Anda di halaman 1dari 254

EkelukKOTEOLOGI 2021

BAB I
EKOLOGI DALAM RELASINYA DENGAN IMAGO DEI

Alam semesta disebut santu Fransiskus Assisi dengan bahasa bersahabat dan lembut
yakni saudari dan ibu yang jelita.. Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa
rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang
jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena
Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai
buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”.1 Namun sayang sekali,
“saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita
timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan
menyalah-gunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita
bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk
menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa,
tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara
dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan
hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh
kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita lupa bahwa
kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari
partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta
disegarkan oleh airnya.”2
Manusia lupa atau tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa kerusakan lingkungan hidup
merupakan proses degradasi kualitas lingkungan hidup. Kualitas lingkungan hidup yang
tergradasi, pada gilirannya akan juga mendegradasi kualitas hidup manusia hingga level
tragis (hukum sebab akibat atau hukum tabur tuai). “Ketika alam sudah jenuh dengan
kemalangan, kegarangannya akan segera tiba....alam sayang, alam malang, alam garang.”
Mengapa harus terjadi begini? Apakah karena manusia diciptakan segambar dan
serupa dengan Allah (imago Dei) dan diperlengkapi lagi dengan otoritas oleh Allah untuk
berkuasa, maka manusia bisa mendestruksi sesuka hatinya alam dan isinya untuk kepentingan
pribadi? Problem kompleks yang dihadapi oleh Ekologi adalah Egologi. Ekologi ada dalam
pusaran Egologi.

1
Nyanyian Saudara Matahari atau Gita Sang Surya, dalam Karya-karya Fransiskus dari Assisi,
Yogyakarta: Kanisius, 2000, 324-326.
2
Laudato Si, no. 2
2

1.1. Ekologi
Rumah kita bersama secara linguistik ilmiah disapa oikos. Diskursus ilmiah tentang
rumah kita bersama disebut ekologi. Ekologi berasal dari kata Yunani: oikía atau oikos, yang
secara harafiah berarti „rumah‟ dan dan lόgos berarti „pengetahuan‟. Ekologi adalah
diskursus tentang rumah kita bersama. Bumi dianggap sebagai rumah tempat kediaman
manusia dan seluruh makhluk dan benda fisik lainnya. Ekologi sebagai ilmu berarti
pengetahuan tentang lingkungan hidup atau planet bumi ini sebagai keseluruhan.
Istilah ekologi pertama kali dimunculkan oleh Ernst Heinrich Haeckel dalam
tulisannya Generelle Morphologie der Organismen – Morfologi Umum Organisme 1866.
Dalam bukunya Morfologi Umum Organisme (1866) Haeckel berbicara tentang tiga kerajaan
yakni kerajaan protista, kerajaan plantae dan kerajaan animalia. Dalam tiga kerajaan itu
hubungan kekerabatan antara spesimen dibangun secara sangat rapih. Ernest Heinrich
Haeckel memakai istilah ekologi untuk menunjuk kepada keseluruhan organisme atau pola
hubungan antara organisme dan lingkungannya.3
Carlos Linneo seorang naturalis, ahli botanik dan zoologi menyebut ekologi dengan
“Systema Naturae” atau “economia della natura” – ekonomi atau aturan rumah tangga dari
natura. Carlos Linneo membuat sebuah klasifikasi hirarkis tentang dunia natural yakni
regnum animale, regnum vegetabile dan regnum lapideum (diterbitkan di tahun 1735 dan
1770). Dari Systema Naturae per Regna Tria Naturae secundum classes, ordines, genera,
species, cum characteribus, differentiis, synonymis, locis ini, Ernest Heinrich Haeckel
menegaskan dalam bukunya Storia della Creazione bahwa obyek studi dari ekologi ialah
relasi resiprokal antara semua orgnaisme yang hidup sebagai sebuah satu kesatuan, adaptasi
organisme yang hidup dengan lingkungan di sekitarnya, tranformasi dari organisme yang
hidup dan perjuangan dari organisme itu untuk mempertahankan kehidupannya.4
Alam semesta ini merupakan rumah bersama atau lingkungan hidup bersama
(oikoumene), sumber kehidupan dan kesejahteraan bersama (oikonomia ) bagi seluruh
ciptaan baik organisme (mahluk hidup) dan anorganisme (benda-benda tidak hidup).5
Ekologi berurusan dengan hubungan di anta tumbuhan dan hewan dan lingkungan di
mana mereka hidup . Bumi merupakan kediaman bersama manusia dengan makhluk lainnya.

3
Giuseppe Tanzella-Nitti e Alberto Strumia (a cura di), Dizionario Interdisciplinare di Scienza e Fede
(Roma: Urbaniana University Press, 2002), hal. 433.
4
Ibid.,
5
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 18
3

Bumi merupakan rumah yang di dalamnya manusia, hewan, tumbuhan dan materi lainnya
hidup secara berdampingan. Akan tetapi
“ekologi bukan semata-mata berurusan dengan pencemaran. Ia juga bukan
sematamata persoalan tentang kerusakan alam. Lingkungan hidup atau
ekologi mengandung pengertian yang lebih luas, lebih mendalam dan lebih
filosofis menyangkut kehidupan dan interaksi yang terjalin di dalamnya. Ia
menyangkut mata rantai jaring makanan dan siklus yang menghubungkan satu
kehidupan dengan kehidupan lainnya dan interaksi antara semua kehidupan
dengan ekosistemnya, dengan bumi tempat hidup semua kehidupan.
Singkatnya, ekologi berbicara tentang kehidupan dan jaringan kehidupan yang
terdiri dari jaringan di dalam jaringan.”6

1.2. Relasi Manusia dan Lingkungan Hidup


Aktualitas dari tema ini terletak pada sistem interaksi dinamis antara manusia dan
lingkungan hidup. Istilah “sistem” (bilogis, antropologis, sosiologis..) merupakan basis
ekologi. Dalam pendekatan sistemik, “sistem” diletakkan pada tempat pertama karena ia
menghubungkan bagian yang satu dengan yang lain dan menampung bagian-bagian yang
saling berbeda satu sama lain. Dalam pendekatan sistemik ini relasi manusia dengan
lingkungan dipandang dalam suatu visi unitaria dan lingkungan dilihat sebagai sistem relasi
antara komponen-komponen biotik dan abiotik berbeda termasuk di dalamnya relasi dengan
manusia. Ekologi adalah cara baru memandang dunia dan segala isinya. Manusia memiliki
kapasitas untuk menata lingkungan hidupnya. Proses adaptasi manusia dengan alam, tidak
hanya soal fisiologis atau genetik melainkan juga soal kultural di mana habitat duniawi ini
atau dunia biotik dan abiotik menjadi “ecumenic” bagi manusia.7

1.2.1. Manusia, Imago Dei: Interpretasi Biblis


1:26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita  1  o  menjadikan manusia 2  p  menurut gambar q  dan rupa r  Kita,
supaya mereka berkuasa s  atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara  t  dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melatayang merayap di bumi." 1:27 Maka Allah
menciptakan u  manusia v  itu menurut gambar-Nya, w  menurut gambar Allah x  diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan y  diciptakan-Nya mereka. z  1:28 Allah memberkati mereka, lalu Allah
berfirman kepada mereka: a  "Beranakcuculah dan bertambah b  banyak 2 ; penuhilah bumi c  dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas d  ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi. e "

Ini adalah bagian kedua dari pekerjaan pada hari keenam, yaitu penciptaan manusia,
yang secara istimewa penting untuk kita perhatikan, agar kita mengenal diri kita sendiri8:

6
A. Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2014), hal. 44. 46
7
Giuseppe Tanzella-Nitti, Op. Cit., hal. 434
8
Tafsiran Matthew Henry : https://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=1&chapter=1&verse=28
4

1.2.1.1. Manusia Diciptakan Terakhir


Manusia diciptakan terakhir dari semua makhluk, agar tidak dicurigai bahwa ia sudah
menjadi penolong Allah dalam menciptakan dunia. Kecurigaan ini bisa dijawab dengan
pertanyaan ini: di manakah engkau, atau siapa pun dari jenismu, ketika Aku meletakkan
dasar bumi? (Ayb 38:4) . Namun, adalah suatu kehormatan dan juga suatu kebaikan bagi
manusia bahwa ia diciptakan terakhir: suatu kehormatan, sebab cara penciptaannya
berkembang dari apa yang kurang sempurna menjadi yang lebih sempurna; dan juga adalah
suatu kebaikan, sebab tidaklah pantas ia ditempatkan di dalam istana yang dirancang
untuknya sampai istana itu benar-benar dibuat cocok dan diperlengkapi dengan perabotan
untuk menerimanya. Segera setelah diciptakan, manusia memiliki seluruh ciptaan kelihatan
yang ada di depannya, baik untuk direnungkannya maupun untuk dijadikan penghiburannya.
Manusia diciptakan pada hari yang sama dengan binatang-binatang, karena tubuh manusia
yang tercipta dari tanah dibuat memiliki darah daginng seperti binatang-binatang. Dan,
selama ia berada dalam tubuh, ia mendiami bumi yang sama bersama-sama dengan mereka.
Kiranya jangan sampai terjadi bahwa dengan memanjakan tubuh dan keinginan-
keinginannya, kita menjadikan diri kita seperti bintang-binatang yang akan binasa!

1.2.1.2. Manusia Diciptakan Dengan Cara Berbeda


Penciptaan manusia itu lebih merupakan pertanda dan tindakan langsung dari hikmat
dan kuasa ilahi daripada penciptaan makhluk-makhluk lain. Kisah penciptaannya
diperkenalkan dengan cara yang begitu khidmat, dan ditampilkan berbeda dari penciptaan
makhluk-makhluk lain. Tentang ciptaan lain dikatakan, “Jadilah terang,” dan “Jadilah
cakrawala,” dan “Hendaklah bumi, atau air, mengeluarkan” ini dan itu. Tetapi sekarang
kalimat perintah itu diubah menjadi kalimat perundingan, “Baiklah Kita menjadikan
manusia, yang untuknya makhluk-makhluk lain diciptakan: inilah pekerjaan yang harus Kita
kerjakan dengan tangan kita sendiri.” Sebelumnya Ia berbicara sebagai Allah yang memiliki
wewenang, di sini sebagai Allah yang berperasaan. Sebab, anak-anak manusia menjadi
kesenangan-Nya (Ams 8:31). Tampak seolah-olah ini merupakan pekerjaan yang begitu
rindu untuk dikerjakan-Nya. Seolah-olah Ia berkata, “Setelah akhirnya Kita menyelesaikan
bagian-bagian pengantarnya, marilah Kita sekarang mengerjakan pekerjaan utamanya, 
baiklah Kita menjadikan manusia.” Manusia dimaksudkan untuk menjadi suatu makhluk
yang berbeda dari semua makhluk yang sudah diciptakan sampai saat ini. Daging dan roh,
5

sorga dan bumi, harus ditempatkan bersama-sama di dalam dia, dan ia harus dipautkan
kepada kedua dunia itu. Dan oleh sebab itu, Allah sendiri tidak hanya turun langsung untuk
menciptakannya, tetapi juga berkenan mengungkapkan diri-Nya dengan cara seolah-olah Ia
memanggil seorang penasihat untuk mempertimbangkan penciptaan manusia: Baiklah Kita
menjadikan manusia. Ketiga pribadi dalam Allah Trinitas, Bapa, Anak, dan Roh Kudus,
merundingkannya, dan bersepakat di dalamnya, karena manusia, ketika ia dijadikan,
dimaksudkan untuk diabdikan dan dipersembahkan kepada Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Dan
dalam nama yang agung itulah kita, dengan alasan yang baik, dibaptis, sebab kepada nama
yang agung itu jugalah kita berutang atas keberadaan kita. Biarlah Dia mengatur manusia,
Dia yang berkata, baiklah Kita menjadikan manusia.

1.2.1.3. Manusia Diciptakan Menurut Gambar dan Rupa Allah


Mnusia dijadikan menurut gambar dan rupa Allah. Dua kata ini mengungkapkan hal
yang sama dan untuk membuat jelas satu sama lain. Gambar dan rupa  menandakan gambar
yang paling serupa, kemiripan yang paling dekat dari semua makhluk yang kelihatan.
Manusia tidak dijadikan dalam rupa makhluk mana pun yang sudah ada sebelum dia, tetapi
dalam rupa Penciptanya. Namun, tetap saja di antara Allah dan manusia terbentang jarak
yang tak terbatas. Kristus sajalah yang merupakan gambar wujud pribadi Allah, sebagai
Anak Bapa-Nya, karena mempunyai hakikat yang sama. Ini hanya sebagian dari kehormatan
Allah yang diberikan kepada manusia, yang hanya merupakan gambar Allah seperti bayangan
di dalam cermin, atau cetakan wajah raja pada uang logam. Gambar Allah pada manusia
terletak pada ketiga hal berikut ini:
a. Sifat dan pembawaannya
Dalam sifat dan pembawaannya, bukan sifat dan pembawaan tubuhnya (sebab Allah
tidak mempunyai tubuh), melainkan sifat dan pembawaan jiwanya. Kehormatan ini memang
diberikan Allah kepada tubuh manusia, bahwa Firman telah menjadi daging, Anak Allah
mengenakan tubuh seperti tubuh kita, dan sebentar lagi akan mengenakan pada tubuh kita
kemuliaan seperti kemuliaan-Nya. Dan hal ini bisa kita katakan dengan yakin, bahwa Kristus
yang oleh-Nya Allah menjadikan dunia-dunia, bukan hanya dunia yang besar, melainkan juga
dunia yang kecil, yaitu manusia, membentuk tubuh manusia, pada mulanya, sesuai dengan
pola yang dirancang-Nya bagi diri-Nya sendiri dalam kegenapan waktu. Tetapi jiwa
manusialah, jiwa besarnya, yang terutama menampakkan gambar Allah. Jiwa adalah roh, roh
yang berakal dan tidak dapat mati, roh yang berkuasa dan bergerak, yang dalam hal ini
menyerupai Allah, Bapa segala roh, dan Jiwa dunia. Roh manusia adalah pelita TUHAN.
6

Jiwa manusia, ditimbang dari tiga kemampuannya yang mulia, yaitu mengerti, berkehendak,
dan mempunyai kekuatan untuk bergerak, mungkin merupakan cermin yang paling
cemerlang dan jernih di alam raya, yang di dalamnya kita bisa melihat Allah.
b. Tempat dan wewenang
Dalam tempat dan wewenangnya: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa. Oleh karena ia berkuasa atas makhluk-
makhluk yang lebih rendah, maka ia seolah-olah merupakan wakil Allah, atau raja muda di
atas bumi. Makhluk-makhluk yang lebih rendah itu tidak mempunyai kemampuan untuk
takut kepada Allah dan melayani-Nya, dan oleh sebab itu Allah telah menetapkan mereka
untuk takut kepada manusia dan melayaninya. Namun, berkuasanya manusia atas dirinya
sendiri melalui kebebasan kehendaknya lebih menyerupai gambar Allah daripada
berkuasanya dia atas makhluk-makhluk.
c. Kesadaran akan kebaikan dan kebenaran
Gambar Allah pada manusia terletak pada pengetahuan, kebenaran, dan kekudusan
yang sesungguhnya (Ef 4:24; Kol 3:10) dan kejujuran (Pkh 7:29). Dalam seluruh kekuatan
alaminya, ia mempunyai kebiasaan untuk menyesuaikan diri dengan seluruh kehendak Allah.
Pengertiannya melihat perkara-perkara ilahi secara jelas dan benar, dan tidak ada kesalahan
atau kekeliruan apa pun dalam pengetahuannya. Kehendaknya siap tunduk pada kehendak
Allah dalam hal apa saja, tanpa rasa enggan atau menolak. Semua perasaannya teratur, dan ia
tidak mempunyai hawa nafsu atau kemarahan yang tidak pada tempatnya. Pikiran-pikirannya
dengan mudah ditundukkan dan ditetapkan pada perkara-perkara yang terbaik, dan di
dalamnya tidak ada keangkuhan atau sifat tidak mau diatur. Semua kekuatan yang lebih
rendah tunduk pada perintah-perintah dan bimbingan-bimbingan kekuatan yang lebih tinggi,
tanpa pemberontakan apa pun. Demikian kudus, dan demikian berbahagianyalah orangtua
kita yang pertama, dalam memiliki gambar Allah pada mereka. Dan kehormatan ini, yang
diberikan kepada manusia pada mulanya, adalah alasan yang baik mengapa kita tidak boleh
berkata-kata jahat satu terhadap yang lain (Yak 3:9), tidak pula berbuat jahat satu sama lain
(Kej 9:6) dan mengapa kita tidak boleh merendahkan diri kita sendiri untuk melayani dosa,
dan harus mengabdikan diri untuk melayani Allah. Tetapi betapa engkau sudah jatuh, hai
putra fajar! Betapa gambar Allah pada manusia ini sudah rusak! Betapa sedikit yang tersisa
darinya, dan betapa besar kerusakannya! Tuhan memperbaharui gambar Allah pada jiwa kita
dengan anugerah-Nya yang menguduskan!
7

1.2.1.4. Manusia Itu Adalah Pria dan Wanita


Manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, dan diberkati dengan berkat kesuburan
dan perkembangbiakan. Allah berkata, baiklah Kita menjadikan manusia, dan kemudian
langsung diikuti, maka Allah menciptakan manusia. Ia melaksanakan apa yang sudah
bertekad untuk dilakukan-Nya. Bagi kita, berkata dan berbuat adalah dua hal yang berbeda.
Tetapi tidak demikian bagi Allah. Ia menciptakan laki-laki dan perempuan, Adam dan Hawa.
Adam terlebih dahulu diciptakan dari tanah, lalu Hawa terbentuk dari rusuk Adam. Tampak
bahwa untuk semua makhluk lainnya, Allah menciptakan banyak pasangan, tetapi untuk
manusia, bukankah Dia menjadikannya satu? (Mal 2:15), meskipun ada roh yang tinggal.
Dari hal ini Kristus mengumpulkan alasan untuk melawan perceraian (Mat 19:4-5). Bapak
kita yang pertama, Adam, dibatasi untuk hanya memiliki satu istri. Dan, seandainya ia
mengusirnya, tidak ada orang lain yang bisa dinikahinya, yang dengan jelas menunjukkan
bahwa ikatan perkawinan itu tidak boleh dicerai-beraikan dengan seenaknya. Para malaikat
tidak diciptakan laki-laki dan perempuan, sebab mereka tidak harus mengembangbiakkan
jenis mereka (Luk 20:34-36). Tetapi manusia dijadikan laki-laki dan perempuan, agar
sifatnya bisa dikembangbiakkan dan bangsa manusia diteruskan. Api dan lilin, benda-benda
penerang di dunia bawah ini, karena akan habis, dan padam, mempunyai kekuatan untuk
menerangi yang lain. Tetapi tidak demikian dengan benda-benda penerang di langit: bintang
yang satu tidak menyalakan bintang yang lain. Allah hanya menjadikan satu laki-laki dan satu
perempuan, agar semua bangsa manusia mengenal diri mereka sendiri sebagai keturunan dari
satu darah, dari nenek moyang yang sama, dan dengan demikian dapat tergugah untuk
mengasihi satu sama lain. Allah, setelah membuat mereka mampu meneruskan sifat yang
telah mereka terima, berkata kepada mereka,  beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumi. Di sini Ia memberi mereka,
a. Sebuah warisan yang luas: Penuhilah bumi. Inilah yang dikaruniakan kepada
anak-anak manusia. Mereka diciptakan untuk mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26).
Inilah tempat di mana Allah telah menetapkan manusia untuk menjadi hamba dari
pemeliharaan-Nya dalam memerintah makhluk-makhluk yang lebih rendah, dan, seolah-olah,
untuk menjadi otak dari bola dunia ini dan untuk menerima kelimpahan Allah, yang padanya
makhluk-makhluk lain hidup, tetapi tidak mengetahuinya. Juga untuk mengumpulkan pokok-
pokok pujian bagi-Nya di dunia bawah ini, dan membayarkannya kepada Sang Atasan di atas
(Mzm 145:10).
8

b. Allah memberi mereka keluarga yang amat banyak dan langgeng, untuk menikmati
warisan ini, dengan mengucapkan berkat atas mereka, yang karena itu keturunan mereka akan
meluas sampai ke ujung-ujung bumi dan terus ada sampai di pengujung waktu. Kesuburan
dan pertambahan bergantung pada berkat Allah: Obed-Edom mempunyai delapan
anak, sebab Allah telah memberkati dia (1Taw 26:5). Oleh karena berkat inilah, yang
diperintahkan Allah pada mulanya, maka umat manusia masih tetap ada, dan
seiring keturunan yang satu pergi, keturunan yang lain datang.

1.2.1.5. Allah Memberikan Otoritas Kepada Manusia


Allah memberikan kepada manusia, setelah Ia menjadikannya, kekuasaan atas
makhluk-makhluk yang lebih rendah, atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara.
Meskipun manusia tidak membuat persediaan bagi ikan atau burung, ia berkuasa atas
keduanya, terlebih lagi atas segala binatang melata yang merayap di bumi, yang lebih
berada di bawah pemeliharaannya dan di dalam jangkauannya. Dengan ini Allah bermaksud
memberikan kehormatan kepada manusia, supaya ia lebih terdorong untuk mendatangkan
kehormatan bagi Penciptanya. Kekuasaan ini telah berkurang banyak dan terhilang karena
kejatuhan. Namun demikian, pemeliharaan Allah melanjutkan banyak dari kekuasaan itu
kepada anak-anak manusia sebanyak yang dibutuhkan untuk melindungi dan menyokong
hidup mereka. Dan anugerah Allah telah memberikan kepada orang-orang kudus suatu hak
yang baru dan lebih baik atas makhluk lain daripada hak yang terhilang karena dosa. Sebab,
semua adalah kepunyaan kita jika kita kepunyaan Kristus (1Kor 3:22).

1.2.2. Manusia, Imago Dei: Intepretasi Teologis


Ada interpretasi berbeda terhadap ekspresi imago Dei. Intepretasi patristik: Yustinus
Martir, Irenius dan Origines memakai dua term Ibrani berbeda untuk menyebut imago Dei.
Term ṣelem dipakai untuk menyebut gambar Allah dan term demût untuk menyebut rupa
Allah. Term ṣelem menunjuk kepada dimensi corporal atau natural (forma jasmaniah)
manusia dan term demût menunjuk kepada dimensi supernatural (forma rohaniah) manusia.
Ada pula paham yang mengatakan bahwa ungkapan imago Dei itu bermakna kesegambaran
dan keserupaan corporal manusia dengan Allah di satu sisi dan di sisi lain kesegambaran dan
keserupaan spiritual manusia dengan Allah. Tetapi dimensi imago Dei terpantul hanya dalam
salah satu aspek manusia saja walaupun tiada polarisasi antara ṣelem – demût. Imago Dei itu
terletak pada admosfir immaterial atau non-corporal manusia.9 Ada lagi refleksi teologis lain

9
Robert P. Borrong, Op. Cit., 221
9

tentang imago Dei yang non-corporal. Imago Dei itu adalah kecakapan untuk membedakan
yang baik dan yang jahat atau kemampuan etis. Gambar Allah adalah sifat Adam ketika ia
masih memiliki pengertian yang benar, berpedoman pada akal, nafsunya berimbang, dan
bakat-bakatnya memancarkan keagungan Penciptanya. Gambar Allah tampak dalam dua
unsur pokok, yaitu kecerdasan akal budi dan ketulusan hati. Tetapi, tidak ada bagian dari
manusia, bahkan tubuhnya, yang tidak dihiasi dengan pancaran sinar kemuliaan, yaitu
kemuliaan gambar Allah.
Menurut Luther, gambar Allah menunjukkan bahwa Adam diterangi dengan
pengetahuan yang benar tentang Allah dan ketulusan yang tinggi untuk mengasihi sesamanya
dan Allah. Luther membedakan kesegambaran khusus dengan kesegambaran umum.
Kesegambaran khusus diartikannya sebagai kebenaran asli yang melekat pada manusia, yang
misalnya tampak dalam penghargaannya terhadap kebenaran dan kebaikan. Sedangkan
kesegambaran umum adalah relasi manusia kepada dunia yang dinampakkan dalam
kedudukannya yang memerintah ciptaan lainnya.10

1.2.3. Manusia Merusak Alam


Pertanyaan ekologis yang harus segera dijawab ialah apakah karena manusia
diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (imago Dei) dan dilengkapi dengan otoritas
dan mandat oleh Allah untuk berkuasa, maka manusia dapat melakukan eksploitasi dan
destruksi sesuka hatinya terhadap alam untuk kepentingan pribadi?
Max Weber dan Martin Heidegger pernah mengingatkan kaum kristiani bahwa bumi
dan isinya yang didesakralisasi oleh hukum prerogatif ilahi yang secara biblis dikatakan
“kuasailah bumi” akan menjadi obyek manipulasi dan destruksi besar-besaran oleh manusia
zaman modern yang berpikir individual dan berperilaku egois.11

1.2.3.1. Bentuk Pengrusakan Alam Menurut Laudato Si


Kerusakan lingkungan hidup dapat disebabkan dua faktor, yakni peristiwa alam dan
ulah manusia tak bertanggungjawab. Sebagian masalah kerusakan lingkungan hidupa
disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan lagi pula egoistik. Kerusakan
lingkungan hidup ada berbagai bentuk, di antaranya  kerusakan ekosistem, pencemaran (air,
tanah, udara, hutan) dan budaya buang sampah di mana-mana. 

