah pohon sekalipun keduanya adalah sama-sama barang material. Jadi
harus ada sesuatu yang mendasarkan perbedaan antara substansi material. Itulah forma, yang
merupakan prinsip aktual, yang memberikan suatu aktualitas tertentu terhadap suatu barang
material. Jadi forma menentukan materia.
Forma ini ada dua jenis: Forma substantialis dan forma accidentalis. Adapun forma
accidentalis tidak membuat sesuatu menjadi substansi karena dia hanya sebagai penentuan
yang kedua. Dia hanya sebagai penentuan yang ditambahkan pada substansi yang sudah ada,
yang memiliki unsur konstitutip materia prima - forma substantialis. Sedangkan forma
substantialis membuat sesuatu menjadi substansi dan mengaktualisasi bukan substansi yang
belum ada melainkan materia prima. Jadi forma adalah prinsip yang mengaktualisasi materia
prima menjadi barang jenis tertentu.

3.2. Barang Material itu Berubah


Pada sebatang besi ada kapasitas untuk menerima sifat yang saat ini dia tidak miliki.
Itulah fakta perubahan. Untuk menerangkan fakta perubahan besi kalau dipanaskan menjadi
merah dan panjangnya bertambah, kita memakai prinsip: materia secunda dan forma
accidentalis. Di sini terjadi suatu perubahan aksidental. Perubahan aksidental berarti, suatu
materia secunda (barang material itu) menerima forma yang baru. Bermacam-macamnya
perubahan aksidental, namun semuanya dapat dibagi menurut kategoria accidentiae seperti:
kuantitas (menjadi besar, lebih atau kurang berat), kualitas (dari putih menjadi merah), relatio
(dari frater menjadi imam).
Perubahan aksidental yang disebutkan di atas harus dikatakan bahwa „ada pada
substansi namun tidak dalam substansi“. Artinya perubahan aksidental itu tidak membuat
substansi itu menjadi substansi yang lain. Adapun perubahan substansial, substansi itu
menjadi sesuatu yang lain: Misalnya, makanan mendjadi tubuh organisme yang memakannya,
substansi inorganis yang ada dalam tanah menjadi tumbuhan.
Di dalam kedua macam perubahan di atas ada kesamaan dan perbedaan. Kalau dari
yang lama tidak tinggal apa-apa, dan yang baru tidak berawal dari yang dulu itu, maka tidak
ada perubahan melainkan penciptaan (creatio ex nihilo). Kalau demikian, apa yang tinggal
sama dalam perubahan substansial? Yang berubah di sini bukan sifat melainkan substansi itu
sendiri, karena dia sendiri terdiri dari unsur potential dan aktual, yakni dari materia prima dan
forma substantialis. Dalam perubahan substantialis, yang tinggal tetap adalah materia prima
sedangkan unsur baru adalah forma substantialis. Itu berarti, keruntuhan dari yang satu,
sekaligus timbul suatu yang baru. Unsur pada mana perubahan itu terjadi adalah materia
prima, yang mampu in potentia menerima forma-forma substantialis yang berbeda.
Perubahan itu sendiri terjadi waktu materia prima kehilangan forma substantialis yang dia
punyai dulu dan menerima forma substansialis baru.
Dari uraian itu dapat disimpulkan: (1) Tida ada dan tidak dapat ada materi murni yaitu
materia qua materia. (2) Segala barang material merupakan co-principia materia-forma. (3)
Di mana ada perubahan aksidental di situ ada komposisi substantia dan accidentia. (4)
Hubungan substantia-accidentia seperti antara potentia dan actus. Demikian juga hubungan
materia-prima dengan forma substansialis adalah hubungan potentia-actus.

23
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

4. Prinsip Essentia - Existentia

4.1. E s s e n t i a
Setiap barang yang ada mempunyai essensi dan essensi itu bisa dikenal. Akan tetapi
pengetahuan kita tentang essensi tidak sempurna. Pengetahuan itu diperoleh melalui simplex
apprehentio (tangkapan sederhana).
Essensi adalah apa yang membuat sesuatu barang menjadi macam barang tertentu.
Oleh adanya essensi itulah maka setiap barang beda dari barang yang lain. Essensi
menentukan barang-barang dari dasarnya, yang menyebabkan sesutau menjadi seperti adanya.
Dia merupakan prinsip yang riil yang membuat sesuatu menjadi anggota species tertentu. Dia
menentukan sesuatu sebagai substansi dan tidak sebagai substansi pada umumnya, melainkan
menentukan suatu macam substansi tertentu.
Dalam kaitan dengan itu, bagaimana kita harus menjelaskan realitas accidens-accidens
pada barang-barang, karena justru accidens juga dalam kaitan substantia justru dialah yang
menentukan substantia itu sebagai substansi tertentu. Sebab tidak ada substantia qua
substantia atau substansi tanpa suatu accidens pun. Yang kita kenal adalah substansi dengan
segala accidensnya. Tanpa accidens itu kita tidak bisa mengenalnya. Karena itu, di sini harus
ditegaskan, bahwa accidens-accidens menampakkan essensi barang tetapi tidak menentukan
adanya, karena accidens-accidens mengandaikan substansi dan justru substansi itu adalah
sesuatu yang ada.
Tetapi essensi itu tidak mendasarkan realitas. Dia tidak menyebabkan suatu barang.
Dia hanya menyebabkan sesuatu barang menjadi suatu barang yang tertentu. Ia hanya
menentukan kekhasan (species) dari suatu barang yang ada. Jika essensi dari suatu barang itu
riil, dan seperti dijelaskan bahwa essensi itu menentukan kekhasan atau species, maka dalam
hal itu mungkin ada sesuatu di luar barang itu atau species itu yang essensinya adalah berada.
Karena dalam kenyataan terdapat pelbagai species barang, maka dalam realitas itu juga
terdapat pelbagai essensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu berada tidak merupakan essensi
dari suatu species.
Essensi menjelaskan mengapa suatu barang itu demikian dan mengapa ia termasuk
species yang ini atau yang itu, tetapi dia tidak menjelaskan mengapa barang itu ada. Essensi
bukanlah prinsip yang menjelaskan, mengapa suatu barang itu ada. Oleh karena itu,
pertanyaan yang dikemukakan di atas, apa unsur terdalam dari realitas, atau apa yang
menyebabkan barang-barang benar-benar ada riil, jawabannya bukan essensi. Essensi tidak
menjelaskan berada nya sesuatu barang.
Dari uraian itu dapat disimpulkan: (1) Tidak dikatakan bahwa essensi barang-barang
tidak riil. Hanya dikatakan bahwa keriilan barang-barang tidak terletak dalam essensi. Karena
itu tidak ada pertentangan kalau dikatakan bahwa essensi barang-barang adalah riil. Tetapi ia
riil sejauh ada hubungan dengan barang-barang yang berada. Tidak ada dunia essensi atau
dunia froma saja yang berada sendiri. Dengan ini, teori Plato tentang dunia forma yang
berdiri sendiri, bisa ditolak. (2) Objek pengalaman kita dengan seharusnya selalu mengenai
ada yang tertentu dengan essensi, namun tidak berarti bahwa realitas dari barang itu terletak
dalam essensinya itu. Spesifikasi dari suatu barang tidak membawa serta adanya atau tidak
adanya barang itu. Dengan membentuk pengertian atau pola dari suatu barang tidak
meyangkutkan adanya barang itu dalam realitas. (3) Kalau barang-barang mempunyai essensi
dan essensi itu bukan berada, maka itu berarti, realitas dari barang itu harus terdapat pada
suatu prinsip yang lain, di mana prinsip itu harus distinkt dari essensi.

24
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

4.2. E x i s t e n t i a
Apa saja mempunyai adanya sendiri,dengan seharusnya. Adanya sendiri itu, itulah
yang mendasarkan kejamakan barang-barang, yang menampakkan kepada pengetahuan kita
bahwa barang-barang itu tidak hanya satu melainkan banyak. Seandainya dua barang
mempunyai adanya yang sama, maka mereka tidak lagi dua barang melainkan satu. Jadi, dua
barang itu dikatakan dua barang justru karena masing-masing memiliki adanya sendiri.
Adanya sendiri itulah eksistensi. Eksisteni adalah sesuatu riil pada setiap barang.
Dialah prinsip intrinsik dari sesuatu, yang berbeda dari prinsip intrinsik kedua yang essensi.
Untuk mencapai idea tentang eksistensi kita harus kembali kepada distinksi antara ens in actu
dan ens in potentia. Dalam kerangka itu, eksistensi adalah yang membuat ens in actu
(aktualisasi) dari ada karena berada berarti ada aktual (in actu). Jadi eksistensi adalah actus.
Namun ia bukan actus sebagaimana pada forma substantialis atau forma accidentalis, karena
kedua forma itu tidak membuat barang menjadi ada. Eksistensi adalah actus melalui mana
barang-barang dengan segala kekhasannya berada (actus essendi). Dan segala barang yang
riil mempunyai actus essendi hanya untuk dirinya sendiri, itulah yang disebut esse.
Barang adalah riil karena berada (esse). Esse adalah dasar terdalam dari realitas. Jika
dasar dari realitas adalah perubahan seperti dikemukakan oleh Heraklitus, maka itu berarti,
segala kesempurnaan atau kualitas pada barang-barang termasuk eksistensinya sendiri harus
dianggap bersumber pada perubahan. Namun jelas bahwa eksitensi tidak berasal dari
perubahan. Jutsru sebaliknya terjadi bahwa asal dari perubahan itu adalah eksistensi. Memang
perubahan itu riil namun ia tidak riil dalam dirinya sendiri, sebab perubahan itu adalah
perubahan pada suatu barang material.
Supaya barang material dapat „berada“, maka materia harus diaktualisasi oleh forma,
namun aktualisasi itu hanya menentukan essensi. Karena itu, supaya segala sesuatu yang
terdiri dari materia dan forma itu berada, maka perlu diaktualisasi oleh suatu prinsip yang
lain dari essensi. Prinsip itu ialah esse atau eksistensi. Jadi, esse adalah actus yang paling
dasariah dalam segala barang, melalui mana barang itu dan segala sesuatu yang ada padanya
(materia-forma) berada.
Dari uraian itu disimpulkan beberapa hal: (1) Essensi dari sesuatu yang merupakan
objek pengalaman berbeda secara riil dari esse. Memang essensi disebut juga actus tetapi
dalam arti terbatas, karena dia hanya merupakan suatu komposisi materi prima dan forma
substansialis untuk membentuk suatu species. Akan tetapi kalau essensi itu diperbandingkan
dengan actus essendi, maka essensi hanya suatu potentia untuk berada. (2) Hubungan antara
essensi dan eksistensi adalah sperti actus-potentia. Eksistensi adalah artikulasi itu sendiri dari
essensi dan dialah jawaban terakhir, mengapa sesuatu itu bisa ada riil. (3) Segala objek
pengalaman adalah komposisi antara essensi-eksistensi. Ini adalah komposisi yang terdalam.
Dia lebih dalam dari komposisi materi prima - forma substantialis, antara susbtantia-
accidentia.

25
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Bab 3

Potentia – Actus

Benda material yang merupakan objek pengalaman adalah komposisi dari actus-
potentia. Dalam bab ini kita mau membahas secara lengkap tentang arti dan macam-
macam penerapan prinsip actus-potentia itu. Untuk itu akan dibagi dalam beberapa sub
bahasan sebagai berikut: (1) Pembahasan prinsip actus-potentia, yakni tentang bagaimana
hubungan antara keduanya sebagai asas umum bagi segala barang yang ada. (2) Lalu
disusul pembicaraan tentang aplikasi prinsip actus-potentia itu untuk memecahkan soal
kejamakan barang-barang. Bagaimana dapat ada banyak barang atau bagaimana sifat-
sifat (aksidental dan essensial) bisa terdapat dalam banyak subjek menurut kadarnya
masing-masing. Itulah yang disebut sebagai soal yang satu dan yang banyak. (3) Hal yang
berkaitan dengan itu, ialah soal analogi, yang menjelaskan bagaimana esse bisa ada pada
banyak subjek. Pertanyaannya, dalam arti apa esse itu disebutkan tentang barang-barang
yang banyak dan berbeda. (4) Lalu, bagaimana teori analogi itu dalam kaitan dengan
pemakaian bahasa teologi. Uraian di dalam sub ini adalah suatu penerapan paham analogi
dalam menerangkan soal tentang kemungkinan bahasa manusia tentang Allah. (5)
Akhirnya, soal tentang bagaimana manusia mengenal ada itu. Ada adalah analog dalam
realitas dan oleh karena itu manusia mengenalnya secara analog.

1. Prinsip Potentia - Actus

1.1. Realitas dari Potentia-Actus


Potentia-actus adalah prinsip intrinsik segala yang ada. Apa saja yang ada sejauh
berada dapat diterangkan dalam cahaya potentia-actus. Pada dasarnya, hubungan antara
substansi-aksidens, materia-forma, dan essensi-eksistensi tidak lain adalah macam-macam
hubungan antara actus-potentia.
Potentia-actus adalah prinsip yang mendasari realitas barang-barang yang ada dan
potentia-actus itu sendiri adalah riil. Keriilan barang-barang yang ada tidak menjadi masalah
karena pengetahuan kita secara langsung menunjukkan realitas. Tetapi, bagaimana kita tahu
keriilan prinsip potentia-actus yang mendasari keriilan barang-barang yang kita ketahui tadi?
Yang jelas, pengetahuan kita tentang suatu kenyataan tidak sama dengan pengetahuan
tentang prinsip yang menjelaskan kenyataan itu. Pengetahuan kita tentang kenyataan
mengatakan bahwa sesuatu itu ada, sedangkan pengetahuan tentang prinsip dari kenyataan itu
menjelaskan „mengapa sesuatu itu ada“. Pengetahuan tentang fakta empiris adalah hasil
pengalaman indrawi, sedangkan pengetahuan mengenai prinsip adalah hasil suatu
pembuktian. Jadi, keriilan barang-barang yang ada (factum empiricum) adalah hasil hubungan
antara subjek mengenal dengan objek yang dikenal melalui pengalaman indrawi, sedangkan
keriilan potentia-actus hasil suatu pembuktian rasional.
Dengan demikian, potentia-actus ini riil secara berbeda dari keriilan barang-barang
dalam kenyataan yang tersusun olehnya. Realitas dari barang-barang dalam kenyataan itu
bergantung dari realitas unsur-unsurnya. Kalau unsur-unsur itu tidak riil, maka keseluruhan
yang termuat dalam rupa sebuah barang indrawi itu juga tidak riil. Tiap barang yang tersusun
mengandaikan bagian-bagiannya dan bergantung dari padanya. Walaupun bagian-bagian dari

26
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

suatu barang itu tidak memiliki realitas sendiri sebagai barang, namun mereka tetap riil
sebagai prinsip dari barang yang mereka susun. Dalam arti itulah potentia-actus riil.
Kalau potentia-actus disebut sebagai bagian-bagian dari barang yang riil itu, namun
bukanlah bagian-bagian material yang mempunyai kuantitas fisik. Mereka disebut bagian-
bagian dalam arti bahwa sesuatu barang yang ada dalam realitas memiliki komposisi intrinsik
potentia-actus. Karena itu, kalau di sini dikatakan bahwa potentia-actus adalah bagian-bagian
suatu barang yang riil, maka harus dimengerti bukan bagian dalam arti tegas. Kita tidak boleh
membayangkan actus-potentia sebagai bagian-bagian material seperti halnya barang yang ada
dalam kenyataan. Oleh karena itu adalah lebih tepat menyebutnya „prinsip-prinsip“ dan
bukan „bagian-bagian“.

1.2. Hubungan antara Potentia dan Actus


Pengertian „hubungan“ di sini bisa berarti hubungan logis dan bisa berarti suatu
hubungan riil. Hubungan logis adalah hubungan yang berkaitan dengan kegiatan budi dalam
mengaitkan suatu pengertian dengan pengertian lain menjadi satu putusan (iudicium) dan
menghubungkan suatu putusan dengan putusan yang lain menjadi suatu penyimpulan.
Adapun hubungan riil adalah hubungan yang langsung berkaitan dengan atau dalam realitas.
Hubungan riil bisa dibagi atas: relatio praedicamentalis dan relatio transcendentalis.
Hubungan predikamental (kategorial) adalah soal bagaimana suatu accidens ditambah pada
substansi dan berhubungan dengan accidens-accidens yang lain. Demikian misalnya, ada
hubungan antara dua barang yang berdiri pada jalan atau tempat yang sama. Pada intinya,
hubungan predikamental selalu dibatasi pada praedicamentum atau catekogirae tertentu yang
merupakan dasar hubungan. Demikian ada hubungan antara tua dan muda, karena keduanya
ada dalam kategori waktu. Keduanya mempunyai dasar yang sama, yakni waktu. Tetapi tidak
ada hubungan predikamental antara tua dan besar, karena mereka termasuk predikamentum
yang berbeda. Yang satu predikamentumnya adalah waktu, yang satu adalah kualitas.
Adapun hubungan transendental tidak termasuk dalam salah kategori pun. Ia
mengatasi kategori dan bersifat langsung. Hubungan ini tidak mengandaikan dasar hubungan
(predikamentum). Itulah hal potentia dan actus, di mana ada hubungan langsung antara
keduanya. Hubungan itu disebut transendental, karena bersifat langsung tanpa suatu
predicamentum. Jadi potentia berhubungan dengan actus dan sebaliknya actus berhubungan
dengan potentia terjadi atau berlangsung tenpa suatu fundamen kategorial sebagaimana
halnya pada barang-barang yang ada dalam kenyataan. Potentia-actus tidak merupakan
sesuatu yang ditambah bagi barang yang sudah ada, melainkan membuat dua unsur yang tidak
berada sendiri menjadi bisa berada dalam persatuannya sebagai suatu barang dalam realitas.
Hubungan potentia-actus ini dilihat dari aspek epistemologis: Pengetahuan kita
tentang potentia apa pun selalu bergantung dari pengetahuan kita tentang actus yang sesuai.
Dengan melihat sebutir telur ayam, bagi orang yang tidak pernah melihat seekor ayam, tidak
dapat tahu bahwa dari telur itu dapat muncul seekor ayam. Dia baru kenal potentia itu setelah
potentia diaktualisasi, yaitu pada saat telur itu menetaskan seekor anak ayam. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa potentia tidak bisa dikenal dalam dirinya sendiri, melainkan selalu
dalam hubungan dengan dan bertolak dari aktus yang sesuai, bersamaan dengan potentia itu.
Dari aspek ontologis hubungan potentia-actus dapat diterangkan demikian: Potentia
mempunyai arti hanya dalam hubungan dengan actus. Potentia dapat „berada“ hanya
berhubungan dengan actus yang sesuai dengannya, bersamaan dengannya. Alasan untuk
„berada“ bagi potentia adalah supaya diaktualisasi. Dia tidak mempunyai dasar adanya dalam
dirinya sendiri. Akan tetapi itu tak berarti, bahwa de fakto segala potentia akan diaktualisasi.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa segala potentia selalu terarah kepada actus yang sesuai
dengannya, yang merupakan tujuannya.

27
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Tetapi apakah juga segala actus selalu berhubungan dengan potentia? Kalau kita
perhatikan barang-barang material yang merupakan objek pengalaman, maka benar bahwa
segala actus berhubungan dengan potentia yang sesuai dengannya. Aktus „main gitar“,
misalnya, mengandaikan kesanggupan untuk melakukan kegiatan itu. Tetapi, kalau kita
memandang actus dalam dirinya sendiri, maka ternyata actus sebagai actus bisa tidak
memiliki potentialitas apa pun. Karena itu bisa ada suatu actus purus, yakni suatu actus yang
tidak berhubungan dengan suatu potentia, karena dirinya adalah sempurna.
Actus yang berhubungan dengan potentia itu, seperti tampak dalam pengalaman,
adalah selalu terbatas dan terbagi. Kualitas „merah“ adalah kesempurnaan, namun kita tidak
mempunyai pengalaman tentang sesuatu yang merupakan „merah murni“, merah sempurna
dalam kemerahannya. Berdasarkan pengalaman indrawi, ada banyak barang di mana terdapat
kesempurnaan kemerahan tetapi menurut derajad yang berbeda. Merahnya barang ini tampil
secara berbeda dengan merahnya barang itu. Kualitas merah itu selalu secara tertentu pada
barang-barang. Kesempurnaan kemerahan menjadi terbatas karena memang tidak ada apa-apa
yang merah murni.
Mengapa kesempurnaan (actus) itu terbatas? Apakah sumber dan sebab keterbatasan
itu ada pada actus itu sendiri atau pada suatu prinsip yang distinkt dari actus? Jika sebab
keterbatasan adalah actus itu sendiri, maka harus disimpulkan bahwa suatu barang dapat ada
sempurna dan tidak ada kesempurnaan pada prinsip yang sama. Namun pernyataan semacam
ini kontradiktoris. Karena itu, tidak mungkin actus membatasi dirinya sendiri. Maka jelaslah
bahwa sebab keterbatasan actus harus ada pada suatu prinsip lain dan prinsip itu distinkt dari
actus. Itulah prinsip potentia pada mana actus itu diterima.
Tetapi bagaimana potentia itu membatasi actus? Atau, bagaimana potentia menerima
actusnya? Tetapi bagaimana potentia menerima actusnya? Menerima di sini tidak boleh
dibayangkan secara fisis, seperti menerima sesuatu dalam suatu wadah. Karena hubungan
potentia-actus itu bersifat transandental, yaitu mengatasi segala kategori, maka potentia
menerima actus itu secara langsung. Actus diterima secara langsung dalam potentia dan itu
berarti mengaktualisasi potentia itu sendiri. Hubungan ini harus dipandang sekaligus,
sehingga harus dikatakan bahwa potentia disempurnakan oleh actus ketika ia diaktualisasi
dan ketika itu pula actus dibatasi oleh potentia.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana potentia dan actus „terbagi“? Karena keduanya
tidak dapat didefinisikan secara tegas, maka potentia-actus juga tidak dapat dibagi secara
tegas. Pembagian logis yang tegas yang menyebutkan genus dan species, tidak bisa
ditempatkan pada potentia-actus. Potentia-actus bukanlah genus atau species, melainkan
prinsip-prinsip dari ada dan antara keduanya itu ada hubungan transendental dan bukan
hubungan logis. Pembagian logis berarti juga bagian-bagian harus dihubungan secara univok
dengan keseluruhan. Akan tetapi syarat ini tidak berlaku untuk potentia-actus. Pembagian
potentia-actus di sini bersifat analog.

1.3. Macam-macam Potentia dan Actus

1.3.1. Macam-macam A c t u s
1. Actus purus dan actus mixtus: Actus purus sama sekali tidak mengandung potentia. Ia tidak
dibatasi oleh potentia, karena itu ia sempurna. Actus ini tunggal, unik, dalam arti ia tidak
terdiri dari prinsip atau unsur. Dengan kata lain, tidak ada padanya suatu komposisi. Actus
purus disebut juga dengan nama actus irreceptus. Sedangkan actus mixtus atau disebut
juga dengan nama actus non purus atau actus receptus, dibatasi oleh potentia. Karena itu,
ia merupakan unsur komposisi antara actus dan potentia.

28
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

2. Actus entitativus dan actus formalis: Actus dalam arti utama, yaitu actus melalui mana
sesuatu berada (esse). Actus ini yang disebut juga dengan nama actus essendi (eksistensi).
Karena itu, actus entitativus disebut juga actus eksistensial. Sedangkan actus formalis
adalah actus yang tidak menyebabkan barang berada, melainkan hanya menentukan cara
adanya atau menentukan speciesnya barang-barang. Actus formalis masih dibagi lagi
menjadi actus formalis primus dan actus formalis secundus. (1) Adapun actus formalis
primus menentukan essensi barang, membuat sesuatu menjadi species tertentu. Oleh
karena itu actus formalis primus dari barang material adalah forma substansialis. Hal ini
masih dibagi lagi menjadi forma substansialis dari barang yang tidak bisa berada sendiri
tanpa materi, seperti binatang, manusia. Itulah yang disebut forma substanbsialis non
subsistens. Sedang untuk barang yang bisa berada tanpa materi memiliki forma
substansialis susbsitens. (2) Actus formalis secundus: Actus ini adalah penentu tambahan
pada suatu subjek yang sudah ada. Actus ini benar-benar mempengaruhi suatu barang tapi
tidak menyebabkan essensi dari barang itu. Dia adalah kesempurnaan aksidental.
3. Actus receptus dan actus non receptus: Actus receptus adalah actus yang diterima oleh
suatu potentia. Actus non receptus adalah actus yang tidak diterima oleh potentia.
Misalnya, forma substansialis dari segala barang material adalah actus receptus.
Sedangkan untuk forma murni tidak diterima dalam potentia dan oleh karena itu forma
non recepta. Dalam realitas segala actus essendi kecuali actus purus yakni Tuhan, adalah
actus receptus.

1.3.2. Macam-macam Potentia


Potentia activa: Kelihatannya merangkap dua prinsip yang kontrer. Tetapi istilah ini
berusaha mengungkapkan sesuatu yang riil, suatu hubungan antara actus-potentia. Contoh:
pada manusia ada kesanggupan untuk merasa dan berpikir. Pada kesanggupan itu ada serentak
actus dan potentia. Merasa dan berpikir adalah kesempurnaan-kesempurnaan. Karena itu
kegiatan merasa dan berpikir itu adalah actus. Namun, kalau kita bandingkan kegiatan itu
sendiri, yaitu pemakaian kesanggupan itu dengan kemampuan atau kemungkinan melakukan
kemampuan itu, maka dari aspek ini kesanggupan merasa dan berpikir itu tampak sebagai
potentia. Singkatnya, kalau kesanggupan dipandang hanya sebagai suatu kemungkinan atau
kemampuan untuk berbuat sesuatu, maka ia bersifat potentia. Tetapi, kalau dipandang hanya
menurut pemakaiannya (perbuatan), maka ia tampak sebagai actus. Adapun potentia activa
adalah actus untuk menunjukkan kesanggupan itu dipandang dari kedua aspeknya sekaligus.
Potentia passiva: Potentia ini adalah suatu kapasitas untuk menerima actus. (1)
Potentia entitativa adalah potentia yang menerima actus entitativus. Oleh karena essensi dari
barang-barang terbatas adalah prinsip yang menerima dan membatasi actus itu melalui mana
barang-barang itu berada, maka essensi dari barang-barang terbatas adalah potentia entitativa
mereka. Di sini perlu dicatat: Kalau kita memikirkan essensi sebagai potentia entitativa kita
tidak boleh menganggapnya sebagai sesuatu yang berada sebelum diaktualisasi oleh actus
essendi (berada). Benar, bahwa sebelum sesuatu berada, sesuatu itu harus mungkin untuk
berada. Sekalipun essensi (sebagai potentia entitativa) benar-benar prinsip ens namun ia tidak
dapat dipandang sebagai sesuatu yang berada sebelum diaktualisir oleh esse. (2) Potentia
pada taraf forma: Ada dua macam actus pada taraf forma, karena itu ada juga dua macam
potentia pada taraf forma. Pertama, potentia untuk menerima forma substansialis, yakni
materia prima yang merupakan potentia passiva yang munri. Kedua, potentia untuk
menerima forma accidentalis. Potentia ini ada pada subjek yang sudah berada dan merupakan
kapasitas untuk menerima actus yang ditambah pada essensi.
Potentia subjectiva: Kemampuan atau kapasitas riil suatu subjek untuk dapat berubah.
Subjek itu sendiri, dari dalam dirinya memliki kapasitas untuk berubah atau untuk
mendapatkan suatu kesempurnaan (actus) yang saat ini hanya sebagai suatu kemungkinan saja
29
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

tetapi adalah mungkin untuk menjadi kenyataan. Dalam sebatang pohon ada kapasitas untuk
berubah atau untuk menjadi besar. Kualitas atau kesempurnaan „besar“ itu belum dia miliki,
akan tetapi adalah mungkin dia akab berubah menjadi „besar“ (bertumbuh atau berkembang).
Itulah yang disebut potentia subjectiva. Akan tetapi pohon itu juga memiliki suatu potentia
objectiva untuk ditebang. Kemungkinan atau kapasitas riil untuk ditebang ini disebut sebagai
potentia objetiva dari sebatang pohon.

2. Penerapan Prinsip Potentia-Actus

2.1. Soal Pembatasan Actus Formalis Secundus


Kesempurnaan aksidental adalah actus, namun bukan actus entitativus, melainkan
actus formalis secundus, di mana actus tersebut mengandaikan suatu actus entitativus (actus
formalis primus). Karena itu, kesempurnaan aksidental adalah penentuan kedua (actus
formalis secundus) dari substansi yang sudah ada. Jadi, actus yang ditambahkan pada kodrat
dari sesuatu yang sudah ada.
Kesempurnaan aksidental itu distinkt secara riil dari subjeknya. Ia tidak identis dengan
subjeknya. Baju merah, di sini merah adalah kesempurnaan aksidental yang terdapat pada
substansi baju. Sekalipun kualitas merah itu menampakkan substansi baju sebagai sesuatu
yang ada riil, namun merah itu tetap beda dari baju, sehingga kita tidak bisa mengidentikkan
baju dengan merah. Sebab, bagaimanapun merah tetap lain dari baju. Dengan menyebut
merah, tidak dengan sendiri menyebutkan baju, sebab merah itu masih bisa disebutkan untuk
segala barang lainnya. Inilah soal keterbatasan kesempurnaan aksidental. Bagaimana
kesempurnaan aksidental bisa ada pada banyak subjek yang berbeda dan berada pada mereka
menurut derajadnya.
Di sini soalnya, bukanlah bagaimana banyak kesempurnaan aksidental bisa terdapat
pada satu subjek, pada waktu yang sama atau berbeda, melainkan bagaimana kesempurnaan
aksidental yang sama bisa ada pada banyak subjek yang berbeda dan menurut derajadnya?
Dengan kata lain, bagaimana kesempurnaan aksidental yang satu dan sempurna sebagai actus,
diperbanyak dan dibatasi pada subjeknya.
Ada bunga mawar yang berwarna merah, tetapi mereka bukanlah barang satu-satunya
yang berwarna merah dan warna merah tidak identis pada semua bunga mawar. Merahnya
mawar itu berbeda-beda. Dari sini kita lihat, bahwa pada dasarnya, segala kesempurnaan
aksidental terbagi karena banyak individu memilikinya dan terbatas karena segala individu itu
memilikinya menurut derajad-derajad yang berbeda-beda.
Untuk menerangkan persoalan ini kita berpijak pada prinsip Substantia-Accidentia,
bahwa segala accidentia tidak pernah ada dalam dirinya sendiri melainkan selalu ada pada
suatu substantia. Karena itu prinsip yang menjelaskan soal keterbatasan dan pembagian
kesempurnaan aksidental adalah substantia pada mana kesempurnaan itu terdapat. Oleh
karena itu hubungan antara substantia dan accidentia seperti hubungan potentia dan actus.
Kalau substantia itu dipandang sebagai sesuatu yang berada, maka ia adalah sesuatu
yang „in actu“. Namun dari pihak lain jelas dan benar bahwa substantia ditentukan oleh
accidens-accidens. Hanya saja accidens itu tidak menentukan substantia pada taraf eksistensi,
jadi accidens itu tidak menyebabkan susbtantia berada. Tetapi mereka benar-benar
menentukan susbtantia. Di sini accidens adalah actus karena dia menentukan substantia,
sedangkan substantia adalah potentia sebab ia ditentukan. Karena substantia memiliki dua
arti, maka seturut itu pula kita menempatkan soal keterbatasan dan pembagian kesempurnaan
aksidental:
1. Substansi adalah Essensi: Substantia dari suatu barang dipandang sebagai essensi yang
mungkin terdapat pada barang itu. Manusia dan binatang adalah dua species yang berbeda.

30
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Oleh karena itu, suatu accidens yang umum bagi keduanya akan terbatas sesuai essensi
masing-masingnya. Mengenal misalnya, sama-sama dimiliki oleh keduanya, namun aktus
mengenal seturut kodrat masing-masingya. Mengenal pada binatang hanya pada tataran
mengenal sensitip, sedangkan pada manusia mengenal serentak sensitip dan intelektip.
Tetapi baik manusia maupun binatang dapat mengenal apa yang essensinya masing-masing
mengijinkan. Essensi adalah prinsip yang membatasi kesempurnaan aksidental yang
terdapat pada barang.
2. Substansi adalah Individu: Accidens dibatasi oleh substansi dengan individualitasnya.
Kesempurnaan accidental itu yang merupakan pengetahuan yang berbeda-beda pada
individu-indivudu justru karena pada mereka ada perbedaan individual. Tiap barang
mempunyai individualitasnya sendiri. Prinsip pembatasan accidens-accidens adalah
substansi bersama dengan individualitasnya. Tidak ada kesempurnaan yang sama yang
dimiliki secara persis sama pada dua individu dari species yang sama justru karena
individualitasnya. Inilah yang memungkinkan berlakunya aksioma: Quid quid recipitur, ad
modum recipientis recipitur = Apa saja yang diterima, diterima sesuai dengan cara
penerima itu.

2.2. Soal Pembatasan Actus Formalis Primus


Adalah jelas bahwa sesuatu yang merupakan objek pengalaman adalah sesuatu yang
speciesnya tertentu. Juga jelas, bahwa tak ada sesuatu yang merupakan objek pengalaman
yang identik dengan essensinya. Seandainya suatu barang individual identik dengan
essensinya, maka tidak mungkin ada kelompok barang yang memiliki essensi yang sama.
Akan tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa banyak orang mempunyai essensi yang sama,
seperti manusia.
Oleh karena itu, persoalan sekarang adalah bagaimana satu essensi dapat ada dalam
banyak individu. Dengan kata lain, bagaimana mungkin banyak individu mempunyai essensi
yang sama? Atau, bagaimana barang-barang yang identik sebagai species, berbeda secara
numerik atau distinkt sebagai barang-barang individual. Singkatnya, bagaimana barang-
barang yang termasuk golongan yang sama dapat serentak sama sebagai species dan berbeda
sebagai individu.
Ada sebuah pemecahan yang tidak cukup, yakni usaha pemecahan berdasarkan
perbedaan dalam accidens. Bahwa tidak ada dua individu dari species yang sama accidensnya
persis sama, pada dua anak kembar sekalipun. Ada perbedaan aksidental antara dua individu
dari species yang sama dan bahwa kita bedakan satu individu dari individu yang lain dari
kelompok yang sama justru berdasarkan perbedaan species yang sama. Tetapi pemecahan ini
tidak memadai karena perbedaan dalam accidens antar satu individu dan yang lain
mengandaikan perbedaan dalam substansi mereka.
Adapun pemecahan yang memadai ialah berdasarkan distinksi materia prima dan
forma substansialis. Paduan keduanya adalah barang yang termasuk species tertentu. Di sini
forma substantialis adalah prinsip yang menentukan materia prima. Karena itu perbedaan
dalam forma substantialis menyebabkan perbedaan antara species. Jadi species berbeda
karena forma substantialis yang berbeda.
Mengapa ada perbedaan dalam species yang sama? Dasar pemecahan soal ini adalah
prinsip bahwa actus (forma substantialis) yang diterima dibatasi dan dibagi oleh potentia
(materia prima) pada mana ia diterima. Jadi forma dari segala barang material adalah actus.
Actus itu diterima oleh potentia yaitu materia prima. Maka, barang material diperbanyak
menjadi satu species setiap kali materia prima berfungsi membatasi forma substantialis. Itulah
sebab dari multiplisitas dari individu dalam species yang sama.

31
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Seandainya materia prima tidak ada, maka tidak mungkin ada banyak forma yang
berbeda dalam species yang satu dan sama,sebab materia prima adalah prinsip yang menerima
dan membatasi forma substantialis. Namun kenyataan ada banyak forma yang berbeda dalam
tiap species, dan sebab dari multiplisitas itu terletak tidak pada kodrat forma itu sendiri
melainkan pada kodrat materia. Jadi, alasan terdalam mengapa dapat ada banyak barang yang
mempunyai macam forma yang sama terletak pada sifat potential dari materia. Oleh karena
itu tiap kali materia prima berfungsi sebagai prinsip yang menerima forma substansialis,
maka sejauh itu pula terjadi multiplisitas individu dalam species yang sama.