10
Helmut Thielicke, Theological Ethics I (Michigan: Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 154
11
Giuseppe Tanzella-Nitti, Op. Cit., 440
10

=Ekploitasi Alam
Alam ini sedang menjerit kerusakan. “Saudari ini sekarang menjerit karena segala
kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan
dan menyalah-gunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan
berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan
yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang
kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi,
terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh
kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita lupa bahwa kita sendiri
dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita
menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.12

Pada tahun 1971, delapan tahun setelah Pacem in Terris, Paus Paulus VI berbicara
tentang masalah ekologi sebagai “akibat tragis” dari aktivitas egoistik manusia yang tidak
terkendali: “Karena eksploitasi alam yang sembarangan, manusia mengambil risiko merusak
alam dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini”.13

=Ada Pencemaran Lingkungan


Ada beberapa bentuk pencemaran laingkungan yang dialami orang setiap hari. Polusi
udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan
menyebabkan jutaan kematian dini. Orang jatuh sakit, misalnya, karena terus menghirup asap
bahan bakar yang digunakan untuk masak atau pemanasan rumah. Ada lagi polusi yang
mempengaruhi semua orang, yang disebabkan oleh transportasi, asap industri, zat yang
memberikan kontribusi pada pengasaman tanah dan air, pupuk, insektisida, fungisida,
herbisida dan agrotoxins pada umumnya. Teknologi yang, dalam kaitan dengan kepentingan
bisnis, menawarkan diri sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan masalah-masalah ini,
pada kenyataannya, biasanya tidak mampu melihat jaringan hubungan yang tersembunyi
antara banyak hal, lalu kadang-kadang memecahkan satu masalah hanya untuk menciptakan
yang lain.14

12
Laudato Si, no. 2
13
Surat Apostolik Octogesima Adveniens (HUT ke-80 Rerum Novarum; 14 Mei 1971), 21: AAS 63 (1971), 416-
417; Laudato Si, no. 4
14
Laudato Si, no. 20
11

Juga perlu diperhitungkan pencemaran yang disebabkan limbah, termasuk limbah


berbahaya yang hadir dalam pelbagai daerah. Setiap tahun dihasilkan ratusan
juta ton limbah, yang sebagian besar tidak membusuk secara biologis: limbah domestik dan
perusahaan, limbah pembongkaran bangunan, limbah klinis, elektronik dan industri, limbah
yang sangat beracun dan radioaktif. Bumi, rumah kita, mulai makin terlihat sebagai sebuah
tempat pembuangan sampah yang besar. Di banyak tempat di dunia, orang lansia mengeluh
bahwa lanskap yang pernah indah sekali sekarang ditutupi dengan sampah. Limbah industry
maupun bahan kimia yang digunakan di kota dan daerah pertanian dapat menyebabkan
akumulasi dan kerusakan pada organisme penduduk lokal, juga bila kadar racun di tempat itu
masih rendah. Sering kali baru diambil tindakan ketika kerusakan permanen kesehatan
masyarakat telah terjadi.15
Banyak zat beracun yang tertabur di “rumah besar kita” – di bumi pertiwi ini.
Modernisasi dan kemajuan teknologi di dalam kehidupan telah menyebabkan pencemaran
udara yang serius.16 Mata rantai hubungan timbal-balik antara komponen biosfir mengalami
gangguan keseimbangan. Akibatnya ialah eksistensi biosfir yang menjadi tempat kehidupan
manusia, menjadi terancam oleh krisis ekologis dalam wujud kerusakan lingkungan.17

=Membuang Sampah
Masalah-masalah ini berkaitan erat dengan budaya ‘membuang’ yang menyangkut
baik orang yang dikucilkan maupun barang yang cepat disingkirkan menjadi sampah.
Hendaknya kita menyadari, misalnya, bahwa sebagian besar kertas yang diproduksi, terbuang
dan tidak didaur ulang. Sulit bagi kita untuk mengakui bahwa cara kerja ekosistem alamiah
memberi kita teladan: tanaman menyatukan pelbagai bahan yang memberi makan kepada
herbivora; mereka ini pada gilirannya menjadi makanan bagi karnivora, yang menghasilkan
berlimpah sampah organic untuk menumbuhkan generasi baru tanaman. Tetapi sistem
industri kita, di akhir siklus produksi dan konsumsi, belum mengembangkan kapasitas untuk
menyerap dan menggunakan kembali limbah serta produk sampingan. Kita belum berhasil
mengadopsi model produksi yang melingkar, yang mampu melestarikan sumber-sumber daya
untuk generasi sekarang dan masa depan, dengan membatasi sebanyak mungkin penggunaan
sumber daya yang tidak terbarukan, meminimalkan penggunaannya, memaksimalkan
penggunaan yang efsien, dengan cara penggunaan kembali dan daur ulang. Memberi
15
Laudato Si, no. 21
16
P Michael, Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium, Jakarta, Universitas
Indonesia, 1995, hlm.437
17
Suwasono Heddy, Sultiman B. Soemitro, Sardjono Soekartomo, Pengantar Ekologi, Jakarta, Cv,
Rajawali, 1979, hlm.111
12

perhatian serius kepada masalah-masalah ini menjadi salah satu cara menangkal budaya
‘membuang’ yang akhirnya mempengaruhi seluruh planet. Namun kita harus mengakui
bahwa kemajuan dalam hal ini masih jauh dari cukup.18

1.2.3.2. Nota Pastoral KWI 2012


Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2012 berjudul:  KETERLIBATAN
GEREJA DALAM MELESTARIKAN KEUTUHAN CIPTAAN. Dengan memilih judul tersebut,
Gereja ingin mengajak umat Katolik untuk memberi perhatian, meningkatkan kepedulian dan
tindakan partisipatif dalam menjaga, memperbaiki, melindungi dan melestarikan keutuhan
ciptaan dari berbagai macam kerusakan. Nota Pastoral ini dimaksudkan sebagai bahan
pembelajaran pribadi atau bersama bagi seluruh umat dan siapapun yang mempunyai
kepedulian terhadap masalah-masalah lingkungan hidup dan usaha-usaha untuk  menjaga, 
melindungi dan memulihkannya.
Nota Pastoral ini merupakan hasil hari studi para Uskup pada tanggal 5-7 November
2012 tentang ekopastoral. Para uskup menyadari pentingnya lingkungan hidup untuk
kelangsungan hidup semua ciptaan namun juga prihatin terhadap berbagai macam kerusakan
alam dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.  Di Indonesia, kerusakan alam terus terjadi dan
dari waktu ke waktu kian mengkhawatirkan. Oleh karena itu, para uskup sepakat untuk
meningkatkan pelayanan karya pastoral di bidang lingkungan hidup atau eko pastoral. 
Nota Pastoral ini secara berurutan akan mengupas masalah lingkungan hidup dan
kerusakannya, dasar-dasar panggilan Gereja untuk melestarikan keutuhan ciptaan Tuhan dan
harapan para uskup sehubungan dengan pastoral lingkungan hidup yang bias diupayakan oleh
Gereja Katolik  di Indonesia sebagai persekutuan umat beriman. 

=Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup,
termasuk manusia,  berupa  benda, daya dan keadaan yang mempengaruhi kelangsungan
makhluk hi-dup,  baik langsung maupun tidak langsung. Dalam lingkungan hidup terdapat
ekosistem yaitu unsur-unsur lingkungan hidup, baik yang hidup (biotik) seperti manusia,
tumbuhan, hewan, maupun yang  tidakhidup (abiotik) sepertitanah, air dan udara yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi.
Manusia bersama dengan ciptaan yang lain merupakan  bagian dari  lingkungan hidup
dan keduanya mempunyai hubungan timbale balik yang amat erat. Lingkungan hidup
menyediakan berbagai kebutuhan manusia, menentukan dan membentuk kepribadian,
18
Laudato Si, no. 22
13

budaya, pola, dan model kehidupan masyarakat. Sedangkan manusia dengan segala


kemampuannya  dapat menentukan dan mempengaruhi perubahan-perubahan dalam
lingkungan hidup.  Jika manusia mampu hidup selaras dan seimbang dengan lingkungan
hidup, kehidupannya dan kehidupan makhluk lain pun akan berlangsung dengan baik.

=Kondisi Yang Memprihatikan


Pada kenyataannya, manusia sering  menempatkan diri sebagai yang berkuasa
terhadap alam ciptaan dan pusat segala-galanya. Manusia juga sering beranggapan  bahwa
alam  menyediakan berbagai sumber daya yang tak terbatas dan mampu tercipta kembali 
secara cepat. Alam dianggap memiliki kemampuan sendiri untuk mengatasi dampak-dampak
negative dari eksploitasi dan pencemaran. Pemahaman ini mendorong manusia untuk  sema-
kin berperilaku rakus dan serakah.  
Kerusakan lingkungan memang  tidak semata-mata disebabkan oleh ulah manusia. 
Alam bias rusak dan hancur karena factor alam juga seperti gunung meletus, gempa bumi,
dan tsunami. Namun perilaku manusia yang menempatkan dirinya sebagai subyek dan alam
sebagai obyek untuk dikuras kekayaannya dan dicemari menjadi penyebab terbesar kerusakan
lingkungan hidup saat ini
Kerusakan lingkungan hidup ditandai dengan adanya perubahan langsung dan tidak
langsung terhadap ekosistem aslinya yang melampaui ukuran batas kemampuan lingkungan
hidup untuk dapat tetap berfungsi dengan baik. Kerusakan lingkungan   yang saat ini
terjadi lebih disebabkan oleh aktivitas pengambilan sumber daya alam yang tidak terkendali
di berbagai bidang seperti:
@Pertambangan
Kegiatan pertambangan, khususnya yang bersifat terbuka semakin marak. Hingga
tahun 2012 tercatat sebanyak 10.677 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah dikeluarkan
oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari jumlah IUP tersebut, Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) mencatat bahwa sejak
tahun 2004 hingga 2012 terdapat 1.724 kasus penambangan yang merusak kawasan hutan
secara ilegal. Pada tahun 2004, sebanyak 13 unit usaha tambang beroperasi di kawasan hutan
lindung dan membabat areal hutan seluas 950.000 hektar. Di satu sisi, industry pertambangan
memberikan manfaat terhadap perekonomian domestik, membuka lapangan kerja secara
nasional dan regional, serta mengembangkan unit-unit ekonomi di sekitar kawasan tambang.
Di sisi lain, pembukaan kawasan hutan yang dimulai dari penebangan hingga penggalian dan
pembuangan limbah hasil tambang telah mengubah lahan dan merusak ekosistem setempat.
14

Reklamasi  lahan bekas tambang tidak akan mampu mengembalikan keadaan  semula. 


Setidaknya akan tetap tersisa wilayah dengan lobang bekas tambang.
Pengambilan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlanjutannya 
mengakibatkan sumber daya alam menipis. Laju kecepatan pengambilan lebih tinggi daripada
laju kecepatan tumbuh. Sumber daya alam yang awalnya dimanfaatkan sebagai modal
pembangunan akan semakin habis dan biaya perbaikan lingkungan semakin mahal. Di
samping itu, konflik dan kekerasan antar masyarakat atau masyarakat dengan
pemerintah akan semakin meningkat seiring terbatasnya akses pada sumber daya alam dan
lahan untuk mendukung ke-hidupan. Masyarakat, pengusaha, dan pemerintah  akan saling
menyalahkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup. Bagi masyarakat sekitar
tambang, ganti rugi yang diterima sering tidak memadai dibandingkan dengan penderitaan
yang harus mereka alami karena kehilangan  mata pencarian dan akibat kerusakan
lingkungan. Selain itu, masyarakat juga tidak lebih sejahtera karena hasil tambang
lebih  banyak dinikmati oleh pemilik modal dan para pekerja yang sebagian besar berasal dari
luar daerah penambangan. 
@Perkebunan
  Usaha perkebunan skala besar jauh lebih berkembang dibandingkan perkebunan
rakyat. Data Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa pertambahan luas perkebunan kelapa
sawit selama 10 tahun terakhir meningkat 88% yaitu dari 4,15 juta hektar di tahun 2000
menjadi 7,8 juta hektar pada tahun 2010. Sementara luas perkebunan karet relatif tetap dari
3,37 juta hektar pada tahun 2000 menjadi 3,44 juta hektar pada tahun 2010. Sektor
perkebunan telah memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan lapangan kerja bagi
masyarakat, memberikan nilai tambah terhadap pendapatan daerah dan ikut menumbuhkan
sector jasa transportasi. Meskipun begitu, pemberian ijin kawasan untuk perkebunan
seringkali menimbulkan permasalahan dengan masyarakat setempat karena mereka tidak 
diakui keberadaannya oleh pemerintah dan dianggap ilegal. Tiadanya pengakuan atas hak
hidup masyarakat adat maupun masyarakat lain yang sudah lebih dulu tinggal dan
beraktivitas, membuat posisi mereka sangat lemah dan mudah dipermainkan.  Kelompok
masyarakat ini belum terwadahi dalam peraturan-peraturan pemerintah.  “Perasaan terusir
dari lingkungannya sendiri, ketidakmampuan untuk ikut menikmati hasil bumi  yang 
dipijaknya, dampak ekonomi dan sosial yang tidak selalu positif, semuanya menjadi dampak
yang harus ditanggung oleh masyarakat.” Selain menimbulkan masalah sosial, perkebunan
skala besar juga menyisakan kerusakan lingkungan yang harus diderita oleh alam dan
manusia. Penggantian jenis tana-man menjadi monokultur, penggunaan pupuk dan pestisida
15

yang terus menerus, pengambilan air tanah untuk keperluan tanaman, menjadikan   
masyarakat kecil sebagai korban yang tidakberdaya.     
@Kehutanan
Industri kehutanan telah ikut meningkatkan pendapatan negara lewat ekspor kayu
tropis, dalam bentuk log, kayu gergajian, kayu lapis dan produk kayu lainnya.  Meskipun
begitu, fungsi hutan yang sangat penting untuk kehidupan saat ini sudah berkurang seiring
dengan kerusakannya yang semakinluas. Berdasarkan data Ditjen Bina Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan, luas lahan kritis dan sangat
kritis tahun 2011 telah mencapai 29,3 juta hektar. Kerusakan hutan disebabkan oleh beberapa
factor antara lain:  “Penebangan kayu yang berlebihan, praktik illegal logging,  semakin luas-
nya areal penggunaan lain di mana hutan dapat dikonversi  untuk kepentingan  di luar sek-tor
kehutanan seperti perkebunan, pertambangan,  dan  permukiman.  Kerusakan tersebut tidak
lepas dari peran para pengambil kebijakan yang sering hanya mendasarkan kebijakan pada
pertimbangan keuntungan ekonomis semata. Pengawasan terhadap pengelolaan hutan yang
lestari masih lemah, sanksi hokum terhadap para pelanggar peraturan tentang industry
kehutanan juga masih rendah. Di sampingitu, kesadaran  masyarakat akan pentingnya hutan
untuk kehidupan belum merata. Fungsi sumber daya hutan masih tidak dipahami, sehingga
kerusakan lingkungan dari hulu hingga hilir suatu kawasan tidak dilihat sebagai
permasalahan sebab-akibat melainkan permasalahan parsial termasuk penanganannya. 
Kerusakan hutan  yang mengakibatkan bencana alam membuat biaya hidup masyarakat
makin mahal. Biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk mengatasi banjir, tanahlongsor,
kekeringan dan krisis air bersih, perbaikan fasilitas public seperti jalan, bangunan sekolah dan
pemerintahan,  serta terganggunya kegiatan ekonomi masyarakat,   akan semakin meningkat. 
Masyarakat akan menanggung biaya hidup yang semakin tinggi karena pemerintah tidak akan
mampu memenuhi kebutuhan dasar  mereka.  
@Pencemaran tanah
Pencemaran tanah adalah keadaan di mana bahan-bahan kimia buatan manusia masuk
dan mengubah lingkungan tanah alami. Tanah dimengerti sebagai permukaan bumi yang
banyak  dihuni oleh makhluk hidup, terutama manusia, tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
Pencemaran initerjadi karena  masuknya  limbah cair atau bahan kimia industri, limbah
pertanian, dan limbahrumahtangga ke dalam tanah yang akan mengubah metabolisme dan
mikroorganisme dalam tanah, memusnahkan spesies dan mengganggu rantai makanan  dalam
tubuh manusia. Bahan kimia akan meresap ke dalam air bawah tanah sehingga
mempengaruhi kualitas air tanah. Hal ini terjadi sebagai akibat penggunaan pupuk, pestisida,
16

dan limbah tidak terurai seperti plastik, kaleng, limbah cair, dan air hujan yang tercampur
dengan senyawa kimia di udara. Pencemaran ini akan  berdampak negative terhadap
ekosistem yang hidup di dalam dan di atas tanah. Kualitas hidup manusia juga akan
mengalami penurunan sebagai akibat rantai makanan yang tercemar  dan  menurunnya fungsi
tanah sebagai sumber kehidupan   yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup.
@Pencemaran udara
Pencemaran udara dapat disebabkan oleh kejadian alam seperti letusan gunung berapi
dan oleh kegiatan manusia di bidang transportasi, industri, kegiatan rumahtangga, dan usaha-
usaha komersial. Berbagai kegiatan ini mengakibatkan terjadinya pencemaran udara. 
Pembakaran sampah menyebabkan pencemaran udara dalam bentuk senyawa kimia termasuk
partikel logam berat. Alat pemantau udara otomatis yang dipasang di 43 stasiun pantau di 10
kota, menunjukkan bahwa terdapat partikel dengan ukuran di bawah 10 mikrometer (PM10)
sehinggaakanikutterhirup dan masukkedalampernafasan. Hal iniakanmengganggukesehatan
dan dalam jangka panjang bersifat racun. Kota-kota di Jawa, Bali, Sumatera, dan
beberapa kota di Kalimantan yang memiliki kegiatan industri yang padat menunjukkan
adanya peningkatan konsentrasi pencemaran yang lebih tinggi dibandingkan wilayah
kota lainnya.
Sejak tahun 1998, Indonesia telah dinyatakan sebagai negara dengan kondisi
pencemaran udara di perkotaan yang terburuk di mana tingkat konsentrasi dari tiga jenis
parameter yang dipantau yaitu kadar timbal, nitrogen dioksida, dan total pada tantersuspensi
melebihi standar WHO. Kadar timbal di udara Jakarta mencapai 29 mg/m3sedangkan standar
WHO hanya 0,5 mg/m3. Penumpukan kadar timbale dalam darah sebesar 10 ug/dl akan
menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak. Dampak asap dari kebakaran hutan juga dapat
menimbulkan sakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), asma, radang paru-paru, dan
penyakit mata. Jumlah penderita ISPA di wilayah kebakaran hutan lebih tinggi 1,8 hingga
3,8 kali disbanding sebelum terkena asap. Hasil pembakaran bahan bakar untuk kegiatan
industri dan transportasi menghasilkan gas nitrogen di udara yang di perkotaan lebih tinggi 0-
100 kali dibandingkan dengan wilayah pedesaan.  Gas ini bersifat racun bagi paru-paru.
Standar WHO untuk NO2 adalah 40 mg/m3 sedangkan Jakarta mencapai 250 mg/m3. Dengan
ber-tambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas masyarakat, dapat dipastikan
bahwa tingkat konsentrasi dari masing-masing jenis parameter di atas meningkat.
@Pencemaran air
Indonesia membutuhkan dana Rp 37 trilyun untuk penyediaan air bersih. Kebutuhan
air ber-sih di Indonesia belum memadai. Dari 380 PDAM yang ada di Indonesia, baru sekitar
17

140 PDAM yang tercatat mampu menyalurkan air yang sehat. Target pembangunan milenium
tahun 2015 sebanyak 68% penduduk Indonesia terlayani air bersih belum mampu dicapai
karena saat ini yang tercapai baru 47%. Jumlah penderita diare per tahun juga masih sangat
tinggi yaitu 120 juta per tahun akibat minimnya air bersih. Kekurangan air bersih ini se-
makin diperparah oleh pencemaran air yang dapat diartikan sebagai suatu perubahan kea-
daan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat
aktivitas manusia. Perubahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas air hingga ketingkat
yang membahayakan dan air tidak bias digunakan sesuai peruntukannya. Pusat Sarana Pe-
ngendalian Dampak Lingkungan mencatat bahwa pada tahun 2011 dari 51 sungai besar di
Indonesia, 32 di antaranya tercemar berat. Instalasi pengolah air limbah baru terdapat di 11
kota di Indonesia dan hanya mampu melayani 2,5 juta jiwa. Limbah pemukiman, limbah
pertanian dan limbah industri  semakin merusak air, baik air permukaan maupun air bawah
tanah. Keadaan ini diperparah oleh pemahaman bahwa alam merupakan tempat sampah
raksasa yang dapat mengolah limbahnya secara alami, baik limbah cair maupun limbah pa-
dat, dan sungai menjadi salah satu media tempat sampah yang paling gampang dipakai.
Akibatnya, manusia sendiri yang harus menanggung dampaknya. 
@ Sampah
Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas menyatakan bahwa sampah menjadi
permasalahan pelik khususnya hampir di setiap kota besar.  Jumlah sampah yang terangkut
dan mengalami proses pengolahan masih sangat rendah. Dari 1 juta meter kubik sampah,
baru 42% yang dapat diolah dengan baik, sedangkan sisanya menjadi permasalahan ling-
kungan. Budaya bersih dan usaha mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan masih  jauh
dari harapan. Pemikiran bahwa sampah merupakan urusan dan tanggung jawab pemerintah
untuk mengelolanya masih sangat kental. Padahal, sampah merupakan sumber pencemar
tanah, air, dan udara. Bau yang menyengat dan rembesan air yang mengandung senyawa
kimia yang berasal dari pembusukan sampah akan mengganggu kesehatan masyarakat.
@Perubahan iklim
Dampak perubahan iklim global juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian di tingkat nasional maupun internasional, temperatur rata-rata
tahunan Indonesia akan meningkat 0,30C, dan secara keseluruhan kelembaban udara akan
berkurang 2-3%, sehingga akan berpengaruh pada curah hujan dan pola bulan basah – bulan
kering. Berkurangnya curah hujan akan berdampak pada tingginya resiko kekeringan,
ketidakpasti-an ketersediaan air. Semuanya akan mengganggu kegiatan ekonomi dan kegiatan
pertanian sehingga mengancam ketahanan pangan. Di sisi lain, meningkatnya curah hujan
18

akan meningkatkan resiko banjir yang tentunya akan menimbulkan kerugian yang sangat
tinggi. Kerugian banjir Jakarta tahun 2007 diperkirakanRp 4,1 trilyun. Perubahan iklim yang
menyebabkan meningkatnya kejadian banjir dan kekeringan otomatis juga akan
menyebabkan terjadi penyebaran infeksi dan bibit penyakit seperti malaria dan demam
berdarah. Penyebaran infeksi melalui air dapat berupa diare dan kolera.
Kenaikan suhu juga akan berdampak pada meningkatnya permukaan air laut. Saat ini
telah terjadi kenaikan permukaan laut rata-rata 1-3 mm per tahun di wilayah perairan  Asia.
Padahal sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir. Kegiatan ekonomi di
sepanjang 81.000 km wilayah pesisir member sumbangan sebesar 25% dari pendapatan
nasional. Kenaikan permukaan air laut ini juga akan berdampak kepada banjir, meningkatnya
salinitas atau masuknya air asin keperairan darat. Keduanya akan berdampak pada kegiatan
pertanian dan rumahtangga. Bahkan dalam cuaca ekstrim yang menyebabkan kenaikan
permukaan laut setinggi satu meter akan mampu menggenangi 405.000 hektar wilayah pesisir
terutama bagian utara Jawa, bagian timur Sumatera, dan bagian utara Sulawesi. 
Selain itu, gejala penyimpangan suhu, atau yang dikenal dengan nama El Nino  akan
berdampak pada kematian benih ikan sehingga akan mengurangi ketersediaan ikan bagi
manusia.  Penyimpangan suhu juga akan menyebabkan kebakaran hutan. Pada tahun 1997-
1998 terjadi kebakaran hutan seluas 9,7  hektar, dan kebakaran lahan gambut, yang selain
dipicu oleh kenaikan suhu juga karena pembukaan lahan seluas 2 juta hektar. Padahal lahan
gambut memiliki kemampuan mengikat karbon 30 kali lebih tinggi daripada tutupan hutan
lainnya.   Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi keempat terbesar dunia.
Saat ini bisa terlihat adanya tiga krisis yang terjadi di dalam biosfir yaitu krisis
sumber daya alam: krisis ini meliputi lingkungan, perairan, tanah serta udara.
Kehidupan dan segala perosesnya sangat tergantung pada tiga komponen
biosfir tersebut. Krisis sumber daya alam ini timbul terutama sebagai akibat
“eksplotasi yang dilakukan oleh manusia terhadap tiga sumber daya alam
tersebut. Sebagai contoh misalnya, pembuatan jalanjalan, gedung-gedung dan
lain-lain instansi sangat mengurangi areal vegetasi. Sebagai hasilnya adalah
pengurangan jumlah gas oksigen yang dibebaskan ke udara oleh tumbuhan
hijau. Jumlah oksigen ini juga semakin kurang lagi. Manakala kita melakukan
pembakaran bahan-bahan fosil untuk mendapatkan sumber energi, krisis
kependudukan dan kemiskinan. Sudah menjadi hukum alam bahwa semakin
kompleks susunan tubuh organisme semakin besar pula energi yang
dipergunakan untuk pemeliharaan sistem-sistemnya. Manusia sebagai
organisme yang kompleks susunan tubuhnya, tentu membutuhkan banyak
energi guna menjamin kelangsungan hidupnya. Kebutuhan energi ini dipenuhi
dengan cara mengambil makanan secara langsung baik dari hewan maupun
tumbuhan dan Krisis di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Adanya
industrialisasi di kota-kota besar menyebabkan arus urbanisasi penduduk
untuk mencari nafka. Arus urbanisasi ini semakin meningkat, hingga tempat-
19

tempat pemukiman penduduk di kota-kota semakin membengkak, dan kota


akhirnya semakin padat. Kegiatan-kegiatan perindustrian serta aktivitas
penduduk sehari-hari di tempat-tempat itu semuanya menyebabkan
pencemaran lingkungan baik udara, darat maupun perairan. Seringkali
memang teknologi dan ilmu pengetahuan diterapkan hanya didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan ekonomis, kepentingan-kepentingan politik dan
bahkan alasan-alasan yang hanya bersifat peribadi. Konsekuensi ekologis
jarang sekali terfikirkan.19

Bumi kita sedang berdarah-darah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia
tidak ramah pada lingkungan hidup. Pandangan sekular berserta ilmu pengetahuan dan
teknologi yang tercabut dari akar spiritualitas dan agama menjadikan bumi kita kian kritis
dan nyaris mencapai titik kehancuran. Oleh sebab itu, nilai-nilai agama harus dibangun untuk
merawat keseimbangan alam dari situasi yang sudah sangat khaos. Mungkin tidak semua
orang menyadari bahwa untuk berdamai dengan alam, orang harus berdamai dengan tatanann
spiritual. Untuk berdamai dengan Bumi, orang harus berdamai dengan Langit.20

1.3. Pola Relasi Manusia Dengan Alam


Pola Relasi Manusia dan Alam Menurut Robert P. Borrong, terdapat tiga pola
perkembangan hubungan manusia dengan alam, yaitu:

1.3.1. Manusia Menguasai dan Mengeksploitasi Alam


Teknologi memungkinkan manusia dapat mengubah lingkungan alamiah menjadi
lingkungan buatan. Manusia bisa mengubah alam sesuai kebutuhannya dengan menggunakan
kemampuannya berbudaya. Makin tinggi kebudayaan manusia makin beragam kebutuhannya.
Kebutuhan manusia sering tak bisa dipisahkan dari keinginannya yang tak terbatas. Oleh
sebab itu, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk mengeksploitasi lingkungan alam
dan eksploitasi itu menjadi tidak terbatas pula demi memenuhi kebutuhan dan keinginan itu.
Kekuasaan manusia yang semakin besar atas alam ditandai oleh pesatnya
pertumbuhan spesies manusia (demografi) dan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pertumbuhan kedua hal ini menyebabkan menipisnya sumber daya alam yang dieksploitasi
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan umat manusia.
Pertumbuhan demografi, berkembang pesatnya ilmu pengetahuan/teknologi, dan
menipisnya sumber daya alam menjadi faktor-faktor penting dalam memahami terjadinya
bencana alam. Dua faktor pertama (pertumbuhan demografi dan iptek) merupakan faktor-
faktor yang menunjukkan keunggulan dan kekuasaan manusia atas alam sehingga
19
Robert P. Borrong, Op. Cit., 111-120
20
S. H. Nasr,1996, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak
Spiritual (terj. Ali Noer Zaman), IRCiSoD, Yogyakarta 2005, hal. 20
20

menyebabkan kerusakan alam di zaman modern ini semakin cepat, massif, sistematis dan
global. Keinginan manusia yang tak terbatas melahirkan kerakusan (materialisme) yang
mendorong pengeksploitasian tak terbatas terhadap sumber-sumber alam karena manusia
mengambil dari alam lebih dari apa yang dibutuhkannya.
Dalam posisi inilah manusia menjadi menguasai dan mendominasi alam. Hubungan
manusia-alam menjadi bersifat hierarkis dan tidak lagi mencerminkan kesatuan,
keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan antara keduanya. Manusia dengan ilmu
pengetahuannya telah bebas dan merdeka dari pengaruh alam, dan sebaliknya, telah menjadi
seolah-olah dewa dan tuhan atas alam.21

1.3.2. Alam Menguasai Dan manusia


Meski iptek telah memposisikan manusia seolah-olah penguasa atas alam, namun
ternyata manusia tidak benar-benar menguasai alam, justru seringkali alam yang menguasai
manusia.Berbagai bentuk bencana alam yang terjadi ternyata menjadi bencana bagi manusia,
dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai manusia ternyata tidak juga membuat
manusia berhasil menundukkan alam.22Yang terjadi justru manusia menjadi tidak berdaya
atas alam dengan bencana-bencana yang menimpanya dan manusia juga menjadi tergantung
pada alam lain yang tercipta dari rekayasa sains-teknologi.
“Kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang sangat
menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan
perkembangan sosial dan moral yang otentik, akhirnya akan berbalik melawan manusia.”23

1.3.3. Kesetaraan Manusia Dengan Alam


Dalam masyarakat tradisional, manusia dan alam adalah sederajat. Hubungan
keduanya relatif kontinuitas. Bahkan manusia sering merasa dirinya lebih kecil dari alam
karena merasa sebagai gambaran alam semesta. Manusia adalah mikrokosmos dan alam
sebagai makrokosmosnya. Manusia berusaha menyesuaikan diri dan menyelaraskan irama
kehidupannya dengan alam semesta.Ini ditunjukkan dengan penyesuaian diri dengan musim
dalam pertanian dan tidak berani mengganggu lingkungannya kecuali dengan ritual tertentu.
Alam dianggap keramat dan kejam; karena itulah manusia sering menundukkan dirinya pada
alam bahkan disembah-sembah sebagai dewa pemberi hidup. Pola hidup seperti ini seringkali

21
Robert P. Borrong.. Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2003), 31-36,.
22
Ibid., 38
23
Laudato Si, no. 4
21

berada di peradabanperadaban penyembah alam seperti di Mesopotamia, Mesir, Yunani,


India, Jepang, Indian dan Jawa.Politeisme dan pateisme menjadi ciri spiritualitas kuno.24

1.4. Ekologi Dalam Pusaran Egologi


Penyebab kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua
faktor yaitu ulah alam dan ulah manusia.
Penyebab rusaknya lingkungan natural dan lingkungan sosial hidup antara lain letusan
gunung berapi, banjir, abrasi, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami
(bencana alam). Akan bila diteliti lebih jauh, bencana alam seperti banjir, abrasi,  kebakaran
hutan dan tanah longsor bisa saja terjadi karena adanya ulah egoistik manusia juga.
Kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia ini justru jauh lebih besar dibanding
kerusakan akibat bencana alam. Kerusakan yang dilakukan oleh manusia itu bisa terjadi
secara sistematis, continue dan cenderung ekskalatif. Berbagai kasus kerusakan alam yang
terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional, sebenarnya berakar dari perilaku egois
manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Manusia merupakan
penyebab utama terjadinya kerusakan di permukaan bumi ini.
Demi dollar, euro, rupiah dst, manusia sangat tega untuk merusak lingkungan hidup.
“Ketika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir
mengering, saat itu baru manusia sadar bahwa uang tidak bisa dimakan” (kearifan lokal suku
Indian). Uang itu malaikat bagi mereka yang memiliki moralitas dan uang itu iblis bagi
mereka yang tidak bermoral. “Akar segala kejahatan adalah cinta ialah cinta uang” (1Tim
6:10). Salah satu kejahatan adalah kejahatan terhadap “sesama” lingkungan hidup. Kata santu
Fransiskus Assisi: “di manakah kamu hai orang-orang serani, tatkala saudara-saudari Yesus
yakni air, udara, tanah tercemar dan dieksploitasi secara serakah?” (Gita Sang Surya St.
Fransiskus Assisi). Manusia modern melihat alam semesta hanya dari sisi manfaat ekonomis.
Cara manusia modern mendekati alam itu bersifat teknorat yakni menempatkan alam sebagai
obyek yang harus dikuasai dan diambil manfaatnya.25
Krisis ekologi global ada relasinya dengan kelobaan global. Kelobaan global ada
relasinya dengan krisis moral dan sikap. Oleh karena itu kita membutuhkan etika dan
moralitas untuk mengatasi masalah ekologia mondial. Jadi masalah lingkungan hidup adalah
masalah memucatnya kesadaran moral dan masalah perilaku manusia yang tidak beradab.26

24
Robert Borrong, Op. Cit., 65
25
F. M. Suseno, Etika Sosial, Gramedia, Jakarta 1991, hal, 197
26
S. Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2010, hal. 84
22

Paus St. Yohanes Paulus II menjadi semakin khawatir akan masalah ini. Dalam
ensikliknya yang pertama ia memberi peringatan bahwa manusia tampaknya sering
“tidak melihat makna lain dari lingkungan alam selain apa yang berguna untuk segera dipakai
dan dikonsumsi”27
Paus Benediktus mendesak kita untuk menyadari bahwa dunia ciptaan dirugikan “di
mana kita sendiri memiliki kata terakhir, di mana semuanya hanya milik kita yang kita
gunakan untuk diri kita sendiri saja. Penyalahgunaan ciptaan dimulai ketika kita tidak lagi
mengakui yang lebih tinggi daripada diri kita sendiri, ketika kita tidak melihat apa pun
kecuali diri kita sendiri”.28
Sentralitas “aku” atau “aku itu segalanya” tanpa peduli dengan linkungan hidup,
kepentingan publik, kebaikan bersama dan kebaikan generasi yang akan datang adalah akar
terdalam dari pengrusakan terhadap lingkungan hidup natural dan lingkungan hidup sosial.
Egologi telah mendominasi budaya saat ini dan menghancurkan “kerohanian”
termasuk kekristenan. Selanjutnya Egologi akan menghancurkan secara fisik kecuali manusia
mengubah budaya-budaya dominan yang ada saat ini yang sifatnya dan karakternya
mengagungkan map atau rancangan “io” dan melumpuhkan “altro.” Perilaku egoistik begitu
dominan hingga melumpuhkan sikap altruis manusia.
Ilmu ingat diri sangat berkembang di abad modern ini. Egologi berpendirian bahwa
setiap manusia bersifat ke-aku-an yakni setiap orang boleh melakukan sesuatu yang bertujuan
memberikan manfaat, keuntungan dan kenikmatan kepada dirinya sendiri tanpa harus
berjerih-lelah untuk mempertimbangkan kebaikan orang lain di sekitar. Menurut Egologi,
setiap perbuatan yang membawa keuntungan dan kenikmatan bagi diri, itu termasuk kebaikan
sebaliknya sebuah perbuatan itu dipandang buruk bila merugikan diri sendiri atau tidak
mendatangkan kenikmatan atau keuntungan bagi si “aku.”

1.5. Etika Ekologi Harus Dibicarakan Berulangkali


Krisis ekologi yang dirasakan oleh manusia modern saat ini, berawal mula dari tata
cara mengolah dan tata kelola lingkungan hidup yang ‘nir-etik atau zero moral. Manusia
memanfaatkan dan menggunakan alam dan kekayaannya tanpa melibatkan hati nurani yang
tergerak oleh belaskasihan kepada alam dan isinya. Penderitaan alam atau kerusakan yang
dialami oleh alam karena ulah eksploitatif dan destruktif manusia akan berbalik arah menjadi
nestapa kemanusiaan. Perlakuan yang tidak senonoh terhadap lingkungan hidup melahirkan

27
Ensiklik Redemptor Hominis (Penebus Manusia; 4 Maret 1979), 15: AAS 71 (1979), 287; Laudato Si, no. 5
28
Pidato untuk Klerus dari Keuskupan Bolzano-Bressanone (6 Agustus 2008): AAS 100 (2008), 634.; Laudato Si,
no. 6
23

kepedihan hidup bagi manusia sendiri. “Ketika alam ini menjadi malang, alampun bakal akan
menjadi garang.”
Pertanyaannya ialah seberapa jauh manusia memahami etika dan khususnya etika
ekologi? Minimnya pengetahuan etika ekologi dan etika ekologi yang minim merupakan
causa efisien bagi pengrusakan lingkungan hidup.

1.5.1. Etika
Istilah ini berasal dari kata etos Yunani yang dapat berarti kebiasaan, karakter atau
disposisi. Etika mencakup beberapa hal berikut: bagaimana menjalani kehidupan yang baik,
hak dan tanggung jawab kita, keputusan moral: apa yang baik dan buruk, tingkah laku baik
dan buruk.
Etika adalah sistem prinsip-prinsip moral yang mempengaruhi bagaimana orang
membuat keputusan dan menjalani hidup mereka. Etika berkaitan dengan apa yang baik bagi
individu dan masyarakat dan lingkungan hidup.
Etika itu tidak hanya tentang moralitas tindakan tertentu, tetapi juga tentang kebaikan
individu dan apa artinya menjalani kehidupan yang baik. Etika adalah sesuatu hal yang
memberi kita map atau peta moral, kerangka nilai yang bisa kita gunakan untuk menemukan
jalan terbaik dalam berkata dan bertindak.
Inti dari etika adalah kepedulian manusia terhadap sesuatu atau seseorang selain
dirinya dan keinginannya serta kepentingan dirinya. Etika itu berkaitan dengan kepentingan
orang lain, dengan kepentingan masyarakat, dengan kepentingan Tuhan, dengan “hal hal
yang suci”, dan sebagainya. Jadi ketika seseorang ‘berpikir secara etis’ berarti orang itu
mempertimbangkan kebaikan dan kepentingan di luar diri mereka sendiri.

1.5.2. Etika Ekologi


Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan
menjadi dua  yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika
lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika
pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk
kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha
pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.29

29
https://shafiralinda.wordpress.com/2012/06/11/etika-lingkungan-hidup/
24

A. Etika Ekologi Dalam


Yang dimaksud etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang
melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling
menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini
memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu
memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk
berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia
dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya
adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk
itu lingkungan patut dihargai dan  diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut
etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan
pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam
disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia
dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama.
Etika lingkungan dalam dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus
perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika
lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham
yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan
yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini
adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai
perbuatan tidak bermoral.
Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak
binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini
adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati
kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan.
Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah
satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan
senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan
penuh belas kasih.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan
kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster.
Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan
senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk
25

hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya
manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut
Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau
diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan
bereproduksi. 
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan
keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam
ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut
pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang
saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati
harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan
haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa
diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur 
yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B.
Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak
boleh diperlakukan sewenang-wenang
3.  Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-
wenang
4.  Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5.  Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6.  Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7.  Menghargai dan memelihara tata alam
8.  Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9.  Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem
mengambil sambil memelihara.

B. Etika Ekologi Dangkal


Etika Ekologi Dangkal dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang
menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan
kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan
26

estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut
mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus
kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan
generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk
generasi penerus manusia.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup
manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1.   Manusia terpisah dari alam,
2.  Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab
manusia.
3.   Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4.   Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia
5.   Norma utama adalah untung rugi.
6.   Mengutamakan rencana jangka pendek.
7.   Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara
miskin
8.   Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi

 1.5.3. Prinsip Dasar etika Lingkungan


1. Sikap Hormat terhadap Alam
Hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam
semesta seluruhnya
2. Prinsip Tanggung Jawab
Tanggung jawab ini bukan saja bersifat individu melainkan juga kolektif yang menuntut
manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata
untuk menjaga alam semesta dengan isinya.
3. Prinsip Solidaritas
Yaitu prinsip yang membangkitkan rasa solider, perasaan sepenanggungan dengan alam dan
dengan makluk hidup lainnya sehigga mendorong manusia untuk menyelamatkan
lingkungan.
4. Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian
Prinsip satu arah , menuju yang lain tanpa mengaharapkan balasan, tidak didasarkan kepada
kepentingan pribadi tapi semata-mata untuk alam.
5. Prinsip “No Harm”
27

Yaitu Tidak Merugikan atau merusak, karena manusia mempunyai kewajiban moral dan
tanggung jawab terhadap alam, paling tidak manusia tidak akan mau merugikan alam secara
tidak perlu
6. Prinsip Hidup Sederhana dan Selaras dengan Alam
Ini berarti , pola konsumsi dan produksi manusia modern harus dibatasi. Prinsip ini muncul
didasari karena selama ini alam hanya sebagai obyek eksploitasi dan pemuas kepentingan
hidup manusia.
7. Prinsip Keadilan
Prinsip ini berbicara terhadap akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota
masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian
alam, dan dalam ikut menikmati manfaat sumber daya alam secara lestari.
8. Prinsip Demokrasi
Prinsip ini didsari terhadap berbagai jenis perbedaan keanekaragaman sehingga prinsip ini
terutama berkaitan dengan pengambilan kebijakan didalam menentukan baik-buruknya,
rusak-tidaknya suatu sumber daya alam.
9. Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini menuntut pejabat publik agar mempunyai sikap dan prilaku moral yang terhormat
serta memegang teguh untuk mengamankan kepentingan publik yang terkait dengan sumber
daya alam.

1.6. Merawat Lingkungan Hidup


Pendidikan khusunya pendidikan karakter sebagai bagian integral dari keseluruhan
tatanan sistem pendidikan, maka harus dikembangkan dan dilaksanakan secara sistemik dan
holistik dalam satuan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, satuan/program pendidikan
nonformal), keluarga (keluarga inti, keluarga luas, keluarga orang tua tunggal), dan
masyarakat (komunitas, masyarakat lokal, wilayah, bangsa, dan negara).

1.6.1. Melalui Pendidikan Dalam Keluarga


Pendidikan ekologis dapat dilakukan dalam berbagai konteks: sekolah, keluarga,
media komunikasi, katakese, dan lain-lain.
“Lingkungan keluarga dapat menjadi tempat untuk memberikan pendidikan terhadap
lingkungan hidup. Dalam keluarga, dikembangkan kebiasaan awal untuk mencintai dan
melestarikan hidup, seperti penggunaan barang secara tepat, ketertiban dan kebersihan,
menghormati ekosistem lokal, dan merawat semua makhluk ciptaan. Keluarga adalah tempat
28

pembinaan integral, di mana pematangan pribadi dikembangkan dalam pelbagai aspeknya


yang saling berhubungan. Dalam keluarga, kita belajar untuk meminta izin tanpa menuntut,
untuk mengatakan “terima kasih” sebagai ungkapan penghargaan atas apa yang telah
diterima, mengendalikan agresi atau keserakahan, dan meminta maaf ketika telah
menyebabkan kerugian. Tindakan sopan santun yang sederhana dan tulus ini membantu
membangun budaya kehidupan bersama dan rasa hormat demi lingkungan kita.”30 
Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi pendidikan. Artinya, sebagai sub sistem yang
paling dekat dengan anak, keluarga berperan besar dalam pembentukan karakter anak karena
dengan cara mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan semua nilai-nilai yang baik. Agar
hal tersebut bisa berjalan dengan baik, maka idealnya pendidikan karakter diterapkan sejak
usia dini, yang oleh para pakar psikologi disebut dengan usia emas (golden age). Usia di
mana dianggap sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.

1.6.2. Lingkungan Sekolah Dan Lembaga Pembinaan


Lingkungan sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal yang juga menentukan
perkembangan dan pembinaan karakter anak. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai
lingkungan pendidikan kedua setelah keluarga yang berperan dalam pendidikan karakter
anakSekolah merupakan tempat yang sangat strategis untuk pendidikan karakter, karena
semua siswa dari berbagai lapisan masyarakat akan mengenyam pendidikan di sekolah.
Selain itu, sebagian besar waktu siswa saat ini banyak dihabiskan di sekolah, sehingga
sekolah berperan aktif terhadap pembentukan karakter siswa.
Internalisasi karakter juga dapat ditumbuhkan melalui budaya sekolah. Budaya
sekolah adalah nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka
sebagai warga suatu masyarakat dalam hal ini sekolah. Budaya sekolah tersebut menjadi
nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah dan semua unsur dan komponen sekolah
termasuk stakeholders pendidikan. Pada dasarnya setiap sekolah mempunyai budaya sendiri,
yang berupa serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan kebiasaan yang telah membentuk
perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi didalamnya.31
Di sekolah guru dapat memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis
dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good dan
acting the good.

30
Laudato Si, no. 213
31
Peterson dan Terrence, The Shaping School Culture Filedbook, (San Francisco: Josses-Bass, 2009), h.
325
29

Salah satu nilai etis moral yang harus diketahui, dicintai dan diwujudkan di dalam
sekolah ialah cinta akan lingkungan hidup. Paus Fransiskus mengajak peserta didik untuk
memiliki kepekaan terhadap lingkungan hidup. Pendidikan itu bertujuan untuk menciptakan
suatu “kewarganegaraan ekologis.”  Sangatlah mulia bila kewajiban untuk memelihara
ciptaan dilakukan dengan tindakan kecil sehari-hari, dan sangat indah bila pendidikan
lingkungan hidup mendorong orang untuk menjadikan itu sebagai suatu budaya dan gaya
hidup. Pendidikan ekologis dalam tanggung jawab ekologis dapat mendorang berbagai
perilaku yang memiliki dampak langsung dan signifikan untuk pelestarian lingkungan hidup,
dengan menghindari penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, pemilahan
sampah dan lain sebagainya.32
Pendidikan dalam lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan dalam hal ini seperti
Seminari dan rumah bina, diajak untuk senantiasa mengkomunikasikan dan pentingnya
kepekaan lingkungan hidup. “Di seminari dan di rumah pendidikan hidup bakti, diberi
pendidikan untuk mengadakan penghematan yang bertanggung jawab, untuk kontemplasi
dunia dengan penuh rasa syukur, dan untuk melindungi kerapuhan orang miskin serta
lingkungan. Mengingat pentingnya apa yang dipertaruhkan, kita membutuhkan lembaga-
lembaga yang berwenang untuk menghukum orang yang merusakkan lingkungan, tetapi perlu
juga kita saling memantau dan saling mendidik. Yesus dalam Injil mengingatkan akan kasih
persaudaraan hanya mungkin bila tanpa pamrih dan bukan balas jasa. Sikap tanpa pamrih itu
mendorong kita untuk mencintai alam dalam persaudaraan universal.33

1.6.3. Aksi Nyata


Upaya mengembalikan citra alam dengan tindakan nyata dalam hidup sehari-hari,
dapat dilakukan dalam berbagai cara antara lain
=Penanggulangan Sampah
Aneka macam pencemaran lingkungan berkaitan dengan budaya “membuang.”
”Masalah-masalah ini berkaitan erat dengan budaya ‘membuang’ yang menyangkut baik
orang yang dikucilkan maupun barang yang cepat disingkirkan menjadi sampah. Hendaknya
kita menyadari, misalnya, bahwa sebagian besar kertas yang diproduksi, terbuang dan tidak
didaur ulang. Sulit bagi kita untuk mengakui bahwa cara kerja ekosistem alamiah memberi
kita teladan: tanaman menyatukan pelbagai bahan yang memberi makan kepada herbivora;
mereka ini pada gilirannya menjadi makanan bagikarnivora, yang menghasilkan berlimpah

32
Laudato Si, no. 211
33
Laudato Si, no. 214
30

sampah organic untuk menumbuhkan generasi baru tanaman. Tetapi sistem industri kita, di
akhir siklus produksi dan konsumsi, belum mengembangkan kapasitas untuk menyerap dan
menggunakan kembali limbah serta produk sampingan. Kita belum berhasil mengadopsi
model produksi yang melingkar, yang mampu melestarikan sumber-sumber daya untuk
generasi sekarang dan masa depan, dengan membatasi sebanyak mungkin penggunaan
sumber daya yang tidak terbarukan, meminimalkan penggunaannya, memaksimalkan
penggunaan yang efsien, dengan cara penggunaan kembali dan daur ulang. Memberi
perhatian serius kepada masalah-masalah ini menjadi salah satu cara menangkal budaya
‘membuang’ yang akhirnya mempengaruhi seluruh planet. Namun kita harus mengakui
bahwa kemajuan dalam hal ini masih jauh dari cukup.”34
Masalah sampah adalah menjadi masalah yang meresahkan ketika hal itu tidak
dikelolah dengan baik. Sampah rumah tangga khususnya dalam kota-kota besar dan kota kota
yang sedang berkembang telah memicu masalahnya pencemaran lingkungan. Kemajuan
industri dan perubahan gaya hidup modern telah menjadikan manusia bermental konsumtif.
Plastik adalah salah satu konsumsi manusia modern; selain juga makanan kaleng dan jenis
minuman siap saji .
Jenis sampah yang pertama adalah jenis sampah organik. Sampah jenis ini terdiri dari
bahan-bahan yang bisa terurai secara alami atau biologis. Contoh sampah organik: Sisa
makanan, daun, buah yang membusuk, dan lain-lain.
Jenis sampah yang kedua adalah sampah anorganik. Sampah jenis anorganik sulit
terurai secara alami, sehingga untuk proses penghancurannya, membutuhkan penanganan di
tempat khusus. Contoh sampah anorganik: Plastik dalam beragam jenis, kaleng, styrofoam,
bekas popok bayi, dan lain-lain.
Jenis sampah yang ketiga adalah sampah bahan berbahaya dan beracun, atau disingkat
B3. Sampah jenis ini merupakan limbah yang dihasilkan dari bahan-bahan berbahaya dan
beracun. Contoh sampah B3: Limbah rumah sakit, limbah pabrik, dan lain-lain.
Sampah-sampah ini dipilah-pilah dan diletakkan pada wadah yang berbeda
yakni wadah untuk sampah organik dan wadah untuk sampah anorgnaik dan wadah
untuk sampah bahan berbahaya dan beracun (sampah B3 dari limbah rumah tangga,
seperti minyak jelantah, atau bekas sisa sabun mandi).
Setelah menanggulangi sampah dengan memilah, selanjutnya sampah bisa diolah.
Jenis sampah pertama yang diolah adalah jenis sampah organik, di mana sampah jenis ini
biasa diolah sebagai pupuk. Untuk mengolahnya hingga bisa menjadi pupuk, sampah organik
34
Laudato Si, no. 22
31

bisa dibedakan menjadi dua, yakni sampah organik hijau dan sampah organik hewani.
Sampah organik hijau merupakan sampah yang berasal dari rumah tangga, misalnya seperti
daun, tangkai dari sayuran, nasi, kulit sayuran, buah-buahan, ampas kelapa, sekam padi, dan
lain-lain. Sampah organik hewani merupakan sampah yang juga dihasilkan dari rumah
tangga, dan bisa diolah menjadi pupuk. Misalnya seperti tulang ayam, duri ikan, kulit udang,
isi perut ayam dan ikan, dan lain-lain.
Jenis sampah kedua yang diolah adalah sampah anorganik. Jika dalam mengolah
sampah organik, tidak diperlukan keahlian atau ketrampilan khusus, namun dalam mengolah
sampah anorganik, dibutuhkan pikiran dan jiwa yang kreatif. Ada banyak jenis sampah
anorganik, yang bisa diolah dan menjadi barang yang bermanfaat. Misalnya sampah bekas
kemasan pewangi pakaian ini terbuat dari plastik, yang tergolong kuat. Itu cocok untuk
didaur ulang menjadi beberapa barang, misalnya hiasan bunga. Mengolah sampah dari botol
bekas air mineral menjadi pot gantung
Dengan demikian panggilan untuk melestarikan tidak hanya diletakkan pada mereka
yang bekerja sebagai petugas sampah atau pasukan oranye. Tetapi menjaga dan melestarikan
alam dari dampak kotornya oleh sampah adalah panggilan kita bersama untuk menyikapinya.
Budaya bersih akan menjadikan kita sebagai penghuni “rumah bumi” ini sehat secara
ekonomis, psikologis dan social.
Panggilan manusia itu adalah ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan Allah.
Sebagai mitra Alllah manusia menjadi co-opreator dan co-creator Allah. Dalam konteks ini
manusia dipandang sebagai Partner Allah atau rekan kerja Allah.