2.3. Soal Pembatasan Actus Essendi


Ada bukanlah kesempurnaan aksidental. Ada adalah actus essendi yaitu suatu actus
melalui mana sesuatu berada. Ada bersifat transendental dan tidak merupakan suatu kategori.
Ada dari barang terbatas bukanlah kesempurnaan essensial (actus formalis primus). Telah
dijelaskan, bahwa tidak ada sesuatu yang essensinya adalah berada. Jika barang semacam itu
ada, maka barang itu harus selalu ada. Namun barang yang merupakan objek pengalaman
adalah barang kontingens bukan barang neccesarium. Oleh karena itu, pada barang-barang
sensibilis, ada itu bukanlah kesempurnaan essensial melainkan hanya suatu kesempurnaan
aksidental.
Fakta bahwa eksistensi dari barang-barang yang berada, berada secara terbatas.
Mengatakan, banyak barang ada, sama dengan mengatakan bahwa barang itu distinkt secara
riil satu dari yang lain. Oleh karena itu, actus essendi dari suatu barang tidak identik dengan
actus essendi dari barang yang lain. Juga objek pengalaman memperlihatkan bahwa actus
essendi itu ada pada barang secara terbatas dan menurut ukurannya. Kita mengalami sesuatu
seakan-akan ada suatu ukuran pada mereka. Persoalan sekarang, bagaimana ada itu dapat ada
pada banyak barang dan ada pada barang-barang secara terbatas.
Pertama-tama kita perlu ingat, bahwa dasar terdalam dari pembagian dan pembatasan
actus apa saja adalah potentia pada mana actus itu diterima. Oleh karena itu pemecahannya
harus bertolak dari prinsip pembatasan ini. Berdasarkan itu, maka pemecahannya demikian:
Prinsip yang membatasi dan memperbanyak ada dalam barang-barang terbatas adalah essensi
pada mana actus itu diterima. Jadi, essensi itulah yang menjelaskan kenyataan bahwa ada
diperbanyak dalam banyak subjek individual.
Pemecahan ini harus dijelaskan artinya lebih lanjut agar tidak terjadi salah paham.
Dalam hal ini, tidak boleh dibayangkan bahwa suatu barang atau essensinya ada sebelum
diaktualisir oleh ada. Sudah dijelaskan bahwa barang yang berada adalah hasil dari
aktualisasi dari ada dan tidak diandaikan oleh ada secara apa saja. Demikian juga tidak boleh
dianggap bahwa essensi dari barang yang terbatas berada sebelum menerima eksistensi.
Seandaianya essensi dari barang-barang berada sendiri, maka barang-barang itu riil hanya
berdasarkan essensi. Akan tetapi dalam pembicaraan tentang eksistensi dan essensi sudah
dibuktikan, bahwa essensi dari barang yang terbatas atau barang yang merupakan objek
pengalaman tidak mendasarkan realitasnya. Kalau diterima, bahwa essensi barang berada dari
sendirinya sebelum diaktualisir oleh esse, maka itu berarti, esse (ada) hanyalah penentu
kedua, seperti forma accidentalis.
Namun telah dibuktikan bahwa esse atau actus essendi tidak merupakan forma
accidentalis.Dalam pembicaraan mengenai eksistensi dan essensi telah dijelaskan perbedaan
antara essensi yang riil dan yang mungkin. Kalau kita mengatakan bahwa essensi adalah co-
principia atau prinsip potentia dari ens, maka kita maksudkan essensi yang riil. Prinsip itu
yang membuat barang-barang menjadi suatu tertentu.
Essensi dari segala barang yang berada adalah essensi yang telah diaktualisir dan
justru oleh aktualisasi itu dia mempunyai dan menjalankan eksistensinya, yaitu menyebabkan
barang itu tidak sekadar berada melainkan berada tertentu. Oleh karena itu essensi adalah
32
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

potentia jika dipandang dalam hubungannya dengan eksistensi, tetapi dia adalah actus jika
dipandang sebagai forma yakni unsur itu yang yang membuat barang-barang tertentu. Dan
cara adanya (modus essendi) dari barang-barang tergantung dari essensi. Oleh karena itu ada
diperbanyakan tiap kali dia diterima dalam essensi yang distinkt dari padanya. Dengan
demikian, Essensi dalam hal ini adalah prinsip pembatasan dari esse. Karena itu tidak
mungkin barang-barang „menjalankan“ actus essendinya di luar batasan essensi.

Bab 4

33
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Analogia Entis

Objek formal metafisika adalah ens in quantum ens. Itu berarti metafisika
berkonsentrasi pada actus essendi. Akan tetapi dalam realitas actus essendi itu tidak satu
melainkan banyak. Tiap barang mempunyai actus essendi sendiri. Di sini kita mau
mempertanyakan, mengapa terdapat banyak barang, dan pertanyaan itu senilai dengan
mempertanyakan unsur kesatuan dan kejamakan dalam pengalaman indrawi kita. Kita ingin
mencari di tengah keanekaan, keberbedaan prinsip kesatuan yang mengikat semua yang
ada.
Dalam kenyataan kita mengalami ada banyak barang. Semuanya berbeda dalam
cara berada. Batu, cara beradanya, lain dari cara beradanya seekor sapi. Malahan batu yang
ada di kali lain dari cara beradanya batu yang di gunung. Batu ini beda dari batu itu. Dua
barang tidak sama dalam keberadaannya. Dua individu tidak pernah mempunyai cara
berada yang sama. Barang-barang itu masing-masing dengan actus essendinya sendiri.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa kalau dua barang itu sama dalam adanya,
maka barang-barang itu bukan lagi dua melainkan satu barang. Akan tetapi ada itu dapat
diterapkan pada apa saja yang ada riil dan semuanya sama dalam ada: ada batu, ada sapi
dan ada manusia.
Yang menarik untuk ditelusuri di sini adalah kenyataan bahwa justru antara batu,
sapi dan manusia itu terdapat suatu yang identik dan yang berbeda. Sebagai yang ada,
batu, sapi dan manusia, semuanya adalah identik, tetapi bagaimana pun mereka tetap
berbeda satu sama lain, karena mereka hadir atau bereksisteni dengan cara masing-masing.
Tiap barang mempunyai actus essendi-nya sendiri. Adapun persoalan yang hendak dibahas
di sini, bukan bagaimana dapat ada banyak barang. Sebab, soal ini telah dipecahkan dengan
prinsip potensial dari esse yakni essensi. Yang hendak dipersoalkan sekarang adalah
bagaimana mungkin bahwa segala barang itu, dalam arti tertentu, toh satu dalam adanya.
Bagaimana dapat dikatakan bahwa ada adalah umum bagi segala sesuatu yang berada.

2. Soal Analogia Entis

2.1. Analogia Entis adalah Soal Kesatuan Ada


Telah dikatakan bahwa objek formal metafisika adalah ens ut ens, yang berarti
merefleksikan segala yang ada dipandang dalam aspek adanya. Tentu pertama-tama kita
mengenal barang-barang itu menurut cara adanya masing-masing. Tetapi kalau kita berhenti
di sini, maka pengetahuan kita hanyalah semacam suatu kumpulan ilmu partikular tentang
objek yang berbeda-beda. Supaya kita memiliki satu pengetahuan tentang ens ut ens, maka
kita harus tahu bagaimana ada itu umum bagi segala sesuatu yang ada, sehingga bisa
disebutkan tentang segala sesuatu yang ada. Nilai sebuah metafisika terletak dalam
pemacahan soal ini. Kalau disimpulkan bahwa seluruh realitas memiliki satu ada secara
absolut, maka itu disebut suatu sistem monisme. Kalau dinyatakan, bahwa antara barang-
barang tidak ada apa-apa yang umum, maka itu disebut sistem pluralisme absolut.
Dari sana kita lalu melihat inti persoalan kesatuan ada ini. Bahwa dari satu pihak jelas
ada banyak barang, maka itu berarti ada perbedaan dalam barang-barang itu. Tidak ada
barang yang berada menurut actus essendi yang sama. Sementara dari pihak lain, jelas bahwa
term ada itu dipakai dalam arti yang riil mengenai segala sesuatu yang ada. Dengan demikian
segala barang yang ada berada secara berbeda satu dengan yang lain, dan sementara itu

34
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

mereka tetap memiliki sesuatu yang umum yakni bahwa mereka semua ada. Jadi, barang
yang berbeda atau yang sama, selalu berbeda dan sama dalam adanya.
Intinya, kalau segala barang mempunyai ada bersama, maka bagaimana barang-
barang individual, barang ini dan barang itu, dapat berada. Atau, sebaliknya. Kalau segala
barang berbeda dalam ada, maka bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka mempunyai ada
bersama? Kelihatannya kedua ekstrem itu tidak dapat dipersatukan

2.2. Pemecahan Soal Kesatuan Ada


Paham Pluralisme memandang ada adalah term ekuivok. Term ada adalah suatu term
yang dipakai tentang dua atau lebih barang dalam arti berbeda. Sebagai term ekuivok, maka
tidak ada kesatuan dalam ada, sehingga tidak ada soal mengenai kesatuan ada. Seandainya
kesatuan ada itu ada, namun tidak dapat dikenal manusia. Jadi menurut paham ini ada itu
adalah term ekuivok. Akan tetapi teori ekoivositas ini tidak bisa diterima, karena justru term
ada itu dipakai dalam arti yang tegas mengenai apa saja yang berada dan mengungkapkan
suatu kesamaan arti di antara mereka. Dan sekalipun term ada itu tidak mempunyai arti yang
selalu persis sama (univok), namun dia bukan term ekuivok.
Sebaliknya, paham Monisme tidak memandang soal kesatuan ada ini tidak sebagai
term ekuivok seperti diungkapkan itu melainkan memandang ada sebagai satu yakni satu
sebagai satu substansi: Seluruh realitas adalah satu barang atau satu substansi, dan objek yang
biasanya dianggap sebagai suatu barang atau substansi sendiri, tidak lain dari atribut-atribut
atau modus dari yang satu itu. Inilah paham monisme metafisik. Akan tetapi monisme ini
bertentangan dengan kenyataan pengalaman. Berdasarkan pengalaman ada banyak barang dan
ada dari barang-barang itu benar-benar berbeda satu dari yang lain. Walaupun benar bahwa
ada dalam arti tetentu adalah satu, namun tidak benar bahwa ada adalah satu sebagai satu
substansi. Kenyataan dalam pengalaman menunjukkan bahwa substansi-substansi yang
berbeda sama dengan banyaknya barang yang berbeda.
Di samping itu ada pula pandangan tentang ada sebagai satu tetapi bukan satu
substansi melainkan satu sebagai genus.Di sini ada dipandang sebagai satu genus. Di sini ada
dipandang secara abstrak terpisah dari barang-barang-barang yang dalam kenyataan benar-
benar berbeda satu dengan yang lain. Ada dipandang sebagai genus, karena segala genus
sebagai genus berhubungan dengan essensi. Akan tetapi ada bukanlah suatu genus. Kalau
dikatakan bahwa genus ada „satu“, maka itu berarti satu itu adalah suatu abtsraksi logis. Akan
tetapi kesatuan ada bukanlah kesatuan suatu abstraksi dalam intelek, melainkan kesatuan
barang-barang yang berada dalam realitas.
Memandang ada sebagai genus berarti melepaskan segala perbedaan dalam ada. Lalu,
untuk mengembalikan perbedaan-perbedaan itu kita harus „menambah“ pada mereka dari luar
yakni dari luar ada. Namun di luar ada sudah tidak ada apa-apa lagi. Ada sebagai genus
berarti secara univok, yakni dalam arti yang sama mengenai segala barang. Namun ada tidak
pernah berarti yang sama mengenai dua barang apa saja. Ada tidak pernah ada pada dua
barang secara persis sama. Oleh karena itu ada bukanlah term univok, tetapi juga bukan term
ekuivok. Jawaban yang sesuai dengan ciri bahwa ada itu sama pada segala barang dan
sekaligus barang-barang itu berbeda dalam adanya masing-masing, adalah analogi. Ada
adalah term analog. Ada bukanlah pengertian univok dan bukan juga pengertian ekuivok.
Adapun soal analogi berkaitan sangat erat dengan soal pengetahuan kita tentang ada.
Namun yang kita selidiki di sini adalah inti dari ada itu sendiri. Karena itu kita bertolak dari
asas „lex entis, lex mentis“: Kita lebih dahulu tahu bagaimana barang-barang ada satu dalam
ada dan sesudah itu bagaimana ada itu satu dalam pengetahuan. Analogia entis menjelaskan
kesatuan ada dan bukan kesatuan antara bagian-bagian dari barang sama. Analogia entis
menerangkan realitas kesatuan antara satu barang dengan barang lain. Karena ada itu adalah
paling dasariah dalam realitas, maka analogi yang memecahkan soal kesatuan adalah hanya
analogi intrinsik pada segala barang yang ada. Untuk itu kita perlu kemukakan juga di sini
35
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

macam-macam analogi, sampai menemukan suatu macam analogi yang sesuai untuk
menerangkan ada.
Pertama, analogi metaforis: Satu term disebutkan secara seharusnya (propriae) untuk
suatu hal, kemudian term yang sama disebutkan dalam arti kiasan untuk banyak hal lain,
berdasarkan suatu hubungan perbandingan antara dua sifat atau fungsi atau unsur. „Kepala
Kantor“ dikenakan kepada Markus, maka itu berarti fungsinya Markus di kantor dapat
diperbandingkan dengan fungsi kepala pada tubuh. Kedua fungsi itu tidak sejenis, namun
berdasarkan pengetahuan kita tentang fungsi kepala pada tubuh kita dapat mengerti dalam
garis besar tentang fungsi si Markus di kantor itu. Hanya perlu diperhatikan, bahwa kepala
disebutkan secara seharusnya yaitu dalam arti yang asli hanya bagi primum analogatum,
yakni mengenai tubuh. Term kepala untuk secundum analogatum yakni si Markus
mengandaikan bahwa sudah dimengerti apa arti term itu kalau dipakai bagi primum
analogatum. Pemakaian secara metaforis dari suatu term didasarkan bukan atas kesamaan
antara barang atau kodrat tetapi atas kemiripan: kepala sebagai bagian dari tubuh dengan
Markus sebagai personal kantor.
Akan tetapi ada bukan dalam arti metaforis, karena dalam term metaforis, yang
dipakai untuk mengungkapkan suatu kesamaan, dipakai secara propriae hanya pada primum
analogatum, padahal analogi yang berhubungan dengan ada harus dipakai secara propriae
mengenai segala barang, dimana segala barang itu memuat di dalam dirinya pengertian ada.
Mereka dikatakan barang ini dan barang itu karena mereka ada. Akan tetapi mereka ada
sebagai barang ini dan barang itu secara berbeda. Semua mereka memang berada tetapi
berada menurut cara mereka masing-masing.
Kedua, analogi atribusi: Di sini suatu term yang dipakai secara propriae tentang
primum analogatum dapat dipakai juga tentang analogata yang lain, adalah karena adanya
suatu hubungan langsung antara subjek yang sama (primum analogatum) dengan subjek lain
(secunda analogata). Demikian, makanan dinamakan sehat bukan karena ada kesehatan
padanya atau ada kesamaan antara badan yang sehat dengan makanan yang sehat, melainkan
karena ia menyebabkan atau memungkinkan kesehatan tercipta pada tubuh.
Analogi atribusi ini mempunyai beberapa sifat: (1) Kesempurnaan atau fungsi yang
dipakai dalam analogi itu ada secara intrinsik hanya pada primum analogatum (princeps
analogatum). (2) Kesempurnaan itu berhubungan dengan secunda analogata berdasarkan
hubungan ekstern. (3) Alasan, mengapa term yang sama dipakai juga mengenai secunda
analogata adalah bahwa analogata itu berhubungan dengan primum analogatum sebagai
sebab atau akibat. Misalnya, sehat disebutkan tentang tubuh secara seharusnya karena
kesehatan itu ada secara intrinsik pada badan. Sehat disebutkan tentang segala yang lain
secara ekstrinsik oleh karena suatu hubungan sebab atau akibat. Sehat disebutkan mengenai
makanan, karena makanan memelihara kesehatan. Sehat disebutkan tentang obat, karena obat
itu memulihkan kesehatan.
Akan tetapi analogi atribusi ini juga tidak memadai untuk mengungkapkan soal
kesatuan ada, sebab dalam analogi ini yang disebutkan secara intrinsik hanya pada primum
analogatum dan secara ekstrinsik dengan analogata yang lain oleh karena suatu hubungan
sebab atau akibat dengan primum analogatum. Padahal ada disebutkan secara intrinsik
tentang segala barang yang ada, justru karena ada itu de facto termuat pada segala barang.
Namun analogi atribusi sangat bernilai dalam pembicaraan tentang Tuhan sebagai Ens
Primum atau Causa Prima. Dalam perspektip itu Tuhan adalah primum analogatum yang
mempunyai ada dari dirinya sendiri, sedangkan segala yang lain adalah secunda analogata
yang mempunyai ada oleh karena suatu atribusi, sebagai akibat, kausalitas ilahi atau oleh
karena partisipasi dalam ada dari Tuhan.
Ketiga, analogi proporsi proprie: Ada disebutkan secara proprie tentang segala barang
yang ada, karena ada adalah inti terdalam dari segala barang yang ada. Dari kedua macam
analogi terdahulu tidak mampu menerangkan analogia entis, karena analogia entis harus

36
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

berdasarkan atas hubungan yang intrinsik dengan segala barang. Untuk itu kita harus bertolak
dari definisi umum tentang analogi, yakni kesamaan dalam perbedaan, sehingga duduk
soalnya adalah bagaimana barang-barang yang berbeda, toh sama, dalam ada.
Supaya jangan sampai terjadi salah paham tentang kesamaan dan perbedaan itu, maka
perlu dijelaskan: (1) Kesamaan pada ada itu tidak dapat didasarkan atas perbandingan yang
langsung dan sederhana antara dua barang apa saja, karena dua barang apa saja dipandang
menurut keseluruhan masing-masing barang itu sebagai kesatuan selalu berbeda. (2)
Kesamaan tidak didasarkan atas kesamaan yang sederhana antara bagian-bagian yakni essensi
dan actus essendi.
Mengenai ada ini ada kesamaan, namun bukan kesamaan yang sederhana dan
langsung antara dua barang, melainkan kesamaan yang sebanding/sepadan (proporisonal).
Kesamaan antara barang yang satu dengan barang yang lain didasarkan bukan atas bagian-
bagiannya, melainkan „kesamaan hubungan“ antara bagian-bagian itu. Ada kesamaan antara
barang-barang, karena pada yang satu dan yang lain ada proporsi bagian-bagian, yaitu
proporsi antara essensi dan actus essendi yang ada pada barang yang sama dengan propossi
bagian-bagian pada barang lain apa saja.
Ada kesamaan dalam ada antara dua barang apa saja yang berbeda, karena masing-
masing mereka menjalankan actus essendi sepadan (proporsi) dengan essensinya. Misalnya,
sepotong besi sepadan dengan essensi kebesiannya. Tumbuh-tumbuhan ada sepadan atau
proporsional dengan essensinya sebagai tumbuhan. Walaupun tidak ada dua barang yang
mempunyai actus essendi yang sama, namun segala barang yang berbeda mempunyai actus
itu secara sepadan dengan essensinya.
Karena itu betapapun besarnya perbedaan antara dua barang apa saja, namun mereka
selalu mirip mengenai hubungan intern antara bagian-bagian mereka. Garam berada sesuai
dengan essensi sebagai garam, persis seperti bunga berada sesuai dengan essensinya sebagai
bunga. Jadi, analogia entis didasarkan atas kesamaan dari hubungan-hubungan seperti itu.
Berdasarkan penjalasan itu, maka analogia entis disebut analogia proportionalitatis
propriae. Dinamakan propriae karena bagian-bagian yang dimaksud (essensi dan actus
essendi) ada secara intrinsik pada setiap term pada mana terdapat kesempurnaan itu.
Sekalipun analogi metaforis juga mengenai proportionalitas, yakni mengenai kesamaan atau
kemiripan antara proporsi-proporsi, namun dianggap sebagai cara analogi improper, karena
kesempurnaan yang merupakan pokok analogi itu tidak ada secara intrinsik pada segala term
(analogata).
Inti analogia entis adalah bahwa barang-barang yang berbeda dengan bagian-bagian
yang berbeda mempunyai proporsi bagian yang sama. Barang semirip karena tiap barang
mempunyai actusnya secara proporsional dengan kodratnya.

3. Analogia dan Bahasa Manusia tentang Allah

3.1. Duduk Soalnya


Bahasa yang kita pakai setiap hari adalah bahasa yang berasal dari pengalaman insani
kita. Namun, bila kita berbicara tentang Allah justru kita menggunakan bahasa yang sama,
padahal Allah itu adalah suatu realitas yang melampui pengalaman insani kita. Allah adalah
realitas adi-alami yang mengatasi segala-galanya secara tak terbatas, sedang bahasa insani
kita bagaimanapun sempurnanya tetap bersifat „terbatas“, karena bahasa itu mempunyai
ketergantungan ekstrinsik kepada materi. Jadi, di satu pihak ada „keterbatasan“, yaitu bahasa
insani selalu bereferensi kepada pengalaman indrawi, sementara di lain pihak ada „ke-
takterbatasan“, yaitu kesempurnaan mutlak yang terdapat pada objek yang di“bahasa“kan.
Pertanyaan pun muncul. Masihkah kita ketahui, kita berbicara tentang apa, bila bahasa
insani kita pakai untuk menunjukkan Allah? Apakah bahasa yang kita pakai untuk
37
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

menunjukkan Allah itu, bisa diambil begitu saja dari bahasa yang kita gunakan dalam konteks
pengalaman konkret kita? Apakah bahasa yang selalu berkaitan dengan dunia terbatas itu,
bisa diterapkan begitu saja kepada Allah yang „tak terbatas“? Bukankah Allah itu „unik“,
berlainan sama sekali dengan sesuatu yang lain?
Dengan demikian terdapat suatu inadequatio antara bahasa dan objek yang
dibahasakan. Bahasa yang kita gunakan tidak lain adalah bahasa yang terdiri dari konsep-
konsep atau pengertian-pengertian. Konsep itu tidak lain adalah representasi, yaitu suatu
gambaran akali atas realitas material. Ketergantungan ekstrinsik pada materi inilah yang
membuat pengetahuan manusia itu pada hakekatnya terikat pada dunia sensibilis, sehingga
selamanya dan bagaimana pun sempurnanya, tetap tidak mungkin menangkap atau
mengungkapkan secara memadai realitas ilahi.
Tetapi bagaimanapun kita harus menggunakan konsep-konsep itu manakala kita
berbicara tentang Allah, sebab tanpa konsep itu mustahil kita berpikir dan berbahasa. Tidak
ada jalan lain selain, kalau kita berbicara tentang Allah, maka di situ kita harus memperbaiki
konsep-konsep itu dengan meniadakan sifat-sifat „terbatas“ yang dimilikinya. Bagaimanakah
itu mungkin dilakukan? St. Thomas Aquinas dengan teori Analoginya mengatakan bahwa
Allah itu untuk sebagian adalah tidak beda dari ada-ada yang ditunjuk oleh konsep-konsep
insani yang bersifat sensibilis, dan untuk sebagian bukan seperti ada-ada itu.

4.2. Bahasa Manusia mengenai Realitas Ilahi

4.2.1. Membahasakan Allah secara Univok


Suatu term disebut „univok“ berarti term itu dipakai dua kali atau lebih untuk barang
apa saja dengan arti yang sama. Dengan kata lain, satu kata dipakai mengenai beberapa hal
dalam arti yang persis sama. Demikian misalnya, „Petrus manusia“ dan „Maria manusia“.
Term „manusia“ di sini adalah term univok, yang memberikan informasi yang persis sama
mengenai Petrus dan Maria. Karena itu, kandungan makna kata manusia dari kedua kalimat
itu tidak berbeda. Kemanusiaannya Maria sama persis dengan kemanusiaan yang dimiliki
Petrus.
Adapun bahasa kita mengenai Allah jelas tidak bisa secara univok seperti ini. Kita
tidak bisa memakai suatu term dalam arti yang „satu“ dan „sama“ mengenai Allah yang in
ordine essendi adalah „tak terbatas“ dan mengenai manusia in ordine essendi adalah
„terbatas“. Seturut status ontologik ini, maka jelas bahwa kata-kata yang kita pakai untuk
menunjukkan manusia atau ciptaan sebagai realitas „terbatas“, tidak bisa dipakai dalam arti
yang satu, sama mengenai Allah sebagai realitas „tak terbatas“. Karena itu, kata-kata yang
kita pakai untuk ciptaan, manakala kata-kata itu kita kenakan kepada Allah, maka artinya
tentu „tidak sama“. Kata „bijaksana“ dikenakan kepada Allah seperti „Allah itu bijaksana“,
tentu artinya tidak sama persis manakala kata yang sama kita kenakan kepada manusia seperti
„Kepala negara itu bijaksana“, maka dalam hal ini kita harus memperhatikan beberapa
distinksi berikut: (1) Bahwa, bijaksananya kepala negara itu hanya dalam-hal tertentu,
mungkin dalam hal ini hanya mengenai politik dan soal-soal kenegaraan, namun tidak
mengenai segala hal, ia bijaksana. (2) Bahwa, bijaksananya sampai sekarang, namun tidak
memiliki suatu kepastian bahwa untuk esok dan seterusnya, ia bijaksana. (3) Bahwa, ia
belajar banyak untuk menjadi bijaksana, entah melalui pengalaman atau studi akademik, dan
tidak begitu saja ia menjadi bijaksana. Singkatnya, tidak dari sendirinya, tidak selalu dan
selamanya, tidak mengenai segalanya, ia bijaksana. Bagaimanapun luar biasa bijaksananya,
tetap bersifat terbatas.
Tentu saja semua konotasi yang memperlihatkan „keterbatasan“ itu tidak bisa kita
kenakan begitu saja kepada Allah, walaupun kita bisa mengatakan bahwa Allah adalah
bijaksana. Kalau kita berbicara mengenai Allah, maka kita harus perhatikan bahwa dalam hal
38
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

itu, maksud kita tidak persis sama dengan apa yang kita maksudkan dengan cara berbicara itu
mengenai manusia atau ciptaan pada umumnya. Manakala kita berbicara tentang Allah dan
manusia secara persis sama, secara univok, maka dengan itu kita „menyetarakan“ Allah
dengan manusia. Padahal secara ontologis kita telah akui bahwa Allah itu sebagai „ada yang
tak terbatas“ dan manusia sebagai „ada yang terbatas“. Itulah bahaya antropomorfisme
dalam pemakain bahasa univok mengenai realitas ilahi. Padahal, kalau kita memakai
pengertian bijaksana seperti disebutkan itu, maka dengan sifat itu kita maksudkan sebagai
kualitas yang ada pada manusia, yang lalu dikenakan kepada Allah dalam tingkat yang lebih
tinggi.
Dengan demikian pemakaian bahasa secara univok mengenai Allah akan
menghilangkan nilai „absolut“ dari ada yang dimilikinya. Ia adalah „ens a se“, Ia adalah ada
dari sendirinya. Sedang barang ciptaan, memang mereka ada namun tidak dari sendirinya.
Mereka menjadi ada selalu oleh yang lain, yang dalam hal ini adalah oleh Allah. Allah adalah
asal dari segala apa saja yang ada. Sekalipun Allah itu sendiri disebut sebagai ada, namun
pengertian ada di sini tidak persis sama dengan pengertian ada pada makhluk ciptaan.
Karenanya, ada di sini tidak bisa dipakai secara univok mengenai Tuhan dan makhluk
ciptaan. Kalimat seperti „Tuhan ada“ dan „Manusia ada,“ hanya secara logis sama, sebab
pengertian ada di sini berlaku sebagai predikat. Akan tetapi, secara ontologis justru berbeda.
Ada bagi manusia adalah „ada yang diadakan“, sedangkan ada bagi Allah adalah „ada yang
tidak diadakan“. Bahasa kita harus mengatakan bahwa Allah itu adalah ada, dan ada itu
sebenarnya tidak lain adalah Allah.
Penolakan pemakaian bahasa univok mengenai Allah tidak saja berdasarkan analisis
status ontologik dari ada seperti itu. Analisis hubungan sebab-akibat juga bisa
memperlihatkan ketidakmungkinan pemakaian bahasa seperti itu mengenai Allah. Prinsip
metafisik mengatakan, bahwa „kesempurnaan pada sebab sama dengan kesempurnaan pada
akibat“. Itulah asas tentang sebab-univok. Demikian misalnya, seorang anak adalah termasuk
species yang sama dengan orangtuanya. Dalam hal ini, orangtua adalah sebab univok bagi
lahirnya seorang anak. Tegasnya, dari manusia hanya menurunkan seorang anak manusia dan
bukan seekor hewan. Dari seekor kerbau hanya menurukan seekor anak kerbau dan bukan
seekor kuda, sekalipun kuda dan kerbau sama-sama hewan. Kita tidak bisa menantikan
munculnya seekor kuda dari sebutir telur ayam, sebab ayam bukan sebab univok bagi kuda.
Kembali kepada persoalan hubungan Tuhan di satu pihak dan manusia atau ciptaan di
lain pihak, di mana Tuhan dilihat sebagai sebab dan ciptaan sebagai akibat. Pertanyaan,
apakah ada yang dimiliki Tuhan atau salah satu kesempurnaan yang dimilikiNya di mana
kesempurnaan itu identik dengan ada tersebut, bisa menjadi sebab univok dari ada pada
makhluk ciptaan? Kalau jawabannya bisa, maka itu berarti Tuhan tidak lagi berlaku sebagai
„sebab universal“ bagi kesempurnaan yang makhluk ciptaan miliki. Tegasnya, hubungan
antara Allah di satu pihak dan makhluk ciptaan di pihak lain tidak bisa dipandang dalam
konteks sebab univok. Kalau kepada Allah kita kenakan pengertian sebab univok, maka itu
berarti makhluk ciptaan sebagai akibatnya memiliki kesempurnaan yang serupa denganNya.
Bisa saja kita mengatakan bahwa yang memiliki keserupaan dalam kesempurnaan dengan
Allah adalah manusia. Jadi, manusia adalah akibat univok dari sebabnya Tuhan. Akan tetapi,
bagaimankah kita harus menjelaskan bahwa ciptaan di atas alam semesta ini dengan begitu
banyak jenisnya, tidak hanya manusia. Apakah ciptaan-ciptaan itu tidak disebabkan oleh
Allah? Jelas, semuanya itu diadakan oleh Allah. Tak ada satu barangpun di atas alam ini yang
menjadi ada oleh dirinya sendiri (ens a se). Bagaimanapun, segalanya dijadikan oleh Allah,
kecuali Allah sendiri.
Dengan demikian Allah adalah sebab dari segala sesuatu yang ada, tetapi bukan
sebagai sebab univok melainkan sebagai sebab universal. Bahwa, segalanya adalah Allah
sebagai sebab adanya. Di situlah Allah dilihat sebagai sebab universal bagi apa saja yang ada.
Oleh karena itu, pengertian sebab univok mengenai Tuhan tidak berlaku. Seandainya

39
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

pengertian semacam itu dikenakan kepada ciptaanNya, maka dengan itu pula Allah
disetarakan dengan makhluk ciptaanNya. Analisis sebab-akibat ini juga memperlihatkan
bahwa Allah tidak bisa dibahasakan secara univok, dengan pengandaian bahwa Allah itu
adalah ada absolut dalam arti yang tegas.

4.2.2. Membahasakan Allah secara Ekuivok


Suatu term ekuivok, kalau term yang dimaksud dikenakan kepada dua hal atau lebih,
yang sama sekali lain, dalam arti yang berlainan pula. Term ekuivok itu memiliki dua atau
lebih arti yang benar-benar berbeda. Kata „membajak“ dalam kalimat „Petrus membajak
sawah“ dan „Petrus membajak pesawat terbang“, berlainan sama sekali artinya.
Karena membahasakan Allah itu secara univok adalah tidak mungkin karena Allah
lain sekali dari makhluk ciptaan, lantas kita berpikir, kalau begitu kita membahasakannya
secara ekuivok untuk menunjukkan bahwa Allah itu di mata manusia tidak sekadar lain tetapi
benar-benar lain. Manusia melihatNya tidak sekedar lain dari dirinya tetapi bahwa Allah itu
justru benar-benar lain. Bahasa kita tentang Dia haruslah dalam arti yang lain sama sekali dari
bahasa itu kita yang pakai tentang makhluk ciptaan.
Terhadap pendapat seperti ini kita patut mengajukan pertanyaan. Manakala kita
berkata bahwa Allah itu bijaksana, apakah kata bijaksana itu mempunyai arti sama sekali lain
tatkala kita memakai kata yang sama kepada manusia? Kalau kita berkata, „Allah itu
bijaksana“, apakah kita seakan mendengar suatu bahasa yang tidak kita kuasai? Tentu Tidak.
Kata bijaksana itu adalah kata yang biasa kita pakai mengenai manusia, dan tatkala kata itu
dipakai mengenai Allah sebagai yang lain dari manusia, maka kita tetap mengerti maksudnya.
Justru kita mengerti pemakaiannya mengenai Allah setelah kita mengerti bagaimana kata itu
dipakai tentang manusia. Jika kita tidak memahami artinya dikenakan kepada manusia, maka
mustahil pula kita akan mengerti artinya bila dikenakan kepada Allah.
Lebih daripada itu. Kalau berbicara tentang manusia dan Allah secara ekuivok, maka
itu berarti bagi kita manusia, kata Allah itu sendiri dan apa saja yang dikatakan tentangNya
tidak akan mempunyai makna apa pun. Karena itu kata baik misalnya tidak bisa dipakai
tentang manusia dan Tuhan secara ekuivok, di mana artinya benar-benar berlainan untuk
keduanya. Sebab, bagaimanapun antara Tuhan dan manusia ada hubungan. Tuhan adalah
sebab dari adanya manusia. Itu berarti, ada relasi kemiripan antara sebab di satu pihak dan
akibat di pihak lain. Seandainya „baik“ atau atribut lainnya dipakai secara ekuivok, maka bagi
kita manusia adalah mustahil untuk membuktikan tentang adanya Tuhan dan mustahil pula
untuk menyimpulkan bagaimana pengertian atau kesempurnaan itu terdapat pada manusia.
Sebenarnya, kalau kita mengatakan „Tuhan baik“, maka kita tentu bermaksud lebih
dari pada mengatakan „Tuhan tidak jahat“ (via negationis), atau „Tuhan baik“, itu berarti
menegaskan bahwa yang dinamakan kebaikan pada makhluk itu sebenarnya ada pada Tuhan
secara lebih dahulu, secara lebih tinggi dan secara seharusnya.

4.2.3. Membahasakan Allah secara Analog


Term analog berarti satu kata dipakai untuk dua atau lebih hal dengan kandungan arti
ada kesamaan dan ada perbedaan. Bunyi yang sama dan kata yang sama untuk dua atau lebih
hal yang dibandingkan, namun di dalamnya terdapat pengertian yang sama dan sekaligus
berbeda. Dengan kata lain, analogi adalah relasi kemiripan antara dua hal. Suatu pengertian
bersifat analog, kalau sebagian artinya sama, sebagian artinya berlainan.
Contoh analogi „ke arah bawah“. Seekor anjing disebut „setia“. Dengan mengatakan
seekor anjing setia, itu berarti beberapa ciri yang terdapat pada manusia yang setia terdapat
pula pada anjing, sehingga anjing itu bisa dikatakan seekor anjing yang setia. Sekalipun
anjing itu desebut setia sebagaimana seorang manusia disebut setia, namun kesetiaan pada
40
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

tarap manusia jelas berbeda sekali dengan kesetiaan pada tarap binatang. Pada tarap anjing
terdapat kualitas yang sesuai dengan apa yang disebut setia pada tarap insani. Kita mengerti,
seekor anjing itu setia sejauh kita mengerti bagaimana kualitas yang sama dipakai mengenai
manusia. Yang sesungguhnya memiliki kualitas setia hanya manusia. Karena itu kita baru
mengerti bagaimana kata itu dimaksudkan pada binatang setelah kita mengerti mengenai
kesetiaan pada manusia.
Bisa juga analogi bergerak dari tarap manusia kepada yang mengatasi manusia secara
ontologis. Itulah yang disebut „analogi ke arah atas“. Demikian misalnya, kata atau
pengertian yang manusia miliki (dalam pengalaman insani), dipakai juga mengenai realitas
adi-alami yakni mengenai Allah. Kebaikan dan kebijaksanaan misalnya, bisa dikenakan
kepada Allah. Maka, itu berarti kedua kualitas itu sejauh mengenai Allah adalah „sempurna“.
Maksudnya, kedua kualitas itu dipakai mengenai Allah dalam arti yang „sempurna“, dan kita
mengenai itu hanya secara analog. Kita tidak menempatkan kata-kata itu secara persis sama
seperti mengenai manusia. Juga, tidak berarti bahwa kata-kata itu kalau dipakai mengenai
Allah, maka artinya menjadi lain sama sekali (ekuivok). Akan tetapi, kata-kata itu dipakai
mengenai Allah justru setelah kita tahu pemakaiannya pada tarap insani yakni dalam
pengalaman insani kita. Kita mengerti maksud kata-kata itu tentang Allah setelah kita
pertama-tama tahu apa yang dimaksudkan manusia dalam pengalaman sehari-hari dengan
kata itu.

4.3. Pemakaian Bahasa Analog tentang Realitas Allah

4.3.1. Analogia Entis


Analogi berarti ada yang identik dan ada pula yang berbeda. Analogi jelas sekali
berkaitan dengan asas identitas. Karena itu, mengenai ada kita harus mengatakan demikian,
bahwa esse dari apa saja memang tidak sama satu sama lain, namun bagaimanapun tetap
mempunyai kesamaan dengan yang lain. Dengan kata lain, dalam keanekaan dan kejamakan
yang tidak terbatas dari apa saja yang ada, terdapat suatu kesamaan dan perbedaan. Menjadi
„sama“ dengan semua apa saja karena semua sebenarnya adalah „berada“ dan menjadi
„beda“ karena semua itu selalu „ada sebagai ini“ dan „ada sebagai itu“, sehingga tidak ada
dua barang yang benar-benar sama.
Konsep ada itu mengungkapkan masing-masing substansi pada segala tarap menurut
seluruh realitasnya dan menurut segala aspeknya. Apa saja yang ada, ditangkap dengan
konsep ada ini, dan apa saja yang tak terungkapkan di dalamnya, memang itu tidak ada.
Substansi-substansi tidak memiliki esse mereka secara terpisah-pisah, berdampingan
saja, atau dengan dibandingkan satu sama lain dari jauh. Mereka memiliki esse itu dalam
komunikasi dan kebersamaan. Maka dengan konsep ada ini semua substansi ditangkap
menurut kesamaan mereka timbal-balik dalam hal „berada“. Itu berlaku bagi tanah, hewan,
pohon, manusia dan Tuhan. Jadi, konsep ada berarti universal dan sama bagi segala substansi.
Dari lain pihak, karena tidak apa-apa dikecualikan dari konsep ada, maka konsep itu
diucapkan mengenai apa saja justru menurut kemandirian dan perbedaanya. Konsep ada itu
mancakup semua substansi mana saja menurut kesendiriannya yang konkret, entah itu
mengenai Tuhan, atau orang ini, atau kuda itu, atau bunga yang indah sana, atau batu keras
itu, pokoknya dengan segala unsur individualitasnya. Oleh karena itu, konsep ada ini
mengungkapkan juga sifat konkret-individual-unik dari masing-masing barang.