=Menjadikan Lingkungan Sebagai Sahabat


Di dalam Gereja Katolik ada orang-orang kudus yang senantiasa respek pada alam
sekitarnya. “Santa Teresia dari Lisieux mengajak kita untuk menapak “jalan kecil
cinta”, tidak kehilangan kesempatan untuk sebuah kata yang ramah, untuk tersenyum,
untuk suatu isyarat kecil apa pun yang memancarkan damai dan persahabatan. Ekologi
integral juga terdiri dari tindakan sehari-hari yang sederhana, yang mematahkan
logika kekerasan, eksploitasi, keegoisan. Sementara itu, dunia konsumsi yang
keterlaluan, pada saat yang sama juga merupakan dunia yang memberi perlakuan
buruk kepada kehidupan dalam segala bentuknya.”35

35
Laudato Si, no. 230
32

Santo Yohanes dari Salib mengajarkan bahwa yang baik yang terdapat di dalam
segala kenyataan dan pengalaman dunia ini “ditemukan dalam Allah secara istimewa dan tak
terhingga, atau lebih tepatnya, setiap kebaikan besar tersebut adalah Allah”. Bukan karena
hal-hal terbatas dunia ini sungguh ilahi, tetapi karena sang mistikus mengalami hubungan
intim antara Allah dan semua makhluk hidup, dan dengan demikian “ia merasa bahwa Allah
adalah segala hal itu”. Jika ia mengagumi kemegahan sebuah gunung, ia tidak dapat
memisahkannya dari Allah, dan ia menangkap bahwa kekaguman yang ia alami dalam
batinnya, harus dikaitkan dengan Allah: “Gunung-gemunung itu tinggi, subur, luas, indah,
anggun, berbunga dan harum. Gununggemunung ini—itulah Kekasihku bagiku. Lembah-
lembah terpencil itu tenang, menyenangkan, sejuk dan teduh. Di sana air jernih mengalir
berkelimpahan. Dengan keragaman vegetasinya dan lagu merdu burung-burung yang
menghuninya, lembah-lembah mempesonakan dan menyegarkan indra. Dan dalam kesepian
dan keheningan, mereka memberikan kita kesegaran dan istirahat. Lembahlembah ini—itulah
Kekasihku bagiku.”36
“LAUDATO SI ‘, mi’ Signore”, —“Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam nyanyian
yang indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama
bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut
kita dengan tangan terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi,
yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta
bungawarna-warni dan rerumputan.”37
Dengan demikian persahabatan dengan alam adalah wujud dari solidaritas dengan
pencipta yang telah memberikan kurnia yang begitu indah ini.  Persahabatan dengan alam
merupakan sebuah suara kenabian yang mengajak manusia untuk menghentikan ekploitasi
besar-besaran pada alam dengan menyerukan pertobatan kolektif demi keseimbangan ekologi
yang diharapkan.  Suara profetis dan lembut dari para kudus ini mengajak kita untuk melihat
rumah kita ini “sungguh amat baik adanya” (Kej 1:31).

=Gerakan Go Green Every Day


Gerakan Go Green Every Day adalah ketergerakan dan kepekaan hati, budi dan spirit
untuk membangun sebuah habitus mencinta alam dan lingkungan hidup.  Gerakan G2ED (Go
Green Every Day) dapat dilihat wujudnya sebagai berikut:

36
Laudato Si, no. 234
37
Laudato Si, no. 1
33

+Waste
 dont buy plastic bottles, get a reusable container and refill it
 recycle rubish
 start composting – you can start composting your kitchen and buy the worms
from wiggly wigglers
 use a cloth shopping bag
 buy products made out recycled materials
 try to cook fresh food as much as possible which has less packaging
 print of both sides of paper
 use rechargeable batteries
 use a cloth hankie rather than tissues
 donate leftover paint to a community project
 collect toners
 collect used toner cartridges at your workplace, school and turn them into cash for your
chosen charity
 reuse envelops
 try to sign out of getting leaflets and commercials to your home’s mail box
 say no to straws
 buy reusable nappies for your baby
 get menstruation cups
 don’t be a litterbug
 find people to use things you no longer want
 take your own mug to the coffee shop rather than wasting another cup
 get e-tickets instead of printing whenever possible

+Air
 go and get a bicycle
 walk or hitch hike
 drive less and try to take passangers with you
 fly less and pack less

+Energy use
 energy efficient bulbs
 switch off all appliances which you are not using
 use full loads in washing mashine
 turn your computer and monitor off at the end of the day
 try to put more clothes on before you turn on the heating
 use green energy
 wash in 30 degrees and avoid tumble dryers and dishwashers
 buy local products or grow yours
 limit use of gardens hoses
 use a bucket to wash your car
34

 use a fan instead of air conditioning


 take a break from screen time and go for a walk

+Water
 use environment friendly cleaning products
 drink tap or filtered water, not botted
 collect rain water to reuse it
 turn off the tap when you brush your teeth
 repair drooping taps
 shower instead of the bath
 put a bag in your lavatory cistern to reduce the amount of water flushed

+Shopping

 buy fair-trade tea, coffee, bananas, chocolade


 buy from local markets or local companies
 purchase organic products
 support local bee-keepers to save the bees
 buy local craft beer to reduce beer mile
 get second hand clothes and donate the ones you don’t use to the charity
 decrease meat consumption and buy meet from sustainable farms
 shop for eco-friendly beauty products or make your own

1.7. Kesimpulan
Lingkungan hidup atau bumi dan segala isinya adalah res omnium, warisan untuk
seluruh umat manusia dari enerasi ke generasi. Oleh sebab itu, dalam keadilan dan cintakasih,
setiap orang, baik secara individual mupun kelompok harus bekerja sama memelihara
warisan  bersama ini.
Sayangnya, manusia modern tidak mengalami dirinya sebagai bagian dari alam tetapi
sebagai kekuatan luar yang mendominasi dan menaklukkannya. Manusia bahkan berbicara
mengenai sebuah pertarungan dengan alam. Manusia lupa bahwa jika menang sekali pun,
manusia tetap akan berada di posisi yang kalah.
Modernitas berasumsi bahwa knowledge is power. Akan tetapi, pada praktiknya hal
tersebut tidak hanya membawa perkembangan positif (pembebasan) tetapi juga negatif
(perusakan alam). Asumsi dasar dari modernisme adalah rasionalitas yang mampu
mengonstruksi peradaban baru namun ternyata modernisme juga mendestruksi besar-besaran
lingkungan hidup. Manusia modern tidak menyadari bahwa “degradasi lingkungan hidup itu
juga adalah degradasi terhadap manusia itu sendiri.”
35

Penyalahgunaan sumber daya alam pemberian Allah yang berorientasi pada


kepentingan pribadi telah merugikan keutuhan lingkungan natural dan sosial, yang mana di
dalamnya termasuk seluruh generasi umat manusia sekarang dan generasi yang akan datang.
Untuk itu, kita harus kembali melihat dengan lebih tajam kebenaran dari ungkapan
Pemazmur: “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam
di dalamnya” (Mazm 24:1-2). Karena itu, mendesak sekali “PERTOBATAN EKOLOGIS.”
36

II
PEMICU LAHIRNYA
EKOTEOLOGI ATAU EKOLOGI BARU

Seluruh studi teologi itu berpusat pada relasi manusia dan Allah serta bagaimana
manusia mencapai surga di hari esok nanti. Studi berkarakter ‘antroposentrik’ terfokus pada
tema imago Dei karena imago Dei itu ditafsirkan sebagai keunggulan manusia di mana
manusia diberkati dengan pikiran (anima rationalis) untuk berkuasa atas ciptaan lain. 38 Topik
lingkungan hidup tidak dianggap penting sebagai tema teologi, kecuali secara sambil lalu
digubris melalui tafsiran atas teks penciptaan.
Ekologi baru menjadi topik teologis aktual ketika lingkungan hidup ada dalam bahaya
kehancuran total akibat ulah manusia. Eko-teologi boleh dibilang “baru lahir kemarin” ketika
krisis ekologi mulai merebak di seluruh dunia. Berteologi dalam konteks krisis ekologis
berarti berteologi tentang ancaman kebinasan yang dihadapi lingkungan hidup akibat ulah
manusia (ecofactual).
Eksploitasi terhadap alam semakin masif sejak revolusi industri yang ditandai dengan
hadirnya pabrik-pabrik dan berkembangnya teknologi secara cepat. Di tengah kerusakan alam
yang semakin masif, manusiapun mulai memikirkan mengenai etika lingkungan.
Tulisan Rachel Carson yang berjudul Silent Spring pada tahun 1962 mengawali
literatur lainnya tentang krisis lingkungan hidup. Tulisan dari Garret Hardin yang berjudul
The Tragedy of the Commons terbit sekitar 1968 dan Paul Ehrlich yang berjudul The
Population Bomb (1968). Tulisan-tulisan ini melihat stimulus degradasi lingkungan berasal
dari dorongan ekonomi dan pertumbuhan populasi manusia. .
Tulisan Lynn White yang berjudul The Historical Roots of Our Ecological Crisis 39
juga terbit di tahun 1960-an White memiliki keistimewaan dibandingkan tulisan lain
mengenai isu lingkungan lainnya di periode yang sama. Dalam artikel "Akar-akar Sejarah
dari Krisis Ekologi" White menegaskan bahwa akar kiris dari ekologi adalah demitologisasi
terhadap alam semesta sebagaimana yang diajarkan dalam tradisi Yahudi-Kristen yang sangat

38
Borrong, Robert Patannang, Environmental Ethics and Ecological Theology: Ethics as Integral Part of
Ecosphere from an Indonesian Perspective. Ph.D. Thesis Vrije Universiteit, Amsterdam 2005, 133-5
39
L. White Jr, The Hitorical Roots of Our Ecological Crisis, reprinted in D and E Spring (eds), Ecology
and Religion in History, Harper and Row, New York 1974; materi yang sama dipublikasikan dalam Science
(March 10, 1967), hal. 1203-1207
37

antroposentris. Akar kerusakan lingkungan adalah ajaran Kristen. Lynn White lebih
memerhatikan persoalan ide-ide dan nilai-nilai yang mendasari kerusakan lingkungan.40

2.1. Eko-Teologi
Ecotheology is a form of constructive theology that focuses on the interrelationships
of religion and nature, particularly in the light of environmental concerns -eko-teology
adalah bentuk teologi konstruktif yang berfokus pada hubungan timbal balik antara agama
dan alam, terutama dalam terang keprihatinan lingkungan. Ekotheologi umumnya dimulai
dari premis bahwa ada hubungan antara pandangan dunia agama / spiritual manusia dan
degradasi atau pemulihan dan pelestarian alam.41
Patut dicamkan bahwa ekoteologi tidak bisa hanya mengeksplorasi hubungan antara
agama dan alam dalam kaitan dengan kerusakan alam, tetapi ekoteologi juga harus memberi
makna benar dalam proses pengelolaan ekosistem secara umum. Ecotheology seeks not only
to identify prominent issues within the relationship between nature and religion, but also to
outline potential solutions. Hal ini penting karena banyak pemikir dan pembela ekologi
berpandangan bahwa pengetahuan dan pendidikan secara sederhana tidak cukup mengilhami
perubahan dalam krisis lingkungan kita saat ini. Ekoteologi menawarkan ajaran baru bahwa
segenap pemeluk agama monoteis hanya menjadi pendatang belakangan di dunia dan punya
tugas menghindarikan lingkungan hidup dari bahaya penghancuran.42
Berkembangnya kesadaran akan krisis lingkungan  telah menyebarkan refleksi iman
dalam hubungan manusia dengan bumi. Refleksi tersebut memiliki preseden yang kuat di
sebagian besar tradisi keagamaan di alam Etika Dan kosmologi, dan dapat dilihat sebagai
bagian atau konsekuensi terhadap teologi alam.

40
Setidaknya ada tiga kelompok pendekatan dalam wacana etika lingkungan, yaitu pendekatan
instrumental, pendekatan aksiologikal dan pendekatan antropoligikal. Pendekatan instrumental memiliki
pendekatan antroposentris, yang mementingkan kepentingan manusia itu dalam melakukan pengelolaan dan
proteksi terhadap alam. Pendekatan aksiologikal sebaliknya, pendekatan ini mengasumsikan bahwa alam
memiliki nilai-nilai sendiri sehingga manusia harus menyelamatkan dan melindungi nilai yang ada dalam setiap
komponen alam tersebut. Ketiga, pendekatan antropologi yang melihat manusia memiliki kedekatan hubungan
dengan alam apabila manusia “merasakan” dan memahami nilai-nilai instrinsik yang dikandung oleh komponen
alam. Dari ketigapendekatan tersebut, pendekatan instrumental adalah pendekan yang digunakan oleh penulis di
era 1960-an selain Lynn White (Marfa 2016:23–24).
41
https://mediaindonesia.com/opini/52520/bencana-alam-dan-ekoteologi
42
D. G. Hallman, “Beyond North/South Dialogue” dalam D. G. Hillman (Ed), Ecotheology: Voice from
South and North, Orbis Books, Maryknoll, Newy York 1994, hal. 6
38

2.2. Pendekatan Ekoteologi


Di Barat dapat diidentifikasi adanya tiga aliran utama studi teologi ekologi, yang
masing-masing dipengaruhi oleh filsafat dan gerakan perjuangan untuk mendukung
kepedulian pada lingkungan hidup.
Pertama, Teologi Pembebasan. Liberation Theology pada mulanya berfokus pada
kajian masalah sosial di Amerika Latin, tetapi teolog yang lebih muda dari Teologi
Pembebasan memperluas kajian mereka dan menghubungkan isu pembebasan sosial dengan
pembebasan ekologis. Teolog Pembebasan yang mengkaji teologi ekologi, yang paling
menonjol adalah Leonardo Boff. Boff mengangkat tema keadilan ekologis sebagai tema
kajian teologi ekologi. Menurut Boff, umat manusia berkewajiban mewujudkan keadilan
kepada bumi. Bumi dan segala isinya memiliki harkat dan martabat serta hak karena bumi
dan isinya telah lama ada sebelum manusia hadir dan sebab itu bumi punya hak berlanjut
dalam suasana sejahtera dan seimbang. Keadilan ekologis menawarkan suatu sikap baru
manusia terhadap bumi sikap kebajikan dan saling memiliki, sambil memperbaiki
ketidakadilan yang dilakukan melalui penerapan IPTEK terhadap bumi. Menurut Boff, bumi
menjadi rusak dan hancur oleh perlakuan tidak adil dari kapitalisme yang bersikap agresif
dan eksploitatif terhadap bumi dengan pendekatan pembangunan dengan model
konsumeristik.43 Bagaimanakah mewujudkan keadilan terhadap bumi di masa depan?
Keadilan hanya bisa diwujudkan oleh manusia yang menurut tradisi Yahudi-Kristen,
merupakan anak-anak Allah yang menjadi perpanjangan tangan Allah yang kreatif,
mengelola alam, mengembangkan dan melipatgandakan sebagai pertanggungjawaban
manusia. Peran manusia itu merupakan bagian dari rencana Allah Pencipta dan Pembebas.
Boff menyebut manusia sebagai co-pilot, co-creator, berpotensi sebagai malaikat terhadap
bumi.44 Teologi pembebasan di belahan dunia lain, termasuk di Asia mulai juga mengkaji
kaitan antara pembebasan dari penindasan manusia dan penindasan terhadap alam.
Kedua, Ekofeminisme. Sejalan dengan pemikiran teologi pembebasan yang
mengkaitkan ketidakadilan terhadap orang miskin dan bumi, ekofeminisme mengkaitkan
penindasan perempuan dan penindasan alam. Teolog Feminis terkemuka, Rosemary Radford
Ruether mengatakan teologi ekofeminis membawa teolog femisnis ke dalam dialog dengan
krisis ekologis berbasis kritik kultural. Ideologi patriarki merasakan alam atau bumi sebagai
realitas perempuan. Perasaan seperti itu memandang alam sebagai inferior terhadap laki-laki.
Alam dipandang materi yang tidak memiliki roh, tidak memiliki kehidupan dan hanya

43
Boff, Leonardo, Ecology and Liberation: A New Paradigm, Trans. John Cumming (Maryknoll: Orbis, 1995), 75.
44
Ibid., 87
39

sebagai alat untuk dieksploitasi oleh laki-laki. Akar-akar kultural dari krisis ekologis dapat
ditemukan dalam persepsi umum tentang perempuan dan alam sebagai realitas tanpa roh dan
alat untuk dieksploitasi oleh kekuasaan laki-laki.45 Keunikan teologi ekofeminisme terletak
pada kekhasan perlakuan yang dialami alam dan perempuan selaku objek yang dieksploitasi.
Ini benang merah yang dipertahankan dalam pendekatan teologi ekofemisme walaupun
semakin berkembang kearah kajian teologi yang solutif dan konstruktif.
Teolog ekofeminisme berikutnya adalah Sally McFague yang menawarkan satu
konstruksi teologi feminis dengan mengemukakan model Allah sebagai Ibu, pencinta dan
sahabat. Menurut McFague, model seperti ini sangat Alkitabiah dan dapat menolong orang
Kristen menjauhkan aspekaspek dualisme patriarki dan penguasaan dari model monarki dan
membuka jalan baru ke arah solidaritas bukan hanya terhadap orang lain tetapi juga terhadap
alam. McFague menawarkan metafor dunia sebagai tubuh Allah dengan meyakini bahwa
hanya dengan metafor itu dapat mengelakkan gambaran dualistik tentang yang ilahi dan yang
duniawi serta menolong menghindarkan penindasan perempuan dan perusakan alam. Dengan
menerima metafor ini melahirkan tanggung jawab manusia (khususnya orang Kristen)
terhadap semua bagian tubuh alam yang saling berhubungan dan bergantung satu terhadap
lainnya.46 Teologi ekofeminisme sudah sangat maju dan beraneka ragam pendekatannya.
Tetapi tema utamanya adalah kesamaan nasib perempuan dan alam di tangan dominasi laki-
laki dari budaya patriarki yang nampak dalam kemajuan IPTEK, ekonomi kapitalistik dan
masyarakat konsumeristik yang cenderung memandang perempuan dan alam sebagai obyek
untuk dieksploitasi dan dirusak.
Ketiga, Teologi Proses. Teologi ini berakar dalam Filsafat Proses dari Alfred North
Whitehead dan Charles Hartshorne, para teolog proses memandang ciptaan (alam) sebagai
suatu proses berkelanjutan dan bukan sebagai produk akhir. Allah dilihat tidak sebagai
penguasa mutlak (all-powerful) melainkan Allah pengasih mutlak (all-loving). Menurut
Teologi Proses, Allah dan dunia saling mempengaruhi, itu sebabnya Allah tidak menguasai
dunia. Pemeliharaan Allah tidak berarti bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Bahkan
Allah tidak menguasai masa depan sebab Allah tidak menguasai dunia. Teologi Proses secara
mutlak menolak gagasan creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan). Gagasan itu
memahami Allah sebagai yang menguasai segala sesuatu. Penciptaan adalah penataan
kekacauan, Allah mencipta berarti Allah mengatur atau menata atau mengarahkan ruang yang

45
Rosemary Radford Ruether, “Ecofeminism and Theology” dalam Ecotheology: Voices from South and North,
David G. Hallman, ed., (Maryknoll: Orbis, 1994), 199-204
46
Sally McFague, Models of God, Theology for An Ecological, Nuclear Age. (Philadelphia: Fortress, 1993), 131
40

kacau balau.47 Pandangan teologi baru ini membawa konsekuensi pada hubungan-hubungan
baru antara manusia dengan alam atau lingkungan hidup.
Salah seorang teolog proses yaitu David Ray Griffin mengemukakan bahwa teologi
proses beriorientasi kepada alam dan itu berarti empat aspek; (1) tidak ada dikotomi antara
manusia dan alam. Semua individu bukan manusia memiliki nilai intrinsik (tujuan pada
dirinya) dan karenanya bertentangan dengan paham antroposentrisme Kristen, (2) nilai
intrinsik tiap makhluk tidak sama, (3) namun demikian semua makhluk terikat satu sama lain
sebab itu manusia tidak hanya harus peduli pada nilai intrinsik individu, tetapi juga kepada
nilai ekologis, (4) Allah meresap semua alam dan hadir dalam tiap individu dari proton
sampai kepada manusia. Oleh karena itu setiap spesies berhak mendapat penghargaan sebagai
suatu manifestasi ilahi.48
Teolog proses lainnya adalah John B. Cobb, menurutnya, semua realitas terikat satu
dengan lainnya secara fisik. Manusia adalah juga produk dari proses evolusi. Cobb
menekankan bahwa organisme adalah subyek dan bukan obyek oleh sebab itu seluruh
kehidupan harus dihargai karena semuanya memiliki nilai intrinsik dan bersama membentuk
jaringan kehidupan (web of life) dan keseimbangan alam (balance of nature) karena semua
terintegrasi. Maka ekologi dan evolusi adalah dua realitas yang terkait. 49 Tiap spesies atau
individu dalam ekosistem berada dalam jaringan dengan seluruh komunitas. Maka manusia
tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan dan bahkan ketergantungannya dengan
keseluruhan ekosistem dalam proses kehidupan.
Teologi ekologi tidak sebatas dalam tiga aliran teologi yang disebut di atas. Teologi
ekologi non aliran yang berkembang dalam gereja dan lembaga-lembaga pendidikan teologi,
jauh lebih berkembang sesuai dengan arah teologi Studi ekologi dua dekade terakhir telah
berkembang lebih pesat dari dekade sebelumnya dan teologi ekologi tidak lagi bisa
diidentifikasi secara spesifik. Di dunia Barat perkembangan itu sedemikian rupa sehingga
sudah sangat sulit mengidentifikasi teologi yang sedang berkembang. Situasi ini harus juga
terjadi dengan studi teologi ekologi di Indonesia. Alkitab bukan lagi sumber utama atau satu-
satunya sumber berteologi ekologi melainkan realitas kerusakan ekologis harus menjadi titik
berangkat berteologi. Oleh sebab itu keanekaragaman metode berteologi ekologi,
keanekaragaman model teologi ekologi dan keanekaragaman paradigma teologi ekologi harus

47
John B. Cobb & David Ray Griffin, Process Theology: An Introduction Exposition. (Philadelphia: Westminster,
1976). 52, 53, 65
48
David Ray, Griffin, “Process Theology”, A New Handbook of Christian Theology, D.W. Munster & J.L. Price,
eds. (Nashville: Abingdon, 1992), 384-5
49
John B. Cobb, Process Theology as Political Theology (Philadelphia: Westminster, 1981), 83.
41

dibiarkan terbuka untuk menjadi arena yang memperkaya wacana berteologi ekologi sekaya
alam itu sendiri.

2.3. Kronik Ekoteologi


Pertama, sekitar tahun 1962, Rachel Carson, seorang biology, aktivis lingkungan,
memperingatkan dunia akan kerusakan lingkungan akibat banyaknya gas beracun yang
dihasilkan pabrik-pabrik legal.
Kedua, tahun 1967 Lynn White, Jr. seorang sejarahwan, menuding kekristenan
sebagai penyebab krisis lingkungan. Menurut Scharper, White menuding kekristenan adalah
“the most anthropocentric religion” yang memicu manusia mendominasi alam semesta.
Ketiga, munculnya Social Justice and Enviriontmental Concerns. Keadilan social
berkaitan dengan perhatian atas masalah ekologi (Aritonang, 2018: 206).
Prediger mengambarkan bahwa ekoteologi muncul dalam empat tahap berdasarkan
jenis tuduhan yang dilontarkan beberapa pemikir terhadap kekristenan, yakni:
Pertama, Arnold Toynbee, menuduh bahwa konsep monoteisme Kristen, khusunya
dalam kejadian 1:28, menyebabkan manusia mendominasi dan mengekploitasi alam.
Kedua, Wendell Berry menyatakan bahwa ajaran dikotomis kristiani merupakan
penyebab eksploitasi atas alam: adannyha pemahaman pemisahan antara tubuh dan jiwa,
spritualitas dan material, suci dan secular.
Ketiga, eskatologi Kristen, khususnya teks 2 Petrus 3:10, terutama dalam terjemahan
RSV (Revised Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International
Version), NEB (New English Bible), dan TEV (Today English Version), mengandung
masalah terhadap paradigma ekologi. Teks-teks inilah yang mendorong orang Kristen,
khusunya di era Presiden Ronald Reagan, sangat bersemangat mengeksploitasi alam.
Keempat, tahun 1967 “tuduhan” Lynn White atas Kekristenan. Teologi Kristen telah
mendorong dunia melakukan eksploitasi terhadap alam.