41
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

4.3.2. Analogia Transcendentalis


Analogi dan transendensi merupakan sifat relatip dari ada, karena di dalam analogi
ditunjukkan sifat superioritas dan inferioritas, identitas dan diversitas. Sifat-sifat ini
menunjukkan sifat „banyak“ dan „berbeda“ dari apa saja yang bereksistensi.
Dalam pembicaraan tentang Allah, kita tidak menerapkan istilah-istilah analog pada
Allah dengan mempersatukan istilah-istilah positip dan negatip yang sebelumnya sudah
diakui. Kita hanya mencapai konsep-konsep yang positip dan yang negatip dengan
menganalisis konsep-konsep yang „mentransendensikan“, yang menyatakan dinamika akal
kita. Kita bisa mengafirmasi beberapa sifat dan menegasi bahwa sifat-sifat tertentu itu
dimilikiNya tidak dengan cara sebagaimana sifat-sifat itu terdapat dalam makhluk ciptaan,
hanya karena Allah kita kenal sebagai Dia yang selalu ada di atas apa pun yang dapat kita
gambarkan, sebagai objek terakhir dan memuaskan secara sempurna hasrat tak terbatas dari
akal serta kehendak manusia.

4.3.3.1. Analogia Atributionis


Dalam analogi model ini, satu dari beberapa analogata mempunyai suatu ciri dalam
arti yang sebenarnya, sedangkan kepada yang lain ciri itu dikenakan (atributed) dalam arti
sampingan atau turunan. Hal atau barang yang memiliki kualitas dalam arti yang sebenarnya
disebut primum analogatum atau princeps analogatum. Hal-hal atau barang-barang yang
kepada mereka kualitas itu dikenakan dalam arti turunan disebut secunda analogata.
Kata sehat misalnya, dapat disebutkan tentang tubuh, pakaian, olahraga, makanan,
rumah. Sekalipun kata sehat itu bisa dikenakan kepada banyak hal atau memberikan
informasi tentang banyak hal, namun informasi yang disebutkan itu tidak sama persis satu
dengan yang lain, tetapi juga tidak sama sekali lain satu dengan yang lain. Sehat, hanya
dipakai dalam arti yang sebenarnya mengenai „tubuh“. Secara sebenarnya kita hanya bisa
mengatakan „tubuh yang sehat“. Dalam hal ini „tubuh“ sebagai primum analogatum.
Sedangkan mengenai hal-hal lain seperti yang disebutkan di atas, kata sehat dikenakan kepada
mereka melulu berdasarkan perbandingan dengan primum analogatum ini. Perbandingan itu
dibuat berdasarkan „relasi“ antara tubuh di satu pihak dan hal-hal lain di pihak lain. Bahwa
pakain, olahraga, makanan, rumah, atas suatu keadaan dan cara tertentu semuanya itu menjadi
sebab bagi adanya kesehatan pada tubuh.
Masalah bahasa teologis terletak dalam hal ini, bahwa bahasa itu justru pertama-tama
dalam tataran indrawi dipakai mengenai barang-barang di luar Allah. Kata-kata yang kita
pakai untuk menunjukkan dunia pengalaman kita, kita gunakan dalam arti yang sebenarnya
dan itu berarti sebagai primum analogatum, kemudian kata yang sama itu kita kenakan
kepada Allah menurut suatu relasi dengan arti yang pertama itu. Maka, dalam hal ini Allah
sebagai secundum analogatum.
Kita mengerti apa yang dinamakan oleh pengertian itu dikenakan kepada Allah,
bilamana pertama atau sebelumnya kita tahu apa maksud kata itu mengenai makhluk ciptaan.
Terlebih dahulu ada arti biasa dalam pengalaman insani barulah kemudian kita pakai kata itu
dalam arti turunan mengenai „yang maha lain“, namun artinya tidak menjadi sama sekali lain.
Kalau artinya menjadi sama sekali lain, yaitu tidak ada hubungan dengan arti yang biasa
dalam pemakaian insani sehari-hari, maka kita kembali jatuh ke dalam bahaya agnotisme.
Tetapi juga tidak berarti, bahwa kata itu dipakai dalam arti yang persis sama dengan
pemakaian insani sehari-hari. Jika seperti itu, maka kita kembali jatuh ke dalam bahaya
antropomorfisme.
Namun kita perlu memperhatikan cara relasi antara primum analogatum di satu pihak
dan secunda analogata di pihak lain. Pada orde epistemologis yakni pada tataran mengenal
insani, yang merupakan primum analogatum adalah kata-kata itu dipakai dalam arti yang

42
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

sebenarnya mengenai manusia (ciptaan) dan kepada secunda analogata dikenakan dalam arti
turunan. Jadi, pada tataran mengenal manusiawi yang selalu merupakan kerja sama antara
„sensus“ dan „intellectus“, kata-kata itu dipakai dalam arti yang sebenarnya, dan justru
setelah kita mengerti pemakaian kata-kata itu dalam kehidupan sehari-hari barulah menjadi
mungkin untuk kita kenakan kepada yang melampaui pengalaman indrawi. Kalau kita tidak
mengerti artinya dalam pemakaian sehari-hari, maka mustahil kita mengerti pengenaannya
kepada Allah, sebab pemakaian kepada Allah itu hanyalah dalam arti turunan. Itu berarti,
harus ada arti yang pertama sebagai arti yang sebenarnya.
Kita bisa kenakan kepada Allah bahwa Allah itu baik, karena adanya suatu relasi
dengan kebaikan yang kita alami setiap hari pada tarap pengenal insani. Kebaikan pada
pengalaman insani setiap hari merupakan primum analogatum, sedangkan kualitas itu
dikenakan kepada Allah selalu merupakan secundum analogatum. Akan tetapi, kita tidak
boleh memahami bahwa pemakaian kata baik kepada Allah hanya sebagai pemakaian
simbolis. Teori analogi justru mau menjernihkan pemahaman seperti ini, bahwa kata-kata
manusia itu dikenakan kepada Allah bukan dalam arti sebagaimana dalam pengalaman insani
sehari-hari.
Adapun pada tarap ontologis justru sebaliknya terjadi. Kata-kata itu dipakai dalam
arti yang sebenarnya yaitu sebagai primum analogatum bagi Allah dan arti turunan yaitu
sebagai secunda analogata mengenai barang ciptaan. Itulah sebabnya tentang kualitas baik
tadi, haruslah kita mengatakan bahwa „Allah adalah baik“ dan itu dipakai dalam arti yang
sebenarnya. Kalau kita mengatakan bahwa „Tuhan itu adalah baik“, maka predikat baik di
sini kita tidak maksudkan sebagai sesuatu yang lain dari essensiNya, sebab Tuhan adalah
kebaikan. Sedangkan bagi manusia, kata baik itu dikenakan kepadanya namun tidak
menyangkut essensinya, sehingga kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia adalah
kebaikan. Antara kebaikan dan manusia ada distinksi, sedang antara Tuhan dan kebaikan ada
identitas. Pada Allah tidak ada perbedaan (distinksi) antara pengertian baik dan diriNya.
Karena itu Tuhan disebut sebagai sumber dan sebab dari segala sesuatu yang dikatakan baik
pada tarap ciptaan.

4.3.3.2. Analogia Proportionalitatis


Dalam analogi ini terdapat kemiripan dua proporsi. Dau hal atau barang memiliki ciri
dalam arti yang sebenarnya tetapi hanya „sesuai“ (proportionate) dengan kodratnya masing-
masing. Analogi ini mengungkapkan kemiripan kualitas yang terdapat pada manusia di satu
pihak dan kualitas yang dikenakan kepada Allah di pihak lain, berdasarkan natura masing-
masingnya. Suatu kualitas bisa dipakai mengenai manusia dan Allah, masing-masing dalam
arti yang sebenarnya, namun yang proporsional dengan kodratnya. Dengan ini skolastik
berhasil mempertahankan „perbedaan“ antara tarap ilahi di satu pihak dan tarap insani di
pihak lain, dalam hal membahasakan keduanya. Juga dengan analogi model ini, skolastik
berhasil mempertahankan adanya suatu „kesamaan“ kedua tarap tersebut.
Analogi model ini masih dibagi lagi atas analogia proportionalitatis propriae (analogi
sepadan) dan analogia proportionalitatis impropriae (analogi tak sepadan). Dalam analogia
proportionalitatis proporiae, dua barang ditempatkan dalam realitas yang sama. Realitas itu
terdapat di dalam kedua hal tersebut. Pernyataan „Tuhan ada“ dan „manusia ada“. Di sini
eksistensi Allah dan manusia dihubungkan dalam realitas yang sama, yang secara hakiki
berbeda pula. Skolastik menegaskan bahwa secara proprie (seharusnya) hanya dikenakan
pada Allah atribu-atribut yang mengijinkan suatu modus essendi yang tak terbatas. Karena itu,
analogi sepadan ini lebih berkaitan dengan perfectionis simplices, yaitu mengenai
kesempurnaan-kesempurnaan yang demi kodratnya (dari kodartnya sendiri) tidak
mengandung ketidaksempurnaan. Itu berarti, analogi ini menyangkut sifat-sifat murni, yaitu
sifat-sifat yang tidak mengandung suatu hubungan hakiki dengan materi, ruang dan waktu.
43
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Allah memiliki sifat-sifat itu secara formaliter dan eminenter, yaitu sesuai dengan arti formal
mereka dan tanpa pembatasan yang selalu ada pada barang ciptaan.
Atribut, baik, benar, hidup, mengenai Allah, maka itu berarti bahwa tidak hanya hal
benar, baik dan hidup itu berasal dari Allah, tetapi juga berarti bahwa Allah itu sendiri adalah
„lebih benar“, „lebih baik“ dan „lebih hidup“, daripada apa saja yang ada. Atribut-atribut itu
disebutkan mengenai Allah dan manusia berdasarkan kodratnya masing-masing. Mengenai
Allah disebut dengan atribut itu secara seharusnya, sedang atribut itu disebutkan mengenai
manusia secara per accidens. Untuk mengatakan „per essentiam“ bahwa Allah itu baik, Allah
itu benar dan Allah itu hidup, dan mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan itu lebih dari
sekadar metafora belaka, maka konsep kebaikan, kebenaran dan kehidupan itu haruslah
mengandung suatu kemampuan untuk membentangkan hingga menandakan sesuatu yang
mengatasi bidangnya sendiri sebagai representasi. Sesungguhnya dalam kemampuan yang
mengatasi representasi atau objektivisasi inilah letak penggunaan analogi dari bahasa insani
mengenai Allah.
Adapun analogia proportionalitatis impropriae di dalamnya ada relasi keserupaan
tertentu antara kata yang kita kenakan pada pengalaman insani di satu pihak dan arti kata itu
bila kita kenakan pada Allah di lain pihak, walaupun artinya sendiri tidak dipertahankan
melainkan diubah menjadi kiasan. Analogi model ini umumnya mengenai perfectiones
mixtae, yaitu mengenai kesempurnaan-kesempurnaan yang demi kodratnya (dari kodratnya
sendiri) mengandung ketidaksempurnaan. Kalau kita mengatakan bahwa Allah adalah terang,
atau Allah adalah sumber, maka ketidaksemprunaan tertentu dari terang dan sumber
disingkirkan (dinegasi) manakala dikenakan kepada Allah. Dengan itu kata-kata itu mendapat
arti yang lain dan yang sangat sesuai dengan realitas ilahi.
Kita tidak bisa menerapkan kepada Allah suatu sifat yang dalam kodratnya sendiri
mengandung suatu ketidaksempurnaan. Sifat-sifat itu pada hakikatnya mengandung suatu
hubungan dengan materi, ruang dan waktu. Kesehatan dan ketrampilan misalnya, adalah sifat-
sifat campuran. Dalam diri Allah sifat itu memang ada tetapi secara virtualiter dan eminenter.
Itu berarti bahwa Allah menyebabkan sifat-sifat itu dalam kahluk ciptaanNya dan Allah
sendiri memiliki sifat-sifat apapun yang terkandung dalam makhluk ciptaan itu dengan
tingkat yang lebih tinggi dan tanpa ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan yang melekat
pada sifat-sifat itu.

4.3.3. Bahasa yang Analog dan Allah yang Transenden


Dengan analogi yang digambarkan itu, Skolastik bisa menjawab kesulitan yang selalu
muncul bahwa semua konsep manusia itu sejauh sebagai hasil tanggapan akal melalui dan
bekerjsama dengan kapasitas sensitip, maka konsep itu tetap bersifat terbatas, sehingga sangat
tidak sesuai untuk dikenakan kepada Allah yang tak terbatas dalam adanya. Kalau kita tetap
memakai konsep-konsep untuk membahasakan Allah, maka jelas hal itu tidak pada tempatnya
dan sangat tidak tepat, sebab konsep itu selalu bersifat terbatas sementara Allah tak terbatas.
Konsep sebagai sarana insani untuk mengatakan sesuatu tentang Allah adalah tidak memadai.
Allah itu adalah realitas yang in ordine essendi melebihi segalanya. Itu benar. Akan tetapi
akal kita terus-menerus berusaha menuju kepadaNya dalam aktus pengetahuan. Kita tidak
memiliki gambaran tentang Dia, sebab kita tidak pernah melihat dari muka ke muka dan tidak
pernah mendengar suaranya secara langsung. Tetapi kalau kita mau berpikir atau berbicara
tentangNya, maka kita dalam hal itu, menerjemahkan dinamika akal kita, yang
mentransendensikan segalanya itu ke dalam konsep-konsep atau kata-kata, di mana konsep-
konsep itu juga dipakai dalam pengalaman insani bahkan dipakai dalam arti yang sebenarnya.
Selanjutnya Skolastik membuat distinksi yang tegas antara res significata (apa yang
diartikan atau dimaksud) dan modus significandi (cara kita mengartikan atau menunjukkan
maksud itu). Adapun cara kita manusia untuk mengartikan atau menunjukkan Allah
44
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

(gambaranNya) selalu kurang sempurna, akan tetapi apa yang kita artikan atau maksudkan itu
adalah benar dan tepat, oleh karena didasarkan atas intuisi dinamika intelek manusia. Karena
itu, semua istilah atau konsep tentang Allah hanya id quod significatur yang selalu bersifat
kurang sempurna, sebab semua konsep itu hanya mengungkapkan satu aspek saja dan juga
karena konsep itu tidak pernah bisa mengungkapkan yang konkret dan individual. Distinksi di
atas akhirnya bermuara kepada distinksi yang tegas antara signifikasi (pengertian) dan
representasi (gambaran), dalam hal membahasakan Allah. Jika kita mengatakan bahwa kita
bisa berbicara tentang Allah, maka itu berarti lebih sebagai membuat signifikasi tentang Allah
dan suatu representasi.
Distinksi ini juga telah menyelesaikan soal ketidaksesuaian (inadequatio) antara
„bahasa yang insani yang selalu terbatas“ dan Allah yang dibahasakan yang selalu bersifat tak
terbatas. Sebenarnya, pendapat yang mengatakan bahwa kita manusia tidak memiliki
pengetahuan tentang Allah seperti dianut Agnotisme, karena mereka melihat pengetahuan itu
melulu sebagai representasi (konsep atau gambaran). Gambaran itu selalu berhubungan
dengan semacam visualisasi atau objektivasi, yaitu hal bagaimana melihat hakikat Allah itu.
Tidak mempunyai gambaran tentang Allah berarti tidak melihat apa Dia itu.
Akan tetapi, berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa pengetahuan semacam itu tentang
Allah tidak mungkin bagi manusia. Manusia siapa pun dalam keadaan bagaimanapun, sejauh
dia sebagai makhluk ciptaan yang bersifat terbatas di atas dunia ini, tidak mungkin mencapai
pengetahuan seperti itu. Seandainya pengetahuan semacam itu mungkin dicapai, maka itu
berarti suatu pengetahuan univok. Dengan itu pula, Allah tidak lagi sebagai Allah, atau
manusia tidak lagi sebagai manusia. Sebab pengetahuan univok itu menunjukkan keduanya
harus setarap, entah manusia menjadi setarap dengan Allah atau Allah menjadi setarap dengan
manusia.
Jelasnya kita tetap mengakui adanya perbedaan antara Allah dan manusia secara
ontologis. Juga mungkin bagi manusia untuk mengenal Allah. Akan tetapi manusia mengenal
Allah dalam transendisNya hanya kalau manusia mengenalNya sebagai tujuan terakhir dari
segala sesuatu yang diketahui. Hal itu mungkin apabila kita telah memahami bahwa dalam
setiap perbuatannya, pengetahuan kita mentransendensikan objek yang terbatas dan yang
membatasi pengetahuan tersebut.
Oleh karena itu adalah tidak benar bahwa istilah-istilah positip yang kita gunakan
tentang Allah tidak memberikan pengetahuan positip tentangNya. Dengan demikian,
manakala kita berkata bahwa Allah bijaksana dan baik, maka kita tidak hanya bermaksud
bahwa Allah adalah sumber (causa) dari sifat-sifat ini dalam makhluk ciptaan. Hal ini tidak
akan menerangkan banyak kepada kita tentang Allah sendiri, sebab kita tidak pernah berkata
tentang Dia bahwa Dia adalah sehat, walaupun kita tahu bahwa Dialah sumber dari sifat ini
pada ciptaan.

4.3.4. Kesimpulan
Dari uraian di atas harus diakui bahwa memberi hak kepada bahasa untuk berbicara
tentang Allah sebenarnya akan membawa kepada penolakan begitu saja terhadap „ yang
maha-mutlak“ pada tarap akal. Hal mana berarti pula bahwa „wahyu“ (khusus) menjadi tidak
mungkin bagi akal. Kalau seorang teolog mengatakan, bahwa wahyu itu adalah sabda Allah,
tetapi dalam arti apa sabda Allah itu, kalau bukan yang dimaksud juga adalah bahasa insani.
Wahyu itu terjadi melalui mediasi bahasa manusia.
Lalu dalam arti apa istilah-istilah yang berasal dari pengalaman insani itu dapat
dikenakan kepada Allah? Menurut Skolastik, seperti diuraikan di atas, bahwa itu bukan dalam
arti univok yaitu dalam arti sama dengan arti yang dimiliki dunia pengalaman insani, dan
bukan pula dalam arti ekuivok yaitu pelbagai arti yang tidak mempunyai kesamaan sedikit
pun, melainkan secara analog yaitu memiliki arti yang sama dan sekaligus beda. Dengan teori
45
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

analogi itu mereka bisa mempertahankan sekaligus kemahalainan (transendisi Allah) dan
kesamaanNya (partisipasi ciptaan pada Allah). Itu berarti pula soal inadekuasi pengenalan
dan pengetahuan manusia mengenai Allah yang berakibatkan bahwa kita tidak memiliki
konsep mengenai Allah, dapat diselesaikan. Kita pun mampu membuat suatu konsep yang
jelas bersifat positip dan distinktip.
Demikian juga halnya terhadap keberatan yang mengatakan bahwa kalau manusia
mampu berbicara mengenai Allah berarti manusia tidak setia kepada Allah, bisa dijernihkan.
Kepada mereka yang berpendapat demikian kita harus mengatakan demikian: Kita harus
mengakui bahwa tidak berkata-kata tentang Dia adalah mengkhianati pengalaman yang
mendorong kita untuk menyatakan dalam bahasa kehadiran terasa dari yang „maha-mutlak“.
Di sini jelas bahwa pembicaraan manusia mengenai Allah sebenarnya memiliki bobot noetik
(aspek intelektual) yang penuh arti, yaitu menyangkut martabat roh manusia ke tarap yang
melampaui dirinya (transkonsepsional), sehingga ia bisa tiba kepada yang „tak
terungkapkan“. Dasar antroplogisnya ialah bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kapasitas
rohani untuk melampaui dirinya, justru karena dia tidak merupakan materi belaka.
Akan tetapi kemampuan melakukan „transkonseptual“ itu tidak hanya melibatkan
intelek melainkan juga melibatkan aspek etik sebagai dimensi moral roh manusia yang lebih
eksistensial sifatnya. Justru pembicaraan mengenai Allah tidak dapat memperoleh
pembenarannya kecuali dalam pengakuan yang lebih menyeluruh yang mendahului
pembicaraan sendiri dalam manusia. Orang yang tidak merasakan bahwa dirinya sendiri
sedalam-dalamnya diolah oleh suatu hukum praktis dari dorongan pelampauan (transendensi)
dan perjalanan tak kunjung henti menuju suatu ada yang lebih secara moral, orang itu
sesuungguhnya dalam bahasanya menghadapi bahaya mengucapkan flatus vocis mengenai
Allah.

4. Analogia Entis dan Pengetahuan Manusia

4.1. Hakekat Pengetahuan Manusia


Perhatian kita di sini bukan ada itu sendiri, melainkan mengenai pengetahuan kita
tentang ada. Untuk itu kita lebih dulu perlu kenal hakekat pengetahuan (mengenal) pada
manusia. Mengenal adalah persatuan subjek dan objek, tetapi bukan suatu persatuan fisis
melainkan suatu persatuan intentional. Untuk mengerti bagaimana objek ada pada subjek kita
kembali melihat distinksi antara ens reale (eksistensi riil) dan ens intentionale (eksistensi
intentionale). Sesuatu yang sama dapat memiliki dua eksistensi: Pertama, sesuatu itu ada
dalam dirinya sendiri sebagai suatu ens in se. Itulah yang kita sebut dengan eksistensi riil.
Kedua, sesuatu yang sama dapat dikenal dalam pikiran. Ia bisa ada dalam subjek mengenal.
Itulah yang kita sebut eksistensi intentionale. Cara berada yang kedua ini bersifat immaterial
dan inilah kekhasan dari mengenal. Karena itu „immaterialitas“ merupakan akar dari
mengenal.
Dalam aktus mengenal objek tidak kehilangan apa-apa melainkan memperoleh cara
berada yang baru, yakni „cara berada intentional“ dalam intelek subjek mengenal. Aktus ini
dari pihak subjek justru memperkaya dirinya. Aktus itu tidak membuat subjek itu kehilangan
cara adanya sendiri, sebab di sini subjek itu menerima "forma“ tidak seperti forma diterima
pada materia, di mana materia itu bisa kehilangan forma yang dia telah miliki sebelumnya.
Perunggu yang dulu membentuk patung Buddha dipakai untuk dipakai untuk membentuk
patung Musa. Dengan adanya patung Musa dari bahan yang sama, maka dengan sendirinya
eksistensi patung Buddha tadi lenyap. Bahan perunggu itu, dengan mendapat forma atau
penentuan baru, maka forma yang lamanya menjadi hilang.
Adapun tentang pengetahuan intelektual tidak bergantung pada unsur materi seperti
itu, sebab pada intinya intelek adalah kesanggupan rohani murni. Intelek memang bergantung
46
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

pada indra, namun secara ekstrinsik yakni sejauh indra-indra menghidangkan bagi intelek
suatu kenyataan, dan dari data itu intelek menarik arti (abstraksi) sehingga essensinya
ditangkap. Namun pengetahuan intelektual itu sendiri ada tingkat-tingkatnya seturut
kemampuan membuat suatu abstraksi. Karena itu ada tingkat-tingkat abstraksi pada
pengetahuan manusia.

4.3. Tiga Tingkat Pengetahuan Intelektual


Pengetahuan intelektual ada tingkat-tingkatnya seturut kemampuan membuat suatu
abstraksi. Karena itu ada tingkat-tingkat abstraksi pada pengetahuan manusia. Abstraksi
berarti perpisahan atau jauh dari materi: Semakin jauh sesuatu dari materi, semakin abstrak.
Itu berarti, semakin jauh sesuatu dari materi makin tinggi atau makin sempurna pengetahuan
intelektual. Dalam perspektip ini Metafisika termasuk pengetahuan intelektual yang paling
sempurna.
Ada tiga macam pengetahuan yang sesuai dengan tingkat-tingkat abstraksi: ilmu
fisika, ilmu pasti dan metafisika. Praedicamentum dari pembagian ini adalah kesempurnaan
relatip dari pengetahuan manusia. Namun kesempurnaan pengetahuan di sini tidak berkaitan
dengan kejernihan pengetahuan itu, melainkan berkaitan dengan kejelasan objek yang
dikenal. Demikian misalnya, metafisika dianggap pengetahuan yang paling sempurna, bukan
karena kita mempunyai tentangnya pengertian yang paling jelas atau sempurna, melainkan
karena ia merupakan objek yang paling sempurna dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu,
mengikuti prinsip umum di atas, kita mengatakan bahwa makin jauh sesuatu dari materi suatu
objek pengetahuan, maka semakin sempurna dalam dirinya sendiri.

4.3.1. Tingkat Pertama: Abstractio Totius


Pada tingkat ini, abstraksi fisik. Di sini intelek mengadakan perpisahan objek dari
materi yang diindrai. Abstraksi model ini disebut „totius“ (keseluruhan), karena dari barang
itu ditarik unsur-unsur individualitasnya. Hal ini sangat jelas dalam aktus akal membuat
pengertian (simplex apprehentio) melalui mana manusia mengenal essensi dari sesuatu.
Objek dari abstraksi ini adalah sesuatu yang tidak bisa berada dan dipikirkan tanpa
materi. „Tidak bisa berada tanpa materi“, misalnya sebatang pohon. Menurut essensinya ia
adalah barang material, dan oleh karena itu ia tidak bisa berada tanpa materi. Mengatakan
sebuah pohon ada, tidak bisa tidak bahwa sesuatu yang disebut pohon itu sebagai sesuatu
yang material. Jadi, kalau dia berada, maka tidak bisa tidak berada sebagai barang material.
Juga dikatakan, „tidak bisa dipikirkan tanpa materi“. Bila kita memikirkannya juga
tidak bisa tidak bahwa apa yang dipikirkan itu adalah sebagai sesuatu yang material, atau
sebagai sesuatu yang memiliki unsur material. Kalau kita memikirkan sebatang pohon, maka
kita memikirkan sesuatu yang material. Dari pernyataan itu („tidak bisa dipikirkan tanpa
materi“) perlu dicatat dua hal berikut: (1) Itu tidak berarti, objek itu dikenal dengan seluruh
unsur-unsur individualitasnya. Kita tidak mengenal pohon (dalam pikiran) dengan segala
kekhasannya. Dalam abstraksi ini tidak mengandung tingginya atau bentuk daunnya, bentuk
cabang, besar buahnya dan seterusnya. Abstraksi ini hanya menyangkut materi pohon secara
keseluruhan. Pengertian „pohon“ itu bersifat universal justru karena dari padanya dilepaskan
unsur-unsur individualitasnya. (2) Dengan pernyataan itu menunjukkan bahwa pengertian
(conceptus) yang merupakan hasil abtraksi model ini dengan seharusnya mengandung
referensi kepada materi, namun bukan kepada materi tertentu (individual), melainkan kepada
materi umum indrawi (common sensible matter). Dinamakan demikian karena macam materi
itu bersifat umum bagi segala anggota kelas atau species itu.

47
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

4.3.2. Tingkat Kedua: Abstractio Formae


Pada tingkat kedua, abstraksi matematis. Di sini budi manusia mengadakan pemisahan
suatu objek dari materi indrawi. Yang dipentingkan di sini adalah bentuk atau ukuran
(forma). Objeknya adalah „barang yang tidak dapat berada tanpa materi, namun bisa
dipikirkan tanpa materi“. Suatu segi tiga, misalnya, yang ada dalam realitas, maka ia tentu
ada sebagai sesuatu yang material, entah sebagai suatu segi tiga besi atau segi tiga kayu, atau
segi tiga plastik. Pokoknya, kalau dia berada, maka ia senantiasa berada dalam bentuk materi
(besi, kayu, plastik).
Namun objek itu bisa dipkirkan tanpa materi. Kita bisa memikirkannya tanpa suatu
referensi kepada materi umum indrawi. Kalau kita memikirkan segi tiga sebagai bentuk
geometrik umum, maka pengertian segi tiga tidak mengandung barang material apa pun.
Memikirkan segi tiga sebagai entitas matematis tidak lagi menyangkut keberadaannya sebagai
barang material seperti segi tiga besi, segi tiga kayu atau segi tiga plastik. Bisa jadi dalam
kenyataan barang „segi tiga“ itu selalu terdiri dari kayu, besi atau plastik, akan tetapi
pengertian atau unsur besi, kayu atau plastik itu tidak ada sangkut-paut apa pun dengan
pengertian segi tiga. Nilai kesegitigaan sebagai entitas matematis tidak menyebutkan unsur
kebesian, unsur kekayuan dan unsur keplastikan sebagaimana segi tiga itu de facto berada
dalam kenyataan.
Jadi, di sini, yang diabstraksikan juga materi umum indrawi, hanya saja ia menjadi
berbeda dengan „abtsractio totius“, karena ia bisa dipikirkan tanpa referensi apa pun kepada
materi itu. Abstraksi ini tidak mengandung referensi kepada materi individual maupun materi
umum indrawi. Sekalipun begitu abstraksi ini tidak kehilangan segala referensi kepada barang
material. Sebab kalau kita memikirkan tentang „besar“, „bentuk“, kuantitas tertentu, maka
kita memikirkan sesuatu yang ada pada barang material. Karena itu di sini ada referensi tak
langsung kepada materi.

4.3.3. Tingkat Ketiga: Abstractio Metaphisicae


Dalam abstraksi metafisik ini dipentingkan pemisahan dari semua unsur materi, jadi
tidak tergantung sedikit pun pada materi, entah itu untuk „berada“ atau pun untuk
„dipikirkan“. Adapun kedua bentuk abstraksi di atas hanya berhubungan dengan
pembentukan pengertian (simplex apprehentio). Sedangkan abstraksi dalam metafisika tidak
berhubungan dengan pengertian melainkan dengan putusan. Di sini objek abstraksi adalah
sesuatu yang dapat baik berada maupun dipikirkan tanpa refrensi apa pun kepada materi.
Menyebutkan objek abstraksi ini sebagai sesuatu yang ada, maka adanya itu tanpa materi.
Demikian pula bila kita memikirkannya, maka kita bisa memikirkannya tanpa suatu rujukan
apa pun kepada materi.
Hanya saja, di sini pengertian objek dipakai dalam arti generis (umum). Itu berarti
objek itu adalah sesuatu yang tak pernah ada dalam materi, misalnya Tuhan, maupun sesuatu
yang kadang-kadang ada dalam materi dan kadang-kadang tidak. Barang yang kadang-kadang
ada dalam materi dan kadang tidak ada pada materi, seperti substansi, kualitas, potentia-actus,
satu, yang banyak. Dengan ini menunjukkan bahwa objek telaah metafisika adalah barang-
barang atau prinsip-prinsip, yang bisa ada pada materi atau berada tanpa materi. Dengan
demikian actus-potentia dapat ada pada materia, tetapi dalam dirinya mereka tidak
menentukan materi. Mereka hanyalah prinsip-prinsip dari barang yang berada, baik barang
material maupun barang immaterial.
Di atas dikatakan, bahwa objek metafisika adalah barang yang bisa dipikirkan tanpa
referensi kepada materi. Itu berarti, pada kodrat barang itu tidak apa-apa yang memaksa
memikirkan mereka dengan rujukan kepada materi. Kalau kita memikirkan ada, maka kita
sering terjerumus ke dalam kekeliruan ini: memikirkannya sebagai sesuatu yang material,

48
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

yaitu sebagai sesuatu yang bisa diindrai. Sebabnya adalah ketergantungan budi kita terhadap
indra-indra, sebagaimana asas pengetahuan indrawi yang berbunyi: „nihil est in intellectu
quod non prius fuerit in sensu“ (= tidak suatu pun ada dalam pikiran tanpa melalui indera).
Namun kita mengenal ada secara yang benar-benar metafisis, hanya jika kita mengenalnya
sedemikian cara sehingga kita mengerti, bahwa ada itu dapat berada tanpa materi.
Agar tidak memahami secara keliru terhadap abstraksi model ini, maka kita perlu
kembali kepada pemahaman sebelumnya, bahwa ada adalah yang actusnya adalah berada.
Namun bagaimana kita mengetahuinya, atau bagaimana pengetahuan itu bisa dicapai? Seperti
disinggung di atas, bahwa ada itu tidak bisa dikenal seperti pada tataran abstraksi pertama
dan kedua yaitu melalui „simplex apprehentio“, sebab ada bukanlah essensi. Karena itu di
dalam abstraksi metafisik ini kita tidak berkecimpung dengan pengertian melainkan dengan
putusan. Ada dua macam putusan:
1. Perceptual judgement, yaitu putusan yang berkaitan dengan pengetahuan indrawi
mengenai suatu barang material. Namun tidak berarti, siapa saja yang menegaskan „ada
sesuatu“, maka orang itu sudah memiliki pengetahuan metafisik tentang realitas, sebab
putusan seperti itu masih terikat pada materi. Karena itu putusan jenis ini tidak mampu
mengungkapkan ada. Putusan perseptual hanya menunjukkan bahwa kita mengenal ada,
yakni mengenai ada dari barang material. Putusan ini hanya mengungkapkan apa yang kita
terima dalam tataran mengenal indrawi, di mana kita bisa mengenal ada batu, ada kayu,
ada manusia. Oleh karena itu, sekalipun semua makhluk berakal bisa membuat putusan
model itu berdasarkan kontaknya dengan realitas apa saja, namun pengetahuan itu masih
jauh dari ens ut ens sebagai objek telaah Metafisika. Karena itu masih dibutuhkan putusan
yang memungkinkan pengetahuan kita tentang ens ut ens, yang tidak lain berarti
mengungkapkan realitas dari ada.
2. Judgement of separation, adalah putusan melalui mana kita memisahkan unsur-unsur
yang tidak termasuk atau yang tidak berhubungan dengan ada. Contohnya, putusan
pemisahan dalam uraian kita tentang hubungan antara ada dengan perubahan, bahwa
perubahan memang riil tetapi tidak ada perubahan qua perubahan. Perubahan terjadi pada
sesuatu yang ada. Karena itu perubahan tidak bisa dijadikan dasar terdalam dari realitas.
Yang menjadi dasar terdalam dari realitas adalah ada itu sendiri. Demikian juga soal
hubungan materia - forma, di dalamnya kita juga telah membuat putusan pemisahan,
bahwa materi murni tidak dapat berada sendiri dan juga kalau materia ada dalam persatuan
dengan forma, maka di situ, ia merupakan prinsip pembatasan ada.
Dengan putusan pemisahan ini kita berusaha melalaui analisis-analisis memisahkan
ada dan prinsip-prinsipnya dari unsur-unsur yang tidak termasuk ens ut ens. Dan itu kita
lakukan terus-menerus, bilamana kita mau mencapai ens ut ens. Tidak boleh dianggap bahwa
putusan pemisahan adalah putusan yang defnitip. Dan fungsi putusan itu bukan memisahkan
ada dari barang-barang yang berada, melainkan memisahkannya aspek-aspek yang tidak
termasuk ens ut ens. Karena itu, tidak benar anggapan, bahwa perbedaan antara pengetahuan
biasa dengan pengetahuan metafisik tentang ada adalah bahwa pengetahuan biasa tentang ada
berhubungan dengan barang-barang yang berada, sedangkan pengetahuan metafisik
memandang ada dalam dirinya sendiri sebagai hasil abstraksi. Ini salah. Yang benar, bahwa
pengetahuahn metafisik diperoleh dengan memisahkan unsur-unsur dari barang-barang yang
tidak termasuk ens ut ens (being as being)dan bukan memisahkan ada dari barang-barang
yang berada.

4.4. Pengetahuan Manusia tentang Ada


Dalam pengetahuan manusia ada itu satu. Kesatuan di sini bukanlah kesatuan sebagai
hasil abstraksi yang sempurna (logika), sebab abstraksi yang sempurna berarti melepaskan

49
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

perbedaan-perbedaan yang terdapat pada barang, sedangkan pengetahuan kita tentang ada
justru tetap mengandung perbedaan-perbedaan itu. Sebab, perbedaan yang riil adalah
perbedaan dalam ada. Lagi pula abstraksi sempurna menghasilkan pengertian univok,
sementara pengetahuan kita tentang ada tidak pernah bersifat univok, bagaimanapun
pengetahuan kita tentang ada tetap selalu bersifat analog. Karena itu jawaban yang tepat atas
pertanyaan, bagaimana ada itu satu dalam pengetahuan, haruslah bertolak dari dua tuntutan
analogia entis itu sendiri.
Pertama, bahwa pengetahuan kita tentang ada harus bagaimanapun juga tetap
mengandung perbedaan yang ada pada barang-barang. Ketika kita memikirkan ada, maka
adalah mustahil bahwa dalam pengetahuan itu terdapat satu referensi yang eksplisit dan
tertentu kepada tiap barang yang berada. Pengetahuan jenis ini, yang merangkum segala
sesuatu secara eksplisit dan tertentu hanya ada pada Tuhan. Pengetahuan komprehensip
seperti itu tidak dapat dicapai oleh budi manusia yang bersifat terbatas. Namun di pihak lain,
kalau pengetahuan kita tentang ada adalah pengetahuan sungguh-sungguh, maka pengetahuan
itu harus bagaimanapun juga mengandung perbedaan-perbedaan sebagaimana terdapat pada
barang-barang, karena segala perbedaan riil pada dasarnya adalah perbedaan dalam adanya.
Bagaimana pengetahuan kita tentang ada bersama dengan perbedaan-perbedaan riil
itu? Jawabannya, adalah bahwa pengetahuan kita tentang ada mengandung suatu referensi
implisit kepada segala barang yang ada dengan menunjukkan secara tak tertentu kepada
kodrat dari barang-barang yang berada. Oleh karena essensi adalah prinsip differensiasi dari
ada, maka essensi itu juga yang menetapkan differensiasi dalam pengetahuan kita tentang
ada. Jadi, tiap kali kita memikirkan ada, maka setiap kali itu juga kita memikirkannya dalam
hubungan dengan „sesuatu“ yang berada, yakni dalam hubungan dengan suatu subjek
bersama dengan essensi tertentu, yang mempunyai esse sebagai actusnya. Sekalipun
pengetahuan semacam ini tidak mengungkapkan secara tertentu essensi dari barang, namun
pengetahuan model ini dibuat untuk bisa dipakai mengenai barang riil apa saja yang berada.
Pemakaian itu dibuat tiap kali kita, dalam suatu penyebutan aktual, menyatakan bahwa
sesuatu ada, misalnya pohon ada. Jadi, kalau kita mengatakan, bahwa pengetahuan kita
tentang ada mengandung segala perbedaan, maka itu kita maksudkan bahwa pengetahuan itu
mengandung perbedaan secara implisit, memilikinya secara tak tertentu.
Kedua, bahwa pengetahuan kita tentang ada bersifat analog seperti ada itu sendiri
bersifat analog. Telah dijelaskan bahwa ada itu adalah umum bagi segala yang berada, dalam
arti actus essendi. Ia adalah umum atau sama bagi segala yang berada seturut proporsi
essensinya masing-masing. Ada itu sama secara proposional dengan essensinya masing-
masing. Kalau ada itu umum juga dalam pengetahuan kita, maka pengetahuan itu
mencerminkan macam analogi itu melalui mana barang-barang dipersatukan dalam ada. Oleh
karena itu untuk mengenal ens ut ens kita harus mengenalnya sebagai actus yang umum
secara proporsional bagi segala barang yang ada. Sifat analog itu dari pengetahuan kita
tentang ada tampak tiap kali kita mengenakan actus essendi secara proporsional bagi barang
apa saja yang ada. Walaupun pemakain term ada, berbeda secara intrinsik berhubungan
dengan tiap barang individual, namun dalam tiap hal atau barang ada itu disebutkan sebagai
actus yang umum secara proporsional bagi segala barang yang ada.
Dari uraian ini dapat disimpulkan. (1) Kesatuan pengetahuan kita tentang ada tidak
bersifat univok. Itu tidak berarti kita tidak mengenal ada sebagai essensi dengan melepaskan
segala perbedaan. Kekhasan pengetahuan metafisis tentang realitas atau pengetahaun tentang
ada adalah bahwa objeknya „kurang satu“ dan mengandung secara tak tertentu namun aktual
perbedaan-perbedaan pada barang-barang. (2) Pengetahuan tentang ada itu adalah
pengetahuan analog.
Tidak hanya ada dikenal secara analog dalam pengetahuan, tetapi juga prinsip dasar
pengetahuan mengenai ada itu sendiri bersifat analog. Prinsip adalah sumber, dari mana
sesuatu berasal. Prinsip metafisi adalah ungkapan dari hukum yang seharusnya tentang ada,

50
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

dengan sifat-sifatnya sebagai berikut: (1) Ia adalah utama dan pertama. Itu berarti, segala
putusan lain tentang ada bergantung pada putusan-putusan itu. (2) Ia adalah universal, karena
dipakai mengenai segala barang yang ada. (3) Ia adalah transendental, karena tidak dibatasi
pada kategori-kategori atau modus tertentu dari ada. Sekalipun segala prinsip itu bersumber
pada pengalaman namun pengetahuan tentang prinsip-prinsip itu mengatasi tingkat
pengalaman dan oleh karena itu bersifat transendental. (4) Prinsip-prinsip pengetahuan kita
tentang ada bersifat analog, karena ada itu sendiri adalah bersifat analog.
Hukum pertama mengenai realitas adalah Prinsip Identitas. Prinsip ini dapat
dirumuskan dalam putusan, seperti „ada adalah ada“ (being is being). Dengan mengatakan
bahwa „apa saja yang ada, ada,“ kita maksudkan bahwa dalam pengetahuan kita sesuatu
adalah dirinya sendiri. Apa saja adalah identik dengan dirinya sendiri, tetapi secara
proporsional dengan essensinya. Dengan mengatakan „Tuhan ada“ dimaksudkan suatu
identitas tunggal dan absolut yang sama sekali tidak terdapat pada barang-barang yang
terbatas. Mengatakan „Tuhan ada“ berarti menyatakan identitas absolut antara subjek (Tuhan)
dan predikat (ada). Tetapi kalau kita mengatakan „Petrus ada“, identitas di sini tidak absolut
melainkan relatif. Identitas di sini mengijinkan distinksi yang riil antara prinsip-prinsip
essentia dan actus essendi.

Bab 5

Transcendentalia

Sejauh ini kita telah menemukan, bahwa ada adalah yang actusnya adalah berada,
dan bahwa actus itu adalah umum secara proporsional bagi segala barang. Di samping kita
memurnikan pengertian tentang ada, kita juga memperluas pemahaman kita tentangnya.
Pengetahuan kita tentang ada diperluas tidak dengan menambah sesuatu dari luar ada,
sebab di luar ada tidak ada apa-apa lagi (ketiadaan), karena itu tidak dapat ditambahkan

51
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

padanya sesuatu dari luar. Yang bisa dilakukan hanya memeriksa cara berada (modus
essendi).
Pengetahuan mengenai modus essendi ini diperoleh melalui dua cara: Cara pertama,
dengan mengungkapkan salah satu dari modus khusus dari ada, seperti substansi dengan
accidensnya. Cara adanya yang khusus ini akan diuraikan pada bab tentang kategoria. Cara
kedua, dengan mengungkapkan modus umum bagi segala barang yang ada. Cara berada
yang umum ini disebut transendentalia. Jadi, bentuk eskpresi dari ada ada dua macam,
bentuk khusus berupa kategori substantia-accidentia, dan bentuk umum berupa
pengungkapan sifat-sifat transendental, seperti satu, benar, baik, dan bagus. Sifat-sifat
umum itu dibagi berdasarkan ada dilihat dalam dirinya sendiri atau ada dalam hubungan
dengan yang lain.

1. Ada dan Transendentalia


Sebelum kita membuat distinksi riil antara ada dan sifat-sifat transendental
(transcendentalia), terlebih dahulu kita membuat distinksi yang tegas antara term
transendental dan term predikamental, sehingga sifat-sifat transendental itu tidak begitu saja
direduksi sebagai accidens-accidens dari suatu substansi.
Term predikamental adalah term yang dibatasi pada salah satu kategori
(predikamentum) dan karena itu term itu bisa disebutkan segala sesuatu. Term „putih“,
misalnya, adalah suatu accidens (kualitas), yang hanya bisa disebutkan tentang barang
material. Sedangkan term „batu“ adalah substansi, sehingga hanya bisa disebutkan mengenai
barang material sejauh sebagai suatu kategori substansi. Adapun term transendental adalah
term yang tidak dibatasi pada salah kategori apa pun. Term transendental mengatasi kategori
atau predikamentum, dan term itu bisa disebutkan tentang segala sesuatu yang ada. Term
transendental pokok adalah „ada“, tetapi kita di sini bukan memeriksa term ada itu lagi,
melainkan memeriksa term-term selain dari ada untuk memperluas pengetahuan kita tentang
ada.
Sifaf-sifat transendental dari ada, bisa dilihat dalam dirinya sendiri, seperti res
(realitas) dan unum (satu), dan juga bisa dilihat dalam hubungan dengan yang lain, seperti
aliquid (sesuatu), verum (benar) dan bonum“ (baik). Term res menunjuk kepada essensi dari
sesuatu, dengan demikian res sama dengan quiditas (keapaan) atau hakikat sesuatu yang ada.
Adapun term „ens“ (ada) menekankan aspek eksistensi. Sedangkan term „aliquid“ hanya
memisahkan objek yang disebutkan dengan „res“ itu dari barang yang lain.
Selanjutnya yang dimaksud dengan sifat-sifat transendetal hanya menyangkut: unum,
verum dan bonum. Karena dengan res dimaksudkan sesuatu yang berdiri sendiri, tidak
bergantung pada yang lain, maka ia bisa diartikan sebagai sifat satu (unum) dari ada.
Demikian juga mengenai aliquid, karena aliquid berarti sesuatu yang berbeda dari yang lain,
maka secara tersirat pengertiannya sudah termuat dalam unum. Di dalam unum sudah termuat
unsur res dan aliquid, sehingga tak perlu diperiksa lagi secara khusus seperti unum, verum
dan bonum.
Kalau kita berbicara mengenai kesatuan (unum), kebenaran (verum) dan kebaikan
(bonum) dari sesuatu yang benar-benar ada dalam realitas, maka sesungguhnya kita berbicara
mengenai „adanya“ barang itu. Kesatuan dari barang adalah adangya, kebenaran dari barang
adalah adanya dan kebaikan dari barang adalah adanya. Oleh karena itu, antara ada dan sifat-
sifat atau kesempurnaan transendental itu tidak terdapat suatu distinksi riil. Keduanya identik
secara riil.
Sebenarnya tidak ada distinksi riil antara ada dan sifat-sifat transendental. Adapun
distinksi yang kita adakan antara keduanya hanya karena keterbatasan pengetahuan kita
mengenai ada. Oleh karena kita tidak mampu menangkap seluruh kenyataan dari ada dalam

52
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

suatu intuisi yang sempurna lengkap, maka kita terpaksa memandangnya berturut-turut dari
aspek yang berbeda-beda. Dengan cara itu kita bisa mencapai pengetahuan yang lebih
mendalam dan lebih lengkap tentang ada. Jadi, kita tetap perlu mengadakan distinksi itu
antara ada dan transendentalia. Kemungkinan distinksi itu ada, sebab sesungguhnya pada tiap
sifat transendental itu memperlihatkan secara eksplisit sesuatu yang terdapat pada konsep ada
hanya secara implisit.
Di sini mungkin dilakukan hanya suatu distinksi logis. Namun distinksi itu tidak logis
murni, sebab ada itu sendiri memperlihatkan dirinya kepada budi kita aspek yang berbeda-
beda. Karena itu distinksi yang sesuai untuk maksud ini hanya distinksi virtualis minor atau
distinksi logis minor. Suatu distinksi virtualis minor ada, kalau distinksi itu mempunyai
dasarnya dalam barang, biarpun term-term transendental itu „ens-unum“, „ens-verum“ dan
„ens-bonum“ tidak distink secara riil. Singkatnya, distinksi logis seperti ini berlaku, manakala
satu term, misalnya ens, secara implisit mengandung pengetahuan tentang term-term yang
lain (unum, verum dan bonum).

2. Ada dan Satu Transendental

2.1. Pengertian Satu Transendental


Satu dari sesuatu sama dengan adanya. Satu di sini tidak bisa dipandang secara
terpisah dari adanya (barang itu). Sesuatu itu dalam adanya adalah satu. Apa saja sejauh dia
ada, maka dia itu satu. Kesatuan adalah kesempurnaan itu melalui mana barang yang riil
tidak terbagi dalam dirinya sendiri (indivisum in se) dan dipisahkan dari barang yang lain.
Sebuah arloji, misalnya, baru benar-benar arloji, jika segala unsur-unsurnya (onderdil)
dipersatukan menjadi suatu mekanisme. Kalau onderdilnya tidak tersusun secara tertentu
menjadi suatu kesatuan, maka arloji tidak ada, yang ada hanyalah tumpukan onderdil-
onderdil. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kesatuan tidak lain dari aspek tertentu dari
adanya barang dan segala sesuatu adalah satu sesuai dengan cara adanya (mode of being).
Karena kesempurnaan transendental konvertibel dengan ada, maka segala yang ada, ada satu.
Satu transendental dipakai dalam hubungan langsung dengan ada. Term satu itu
dipakai juga sebagai prinsip distinksi numerik, sehingga kuantitas satu dibedakan dari
kuantitas dua. Oleh karena itu, di sini kita perlu bedakan antara „satu metafisik“ dan „satu
matematik“: (1) Di dalam matematika term „satu“ termasuk kategori atau genus kuantitas
dan genus itu dibatasi pada barang material. Sedangkan di dalam Metafisika, term satu
bukanlah term predikamental, sehingga ia tidak dibatasi pada satu genus melainkan secara
transendental berlaku bagi segala barang yang ada. (2) Di dalam matematika term satu
dipakai secara univok, karena dia adalah sebuah bilangan (kuantitas). Sebagai bilangan, dia
bisa disebutkan tentang apa saja, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan atau kekhususan
dari barang yang dibilang itu. Menyebutkan satu batu, tidak menyertakan sekaligus kekhasan
dari batu itu, untuk bisa dibedakan dari satu manusia. Menyebut satu batu sama persis
nilainya sebagai bilangan dengan satu manusia. Yang tidak lain adalah „sebuah batu“ dan
„seorang manusia“, dan bukannya dua buah batu atau dua orang manusia.
Sedangkan di dalam metafisika term satu tak pernah dipakai secara univok seperti itu,
melainkan selalu secara analog seperti ada. Menyebut satu batu dan satu manusia adalah
tidak persis sama artinya, tetapi juga tidak sama sekali lain artinya. Satunya manusia lebih
utuh dari satunya batu. Kalau satu manusia dipotong, dia tidak menjadi dua manusia,
melainkan ia mati. Eksistensinya hilang. Sedangkan satu batu itu dipotong atau dipecahkan,
masih bisa bereksistensi atau berada menjadi dua keping batu. Eksistensinya tidak begitu saja
hilang.
Satu metafisis ini juga bisa dibandingkan juga dengan satu logis. Kesatuan logis
adalah hasil abtsraksi. Itu berarti yang diambil adalah essensi dari banyak barang dalam satu
53
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

species, dengan melepaskan segala perbedaan individual mereka. Demikian genus adalah satu
setelah „differentia specifica“ dikeluarkan dari species-species yang dipersatukan dalam
genus itu. Species adalah satu, dalam arti bahwa dari barang-barang yang termasuk dalam
species itu dilepaskan segala perbedaan individual (kekhasan mereka masing-masing). Dari
sini jelas, bahwa ada perbedaan antara „unitas metaphysica“ dan „unitas logica“, seperti: (1)
Di dalam logika, kesatuan itu berhubungan dengan essensi, sedangkan dalam metafisika
kesatuan berhubungan dengan esse (ada) dari barang-barang yang berada. (2) Di dalam
logika, kesatuan adalah hasil abstraksi, sehingga ia melepaskan unsur-unsur perbedaan dari
barang-barang diabstraksikan itu. Sedangkan di dalam metafisika, kesatuan dari suatu barang
justru mengandung perbedaan-perbedaan yang ada pada barang-barang itu.
Singkatnya, satu metafisik bersifat analog. Kalau mengenai dua barang apa saja
dikatakan bahwa mereka „ada“, maka dengan sebutan itu kita maksudkan bahwa mereka
mempunyai essenya sesuai dengan essensi masing-masing. Karena ada itu bersifat analog,
maka satu juga analog sifatnya, sebab satu sebagai sifat transendental hanyalah ekspresi
khusus dari ada itu. Karena relasi antara satu dan ada begitu padat, maka „kesatuan adalah
adanya“ dan „adanya adalah kesatuan“. Itulah prinsip „ens et unum conventuntur“ (ada dan
satu bisa dipertukarkan). Sebab dari kesatuan barang adalah adanya (esse). Oleh karena itu,
tiap kali kita menyebut „satu“ tentang dua atau lebih barang, maka arti dari term itu
bergantung pada essensi dari barang itu. Kesatuan roti dengan kesatuan manusia yang makan
roti itu, misalnya. Kesatuan roti jelas berbeda dengan kesatuan seorang manusia. Kesatuan
masing-masingnya seturut „modus essendi“nya.

2.2. Unum in se dan Unum Ordinis


Berdasarkan banyaknya „cara ada“ (modus essendi) dari barang, maka ada macam-
macam juga kesatuan mereka. Di dalam realitas terdapat „barang sederhana“ dan „barang
tersusun“. Barang sederhana adalah barang per essentiam tidak merupakan komposisi unsur-
unsur. Ia tidak memiliki unsur-unsur atau bagian-bagian. Sedang barang tersusun adalah
barang dari kodratnya tidak bisa tidak berada sebagai suatu komposisi unsur-unsur. Ia
bereksistensi dengan dukungan bagian-bagiannya.
Pada „barang sederhana“ kesatuannya lebih absolut. Itu berlaku hanya mengenai
Tuhan, karena padaNya tidak ada komposisi apa pun, baik komposisi bagian-bagian material
sebab Dia bukan barang material, maupun komposisi ontologis berupa prinsip-prinsip seperti
prinsip actus-potentia. Dia bukanlah komposisi actus-potentia, sebab dia adalah actus murni,
tanpa suatu potentialitas pun pada diriNya. Sedangkan „barang tersusun“ adalah segala yang
lain dari yang „tak terbatas“ itu, yang bukan actus purus, di mana ada kesatuan yang kurang
sempurna antara bagian-bagian. Kesatuan pada barang tersusun (barang terbatas) adalah
kurang sempurna, sebab kesatuan mereka bergantung pada bagian-bagiannya.
„Kesatuan sederhana“, baik secara aktual maupun secara potensial, adalah tidak
terbagi. Sedangkan „kesatuan tersusun“ (unum ordinis), tidak mempunyai adanya sendiri
selama bagian-bagianya masih berada sebagai bagian. Selama bagian-bagian itu berada secara
terpisah, maka sejauh itu juga tidak atau belum terwujudnya suatu kesatuan susunan itu. Oleh
karena itu, jelas bahwa adanya dapat ada hanya pada sesuatu yang tak terpisahkan dalam
dirinya. Dan, sebagaimana segala sesuatu „menjaga dan mempertahankan“ adanya, maka
demikian pula segala sesuatu mempertahankan kesatuannya. Kehilangan kesatuannya, dengan
sendirinya kehilangan adanya juga. Sebaliknya juga demikian, kehilangan adanya suatu
barang, berarti juga kehilangan kesatuannya. Tidak adanya kesatuan, tidak adanya barang itu.
Dari uraian itu, jelas bahwa „barang sederhana“ itu satu, karena dia tidak terbagikan.
Sebaliknya barang susunan per essentiam dapat dibagikan, justru karena dia terdiri dari
bagian-bagian. Eksistensinya bergantung pada kesatuan aktual dari bagian-bagian. Itulah
sebabnya, barang susunan itu dikatakan „berada“ dalam arti terbatas, demikian pula dalam
54
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

arti terbatas ia disebut „satu“. Bila susunan itu hilang dengan memisahkan bagian-bagiannya,
maka hilang juga kesatuannya, dan dengan itu hilang juga adanya barang itu.
Kesatuan barang susunan masih dirinci lagi menjadi, barang susunan dalam arti
„proper“ dan barang susunan yang bukan „barang“ dalam arti proper: (1) Barang susunan
yang merupakan barang dalam arti proper adalah barang yang mempunyai esse sendiri.
Kesatuan mereka disebutkan per essentiam, sehingga kesatuan mereka disebut „unum per se“.
Ini berlaku bagi substansi-substansi, seperti batu, pohon, manusia. Mereka memiliki actus
essendi sendiri. Mereka mempunyai bagian-bagian tetapi satu actus essendi. (2) Sedangkan
barang yang bukan „barang“ dalam arti proper, adalah barang yang tidak memiliki essenya
sendiri, sehingga kesatuan mereka juga hanya disebutkan per accidens. Kesatuan mereka
disebut „unum per accidens“. Kesatuan di sini bukan „dalam“ satu barang atau substansi,
melainkan „antara“ dua atau lebih barang. Ada suatu persatuan antara „bagian“, yang dalam
dirinya sendiri bagian itu merupakan barang-barang juga.
Perlu diperhatikan di sini, agar kesatuan aksidental tidak boleh dipersamakan dengan
kesatuan yang merupakan suatu substansi dengan accidens-accidensnya. Kesatuan aksidental
antara mahasiswa anggota tingkat yang sama tidak sama dengan kesatuan substansial dari
masing-masing individunya yang lengkap dengan accidens-accidens mereka masing-masing.
Kesatuan yang kedua itu adalah kesatuan yang terdapat „dalam“ substansi itu sendiri, bukan
kesatuan „antara“ suatu substansi dengan sesuatu atau substansi yang lain. Itu misalnya,
kesatuan dari seorang individu Markus sebagai salah satu bagian atau anggota dari kesatuan
anggota tingkat tersebut.
Kesatuan aksidental di sini tidak dalam arti, kesatuan accidens-accidens dengan
substansi. Betul, bahwa accidens-accidens selalu ada bersama dengan substansi. Tidak ada
suatu substansi murni, suatu susbtansi tanpa accidens. Demikian pula, tidak ada accidens
murni, accidens tanpa suatu substansi. Bagaimanapun accidens itu selalu dengan suatu
substansi, dan suatu susbtansi selalu berada bersama dengan accidens tertentu. Dalam hal ini
kita perlu perhatikan, bahwa accidens itu tidak ditambah dari luar kepada substansi; ia timbul
daripadanya. Hubungan antara substansi dan accidens-accidensnya adalah hubungan yang ada
antara dua prinsip yang berbeda dari ada dan bukan hubungan dua barang yang lengkap
dalam dirinya sendiri. Padahal yang dimaksud dengan kesatuan aksidental adalah kesatuan
yang terjadi antara barang yang bisa berada sendiri.
Masih berkaitan dengan „unum per accidens“ ini ada beberapa hal untuk dicatat: (1)
Jika dua atau lebih barang bersatu untuk membentuk suatu keseluruhan yang tersusun, maka
keseluruhan itu tidak mempunyai kodratnya sendiri. Demikian misalnya, sebuah rumah tidak
mempunyai kodratnya sendiri melalui mana ia ada dan bergiat sebagai suatu barang yang
independen dalam dirinya sendiri. (2) Kesatuan dari barang buatan adalah kesatuan yang
ditambah dari luar. Barang buatan tidak mempunyai kodrat sendiri, dan oleh karena itu dia
satu bukan secara substansial, melainkan hanya secara aksidental. (3) Betapa pun erat dua
atau lebih barang bersatu, namun tidak mungkin mereka dipersatukan dalam satu actus
essendi, selama mereka mempertahankan identitasnya sebagai barang-barang berada sendiri.
Karena dua barang itu in actu tidak bisa sekaligus satu barang in actu. (4) Kesatuan susunan
dalam arti yang benar, tidak bisa merupakan akibat dari persatuan dua barang tetapi hanya
akibat dari persatuan dua prinsip yang saling berhubungan secara transendental seperti
potentia dan actus.
Dari uraian itu kita bisa mengatakan, bahwa kesatuan suatu barang mengikuti adanya.
Kesatuan itu adalah tanda kesempurnaan. Kesempurnaan suatu barang bergantung dari
derajad kesatuannya: „makin satu, makin ada“. Barang alamiah lebih sempurna dari barang
buatan, karena mereka mempunyai adanya sendiri dan oleh kerena itu mereka lebih „satu“.
Kesatuan barang alamiah lebih utuh daripada barang buatan. Mengenai segala macam
kesatuan atau macam ada berlaku prinsip ini, bahwa „makin sesuatu itu satu, makin ia
sempurna“. Asas ini berlaku bagi segala barang. Adanya setiap barang diukur menurut

55
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

kesatuannya. Seperti halnya, kesatuan adalah tanda kesempurnaan dalam adanya, demikian
pula „kekurangan“ kesatuan adalah tanda kekurangan dalam adanya. Di mana tidak ada
kesatuan, maka tidak ada adanya.
Aplikasi asas ini berlaku dalam dunia kehidupan manusia. Asas „makin satu, makin
sempurna“ berlaku mengenai suatu karangan, sebuah sandiwara, karya seni, karaya ilmiah,
sebab di sana juga memakai prinsip integrasi yang mempersatukan „yang banyak“ itu menjadi
suatu kesatuan yang utuh. Demikian pula kesempurnaan hidup manusia dalam bidang moral,
spiritual dan intelektual, bergantung pula derajad kesatuannya. Kesempurnaan-kesempurnaan
manusiawi itu diukur menurut kesatuannya, atas dasar itu sesorang bisa dikatakan seorang
pribadi yang integer. Ia memiliki suatu integritas kepribadian, manakala ia „satu dengan
dirinya sendiri“, manakala hidupnya dituntun oleh suatu maksud yang tertentu, yakni kalau
dia tidak „dipisahkan dalam dirinya“ oleh kecenderungan-kecenderungan yang saling
bertentangan. Banyak konflik dalam kehidupan manusia disebabkan oleh kekurangan atau
tidak adanya kesatuan dalam hidup, tidak adanya integritas diri.
Asas yang sama berlaku bukan saja mengenai „ada“ tetapi juga mengenai kegiatan
„mengenal“ pada manusia. Kita tidak bisa mengenal sesuatu kecuali kalau kita mengenalnya
sebagai sesuatu yang satu. Yang kita kenal selalu dan hanya mengenai sesuatu yang tidak
dipisahkan dalam dirinya sendiri. Demikian misalnya, „mengenal“ seorang manusia, maka itu
berarti kita mengenal orang itu sebagai satu orang tertentu. Kita mengenalnya sebagai satu
orang, mengenalnya sebagai orang „ini“ dan bukan sebagai „seseorang“ yang lain.
Hal yang sama berlaku juga mengenai mengenal manusia pada umumnya, yaitu
mengenai mengenal manusia sebagai manusia. Di sini kita mengenal manusia itu sebagai satu
kodrat, sebagai satu essensi yang distinkt dari essensi binatang. Dari sini dapat disimpulkan
dua hal pokok berikut: Pertama, „yang banyak“ sebagai „yang banyak“ tidak dapat ada, dan
karena itu, juga tidak dapat dikenal, sebab yang kita kenal hanyalah „yang ada“. Jadi apa saja
yang dikenal harus dikenal sebagai „yang satu“. Kedua, apa saja yang berada, harus berada
sebagai yang satu, baik secara substansial maupun secara aksidental.

2.3. Kesatuan dan Prinsip-prinsip logis

2.3.1. Unitas dan Kausalitas


Telah dikatakan, bahwa segala barang susunan selalu merupakan komposisi dari
bagian-bagian secara kodrati. Untuk barang susunan aksidental „bagian-bagian“ yang
merupakan susunan itu adalah masing-masing suatu „barang“. Sedangkan bagi suatu susunan
kodrati, „bagian-bagian“ dari barang itu bukan „barang-barang“, melainkan prinsip-prinsip
ada yang berhubungan satu dengan yang lain, seperti potentia-actus.
Kedua model kesatuan ini bergantung secara intrinsik dari kesatuan aktual dari
bagian-bagiannya. Supaya barang susunan itu bisa berada, maka perlu sebab yang
mempersatukan mereka. Beradanya barang susunan itu bergantung dari suatu sebab ekstern,
yang lain daripadanya. Dengan demikian, di sini perlu ditandaskan lagi, bahwa barang
susunan bergantung dalam adanya bukan saja dari bagian-bagiannya, tetapi juga bergantung
kepada „sesuatu“ yang berada di luar bagian-bagian yang memungkinkan bagian-bagian itu
menyatu sebagai suatu keseluruhan (totum).
Alasannya, karena bagian-bagian sebagai bagian bukanlah „satu“, melainkan
„banyak“, dan yang banyak sebagai yang banyak tidak menjelaskan satu susunan itu (unum
ordinis). Kalau yang banyak itu dipersatukan menjadi satu yang tersusun, maka alasannya
harus ada suatu prinsip di luar dari bagian-bagian itu. Prinsip yang ada di luar bagian-bagian
itu, itulah yang kita sebut sebagai „sebab ekstrinsik“. Jadi, barang-barang yang berbeda dari
satu dengan yang lain tidak bisa menjadi „satu“ tanpa sesuatu yang mempersatukannya. Itu
berarti, supaya mereka menjadi satu, maka mereka perlu ada sebab kesatuannya. Bagian-
56
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

bagian tidak „dari atau oleh sendiri“ ( a se) menyusun diri menjadi suatu keseluruhan sebagai
satu barang.

2.3.2. Unitas dan Identitas


Prinsip identitas adalah hukum utama dalam realitas dan prinsip yang paling
fundamental dalam memahami sesuatu. Prinsipnya „ada adalah ada“ (being is being). Atau,
dirumuskan dengan formula matematis: „A = A“. Prinsip ini mengungkapkan bahwa apa saja
yang bereksistensi benar-benar dirinya sendiri, sehingga bisa dibedakan dari yang lain. Orang
tidak bisa memahami keberbedaan, kalau tidak mengenal identitas sesuatu dalam dirinya
sendiri. Perbedaan satu dengan yang lain bergantung pada identitas masing-masing yang
bereksistensi. Si Markus lain dari Maria, karena masing-masingnya identik dengan dirinya
sendiri.
Dari segi logis pernyataan „ada, ada“ seperti suatu tautologi. Prinsip itu tidak
memungkinkan suatu variasi intrinsik di dalammya. Ia harus diterapkan secara univok untuk
semua yang ada. Akan tetapi, seperti diuraikan sebelumnya, bahwa secara intrinsik ada itu
bersifat analog bukan univok. Di sini prinsip identitas mendapat makna metafisik. Kalau kita
mengatakan, bahwa „apa yang ada, ada“, maka tidak lain kita bermaksud menunjukkan dalam
pengetahuan kita bahwa segala sesuatu adalah dirinya, tetapi sesuai dengan kodratnya.
Singkatnya, apa saja yang ada selalu identik dengan dirinya. Ia identik dengan dirinya
menurut kodratnya. „Tuhan ada“. Antara „Tuhan“ dan „ada“ terdapat suatu identitas mutlak,
sebab Dia adalah „Ens Absolutum“ (ada absolut). Sedangkan dengan mengatakan „manusia
ada“, di sini tidak ada suatu identitas mutlak antara pengertian „manusia“ di satu pihak dan
„ada“ di pihak lain. Sebab, manusia itu „ens contingens“ (ada kontingen). Hal itu terbukti,
bahwa dulu ia pernah tidak ada (belum lahir) dan kalau sudah ada, maka akan tidak ada lagi
(mati).
Sekalipun demikian ada itu adalah universal, bahwa ia terdapat atau dimiliki oleh
segala yang ada, termasuk Tuhan. Karena itu, tidak ada ada murni. Ada itu selalu „ada
sebagai ini“ dan „sebagai itu“. Ia selalu bersifat individual, konkret. Akan tetapi kita tidak
boleh memikirkannya sebagai substansi (bahan). Karena itu, kalau kita mengatakan bahwa
„ada adalah satu“, atau ada itu berada dalam dirinya sendiri, maka itu tidak berarti hanya
terdapat satu ada dan keberadaan ada-ada yang lain hanya suatu ilusi saja, sebagaimana
dikemukakan Parmenides. Bukan itu yang dimaksud. Yang mau dikatakan di sini ialah bahwa
dalam konkretisasi atau dalam individualitasnya, maka di situ yang ada itu ditentukan,
sehingga ia tidak bisa tidak merupakan dirinya sendiri dan bukan yang lain.
Itulah sebabnya, ada itu disebut sebagai konsep analog. Itu berarti, tidak hanya tidak
adanya satu-satunya ada riil, tetapi juga konsep satu atau identik bagi segala yang ada. Sifat
keumuman dari ada telah memuat dalam dirinya keanekaan ada-ada konkret berdasarkan
cara berada mereka (modus essendi). Adalah tidak mungkin untuk memikirkan suatu yang
ada murni, tanpa secara implisit memikirkan suatu ada tertentu (ada yang konkret) sebagai ini
dan sebagai itu.

2.3.3. Unitas dan Contradictio


Secara logis prinsip kontradiksi mengungkapkan bahwa kita tidak mungkin
„mengafirmasi“ sekaligus „menegasi“ sesuatu. Tidak mungkin kita mengatakan „ya“ dan
„tidak“ sekaligus tentang sesuatu. Tidak masuk di akal, bahwa sesuatu itu „ada“ dan
serempak dari aspek dan waktu yang sama „tidak ada“. Afirmasi dan negasi tidak mungkin
ada sekaligus dari aspek yang sama.
Pada dasarnya prinsip ini sangat erat hubungannya dengan prinsip identitas. Prinsip
identitas dirumuskan dalam suatu putusan afirmatif „A itu adalah A“, „ada adalah ada“.
57
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Putusan afirmatif tentang ada seperti itu mempunyai hubungan erat dengan model putusan
negatif yang mengatakan: „Ada tak terpisahkan dalam dirinya sendiri“ dan bahwa „ada“ itu
sama sekali tidak bisa dipersamakan dengan „tidak ada“. Bentuk prinsip kontradiksi metafisik
selalu dirumuskan demikian, bahwa „ada bukanlah tidak ada“. Dalam hal ini, kita melihat
bahwa dari aspek logis sebenarnya prinsip kontradiksi hanyalah imbangan negatif dari prinsip
identitas. Jika prinsip identitas mengatakan bahwa „ada adalah ada“, maka prinsip kontradiksi
mengatakan untuk mempertegas itu secara negatif, bahwa „ada bukanlah tidak ada“.
Prinsip kontradiksi dirumuskan secara lebih lengkap demikian: „Sesuatu tidak bisa
serentak ada dan tidak ada dalam aspek yang persis sama“. Rumusan ini sebenarnya
mengatakan secara lain dari apa yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa „ada tidak
terpisahkan“. Di situ mau ditekankan, bahwa ada (ens) itu satu kesatuan. Oleh karena „ada
adalah ada“, maka dia sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan „tidak ada“ (non ens).
Singkatnya, tidak mungkin sesuatu itu sekaligus dan dalam aspek yang sama „ada“ dan „tidak
ada“.
Akan tetapi, kalau di sini dikatakan bahwa prinsip kontradiksi sama dengan prinsip
identitas yang hanya berbeda dalam perumusan, di mana yang satu dalam putusan afirmatif
dan yang lain dalam putusan negatif, maka itu bukan mengungkapkan suatu hukum pikiran
(sebagai prinsip logis), melainkan hukum tentang ada itu sendiri (sebagai prinsip ontologis).
Secara ontologis kedua prinsip itu sama, karena sama-sama mengungkapkan dan menekankan
„kemandirian“ dari ada. Oleh karena prinsip kontradiksi itu adalah prinsip mengenai ada,
maka prinsip itu berlaku bagi segala barang yang ada. Dia adalah prinsip universal yang
mengatasi segala kategori dan species barang-barang.

3. Ada dan Benar Transendental

3.1. Pengertian Kebenaran Logis


Dari aspek epistemologis (logis) kebenaran itu selalu berarti suatu macam hubungan
antara budi dan realitas. Tetapi dasar dari hubungan itu bukan pada realitas melainkan pada
budi. Inteleklah yang mengadakan hubungan dengan kenyataan, dan itulah yang disebut
mengenal realitas. Karena itu „per naturam“ (dari kodratnya) kebenaran itu merupakan suatu
pengertian relatif, dalam arti bahwa dia tidak lain daripada suatu macam hubungan antara
budi yang mengenal dan barang yang dikenal.
Oleh karena ada bermacam-macam hubungan, maka masih perlu ditambahkan bahwa
kebenaran adalah suatu hubungan kesamaan antara budi dan realitas (barang-barang).
Kesamaan itu adalah aspek yang essensial dari kebenaran bila dipandang sebagai suatu
hubungan. Di sini mau dikatakan sebenarnya, bahwa ada relasi antara intelek dan realitas.
Antara intelek dan ada atau realitas bersifat ko-natural. Konaturalitas itu diangkat ke tingkat
imaterial dan spiritual. St. Thomas Aquinas, berkaitan dengan hal ini, mengatakan: „Bentuk
yang sama, yang ada di dalam objek, terdapat dalam subjek“. Ada identitas bentuk antara ada
atau realitas yang dikenal dengan intelek yang mengenalnya.
Akan tetapi, mengenal realitas berarti mengenal seperti adanya. Mengenal seperti
adanya itulah yang disebut mengenal kebenaran. Saya melihat batu, lalu saya mengatakan
bahwa saya melihat pohon. Padahal dalam kenyataan yang saya lihat batu, bukan pohon.
Maka, pernyataanku itu adalah palsu. Pernyataan itu tidak benar, sebab pernyataan itu tidak
merupakan pengungkapan yang tepat atas aktus mengenalku. Saya tidak mengenal seperti
adanya, dan karenanya juga tidak ada kebenaran.
Secara essensial dan pertama-tama, kebenaran adalah pengetahuan yang kita miliki
tentang realitas dan pengetahuan itu diungkapkan dalam putusan melalui mana kita tahu,

58
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

bahwa sesuatu itu ada atau tidak ada, ada seperti itu atau tidak ada seperti itu. Dan, putusan
itu berhubungan dengan sesuatu (realitas) yang ada di luar budi. Dalam putusan yang benar,
ada bukan saja persesuaian budi dan intelek (adaequatio rei et intellectus), tetapi bahwa
hubungan persesuaian itu diketahui oleh budi itu sendiri. Hubungan persesuaian yang dikenal
intelek itulah kebenaran logis.