2.4. Rachel Carson Dan Lynn White Sebagai Pemicu


Kami tidak akan bisa membahas semua penemuan dan pemikiran di atas. Kami hanya
memilih dan berusaha untuk meringkas pikiran dari Rachel Carson dan Lynn White
beralaskan sumber yang terbatas. Pikiran Rachel Carson, kami download dari tulisan-tulisan
yang tersebar di internet. Sedangkah pikiran ringkas Lynn White, kami ambil dari tulisan
Yohanes Hasiholan Tampubolon (PDF).
42

2.4.1. Rachel Carson: Silent Spiring

Sekitar tahun 1962, Rachel Carson, seorang ahli biology dan aktivis lingkungan
melalui bukunya Silent Spring memperingatkan dunia akan kerusakan lingkungan akibat
banyaknya gas beracun yang dihasilkan pabrik-pabrik legal.
Silent Spring of Rachel Carsos 50 is considered the book that started the global
grassroots environmental movement. Released in 1962, it focuses on the negative effects of
chemical pesticides that were, at the time, a large part of US agriculture.
Rachel Carson and her work began initiating a shift in global environmental
consciousness. Carson was, by formal education, a marine biologist who also published a few
bestselling books about the sea and ocean biospheres. Her work is said to have led to the
creation of the US Environmental Protection Agency. She was also posthumously awarded
the Presidential Medal of Freedom by President Jimmy Carter.  
Silent Spring carries a message that is as relevant today as it was back in the 1960s.
Humans are dependant on their living environment and it is, therefore, pure madness to
disregard this environment’s protection. Because of the boldness and simplicity in how
Carson articulates this truth, her book still inspires activists all around the world today.
Silent Spring Key Idea 1
Here are 3 lessons I took away about the use of pesticides and environmental
protection:
1. The main problem with pesticides is that they don’t target pests exclusively.
2. DDT can harm people even without direct exposure.
3. To prevent the harmful effects of pesticides, we need more education and other,
environment-friendly ways to preserve crops.
If you are all about making the world a better place and protecting nature, there’s no time to
waste. Let’s go!
50
https://fourminutebooks.com/silent-spring-summary/
43

Lesson 1: Pesticides destroy not just the particular pests, but whole ecosystems.
Humanity “inherited” pesticides from  World War II. During the war, scientists
involved in chemical warfare discovered many substances with which to kill enemies. 
When the war ended, upon observation, those same substances were lethal not only to
humans – but also, to insects and some other agricultural pests. So, at first, using chemicals
seemed like a great way to protect crops.
But since pesticides became more widely used, many studies were carried out which
proved that most of the chemical substances had numerous destructive side effects. These
effects are the main focus of Carson’s book.
The huge disadvantage of chemical pesticides is that they virtually never target
unwanted pests selectively. Once they are distributed into the environment, they get easily
transmitted through water, as well as passed on in the food chain. This causes a whole variety
of species to ingest chemicals.
This has far-fetched consequences, as it easily disrupts the delicate balance of whole
ecosystems. In the end, pesticides usually create more problems than they solve. A perfect
example of the dangers brought by mindless use of pesticides is the US Forest Service’s
mass-use of DDT for combating the spruce budworm in 1956.
Spraying the pesticide over 885,000 acres of woodland, they ended up exterminating
not just the spruce budworm – but also natural predators of the spider mite. As a
consequence, the latter bred beyond control – and became a worldwide pest in the following
years. Quite a big price to pay for an inconsiderate use of some chemicals.
Lesson 2: Once DDT enters the food chain, it affects all the species involved.
Even if you don’t care much about other living organisms on the planet, it would
certainly be concerning to learn that pesticides found a way into your own body.
But how is this possible? – you may ask. If you are not a farmer or experience other
forms of direct exposure to the chemicals, you may think that you are safe. Even if it’s a big
environmental problem, at least this doesn’t affect your health, right?
The problem is, this is not how it works. Pesticides – the deadly dangerous DDT in
particular – transmit easily through the food chain.
This means that even though you don’t come in direct contact with the DDT,
your body may still contain an amount that is potentially health- or even life-threatening.
For example, one group of people who never came in direct contact with DDT had between
5.3 and 7.4 particles of DTT per million in their system. This may not sound like a lot – but
44

experiments have shown that even five particles per million may already cause liver cells to
disintegrate!
So how did this happen? Further investigation revealed that the DDT present in those
people’s bodies originated from alfalfa farms that used the pesticides for crop protection.
That contaminated alfalfa was later fed to chickens, which laid eggs that still contained
significant amounts of DDT.
By eating the eggs, people in the study still ingested a dangerously high amount of the
chemical.
Lesson 3: The two main solutions to the harmful effect of pesticides are education and
biological alternatives to deal with pests.
With all the information we possess about the harmful effects of pesticide use, we
can’t afford to behave as if we didn’t know. We know a hell of a lot – and we’ve known it for
more than 50 years, at least since Silent Spring was published.
So how can we gradually walk away from the chemical crop protection? How do we
make sure that we put enough attention and effort into preserving our natural environment?
The answer Carson gives us is two-fold: education and looking for less intrusive
alternatives to deal with pests.
The least each of us can do is to inform ourselves about not just the effects of using
chemical pesticides – but also, about the effect of human actions on the environment as a
whole. Once you start digging into it, it becomes clear that spraying chemicals on farms is
just one of the many human attempts to control nature. With the right education, we could
give up the idea of controlling – and instead, start cooperating with nature.
Then, Carson says, we should look into more environment-friendly ways of dealing
with pests. We already know of such methods, we just need to make sure that we employ
them. They include, for example, mass sterilization of pests or introducing specific parasites
and predators that help control the pest populations.
There are numerous innovative solutions at human disposal already. The important
question, however, is: will we decide to use them? Silent Spring turned out to be a milestone
in raising global awareness of environmental issues. It is insightful and well-written. The
book also conveys the voice of a woman who stood for truth even in the face of the assaults
from the chemical industry, which went after her. The determination and knowledge shine
through Carson’s words on every page.
Silent Spring Key Idea 2
45

The second verse of Joni Mitchell’s “Big Yellow Taxi” starts with the lines “Hey
farmer, farmer put away the DDT. Give me spots on my Apples and leave me the birds and
the bees.” The inspiration for Mitchell’s lyrics was the burgeoning environmental movement,
which owed many of its ideas and its strength to the shocking revelations contained in this
book summary.51
Though it took place more than 50 years ago, the story told in this book summary still
has great relevance today. Indeed, recent years have been the warmest on record, and
biological diversity and ecological resilience are being put to the test on a daily basis. This
book summary are a stark reminder of Mitchell’s iconic lines: “Don’t it always seem to go,
that we don’t know what we got ‘til it’s gone.”
In this summary of Silent Spring by Rachel Carson, you’ll find out
 what effect DDT had on robins at the University of Michigan;
 how hen eggs that are not treated with pesticides can still be poisonous; and
 why killing a harmful insect can be completely counterproductive.
1: Silent Spring Key Idea 2: The development and use of man-made poisons to kill pests
increased dramatically after World War II.
Unless you enjoy studying insects, you probably look at bugs as an unwanted
nuisance. This can be true for farmers as well, many of whom are eager to rid their land of
crop-eating pests.
So, in the years following World War II, many synthetic poisons were created to
combat these pesky bugs. The poisons that emerged during this period were a byproduct of
the work WWII scientists were doing in the field of chemical warfare. As certain chemicals
from war were discovered to also be lethal to insects, chemical pesticides were developed to
target what we deem to be “pests,” including insects, weeds and rodents.
Over 200 chemicals were developed in the period between the mid-1940s and the
1960s. And during this time, pesticide production skyrocketed to five times its previous rate;
in 1947, we produced between 124,000 to 259,000 pounds of pesticides, but by 1960 we were
up to 637,000 to 666,000 pounds.
These chemically manufactured poisons were also far deadlier than the ones used in
the past. Earlier forms of pesticides used organic chemicals like arsenic, a highly toxic
mineral that remained a basic ingredient in a number of weed and insect killers in the early
1960s. But studies showed that even arsenic has toxic, carcinogenic side-effects. Areas that

51
https://lifeclub.org/books/silent-spring-rachel-carson-review-summary
46

have been contaminated by arsenic have caused sickness or death in a variety of animals,
including horses, cows, goats, pigs, deer, fish and bees.
The chemical compounds that followed, however, would prove to be even more
dangerous. This is especially true for dichloro-diphenyl-trichloro-ethane, a popular
ingredient in pesticides that is better known as DDT. Though it was first synthesized by a
German chemist in 1874, its life as an insecticide didn’t begin until 1939.Modern pesticides
like DDT are used in the form of sprays, dusts and gases – and once it enters its target’s body,
in whatever form, it causes insidious and often deadly damage. These chemicals destroy
enzymes that protect the body, prevent oxidation, cause various organs to malfunction and
infect cells, slowly causing irreversible and malignant damage.
Silent Spring Key Idea 2: There is undeniable evidence that chemical pesticides have an
unintended and deadly impact on nature.
Scientists did come up with some generally effective ways of killing pests, but just as
arsenic had some pretty bad side effects, so did these new chemically manufactured
pesticides. While there are a number of ways chemicals like DDT might cause unintentional
harm, a primary concern is how it can damage the environment by entering our water
systems. Harmful chemicals can pollute our waters in a variety of ways. Hospitals and
laboratories produce radioactive waste; nuclear explosions spread poisonous fallout; cities
and factories dispose of domestic chemicals; and then there are the pesticides we spray on
gardens, crops, forests and fields. Water purification plants remove some harmful substances,
but synthetic chemicals like DDT can escape detection. For instance, a sample of drinking
water taken from a Pennsylvania orchard, and tested on fish in a laboratory setting, was found
to contain enough insecticide to kill every fish in just four hours. And a stream containing
water that had drained from a sprayed cotton field was also lethal to fish, even after it had
gone through a purification plant. There are numerous other case studies that highlight the
amount of damage these chemicals can cause in animals. Birds are especially vulnerable. All
across the United States, birds have lost the ability to fly and been left paralyzed and sterile
by chemical spraying.
In 1954, DDT was used on the Michigan State University campus to protect trees
from Dutch Elm Disease, a fungal infection spread by elm bark beetles. The following spring,
robins across the campus were found dead, dying or incapable of reproducing. And when
healthy new migrant birds appeared, they would also be dead or dying within a couple of
weeks. It turned out that the birds were eating poisonous earthworms that had fed on leaves
that were sprayed with DDT. Experiments revealed that the epidemic of dead birds was a
47

direct result of DDT ingestion, with the tissue of the dead birds containing high levels of the
chemical pesticide.
Silent Spring Key Idea 3: By working their way into our food chain, pesticides are a
poisonous threat to humans as well.
As you might imagine, what is lethal to fish and birds is probably not good for
humans. And, of course, that’s true: chemicals like DDT are an insidious danger.
Nonetheless, in the early 1960s, it was a common misconception to think of these chemicals
as being harmless.
After all, many people only knew of DDT as a powder that was used in wartime to
kill the lice that would plague soldiers, refugees and prisoners. Since it was applied directly
to the hair and skin, many people assumed that such chemicals must be safe. When used in its
powder form, however, the chemical is not easily absorbed through the skin and therefore it
is far less dangerous. But when it’s dissolved in oil to be used as a spray or gas, DDT is
dangerously toxic.
Even the smallest amounts can cause irrevocable harm. Experiments on animals have
shown that just three parts per million can inhibit an essential enzyme in the heart muscle,
while five parts per million cause liver cells to disintegrate. While there was still much testing
to be done in the early 1960s to determine how harmful chemicals like DDT were to humans,
the author knew that the potential was high.
In fact, at that time, the average amount of exposure to DDT was already far
exceeding the levels known to cause harm to the liver and other organs and tissues.
Those working in environments that offered direct exposure to DDT, such as agricultural
workers, showed levels of 17.1 parts per million; and workers at insecticide plants had 648
parts per million! But even people with no known exposure to DDT were still showing an
average of between 5.3 and 7.4 parts per million.
This was due to the poison entering our food chain: DDT was used to protect fields of
alfalfa; that alfalfa was used to feed hens; the hens then lay eggs contaminated with DDT,
and we ate those eggs.
Silent Spring Key Idea 4: The use of pesticides also destroys the delicate balance of
ecosystems, doing more harm than good.
At this point, given how harmful pesticides are to the environment, you might be
wondering how effective they are at doing their intended job. Amazingly, even here they tend
to cause dangerous problems.
Part of the problem stems from the fact that these chemicals kill indiscriminately.
48

This means that they don’t just kill their target; they also exterminate the predators that
naturally go after these pests. As a result, poisons like DDT end up disrupting nature’s own
system of checks and balances, which only functions properly when there’s a balance of
predators and prey.
A classic example of this system breaking down involves the Kaibab deer in Arizona.
There was once a time when the deer population in this area was living in harmony with its
environment, thanks to a variety of natural predators like coyotes, wolves and pumas.
But then a misguided campaign was launched to help protect the deer by killing off
these predators. As you might guess, once their enemies were removed, the deer population
grew out of hand and there wasn’t enough food for them to survive. Now the deer were
starving and dying at a higher rate than before, and the entire environment ended up being
damaged due to their desperate search for food.
This is exactly the kind of problem that can arise with chemical pesticides. Even when
they are reasonably effective in killing their target, they can unleash a whole new pest-related
problem that wasn’t there before.
This is what happened in 1956, when the US Forest Service sprayed 885,000 acres of
woodlands with DDT to combat the spruce budworm pest. The following summer it became
apparent that the spraying had caused an even greater problem: the DDT had also killed the
natural predators of the spider mite.
As a result, the spider mite turned into a worldwide pest, spreading at such a rate that
they damaged the majestic trees of the Helena National Forest and the slopes of the Big Belt
Mountains
Silent Spring Key Idea #5: To combat the harmful effects of these chemicals, we must
learn to be responsible and find holistic alternatives.
You might be asking yourself: How did these dangerous chemicals ever make it into
production and use? Unfortunately, there was a lack of proper tools and government
regulation when they were being introduced.
In the decades following WWII, there were no procedures for chemists to test for
these kinds of pollutants and no way to remove them from the water we use. Therefore,
chemically polluted water went undetected and the FDA and Department of Agriculture did
little to follow-up and determine if our food was being contaminated. And without protective
regulations, the government itself often launched chemical spraying projects without
conducting adequate research into potential dangers.
49

Meanwhile, pesticide companies simply claimed that their products were harmless
and helpful. To correct this kind of harmful behavior, we need to take more responsibility for
what we’re using and how much of it is being used.
While the author’s concerns date back to the 1960s, the same problems exist today.
Not enough research goes into healthier alternatives such as biological pest control, and such
alternatives certainly aren’t used enough. These include mass sterilization of pests, and
employing parasites, predators, pathogens and pheromones to control the population and lure
pests away. Approaches like these not only avoid the pitfalls of chemicals, they are also less
dangerous to us and the environment.
We can no longer afford to ignore nature’s warnings and the damage being done by
mankind’s chemical campaign against pests. Chemical spraying is just one of humanity’s
many misguided attempts to control nature, and it has resulted in devastating damage.
But it’s not just the fact that people are being contaminated; it’s that most people are unaware
of the dangers around them and that so little attention is being given to the harmful side
effects of pesticides.
At the very least, we must stay informed about the chemicals being used on our
environment and our food and the risks that come with them. Further, it doesn’t hurt to
question the human impulse to control nature that fuels us to use them in the first place.
The key message in this book:
Humanity has a long history of trying to control and dominate nature, rather than
living harmoniously with it, and this has resulted in the creation of many destructive forces.
One such force is the dangerous use of pesticides. While this was intended to rid us of weeds
and pests, it has actually had a much more detrimental effect on all living things. We must
introduce stricter regulations on the use of pesticides and, at the very least, educate ourselves
on their harmful impact.
Silent Sprint Key Ide 3
Rachel Carson menulis Silent Spring ketika dunia sedang merayakan industri kimia setelah
Perang Dunia II. Buku lingkungan yang sedih.52

Rachel Carson percaya bahwa kesehatan manusia merefleksikan keadaan lingkungan.


Jika dunia modern direpotkan oleh mewabahnya virus-virus ganas, ia menunjukkan bahwa
lingkungan kita tak sedang baik-baik saja. Penyakit, virus, kuman, akan muncul menginvasi
ruang hidup manusia karena mereka kehilangan rumah akibat habitat yang rusak.

52
https://www.forestdigest.com/detail/568/mengenang-rachel-carson-penulis-silent-spring
50

Perusak lingkungan itu adalah manusia. Rachel Carson menginvestigasi ulah kita itu
dan menuliskannya dengan liris dalam buku yang membuat kita paham bahwa ilmu
pengetahuan bisa memprediksi masa depan: Silent Spring. Buku ini terbit pada 1962, dua
tahun sebelum Carson wafat pada hari ini, 14 April, di usia 56. Pada zamannya, Silent
Spring memicu debat panas di kalangan ilmuwan, pebisnis, hingga politikus Amerika.
Dunia waktu itu sedang menikmati masa kebebasan dan kemajuan ekonomi seusai
Perang Dunia II dan terjebak dalam Perang Dingin memperebutkan pengaruh kapitalisme di
Barat dan komunisme di Timur, dengan saling ancam dalam industri bom atom. Amerika
sedang merayakan kapitalisme. Carson mencatat produksi pestisida sintesis di sana naik 5
kali lipat pada 1960 dibanding pada 1947. Industri, pertanian, peternakan, perikanan, sedang
digenjot untuk memenuhi hasrat menjadi negara adidaya.
Maka kritik dan kecemasan Carson diragukan di mana-mana. Tidak hanya karena ia
tak punya gelar doktor bahkan profesor di universitas terkenal yang menjadi kriteria ilmuwan
yang diakui, yang paling pokok adalah karena ia perempuan. Perempuan yang menggeluti
ilmu yang tak populer: biologi kelautan.
Amerika tahun 1960-an adalah Amerika yang masih rasialis. Perempuan, betapa pun
perannya penting dan dicatat dalam sejarah negara itu, ia masih tersisih atau disisihkan dalam
peran-peran publik. Maka tulisan-tulisan Carson dicibir di mana-mana hingga Presiden
Kennedy menengahi perselisihan itu dengan menurunkan sebuah tim untuk mengecek
temuan-temuan Carson dalam Silent Spring.

Hasilnya memang memicu lahirnya lembaga-lembaga pemantau lingkungan, pakta-


pakta dan diskusi global tentang masa depan planet ini. Makin banyak orang tertarik pada
ilmu biologi, seperti dicatat Edward O. Wilson yang menulis kata penutup untuk buku ini
dalam edisi perbaruan pada 2002.
Silent Spring tak hanya liris dan memikat dalam menuturkan pikiran dan argumen
Carson. Lebih dari itu ia berangkat dari temuan di lapangan. Carson meneliti dampak obat
kimia dalam mendongkrak produksi pertanian, perikanan, peternakan terhadap lingkungan. Ia
51

menunjukkan dengan telak kerusakan begitu nyata akibat DDT terhadap hewan air, satwa
tanah, bahkan burung-burung di udara.
Ia mengukur kadar polutan dan zat kimia di sungai-sungai Alabama, di pesisir pantai
Florida, dan mencatat kerusakan dan hilangnya mikroorganisme di dasar-dasar sungai, di
dalam tanah yang membuat suhu udara dan ekosistem tak lagi seimbang. Pada akhirnya
semua tragedi itu akan membuat manusia sakit dan merana. “Di masa depan ini akan
memungkinkan plasma kuman berubah secara by design,” tulisnya.

Ia menyodorkan istilah yang tepat untuk obat-obat kimia penyubur tanah itu. Ia
menolak istilah “insektisida” yang dipakai ketika itu untuk obat pembasmi hama dan
serangga. Carson mengusulkan istilah baru: “biosida”, yang bermakna racun pembunuh
semua bentuk kehidupan. Kita tahu, siapa yang menang dalam pertarungan wacana itu kini.
Tapi, kini kita juga menyaksikan apa yang diramalkan Carson sungguh-sungguh
terbukti. Polusi udara yang membuat suhu bumi naik, pencemaran tanah, polusi air, adalah
problem-problem pelik yang dihadapi dunia modern akibat manusia terus menerus
mengeksploitasi sumber daya alam demi ekonomi, demi hasrat peradaban.
Racun dan suhu udara yang naik akan membunuh ganggang di laut Pasifik membuat
tiram kehilangan pakan sehingga burung-burung yang memangsanya menjadi sakit. Mereka
menularkan virus ke hewan laut lain ketika bermigrasi mencari pakan di samudra lain. Hewan
berpenyakit itu kemudian dimangsa manusia dan lahirlah pandemi.
Pemanasan global hanya dampak lain dari menyusutnya keragaman hayati di planet
ini yang memicu mutasi gen, membangkitkan virus-virus yang kehilangan inang. Pada
akhirnya, kata Carson, ulah kita itu akan berbalik kepada manusia sendiri.
Segala polusi dari atas dan bawah itu akan kian melemahkan sistem alamiah
kekebalan tubuh manusia. Organ manusia telah didesain membunuh kuman dan virus dalam
tubuh sehingga kita bisa menang melawan penyakit. Ketika kekebalan itu menurun, virus
yang makin kuat karena mutasi akibat zat kimia, akan menyerang dengan mudah sistem
pertahanan kita.
52

Dari judul bukunya ini saja, Carson telah mengingatkan bahwa planet tak akan lagi
seindah dibanding setelah kita mendesain kerusakan alam demi keserakahan. Burung-burung
tak akan terdengar bernyanyi lagi ketika pagi. Suara-suara hewan liar akan hilang karena
habitatnya kita rebut. Musim semi akan menjadi sunyi. Kelak, kesunyian itu tak hanya karena
bumi kehilangan kicau burung, tapi mungkin juga suara manusia.
Kutipan Rachel Carson yang Dipilih
• Penguasaan alam ialah frase yang dikandung dalam rahim kesombongan, lahir dari zaman
Neanderthal biologi dan filsafat ketika dianggap bahwa alam ada demi kenyamanan
manusia. Konsep dan praktek entomologi terapan sebagian besar berasal dari ilmu
pengetahuan Zaman Batu. Inilah kemalangan kita yang mengkhawatirkan bahwa ilmu
pengetahuan yang begitu primitif telah mempersenjatai dirinya dengan senjata paling modern
dan mengerikan dan dalam mengubahnya melawan serangga ia juga mengubahnya melawan
bumi.
• Melalui semua pendekatan baru, imajinatif, dan kreatif untuk masalah berbagi bumi kita
dengan makhluk lain di sana menjalankan tema yang konstan, kesadaran bahwa kita
berurusan dengan kehidupan dengan populasi yang hidup dan semua tekanan dan kontra
tekanan mereka, lonjakan mereka, dan resesi. Hanya dengan mempertimbangkan kekuatan
kehidupan seperti itu dan dengan hati-hati berusaha membimbing mereka ke saluran yang
menguntungkan bagi diri kita sendiri, kita dapat berharap untuk mencapai akomodasi yang
wajar antara gerombolan serangga dan diri kita sendiri.
• Kami berdiri sekarang di mana dua jalan menyimpang. Tapi tidak seperti jalan dalam puisi
akrab Robert Frost, jalan itu tidak adil. Jalan yang telah lama kita lalui ternyata mudah, jalan
tol yang mulus yang kita lewati dengan kecepatan tinggi, tetapi di ujungnya terdapat
bencana. Persimpangan jalan lainnya - yang jarang dilalui - menawarkan kesempatan terakhir
kita, satu-satunya kesempatan kita untuk mencapai tujuan yang menjamin kelestarian bumi.
• Jika saya memiliki pengaruh dengan peri baik yang seharusnya memimpin pembaptisan
semua anak, saya hendaknya meminta agar pemberiannya kepada setiap anak di dunia
menjadi rasa ingin tahu yang begitu tak terhancurkan sehingga akan bertahan sepanjang
hidup.
• Untuk semua pada akhirnya kembali ke laut - ke Oceanus, sungai samudra, seperti aliran
waktu yang selalu mengalir, awal dan akhir.
• Salah satu cara untuk membuka mata Anda adalah dengan bertanya pada diri sendiri,
'Bagaimana jika saya belum pernah melihat ini sebelumnya? Bagaimana jika saya tahu saya
tidak akan pernah melihatnya lagi? '”
53

• Mereka yang tinggal, sebagai ilmuwan atau orang awam, di antara keindahan dan misteri
bumi tidak pernah sendirian atau lelah hidup.
• Jika fakta adalah benih yang nantinya menghasilkan pengetahuan dan kebijaksanaan, maka
emosi dan kesan indera adalah tanah subur tempat benih itu harus tumbuh.
• Jika seorang anak ingin tetap menghidupkan rasa ingin tahu bawaannya, dia membutuhkan
penemanan dari setidaknya satu orang dewasa yang dapat membagikannya, menemukan
kembali kegembiraan, kegembiraan, dan misteri dunia yang kita tinggali bersamanya.
• Adalah hal yang sehat dan perlu bagi kita untuk kembali ke bumi dan dalam kontemplasi
akan keindahannya untuk mengetahui keajaiban dan kerendahan hati.
• Hanya dalam momen waktu yang diwakili oleh abad ini, ada satu spesies - manusia -
memperoleh kekuatan signifikan untuk mengubah sifat dunianya.
• Mereka yang merenungkan keindahan bumi menemukan cadangan kekuatan yang akan
bertahan selama kehidupan berlangsung.
• Semakin jelas kita dapat memusatkan perhatian kita pada keajaiban dan realitas alam
semesta tentang kita, semakin sedikit rasa yang akan kita miliki untuk kehancuran.
• Tidak ada sihir, tidak ada aksi musuh yang membungkam kelahiran kembali kehidupan baru
di dunia yang terpukul ini. Orang-orang telah melakukannya sendiri.
• Seperti sumber daya yang ingin dilindungi, konservasi satwa liar harus dinamis, berubah
seiring dengan perubahan kondisi, selalu berusaha menjadi lebih efektif.
• Untuk berdiri di tepi laut, merasakan pasang surutnya air pasang, merasakan nafas kabut
yang bergerak di atas rawa asin yang besar, untuk menyaksikan burung-burung pantai yang
terbang naik turun di jalur selancar dari benua selama ribuan tahun yang tak terhitung,
melihat larinya belut tua dan belut muda ke laut, berarti memiliki pengetahuan tentang hal-hal
yang hampir kekal seperti kehidupan duniawi mana pun.
• Tidak ada setetes air pun di lautan, bahkan di bagian terdalam jurang, yang tidak
mengetahui dan menanggapi kekuatan misterius yang menciptakan pasang surut.
• Mode racun saat ini telah gagal sama sekali untuk memperhitungkan pertimbangan yang
paling mendasar ini. Sekasar senjata seperti tongkat manusia gua, rentetan kimiawi telah
dilemparkan ke kain kehidupan sebagai kain, di satu sisi, halus dan dapat dihancurkan, di sisi
lain secara ajaib tangguh dan tangguh, dan mampu menyerang balik dengan cara yang tidak
terduga. Kapasitas hidup yang luar biasa ini telah diabaikan oleh para praktisi pengendalian
kimiawi yang telah membawa pada tugas mereka tidak ada orientasi berpikiran tinggi, tidak
ada kerendahan hati di hadapan kekuatan besar yang mereka ganggu.
• Semprotan, debu, dan aerosol ini sekarang diterapkan hampir secara universal pada
pertanian, kebun, hutan, dan bahan kimia non-selektif rumah yang memiliki kekuatan untuk
54

membunuh setiap serangga, yang "baik" dan "buruk", untuk menenangkan kicauan burung
dan lompatan ikan di sungai, untuk melapisi daun dengan lapisan yang mematikan, dan
berlama-lama di tanah - semua ini meskipun target yang dituju mungkin hanya beberapa
gulma atau serangga. Adakah yang percaya bahwa mungkin untuk meletakkan rentetan racun
di permukaan bumi tanpa membuatnya tidak cocok untuk semua kehidupan? Mereka
seharusnya tidak disebut "insektisida", tetapi "biosida"

2.4.2. Lynn White (Lihat Yohanes Hasiholan Tampubolon , PDF)


Pada umumnya dikatakan bahwa krisis ekologi berawal mula dari berkembangnya
rasionalisme yang memisahkan ilmu pengetahuan dari agama sejak abad pertengahan.
Menurut Ernest Gellner titik fokus rasionalisme ialah “percaya pada eksistensi pengetahuan
yang bertransenden terhadap kultur tetapi tidak percaya akan Wahyu yang substantif, yang
transenden dan yang final”53 Pengetahuan harus dibebaskan dari teks-teks klasik dan
kebenaran ilmiah harus dipisahkan dari kebenaran yang direvelasikan seperti yang
dibicarakan dalam agama dan teologi.54
Pola pikir – pola pikir ini menobatkan knowledge sebagai pangeran atau ratu penguasa
baru, ipsa scientia potestas est atau knowledge is power, seperti disuarakan oleh Francis
Bacon ketika berbicara tentang the utility of knowledge.55 Alhasil, “tak ada fakta kehidupan
kontemporer yang jauh lebih terang benderang daripada semakin bertumbuhnya
ketidakpercayaan atas kebenaran final dan keraguan atas kepastian apapun akibat kemajuan
ilmu pengetahuan.”56
Hal inilah yang membuat manusia memiliki pendapat bahwa rasiolah satu-satunya
ukuran manusia dalam berprilaku, baik terhadap sesama maupun terhadap alam. Sejak itulah
alam dijadikan obyek bagi kepentingan manusia.

53
Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (New York: Routledge, 1992), 75-76
54
Uraian detail tentang pola pikir rasionalistik murni ini bisa ditemukan dalam karya James W. Sire,
The Universe Next Door, Edisi 3 (Downers Grove, III: InterVarsity Press, 1997), bab 1-4
55
Samuel Enoch Stumpf, Op. Cit., 221; The phrase scientia potentia est (or scientia est potentia or also
scientia potestas est) is a Latin aphorism meaning knowledge is power. It is commonly attributed to Sir Francis
Bacon, although there is no known occurrence of this precise phrase in Bacon's English or Latin writings.
However, the expression ipsa scientia potestas est ('knowledge itself is power') occurs in Bacon's  Meditationes
Sacrae (1597). The exact phrase scientia potentia est was written for the first time in the 1668 version of the
work Leviathan by  Thomas Hobbes, who was a secretary to Bacon as a young man. The related phrase
sapientia est potentia is often translated as wisdom is power. Kata Hobbes: “Scientia potentia est, sed parva;
quia scientia egregia rara est, nec proinde apparens nisi paucissimis, et in paucis rebus. Scientiae enim ea
natura est, ut esse intelligi non possit, nisi ab illis qui sunt scientia praedit” = The sciences are small powers;
because not eminent, and therefore, not acknowledged in any man; nor are at all, but in a few, and in them, but
of a few things. For science is of that nature, as none can understand it to be, but such as in a good measure have
attained it. Lihat, https://en.wikipedia. org/wiki/Scientia_potentia_est. Diakses 4 Desember 2020, jam 18.55
56
Carl Henry, God Who Speaks and Shows, Preliminary Considerations (Texas: Waco, Word Books
1976), 1.
55

Lynn White berpendapat lain: kerusakan lingkungan yang semakin parah ini justru
disebabkan oleh ide-ide dan nilai-nilai. Menurut White, ide-ide dan nilai-nilai memiliki
peranan besar dalam degradasi lingkungan di abad ke-20.

2.4.2.1. Kekristenan Adalah Sebab Kerusakan Alam


1:28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:  a  "Beranakcuculah dan
bertambah b  banyak 2 ; penuhilah bumi c  dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas  d  ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.  e "

Di tengah berbagai kenyataan kerusakan bumi saat ini, pada tahun 1967, Lynn White
menerbitkan tulisan yang berjudul The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Tulisan
tersebut bisa dikatakan kontroversional karena ia berpendapat bahwa pengaruh agama Kristen
dalam abad pertengahan merupakan akar penyebab kerusakan lingkungan di abad ke-20.
Tidak hanya bumi yang sedang menghadapi krisis lingkungan, namun etika Kristenpun
sedang mengalami krisis. Setelah tulisan tersebut beredar, berbagai tanggapanpun
bermunculan. Hingga saat ini hampir pasti ditemukan referensi dari tulisan Lynn White
tersebut di buku-buku etika Kristen yang membahas mengenai lingkungan. Namun, di sisi
lainnya, Lynn White juga menerbitkan tulisan mengenai etika Kristen yang mendukung
pelestarian keutuhan ciptaan.
Ayat yang menjadi fokus diskusi adalah Kej 1:28 dalam madah penciptaan Priest.
Konteks ceritanya adalah sebagai berikut: Setelah Allah menciptakan langit dan bumi dan
mengisinya dengan segala makhluk yang bergerak di cakrawala, dalam air, di udara dan di
atas muka bumi, pada hari keenam direncanakanNya membuat manusia menurut gambar dan
rupa Allah sendiri, agar manusia 'berkuasa' atas makhluk-makhluk yang lain itu. Dan
demikian terjadi. Manusia diciptakan menurut gambar Allah, laki-laki dan perempuan, lalu
diberkati Allah dengan kata-kata ini: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah
bumi dan taklukkanlah itu {yunani: kibsylrha, dari kata kerja kabbasy), berkuasalah (a r,
redu, dari kata kerja raddah) atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28b).

Sementara begitu banyak teolog membanggakan hubungan antara iman penciptaan


Alkitab dan perkembangan ilmu-ilmu dan teknik modern, muncullah tulisan seorang
sejarawan di Los Angelos, namanya Lynn White Jr., yang pada dasarnya memiliki pemikiran
yang sama namun menilainya secara terbalik. Ia pun berpandangan bahwa ilmu dan teknologi
modern berakar dalam ajaran Yahudi - Kristen tentang penciptaan, yang pada gilirannya
56

berakar dalam cerita-cerita penciptaan Alkitab. Lynn White membebankan seluruh masalah
kerusakan lingkungan hidup, akibat ilmu dan teknologi modern, kepada iman kepercayaan
Kristen itu.

Sambil meringkas cerita-cerita penciptaan, White menulis, "Allah merencanakan


semuanya secara eksplisit untuk kepentingan dan kuasa manusia: apa pun dalam dunia
ciptaan fisik tidak mempunyai maksud lain daripada melayani keinginan manusia. Dan
kendatipun tubuh manusia dibuat dari tanah, ia bukan bagian alam saja: ia dibuat menurut
gambar Allah. Khususnya dalam bentuknya yang Barat, kekristenan adalah agama yang
paling antroposentris yang pernah muncul di dunia...Manusia sedikit banyak berbagi dalam
transendensi Allah terhadap alam. Kekristenan, dalam kontras mutlak dengan agama kafir
kuno dan agama-agama Asia, tak hanya menciptakan dualisme manusia dan alam tetapi juga
menegaskan bahwa telah menjadi kehendak Allah, manusia mengeruk (exploits) alam untuk
tujuan manusia sendiri."

2.4.2.2. Makna Tulisan Lynn White


Eksploitasi terhadap alam semakin masif sejak revolusi industri yang ditandai dengan
hadirnya pabrik-pabrik dan berkembangnya teknologi secara cepat. Di tengah kerusakan alam
yang semakin masif, manusiapun mulai memikirkan mengenai etika lingkungan. Tulisan
Rachel Carson yang berjudul Silent Spring pada tahun 1962 mengawali literatur lainnya.
Pada periode 1960-an ada juga terbit tulisan dari Garret Hardin yang berjudul The Tragedy of
the Commons (1968) dan Paul Ehrlich yang berjudul The Population Bomb (1968). Kedua
tulisan tersebut melihat stimulus degradasi lingkungan berasal dari dorongan ekonomi dan
pertumbuhan populasi manusia. Tulisan Lynn White memiliki keistimewaan dibandingkan
tulisan mengenai isu lingkungan lainnya di periode 1960-an. Lynn White lebih memerhatikan
persoalan ide-ide dan nilai-nilai manusia yang mendasari kerusakan lingkungan. Wacana
pada umumnya di masa itu lebih melihat penyebab material dari kerusakan lingkungan,
seperti dampak polusi terhadap kesehatan manusia, masalah ekonomi dan teknologi hingga
persaingan politis memperebutkan sumber daya alam (fn 1)
Hadirnya tulisan White di tahun 1967 memberikan wacana segar dan kontroversional
mengenai etika lingkungan. Berbeda dengan Lynn White, wacana lainnya cenderung
menggunakan pendekatan instrumental dalam melihat persoalan lingkungan. Menurut White,
ide-ide dan nilai-nilai memiliki peranan besar dalam degradasi lingkungan di abad ke-20.
Kekristenan kemudian dituduh menjadi agama yang paling bertanggung jawab atas apa yang
57

terjadi saat ini. Krisis lingkungan yang lebih banyak di lihat karena perkembangan sains dan
teknologi dibalikkan oleh White yang mengidentifikasi ide-ide dan nilai-nilai agama yang
menjadi akar persoalan. Jika ingin memperbaiki persoalan tersebut, maka perlu ada set nilai-
nilai dasar baru yang diterima masyarakat (White 1967:1207). Kontroversi dan
perdebatanpun terus-menerus terjadi di tengah hadirnya wacana baru tersebut.
Tulisan White tersebut adalah awal dari upaya memahami nilai-nilai dan ide-ide yang
berdampak pada perilaku dan sikap terhadap alam. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
Lynn White merupakan “episenter” etika lingkungan yang ada pada saat itu. John Callicott,
seorang filsuf Amerika dan berperan penting dalam mengembangkan filsafat lingkungan,
menggambarkan The Historical Roots of Our Ecologic Crisis sebagai seminal paper dalam
etika lingkungan (Callicott 1999:40). Teolog Kristen yang mengajarkan mengenai
penatalayan ciptaan Allah dengan baik seperti James Barr, Francis Schaeffer, dsb., menurut
Callicott diprovokasi oleh White (Callicott 1999:41). Callicott setuju dengan klaim bahwa
apa yang kita lakukan tergantung pada apa yang kita pikirkan dan jika kita ingin mengubah
apa yang kita lakukan terhadap lingkungan, tentunya kita harus mulai dengan mengubah apa
yang kita pikirkan tentang lingkungan (Callicott 1999:40).
Menurut ahli etika lingkungan, Willis Jenkins, tulisan White sangat berpengaruh
dalam membentuk etika agama memahami masalah lingkungan (Jenkins 2009:283).
Menurutnya, Lynn White membuat kontroversi dengan berpendapat bahwa akar krisis
ekologis terletak pada kosmologi agama, khususnya dalam pandangan antroposentrisme dan
instrumentalis dari kekristenan barat, namun di sisi lain, metode Lynn White dalam
menghubungkan implikasi moral kosmologi agama dengan masalah lingkungan telah
membantu mengembangkan bidang akademik etika lingkungan dan agama (Jenkins
2009:283). Dengan demikian, karya White memiliki dampak yang luas, tidak hanya bagi
etika lingkungan tetapi juga etika agama.
Pemikiran White berdampak penting dalam sejarah filsafat lingkungan dan etika
lingkungan Kristen. Di periode kehidupannya lebih banyak ahli menyoroti penyebab material
dari kerusakan lingkungan (Carson dan Ehrlich), sedangkan White melihat akar kerusakan
lingkungan adalah ide-ide dan nilai-nilai kosmologi Kristen yang mendorong perilaku
eksploitatif. Namun, White tidak sekadar mengkritisi kekristenan, ia juga mengembangkan
etika “hijau” yang didasari pada ajaran kristen.
58

2.4.2.2. Etika Kristen Dalam Krisis


White melihat bahwa etika Kristen berada dalam keadaan krisis yang bahkan belum
pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah tradisi Kristen. Lynn White mengeksplorasi nilai-
nilai Kristiani yang dituliskan dalam The Ecumenical Review pada tahun 1978, berjudul The
Future of Compassion, White menjelaskan bahwa saat ini etika Kristen telah usang, bahkan
dalam zaman ini menjadi destruktif sehingga perlu arah yang baru demi masa depan yang
lebih baik (White 1978:104–5).
White melihat konsumerisme telah mendominasi budaya saat ini dan menghancurkan
“kerohanian” kekristenan, hal itu akan berdampak pada krisis kemudian akan menghancurkan
secara fisik kecuali manusia mengubah nilai-nilai dominan yang ada saat ini yaitu nilai-nilai
dominan destruktif yang berasal dari kekristenan. Di sisi lainnya kekristenan gagal melihat
konteks perubahan zaman dan mempertimbangkan perubahan moral untuk berbelas kasihan
kepada para budak, perempuan dan hewan (White 1978:100–104). Keadaan yang demikian
dianggap merupakan kegagalan etika Kristen apalagi ditambah pertimbangan untuk peduli
terhadap lingkungan.
White melihat hal-hal praktis yang dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan
tampak terlalu parsial, paliatif, negatif: seperti melarang bom, merobohkan papan reklame,
memberikan alat kontrasepsi atau kembali ke masa lalu yang romantis (White 1967:1204).
White tidak menjelaskan secara spesifik halhal praktis apa yang harus dilakukan, namun ia
mengajak untuk mengklarifikasi pemikiran dengan melihat kembali kepada sejarah, pada
presuposisi yang mendasari teknologi dan sains, mengeksplorasi sisi teologis dan etis lebih
lanjut (White 1967:1204). Mengatasi permasalahan lingkungan perlu dengan cara
memikirkan kembali aksioma yang mendasari kehidupan saat ini.
Matthew Riley melihat tulisan White mencerminkan gagasan Max Weber yang mana
pendekatan penyelesaian krisis ekologis perlu didahului dengan pemeriksaan fondasi Kristen
yang dianggap mendukung perusakan lingkungan (Riley 2017:67). Gagasan White tersebut
tertulis demikian:
“I personally doubt that disastrous ecologic backlash can be avoided simply by
applying to our problems more science and more technology. Our science and technology
have grown out of Christian attitudes toward man’s relation to nature which are almost
universally held not only by Christians and neo-Christians but also by those who fondly
regard themselves as post-Christians. Despite Copernicus, all the cosmos rotates around our
little globe. Despite Darwin, we are not, in our hearts, part of the natural process. We are
59

superior to nature, contemptuous of it, willing to use it for our slightest whim.” (White
1967:1206)
Tantangan bagi kekristenan adalah melampaui etika instrumentalis yang berpusat
pada manusia dan mulai memikirkan set pemikiran yang peduli pada keutuhan ciptaan. Etika
instumentalis memandang bahwa manusia adalah satu-satunya yang memiliki nilai instrinsik.
Pandangan instrumentalis tentang alam memisahkan secara ontologis antara manusia dan
alam, seperti dalam tulisan-tulisan John Locke dan Francis Bacon yang menggambarkan alam
hanya sebagai sumber daya, pandangan ini tercermin dan didukung oleh karya Immanuel
Kant yang memahami manusia sebagai satu-satunya pembawa nilai intrinsik, sementara
hewan dan alam diklasifikasikan dalam istilah instrumental sebagai sarana untuk mencapai
tujuan manusia (Riley 2017:68).
White memandang gagasan bahwa alam dirancang semata-mata untuk keuntungan
umat manusia merupakan ciri khas yang sangat penting dari kekristenan abad pertengahan.
Gagasan tersebut menuntun pada sikap eksploitatif terhadap alam dan ini tidak lepas dari
kemenangan kekristenan atas paganism (White 1967:1205). Kekristenan mengajarkan
dominasi eksploitatif manusia atas alam dan membebaskan manusia secara spiritual untuk
mengeksploitasi alam. Gagasan ini tersebar dengan sikap antianimisme dan memberantas
paganisme ketika penyebaran agama kristen berlangsung di abad pertengahan. Hal ini perlu
dilakukan karena kepercayaan orang-orang Eropa pra-kristen melihat alam non-manusia
memiliki nilai-nilai intrinsik.
Upaya Kekristenan untuk memberantas paganisme dan pandangan animistik
meletakkan dasar dasar etis, psikologis, agama, dan sosial yang nantinya memungkinkan para
pemikir, seperti Descartes, untuk memproklamirkan hewan menjadi tidak lebih dari mesin
belaka (Riley 2017:69). Pandangan yang berpusat pada manusia ini dianggap akan membawa
kehancuran karena akan mengarah pada sikap instrumentalis dimana alam digunakan untuk
kepentingan manusia semata.
White melihat begitu pentingnya perubahan pandangan dunia. Ia melihat sikap anti
animisme yang menyebar seiring dengan masuknya ajaran kekristenan disebut sebagai
revolusi psikis terbesar dalam sejarah (White 1967:1205). Revolusi psikis itu mengakibatkan
manusia mempunyai lisensi penuh untuk mengeksploitasi alam tanpa peduli nilai-nilai
intrinsik dari alam. Jika pemberantasan pemahaman animisme dan paganisme menyebabkan
ketidakpedulian dan perilaku eksploitatif pada alam, maka cara memulihkan atau
memperlambat krisis ekologis ialah membalikkan pandangan kekristenan yang telah ada.
60

2.4.2.3. Spiritual Democray: Etika Alternatif


White berpendapat bahwa tidak perlu ada agama baru yang menggantikan
kecenderungan etika antroposentrisme kekristenan, yang diperlukan adalah interpretasi yang
radikal untuk membalikkan kecenderungan antroposentris tersebut. White menganjurkan
posisi teologis yang disebut demokrasi spiritual semua makhluk Tuhan (spiritual democracy
of all God’s creatures) dan terkadang menggunakan istilah demokrasi semua makhluk Tuhan
(democracy of all God’s creatures) di hampir semua karyanya yang diterbitkan tentang
agama dan ekologi baik itu di Historical Roots, Christian Impact on Ecology, Snake Nests
and Icons, Continuing the Conversation, A Remark from Lynn White, Jr., The Future of
Compassion, Commentary on St. Francis of Assisi dan Ecology and Religion (Riley
2014:940–45). Posisi teologis yang dianjurkan White kemudian diharapkan dapat
menggantikan interpretasi tulisan Alkitab tentang penguasaan dan penatalayanan ciptaan
yang dianggap instrumentalis. Menurutnya, posisi teologis tersebut didukung oleh pandangan
St. Fransiskus dari Asisi, Mazmur 96: 11–13 dan Daniel 3: 57–90.
Mazmur 96:11-12 tersirat alam ciptaan Allah memiliki nilai-nilai intrinsik, seperti
yang tertulis: "Biarlah langit bersukacita dan bumi bersorak-sorak, biarlah gemuruh laut serta
isinya, biarlah beria-ria padang dan segala yang di atasnya, maka segala pohon di hutan
bersorak-sorai." Namun, menurut White, nilai yang tertinggi ditemukan dalam kitab Daniel
3:57-90 yang bertemakan “Song of the Three Children of Israel in the Fiery Furnace".
Dalam teks tersebut seluruh ciptaan baik itu malaikat, matahari, bulan dan bintang, hujan,
embun, angin dan api, es dan salju, malam dan siang hari, kilat dan awan, gunung dan bukit,
laut dan sungai, makhluk laut, burung, binatang buas, anak-anak manusia, Israel, para imam
Allah, jiwa-jiwa orang benar, orang-orang yang rendah hati semuanya diperintahkan untuk
memuji dan mengagungkan Allah selamanya (White 1978:106). Teks ini tidak membedakan
semua makhluk, sehingga, manusia tidak berada pada posisi dominasi atas ciptaan lainnya,
namun, sebagai mitra untuk memuji Allah. Ciptaan Allah lainnya tidak bisa dipandang
semata-mata instrumental kehidupan manusia dan manusia bukanlah pusat nilai kehidupan.
Konsep etika penatalayananpun dianggap White tetap bersifat antroposentris sehingga
dianggap gagal untuk terlibat dalam pembaharuan psikis secara radikal. Etika penatalayanan
hadir di tengah etika dominasi yang eksploitatif, etika tersebut disebut sebagai pemikiran
“bijaksana” namun akan memperdalam permasalahan:
“Religious thinkers have been precipitously abandoning the doctrine of Man’s
Dominion over Nature for that of Man’s Trusteeship [i.e. Stewardship] of Nature. This is
rational, because no other visible creature seems to be as capable of analysing complex
61

situations and calculating the options as is homo sapiens. Yet it is precisely for this rational
reason that this choice will only deepen disaster: it overlooks the fact of sin, which is
compounded of inertia, of a nice talent for discovering moral reasons for committing evil
deeds, and of self-love both individual and for our species as compared with other creatures.
Mankind cannot be trusted to be trustee [e.g. stewards] for the rest of nature.” (White
1978:106)
White berpendapat bahwa manusia tidak dapat dipercaya untuk menempatkan
kepentingan yang lain (nonmanusia) di atas kepentingannya (manusia) sendiri. Sifat egoisme
manusia tersebut tidak terlepas dari dosa asal yang menyelimutinya. Karena hal tersebut,
White yakin bahwa mengganti gagasan tentang dominasi dengan etika penatalayanan hanya
akan memperburuk masalah ekologis. Hal ini dikarenakan penatalayanan tetap menempatkan
manusia di atas makhluk lain dalam hierarki dan ciptaan Allah nonmanusia lainnya tetap
dipandang sekadar alat yang digunakan untuk tujuan manusia, oleh karena itu, etika Kristen
harus dibersihkan dari semua motivasi yang terlihat “bijaksana” (White 1978:107).
White mengharapkan kekristenan melampaui etika antroposentris, baik itu yang
dibingkai dengan kata dominansi ataupun penatalayanan. Sesuai dengan diktum Kant, tidak
ada orang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan orang lain, White ingin
etika tersebut juga berlaku pada alam. Alam tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan manusia, sehingga diperlukan transformasi etika agama untuk memperoleh
pemaknaan yang berbeda mengenai keberadaan semua ciptaan.
Etika yang disarankan White adalah manusia dan nonmanusia bersamasama
merangkul dalam bagian demokrasi spiritual semua makhluk Tuhan. Orang Kristen perlu
memberikan cinta kasih kepada semua ciptaan, baik itu tumbuhan, hewan dan seluruh bagian
alam biotik agar manusia dan makhluk lain dapat berkembang bersama (White 1978:109).
Riley menemukan artikel Lynn White yang tidak dipublikasikan dan tidak bertanggal,
berjudul Rethinking Science for a Rethought World, tertulis:
“The humane movement is morality at its best because there is nothing prudential
about it. It is the expression of an abstract obligation to fellow-creatures without expectation
of reward or fear of consequences if one fails in the obligation. After all, actions motivated by
such fears or hopes are not moral but merely expedient. Probably as the ecological
movement matures, it likewise will become less prudential. Certainly today there is a
response to suffering in animals which has no precedent in our culture and which indicates
that our notion of the man-nature relationship has been changing more profoundly than most
of us have suspected.” (Riley 2017:74)
62

White melihat perlu adanya perubahan yang mendalam dalam gerakan etis yang
dilakukan. Dalam tulisan White berjudul Continuing the Conversation kepedulian yang bagi
kesejahteraan seluruh “makhluk” tidak hanya bagi yang hidup (tumbuhan dan hewan), namun
juga benda-benda mati (White 1973:62–63). Semua “makhluk” tersebut adalah rekan
spiritual otonom untuk memuji Allah. Dalam persekutuan seluruh makhluk yang ia
bayangkan, semua bagian alam adalah penyembah otonom dalam “demokrasi spiritual”
kosmik yang luas, yang disatukan oleh ikatan kekerabatan dan persahabatan (White 1973:61).
Ia menuliskan:
“Today, we have the creaturely companionship not only of the flowering tree that so
enraptured Schweitzer, or the earthworm that he removed from the perils of the sidewalk: we
can sense our comradeship with a glacier, a subatomic particle or a spiral nebula. Man must
join the club of the creatures. They may help to save us from ourselves.” (White 1978:107)
White menggunakan term “makhluk” (ciptaan) dalam bentuk yang inklusif,
dikarenakan term tersebut tidak hanya menunjukkan makhluk hidup tapi seluruh entitas tidak
bernyawa, konsep tersebut ada dalam berbagai tulisan White seperti “Christian and Nature”,
“The Future of Compassion” dan “Commentary on St. Francis of Assisi” (Moore 2014; White
1982:17–19).
Jadi, sebagai orang Kristen, perintah mengasihi Allah dan sesama harus diperluas
kepada ciptaan Allah nonmanusia. Cinta kasih dan kepedulian semua makhluk ciptaan Allah
dan kepada Allah seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Etika tersebut didasari
atas semua ciptaan Allah memiliki nilai otonom tidak didasari atas relasi hirearkis manusia
dan alam, seperti yang ditulis dalam “The Future of Compassion”:
“From Christian compassion we must defend the continued existence of our fellow
animal ,plant, insect and marine species, as well as the integrity of land scapes, seascapes
and airscapes that are periled by human activity, whether or not the se in any way affect
human existence. We must do this because of our belief that they are all creatures of God,
and not from expediency. We must extend compassion to rattlesnakes and not just to koala
bears.” (White 1978:108–9)
Manusia harus menghormati semua makhluk, dan semua makhlukpun harus
menunjukkan “cosmic manners” yang sama kepada manusia sebagai timbale balik (White
1978:107). White memberikan contoh anjing hutan dan belalang yang menjadi sasaran
manusia untuk dimusnahkan karena dianggap merugikan manusia. Sekalipun makhluk
tersebut merugikan manusia, tidak berarti manusia dapat memusnahkan mereka, dengan
demikian relasinya menjadi tidak seimbang dan antroposentris (White 1978:107). Baik
63

manusia maupun makhluk lain memiliki hak atas sumber daya yang mereka butuhkan untuk
hidup dan mereka tidak boleh melanggar kapasitas satu sama lain untuk berkembang.
Meskipun manusia dirugikan dengan keberadaan para binatang tersebut, White merasa
manusia bertindak terlalu jauh ketika berusaha untuk memusnahkan belalang dan makhluk
lain secara massal.