3.2. Pengertian Kebenaran Ontologis


Pada tataran logis kebenaran adalah kebenaran mengenai barang-barang. Itu berarti,
kebenaran itu ada pada putusan yang dibuat oleh budi mengenai realitas. Titik tolak atau
dasarnya ada pada intelek, bukan pada realitas. Adapun kebenaran pada tataran ontologis
justru sebaliknya. Dasarnya adalah realitas atau barang-barang itu sendiri. Karena itu,
kebenaran ontologis bukanlah kebenaran mengenai barang atau kebenaran suatu putusan
tentang kenyataan, melainkan kebenaran barang itu sendiri. Bukan kebenaran tentang barang
tetapi kebenaran pada barang. Jadi, barang itu benar.
Pertanyaannya, bagaimana bisa dikatakan bahwa barang itu benar? Untuk itu kita
perlu memperhatikan dulu suatu prinsip yang cukup mendasar dalam kegiatan mengenalnya
manusia. Mengenal mengandaikan dua hal. Pertama, adanya kemampuan budi untuk
mengenal atau mengetahui realitas (objek). Kedua, realitas harus memiliki kemungkinan
untuk dikenal. Realitas itu harus intellligibilis. Kemungkinan untuk dikenal harus
mendahului aktus mengenal. Singkatnya, sebelum sesuatu dikenal, haruslah pada sesuatu itu
sudah ada relasi kepada intelek yang mengenalnya.
Adapun kebenaran barang-barang atau kebenaran ontologis bukanlah sesuatu yang
lain dari ada. Kebenaran barang-barang tidak lain barang sendiri dipandang dari aspek
tertentu, dan justru dengan menangkap aspek itu kita dapat menambah pengetahuan kita
tentang ada.
Kita mengatakan bahwa barang itu benar, bukanlah bahwa putusan tentang barang itu
benar, melainkan betul-betul kebenaran itu terdapat pada barang itu. Kalau kita mengatakan
„sahabat yang benar“, maka di situ kita pakai pengertian „benar“ dengan referensi langsung
kepada barangnya dan bukan kepada putusan tentang barang itu. Karena itu, seorang sahabat
yang benar secara objektip kalau padanya ada atau dibenarkan sifat-sifat yang ada pada ideal
atau patokan „kesehabatan“. „Benar“ di sini dipakai untuk memaksudkan persesuaian bukan
antara intelek dengan realitas barang-barang seperti pada kebenaran logis, melainkan untuk
menunjukkan hubungan persesuaian dari barang yang disebutkan itu kepada sesuatu, yang
menurut suatu intelek, mereka harus mewujudkan dalam diri mereka.
Berdasarkan itu bisa dikatakan, bahwa apa saja yang ada adalah benar. Sejauh sesuatu
ada, maka sejauh itu pula ia benar. Hanya saja, benarnya barang-barang itu seturut kodratnya
masing-masing. Nilai atau tingkat kebenarannya bergantung kepada essensinya masing-
masing. Kalau kita mengatakan „batu yang benar“, maka itu berarti adanya batu itu sudah
sesuai dengan „ideal“ kebatuannya. Ideal atau ukuran kebatuannya kita bisa buktikan dalam
tataran pengalaman indrawi, bahwa kebatuan sebuah batu terletak fenomen seperti keras dan
tidak lembut seperti kapas. Kalau ada batu yang lembut seperti kapas, maka harus dikatakan
bahwa itu bukan batu yang benar melainkan sebuah „batu palsu“, sebab sudah tidak sesuai
dengan ideal kebatuan.
Yang menjadi pertanyaan, pada apa ukuran atau patokan atau idealnya itu terdapat,
yang dari padanya segala sesuatu yang ada bisa disebut sebagai benar. Untuk menjawab ini,
kita perlu bertolak dari suatu prinsip metafisik juga yang mengatakan, bahwa „segala yang
tidak ada dari dirinya sendiri, ada dari atau oleh yang lain“. Hanya Tuhan ada dari
sendirinya (ens a se), sedangkan segala yang lain (ciptaan) menjadi ada karena diciptakan
oleh Tuhan. Segala yang lain apa saja disebabkan oleh Tuhan. Mereka itu menjadi ada bukan
oleh dirinya sendiri, melainkan oleh yang lain (ens ab alio), yaitu Tuhan sebagai pencipta.
59
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Tuhan itu adalah penyebab (pencipta) yang berakal budi. Jadi Ia menyebabkan segala yang
lain menurut i d e - i d e yang ada padaNya.
I d e yang ada pada Tuhan yang sama dengan essensiNya, itulah „ukuran“ dari
kebenaran barang yang ada. Budi manusia tidak bisa merupakan „ukuran pertama“ dari
kebenaran barang-barang, sebab budi manusia justru pertama-tama „diukur“ atau
„ditentukan“ oleh barang-barang yang merupakan objek pengalaman. Oleh karena itu, budi
manusia dikatakan ukuran atau patokan hanya sebagai ukuran kedua, yakni ukuran dari
barang-barang yang diciptakannya, karena manusia memprodusir barang itu sesuai dengan
idenya. Pertama-tama manusia itu membuat pola atau i d e dari barang yang hendak
dihasilkannya dan kemudian idea itu direalisir. Adapun kebenaran ontologis tidak lain adalah
adanya persesuaian antara yang direncanakan dengan yang dilaksanakan.

3.3. Hubungan antara Ada dan Kebenaran

3.3.1. Ada dan Benar Bersifat Konvertibel


Suatu barang dikatakan „benar“, kalau ia mewujudkan dalam dirinya suatu cara berada
tertentu. Cara berada itu mempunyai unsur-unsur tertentu dan tidak bisa tidak seperti itu. Ia
dikatakan „benar“, manakala unsur-unsur dari cara berada seperti itu memang ditemukan di
dalamnya. Bila tidak ditemukan, apa yang merupakan essensi dari cara beradanya, maka
sesuatu itu tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu tertentu lagi, dan karenanya pula tidak bisa
dikatakan sebagai „benar“. Demikian misalnya, pohon haruslah berada dengan memuat
kodrat „kepohonan“nya, sehingga ia bisa disebut sebagai pohon yang benar. Ketiadaan ciri-
ciri kodrat kepohonan, berarti kehilangan pohon itu. Tida ada pohon. Kalau masih mati-
amatian menyebutnya sebagai pohon, maka itu tidak lain sebagai „pohon palsu“.
Oleh karena dalam diri sesuatu itu dengan seharusnya memuat ciri-ciri yang perlu
untuk mewujudkan dirinya, maka sesuatu bisa diketahui dengan langsung oleh budi dan
menjadi jelas bagi budi yang mengenalnya (prinsip intelligibilitas). Sesuatu itu dari dirinya
merupakan sesuatu yang rasional. Ia tidak mungkin tidak dapat dipahami. Karena itu harus
dikatakan juga bahwa kebenaran sesuatu merupakan dasar bagi kebenaran pikiran. Kebenaran
ontologis menjadi dasar kebenaran logis.
Atas dasar itulah, maka disebut bahwa ada dan benar bisa dipertukarkan. Menyebut
sesuatu itu benar, tidak lain dari mengatakan sesuatu itu ada. Demikian prinsipnya, ens et
verum conventuntur (ada dan benar bisa dipertukarkan). Itu berarti, tidak adanya kebenaran
sama dengan tidak adanya barang itu. Harus disimpulkan seperti ini, karena memang apa saja
yang ada, maka mereka ada dalam dirinya sendiri, bersama dengan segala determinasi
kodratinya.

3.3.2. Prinsip Intelligibilitas Ada


Apa saja yang ada adalah dirinya sendiri dan memiliki struktur rasionalitasnya
sendiri. Ada itu dari dirinya bisa dimengerti (ens intelligibilis). Asas ini merupakan fundamen
seluruh pengetahuan kita tentang realitas. Asas ini secara langsung berlaku atas kebenaran-
barang-barang. Karena barang-barang itu benar, maka mereka itu intelligibilis, dan karena
mereka intelligibilis, maka mereka bisa dimengerti. Tetapi itu tidak berarti, bahwa supaya
kita bisa mengenal barang-barang, kita harus lebih dahulu mengenal i d e - i d e nya yang ada
pada „creator intellectualis“, yaitu Allah. Untuk mengenal batu, kita tidak perlu mencari tahu
dulu i d e batu pada Allah sebagai penciptanya. Sebab pengetahuan manusiawi kita tentang
realitas indrawi berasal dari realitas itu sendiri. Demikian juga pengetahuan tentang prinsip-
prinsip tentang ada, pengetahuan seperti itu berasal dari adanya barang yang merupakan objek

60
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

pengetahuan sensibilis kita, sekalipun prinsip-prinsip itu sendiri bersifat transenden dan
universal.
Apa saja adalah intelligibilis dalam dirinya sendiri karena prinsip-prinsip adanya
mereka, yakni essensi dan actus essendi, adalah prinsip-prinsip mereka sendiri. Bahwa,
prinsip-prinsip itu ada pada mereka sendiri. Dengan mengatakan „barang-barang intelligibilis
dalam dirinya sendiri“, itu tidak dimaksudkan bahwa seluruh intelligibilitas tentang adanya
mereka terdapat dalam diri mereka. Yang dimaksud dengan pernyataan itu adalah bahwa
prinsip-prinsip intrinsik adanya mereka adalah prinsip-prinsip mereka sendiri.
Kalau semuanya benar dan semuanya bisa dimengerti, lalu di mana letak kesalahan
atau kekeliruan? Jelasnya, berdasarkan uraian di atas, kesalahan tidak ada pada barang-
barang, melainkan ada pada putusan tentang barang-barang. Hal itu terjadi, karena beberapa
barang memiliki beberapa aspek yang sama. Kekeliruan ada pada penilaian manusia melalui
putusannya, bukan pada barang itu sendiri. Dengan putusan itu, kita mengadakan afirmasi
atau negasi tentang sesuatu. Dalam mengafirmasi dan menegasi ini, kita bisa jatuh ke dalam
kekeliruan. Putusan mengenai barang itu berada pada tataran cognitio entis , bukan dalam
yang ada itu sendiri.

3.3.3. Kebenaran Ontologis Bersifat Analog


Karena antara ada dan benar bersifat konvertibel, maka apa yang berlaku mengenai
ada, juga berlaku mengenai benar. Oleh karena ada itu bersifat analog, maka benar juga
bersifat analog. Dengan mengatakan bahwa segala barang benar tidak dimaksudkan bahwa
segala barang sama benar, karena dalam hal itu segala barang tidak sama intelligibilitasnya.
Mereka memiliki intelligibilitas secara kurang-lebih. Ada barang yang lebih „berisi“, dalam
arti bahwa pengetahuan yang kita peroleh dari yang satu „lebih“ dari yang lain. Ada barang
yang lebih berarti dari yang lain, sebab ia lebih intelligibilis dalam dirinya sendiri. Dan
barang yang lebih intelligibilis dalam dirinya adalah barang itu lebih aktual dalam adanya.
Demikian misalnya, menurut „modus essendi“ setiap barang: Binatang lebih intelligibilis dari
batu, dan manusia lebih intelligibilis (lebih berisi) dari barang infrahuman.
Prinsipnya mengatakan, makin aktual dalam adanya, makin ientelligibilis dalam
dirinya. Demikian misalnya, mengenai prinsip metafisik materia prima. Materia prima tidak
intelligibilis dalam dirinya, sebab ia hanyalah suatu potentia. Ia baru menjadi intelligibilis,
kalau dalam hubungan dan melalui „actus“. Tuhan itu adalah actus purus, maka seturut asas
itu, Tuhan itu adalah yang paling intelligibilis dalam dirinya. Sedangkan barang-barang
material (ciptaan) dalam dirinya kurang intelligibilis dari pada barang yang immaterial (tanpa
materi).
Hal itu berdasarkan sifat potensial dari materi. Ia adalah unsur potensial prinsip
pembatasan adanya. Akan tetapi, kiranya kita tidak boleh memahami bahwa ia lebih
intelligibilis dalam budi kita yang mengenalnya. Bukan itu yang dimaksud. Barang
immaterial itu lebih intelligibilis dalam dirinya sendiri, dari pada barang yang dengan materi.
Akan tetapi bagi budi manusia yang mengenal mereka, justru barang dengan materi itulah
yang lebih intelligibilis daripada barang-barang tanpa materi. Alasannya adalah syarat-syarat
pengetahuan insani, yang bergantung kepada indra-inrda. Sehingga barang yang kurang
intelligibilis dalam dirinya, justru menjadi lebih intelligibilis bagi budi manusia yang
mengenalnya. Demikian misalnya, kita kurang mengenal atau kurang intelligibilis dalam budi
manusia tentang Tuhan, padahal dalam dirinya sendiri Ia paling intelligibilis.

3.3 4. Kepalsuan Barang-barang Bersifat Aksidental


Dikatakan bahwa apa saja yang ada, benar. Yang menjadi persoalannya, bagaimana
kita menerangkan kenyataan bahwa toh ada juga barang yang palsu. Ada emas palsu,
61
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

misalnya. Apakah kita tidak harus menerima kenyataan itu? Soal ini dapat dijawab demikian:
Pada dasarnya tidak ada barang yang palsu. Emas palsu dalam kenyataannya adalah kuningan
yang berwarna keemas-emasan.
Secara ontologis tidak ada kepalsuan pada barang-barang yang ada, sejauh barang-
barang itu berada seturut kodratnya. Pada barang tidak ada kepalsuan apa pun, seperti tidak
ada keburukan (malum). Malum berarti kekurangan adanya sesuatu, yang seharusnya ada,
sedangkan kepalsuan berarti kekurangan kebenaran yang seharusnya ada pada suatu barang.
Suatu kepalsuan ada pada emas, karena ciri kodrat keemasan dari emas itu tidak terdapat di
dalamnya, yang seharusnya ada di dalam emas itu. Dengan demkian, fakta bahwa ada barang
yang palsu, hanya menunjukkan adanya suatu kekurangan adanya secara aksidental. Padahal
secara tegas, tidak ada barang yang palsu dalam dirinya sendiri. Tidak ada kepalsuan dalam
intinya, karena segala sesuatu selalu ada sesuai dengan kodratnya. Karena itu kepalsuan
hanyalah sesuatu yang aksidental pada barang. Kepalsuan itu adalah suatu kekurangan pada
sesuatu yang ada sesuai dengan kodrat. Kepalsuan hanyalah suatu kekurangan dari sesuatu
yang ada, jadi suatu kekurangan pada suatu yang benar.

4. Ada dan Baik Transendental

4.1. Hubungan antara Kebenaran dan Kebaikan


Di atas dijelaskan tentang ada dan kebenaran, yang tidak lain menyangkut hubungan
antara subjek dan objek, suatu hubungan antara manusia dan realitas. Ternyata, hubungan
yang demikian juga berlaku untuk ada dan kebaikan. Bedanya terletak pada titik tolak. Dalam
hal kebenaran ontologis, objek atau barang menuju (mengarah) kepada subjek (pikiran).
Arahnya dari objek kepada subjek. Hal itu berlangsung melalui daya sentripetal pengetahuan
manusiawi. Sedangkan dalam hal kebaikan, sebaliknya terjadi, subjek mengarah kepada
objek. Di sini kekuatan pengetahuan bersifat sentrifugal, di mana tujuan subjek ditempatkan
pada realitas.
Kenyataan itulah yang menunjukkan bahwa kebenaran berkenaan dengan
inteligibilitas dan kebaikan berkenaan dengan apetibilitas. Itu berarti, apa saja sejauh ada,
bisa dimengerti dan bisa dikehendaki. Jadi, semua yang ada intelligibilis, dapat dimengerti,
dan bisa apetibel, dapat dikehendaki. Hanya yang „tidak ada“, tidak dapat dimengerti dan
sekaligus tidak bisa dimaui.
Di dalam kedua hal itu berlangsung suatu gerak-kausal. Dasar dari intelligibilitas dan
apetibilitas itu adalah ciri pemberian diri dari realitas, sehingga mereka sebagai realitas
memiliki kemungkinkan untuk dipahami dan dimaui. Perbedaan di antara keduanya terletak
pada jenis kausalitasnya. Dalam hal kebenaran, dinamisme kausalnya adalah „causa
efficiens“. Kausalitas efisien ini berlangsung pada level kognitif melalui identifikasi objek
kepada subjek. Sedangkan dalam hal kebaikan, dinamisme kausalnya adalah „causa finalis“,
dan itu berlangsung pada soal tujuan subjek. Karena itu, di sini subjek memegang peranan
utama. Di sini terjadi proses identifikasi dari subjek kepada objek.
Walaupun hubungan antara kebenaran dan kebaikan begitu erat, namun tidak begitu
saja keduanya disamakan. Tetapi juga tidak bisa keduanya dipisahkan begitu saja satu sama
lain. Sebab, keduanya mengekspresikan tentang ada yang sama. Keduanya identik. Jika ada
yang mengatakan tidak ada hubungan sama sekali, maka itu umumnya dilatarbelakangi oleh
suatu pandangan yang mengatakan bahwa dua fakultas utama dalam manusia, yaitu
intellectus et voluntas, berbeda secara mendasar. Intelek dengan objectum propriumnya
„veritas“ (kebenaran) , sedangkan kehendak objectum propriumnya adalah „bonitas“
(kebaikan). Perbedaan dalam objek khusus itu sudah menunjukkan bahwa keduanya memang
berbeda.

62
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Sebenarnya kebenaran dan kebaikan saling terkait. Mereka merupakan dua ciri
transendental yang terdapat pada ada. Keduanya merupakan unsur konstitutif pada barang
yang ada. Keterkaitan antara kebenaran dan kebaikan ini dapat dilihat dalam prinsip dasar
nilai objektif moralitas. Di sini ada hubungan antara realitas dengan subjek, yang di satu
pihak dia „memahami“ realitas itu dan di lain pihak ia „menghendaki“nya. Realitas itu, bagi
budi, „dimengerti“, sementara bagi kehendak „dimaui“. Karena itu prinsipnya mengatakan,
bahwa tidak ada apa-apa masuk ke dalam budi (dipahami), kalau sebelumnya tidak ada dalam
realitas. Kerena memang pengetahuan kita, secara hakiki, merupakan ungkapan tentang
realitas. Selanjutnya prinsip itu mengatakan, bahwa tidak apa-apa masuk ke dalam kehendak
(dikehendaki), kalau sebelumnya tidak terdapat dalam budi (dipahami). Singkatnya, kita
kenal dulu relitasnya, baru kita kehendaki. Kita tidak bisa mengendaki sesuatu yang tidak kita
ketahui. Dan, kita tidak bisa mengetahui sesuatu yang tidak ada (realitas).
Dengan demikian, realitas menurunkan pengetahuan, lalu pengetahuan itu
menurunkan tatalaku perbuatan manusiawi (actus humanus). Jadi, nilai moral (kebaikan) itu
mengandaikan adanya nilai kebenaran, dan nilai kebenaran mengandaikan nilai dari realitas.
Itulah sebabnya, selalu dikatakan bahwa tidak ada Etika tanpa Metafisika. Bagaimana pun
metafisika memberikan dasar bagi pembentukan nilai-nilai moral perbuatan manusia.

4.2. Pengertian Kebaikan Ontologis


Kebaikan merupakan bentuk praktis dari intensionalitas, yakni soal pengarahan diri
subjek kepada objek. Karena itu, untuk memahami ungkapan „ada adalah baik“, maka kita
harus memperhatikan bahwa kebaikan pada hakikatnya adalah „tujuan“. Finis (tujuan) berarti
„apa yang dikehendaki“, dan „yang memuaskan bila dicapai“. Jadi kebaikan ontologis adalah
kesempurnaan yang terdapat kodrat ada, melalui mana ada itu menjadi tujuan. „Baik“ adalah
„ada“, dipandang sebagai objek kecenderungan (appetitus). Baik itu adalah yang dikehendaki
dalam dirinya sendiri.
Kebaikan barang-barang tidak lain adalah actus essendi dari barang-barang itu.
Seandainya barang-barang itu tidak mempunyai actus essendi itu, maka mereka berusaha
memperolehnya dengan suatu „appetitus naturalis“ (kecenderungan kodrati). Sedangkan bagi
barang-barang yang mempunyai actus essendi (barang yang telah ada riil), berusaha
mempertahankan actus essendinya itu. Mengapa harus demikian? Karena, actus essendi itulah
yang menentukan derajad aktualitas mereka dan dengan itu pula derejad kebaikan mereka.
Semakin mereka aktual dalam adanya, maka semakin mereka baik. Jadi, mereka baik sejauh
mereka aktual (in actu) menurut derajad kesempurnaan actus essendi mereka. Dengan kata
lain, kebaikan dari barang-barang ditentukan atau diukur oleh aktualitas mereka dalam
adanya.
Di sini, kebaikan merupakan modus lain dalam mengekspresikan ada, yakni
menyangkut modus essendi dari sesuatu yang dikehendaki. Semua yang ada sejauh mereka
ada, maka adalah mungkin mereka dicapai oleh kehendak. Karena itu, tetap berlaku prinsip
bahwa ada dan baik bersifat konvertibel. „Ens et bonum conventuntur“ (ada dan baik bisa
dipertukarkan). Semakin sesuatu baik, maka semakin aktual dalam adanya. Kalau kebaikan
barang itu hilang, maka hilang pula adanya. Dengan kata lain, kehilangan kebaikan, berarti
kehilangan atau ketiadaan barang itu. Itulah sebabnya, tidak ada suatu barang pun yang dari
kodratnya adalah buruk.
Tidak ada apa-apa yang per essentiam buruk. Buruk itu ada pada barang-barang hanya
sebagai suatu „privatio“, yang berarti dia dimiliki oleh barang-barang yang ada hanya secara
per accidens. Tidak ada apa-apa yang dari kodratnya buruk. Keburukan adalah kekurangan
kebaikan yang harus ada dalam hal tertentu (privasi). Keburukan bukanlah sesuatu positif. Ia
bukan suatu essensi. Keburukan hanya suatu privasi, yaitu kekurangan kebaikan yang tidak
terdapat pada suatu subjek, di mana berdasarkan kodratnya dia harus ada pada subjek itu.
63
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Ibaratnya sebuah gelas dengan keretakannya. Ada sebuah gelas. Kemudian ia lalu menjadi
retak. Gelas itu bereksistensi, pertama sebagai gelas utuh dan ini memang sewajarnya
demikian, kemudian ia bereksistensi secara lain, yakni sebagai gelas retak. Keretakan tidak
mungkin ada , kalau tidak ada gelas (utuh). Demikian pun halnya kebaikan. Dan, dalam hal
ini, kebaikan bisa ada tanpa keburukan. Namun tidak mungkin ada keburukan tanpa kebaikan.
Bila dikatakan bahwa baik itu adalah objek kecenderungan kehendak, sehingga secara
kodrati kehendak mengejarnya, itu tidak berarti bahwa pengejaran itu bersifat sadar pada
segala barang yang ada. Pengejaran pada manusia misalnya didasarkan atau ditimbulkan oleh
pengetahuan tentang yang baik itu. Manusia tidak akan memaui atau menghendaki sebelum
ia mengetahui barang itu. Sedangkan pada barang-barang yang tidak memiliki pengetahuan,
tendensi itu hanyalah berdasarkan suatu appetitus naturalis. Karena itu, perlu dikatakan lagi
bahwa tiap barang mengejar yang baik itu, namun mereka mengejar itu sesuai kodrat mereka
masing-masing.
Karena itu tepatlah, apa yang dikatakan di atas, bahwa barang yang ada riil berusaha
mempertahankan adanya secara kodrati, yang juga tidak lain sebagai mempertahankan
kebaikannya. Secara kodrati mereka mempertahankan diri dalam adanya, secara mereka ada.
Tendensi kodrati itu terdapat pada segala barang yang ada, dan secara paling jelas dalam
barang yang hidup (makhluk hidup). Mereka memelihara adanya sebagai kebaikan
fundamental.
Manusia memelihara adanya sebagai individu terutama melalui makanan dan
memelihara adanya sebagai species melalui reproduksi (seks). Akan tetapi manusia itu tidak
saja memelihara adanya, melainkan juga harus menyempurnakan adanya melalui barang-
barang di luar dirinya. Dengan ia mencari barang-barang ekstern yang lebih rendah
daripadanya, maka ia merendahkan dirinya. Dengan ia mencari barang-barang ekstern yang
lebih tinggi dari padanya, maka ia meninggikan dirinya.
Sedangkan bagi barang yang secara absolut sempurna, seperti „actus purus“, maka
kebaikan itu tidak lain adalah dirinya sendiri, sehingga ia tidak perlu mencari barang-barang
lain di luar dirinya untuk meneyemprunakan dirinya. Actus purus adalah kebaikan dalam
dirinya sendiri dan bagi dirinya sendiri. Ia tidak mengejar kebaikan itu di luar dirinya.
Bahkan harus dikatakan, kebaikan itu adalah diriNya. Kebaikan identik dengan Tuhan itu
sendiri. Tidak ada distinksi riil antara kebaikan dan Tuhan. Menyebut Tuhan itu baik,
sebenarnya lebih tepat menyebutnya Tuhan adalah kebaikan. Dia adalah kebaikan karena Dia
itu adalah kesempurnaan yang tak terbatas (actus purus). Tuhan tidak mengejar
kesempurnaan, karena padaNya terdapat kesempurnaan tak terbatas. Ia identik dengan
kesempurnaanNya.
Jika pada barang yang ada tidak ada kebaikan apa-apa, maka tidak ada kegiatan apa-
apa, sebab segala yang bergiat, bergiat oleh karena suatu „tujuan“ (kebaikan). Oleh karena
tujuan segala kegiatan adalah kebaikan, maka ketiadaan kebaikan pada barang berarti tidak
adanya kegiatan apa-apa padanya. Ungkapan ini sangat sesuai untuk penggiat yang kurang
sempurna dan tidak sesuai untuk penggiat sempurna seperti Tuhan. Secara absolut Ia
sempurna dalam dirinya sendiri dan Ia sekaligus penggiat yang absolut (actus purus). Dia
penggiat absolut justru karena objek kegiatannya adalah kebaikan yang absolut, yakni dirinya
sendiri. Sedangkan kegiatan bagi barang-barang terbatas adalah sarana melalui mana mereka
memperoleh kebaikan dari luar.
Dari kodratnya, barang terbatas adalah tidak untuk berada. Sekalipun segala sesuatu
yang ada mempunyai actus essendi (eksistensi) sendiri, namun bagi barang terbatas eksistensi
itu tidak termasuk essensi mereka. Actus essendi mereka diperoleh berkat partisipasi pada ada
yang absolut. Karena itu, apa yang berlaku mengenai adanya, berlaku juga mengenai
kebaikan mereka. Sehingga harus dikatakan, bahwa segala barang terbatas baik karena
mereka ada, namun kebaikan tidak termasuk essensi mereka. Walaupun kebaikan itu adalah
kepunyaan mereka, namun kebaikan itu merupakan actus atau kesempurnaan yang diterima

64
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

dari luar. Kesempurnaan kebaikan itu disebabkan pada mereka oleh yang lain. Jadi, barang
terbatas memiliki kebaikan tidak secara essensial sebagaimana halnya pada barang sempurna
(Tuhan).

4.3. Hubungan Kebaikan Moral dan Kebaikan Ontologis


Actus moralis (tindakan moral) sebenarnya suatu rekognisi (pengenalan kembali) akan
ada. Sebab, kita tidak bisa menghendaki dengan bebas apa yang tidak diketahui, dan kita
tidak bisa mengetahui jika sesuatu itu tidak ada. Kita hanya bisa mengenal apa yang ada dan
bukan ketiadaan. Dengan demikian, tindakan moral itu merupakan pengenalan kembali
mengenai ada itu sendiri. Itu berarti pula, kebaikan moral punya dasarnya pada kebaikan
ontologis.
Dalam pengertian moral, tindakan bebas itu baik sejauh sesuai dengan norma moral.
Tindakan bebas itu tidak sesuai dengan norma yang berlaku, maka tindakan dikategorikan
sebagai tindakan „jahat“. Sedangkan kebaikan dalam taraf ontologis justru realitas itu sendiri.
Sejauh realitas itu memiliki aktualitas tertentu, maka sejauh itu pula ia dikatakan baik. Karena
itu, pada barang-barang terdapat derajad-derajad kebaikan seturut derajad aktualitas mereka
masing-masing.
Jika dikatakan bahwa objek kehendak hanya kebaikan, maka bagaimana kita
menerangkan realitas keburukan atau kejahatan dalam tindakan bebas manusia. Pertama-tama
secara ontologis jawabannya adalah bahwa keburukan itu sendiri bukanlah sesuatu yang ada
sebagai barang. Karena ia bukan yang ada sebagai barang, maka keburukan dalam dirinya
sendiri tidak dapat dikehendaki. Hanya yang baik merupakan objek kecendrungen atau
kehendak. Namun terjadi bahwa dengan menghendaki sesuatu yang baik, kita sering
menghendaki secara tak langsung suatu keburukan. Akan tetapi keburukan yang dikehendaki
secara tak langsung itu berhubungan dengan yang baik itu. Demikian misalnya, orang minum
hingga mabuk. Orang itu minum, tidak bermaksud secara langsung supaya menjadi mabuk.
Dia minum karena dia mau menikmati alkohol, yang pada kadar dan batas tertentu
memberikan kenikmatan bagi tubuh. Itulah tujuan secara langsung. Tetapi karena orang itu
tidak membatasi diri dalam mereguk minuman itu, maka secara tak langsung dia
menghendaki kemabukan. Tetapi pada umumnya segala yang dikehendaki, dikehendki oleh
karena kebaikan yang ada padanya.
Dalam kehidupan konkret sering manusia bisa keliru mengenai kebaikan barang-
barang yang merupakan objek kehendaknya. Baginya, baik itu adalah kesempurnaan yang
sesuai kodrat kemanusiaannya dan sekaligus kebaikan itu menyempurnakan kodratnya jika
dicapainya. Fakta bahwa manusia bisa keliru, sehingga ia memilih atau menghendaki
keburukan yang tidak sesuai dengan kodratnya, bisa diterangkan berdasarkan beberapa
kemungkinan berikut: (1) Dia tidak mengenal kodratnya sendiri (sebagai manusia) dan
menganggap bahwa suatu objek itu baik untuk dirinya, yang sebenarnya objek itu adalah
suatu yang menghalangi atau merusakkan kodrat kemanusiaannya. (2) Dia mengenal
kodratnya sebagai manusia, namun keliru mengenai kodrat barang yang dia kejar. (3) Dia
keliru sekaligus mengenai kodratnya sendiri dan mengenai kodrat barang yang dikejarnya.
Inilah situasi yang paling parah, di dalam mana ia tidak bisa tidak mengehendaki suatu
keburukan. (4) Manusia secara sengaja tidak mengenal kodratnya, lalu mengejar sesuatu
objek yang tidak sesuai dengan kodratnya. Dalam kasus ini, ia tidak mau menerima dirinya
sebagai manusia dengan kodrat kemanusiaannya. Manusia menipu dirinya.

4.4. Kebaikan Ontologis Bersifat Analog


Pernyataan bahwa semua yang ada adalah baik, tidak berarti bahwa mereka
mempunyai kebaikan itu secara persis sama satu dengan yang lain. Di sini tidak dimaksudkan
bahwa setiap ada adalah baik tanpa batas, seakan-akan baik dari segala aspek. Karena itu
65
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

harus dikatakan di sini, bahwa karena ada itu analog, maka baik juga bersifat analog. Itu
berarti, segala yang ada baik tetapi baik menurut essensinya. Ukuran kebaikan mereka adalah
derajad aktualitas dalam adanya mereka. Jadi ada tingkat-tingkat kebaikan dalam barang-
barang.
Perbedaan kebaikan barang-barang juga dilihat, pertama dari aspek, barang itu
dipandang dalam dirinya sendiri dan kedua dari aspek, barang itu dipandang dalam hubungan
dengan barang lain. Itu berarti, ada barang yang baik dalam dirinya sendiri dan ada barang
yang baik hanya sebagai sarana untuk suatu tujuan: (1) „Bonum honestum“ (disinterested
good), yakni barang yang baik dalam dirinya sendiri sebagai tujuan, sebagai suatu yang
dikejar, sebagai yang merupakan tujuan baik dekat maupun jauh. Misalnya „kesehatan“
merupakan kebaikan dalam dirinya sendiri, namun dia bisa juga menjadi sarana untuk suatu
yang lebih tinggi dari padanya. (2) „Bonum utile“, yakni barang-barang yang baik hanya
sebagai sarana bagi suatu tujuan. Demikian misalnya, ilmu kedokteran adalah kebaikan sarana
(useful good).
Akan tetapi masih harus ditegaskan, bahwa sarana dalam dirinya sendiri tidak bernilai.
Sarana sebagai sarana baru bernilai dalam hubungan dengan tujuannya. Jadi barang-barang
semacam itu baik hanya oleh partisipasi mereka dalam kebaikan tujuan. Oleh karena itu
tatanan yang benar dari barang-barang dibalikkan, manakala sarana-sarana dinilai sebagai
tujuan dalam dirinya sendiri.

4.5. Keburukan dan Kejahatan dalam Cahaya Kebaikan

4.5.1. Keburukan sebagai Privasi dari Kebaikan


Keburukan adalah „privatio“ dari kebaikan (bonum). Malum (keburukan)adalah
kekurangan dari sesuatu yang harus ada pada suatu subjek. Dari kodratnya barang itu harus
memiliki kesempurnaan itu, namun tidak ada dalam hal tertentu. Tidak ada intelek bagi
manusia adalah malum, sebab kesanggupan berpikir dituntut oleh kodrat kemanusiaan
seseorang. Akan tetapi, tidak mempunyai intelek bagi kerbau tidak merupakan malum, sebab
cara berada kerbau sama sekali tidak membutuhkan berpikir. Paham privasi ini hanya berlaku
bagi barang terbatas yang memiliki kebaikan secara terbatas pula, dan tidak berlaku bagi
Tuhan sebagai yang tak terbatas dalam adanya.
Dengan pengertian privasi itu maka keburukan tidak bisa dipersamakan dengan
„peniadaan “ (negation) kebaikan atau kesempurnaan suatu subjek. Mengartikan malum
sebagai negasi berarti menanggap bobrok seluruh ciptaaan, sebab segala ciptaan tidak
sempurna. Yang sempurna hanya sang pencipta sendiri. Karena itu, malum tidak bisa
dipersamakan dengan ketidaksempurnaan. Demikian misalnya, pada sebuah batu tidak
mempunyai banyak kesempurnaan bila dibandingkan dengan seorang manusia. Tetapi tidak
dengan itu, berarti bahwa batu itu suatu yang buruk. Bagaimana pun batu dalam dirinya
sendiri adalah baik, karena ia berada seturut (secundum naturam) dengan kodrat kebatuannya.
Ia baru disebut „tidak baik“ atau buruk kalau dia dikaitkan dengan sesuatu yang lain di luar
dirinya, misalnya, ia dijadikan sarana untuk menghancurkan kepala manusia. Tetapi batu
dalam dirinya sendiri tetap baik. Ia baik sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan derajad
kesempurnaannya sebagai batu.
Seandainya keburukan sama dengan peniadaan (negasi), maka kita juga harus
mengatakan bahwa „ketiadaan“ (nihil) adalah suatu keburukan. Padahal ketiadaan murni atau
ketiadaan belaka adalah tidak baik dan juga tidak buruk, sebab dia memang „tidak ada“. Kita
tidak boleh memikirkan suatu keburukan absolut. Sebab, di mana tidak ada apa-apa yang
baik, berarti tidak adanya apa-apa. Barang ciptaan (terbatas) tidak bisa kehilangan seluruh
kebaikannya. Jika hal itu terjadi, maka barang itu tidak ada lagi. Tidak ada sesuatu yang per
naturam buruk. Keburukan adalah privasi dari sesuatu yang secara kodrati baik. Lagi pula
66
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

keburukan tidak bisa merupakan sebab pertama, karena dia sendiri bergantung kepada barang
yang telah ada. Jadi ia ada tidak per essentiam melainkan per accidens pada barang yang
baik. Keburukan selalu merupakan sesuatu yang sekunder.

4.5.2. Kejahatan dan Penderitaan


Realitas kejahatan, penderitaan dan kesengsaraan diterangkan dalam kerangka konsep
privasi itu, bahwa hal itu bukanlah suatu yang positif, bahwa hal negatif itu tidak per
essentiam pada barang yang ada, terutama bagi eksistensi manusia. Ketidak-baikan dalam
rupa kejahatan, penderitaan dan kesengsaraan yang dialami manusia itu bukanlah suatu
„negatio“ melainkan hanya suatu „privatio“. Adanya kejahatan, karena adanya subjek yang
baik. Kejahatan dapat ada kalau dikaitkan dengan yang baik. Tidak ada kejahatan tanpa
kebaikan, tetapi kebaikan bisa ada tanpa kejahatan.
Kejahatan itu datang dari subjek yang ada, dan sebagai yang ada, maka dia baik. Jadi
kejahatan itu datang dari suatu subjek yang baik, yakni manusia. Manusia sebagai subjek
kejahatan berarti: Pertama, hanya manusia yang bisa berbuat jahat, yang lain tidak. Kedua,
hanya manusia yang bisa mengungkapkan penderitaan dan kesengsaraan yang terjadi di alam
ciptaan ini. Ketiga, tidak ada kejahatan dan penderitaan di dalam dunia ciptaan, kalau
manusia tidak ada.
Hanya manusia berakal dan bekehendak yang bisa mengungkapkan bahwa bencana
alam merupakan penderitaan baginya. Ia sebagai makhluk berakal akan merasakan keadaan
alam itu sebagai penderitaan yang menyentuh inti kehidupannya. Hanya dialah yang mampu
mengungkapkan dan merasakan bencana alam sebagai ketidakbaikan dalam tata hidupnya
sebagai manusia yang berakalbudi dan berkehendak bebas. Sedangkan bencana alam dalam
dirinya sendiri, seperti gempa bumi, gunung meletus, per se (dalam dirinya) tidak jahat atau
tidak buruk. Hal itu merupakan gerakan normal hukum alam yang sudah semestinya
demikian. Meletusnya sebuah gunung, itu sudah sewajarnya demikian, karena desakan
magma yang terkandung di dalam perut gunung itu. Jika ia tidak meletus, maka hal itu sudah
bertentangan dengan kenormalan hukum alam yang seharusnya terjadi. Kejadian meletus,
yang manusia rasakan sebagai bencana itu, merupakan hal sehaurusnya terjadi. Jadi hal itu
baik.
Peristiwa meletusnya gunung itu baru menjadi bencana yang mendatangkan
penderitaan dan kesengsaraan dalam hidup manusia, kalau kejadian itu langsung menimpa
diri manusia, misalnya manusia ditimbun oleh lahar panas. Atau, secara tak langsung
peristiwa letusan itu menimpa manusia, seperti semburan lahar panas mematikan tanaman di
ladang, sehingga bisa mendatangkan kelaparan hebat bagi manusia. Semua ini dirasakan
manusia sebagai hal yang tidak sesuai dengan keinginan kodratinya.