2.4.2.4. Telaah Kritis Atas Etika Lingkungan Lynn White


Pengaruh etika lingkungan White sangat terlihat dalam ensiklik Paus Fransiskus
dalam Laudato Si: On Care for Our Common Home (2015). Dalam dokumen itu, Paus
Fransiskus memuji peran St. Fransiskus Asisi dalam membantu umat menuju ekologi
integral. Setiap makhluk ikut memuji Tuhan dan setiap makhluk adalah saudari yang bersatu
dengan ikatan kasih sayang (paragraph 11) (Pope Francis 2015).
Menurut Paus Fransiskus keyakinan seperti itu tidak dapat diremehkan sebagai
romantisme yang naif, sebab berdampak atas pilihan-pilihan yang menentukan untuk perilaku
kita (Pope Francis 2015). Jika memandang alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk
kagum dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan
dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap
sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak,
sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan
kepedulian akan timbul secara spontan (Pope Francis 2015).
“Gema” etika lingkungan White terlihat dalam proklamasi ini. Menurut Paus
Fransiskus, hewan dan makhluk lain juga menyembah Tuhan dengan caranya sendiri, dan
semua makhluk berharga bagi Allah dan memiliki nilai dalam dirinya sendiri, Paus
Fransiskus menggambarkan setiap makhluk perlu ada dalam persekutuan universal (paragraf
76) dan dalam paragraf 221, menggambarkan ini dalam istilah persaudaraan mulia dengan
seluruh ciptaan. Meskipun tidak menggunakan bahasa "demokrasi spiritual", keserasian
dalam makna sangat kuat dengan etika lingkungan White yang telah disarankan beberapa
dekade sebelumnya (Pope Francis 2015). Etika lingkungan White melintasi zamannya,
namun, tidak jarang pula pemikirannya yang seringkali dijadikan referensi tidak dilihat secara
lengkap. White seringkali dikenal sebatas tesis mengenai akar kerusakan lingkungan yang
melihat kontribusi besar agama Kristen dalam pengrusakan lingkungan. Namun, White tidak
sebatas mengemukakan tesis tersebut, dia juga memberikan alternative etika lingkungan dan
ia juga mengkritisi beberapa alternatif etika yang terlihat “bijaksana”.
64

Dalam artikel Ken Gnananakan, seorang pecinta lingkungan dan teolog Injili dari
India, yang berjudul Creation, Christians and Environmental Stewardship, artikel tersebut
diawali dengan keresahan terhadap tesis Lynn White mengenai akar kerusakan lingkungan
pada tahun 1967. Ken Gnanakan mengkritisi Lynn White yang yang memahami secara
harafiah penggunaan kata kabas dan radah dalam Kejadian 1:28,
“The problem to critics like White, obviously, is with the words used. The Hebrew
word kabas and radah are said to be much harsher than the English translations. Kabas
means ‘to tread down’, to bring into bondage’ or even ‘to rape’ while radah means ‘to
trample’ or ‘to press’ and therefore to rule or dominate. The Hebrew words, like most of our
Asian languages, have a rich array of meanings and need not necessarily be taken literally.
As we look closer at the implications, we will get nearer to the fuller understanding as was
intended in the command.” (Gnanakan2015:128)
Selain itu, alternatif biosentrisme yang ditawarkan White, menurut Ken Gnanakan,
tidak dapat dibenarkan secara Alkitabiah. Dan Iapun menawarkan etika penatalayanan
sebagai alternatif, padahal, Etika penatalayanan tersebut ternyata sudah dikritisi oleh Lynn
White sebagai etika yang terlihat “bijaksana”, namun, menurut White, tetap mengasumsikan
relasi hirearkis manusia dan ciptaan Allah lainnya dan tetap tidak memperbaiki keadaan.
Jika anggapan Lynn White benar bahwa pandangan dunia yang melihat relasi
hirearkis antara manusia dan makhluk lainnya akan berdampak eksplotatif dalam perilaku
manusia, maka kekristenan, akan sulit menemukan alternatif etika yang berdampak bagi
pelestarian lingkungan. Seperti yang dianjurkan Ken Gnanakan, yaitu etika penatalayanan,
etika tersebut merupakan etika Alkitabiah yang lebih mudah ditemukan dibandingkan etika
demokrasi semua makhluk Tuhan milik Lynn White. Para teolog Kristen seperti Ken
Gnanakan dan lainnya, seringkali mengkritisi Lynn White, namun terjebak dengan cara
berpikir Lynn White dalam memandang peran agama:
“Paradoxically, although many ecotheologians argued vociferously against White,
they could use his thesis to reinforce the view that environmen-talism was at bottom a
religious and ethical movement. Like White, they believed that religious values were the most
effective antidote.” (Whitney 2005:1736)
Cara berpikir yang demikian akan memandang nilai-nilai dan ide-ide agama
merupakan penggerak perjalanan sejarah budaya dan berdampak besar dalam kenyataan
material yang sedang terjadi. Sebaliknya, para teolog dan ahli etika dapat memulai kritik
terhadap metodologi Lynn White agar tidak terjebak dalam cara berpikir idealis. Whitney,
ahli sejarah sains dan teknologi, mempertanyakan pandangan White, apakah ia menunjukkan
65

bahwa agama adalah penyebab perkembangan teknologi atau perkembangan teknologi (yang
bergerak juga karena faktor ekonomi dan politik) dibingkai dalam term agama (Whitney
2005:1736). Jika mengikuti pandangan yang kedua, maka etika lingkungan perlu berbalik,
dari menilai dan mengubah nilai-nilai dan ide-ide kosmologi agama, menjadi mengasah
keterlibatan kritis dalam realitas ekonomi dan politik, menggeser tugas etis dari mengubah
pandangan kosmologi menjadi mengubah praktik sosial. Hal ini disebabkan penghancuran
ekologis juga berkaitan dengan masalah politik dan ekonomi dan membutuhkan solusi yang
berdampak secara struktural dan institusional (Magdoff and Foster 2018). Sedangkan Lynn
White terlihat berada pada posisi pertama.
Masalah lingkungan dalam dua dekade terakhir secara konsisten berada di puncak
perhatian, survei di Amerika (negara dengan mayoritas beragama Kristen) menunjukkan
bahwa empat dari lima orang sebagai pecinta lingkungan, namun kesadaran ini tidak sejalan
dengan dampak yang dihasilkan (Peterson 2007:45). Dari 80 persen orang Amerika dapat
diidentifikasi sebagai pencinta lingkungan, kurang dari 20 persen yang secara teratur
berpartisipasi dalam kegiatan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan seperti daur
ulang, mengurangi konsumsi pribadi, mendukung bisnis hijau, menghilangkan limbah dan
polusi hingga terlibat dalam aktivisme lingkungan (Peterson 2007:45). Bahkan praktik
“hijau” mengalami stagnasi atau bahkan menurun sejak permulaan gerakan lingkungan
massal pada tahun 1970-an, di sisi lainnya, perilaku yang merusak secara ekologis telah
meningkat secara eksponensial pada periode yang sama, jika diukur dalam hal konsumsi
bahan bakar fosil, konsumsi sumber daya mentah , memperluas ukuran rumah, populasi yang
meningkat hingga pilihan politik (Peterson 2007:45).
Kesenjangan antara gagasan dan praktik juga hadir dalam keagamaan, yang
diidentifikasi oleh Lynn White sebagai arena penting dalam perjuangan untuk ekologis
berkelanjutan. Banyak pemimpin agama telah menyatakan bahwa perusakan ekologis adalah
krisis spiritual, sehingga dibentuk pula pemahaman dan penilaian baru tentang relasi dengan
lingkungan. Hal ini terlihat dengan berbagai macam deklarasi dan konsensus yang diharapkan
dapat menciptakan kehidupan ekologis yang berkelanjutan dalam beberapa dekade terakhir.
Namun, dengan menjadikan permasalahan lingkungan sebagai prioritas, menemukan dan
mengembangkan nilai-nilai kepedulian lingkungan, semua hal tersebut tidak serta-merta
menghadirkan transformasi signifikan dalam praktik.
Buddhisme dan Taoisme sering disebut contoh sistem pemikiran ramah lingkungan,
yang menekankan saling ketergantungan manusia dan lingkungan ekologis. Namun,
masyarakat Asia yang didominasi oleh tradisi Buddha atau Tao, antara lain, memiliki sejarah
66

deforestasi yang terdokumentasi dengan baik, pertanian yang tidak berkelanjutan, kekejaman
terhadap hewan, dan banyak lagi lainnya (Peterson 2007:53). Bahkan budaya penduduk asli
Amerika, yang pandangan dunianya dipandang oleh banyak filsuf lingkungan sangat “hijau”,
telah berpartisipasi dalam perburuan berlebihan dan merusak alam (Peterson 2007:53).
Permasalahan yang hadir pada saat ini bukan saja interpretasi terhadap nilai-nilai dan
ide-ide yang dipercayai dalam masyarakat, namun juga apa yang dapat dilakukan di tengah
situasi kerusakan lingkungan. Bisa dikatakan sudah cukup banyak para ahli menafsirkan
dunia, dan sekarang harus melangkah dengan pertanyaan bagaimana cara mengubahnya.
White sendiri tidak memberikan pola tindakan tertentu untuk mengatasi kerusakan
lingkungan. Dalam pandangan White, etika Kristen lebih berpusat pada sikap bukan tindakan
(White 1978:100). White menjelaskan bahwa perubahan dalam tindakan tanpa perubahan
nilai-nilai dapat menjadi bencana, “we shall not cope with our ecologic crisis until scores of
millions of us learn to understand more clearly what our real values are" (White 1973:56).
Oleh karena itu, tulisan-tulisan White sangat sedikit menjelaskan mengenai program aksi
yang dilakukan. Adapun beberapa saran yang diberikan adalah: mendorong ilmuwan dan
insinyur untuk menemukan dan mengembangkan cara-cara baru dan cara–cara yang lebih
berhati-hati untuk menggunakan sumber daya alam yang tidak tergantikan dan menemukan
metode daur ulang sampah hingga cara mencegah polusi (White 1978:109). Ia juga
menyarankan manusia untuk transisi gaya hidup menjadi non-konsumtif (White 1978:109).
Semuanya bersifat individual tidak menyentuh persoalan struktural. Kesenjangan ini
seharusnya patut menjadi perhatian para ahli etika pasca White. Kritik dan etika lingkungan
White telah membuat para sarjana menghabiskan waktu untuk membongkar teka-teki nilai-
nilai intrinsik dan instrumental, ide-ide ramah ekologis dalam Alkitab, dsb. Semua perhatian
tersebut penting, namun, tugas yang juga tidak kalah penting dari para ahli etika lingkungan
adalah mencari bagaimana agar orang hidup sesuai dengan ide-ide yang telah dimiliki dan
praktik seperti apa yang dapat dilakukan agar “tepat sasaran” di tengas konteks kerusakan
lingkungan saat ini.
Nilai-nilai hidup dapat memperbaiki teori dan membentuk tradisi yang baik, hal
tersebut adalah proyek penting dan perlu, namun hal tersebut tidak berarti dengan
menafsirkan realitas melalui cara berbeda maka dengan sendirinya mengubah realitas. Seperti
kaum hegelian muda yang dikritik Marx dalam Ideologi Jerman, “... that they are in no way
combating the real existing world when they are merely combating the phrases of this world''
(Marx 1845). Penulis tidak berarti beranggapan bahwa tidak ada hubungan antara mengubah
praktik dan mengubah nilai-nilai juga ide-ide. Disini terlihat perlunya interaksi timbal balik
67

yang kompleks di antara keduanya dan etika sosial yang dihasilkan berdampak pada
pembaharuan struktural dan institusional.

2.4.2.5. Menjawab Tuduhan Lynn White


Refleksi teologis aktual menaruh interese dan atensi pada “ecological question”
karena masa depan ciptaan adalah masa depan umat manusia.
A. Biblis - Teologis
Katekismus Gereja Katolik mempersembahkan sebuah presentasi signifikatif dan
sintetis tentang ekologi:
“Perintah ketujuh juga menuntut agar keutuhan ciptaan diperhatikan.
Binatang-binatang, tumbuhan-tumbuhan dan ciptaan tidak bernyawa, dari
kodratnya ditentukan demi kesejahteraan bersama umat manusia yang
kemarin, hari ini dan esok (bdk Kej 1:28-31). Kekayaan alam, tumbuh-
tumbuhan dan hewan dunia ini, tidak boleh dimanafaatkan tanpa
memperhatikan tuntutan moral. Kekuasaan atas dunia yang hidup dan tidak
hidup, yang Pencipta anugerahkan kepada manusa, tak absolut sifatnya; ia
diukur menurut usaha mempertahankan kualitas hidup bersama, termasuk pula
generasi yang akan datang; ia menuntut penghormatan kepada keutuhan
ciptaan.”57

Makna dari “Taklukanlah dan kuasalah bumi” (Kej 1:28) atau “mengusahakan dan
memelihara” (Kej 2:15) bukanlah dominasi despotik melainkan otoritas yang bertujuan untuk
memberikan kemuliaan kepada Sang Pencipta.
Pemahaman atas mandat penguasaan atas alam itu terkait dengan pemahaman tentang
hakikat penciptaan manusia sebagai gambar Allah. Kata Ibrani radah yang digunakan dalam
mandat menguasai dan menaklukkan alam memang berkonotasi mengeksploitasi kalau
diterjemahkan secara harafiah. Selanjutnya, kata radah dan kabash secara harafiah berarti
menginjak atau memeras. Penggunaan kata itu dalam rangka memberikan tekanan atas fungsi
manusia menegakkan dan menjalankan hak Tuhan atas dunia.58 .
Kata radah digunakan dalam rangka meyakinkan manusia bahwa ia akan berhadapan
dengan tantangan alam dan dalam rangka mempertahankan hidupnya, demikian kata James
Nash, sebagaimana dikutip oleh Robert Borrong.59
Menurut G. Sauer makna dari kata “taklukanlah dan kuasailah” (Kej 1:28) atau
“mengusahakan dan memelihara” (Kej 2:15) bukanlah sebuah dominio dispotico atau kuasa
despostik (tiranik) terhadap bumi/alam melainkan una signoria atau sebuah kedaulatan yang

57
Katekismus Gereja Katolik, no. 2415
58
Ibid., 237
59
Ibid., 238
68

bertujuan untuk memberikan kemuliaan kepada Pencipta dan pemeliharaan kepada semua
ciptaan. Salah kar kata dari “menguasai” adalah radah (Ibrani) Radah berarti menempati
sebuah lokasi seperti seorang gembala memilih dan menempati sebuah padang rumput demi
kepentingan domba-dombanya. Karena itu kata radah mengandung makna menuntun dan
menggembalakan. Sedangkan akar kata “memelihara” adalah šamar yang artinya melindungi
penuh perhatian dan tanggungjawab sebuah kekayaan atau kebaikan.”60
Kitab Kejadian ditulis sebagai syair untuk mengungkapkan iman orang Israel. Kitab
kejadian bukan mata pelajaran sejarah tentang penciptaan ataupun ilmu pengetahuan tentang
asal-usul tentang asal usul bumi. Celiane DraneDrummond (1999:17) menuliskan bahwa
cerita kejadian adalah suatu cara memahami dunia, sementara ilmu pengetahuan menawarkan
penjelasan lain, yang lahir dari budaya modern yang didasarkan pada aneka ragam
pertanyaan yang berbeda-beda. Ilmu pengetahuan tidak perlu mengantikan cerita kejadian,
sebab ilmu pengetahuan bukanlah kata akhir tentang asal-usul dunia dan kelanjutan
keberadaannya.
Menurut Martin Harun yang mengusung dan melakukan penafsiran ulang dalam
rangka kepentingan ekologi . Harun menyatakan bahwa Kejadian 1:28 harus ditafsirkan ulang
dan tidak diarahkan pada sekedar tuduhan bahwa penafsiran Kristenlah yang menjadi
penyebab kehancuran bumi. Harun menunjukan bahwa penafsiran kata “taklukkanlah” dan
“berkuasalah” sebagai “menjejak-jejak” dan “menginjak-injak” seperti dalam Yoel 4:13
dalam konteks memeras anggur. Konteks ini dibangun dengan merujuk pada konteks Timur
Tengah, sehingga kata “taklukanlah” dan “berkuasalah” mendapat pengembangan makna
baru, yhakni seperti seorang raja atau gembala yang mengurusi binatang dengan baik-baik.
Sementara kata “menaklukkan” mendapat makna “mengolah” tanah.
Penafsiran seperti ini lebih menolong kekristenan untuk lebih peduli dengan krisis
ekologi yang sedang terjadi. Pola penafsiran tersebut membenarkan kritik Lynn White bahwa
pada masa lalu, khususnya di Eropa, telah terjadi kekeliruan, setidaknya dalam menafsirkan
Alkitab, sehingga Alkitab harus ditafsirkan ulang dalam presfektif ekologis yang baru saja
disadari gereja (Aritonang, 2018: 210- 211) Kemudian dalam Perjanjian Baru (PB), Harun
menggunkapkan bahwa perhatian kepada alam ciptaan memang agak kurang. Yesus Kristus,
menurutnya, memang menyebutkan burung pipit,bunga bakung, dan ciptaan yang lain, justru
untuk membuktikan perhatianNya yang besar kepada manusia. Harun menunjukan bahwa
60
G. Sauer, “custodire” dalam E. Jenni e C. Westermann (a cura di), 2voll., Dizionario Teologico dell’Antico
Testamento, vol. II (Maietti-Torino: Casale Monferrato, 1978-1982), coll. 886-891; Giuseppe Tanzella-Nitti, Op.
Cit., hal. 440; Lukas Awi Tristanso, Hidup Dalam Realitas Alam, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2016), hal. 28).
69

teks dalam kitab Wahyu justru mengambarkan bagaimana malaikat merusak alam. Jalan
keluarnya, menurut Harun, harus ditempuh dengan melakukan dialog dengan ilmu ekologi.
Pada akhirnya, menurut Harun, perlu penafsiran ulang atas teks-teks tersebut. Untuk
menafsirkanya diperlukan konsep Zaman Akhir seperti yang diungkapkan Yesus Kristus
(Luk. 11:20; 17:21). Konsep-konsep tersebut memunculkan gagasan bagaimana hubungan
Yesus dengan binatang-binatang (Mrk. 1:13). Ada pula konsep Paulus tentang keselamatan
kosmis yang menjelaskan bahwa keselamatan bukan hanya bagi manusia, melainkan juga
seluruh ciptaan (Aritonang, 2018:211)
Hal serupa juga diungkapkan oleh R.P. Borrong. Menurut Bororng, dalam
menghadapi tudingan yang mempersalahkan tradisi Yudaisme-Kristen sebagai sumber krisis
ekologis, para teolog harus melakukan penelitian eksegetis dan hermeneutis-biblis. Borrrong
juga mengungkap bahwa gereja-gereja telah mengakui kesalahan tentang perlakuan mereka
terhadap alam. Teologi Kristen pada masa lampau cenderung anti-ekologis, tetapi tidak
berarti seluruh kesalahan ada pada kekristenan. Oleh sebab itu, harus ada usaha untuk
menafsirkan ulang teks Alkitab khususnya Kejadian 1:28 dari prespektif ekologis. Orang
Kristen juga harus bertanggung jawab untuk memelihara bumi. Penafsiran-penafsiran
tersebut sangat berguna dalam membangun teologi pada masa kini dengan memperhatikan
konteks ekologi. Teologi Kristen mengakui adanya permulaan waktu dan adanya campur
tangan ilahi dalam menciptakan alam semesta yang mencakup ruang dan waktu. Itulah
sebabnya pandangan Kristen tentang alam atau lingkungan bersifat teosentris bukan
geosentris atau kosmosentris. Allah adalah satu-satunya subyek dan realitas mutlak yang
menjadi sumber satu-satunya dari alam semesta. Itulah pengakuan iman yang dikemukakan
mengenai penciptaan langit dan bumi. Berdasarkan keyakinan inilah yaitu Allah sebagai
pencipta dan argument teologis tersebut maka sikap dan prilaku manusia terhadap alam
semestinya sesuai dan sejalan dengan sikap dan prilakunya terhadap Allah pencipta (Borrong,
1991: 180).
Beberapa elemen penting dari cara pandang kekristenan terhadap lingkungan yang
berkembang dari doktrin penciptaan, yaitu (Norman, 2015 : 337) Dunia adalah ciptaan Allah.
Pandangan Materialis tradisional berpendapat bahwa dunia adalah proses generasi tiada henti.
Sedangkan kaum Panteis yakin bahwa dunia ini adalah emanasi (pancaran yang kekal). Akan
tetapi kaum teis berpegang pada penciptaan dunia yang sementara. Alam semesta ini
memiliki permulaan (Kej. 1:1), yang artinya orang Kristen menyakini bahwa penciptaan ex
nihilo (dari ketidaan). Doktrin penciptaan memberikan beberapa implikasi penting bagi
ekologi. Sekalipun dunia bukanlah Allah, seperti yang dikatakan oleh kaum Panteis, juga
70

bukan milik kita, seperti yang dimaksudkan oleh kaum Materialis. Di sinilah muncul dua
aspek penting mengenai ekologi Kristen: kepemilikan Allah dan penatalayanan manusia.
Allahlah pemiliknya dan manusia diharuskan memelihara bumi bagi-Nya. Dunia ini milik
Allah. Alkitab memberikan kesaksiannya dalam Mzm. 24: 1 “Tuhanlah yang empunya bumi
serta segala isinya”. Allah yang menciptakan bumi, dan dialah yang empunya bumi. Allah
adalah pemilik taman dan manusia adalah pemelihara taman. Tuhan berkata kepada Ayub,
“apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku” (Ayb. 41:2). Allahlah pemilik
seluruh tanah, pohon, binatang, dan tambang, hewan di gunung…sebab punya-Kulah dunia
dan segala isinya” (Mzm. 50:10, 12). Allah pemilik alam, manusia hanya mengusahakannya.
Karena itu, kepemilikan Allah merupakan dasar bagi kita sebagai pengelola bumi. Bumi
adalah cerminan Allah. Perjanjian Lama menegaskan kebaikan esensial tentang penciptaan
materi. Dunia fisik bukanlah kejahatan yang harus ditolak; dunia fisik bisa dinikmati. Dunia
materi bukan manifestasi kejahatan melainkan pantulan kemuliaan Allah. Sesudah
penciptaan, dikatakan bahwa “ Allah melihat semua itu baik” (lih. Ke. 1,10,12,18,21,25).
Bukan hanya dunia natural yang disebut secara esensi baik, melainkan juga dikatakan
mencerminkan kemuliaan Allah. Ciptaan mencerminkan kemuliaan sang pencipta. Alam
adalah cerminan Allah. Bumi ditopang dan dioperasikan Allah. Allah bukan hanya
menjadikan segala sesuatu, Dia juga menyebabkan segala sesuatu terus ada. Singkatnya,
Allah aktif bukan hanya pada awal penciptaan alam semesta, tetapi juga mengoperasikan
alam semesta ini. Alkitab tidak mendukung pandangan alam yang deistis atau impersonal,
karena Allah pemelihara dan penyelenggara dunia alam untuk mempertahankan kehidupan,
interferensi ekologis serta usahaNya karena kesombongan manusia dengan implikasinya.
Dunia terikat dengan perjanjian Allah. Perjanjian Allah dengan Nuh (Kej, 9:16), perjanjian
itu tidak hanya dibuat dengan manusia, tetapi dengan binatang-binatang dan dengan setiap
mahluk yang hidup. Jadi kita bukan hanya harus memelihara setiap mahluk hidup yang telah
diciptakan Allah; kita juga harus memberi makan dan melindungi mereka, Manusia adalah
pemelihara lingkungan. Allah itu pencipta dan pemilik bumi,tetapi manusia adalah
pemeliharanya. Manusia setidaknya memiliki tiga kewajiban dasar terhadap lingkungan :
bertambah banyak dan memenuhi bumi; menaklukan bumi dan berkuasa atasnya; dan
mengusahakan dan memelihara bumi (kej 1 : 28; 2 : 15). (Norman, 2015 : 377).
Oleh karena itu, tugas manusia bukannya mengeksploitasi alam seenaknya demi
memenuhi kepentingan pribadi sehingga memengaruhi bahkan merusak perkembangbiakan
makhluk hidup lainnya melainkan menjaga dan memelihara alam. Kuasa yang Allah berikan
kepada manusia bukan berarti manusia menjadi makhluk yang superior atas yang lainnya
71

melainkan menjadi pemelihara alam semesta. Kuasa yang Allah berikan kepada manusia
berarti manusia diberikan mandat untuk mengolah, menjaga serta memelihara alam
sedemikian rupa sehingga manusia dan makhluk hidup lainnya dapat hidup berdampingan
dalam sebuah oikos.