4.5.3. Adanya Kejahatan dan Adanya Tuhan


Seandainya Allah yang baik itu benar ada, maka pasti tidak pernah terjadi keganasan
perang, penderitaan, siksaan dan kematian. Kalau Ia benar-benar ada, maka tidak akan ada
satu tempat pun dimana kejahatan ditemukan. Toh, kejahatan ditemukan di dunia. Maka,
Allah tidak ada.
Pemikiran itu sebenarnya memuat sebuah gagasan tentang Allah sebagai „Allah yang
tak terbatas baiknya dan maha kuasa“. Sebagai ada yang baik, maka Ia tidak boleh
mengijinkan kejahatan. Sebagai yang maha kuasa, maka Ia harus dapat menghalangi
kejahatan dan penderitaan itu terjadi. Itulah sebabnya, mengapa realitas kejahatan dan
kesengsaraan dan adanya Allah kelihatannya tidak bisa dipadukan.
Kepada mereka yang mengatakan „kejahatan ada, Tuhan tidak ada“, kita bisa
mejawabnya „kebaikan ada, maka Allah ada“. Kedua pernyataan itu tidak berdiri sama tinggi,
67
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

sebab kebaikna yang berdaulat, sedang kejahatan hanyalah sebuah „accidens“ yang tidak
meniadakan makna pernyataan pokok. Kejahatan tak pernah merupakan suatu yang mutlak. Ia
hanya suatu privasi dari kebaikan.
Pada dasarnya orang yang mengatakan, bahwa kejahatan ada maka Tuhan tidak ada,
tidak menyangkal adanya Tuhan. Sebenarnya mereka hanya keliru mengenai kodrat dari
Tuhan. Mereka memberikan sikap melawan, karena pengertian mereka mengenai kodrat
Tuhan dan keburukan adalah keliru. Mereka melihat keburukan sebagai suatu ada bukan
suatu privasi, dan melihat Tuhan sebagai sumber atau sekurang-kurangnya sebagai yang
bertanggung jawab terhadap keburukan itu. Jadi, kalau orang mengatakan bahwa Tuhan tidak
ada karena adanya kejahatan di atas dunia ini, sebenarnya mereka tidak menyangkal adanya
Tuhan. Di dalam hal ini, mereka hanya keliru mengenai kodrat Tuhan dan inti dari
keburukan.

5. Keindahan dan Transendentalia


Kebenaran (verum) dan kebaikan (bonum) merupakan sifat transendental dari ada.
Apakah keindahan (pulchrum) juga termasuk „transcendentalia“? Jawaban Thomas Aquinas,
sebagaimana termuat dalam De veritate, a. 1, bahwa pulchrum tidak termasuk sifat
transendental seperti kebenaran dan kebaikan. Sekalipun demikian Thomas masih mengulas
soal keindahan itu. Ia mengatakan pulchrum dicitur id cuius apprhensio placet ( keindahan
jika dicapai menyenangkan), juga disebutnya sebagai pulchra dicuntur guae visa placent
(keindahan ialah apa yang menyenangkan mata).
Kalau dikatakan pulchrum est quod visum placet, maka itu seharusnya diartikan
sebagai „yang dilihat, dipahami, sebagai menyenangkan“. Pada essensi keindahan terdapat
ciri berikut: dalam melihat atau mengenal sesuatu, keinginan dipuaskan; sesuatu dikatakan
indah bila pada saat mencapainya menyenangkan. Keindahan yang menyenangkan pandangan
adalah sebuah kecemerlangan yang menerpa manusia. Kecemerlangan itu muncul dari suatu
tatanan. Hal ini dirumuskan oleh kaum Skolastik demikian: Pulchrum est ordo splendens seu
splendor ordinis (keindahan adalah tatanan yang memancarkan kecemerlangan atau
kecemerlangan sebuah tatanan).
Pandangan ini sesuai dengan paham umum kristen, yang mengatakan bahwa
penciptaan adalah karya seni yang luar biasa hebatnya. Semua realitas bersama dengan
kebenaran, kebaikan dan keindahan berasal dari sumber yang sama. Padangan ini ditemukan
di dalam ulasan-ulasan filosofis-teologis Bapa-bapa gereja, terlebih pada St. Agustinus. Ia
mengatakan, Allah adalah seniman besar. Realitas adalah sesuatu sekaligus verum, bonum dan
pulchrum. Tuhan adalah seniman dan dunia adalah karya seniNya. Keindahan utama ialah
Tuhan sendiri. Keindahan itu mengatasi waktu.
Dalam uraian Thomas tentang keindahan ada usaha untuk memahami inti keindahan
melalui perbandingan dengan sifat-sifat transendental, seperti: (1) Unum - pulchrum: Di sini
diperlihatkan hubungan antara unum sebagai „ens indivisum in se“ (persatuan dalam dirinya
sendiri), di satu pihak dan pulchrum di pihak lain. Ternyata, pulchrum itu juga mengandaikan
kesatuan. Dengan demikian keindahan ada hubungan sifat transendental „satu“. (2) Verum -
pulchrum: Di sini ditunjukkan bahwa verum adalah hubungan persesuaian antara realitas dan
budi. Ternyata, pulchrum juga adalah suatu hubungan persesuaian, yakni suatu persesuaian
yang menyenangkan. (3) Bonum-pulchrum: Bonum itu adalah apa yang memuaskan
kehendak. Ternyata, pulchrum juga adalah apa yang menyenangkan, yakni menyenangkan
bagi mata.
Dengan demikian keindahan mengutamakan ketiga sifat transendental: Verum berupa
intuisi, bonum berupa kesenangan atau kepuasan, dan unum berupa persatuan, harmoni antara
ens dan mens. Singkatnya, pulchrum mengandaikan dan mengadakan sintesis antara: sensus-

68
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

intellectus, subjek-objek, aktif-pasif, sehingga kesenian menuntut keseimbangan antara


sensibilitas-intelligibilitas, intuisi-ekspresi.

Bab 6
Kategoria

Di dalam Modus Umum cara „ada“ itu diungkapkan dalam tiga cara. Sedangkan di
dalam Modus Khusus, „ada“ itu dapat diungkapkan dalam sepuluh cara. Di dalamnya, ada
satu cara yang berdiri sendiri, itulah yang disebut substantia dan ada sembilan cara yang
berada pada yang satu itu, itulah yang disebut accidentia. Kesepuluh cara ada itu disebut
dengan nama umum kategoria. Aristoteles menyebut sebuah kategori Substansi dan
sembilan kategori aksidens. Pada bab ini akan diuraikan arti kategori pada umumnya, dan
akan diuraikan juga perbedaan antara kategori logika dan kategori metafisika. Selanjutnya
kita akan berusaha membahas keberadaan masing-masing kategori dan hubungan antara
substansi dan aksidens.
Sekalipun pada bab ini tidak diuraikan secara lengkap kesepuluh kategori itu, akan
tetapi suatu pengertian dasar tentang kategori adalah sangat penting dalam mencapai
suatu pemahaman metafisik mengenai realitas. Pada umumnya muncul aliran ini dan itu
dalam filsafat mengenai realitas ditentukan atau disebabkan oleh perbedaan paham

69
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

mengenai doktrin kategori. Kalau kategori dipandang sebagai entitas ideal, maka paham itu
akan bermuara kepada pandangan filosofis yang menyatakan bahwa budi kita tidak ada
hubungan langsung dengan realitas. Kategori itu dianggap sebagai suatu konstruksi logis
belaka. Pandangan seperti ini melahirkan satu macam subyektivisme atau idealisme dalam
filsafat. Akan tetapi tradisi Aristotelo-Thomistik memandang kategori sebagai ekspresi cara-
cara beradanya ada itu sendiri bukan sekadar suatu konstruksi logis. Karena itu, dalam garis
tradisi ini tetap berlaku prinsip: Lex entis est lex mentis, yang mengungkapkan bahwa apa
yang ada di dalam pikiran bermula dari realitas. Itu berarti, barang-barang dalam realitas
yang menentukan cara serta isi pengetahuan kita tentang realitas.

1. Kategori Logik dan Kategori Metafisik

1.1. Arti Umum dan Arti Filosofis Kategori


Secara etimologis kategori berasal dari kata Yunani „kategoria“, yang berarti
pernyataan, keterangan (predikasi). Kata kategoria disusun dari kata kata dan agoreuein. Kata
berarti melawan, menentang dan agoreuein berarti menekankan, menyatakan. Pengertian
hurufiah itu sedikitnya bisa membantu kita untuk memahami pengertian kategori dalam
pemakaiannya, bahwa dalam arti umum kategori berarti pengkelasan atau penggolongan.
Dalam membuat klasifikasi itu sebenarnya kita membuat penekanan atau penentuan hal atau
barang-barang sehingga menjadi beda satu dengan yang lain, karena telah dimasukkan dalam
masing-masung kelasnya. Kegiatan menggolongkan ada kaitannya dengan tendensi kodrat
pada budi manusia, yang mau memahami realitas dengan cara menempatkan mereka dalam
kelompoknya sehingga tampil bagi budi suatu gambaran realitas yang berarti. Klasifikasi
objek-objek pengalaman itu menjadi kategori tertentu terdapat pada segala pengetahuan.
Adapun arti filosofis „kategori“ pada dasarnya sesuai dengan arti umum di atas.
Perbedaannya adalah bahwa dalam arti filosofis suatu kategori adalah suatu kesatuan yang
tidak bisa diperkecil lagi. Dalam arti umum, bisa saja orang membuat klasifikasi „orang
Barat“ dan „orang Timur“, sebagai sebuah kategori derivatif. Kategori ini bisa direduksi
kepada kelas umum, yakni kelas manusia, kemudian kelas manusia itu dimasukkan lagi ke
dalam kategori yang lebih luas, yakni substansi, sebab baik orang Barat maupun orang Timur
sama-sama sebagai ada substansial. Sedangkan kategori dalam arti filosofis adalah kesatuan
yang tidak bisa dibagi lagi ke dalam genus yang lebih luas. Kategori adalah kesatuan yang
tidak berasal dari suatu kesatuan yang lebih luas. Ia adalah konsep terakhir, bentuk tertinggi
dari predikasi atau keterangan.

1.2. Kategori dalam Logika: 10 Macam Pengertian


Pengertian dibagi menjadi 10 macam. Dalam pembagian ini predikat dilihat, apakah
merupakan substansi atau aksidens bagi subjek. Di sini dilihat dari segi isi atau realitas yang
dikandungnya, apakah predikat itu substansi atau aksidens. Jadi praedikamenta adalah 10
macam predikat berdasarkan isinya dalam hubungan dengan subjek. Ke-sepuluh
predikamenta itu, sebagai berikut: (1) Substantia (2) Qualitas (3) Quantitas (4) Relatio (5)
Actio (6) Passio (7) Tempus (8) Locus (9) Situs (10) Habitus.
Untuk memperjelas kedudukan substansi dalam kaitan dengan kategori lain, baiklah
kita memperhatikan kerangka logik yang dibuat oleh Porfirius (233-304), seorang murid
Plotinos, yang umumnya dikenal dengan „pohon Porfirius“ (arbor Pophyrii): Substantia
diturunkan menjadi „corpus“, lalu diturunkan lagi menjadi „vivens“, darinya diturunkan lagi
menjadi „animal“ dan akhirnya itulah „homo“. Di homo (manusia) dimasukkan individu-
individu, si Markus, Yohanes, Maria. Tetapi di dalam pembagian ini individu-individu itu

70
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

tidak merupakan kelas khusus, sebab antara individu yang satu dengan yang lain tidak ada
perbedaan dalam essensi. Tidak ada essensi ke-Markus-an, Ke-Maria-an. Yang ada hanya
essensi manusia sebagai manusia Markus dan manusia Maria.

Substantia
Differentia Genus Suprimum Differentia
materialis imaterialis

Corpus
genus subalternum
species supremum
Differentia Differentia
animatum inanimatum

Vivens
genus subalterna
species subalterna
Differentia Differentia
sensibile

non-sensibile
animal
genus infinum
Differentia Differentia
rationale irrationale

homo
genus infinum

Individu Individu Individu Individu

Luas pengertian
S u b s t a n t i a
c o r p u s
v i v e ns
animal
homo

71
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Isi besar, luas kecil. Luas besar, isi kecil

substantia
c o r p u s
v i v e n s
a n i m a l
h o m o

Isi pengertian

(lingkungan barang-barang)
Luas Pengertian
Substantia : Substantia Substantia : Malaikat, mineral, tumbuhan-
tumbuhan, manusia.
Corpus: Substantia beraga

Vivens : Substantia, yang beraga, Corpus : Mineral, tumbuh-tumbuhan,


yang berhayat binatang, manusia

Vivens : tumbuh-tumbuhan, binatang,


manusia

Animal : Substantia, yang beraga, yang Animal : Binatang, manusia


berhayat, berindera.
Homo : substantia, yang beraga, berhayat, Homo : manusia
berjiwa, berindera, yang berakal
Isi p e n g e r t i a n
(unsur-unsur termuat)

Di dalam susunan ini, satu kelas dilihat dalam hubungannya dengan yang lebih
rendah, adalah genus. Demikian misalnya, corpus adalah genus terhadap vivens, dan vivens
sendiri adalah genus bagi animal. Dalam susunan yang sama ini, satu kelas dilihat dengan
yang lebih tinggi, adalah species. Demikian misalnya, corpus adalah species terhadap
substantia, vivens adalah species terhadap corpus, animal adalah species terhadap vivens, dan
homo adalah species bagi animal.
Kerangka Porfirius itu sudah menyangkut „comprehentio“ (isi pengertian) dan
„extentio“ (luas pengertian). Isi pengertian bisa ditemukan di dalam inti pengertian itu, dan
itulah semua unsur yang termuat di dalam suatu pengertian. Unsur-unsur itu ada yang pokok,
ada unsur tambahan. Sedangkan luas pengertian bisa ditemukan dalam bentuk mana/apa yang
ditunjukkan dengan pengertian itu, dan itulah barang-barang (lingkungan barang-barang)
yang dinyatakan oleh pengertian itu. Dalam hal hubungan antara „isi“ dan „luas“ berlaku
hukum: Isi besar, luas kecil, dan sebaliknya.
Kerangka itu menjadi semakin jelas bila kita memperhatikan soal Praedicabilia, yakni
soal nilai predikat, apakah ia menyebutkan sesuatu essensial atau aksidental tentang subjek.
Ada lima cara yang umum untuk menyebutkan predikasi (keterangan) tentang yang lain,
dapat dijelaskan demikian:

72
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

1. Predikat menyebutkan seluruh essensi dari subjek. Predikat macam ini adalah sangat
sempurna. Itu berlaku bagi „species“: „Manusia adalah makhluk berakal“. Di sini predikat
„makhluk berakal“ menyebutkan seluruh essensi manusia.
2. Predikat menyebutkan sebagian essensi yang umum bagi banyak subjek. Predikat
sedemikian hanya menyebutkan „genus“ dari subjek: „Binatang adalah makhluk“.
Penegrtian „makhluk“ di sini adalah predikat yang memberikan informasi sebagian essensi
yang umum bagi banyak species, sebab pengertian „binatang“ mengandung sekaligus
species hewan (tak berakal) dan manusia (binatang berakal).
3. Predikat menyebutkan sebagian dari essensi yang umum bagi species khusus. Predikat ini
menyebutkan „differentia specifica“ (ciri pembeda khusus): „Manusia adalah binatang
berakal“. Pengertian „berakal“ adalah ciri pembeda antara manusia dengan hewan
infrahuman.
4. Predikat menyebutkan unsur tambahan (aksidental) pada subjek, namun tambahan selalu
ada dan selalu menunjukkan essensi subjek itu. Unsur tambahan itu selalu timbul dari
essensi subjek: „Manusia tertawa“. Predikat tertawa adalah suatu yang mengungkapkan
essensi manusia, sehingga harus dikatakan, bahwa „tertawa“ hanya terdapat pada manusia.
Ini yang disebut tambahan „proprium“.
5. Predikat menyebutkan tambahan pada subjek. Tambahan itu bisa ada dan bisa juga tidak:
„Markus berkumis“. Pengertian „berkumis“ adalah tambahan yang bersifat aksidental bagi
manusia Markus. Ketiadaan „kumis“ bagi Markus tidak menunjukkan bahwa dia bukan
lagi manusia atau kemanusiaannya berkurang.

1.3. Kategori dalam Metafisika: 10 macam Ada


Kategori logik seperti disebutkan di atas tidak lain adalah cara memikirkan atau
memandang realitas barang-barang, yang kemudian diungkapkan dalam bentuk pengertian-
pengertian. Oleh karena di dalam realitas terdapat pelbagai macam barang, maka juga pikiran
menangkap bermacam-macam pengertian. Jadi 10 macam pengertian itu sebenarnya adalah
sepuluh macam ada atau realitas. Klasifikasi logik itu berdasarkan apa yang ada dalam
realitas, bukan sesuatu yang hanya terdapat di dalam pikiran. Dengan demikian ke-sepuluh
pengertian itu bukanlah suatu konstruksi logik murni, melainkan suatu konstruksi
pengetahuan manusia yang berdasarkan realitas.
Dalam kaitan dengan realitas itulah kita membicarakan kategori metafisik. Metafisika
memperhatikan dasar dalam realitas bagi pengertian-pengertian yang dibentuk oleh pikiran .
Dasar itu terdapat dalam cara yang berbeda-beda menurut mana sesuatu berada dalam realitas
ditentukan sebagai „substansi“ atau sebagai „aksidens-aksidens“. Determinasi di dalam
realitas atas substansi dan aksidens itulah dasar bagi determinasi atas substansi dan aksidens
di dalam budi kita.
Dalam kaitan dengan persoalan pokok bab ini ialah tentang kategori sebagai modus
khusus dari ada. Pertanyaannya, bagimana kategori-kategori itu menentukan ada.
Jawabannya, ialah bahwa kategori-kategori dalam arti metafisik tidak menentukan ada seperti
suatu „differentia“ secara logis menentukan suatu „genus“ menjadi „species“. Dalam logika
genus ada in potentia terhadap segala differentia. Demikian misalnya, genus „binatang“ ada
in potentia berhubungan dengan differentia „berakal“. Oleh karena itu, untuk bisa
membentuk species „manusia“, maka differentia „berakal“ harus ditambah dari luar genus
„binatang“.
Hal seperti itu tidak berlaku mengenai ada, karena segala differentia yang riil adalah
differentia dalam ada itu sendiri, sebab di luar ada tidak ada apa-apa. Karena itu ada harus
mengandung differentiae dari barang-barang yang disebutkan sebagai yang ada, dan ia harus
mengandung differentia itu secara aktualiter. Sebab, ada justru dikenakan kepada apa saja

73
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

yang ada lengkap dengan kekhasan (perbedaan) masing-masing. Jadi ada mengandung segala
differentiae itu tidak saja secara potentialiter, melainkan benar-benar perbedaan itu aktual
pada setiap barang yang ada.
Oleh karena ada bukan genus, maka kategori-kategori tidak menentukan ada
sebagaimana dalam logika differentia menentukan genus, yang berarti, menambah sesuatu
dari luar. Kategori-kategori menentukan ada dengan mereduksinya kepada suatu cara khusus
(special mode), dan itulah yang kita sebut dengan accidentia. Ke-sembilan accidentia itu
tidak berada di luar dari yang ada. Tiap penentuan cara khusus itu terdapat di dalam ada itu
sendiri. Karena memang tidak ada aksidens yang berada atau berdiri sendiri di luar suatu
substansi. Juga, tidak ada substansi tanpa aksidens-aksidens. Keduanya selalu ada secara
serempak dan bersama.
Singkatnya, kategori-kategori ada (kategori metafisik) tidak menentukan ada dengan
menambahkan sesuatu dari luar, sebab di luar ada sudah tidak ada apa-apa lagi. Seharusnya
dikatakan, bahwa segala kategori adalah penentuan-penentuan yang terdapat di dalam ada itu
sendiri, bukan suatu penentuan yang ditambahkan dari luar.

2. Pengetahuan tentang Substansi

2.1. Pengetahuan Biasa tentang Substansi


Kalau dikatakan, kita memiliki pengetahuan tentang substansi, itu tidak berarti bahwa
kita mengalami substansi itu dalam dirinya sendiri. Kita bisa memikirkan substansi yang
terpisah dari aksidens-aksidens, akan tetapi kita tidak bisa mengalami substansi itu sebagai
suatu barang dalam dirinya sendiri, yaitu suatu substansi tanpa aksidensnya. Kita hanya bisa
memikirkan substansi dan aksidens masing-masing dalam dirinya sendiri. Tetapi dalam
mengalami mereka, maka kita mengalami sebagai suatu substansi bersama aksidensnya.
Substansi sebagai substansi bukanlah per se objek pengalaman indrawi (sensasi). Kalau kita
mengalami substansi, maka itu tidak lain dari pada mengalaminya justeru dalam hubungan
dengan aksidens-aksidens yang konkret.
Betul, bahwa substansi bisa dipikirkan adanya tanpa aksidens, tetapi pengetahuan kita
bahwa substansi ada, tidak merupakan hasil penalaran. Karena bagaimanapun susbtansi itu
kita alami dan kita mengalaminya dalam persepsi. Kita tetap mempunyai persepsi tentang
substansi, sekalipun substansi bukanlah per se objek sensasi. Hal itu terbukti dalam kenyataan
pengetahuan indrawi kita mengenai aksidens-aksidens, di mana kita tidak memiliki
pengetahuan indrawi tentang aksidens itu sendiri. Yang kenal dalam persepsi itu adalah
sesuatu yang ada dengan aksidens-aksidensnya.
Dengan mengalami aksidens dalam bentuknya yang konkret, maka kita dengan tidak
bisa tidak juga mengalami substansi itu sendiri. Hal ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa
kesadaran manusia mengenai objek-objek bersifat sekaligus „sensitif dan intelektif“.
Manakala kita mengalami (sensitif) suatu barang, bersamaan itu intelek juga bergiat untuk
„menangkap“ arti dari objek yang dialami itu. Karena itu mengenai pengetahuan kita tentang
substansi, harus kita katakan bahwa ketika kita „mengalami“ suatu barang seketika itu juga
budi „menangkap“ barang atau substansi itu dengan segala ketertentuannya.

2.2. Pengetahuan Filosofis tentang Substansi


Dengan menangkap sesuatu sebagai substansi tertentu, seperti yang terjadi dalam
pengetahuan biasa, tidak berarti kita dengan sendirinya mencapai suatu pengetahuan filosofis
tentang substansi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita bisa mencapai pengetahuan
filosofis mengenai substansi?

74
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Dari uraian di atas jelas bahwa substansi-substansi itu ada. Pertanyaan filosofisnya
adalah mengapa mereka berada sebagai substansi. Adalah tidak cukup menjawab bahwa
mereka harus ada untuk menjadi substratum bagi keberadaan aksidens-aksidens. Jawaban
seperti ini tidak memperhatikan fungsi pokok substansi, yakni dia mengaktualisir atau
menentukan sesuatu dalam adanya. Dialah penentuan pertama (actus primus) bagi adanya
sesuatu. Adapun aksidens-aksidens hanyalah penentuan kedua (actus secundus), yang
mengandaikan adanya substansi. Dan jika sesuatu sudah berada sebagai substansi, maka dia
berada demikian oleh karena suatu penentuan yang lebih dahulu.
Kata susbtansi di atas dipakai bukan dalam arti „substantia prima“, yaitu barang itu
sendiri, melainkan sebagai „substantia secunda“, yaitu prinsip intrinsik suatu barang melalui
mana barang itu berada secara tertentu. Jadi substansi adalah prinsip yang menentukan
sesuatu berada sebagai barang dalam diri sendiri (in se), dan tidak berada pada yang lain (ab
alio). Inilah ungkapan yang mendekati definisi tentang substansi, sekalipun definisi essensial
tentangnya adalah tidak mungkin, sebab substansi adalah termasuk genus supremum. Karena
dia merupakan suatu genus tertinggi, maka ia tidak bisa dibatasi oleh suatu differentia.
Memang demikian essensinya bahwa substansi menentukan sesuatu berada dalam diri
sendiri (inseitas) dan melalui dirinya (perseitas). Sedangkan aksidens adalah sesuatu yang
tergantung pada yang lain (in-alietas). Jadi substansi mempunyai suatu independensi dalam
dirinya dan aksidens memiliki ketergantungan (dependensi) kepada yang lain. Sekalipun yang
satu berdiri sendiri, sementara yang lain berada pada yang lain, namun keduanya tetap
mempunyai hubungan. Antara substansi dan aksidens mempunyai hubungan yang sangat erat.
Memisahkan keduanya sama dengan menghilangkan makna keduanya. Dalam realitas tidak
ada substansi tanpa aksidens, dan sebaliknya. Substansi dan aksidens bukanlah dua barang
melainkan dua prinsip yang terdapat pada barang-barang, khususnya barang terbatas.
Substansi bereksistensi tetapi sejauh: mewujudkan adanya sendiri, mempunyai
konsistensi dalam dirinya sendiri, mempunyai subsistensi, mempunyai otonomi diri, ada
dalam dan bagi dirinya sendiri. Sedangkan aksidens bereksistensi tetapi sejauh: tidak
mewujudkan adanya sendiri, tidak berada dalam dan oleh dirinya sendiri melainkan di dalam
dan untuk yang lain, tidak mempunyai otonomi, tidak mempunyai konsistensi dan subsistensi,
berada di dalam dan untuk substansi. Itulah sebab aksidens disebut juga dengan nama ens
entis, ada dari ada yang lain.

3. Kategori Substansi

3.1. Asal Kata Substansi


Kata ini berasal dari Latin, substantia. Sub berarti di bawah dan stare berarti berdiri.
Substantia, secara etimologis berarti „berada di bawah“, dan berkaitan dengan barang-barang
substansial yang dialami (diindrai) berarti „berada di bawah dari yang tampak“. Jadi,
susbtansi tidak lain dari dasar, pada mana hal-hal yang menampakkan bagi indra, berdiri atau
terdapat. Tanpa dasar itu, maka hal-hal itu sendiri tidak bisa dialami atau diketahui.
Demikian misalnya, kita tidak bisa melihat merah sebagai merah atau merah dalam
dirinya sendiri, selain sesuatu yang berwarna merah. Yang kita lihat itu adalah suatu barang
dengan ketertentuannya „merah“. Tetapi merah itu tidak bisa diindrai dalam dirinya sendiri.
Kita bisa mengindrainya hanya melalui sesuatu. Sesuatu itulah yang disebut dasar. Seakan-
akan sesuatu itu berada di bawah dan di atasnya hadir kualitas warna, sehingga mata
melihatnya suatu barang merah. Dalam arti itulah ia di sebut sebagai „berdiri di bawah“ dan
aksidens sebagai „berdiri atau berada di atasnya“. Jadi, substansi adalah unsur yang mutlak
perlu sehingga sesuatu ada.

75
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

3.2. Arti Metafisik Substansi

3.2.1. Substantia Prima dan Substantia Secunda


Kata substansi mempunyai dua arti. Di satu pihak substansi berarti prinsip melalui
mana sesuatu berada sebagai suatu barang, di lain pihak kata itu berarti barang itu sendiri.
Dengan ini kita bisa memahami perbedaan, misalnya, antara manusia sebagai manusia atau
manusia pada umumnya (essensi kemanusiaan) dan manusia sebagai seorang tertentu
(individu). Markus sebagai individu konkret riil, itulah „substantia prima“, dan essensi
kemanusiaan dari Markus bersama dengan yang lain dalam species ini, itulah yang disebut
„substantia secunda“.
Substantia prima berarti barang individual itu sendiri bersama dengan segala
determinasinya yang riil. Di sini, barang individual itu dipandang sebagai satu keseluruhan.
Karena substantia prima ini merupakan sesuatu yang individual, maka ia tidak bisa
dipecahkan menjadi banyak lagi. Jadi, dia tidak bisa merupakan objek partisipasi dari „yang
banyak“, sebagaimana yang berlaku pada suatu essensi universal.
Substantia secunda tidak berarti barang yang ada, melainkan prinsip dari barang yang
berada, melalui mana sesuatu tidak bisa tidak berada sebagai suatu barang yang tertentu, yang
termasuk jenis tertentu. Oleh karena substansi kedua ini bersifat universal, maka ia dapat
menjadi objek bagi yang banyak dalam satu species. Ia bisa disebutkan tentang banyak hal
dalam satu kelas. Manusia yang direduksi kepada kategori substansi dapat disebutkan tentang
banyak individu (substansi pertama).

3.2.2. Substantia dan Essentia


Essentia adalah apa barang itu. Yang dimaksud apa itu adalah essensi yang lengkap,
yakni essensi dari satu species. Dengan itu, essensi barang adalah prinsip yang menentukan
suatu barang untuk berada sebagai anggota dari species tertentu. Itulah pemakaian yang biasa
term essensi. Akan tetapi essentia juga dipakai dalam arti generis. Dalam arti ini, „species“
dipakai bukan lagi species sebagai species, melainkan dipakai dalam arti sebagai genus. Bila
dipakai sebagai suatu genus, maka itu berarti di dalamnya termuat dua atau lebih species.
Demikian misalnya, genus „yang berindera“, berarti essensi itu disebutkan baik bagi manusia
maupun hewan infrahuman, tetapi dipandang hanya dari aspek generis.
Di sini kita perlu perhatikan, bahwa genus seperti „yang berindra“, „yang hidup“,
„yang beraga“ hanya merupakan genus proxima (genus terdekat). Sekalipun segala genus itu
benar menyebutkan „sebagian“ essensi dari barang-barang, namun di antara mereka tidak
terdapat satupun yang merupakan determinasi pertama dalam adanya. Alasannya, karena
semua genus (berindra, hidup, beraga) bisa direduksi ke genus substantia. Itu berarti,
beberapa genus itu (berindra, hidup, dan beraga) mengandaikan suatu penentuan (actus) yang
mendahului pada taraf essensi. Penentuan yang yang mendahului itulah „substantia“ itu
sendiri, yang dipandang sebagai kategori terakhir atau paling dasariah dari „ada“.
Dengan demikian tidak ada distinksi riil antara „substantia“ dan „essentia“, sebab
substansi tidak lain, adalah prinsip pertama yang memberi barang-barang penentuan yang
pertama itu sebagai barang dari macam tertentu. Ia merupakan „actus primus“, karena segala
penentuan berikut (actus secundus) seperti „beraga, hidup dan berindra“ hanyalah suatu
kontraksi (penyempitan) lebih lanjut tentang „ada“ dalam kategori substansi. Sedangkan
dalam essensi-essensi spesifiknya barang-barang berada seperti, sebagai tumbuhan, sebagai
hewan, sebagai manusia, dsb. Barang-barang itu dinamakan substansi, karena inti mereka,
kalau dipandang secara generis, menuntut supaya berada sebagai substansi, yang berarti
berada dalam diri sendiri dan bukan dalam sesuatu yang lain.

76
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

3.2.3. Substantia dan Suppositum


Substantia dibagi atas „substantia prima“ yang menyangkut barang individual dan
substantia secunda yang menyangkut essensi yang universal dari suatu species. Adapun
suppositum adalah substansi individual yang berdiri sendiri. Suppositum: sub - ponere, yang
berarti meletak di bawah, menempatkan di bawah. Ia tidak bisa dibagikan lagi atas yang
banyak. Ia tidak bisa dikomunikasikan dengan yang lain. Ia tertutup dalam dirinya sendiri.
Itulah barang-barang individual, seperti si markus, batu itu, kerbau ini. Menurut tradisi
aristotelo-thomistik, jiwa manusia atau bagian rohani manusia tidak termasuk suppositum,
sebab perlu ada hubungan dengan badan. Jiwa manusia tidak dapat berdiri sendiri.
Segala substantia prima termasuk suppositum. Pada konsep suppositum ditekankan
aspek aktivitas subjek, di mana suppositum merupakan subjek ultim dari kegiatan-kegiatan.
Sedangkan dengan konsep substantia prima, ditekankan aspek atribusi, di mana substantia
prima merupakan subjek terakhir atribusi. Jadi, suppositum adalah sesuatu yang bereksistensi
dan yang kepadanya acuan semua aktivitas berakhir.
Ada supositum berakal dan tak berakal. Suppositum berakal disebut „persona“
(pribadi). Dalam kerangka itu Bothius mendefnisikan pribadi sebagai „rationalis naturae
individua substantia“ (substansi dindividual yang berkodrat rasional). Atau, „subsistens
disticntum in natura intellectuali“ (yang berada distinkt dalam kodrat intelektual). Persona,
seperti segala supposita yang lain, berada dalam dirinya sendiri dan bisa menjadi bagian dari
yang lain. Jadi ia tidak bisa dikomunikasikan dengan yang lain. Ia berada sui iuris, yakni
berada bagi dirinya sendiri dan bukan sebagai milik dari sesuatu yang lain. Karena itu,
persona adalah cara adanya yang tertinggi di antara segala yang ada di atas dunia, yang tidak
bisa dipergunakan oleh pihak lain. Pribadi manusia tidak bisa dijadikan sarana bagi
kepentingan lain.

3.2.4. Substantia dan Natura


Natura (kodrat) adalah prinsip akhir yang dengannya dan sesuai dengannya sesuatu
bergiat secara tertentu. Ia adalah sumber terakhir dan terjauh dari suatu kegiatan. Bila sesuatu
bergiat melalui kekuatan yang tertentu yang dimiliki sebagai prinsip terakhir kegiatan itu,
maka sumber terakhirnya kekuatan untuk berkegiatan seperti itu adalah kodrat. Itulah yang
dikatakan juga pada uraian sebelumnya, bahwa apa saja bergiat, maka mereka bergiat seturut
kodratnya.
Kita perlu memperhatikan perbedaan natura dan suppositum dalam hal prinsip
kegiatan suatu subjek, sebab juga di atas dikatakan bahwa suppositum (substantia prima)
adalah subjek kegiatan-kegiatannya. Keduanya tidak boleh disamakan begitu saja. Memang
natura suatu barang tidak lain essensi barang itu dipandang sebagai sumber kegiatan. Tetap
ada perbedaan antara keduanya: (1) Natura berarti prinsip ultim yang dengannya dan sesuai
dengannya suatu subjek bergiat secara tertentu. (2) Suppositum berarti prinsip barang itu
sendiri, yang dengannya kegiatan-kegiatan itu dipertalikan. Suppositum adalah „yang“
bergiat.
Prinsip, yang dengannya sesuatu bergiat secara tertentu, misalnya seorang manusia
bergiat sebagai seorang manusia, adalah kodratnya. Di sini kodrat berarti sumber ultim atau
terdalam dari kegiatan. Jadi atas dasar atau kodrat kemanusiaan seorang manusia bergiat
secara tertentu, sehingga bisa dibedakan dari kegiatan yang dilakukan oleh sesuatu yang
infrahuman. Oleh karena itu juga harus dikatakan, bahwa kalau sesuatu bergiat berdasarkan
kesanggupan-kesanggupan tertentu yang dia punyai (misalnya, seorang manusia melalui
„budi“ dan „kehendak“) sebagai prinsip terdalam dari kegiatan itu, maka itu adalah
kodratnya.
Adapun hubungan „suppositum“ dan „natura“ dapat dikatakan demikian: seandainya
antara natura dan suppositum identik, maka tidak mungkin bahwa beberapa suppositum

77
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

memiliki kodrat yang sama. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak supposita (banyak orang)
memiliki kodrat kemanusiaan yang sama. Letak perbedaannya adalah bahwa suppositum
sebagai suatu yang individual dan berhubungan dengan eksistensi, sedangkan natura sebagai
suatu yang universal dan berhubungan essensi.
Sedangkan hubungan antara substantia dan natura dapat dikatakan demikian:
Keduanya merupakan realitas yang sama. Hanya saja, natura dipandang sejauh sebagai
prinsip kegiatan. Akan tetapi kegiatan itu mengandaikan adanya substansi sebagai dasarnya.
Di dalam hal ini, kegiatan itu sebenarnya tidak lain sebagai manifestasi substansi. Dan setiap
substansi memiliki kegiatan tertentu, dan setiap kegiatan yang tertentu itu keluar dari
substansi tertentu pula.

3.2.5. Substantia dan Ens Absolutum


Apa yang dikatakan di atas sebenarnya hanya menyangkut „barang terbatas“, bahwa
substansi berada selalu bersama dengan aksidensnya. Tidak ada substansi murni dan juga
tidak ada aksidens murni. Dalam hal itu jelas, bahwa substansi tidak dapat disebutkan tentang
Tuhan secara univok sebagaimana kata itu dikenakan kepada barang ciptaan (barang
terbatas), sebab Tuhan adalah ada absolut, yang sebab adanya tidak bergantung kepada
sesuatu yang lain dari diriNya, sedangkan sebab adanya barang ciptaan bergantung kepada
yang lain. Oleh karena itu, tiap kali kita mengatakan bahwa barang-barang „berada dalam diri
mereka sendiri“ sebagai substansi, maka yang dimaksud tidak lain adalah suatu „berada
dalam dirinya sendiri“ yang „terbatas dalam adanya“. Sejauh suatu barang terbatas itu berada
secara substansi, maka ia bukanlah bagian dari suatu yang lain, juga bukan bagian dari
realitas Tuhan.
Barang-barang terbatas adalah independen (berada dalam dirinya sendiri) sebagai
substansi. Tetatpi itu tidak menunjukkan bahwa mereka idak bergantung kepada suatu sebab.
Bagaimana pun, sebagai barang terbatas mereka tidak independen dari sebab adanya. Sebab
adanya mereka bergantung kepada yang lain. Karena mereka tidak mengadakan diri mereka
sendiri, melainkan sebagai barang terbatas (barang ciptaan) mereka diadakan oleh yang lain.
Tepatnya harus dikatakan demikian: Mereka independen dalam „cara adanya“. Itu berarti
mereka berada dalam diri mereka sendiri, yaitu berada sebagai substansi. Akan tetapi mereka
tidak independen dalam „adanya“. Itu berarti, eksistensi mereka bergantung kepada yang
lain, yaitu kepada yang mengadakan mereka yakni Tuhan.
Hal itu membuktikan bahwa barang terbatas betul „in se“ (berada dalam dirinya
sendiri), namun mereka tidak a se (dari dan oleh dirinya sendiri). Barang sebagai substansi
adalah berada „dalam dirinya sendiri“ tetapi „tidak dari dirinya sendiri“. Substansi itu inseitas
atau perseitas tetapi jelas bukan „aseitas“. Sebab hanya Tuhan yang adanya dari sendirinya,
sehingga disebut „Ens Absolutum“, yakni yang dalam adanya ia tidak bergantung kepada
sesuatu di luar dirinya.
Pertanyaan sekarang, kalau barang terbatas itu sebagai substansi bergantung adanya
kepada Tuhan, apakah Tuhan itu juga adalah substansi? Pertama-tama harus dijawab bahwa
Tuhan tidak termasuk dalam salah satu kategori metafisik. Kesepuluh kategori itu adalah cara
adanya yang khusus yang membatasi ada pada taraf yang terbatas dari eksistensi. Karena itu
Tuhan tidak termasuk kategori substansi, sekalipun benar bahwa barang-barang sebagai
substansi sebab adanya mereka bergantung kepada Tuhan., barang-barang sebagai substansi
disebabkan oleh Tuhan.
Itu berarti, bahwa term substansi tidak bisa dikenakan kepada Tuhan. Substansi
sebagai kesempurnaan, sebenarnya tidak saja dapat melainkan harus disebutkan tentang
Tuhan, sebab justru Dia yang independen secara sempurna dalam adanya. Tidak saja benar
bahwa Tuhan berada dalam dalam dirinya sendiri (in se) dan tidak sebagai bagian dari yang
lain (in aleitas), tetapi juga Dia berada „dari“ dirinya sendiri (aseitas). Ia adalah inseitas,
78
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

perseitas dan sekaligus aseitas. Itulah yang dikatakan Ipsum esse subsistens (berada itu
sendiri).

4. Kategori Aksidens

4.1. Pengertian Accidentia


Kata accidentia berasal dari Latin: ad yang berarti pada, ke dan cadere yang berarti
jatuh. Arti etimologis ini tetap dipertahankan dalam pemakaian teknisnya bagi metafisika,
sebab hubungan antara substansi dan aksidens adalah hubungan antara barang atau hal yang
terdapat pada barang yang lain. Di sini, seakan-akan kesempurnaan-kesempurnaan aksidens
itu jatuh di atas suatu bidang, yakni substansi, sehingga tampil bagi indera kita sebagai
sesuatu yang tertentu.
Definisi deskriptif accidentia: „Sesuatu yang eksistensinya tidak dalam dirinya
senridi, tetapi dalam yang lain, pada subjek yang memilikinya“. Dalam pengertian itulah
dikatakan bahwa akisedens-aksidens merupakan penentuan-penentuan pertama, dalam arti
yang paling sempit, sebab mereka memang menentukan substansi sehingga susbtansi selalu
hadir atau ada sebagai substansi tertentu, namun mereka tidak menenentukan essensi dari
barang-barang. Justru essensi atau kodrat itu sudah diandaikan oleh semua accidentia. Jadi,
aksidens-aksidens sebagai determinasi riil selalu tinggal di luar barang yang mempunyai
accidentia itu.
Aksidens bukanlah prinsip ada yang membuat barang „apa yang dia ada“, yakni
essensi. Mereka hanya penentuan yang ditambahkan pada barang di atas kodrat yang mereka
sudah miliki. Mereka riil karena mereka merupakan penentuan yang riil pada sesuatu yang
ada. Namun harus tetap ditegaskan, bahwa realitas dari aksidens tidak sama dengan realitas
dari substansi, sebab realitas substansi justru sudah mencakupi adanya aksidens itu,
sedangkan realitas aksidens mengandaikan substansi. Jadi, aksidens selalu berada pada yang
lain. Untuk bereksistensi dia membutuhkan sesuatu yang lain.
Aksidens sebagai aksidens tidak mempunyai adanya sendiri. Seluruh kodrat mereka
didasarkan pada kebutuhan mereka untuk ada „pada“ dan „dalam yang lain. Hanya saja, kita
tidak boleh membayangkan mereka ada pada dan dalam substansi seperti satu barang ada
pada atau dalam suatu barang lain. Misalnya, membayangkan seperti nasi ada dalam piring.
Sebab, aksidens ada pada substansi dengan menentukan substansi itu, sehingga ia menjadi
susbtansi yang tertentu.

4.2. Macam-macam Accidentia


1. Quantitas: Yang memiliki aksidens quantitas hanya barang material. Yang dimaksud
kuantitas di sini adalah kuantitas yang berekstensi (res extensa), yakani yang menyangkut
barang-barang yang berkeluasan. Barang material itu disebut sebagai partes extra partes
(bagian di luar bagian). Itu maksudnya, bahwa barang material mempunyai dimensi-
dimensi (tiga dimensi) dan menduduki tempat. Kuantitas bisa menjadi sarana bagi aksidens
lain, sebab pada dan dengan aksidens kuantitas ini aksidens lain, seperti rupa, bentuk dapat
diterima pada barang material.
2. Kualitas: Kuantitas hanya berhubungan barang-barang material. Adapun kualitas
berhubungan dengan segala barang, baik material dan imaterial, yang terbatas. Kuantitas
mengalir dari materia, yakni dari barang yang beraga, sedangkan kualitas termasuk dan
mengalir dari forma barang terbatas. Ada bermacam-macam kualitas. Ada kualitas yang
merupakan objek sensasi, seperti warna, bunyi, panas. Ada kualitas yang tidak bisa
diindrai sepertikualitas moral dan intelektual.

79
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

3. Relatio: Kategori ini menentukan suatu subjek berhubungan dengan sesuatu yang lain dari
padanya. Demikian misalnya, relasi mahasiswa - dosen. Penting untuk diperhatikan, bahwa
ada tiga unsur di dalam suatu relasi: (1) Subjek: Suatu pribadi atau barang yang
berhubungan dengan pribadi atau barang yang lain, misalnya bapa dan anak. (2) Tujuan:
Kepada apa atau siapa hubungan itu diarahkan. Perbedaan antara subjek dan terminus
(tujuan) adalah bahwa subjek merupakan „yang dari mana“ hubungan itu bertolak,
sedangkan terminus adalah „yang ke mana ia tertuju“. (3) Dasar: Pada mana hubungan itu
berlangsung. Demikian misalnya hubungan bapa-anak, dalam hal ini adalagkelahiran atau
generasi dasar hubungan.
4. Actio: Suatu aksidens yang terdapat pada suatu subjek. Suatu subjek memprodusir suatu
akibat pada yang lain, misalnya memotong kayu. Harus dibedakan antara actio transciens,
yakni kegiatan yang ada pada suatu barang dan barang itu distinkt dari subjek yang bergiat,
sedangkan actio imanens adalah kegiatan yang pada subjek itu sendiri. Actio transciens
menyempurnakan sesuatu yang lain dari yang bergiat (agens). Sedangkan actio imanens
menyempurnakan pelaku itu sendiri. Baik actio transciens maupun actio imanens
menampakkan essensi dari „penggiat“ (agens). Karena itu, dari kita meninjau kegiatan-
kegiatan barang, kita mengetahui „apa barang itu“ atau apa essensi barang itu.
5. Passio: Aksidens ini adalah suatu perubahan, yang subjek alami sebagai akibat pengaruhu
dari yang lain. Passio ini berhubungan actio, dan ia merupakan akibat dari suatu yang
dibuat oleh penggiat. Suatu pengaruh yang diberikan oleh agens bagi patiens. Prinsip
tentang hubungan itu: „actio agens est in passio“ (kegiatan penggiat ada pada patiens yang
menerimanya).
6. Tempus, locus dan situs (kapan, di mana dan sikap)adalah accidentia yang dipakai sebagai
ukuran dari subjek pada mana mereka termasuk. Kalau aksidens itu adalah ukuran
lamanya, misalnya, kapan kuliah berakhir, maka itu kategori tempus. Kalau ukuran itu
menyangkut ruang tetapi tanpa menyatakan bagaimana sesuatu ada di dalamnya, maka
aksidens itu termasuk kategori „locus“, misalnya, „di kamar“. Kalau ukuran ruang
berhubungan dengan bagian dari suatu barang dalam ruang, yaitu hubungan bagian-bagian
antaranya dalam ruang, maka aksidens itu termasuk kategori situs.
7. Habitus: Aksidens yang tidak merupakan ukuran bagi subjek tetapi menempel pada suatu
subjek, itulah kategori habitus. Kategori ini sama sekali tidak timbul dari kodrat subjek.
Habitus adalah khusus menyangkut manusia yang melengkapi badannya dengan pakaian.
Jadi berbaju putih itu merupakan suatu kategori habitus bagi suatu subjek. Di sni hanya
mengenai hal yang biasa dipakai oleh manusia. Habitus merupakan kategori khusu bagi
manusia. Bisa juga diterapkan kepada hewan, tetapi sejauh berhubungan denga manusia.
Demikian misalnya, kuda berpelana kayu.

80
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Bab 7
Causalitas

Setelah kita memeriksa dasar dan sifat yang hakiki dari ada, maka kita perlu juga
memeriksa sebab dari ada, sehingga menjadikan ada itu benar-benar intelligibilis dengan
sepenuhnya. Itu berarti, kita mau mengenal barang-barang dalam sebab-sebabnya. Sebab
bisa dikelompokkan dalam „sebab intrinsik“ seperti causa materialis dan causa formalis dan
„sebab ekstrinsik“ seperti causa efficiens dan causa finalis. Keempat macam sebab itu
dipakai dalam arti berbeda-beda. Demikian misalnya, ketergantungan suatu barang dari
sebab-sebab intrinsiknya seperti materia prima dan forma substantialis, beda dari
ketergantungan barang itu kepada barang lain. Ketergantungan suatu barang kepada
barang lain diterangkan dengan sebab-sebab ekstrinsik. Dalam arti yang lebih lazim yang
dimaksud dengan „sebab“ adalah sebab-sebab ekstrinsik.
Karena „sebab-sebab intrinsik“ telah dibahas dalam bab tentang actus-potentia dan
Materia-Forma, maka konsentrasi refleksi bab ini lebih mengenai causa efficiens dan causa
finalis itu. Dalam uraian berikut, pertama-tama dipusatkan pada pemeriksaan realitas
perubahan dalam cahaya sebab-akibat, bahwa realitas perubahan baru menjadi intelligibilis
kalau ada sebabnya, yang bermuara pada kesimpulan bahwa perubahan membutuhkan
suatu sebab (causa fiendi). Bardasarkan pemeriksaan itu kita lalu membuktikan bahwa
„sebab terbatas“ mampu hanya mengalihkan pengaruh yang sudah ada dari potentia ke
actus. Sebab terbatas dapat hanya mengubah subjeknya, tetapi tidak mampu menyebabkan
sesuatu ada atau menjadi ada dari ketiadaan. Untuk itulah perlu juga bertanya mengenai
„sebab adanya“ (causa essendi) dalam cahaya causa efficiens. Untuk melengkapi

81
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

pemeriksaan mengenai sebab-sebab dari ada kita juga meninjau sebab-sebab yang
menjelaskan „tujuan“ (finis). Kita tahu, bahwa segala kegiatan terjadi oleh karena suatu
tujuan (causa finalis). Dalam hubungan dengan ini akan dibicarakan juga soal causa
exemplaris, yang merupakan model menurut mana manusia (agens berakal) mengarahkan
perbuatannya.

1. Causa Fiendi (Sebab Jadinya)

1.1. Causa Fiendi pada Realitas Perubahan


Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa yang termasuk unsur-unsur perubahan adalah
subjek, kemungkinan riil untuk menjadi lain, proses menjadi dan titik sampainya berupa
kesempurnaan yang dulu subjek itu tidak miliki. Tanpa keempat unsur itu perubahan tidak
bisa terjadi. Akan tetapi unsur-unsur itu sendiri tidak cukup untuk menghasilkan suatu realitas
perubahan. Kenyataan itu baru menjadi intelligibilis kalau melibatkan „sebab“ di dalamnya.
Kalau realitas perubahan bisa diterangkan sepenuhnya tanpa sebab, maka hal itu
menunjukkan bahwa barang-barang berubah „dengan sendirinya“, atau ia berubah „dari
sendirinya“. Itu berarti, subjek yang mengalami perubahan adalah sekaligus sumber dari
perubahan yang dia alami. Tetapi pernyataan ini bersifat kontradiktoris. Sebab, barang yang
merupakan subjek perubahan, besi yang berkarat, misalnya, adalah suatu „patiens“, dan tidak
ada patiens yang merupakan agensnya. Yang diubah (patiens) tidak bisa sekaligus yang
mengubah (agens). Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa suatu subjek perubahan sebagai
patiens bergantung dari sesuatu yang lain, maka itu berarti dia bergantung dari suatu agens.
Itu berarti, ia bergantung pada suatu sebab.
Hal itu menjadi lebih jelas manakala kita memperhatikan perubahan sebagai peralihan
dari potentia ke actus. Kalau suatu barang berada dalam keadaan potentia berkaitan dengan
suatu actus, maka itu berarti barang itu belum mencapai kesempurnaan (actus) itu. Karena,
seandainya dia sudah mencapai kesempurnaan itu, maka tidak perlu ada perubahan.
Karenanya, adalah kontradiksi mengatakan bahwa sesuatu bisa memberi kepada dirinya apa
yang dia tidak punyai. Kalau barang digerakkan menuju actus kesempurnaan itu, maka harus
ada sesuatu yang lain dari padanya yang merupakan sebab dari gerak itu. Untuk hal ini
berlaku prinsip quid quid movetur ab alio movetur (apa saja yang bergerak, digerakkan oleh
yang lain).
Tetapi apa arti prinsip „segala yang bergerak, digerakkan oleh yanglain“? Untuk
menjelaskannya kita harus bertolak dari pengertian „gerak“. Di dalam bab 2 telah dibahas
bahwa gerak adalah actus dari ada dalam keadaan potentia, sejauh dia masih dalam keadaan
potentia (actus entis in potentia, inquantum in potentia). Itu berarti, gerak adalah suatu actus
tetapi actus yang belum penuh. Oleh karena itu, arti dari prinsip bahwa apa saja yang
bergerak, digerakkan oleh yang lain: Sejauh sesuatu mengalami gerak dan itu merupakan
subjek dari gerak, yang beralih dari potentia ke actus, maka sejauh itu pula sesuatu itu harus
digerakkan oleh yang lain. Lagi pula prinsip itu berlaku tidak hanya mengenai gerak lokal,
tetapi juga mengenai gerak substansial dan gerak aksidental.

1.2. Hubungan antara Agens dan Patiens

1.2.1. Agens qua Agens selalu in Actu


Agens adalah prinsip aktip yang memberi pengaruh atau memprodusir suatu
kesempurnaan bagi suatu subjek. Patiens adalah prinsip pasip yang menerima pengaruh atau
hasil berupa suatu kesempurnaan, yang diberikan atau dihasilkan oleh suatu subjek, yakni

82
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

agens. Adapun hubungan antara barang yang berubah dan sebabnya adalah hubungan antara
subjek perubahan (patiens) dan yang memprodusir perubahan (agens). Dalam hal ini, fungsi
agens sebagai agens adalah memberi suatu actus atau kesempurnaan bagi patiens. Demikian
misalnya, seorang seniman memberi bentuk tertentu bagi suatu kuantitas tanah liat, sehingga
terbentuk sebuah patung tanah liat. Sang seniman (agens) memberi kepada tanah liat (patiens)
suatu aktualitas, suatu kesempurnaan yang dahulunya tanah liat itu tidak miliki.
Kalau ada agens harus ada supaya gerak ada, maka jelas bahwa agens sebagai agens
mempunyai sesuatu yang patiens tidak miliki. Demikian, pada tanah liat tidak terdapat
patung. Realitas patung itu baru ada setelah si seniman sebagai agens memberikan
pengaruhnya, yang dalam bahasa biasa disebut mencipta, sehingga muncul sebuah patung.
Dengan demikian, kalau kita namakan sesuatu sebagai agens, maka kita sebut itu justru
karena dia bergiat (in actu). Adalah kontradiksi mengandaikan bahwa pada suatu agens tidak
ada actus atau kesempurnaan yang dia beri kepada patiens. Sebab tidak mungkin dia memberi
apa yang dia tidak miliki. Karena itu prinsipnya berbunyi: nemo dat quod non habet (Barang
apa/siapa pun tidak memberi yang dia tidak punyai). Untuk maksud yang sama dirumuskan
secara positip: „segala agens sebagai agens bergiat in actu“.

1.2.2. Agens tidak Bisa Sekaligus Patiens


Dalam aspek yang sama agens tidak bisa sekaligus sebagai patiens. Jika berlaku bahwa
dalam aspek yang sama agens bisa sekaligus patiens, maka dalam kerangka kausalitas itu
berarti bahwa dalam aspek yang sama sesuatu itu adalah sebab sekaligus akibat. Sekalipun
benar bahwa antara sebab dan akibat ada hubungan, namun tidak benar bahwa pengertian
sebab bisa direduksi kepada pengertian akibat. Hubungan itu adalah hubungan antara „yang
mendahului“ dan „yang kemudian“. Yang mendahului itulah sebab (agens), dan yang
kemudian itulah akibat (patiens). Jadi, hubungan antara yang memberi pengaruh dan yang
menerima pengaruh itu.
Suatu barang memang bisa sebagai agens dan patiens, namun tidak sekaligus dalam
aspek yang sama. Yang terjadi umumnya, bahwa dari satu pihak atau aspek adalah agens dan
dari pihak atau aspek lain adalah patiens. Segala barang yang merupakan objek pengalaman
kita adalah barang-barang yang dari satu pihak adalah agens dan dari pihak lain adalah
patiens. Namun tetap benar bahwa barang apa pun tidak bisa agens dan patiens serentak pada
aspe yang sama. Demkian misalnya, seorang mencangkul di kebun. Orang itu adalah agens
berhubungan dengan tanah yang digemburkannya, tetapi sekaligus pekerjaan yang dia
lakukan menyebabkan perubahan dalam badannya, misalnya kehilangan energi, air oleh
keringat. Namun perubahan yang dia alami sebagai patiens tidak bisa dipersamakan dengan
kegiatan yang dia adakan sebagai agens. Pada pokoknya tetap berlaku asas di atas bahwa
segala agens sebagai agens selalu ada in actu.
Supaya suatu barang berfungsi atau beraksi sebagai sebab (agens), maka barang itu
tidak perlu menerima gerak sebagai patiens. Pernyataan ini penting untuk mengerti kausalitas
secara metafisik. Pernyataan itu penting sebab orang cenderung mencampur kegiatan dengan
perubahan. Padahal kegiatan dan perubahan adalah dua hal yang menunjukkan sebab (agens)
di satu pihak dan akibat atau hasil (patiens) di pihak lain. Kekacauan itu terjadi manakala
manusia tidak mampu memisahkan antara „keadaan empirik dari agens terbatas“ dari
„essensi agens sebagai agens“. Oleh karena itu tidak ada keharusan absolut bahwa suatu agens
ada dalam keadaan gerak atau dalam keadaan digerakkan. Juga, kalau dia digerakkan, maka
alasannya adalah bahwa agens itu adalah patiens tetapi pada aspek yang lain.

83
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

1.2.3. Derajad Kesempurnaan Agens qua Agens


Ada tingkat-tingkat kesempurnaan dalam agens. Ada agens yang lebih sempurna dari
yang lain. Tanda bahwa suatu agens lebih sempurna sebagai agens adalah dia melaksanakan
kegiatan dengan kurang gerak bila dibandingkan dengan agens yang kurang sempurna.
Seorang pintar membutuhkan waktu relatif pendek untuk menguasai suatu materi ketimbang
seorang bodoh. Bagi seorang bodoh untuk sampai kepada hasil yang sama dengan yang
pintar, dia membutuhkan usaha yang lebih besar dari orang pintar itu. Bagi yang pintar,
barangkali hanya dengan sekali membaca, semuanya sudah dimengerti. Tetapi yang bodoh,
ia barangkali harus dua atau tiga kali membaca bahan itu, baru ia mengerti.
Adalah keliru menganggap bahwa suatu kegiatan lebih sempurna kalau membutuhkan
lebih banyak gerak. Sebaliknya harus dikatakan, makin kurang gerak untuk melakukan suatu
kegiatan , makin sempurna kegiatan itu. Prinsip ini berlaku bukan saja mengenai actio
transciens (kegiatan ekstern, di mana suatu subjek mempengaruhi dan mengubah suatu objek,
tetapi juga berlaku mengani actio imanens (kegiatan yang menyempurnakan subjek sendiri).
Penggiat atau penggerak (agens) yang paling sempurna adalah yang berfungsi sebagai
agens tetapi dalam dirinya sendiri kurang digerakkan. Berdasarkan pengalaman empirik, ada
barang yang kurang atau lebih sempurna sebagai agens, akan tetapi tidak ada suatu agens
murni. Kita tidak pernah mengalami adanya suatu agens murni, yang tidak sebagai patiens.
Hanya kita bisa membuktikan adanya agens murni seperti itu melalui suatu „demonstratio“,
bahwa harus ada agens yang murni, pada mana tidak ada unsur patiens apa-apa. Agens murni
itu adalah Tuhan sebagai sebab adanya dunia. Hanya Dia yang menggerakkan tanpa
digerakkan (Motor Immobilis). Agens itu ada in actu dengan sempurna, dan oleh karena itu
tidak merupakan subjek atau objek dari gerak.

1.2.4. Agens Univok dan Agens Equivok


Agens mempunyai kesempurnaan, dan kesempurnaan itulah yang dia berikan kepada
patiens. Hanya saja kita tidak boleh memahami bahwa agens memiliki kesempurnaan (actus)
yang sama yang dia beri, tetapi bukan sama menurut jenis. Benar bahwa ada agens univok
yang secara formal mempunyai kesempurnaan yang dia berikan kepada patiensnya, tetapi
tidak harus ada selalu demikian. Yang perlu adalah supaya agens mempunyai kesempurnaan
sepadan dengan akibat.
Demikian sebagai contoh sebab univok dalam barang-barang hidup. Seorang anak
termasuk species yang sama dengan orang tuanya yakni species manusia. Orang tua itulah
sebab univok (agentes univok) dari anak itu. Jadi manusia hanya menurunkan manusia dan
bukan hewan. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan dan hewan. Kerbau
menurunkan atau melahirkan kerbau, bukan sapi. Dari bibit jagung timbul jagung, bukan
padi. Jadi dari suatu barang hanya dihasilkan suatu barang yang sama dengannya. „Yang
sama“ di sini harus dimengerti dalam kerangka species, jadi sama sebagai satu species bukan
sama dengan segala ketertentuan individualnya.
Sedangkan sebab ekuivok dapat kita lihat dari kenyataan berikut. Matahari bersama
dengan sebab-sebab yang lain seperti tanah, air, melalui fotosintesis menyebabkan kehijauan
pada daun. Kehijauan itu tidak ada secara formal pada matahari, atau pada tanah dan air.
Melalui kerjasama ketiga sebab itu di dalam suatu fotosintesis akhirnya menghasilkan suatu
kesempurnaan (actus) kehijauan pada daun. Pada masing-masing ketiga agentes itu hanya ada
secara virtualiter suatu kesempurnaan kehijauan. Pada mereka ada kemampuan untuk
memprodusir actus atau kesempurnaan itu.
Pemakaian kata „ekuivok“ di sini tidak boleh dimengerti secara tegas sebagaimana
diterapkan dalam soal mengenai term atau konsep. Berhubungan dengan kausalitas, sebab
ekuivok tidak berarti bahwa tidak ada kesamaan apa-apa antara sebab yang pada penggiat
(agens) dan akibat yang ada pada penerima (patiens). Di sini tetap ditekankan bahwa tidak

84
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

ada sebab yang sama sekali berbeda dari akibat yang dia produsir pada patiens. Seandainya
tidak ada kesamaan antara keduanya, maka kegiatan dari sebab tidak hubungan apa pun
dengan akibat. Tetapi karena akibat benar-benar timbul dan bergantung dari sebabnya, maka
harus ada suatu kesamaan antara kesempurnaan dari agens, yaitu sebab, dan kesempurnaan
dari patiens, yaitu akibat. Akibat selalu menampakkan sesuatu dari kesempurnaan yang ada
pada sebab. Biarpun kesamaan itu begitu lemah dan sebagian saja. Dalam hal ini berlaku
prinsip omne agens agit simile sibi (segala sebab memprodusir semirip dengannya).

1.3. Distinksi antara Agere dan Esse


Pernyataan „segala agens sebagai agens ada in actu“, berarti bahwa segala agens
harus mempunyai secara formaliter actus atau kesempurnaan yang akan diberikannya kepada
patiens. Jadi agens mempunyai kesempurnaan-kesempurnaan. Namun kesempurnaan-
kesempurnaan tertentu itu tidak „menentukan“ aganes sebagai agens. Agens sebagai agens
ditentukan oleh apa yang mereka buat, dan apa dia buat itu benar-benar distinkt dari yang dia
ada. Dengan kata lain, „bergiat“ (agere) lain dari „ada“ (esse).
Oleh karena „ada in actu“ berarti bukan saja mempunyai kesempurnaan tertentu tetapi
juga menjalankan hic et nunc suatu actus kausalitas yang riil, melalui mana suatu akibat yang
riil pula terjadi. Dengan demikian suatu barang terbatas ditentukan atau berlaku sebagai sebab
(agens) hanya melalui kegiatan (agere), yakni melalui suatu accidens. Sejauh sebagai
accidens maka dia jelas distinkt dari adanya. Jadi, jelas bahwa ada distinksi antara „adanya“
suatu barang dengan kegiatannya. Hubungan antara esse dan agere, seperti hubungan antara
substantia dan accidentia.
Jelas bahwa dalam barang-barang terbatas ada distinksi riil antara „adanya“ (esse) dan
„kegiatannya“ (agere). Adanya barang itu adalah actus melalui mana ia berada sebagai
barang. Jadi esse substansial mereka. Sedangkan kegiatan barang itu adalah actus melalui
mana ia berfungsi sebagai sebab. Distinksi ini merupakan distinksi antara mereka sebagai
substantia dan accidentia. Akan tetapi distinksi ini hanya bagi agens terbatas dan tidak
berlaku bagi agens yang tak terbatas (Tuhan).

1.4. Agens Terbatas Bergiat sebagai Sebab


Dalam arti apa agens terbatas dikatakan „memproduksi sesuatu yang baru pada
patiensnya“. Apakah kegiatan (actio) dari agens itu berarti memindahkan kesempurnaannya
kepada patiens? Kalau ia memberi kesempurnaan kepada patiens, maka bagaimana patiens
harus dipikirkan sebagai penerima kesempurnaan itu?
Suatu agens disebut terbatas karena dalam memberikan sebab atau hasil kepada yang
lain secara intrinsik „terbatas“ dayanya. Ia adalah suatu sebab yang secara intrinsik dalam
dayanya untuk bergiat sebagai sebab. Keterbatasan yang fundamental adalah bahwa dia tidak
pernah bisa menyebabkan sesuatu menjadi ada dari ketiadaan. Bagaimanapun besar dayanya
untuk menyebabkan sesuatu, namun ia tidak pernah mampu mengadakan peralihan dari
„nihil“ kepada „esse“. Keterbatsannya terletak dalam kenyataan bahwa ia tidak bisa
menyebabkan „ada“, dalam arti creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan).
Menyebabkan„ada“ berarti menyebabkan dalam arti tak tertentu dan tak terbatas.
Adapun barang terbatas (agens terbatas), apa pun jenisnya, hanya berpartisipasi dalam „ada“,
sebab dia menjadi „ada“ karena „diadakan“ oleh yang lain. Oleh karena itu secara metafisik,
kalau suatu agens terbatas berfungsi sebagai sebab, maka dalam hal itu dayanya untuk
menyebabkan „dibatasi“. Kegiatan menyebabkan dari agens itu dibatasi, karena dengan
seharusnya dia bergantung dari sesuatu yang sudah ada. Kalau ia menyebankan sesuatu
menjadi ada, misalnya, menyebabkan sebuah meja menjadi ada (membuat atau menciptakan
meja), maka ia membutuhkan sesuatu yang sudah ada. Ia membutuhkan papan, balok, paku
85
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

dalam membuat meja. Dia memang disebut sebagai sebab adanya meja, tetapi ia memerlukan
bahan-bahan. Jadi ia tidak bisa menyebabkan sesuatu menjadi ada dari ketiadaan sebagaimana
pada agens tak terbatas, yang mampu merubah „nihil“ menjadi „esse“.
Pertanyaan lebih lanjut: Apakah agens terbatas itu memindahkan atau memberi, dalam
arti harafiah, kesempurnaannya kepada patiens yang dia pengaruhi? Kalau benar bahwa
pengalihan atau pemberian pengaruh itu secara harafiah, maka konsekuensinya antara lain:
(1) Kesempurnaan pada akibat (patiens) harus identik secara numerik dengan kesempurnaan
pada agens, pemberinya. (2) Tiap kali aktus menyebabkan, maka mengakibatkan kehilangan
kesempurnaan dari agens yang berbanding lurus dengan apa yang diterima patiens. (3) Kalau
agens itu agens sempurna, maka ia memberi segala kesempurnaanya kepada patiens, sehingga
dia kehilangan kesempurnaan yang dia miliki.
Mengenai asumsi pertama bahwa ada identitas secara numerik antara kesempurnaan
pada agens dan kesempurnaan pada patiens, maka harus dikatakan bahwa yang ada hanya
identitas spesifik. Jadi, tidak ada identitas numerik, melainkan hanya suatu identitas dalam
species. Demikian misalnya, manusia melahirkan manusia. Ia memberi kepada anaknya
kesempurnaan species manusia. Namun dengan menyebabkan (menurunkan) anak, orang tua
tidak kehilangan kodrat kemanusiaannya. Ia hanya memindahkan kesempurnaan secara
specifik, yakni species manusia.
Mengenai asumsi kedua bahwa adanya kehilangan kesempurnaan yang setimbang
dengan yang agens berikan kepada patiens, maka harus dikatakan benar bahwa banyak agens
dalam kegiatannya kehilangan sebagian dari kesempurnaan mereka. Hanya saja kehilangan
kesempurnaan itu tidak berhubungan secara essensial dengan kodrat agens sebagai agens.
Kehilangan itu per accidens dan berhubungan dengan agens fisik-material. Demikian
misalnya, besi panas menjadi kurang panas dengan memanaskan air yang dingin. Dalam
kasus ini ada kausalitas timbal balik. Itulah yang disebut „causae sunt ad invicem causae“,
bahwa dalam memberi pengaruh kepada yang lain, ketika itu pula yang lain itu memberi
pengaruh kepadanya.
Tentang asumsi ketiga bahwa agens sempurna kehilangan kesempurnaanya, maka
harus diperhatikan bahwa yang benar adalah justru sebaliknya. Agens yang paling sempurna
sebagai agens adalah yang dalam kegiatannya kehilangan hanya sedikit kesempurnaan atau
sama sekali tidak kehilangan apa-apa. Demikian misalnya, guru tidak kehilangan ilmunya
dengan mengajarkan ilmu itu kepada murid. Prinsipnya bahwa suatu agens sebagai agens
makin kurang kehilangan kesempurnaan yang diberikannya kepada patiens, makin dia
sempurna.
Walaupun kausalitas dari agens terbatas tidak sebagai peralihan secara harafiah dan
fisis, bagaimanapun kegiatan dari agens tetap sampai dan mempengaruhi patiens. Antara
keduanya ada hubungan erat. Dasar hubungan itu adalah kegiatan. Dalam hal agens terbatas
hubungan itu bersumber pada kegiatannya yang merupakan accidens, dan karena kegiatan itu
adalah accidens, maka kegiatan itu jelas beda dari adanya yang bergiat itu. Seperti halnya kita
membedakan substantia dan accidentia.
Kegiatan agens harus bagaimana pun ada pada patiens. Ia memberikan kepada patiens
suatu aktualitas baru yang dulu patiens tidak miliki. Itulah prinsip actio agentes est in passio
(kegiatan agens ada pada patiens). Di mana tidak ada suatu ikatan antara kegiatan dari agens
dan patiens, maka kausalitas juga tidak mungkin terjadi. Jadi hubungan sebab dengan akibat
tidak lain adalah bubungan antara agens dan patiens, suatu hubungan antara penggiat atau
penggerak atau pemberi pengaruh dengan penerima kegiatan atau penerima pengaruh itu.
Yang dalam bahasa biasa dikatakan sebagai hubungan antara sebab dan akibat.

2. Causa Essendi (Sebab Adanya)

86
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

2.1. Causa Essendi


Barang-barang empirik tidak mempunyai dalam dirinya sendiri seluruh penjelasan
tentang adanya, maka ia perlu prinsip mengenai adanya di luar dirinya. Tetapi kalau dari
kodratnya barang itu memiliki penjelasan yang lengkap mengenai adanya, maka tidak perlu
mencari suatu pihak lain pada ia secara kausal bergantung. Namun barang empirik tidak
mempunyai penjelasan yang lengkap tentang adanya. Itu berarti, barang terbatas dalam
adanya bergantung dari sesuatu yang lain di luar dirinya.
Dari uraian tentang essensi dan actus essendi kita tahu bahwa tidak ada barang terbatas
berada berdasarkan essensinya, bahwa essensinya adalah berada. Jika essensinya adalah
berada, maka barang itu berada dengan seharusnya (ens neccesarium), dan itu berarti ia bukan
lagi ens contingens (ada terbatas). Adapun essensi dari ens obiectum (ens contingens) adalah
prinsip potensial yang membatasi eksistensi. Jadi eksistensi, dalam hubungan dengan essensi,
adalah actus yang diberikan. Segala barang terbatas yang mempunyai esse berpartisipasi
dalam actus itu seturut kodratnya. Tetapi sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa barang
terbatas berada berdasarkan essensinya, atau bawa essensinya adalah untuk berada. Barang
terbatas memang mempunyai essensi, namun essensi mereka tidak identik dengan eksistensi
mereka. Essensi mereka adalah sesuatu yang lain dari esse.
Kalau suatu actus termasuk essensi suatu barang, maka actus itu ada padanya secara
seharusnya. Demikian misalnya, „berakal“ termasuk essensi manusia, maka tidak ada manusia
yang tidak berakal. Adapun pada barang terbatas terdapat actus essendi itu secara kurang
lebih. Jadi ada „orde essendi“ dalam barang-barang terbatas. Tingkat-tingkat kesempurnaan
dalam adanya, itulah bukti bahwa esse atau actus essendi tidak termasuk essensi barang-
barang itu. Karena seandainya esse termasuk essensi mereka, maka tentu mereka mempunyai
esse itu dengan kepenuhannya. Sebabnya adalah bahwa sesuatu yang termasuk essensi dari
suatu barang, maka itu dimiliki oleh barang itu dengan sepenuhnya, karena segala kodrat
adalah sesuatu yang kengkap. Sesuatu adalah manusia atau bukan manusia. Dipandang dari
aspek essensi, tidak ada manusia yang kurang atau lebih.
Akan tetapi barang-barang terbatas mempunyai ada secara terbatas, yakni dibatasi
oleh essensi mereka. Dengan itu jelas bahwa berada tidak termasuk essensi mereka. Kalau
suatu barang mempunyai suatu actus yang tidak termasuk kodrat barang itu, maka actus itu
harus disebabkan olah yang lain. Segala actus yang diterima dari yang lain, maka yang lain
itu adalah sebab dari actus itu. Jadi, actus essendi dalam barang terbatas adalah actus yang
diterima, maka harus disimpulkan bahwa actus itu disebabkan oleh yang lain. Barang
contingens adalah sesuatu yang sama sekali, secara apa saja, tidak bisa berada dari sendirinya.

2.2. Causa Essendi pada Barang Tak Terbatas


Actus berada pada barang terbatas adalah actus yang disebabkan oleh yang lain.
Pertanyaan lebih lanjut: Apakah „yang lain“ itu adalah suatu barang yang juga menerima
actus essendinya? Apakah yang kedua ini juga menerima actus essendinya dari yang ketiga,
dan yang ketiga menerima dari yang keempat dan seterusnya ad infinitum? Suatu seri yang
tak terbatas dari barang terbatas tidak menjelaskan soal partisipasi dalam actus essendi.
Karena, antara barang-barang itu tidak satu pun yang berada berdasarkan kodratnya, bahwa
essensinya untuk berada, sehingga tidak bisa tidak dia berada. Dia dengan seharusnya berada.
Dia, dari sendirinya berada.
Agar hal itu menjadi intelligibilis, maka perlu suatu „ada“ yang merupakan sebab dari
adanya barang-barang terbatas yang tidak berada berdasarkan essensi mereka. Ada semacam
itu harus berbeda dari segala ada yang lain. Ia harus berada berdasarkan essensinya. Jadi
essensinya memang berada. Ada yang demikian adalah ada yang seharusnya (ens
neccesarium). Pengertian „seharusnya“ di sini ada dua arti: Pertama, dia seharusnya, supaya
barang-barang yang tidak harus ada (ens contingens) bisa ada. Kedua, dia seharusnya dalam
87
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

arti bahwa dia berada dengan seharusnya karena memang essensinya adalah justru berada.
Pada „ada“ itu, apa yang kita anggap dalam tataran pengetahuan terbatas sebagai essensi tidak
lain dari actus essendi. Demikianlah hal mengenai Ens Subsistens, ada yang berdiri atau
berada dari sendirinya. Sebab adanya tidak pada yang lain melainkan pada dirinya sendiri.

2.3. Hubungan Causa Prima dan Causa Secunda


Kalau Tuhan disebut sebagai sebab, maka harus dikatakan bahwa Dia bukan saja
sebab pertama dari adanya, melainkan juga sebagai sebab dalam hal sebab-sebab terbatas
menyebabkan. Itu berarti, Tuhan tidak hanya menyebabkan sesuatu menjadi ada, melainkan
juga menyebabkan barang ciptaan bisa menyebabkan. Kegiatan menyebabkan dari tiada
menjadi ada, itulah creatio (penciptaan). Kegiatan yang menyebabkan barang bisa
menyebabkan, itulah conservatio (penyelenggaraan)
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa pada barang terbatas, actus atau kegiatan
menyebabkan adalah actus yang distinkt dari actus essendi barang itu. Sebab, barang-barang
yang terbatas bukanlah sebab berdasarkan adanya mereka. Hanya barang tak terbatas adalah
sebab berdasarkan adanya. Itulah Tuhan sebagai Causa prima. Sedangkan pada barang
terbatas sebagai causa secunda, kegiatan „sebab“ adalah sesuatu yang accidens. Dengan kata
lain, pada barang terbatas terdapat suatu distinksi antara substansi dan accidensnya
merupakan kegiatan menyebabkan. Namun tidak berarti bahwa kegiatan barang-barang itu
tidak memberi pengetahuan tentang barang itu sendiri. Justru manusia mengenal barang itu
hanya melalui kegiatan-kegiatannya.
Kegiatan apa saja, sejauh itu dilakukan oleh barang terbatas, adalah penentuan kedua
atau actus yang merupakan accidens dari kodrat agens. Prinsipnya mengatakan: „Segala actus
dari suatu barang yang tidak berasal dari kodrat barang itu, disebabkan di dalam barang itu
oleh yang lain“. Itu berarti, actus itu melalui mana barang terbatas bergiat sebagai sebab
bergantung dari yang lain yang merupakan sebabnya. Namun suatu seri tak terbatas dari
sebab-sebab terbatas (sebab-sebab yang bergantung dalam kausalitas), tidak bisa menjelaskan
kausalitas di dunia. Baru hal itu menjadi intelligibilis, kalau ada sebab yang mampu
menyebabkan, tetapi dia sendiri tidak disebabkan. Jadi harus ada suatu sebab yang tidak
bergantung, yang tidak menerima kauslitas apa-apa. Itulah yang kita sebut Causa Prima. Ia
adalah prinsip atau sebab dari mana segala sebab kedua bergantung, bukan saja dalam adanya
(esse) tetapi juga dalam kegiatannya (agere).
Dari menyatakan bahwa sebab-sebab kedua bergantung secara mutlak dari yang lain
(sebab pertama) supaya bisa bergiat sebagai sebab, dapat disimpulkan bahwa Sebab Pertama
adalah sumber satu-satunya yang riil dari kegiatan. Kalau demikian yang terjadi, maka timbul
pertanyaan: apa sebenarnya yang dimaksud dengan sebab bagi barang-barang terbatas? Untuk
menjawab pertanyaan ini, maka kita harus perhatikan bahwa pembicaraan tentang sebab
pertama dan sebab kedua tidak dalam arti univok. Sebab pertama dan sebab kedua tidak
merupakan dua species dari genus yang sama. Pengertian sebab di sini dipakai secara analog.
Dalam kerangka sebab analog kita bisa menjelaskan hal itu, demikian. Sebab kedua
tidak bergiat pada tarap yang sama dengan sebab pertama. Peranan agens atau sebab kedua
ada di bawah sebab pertama. Namun dalam hal itu, sebab pertama tidak menggantikan
kegiatan dari agens yang kedua. Sebab kedua benar-benar bergiat sebagai sebab. Kedudukan
sebab pertama sangat penting karena dialah yang memungkinkan bahwa sebab-sebab kedua
bergiat sebagai sebab.
Untuk itu kita perlu perhatikan paralelisme antara adanya dan kegiatan dari barang
terbatas. Kalau dikatakan bahwa barang terbatas mempunyai „ada“ berkat ketergantungannya
pada sebab pertama, itu tidak dimaksudkan bahwa mereka „tidak ada“. Itu maksudnya adalah
pertama-tama „mengapa mereka ada“. Dengan kata lain, partisipasi dalam adanya tidak

88
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

berarti penyangkalan adanya barang terbatas. Mereka benar-benar ada. Hanya saja
keberadaan mereka bergantung pada sebab pertama.
Prinsip yang sama berlaku juga mengenai kausalitas. Kalau dikatakan bahwa sebab
terbatas hanya berpartisipasi dalam kauslitas, tidak disangkal bahwa barang-barang terbatas
benar-benar sebab-sebab. Mereka benar-benar sebab-sebab. Hanya dinyatakan ketergantungan
sebab-sebab itu kepada suatu sebab yang tidak bergantung. Sebenarnya kegiatan sebab
pertama adalah menjamin kauslitas makhluk-makhluk. Jadi ketergantungan itu adalah yang
memungkinkan dan menjamin efisiensi dari sebab-sebab yang terbatas.

2.4. Causa, Conditio dan Occasio

2.4.1. Pengertian Causa


Causa est principium per se influens esse in aliud (= sebab merupakan prinsip
sehingga sesuatu ada). Di sini Skolastik menekankan bahwa segala sebab mengakibatkan
pengaruh yang positip. Segala akibat bergantung secara riil dan positip dari sesuatu sebab
atau bebarapa sebab. Karena itu sebab selalu dikaitkan dengan akibat, dan sebaliknya akibat
senantiasa dihubungan dengan sebab.

2.4.2. Pengertian Conditio


Syarat (conditio) tidak boleh dipersamakan dengan sebab (causa) karena yang dinamakan
pengaruh atau fungsi syarat pada umum bersifat negatip. Demikian misalnya, seorang
membuka botol supaya orang dapat minum isinya. Orang yang membuka botol itu benar-
benar causa dari keterbukaan botol itu, tetapi dia bukanlah causa dari orang yang minum
isinya. Tentu ada hubungan antara membuka botol dan meminum isinya, karena seandainya
botol itu tidak dibuka maka orang lain tidak bisa minum isinya.
Namun harus diperhatikan bahwa pengaruh suatu syarat (conditio) bagi suatu kejadian
menyebabkan selalu bersifat negatip. Dalam hal itu, ia hanya „menjauhkan suatu rintangan
bagi sebab“, sehingga kalau rintangan itu tidak dijauhkan, maka tidak ada akibat. Jadi, fungsi
bagi syarat adalah memungkinkan bagi sebab menjalankan kegiatannya. Pada umumnya
syarat didefinisikan sebagai keadaan atau faktor atau suatu set faktor yang memungkinkan
sesuatu dapat berfungsi sebagai sebab. Namun sering harus diadakan suatu analisis yang teliti
sebelum manusia bisa membedakan dengan jelas dan apa yang berfungsi sebagai syarat saja.
Tetapi pada dasarnya ada distinksi antara causa dan conditio.

2.4.3. Pengertian Occasio


Occasio (kesempatan) adalah suatu faktor yang seakan-akan mengundang suatu agens
yang bebas untuk bergiat. Kesempatan dipandang sebagai suatu keadaan yang menyediakan
keluangan yang cocok untuk melakukan suatu kegiatan. Demikian misalnya, penabhisan
imam adalah suatu kesempatan untuk berpesta dan adalah pesta itu sendiri adalah kesempatan
untuk bergembira. Penabisan itu bukan causa bagi actus bergembira, melainkan penabisan itu
hanya merupakan suatu occasio bagi orang untuk melakukan actus bergembira. Demikian
juga peristiwa pintu terbuka di tempat sunyi pada malam hari adalah kesempoatan yang baik
bagi pencuri untuk mencuri. Namun pintu terbuka bukanlah sebab bagi actus mencuri
melainkan hanya suatu occasio.
Namun dalam keadaan konkret sulit orang membedakan dengan jelas antara causa,
conditio dan occasio. Mengenai occasio harus dikatakan bahwa pada dasarnya kesempatan
adalah sesuatu yang lebih kecil dari syarat karena kesempatan adalah sesuatu yang tidak

89
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

dibutuhkan secara absolut supaya suatu agens dapat bergiat. Dengan demikian malam yang
gelap dapat dipandang sebagai syarat dan sama sekali tidak sebagai sebab. Suatu pesta adalah
kesempatan untuk minum, mungkin terkadang sebagai syaratnya, tetapi tentu bukan sebagai
sebabnya.

2.5. Macam-macam Sebab

2.5.1. Empat Sebab Menurut Aristoteles


1. Causa efficiens: Sebab efisien menunjukkan dari mana sesuatu berasal, yang membuat
sesuatu dalam keadaan potentia menjadi actus. Ia memberi dorongan gerakan atau
perkembangan. Causa efficiens masih harus dibedakan: Pertama, causa efficiens yang
merupakan sebab gerak, perubahan dan menjadi. Dia merupakan penyebab perubahan pada
taraf essensi atau aksidens. Kedua, causa efficiens yang menyebabkan ada, yang memberi
actus essendi. Dalam arti benar dan tegas hanya ada satu sebab adanya, yakni sebab
pertama dan itulah Tuhan.
2. Causa materialis: Sebab material adalah sebab yang berkaitan pemakaian suatu bahan atau
substansi dalam menghasilkan sesuatu. Ia menunjukkan sesuatu sebagai bahan dasar untuk
menjadi sesuatu (ex quo). Sebab material merupakan substratum yang bersifat permanen.
Tidak ada perubahan yang riil dapat dimengerti tanpa adanya subjek yang bersifat tetap.
Dalam hal itu, dibutuhkan sebuah unsur yang tidak berubah yang mampu diaktualisasi.
3. Causa formalis: Sebab yang berhubungan dengan pola atau bentuk dari sesuatu. Sebab
formal menujukkan sesuatu seperti tertentu itu. Sebab ini ditentukan oleh kekuatan dalam i
d e, misalnya, i d e yang ada dalam diri seorang seniman patung. Kehendaknya membuat
patung Buddha itulah i d e yang menggerakkan sang seniman untuk menciptakan patung
Buddha dalam kenyataan.
4. Causa finalis: Sebab yang berkaitan dengan tujuan atau maksud sesuatu atau suatu
kegiatan. Ia menunjukkan untuk apa sesuatu itu dihasilkan. Sebab final merupakan suatu
prinsip pengarah dalam melakukan suatu perbuatan.

2.5.2. Causa Principalis dan Causa Instrumentalis


Causa principalis adalah sebab yang sendiri mengakibatkan sesuatu. Ia menghasilkan
sesuatu dengan dayanya sendiri. Demikian misalnya, seornag mengetik sepucuk surat.
Sedangkan causa instrumentalis adalah sebab yang tidak oleh sendirinya mengakibatkan
sesuatu ada. Suatu alat tidak mempunyai daya untuk bergiat sendirinya. Kegiatan suatu alat
bergantung kepada pengaruh sepenuhnya yang dia terima dari agens (causa principalis).
Demikian mengenai ketikan itu, mesin tik sebagai alat bergantung dari pengaruh causa
principalis dalam menjalankan kausalitas atau peranannya sehingga menghasilkan suatu
akibat ketikan.
Walaupun dari suatu pihak benar bahwa suatu alat tidak bergiat dari sendirinya,
namun dari pihak lain tidak benar bahwa alat itu tidak berbuat atau tidak menyebabkan apa-
apa. Surat yang ditik tentu lain dari surat ditulis dengan tangan dengan sarana ballpoint. Hal
ini menunjukkan bahwa benar alat itu juga ikut menentukan atau mengakibat sesuatu. Mesin
tik menghasilkan surat ketikan, yang berbeda dengan surat sebagai hasil kerja sama antara
penulis sebagai causa principalis dengan ballpoint sebagai causa instrumentalis. Jadi
perbedaan dalam causa instrumentalis akan menyebabkan adanya perbedaan dalam hasil atau
akibatnya, sekalipun semuanya dilakukan oleh satu causa principalis.
Jelas bahwa alat sebagai alat-alat mempunyai kausalitas yang khas bagi mereka.
Kausalitas itu terdapat dalam kenyataan bahwa suatu alat memodifikasi atau menspesifikasi

90
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

kegiatan agens utama (causa principalis), sehingga alat-alat yang berbeda menghasilkan
akibat berbeda pula. Suatu akibat bergantung secara riil dari jenis alat yang dipergunakan.
Oleha karena itu, harus disimpulkan juga bahwa alat adalah sebab dalam arti yang benar.
Suatu alat adalah sebab dalam arti yang benar, sekalipun kegiatannya dengan sepenuhnya ada
atau bergantung dari causa principalis.
Kesempurnaan suatu alat bersifat relatif, sebab bergantung dari maksud untuk apa alat
itu dipakai. Sebuah pisau yang baik akan tidak baik sebagai parang, dan sebaliknya, karena
masing-masing disiapkan secara spesifik untuk suatu maksud yang spesifik. Memang secara
generik keduanya sama, yakni untuk memotong dan oleh karena itu mampu mencapai tujuan
yang sama secara generik yakini untuk memotong. Hanya secara aksidental, alat-alat yang
mempunyai fungsi berbeda, yang satu dipakai menggantikan yang lain. Akan tetapi, tetap
benar bahwa kesempurnaan suatu alat diukur menurut kecocokannya untuk mencapai tujuan
mana alat itu dipakai. Jadi, tetap benar bahwa tujuan menentukan alat, bukan sebaliknya.

2.5.3. Causae Internae dan Causae Externae


Seturut tradisi Skolastik keempat sebab yang dikemukakan oleh Aristoteles masih
dibagi lagi dalam dua kelompok besar. Untuk causa materialis dan causa formalis disebut
sebagai causae internae (sebab-sebab intern) Untuk kedua causae lainnya, causa efficiens dan
causa finalis, dikategorikan sebagai causae externae (sebab-sebab ekstern).
Prinsip-prinsip atau sebab-sebab inrinsik dari barang material adalah materia prima
dan forma substantialis. Materia prima adalah prinsip dari mana suatu barang material
berasal, dan forma substantialis adalah prinsip atau sebab menentukan quidditas (apa itu) atau
essensi suatu barang material. Oleh karena barang material bergantung secara langsung dan
intrinsik dari prinsip materia prima dan forma substantialis, maka mereka benar-benar sebab-
sebab intern. Oleh karena itu, kalau ada dipandang dari aspek jadinya atau adanya, maka
prinsip-prinsip atau sebab-sebab intern adalah eksistensi dan essensi. Akan tetapi, dalam arti
yang paling umum, yang dimaksud dengan sebab adalah causae exterane ini: causa efficiens
dan causa finalis. Adapun causae internae, lebih tepat dikatakan prinsip-prinsip intrinsik
sesuatu barang material dari pada sebab-sebab.

2.5.4. Distinksi-distinksi Berdasarkan Causa Efficiens


Berhubungan dengan causa efficiens telah dijelaskan perbedaan antara: sebab univok
dan sebab ekuivok, sebab pertama dan sebab kedua, sebab jadinya dan sebab adanya.
Mengenai perbedaan antara sebab jadinya dan sebab adanya harus diperhatikan bahwa: Sebab
jadinya hanya mengubah subjek yang sudah ada, sedangkan sebab adanya adalah sumber dari
adanya. Sebab adanya ini masih harus dibedakan lagi atas: sumber adanya yang mulai, itulah
„creatio“ (penciptaan), atau sumber adanya yang berlangsung, itulah „conservatio“
(penyelenggaraan).
Distinksi lain berdasarkan causa efficiens adalah „sebab yang bebas“ dan „sebab yang
seharusnya“. Sebab atau agens yang bebas adalah sesuatu yang bebas untuk bergiat atau tidak
bergiat. Sedangkan „sebab yang seharusnya“ adalah aganes yang harus bergiat dan bergiat
secara tertentu dalam keadaan tertentu. Distinksi ini adalah penting berhubungan dengan
causa finalis.
Distinksi berdasarkan causa efficiens: „sebab total“ dan „sebab parsial“. Sebab total
adalah sebab yang sendiri mengakibatkan sesuatu. „Total“ di sini bisa berarti keseluruhan dari
suatu genus dari kausalitas atau keseluruhan dari segala barang yang ada. Demikian Tuhan
adalah sebab total dalam arti yang tak terbatas dari adanya segala sesuatu. Sedangkan sebab-
sebab terbatas disebut sebab total, tetapi total dalam satu genus kausalitas. Mereka adalah
agentes (sebab-sebab) satu-satunya yang menyebabkan suatu akibat. Demikian misalnya,
91
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

seorang membangun rumah. Dipandang secara keseluruhan dalam pembangunan itu terlibat
juga penyebab-penyebab lain.
Sesuatu disebut sebab parsial, kalau akibat adalah hasil kegiatan atau kerja sama dari
beberapa sebab. Misalnya beberapa orang membangun sebuah rumah. Namun, kalau
diperhatikan bahwa bangunan rumah diakibatkan sebagian oleh causa atau causae principalis
dan oleh beberapa causae instrumentalis (gergaji, parang, kapak, pahat, dsb), maka dalam hal
itu ada bermacam-macam sebab sebagian. Karena itu istilah sebab parsial bersifat analog.
Dalam arti yang tegas segala sebab kedua (causa secunda) adalah sebab-sebab parsial karena
mereka dalam menyebabkan sesuatu selalu bergantung dari sesuatu yang lain.

3. Causa Finalis dan Causa Causarum

3.1. Tujuan adalah Sebab


Berdasarkan causa efficiens, realitas barang-barang menjadi inteligibilis baik
mengenai „sebab adanya“ (causa essendi) maupun mengenai „sebab jadinya“ (causa fiendi).
Akan tetapi causa efficiens tidak bisa menjelaskan dengan sepenuhnya tentang kegiatan
„menyebabkan“ dengan „akibat“nya. Prinsip itu hanya menjelaskan tentang sebab „jadinya“
dan „adanya“ sesuatu, tetapi tidak menjelaskan „apa sebab ia menyebabkan“. Tidak ada arti
menjawab bahwa barang-barang menjadi „sebab begitu saja“. Nilai kausalitas kegiatan dari
barang-barang itu baru menjadi intelligiblis, kalau mereka „berkesebaban“ dengan suatu
dasar. Kalau tidak ada dasar, maka suatu sebab tidak bisa bergiat menyebabkan. Kalau sebab
mau bergiat sebagai sebab, maka ia juga membutuhkan sebab.
Seandainya bisa ada kegiatan tanpa dasar, maka bagaimana kita menjalaskan
kenyataan bahwa justru segala agens selalu bergiat secara tententu. Kalau kegiatan suatu
agens dijelaskan oleh dirinya sendiri, maka tidak ada alasan mengapa kegiatan itu mengikuti
jalan atau tujuan tertentu. Kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan apa saja selalu dengan
suatu tujuan tertentu. Segala agens, kalau bergiat, bergiat dengan arah tertentu. Tidak
mungkin satu kegiatan berlangsung ke arah berbeda-beda sekaligus. Yang „tak tertentu“ tidak
bisa dimengerti, karena kenyataan seperti itu memang tidak ada. Demikian misalnya, seorang
berlari. Ia tentu berlari ke satu arah tertentu. Boleh saja dikatakan bahwa ia bisa lari ke segala
arah, tetapi tidak berarti ia berlari „tanpa arah“. Sebab yang dimaksud dengan ke segala arah,
adalah bahwa ia lari arah demi arah sampai seluruh arah dicapai.
Kegiatan dari agens dalam dirinya sendiri tidak cukup untuk menjelaskan mengapa
suatu akibat yang tertentu timbul. Kenyataan itu membuktikan bahwa tentu dan harus ada
suatu yang lain yang merupakan sebab dari kegiatan menyebabkan itu. Yang lain itu
merupakan alasan atau dasar mengapa agens bergiat secara tertentu. Itulah tujuan. Pengaruh
dari tujuan sebagai sebab terletak dalam kenyataan bahwa ia menyebabkan agens bergiat.
Tujuan adalah sebab dari sebab-sebab (causa causarum).
Dalam urutan sebab-sebab, tujuan merupakan yang „pertama“, karena dia mendahului
kegiatan dari agens. Tujuan itulah yang benar-benar menggerakan atau mempengaruhi agens
untuk bergiat menyebabkan. Akan tetapi aktus menyebabkan causa finalis berbeda dari aktus
menyebabkan dari causa efficiens. Tujuan tidak bisa menggerakkan atau mempengaruhi suatu
agens seperti causa efficiens, karena tujuan itu belum ada sebagai sesuatu yang riil. Misalnya,
orang belajar di FFA untuk menjadi imam.Menjadi Imam atau nilai imamat itu menjadi sebab
kegiatan-kegiatan yang dituntut untuk mencapainya. Nilai imamat yang belum ada itulah
yang menggerakkan orang. Tujuan menjadi imam adalah sebab untuk bergiat.
Sedangkan causa efficiens tidak berhubungan dengan barang yang belum ada,
melainkan dengan barang yang sudah ada. Hanya barang-barang yang ada dalam realitas
dapat berfungsi sebagai causa effciens. Tetapi, kalau dikatakan bahwa tujuan itu sesuatu yang
belum ada dalam realitas, namun tidak bisa disimpulkan bahwa dia sama sekali tidak ada.
92
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Tujuan itu tetap ada, tetapi cara beradanya bersifat ideal. Justru nilai kausalitasnya terletak
dalam hal itu bahwa dia menggerakkan suatu agens karena dia dicari atau diingini.

3.2. Causa Finalis Bersifat Analog


Sebab-sebab lain bersifat analog, demkian juga causa finalis. Benar bahwa prinsip
bahwa agens bergiat, bergiat oleh karena tujuan berlaku secara universal menurut cara
adanya (modus essendi) masing-masing agens. Prinsip itu diterapkan kepada barang apa saja
menurut macam barang itu. Ia bisa diterapkan kepada manusia, sebagai makhluk yang berakal
dan berkehendak, juga kepada barang-barang infrahuman. Manusia menentukan tujuan
dengan sadar. Ia adalah satu-satunya „ada“ yang menentukan bagi dirinya tujuan itu. Dengan
sadar ia menentukan tujuan dan sekaligus sarana-sarana untuk mencapainya. Oleh karena itu
tiap kali manusia bergiat sebagai manusia, maka hal itu dibuatnya dalam cahaya tujuan yang
dia sendiri tetapkan. Tujuan yang dia tetapkan itulah yang memotivasinya untuk bertindak.
Prinsip finalitas juga berlaku mengenai barang-barang tanpa akal dan kehendak.
Tujuan mereka tidak ditentukan oleh mereka sendiri, karena mereka bukanlah barang yang
berkesedaran. Tujuan itu ditentukan oleh kodrat mereka. Mereka menuju tujuan berdasarkan
suatu appetitus naturalis (kecenderungan kodrati).
Kalau agens tak berakal tidak mengenal tujuannya namun menuju, maka kita harus
menyimpulkan bahwa agens itu diarahkan ke tujuannya oleh suatu barang lain. Yang lain itu
haruslah suatu ada yang mempunyai pengetahuan tentang tujuan barang-barang tak berakal.
Jika kesimpulan ini tidak diterima, maka harus diterima bahwa segala sesuatu di alami terjadi
kebetulan. Struktur dan susunan bahan kimia yang begitu teratur dan konstan, itu terjadi
kebetulan. Bahwa binatang-binatang kebetulan mencari makanan yang tertentu.
Kesimpulan satu-satunya ialah bahwa agens yang tidak mempunyai pengetahuan
tentang tujuan, diarahkan ke tujuan mereka oleh yang lain. Sesuatu yang lain itu tentu
berakal, yang merupakan sebab bukan saja sebab dari tujuannya, melainkan juga sebab dari
adanya dan kegiatannya. Dialah yang mengarahkan segala barang tak berakal atau barang
alamiah sesuai dengan kodrat mereka masing-masing.
Untuk melihat lebih jauh letak perbedaan antara agens dengan pengetahuan dan agens
tanpa pengetahuan, maka kita kembali meninjau kedudukan kodrat, yang berarti essentia atau
natura. Berdasarkan uraian mengenai substantia dan natura, kalau essensi dimaksud sebagai
sumber terakhir dari kegiatan, maka itu disebut natura. Jadi natura suatu barang adalah
essensi barang itu dipandang sebagai sumber terakhir dari kegiatannya.
Seperti telah diuraikan, bahwa essensi adalah materia prima yang diaktualisir oleh
forma substantialis, sehingga materia prima menjadi sesuatu yang tertentu. Akan tetapi,
forma substantialis bukan saja prinsip spesifikasi essensi, melainkan juga prinsip penentu
kegiatan. Dengan kata lain, forma substantialis bukan saja prinsip instrinsik dari struktur
barang-barang melainkan juga prinsip dinamismenya. Prinsip dinamisme ini secara istimewa
berlaku mengenai barang-barang yang hidup.
Forma substantialis adalah penentu essensi sekaligus penentu kegiatan, sebab segala
yang bergiat, bergiat menurut essensinya. Itu berarti, barang apa saja yang bergiat, bergiat
secara tertentu, sebagaimana ditentukan oleh forma substantialis mereka. Adapun kegiatan
dari barang yang hidup lebih sempurna dari pada kegiatan dari barang tak hidup, sebab forma
substantialis dari barang hidup yakni jiwa lebih sempurna dari forma substantialis pada
barang tak hidup. Prinsipnya mengatakan: omnis actio sequitur forma (kegiatan apa saja
mengikuti forma).
Seperti dijelaskan bahwa agens „yang mengenal“ tidak dibatasi oleh formanya
sendiri, sehingga ia bisa menerima secara intentional forma-forma dari barang lain tanpa dia
menjadi identik atau menjadi satu dengan barang yang diterimanya. Itulah prinsip mengenal
immaterialitas est radix cognotio (imaterialitas adalah akar mengenal). Sedangkan barang
93
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

tanpa mengenal dibatasi oleh formanya sendiri. Kalau ia menerima suatu forma baru, maka
dia terima forma itu dalam materi, sehingga ia menjadi satu dengan apa yang diterimanya.
Barang-barang tanpa pengetahuan dapat bergiat menurut forma substantialis. Mereka
bergiat dalam batasan essensinya. Sedangkan barang-barang dengan pengetahuan, bergiat
pertama-tama menurut forma substantialis mereka, tetapi juga menurut forma-forma yang
mereka kenal. Oleh karena itu, kalau mereka bergiat maka mereka bergiat dalam cahaya
pengetahuan yang mereka punyai. Itu berarti, mereka bergiat oleh suatu kesadaran akan
tujuan.
Agens dengan pengetahuan ada dua macam: Agens pengetahuan indrawi yang
objeknya adalah forma sensibilis, dan agens pengetahuan intelektual yang objeknya essensi
barang-barang. Binatang adalah agens pengetahuan indrawi. Pengetahuan mereka terbatas
pada forma material-sensibilis. Mereka tidak memiliki pengetahuan refleksip baik mengenai
tujuan kegiatan mereka maupun mengenai sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan itu.
Mereka menuju suatu tujuan, oleh karena suatu instink kodrati, melalui forma yang mereka
kenal dengan indra-indra. Sedangkan manusia sebagai agens pengetahuan intelektual,
menentukan sendiri tujuan kegiatan mereka, karena mereka mengerti forma yang mereka
kenal. Dengan kata lain, mereka bisa sendiri menentukan tujuan, karena mereka mampu
membuat refleksi.

3.3. Causa Finalis dan Causa Exemplaris


Di atas telah diperiksa kegiatan dari agens pengetahuan intelektual, di mana mereka
bisa menentukan sendiri tujuan, karena mereka mengerti forma-forma yang mereka terima.
Sekarang kita periksa hubungan antara forma yang dimengerti dan kegiatan yang berasal dari
forma itu. Demikian misalnya, seorang arsitek membangun gedung, maka dia membangunnya
menurut suatu pola atau forma ideal. Pembuatan gedung itu ditentukan oleh pola atau forma
yang ditetapkan lebih dahulu. Forma atau pola yang ditetapkan lebih dahulu dan ada di dalam
budi si arsitek (agens) dinamakan causa exemplaris.
Causa exemplaris sebenarnya adalah forma yang akan dilaksanakan. Causa
exemplaris suatu karya seni adalah rencana dalam budi sang seniman. Jika de facto karya itu
tidak sepersis dengan rencana atau forma idealnya, maka karya itu bernilai lebih rendah dari
yang terdapat dalam budi penciptanya. Itu bisa terjadi, karena pelaksanaan bergantung dari
pelbagai faktor (causa principalis, causa instrumentalis, causa materialis).
Pertanyaannya, apakah causa exemplaris betul suatu sebab dalam arti yang benar, dan
kalau demikian, apakah dia secara riil dan positip mempengaruhi hasilnya? Jawabannya,
benar bahwa ia sebab dalam arti yang benar, tetapi berkat perantaraan causa efficiens.
Kausalitas dari rencana (causa exemplaris) terletak dalam hal bahwa ia menentukan kegiatan
agens. Kausalitas dari contoh dapat dibandingkan dengan kausalitas dari causa formalis.
Hanya saja kauslitas dari causa exemplaris tinggal di luar akibat, oleh karena itu causa
exemplaris merupakan sebab ekstrinsik. Sedangkan causa formalis adalah unsur konstitutif
dari suatu barang, dan oleh karena itu ia merupakan sebab intrinsik. Causa exemplaris adalah
sebab ekstrinsik, karena contoh itu sendiri masih ada di dalam budi pembuat dan tidak
termasuk dalam barang yang dibuat.
Adapun perbedaan hubungan causa exemplaris dan causa finalis, seperti perbedaan
hubungan antara causa exemplaris dan causa efficiens di atas. Dari uraian itu jelas bahwa
tujuan dari agens berakal adalah memproduksi sesuatu menurut contoh yang ada pada agens.
Sebenarnya contoh dari suatu kegiatan adalah identik dengan tujuan itu sendiri. Dari pihak
tujuan itu sendiri, tidak ada perbedaan riil antara causa finalis dan causa exemplaris. Hanya
dari pihak agens, yang merupakan faktor perantaraan berhubungan dengan kedua sebab itu,
ada perbedaan penting. Kita berbicara mengenai tujuan sebagai causa finalis, maka itu
berarti, kita memandang tujuan sebagai sesuatu yang menarik agens. Kita kita berbicara
94
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

mengenai tujuan sebagai contoh, maka itu berarti, kita memaksudkan tujuan sebagai yang
dikenal.
Dalam kerangka ini kita bisa memahami soal kebenaran barang. Segala barang itu
benar, kalau ia sesuai dengan creator intellectualis (pencipta berakal), dalam hal ini adalah
Tuhan. Dia mencipta segala sesuatu menurut contoh-contoh yang ada pada budi-Nya.
Demikian segala barang yang ada, diciptakan menurut citra-Nya.

3.4. Distinksi-distinksi Berkenaan dengan Finalitas

3.4.1. Finalitas dan Kebaikan


Secara logis ada distinksi antara „kerterarahan“ barang-barang dengan „kebaikan“
mereka. Dipandang dari aspek ontologis, keduanya mempunyai hubungan erat, sebab segala
tujuan tidak lain adalah suatu macam kebaikan. Segala agens bergiat untuk mencapai suatu
tujuan, dan tujuan itu tidak lain adalah kebaikan. Kalau dikatakan bahwa segala agens bergiat
oleh karena suatu tujuan, maka itu sekaligus berarti bahwa segala agens bergiat oleh karena
suatu kebaikan.
Hanya saja, kita perlu bedakan di sini antara kegiatan agens sempurna dan keigatan
agens terbatas. Agens terbatas mengejar kebaikan itu di luar dirinya. Kebaikan baginya
adalah suatu yang relatip, dalam arti, sejauh dia mencapainya, maka dia dikatakan baik.
Tetapi tidak dari dirinya sendiri, ia baik. Bagi agens terbatas, kebaikan diperoleh melalui
suatu partisipasi, maka tujuan mereka ada di luar mereka.
Sedangkan bagi agens tak terbatas (agens sempurna), kebaikan itu tidak dicari di luar
dirinya. Kebaikan itu tidak lain dari dirinya sendiri. Karena itu, ada identitas penuh antara
adanya dengan kebaikannya. Ia merupakan tujuan untuk diriNya sendiri. Kalau ia terarah ke
luar dari diriNya, maka di situ Dia tidak mengejar kebaikan sebagaimana agens terbatas
mengejar kebaikan di luar dirinya, melainkan justru Dia membagi kebaikan yang ada
padaNya.

3.4.2. Finalitas dan Kebetulan


Kalau kegiatan agens „ditentukan“ hanya oleh kebetulan, maka harus disimpulkan
bahwa segala akibat dari kegiatan itu adalah kebetulan. Demikian misalnya, kegiatan orang
membangun rumah, maka rumah yang telah dibangun itu adalah suatu kebetulan juga.
Hipotesis bahwa segala akibat adalah kebetulan, adalah absurd, tidak berarti. Memang tidak
disangkal bahwa kadang-kadang sesuatu bisa terjadi kelihatannya kebetulan. Yang mau
disangkal di sini, adalah bahwa segala akibat sebagai hasil kebetulan.
Persoalan kebetulan baru menjadi intelligibilis, kalau diterangkan dalam cahaya
finalitas. Sebenarnya, kalau dikatakan bahwa sesuatu terjadi kebetulan, maka itu dimaksud,
bahwa sesuatu itu berlangsung tidak menurut jalan atau norma tertentu. Dalam hal itu, agens
tidak mencapai tujuan yang dimaksud. Prinsip finalitas berbunyi, segala agens bergiat oleh
karena suatu tujuan. Itu berarti, segala kegiatan tertuju kepada suatu sasaran. Namun prinsip
itu tidak menetapkan bahwa segala agens selalu de facto mencapai tujuannya, bahwa tendensi
menuju tujuan tidak selalu dipenuhi atau terlaksana.
Umumnya kasus kebetulan adalah sesuatu yang terjadi di luar maksud penggiat atau
penyebab. Mengapa terjadi di luar maksud agens, umumnya disebabkan sifat contingentia
pada agens itu sendiri. Demikian misalnya, seorang seniman besar, yang kecakapannya boleh
dianggap smpurna, de facto menghasilkan suatu karya bermutu rendah. Alasannya bisa ada
pada causa principalis sendiri (ia sakit sehingga tidak konsentrasi pada waktu mengolahnya),
pada causa instrumentalis (alat yang kurang baik), pada causa materialis (bahan kurang

95
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

cocok). Kasus ini kita sebut kebetulan, karena tidak ada kesesuaian antara maksud untuk
menghasilkan karya bermutu tinggi seturut kesempurnaan kecakapan si seniman, dengan apa
yang telah dihasilkan. Peristiwa itu terjadi per accidens (kebetulan) dan tidak per naturam,
sebab berdasarkan kodrat seorang seniman besar, ia semestinya menghasilkan karya bermutu
tinggi. Pengertian kebetulan diterima, namun diterima dalam arti bahwa itu terjadi per
accidens, yakni suatu peristiwa yang berlangsung tidak sesuai maksud penggiat.

DAFTAR PUSTAKA

Aristotle, Aristotle’s Metaphysics, teks yang direvisi oleh W.D.Ross, Clarendon Press,
Oxford, 1936.
Bagus, Lorens, Metafisika, Gramedia, Jakarta, 1991.
Bakker, Anton, Ontologi, Metafiska Umum. Filsafat Pengada dan Dasar-dasar kenyataan.
Kanisius, Yogyakarta, 1992.
Barthen, N., Thomistische Ontologie und Sprachanalyse, München, 1988.
Bergson, Henri, An Introduction to Metaphysics, terj. T.E. Hulme, Indianapolis, 1949.
Copleston, Frederick, A history of Philosophy, Vol. I, II dan III, Doubleday, Ne York, 1985.
Coreth, Emerich, Metaphysik: Ein Methodisch-Systematische Grundlegung, München, 1961.
Dister, Niko Syukur, Filsafat Agama Kristiani. Mempertanggungjawabkan iman akan wahyu
Allah dalam Yesus Kristus, Kanisius, Yogyakarta, 1985.
Gallus, Manser, Das Wesen des Thomismus, Freiburg, 1949.
Heinzmann, Richard, Thomas von Aquin, Kohlhammer, Köln, 1994.
Keller, Albert, Sein oder Existenz, Köln, 1968.
Lanur, Alex, Logika Selayang Pandang, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
Leahy, Louis, Manusia di hadapan Allah. Jilid 3, Komos dan Allah, Kanisius & BPK
Gunung
Mulia, Yogyakarta, 1986.
Lotz, Johannes B., Der Mensch im Sein, Herder, Freiburg, 1967.
Maritain, Jacques, A Preface to Metaphysics. Seven Lectures on Being. New York, 1962.
Pianiezek, Joseph, „Metafisika“ (Kuliah Mimbar), STFK Ledalero, 1991.

96
NORBERTUS JEGALUS METAFISIKA DASAR

Ritter, Joachim, Metaphysik undk Politik. Studien zu Aristoteles und Hegel, Frankfurt, 1969.
Sikora, Joseph J., Inquiry into Being, Loyola Uni.Press, Chicago, 1965.
Taylor, Ricahrd, Metaphysics, Prentice Hall, New Jersey, 1992.
Walter, Kluxen, „Thomas von Aquin: Das Seiende und seine Prinzipien“, dalam V.J.Speck,
Grundprobleme der großen Philosophen des Altertums und des Mittelalters, UTB,
Göttingen, 1972, (177-220).
Walter, WH., Metaphysics, Hutchinson, Worecester, 1991.

97

Anda mungkin juga menyukai