B. Pendekatan Teologi Ekologi


Kita menggunakan tiga pendekatan teologi ekologi yang dikembangkan Sharper
sebagai respon terhadap kritik White, yaitu: pendekatan apologetik, pendekatan konstruktif
dan pendekatan listening.61

1. Pendekatan Apalogetik
Tokohnya adalah Thomas Sieger Derr dan H. Paul Santmire. Ada juga filsuf yaitu
Robin Attfield, Guru Besar Filsafat dari University College di Cardiff, Inggris, yang
membela Alkitab dan tradisi Kristen terhadap serangan White, dan dua orang penulis lain
pada dekade 1970-an yaitu John Passmore dan William Coleman. Menurut penelusuran
Sharper, John Passmor menulis artikel tahun 1974 berjudul “Man’s Responsibility for
Nature” di dalamnya ia menggaris bawahi bahwa teologi Judeo-Kristen bersama dengan
kedatangan Revolusi Ilmu Pengetahuan menghasilkan legitimasi etos terhadap kerusakan
lingkungan hidup, yang ditandai dengan model pertumbuhan ekonomi yang melahirkan
kapitalisme Barat. Sedangkan William Coleman dalam artikel tahun 1976 berjudul
“Providence, Capitalism, and Environment Degradation” mengatakan bahwa peran teologi
Kristen dalam kerusakan ekologis terletak dalam doktrin tentang pemeliharaan ilahi melalui
pekerjaan dalam alam dan masyarakat. Doktrin ini memupuk lahirnya individualisme
ekonomi, liberalisma politik, dan orientasi pertumbuhan yang menjadi tanda-tanda
kapitalisme industri di Eropa. 62
Jadi kedua filsuf ini menggaris bawahi bahwa Kekristenan sangat androsentris
(mengunggulkan dominasi laki-laki). Dalam pembelaannya, Attfield menegaskan bahwa
Alkitab dan teologi Kristen sepanjang abad memperlihatkan kepedulian pada alam dengan
menggarisbawahi tugas memelihara (stewardship) dan kerja sama (cooperation) dengan alam
sebagai pusat kajiannya.63 Dalam membela Alkitab, Attfield memperlihatkan betapa Alkitab
membuat aturan sangat ketat dalam menggunakan sumber daya alam (hutan, Imamat 19:23
dan hewan, Amsal 12:10, Matius 10:29, Lukas 14:5). Oleh sebab itu, menurut Attfield,
61
Ibid, 24
62
Sharper, Redeeming the Time, 27, 194-5
63
Robin Attfield, The Ethics of Environment Concern. (Oxford: Basil Blackwell, 1983), 25.
72

Alkitab dan tradisi/teologi Kristen tidak bisa dipersalahkan sebagai pendorong perusakan
lingkungan sebab Alkitab dan teologi Kristen sangat menekankan tugas memelihara
(menatalayani) lingkungan hidup.64
Pembelaan Attfield dipertegas oleh dua orang teolog yaitu Thomas Sieger Derr dan
H. Paul Santmire yang berusaha memperlihatkan bahwa tradisi Kristen tidak mengabaikan
lingkungan hidup melainkan menempatkannya dalam kerangka memaknai hubungan manusia
dengan Allah.
Thomas Sieger Derr, adalah salah seorang teolog yang mengkritik balik kritik White
dan menegaskan bahwa Alkitab dan teologi Kristen tidak bersikap sombong (arrogant)
terhadap alam, sebaliknya menghargai dan memelihara bumi sebagai milik Allah. Teologi
Judeo-Kristen menempatkan manusia pada puncak (apex) ciptaan sebagai wali (trustee)
terhadap ciptaan lain bukan untuk memanipulasi tetapi untuk menjaga dan memeliharanya.65
H. Paul Santmire, seorang pendeta Lutheran di Hardforth, Connecticut, Amerika
Serikat, menulis buku berjudul The Travail of Nature, yang ditujukan kepada dua kelompok
pembaca yaitu kelompok pertama yaitu para pembela lingkungan, mahasiswa yang belajar
ekologi dan kaum humanis untuk membela teologi Kristen yang dipersalahkan banyak pihak
sebagai pendorong kerusakan lingkungan. Kelompok kedua ialah orang-orang beriman
Kristen, juga untuk menegaskan bahwa iman Kristen justru sangat bersikap positif terhadap
alam dengan mengajarkan sikap memelihara dan bukan merusak, sebab itu orang Kristen
harus memperkuat tradisi yang demikian sambil bersikap kristik terhadap kecenderungan
merusak lingkungan hidup.66
Dalam membela teologi Kristen terhadap kritik White dan orang-orang lain
sebelumnya, Santmire menggarisbawahi bahwa sejak awal banyak teolog yang menghargai
alam sebagai pemberian Allah, misalnya Irenaeus menegaskan alam sebagai berkat yang
diberikan kepada manusia dan rumah yang dianugerahkan Allah, itu sebabnya Santmire
menyebut Irenaeus sebagai seorang biblisisme yang sangat menekankan dan menghargai
kebaikan ciptaan.67
Demikian juga Agustinus yang menekankan kebaikan ilahi, keindahan alam dan
situasi sejarah keselamatan manusia dalam realitas yang lebih besar dari sejarah ciptaan. Bagi

64
Ibid., 836
65
Derr Sieger Thomas, Ecology and Human Liberation. (Geneva: WCC Publication, 1973), 43, 57.
66
Santmire, The Travail of Nature, xi.
67
Ibid, 53, 73
73

Agustinus, seperti dikutip Santmire, kebaikan ciptaan terletak dalam kebaikan Allah sang
pencipta.68
Santmire juga menggaris bawahi sikap Reformator Luther dan Calvin yang
menekankan keajaiban alam pada dirinya sendiri, dengan mata iman orang percaya dapat
melihat mujizat-mujizat melalui alam semesta yang lebih besar dari pada sakramen. Luther
dan Calvin juga memahami Kerajaan Allah meliputi seluruh alam semesta.69
Santmire menyimpulkan bahwa tradisi Alkitab memang tidak pertama-tama
berurusan dengan alam, melainkan dengan sejarah, oleh sebab itu metode membaca Alkitab
dengan menekankan alam dan bukan sejarah dapat menghasilkan kesimpulan yang keliru
terhadap pendekatan tradisi Alkitab. Pendekatan teologi Alkitab yang menekankan
pembacaan eskhatologis, berpusat pada tanah perjanjian dan kebaikan Allah. Alkitab harus
dibaca bukan saja dalam kerangka kekayaan ekologis tetapi juga dengan motif-motif
spiritualnya yang akhirnya membawa “rasa sakit bersalin” alam (Roma 8:18-25, khusus ayat
22) kepada akhir yang diberkati.70 Pandangan eskatologis Alkitab tidak berbicara tentang
alam dalam arti fisik melainkan alam dalam arti suasana Wahyu 21 tentang langit dan bumi
baru merujuk kepada suasana keselamatan).

2. Pendekatan Konstruktif
Dengan menghargai kritik White dan berusaha mencari tahu kemungkinan bahwa
teologi Kristen bahkan teks-teks Alkitab cenderung dimaknai sebagai pendorong sikap dan
perilaku yang (mungkin tidak disadari) cenderung mengabaikan dan merusak lingkungan
hidup. Pendekatan konstruktif ini disertai pula ajakan untuk lebih banyak bersikap konstruktif
terhadap lingkungan hidup ketimbang berdebat tentang masa lalu.
Teolog yang mengambil posisi konstruktif ini antara lain Douglas John Hall, Jürgen
Moltmann, dan Walter Bruegemann. Douglass John Hall. Dalam bukunya berjudul “Imaging
God: Dominion as Stewardship” yang pertama kali diterbitkan tahun 1986 dan kemudian
diterbitkan ulang tahun 2004, Hall menggaris bawahi bahwa kerusakan lingkungan hidup
sedikit banyak terkait dengan realitas dosa, sebab itu orang Kristen harus menguji perannya
dalam krisis lingkungan dan bersedia melakukan pertobatan (metanoia). Terkait dengan tafsir
terhadap teks Kejadian 1:28, khususnya tafsiran tentang Imago Dei, orang Kristen seharusnya
memaknainya sebagai penguasaan yang memelihara (dominion of stewardship) sesuai

68
Ibid, 73
69
Ibid., 130, 135
70
Ibid., 187, 218
74

dengan arti kata Allah dalam bahasa Latin (Dominus) yang berarti mempraktikkan
penguasaan yang memelihara.71
Manusia selaku Imago Dei bermakna simbolis yakni simbol dari hubungan manusia
dengan Allah, dengan sesamanya manusia dan dengan sesama ciptaan, yang berpusat pada
kasih. Imago Dei mencerminkan keunikan manusia yang karenanya memiliki kapasitas
memelihara ciptaan lain. Manusia harus selalu berada dalam relasi kasih dan mencerminkan
Allah melalui kasih.72 Di sini Hall melakukan usaha konstruksi teologi terkait peran manusia
terhadap lingkungan dengan menggali makna baru dalam hubungan manusia dengan Allah,
sesamanya dan dengan seluruh ciptaan.
Jürgen Motmann, teolog yang juga menempuh pendekatan konstruktif dalam
menyikapi kritik terhadap peran teologi Kristen atas krisis lingkungan hidup. Menurut
Moltmann, krisis lingkungan hidup sebenarnya bukan krisis lingkungan hidup melainkan
krisis umat manusia. Oleh sebab itu sikap teologis paling baik menghadapi krisis ekologis
adalah membangun konstruksi teologis yang mencakup tidak hanya krisis ekologis tetapi juga
krisis sosial. Moltmann mengkonstruksi teologi ekologi dengan pendekatan Trinitarian dan
kritik diri (self-critical) terhadap teologi Kristen dan mengabaikan pendekatan defensif. Bagi
Moltmann, teologi ekologi dalam konteks krisis ekologi harus diteropong dari perspektif
mesianik (kearah masa depan). Allah pencipta yang diajarkan dalam Alkitab adalah Allah
yang berkuasa atas alam semesta. Berteologi dalam konteks krisis ekologis harus berpusat
dalam iman kepada Yesus Kristus sebab di dalam Yesus Kristus dunia dinyatakan dalam
terang mesianik selaku ciptaan yang sedang mengalami perbudakan tetapi yang sekaligus
terbuka ke masa depan.73 Selain itu, dalam Kristus Allah menyatakan penguasaan-Nya atas
alam (dominium terrae) bukan dengan pendekatan eksploitatif tetapi sikap melayani
(serventhood) alam.74 Dalam rangka keterbukaan dunia terhadap masa depan, Moltmann
secara khusus menggaris bawahi peran Roh Kudus dalam trinitas yang menjadi wujud
kehadiran Allah dalam ciptaan (alam semesta) dan yang menjadi pengarah ke masa depan
bersama.75 Dengan demikian, konstruksi teologi ekologi Moltmann, berpusat pada trinitas dan
berorientasi ke masa depan.

71
Douglas John Hall, Imaging God: Dominion as Stewardship (Grand Rapids: Eerdmans, 1986), 60.
72
Ibid,. 133
73
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and Spirit of God. (San Francisco: Harper and
Row, 1985), 56.
74
Ibid., 225-7.
75
Walter Brueggemann, The Land: Place as Gift, Promise, and Challenge in Biblical Faith (Philadelphia: Fortress,
1977), 1.
75

Walter Brueggemann, mengkonstruksi teologi dalam konteks krisis ekologi dengan


mengambil tema tentang tanah. Brueggemann memusatkan perhatian pada kesetiaan manusia
dalam hubungannya dengan bumi dan Allah dan akibat kalau merusak ikatan tersebut.
Tulisan Brueggemann berupa tafsiran teks-teks Alkitab yang berpusat pada tema tanah
sehingga konstruksi teologi ekologi Brueggemann adalah konstruksi teologi Biblika tentang
tanah. Tanah, menurut Brueggemann, dalam bahasa Ibrani artinya tempat. Tempat bukan
dalam arti sempit tetapi dalam arti luas.76 Brueggemnann menggarisbawahi bahwa krisis
ekologi yang dihadapi umat manusia tidak lain dari pada teralienasinya manusia dari tanah
yang merupakan akar kehidupan. Oleh sebab itu, memahami teologi tanah, khususnya teologi
tanah yang dipahami dalam hubungan Israel dengan Tuhan, merupakan salah satu jawaban
teologi terhadap krisis ekologis. Buku Brueggemann didominasi oleh uraiannya tentang krisis
kehidupan akibat dari tiadanya penataan tanah yang baik dalam masyarakat Kapitalistik.
Sebab itu dia mengajak berteologi tentang tanah sebagaimana direkam dalam Alkitab,
khususnya Perjanjian Lama dan menggarisbawahi sejarah hubungan Israel dengan tanah dan
relevansinya bagi kehidupan manusia pada masa kini. Dalam budaya kontemporer banyak
cerita tentang kehilangan tanah, perpindahan atau konversi tanah dan tuna wisma (homeless).
Baginya, tanah menjadi bukti aktual dan ungkapan simbolis dari integritas sosial,
kesejahteraan dan ikatan-ikatan manusia dan alam dan karenanya tanah merupakan inti iman
Alkitabiah.77 Teologi tanah dapat menjadi salah satu isu teologi ekologi di Indonesia, karena
berbagai persoalan ekologi terkait langsung dan tidak langsung dengan masalah tanah, baik
sebagai sumber kehidupan (ekonomi) maupun sebagai tempat tinggal (ekumene).
Pendekatan tiga orang teolog di atas ini berusaha mengkonstruksi teologi ekologi
dengan berusaha melihat secara kritis tradisi Yahudi-Kristen dalam terang pengajaran tentang
alam. Hall menyoroti peran manusia sebagai Imago Dei dengan menekankan tugas
stewardship. Moltmann menyoroti teologi tentang peran trinitas dalam penciptaan dan
pemeliharaan bumi dan bumi (oikos) selaku tempat Allah, merusak bumi berarti merusak
rumah Allah. Brueggemann mengkonstruksi teologi tentang tanah selaku tempat dan sumber
kehidupan. Ketiganya menekankan kemungkinan adanya sikap destruktif iman Kristen tetapi
lebih penting bagaimana melakukan konstruksi teologi untuk sikap konstruktif iman Kristen
dalam rangka menciptakan masyarakat dan lingkungan alam (ekologi) berkelanjutan.
Panggilan manusia untuk bersikap konstruktif terhadap alam didasarkan pada keunikan kuasa

76
Ibid., 43
77
Ibid., 3
76

manusia selaku imago dei guna memainkan peran yang bertanggung jawab bagi
kemaslahatan seluruh ciptaan dan komunitas bumi dan kemuliaan Allah (gloria Dei).

3. Pendekatan Mendengarkan (Listening).


Disebut demikian karena pendekatan ini tidak bersifat defensif atau konstruktif tetapi
mau mendengar alam itu sendiri.78 Bagi pendekatan ini, respon terbaik bagi krisis ekologis
adalah keterbukaan untuk mendengarkan suara alam dan dengan rendah hati mengikuti
proses dan mekanisme alam sendiri yang terhadapnya seluruh proses kehidupan bergantung.
Mereka tidak hanya terbuka kepada iman Kristen tetapi juga kepada agama lain, kepada ilmu
pengetahuan alam dan teknologi yang lebih cocok dengan sistem-sistem kehidupan planet
bumi. Mereka menekankan spiritualitas alam tetapi juga realitas alam yang bersifat
kebendaan dan materi.
Teolog yang dapat dikategorikan ke dalam pendekatan ketiga ini umumnya datang
dari teolog Katolik antara lain John Carmody (mantan Jesuit), Albert Fritsch (seorang Jesuit)
dan Thomas Berry (Biarawan Katolik).
Carmody sangat menekankan perlunya teologi ekologi berdialog dan mendengarkan
suara dari agama lain, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan isu-isu politik dan etis
sebab suara-suara itu penting guna menghasilkan refleksi teologi yang mamadai. Untuk
tujuan ini, Carmody menekankan dua hal: dialog antar agama dan menggali spiritualitas baru
dalam konteks krisis ekologis. Hal pertama dilakukannya dengan mempelajari agama-agama
Timur yang menurutnya lebih dekat kepada alam dan berguna bagi teologi Kristen untuk
memahami alam.79 Hal kedua dan yang dapat disebut menjadi fokus perhatian Carmody
adalah menggali dampak spiritualitas baru dari krisis ekologis dengan memperhatikan tema-
tema seperti doa-doa alamiah, tindakan-tindakan tanpa kekerasan, perdamaian, pengharapan
dan kesaksian.80 Carmody juga melakukan kritik terhadap teologi ekologi yang berkembang,
baik dalam kalangan Protestan maupun Katolik dan Ordodoks, yang menurut Carmody,
terlalu banyak mengalamatkan teologinya pada krisis ekologi tetapi kurang memperhatikan
keprihatinan pada alam itu sendiri. Keprihatinan kepada alam harus dinampakkan dalam
kasih kepada alam selaku sesama atau saudara sedarah sedaging (a blood relative), yang
memampukan umat manusia menyalakan kembali atau membarui kemampuan berelasi dan
mendengar alam.81 Salah satu tantangan penting dalam pendekatan mendengarkan alam
78
Sharper, Redeeming The Time, 46
79
John Carmody, Ecology and Religion: Toward A New Christian Theology of Nature (New York: Paulist, 1983),
50-2.
80
Ibid., 148-50
81
Ibid., 163.
77

adalah merebaknya ekowisata di Indonesia, yang justru menjadi ancaman terhadap kehidupan
asli dalam alam, selain dari pengrusakan intensif terhadap alam akibat eksploitasi sumber-
sumber daya alam.
Albert Fritsch adalah ilmuwan dan teolog Jesuit yang membuat alatalat energi
alternatif seperti oven dan kulkas berenergi matahari. Fritsch menganggap alam, khususnya
bumi, sebagai guru dan pentingnya mendengarkan alam dan memahami konteks kehidupan
lokal sebagai sumber berefleksi teologis dan mengkritik konsumerisme yang mengambil
keuntungan berlebihan dari alam. Mendengarkan alam berarti belajar mendapatkan
keterampilan dan bukan suatu penyembahan berhala. Mendengarkan alam atau bumi berarti
berusaha, mengambil waktu mengabaikan suara lain seperti radio, tv, mobil yang
menciptakan suara bising lalu berkontemplasi dan diam. Suara alam sangat berbeda dengan
suara bising, suara alam menghasilkan simfoni, kenyamanan dan menenangkan situasi
nerves. Banyak suara sempurna dari alam tidak pernah terdengar seperti suara jangkrik atau
suara burung-burung karena telah digantikan suara bising buatan manusia menyebabkan
manusia tuli terhadap suara alam. 82 Terkait dengan ancaman terhadap keanekaragaman
hayati, romantisme terhadap alam bisa menjadi tema teologi ekologi yang relevan dengan
situasi Indonesia. Lingkungan Indonesia adalah salah satu surga keanekaragaman hayati
tetapi yang terancam oleh akselerasi pembangunan yang nyata, sangat nyata, mengganti suara
alam dengan suara hiruk pikuk pembangunan. Sumbangan lain dari Fritsch ialah pemahaman
teologisnya yang menghubungan kemiskinan sosial dan kerusakan ekologis. Menurut dia, ada
kaitan yang sangat jelas antara penindasan orang miskin dan penindasan terhadap alam.
Misalnya yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan yang merusak dan membinasakan
alam dan pekerja/buruh (dengan penyakit yang berasal dari menghirup partikel tambang).
Oleh karena itu berteologi ekologi berarti menggali makna keterkaitan manusia dengan alam
bukan untuk mengorbankan keduanya tetapi untuk memperkaya manusia dan alam secara
bersama.83 Itu sebabnya Fritsch percaya pada manfaat teknologi untuk memperkaya
kehidupan manusia dan alam, sejauh teknologi digunakan bukan sekedar memperkaya diri
manusia sambil mengorbankan alam dan sesama manusia tetapi memanfaatkan teknologi
yang ramah lingkungan bahkan memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah seperti
matahari. Dengan kata lain mengembangkan teknologi sederhana yang mendengarkan suara
alam dan dengan demikian berteologi secara holisticdengan pendekatan mistik analisis.84

82
Fritsch, Albert, Down to Earth Spirituality (Kansas City: Sheed and Ward, 1992), 41.
83
Ibid., 50
84
Ibid., 95
78

Masyarakat Indonesia hidup dalam alam mistis yang justru datang dari lingkungan alam yang
keramat, menjadi konteks berteologi ekologi di Indonesia. Kearifan lokal sebagai tema
berteologi sangat pas dengan pendekatan listening (mendengarkan alam) ini.
Thomas Berry, seorang imam Katolik dari Kongregasi Pasionis, dikenal sebagai
seorang ekoteolog atau sebutan kesukaannya sendiri earth scholar (cendekiawan bumi
pertiwi) menulis dalam bukunya the Dream of the Earth bahwa masa depan agama akan
sangat bergantung terutama pada kemampuannya untuk memikul tanggungjawab spiritual
atas nasib bumi pertiwi ini.85
Sebagai ekoteolog, Thomas Berry melihat dan merasakan bahwa keadaan lingkungan
sekarang ini sudah masuk dalam kategori “krisis”. Thomas Berry mengambarkan krisis
lingkungan sebagai “kehancuran bumi”. Dalam kajiannya digambarkan bahwa setiap tahun
ada sekitar sepuluh ribu spesies musnah di bumi. Ia memperkirakan bahwa tidak lama lagi
dunia akan musnah dengan banyaknya jumlah kemusnahan spesies itu. Berry menunding
bahwa gereja tidak terlalu peduli dengan masalah kerusakan lingkungan ini. Jika tudingan ini
benar, maka ada yang salah dalam berteologi. Padahal seharusnya gereja menjadi pelopor
dalam memelihara dan menjaga alam semesta ciptaan Tuhan.86 Hal yang sama juga dikatakan
oleh Jonathan Schell, dalam bukunya yang cukup kontroversial, The Faith of the earth di
mana ia mengambarkan seluruh kehidupan di planet bumi sedang terancam dengan
“kematian kedua”. Ia mengambarkan kematian pertama sebagai kematian manusia dan
kematian kedua akan segera menyusul, yaitu kematian seluruh system kehidupan.87
Thomas Berry mengkritik “mimpi milenial” dalam teologi Kristen yang berpusat pada
Kerajaan 1000 tahun, saat mana pemerintahan Allah dalam bentuk kedamaian, keharmonisan
dan keadilan akan berlaku. Menurut Berry, dalam konteks budaya IPTEK, mimpi milenial
telah menjadi sangat materialistik karena mimpi milenial tidak lagi dipahami sebagai campur
tangan ilahi melainkan usaha manusia dalam bentuk imajinasi dan kreativitas manusia
menjinakkan dan menaklukkan alam untuk tujuan manusia. Maka mimpi milenial yang
bersifat spiritual telah dipenuhi oleh usaha dan keterampilan manusia mengeksploitasi
sumber-sumber daya alam.88 Dalam situasi seperti ini, manusia perlu mengambil waktu
mengagumi misteri alam dan kehadiran anugerah sakramental dalam bentuk keindahan alam.
Berry menyebut sikap umat manusia sebagai sikap autis menghadapi alam. IPTEK ciptaan

85
A. LaChance – J. E. Carroll, Embracing Earth. Catholic Approach to Ecology, Orbis Books, Maryknoll,
New York 1994, hal. xi
86
Jan S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018, 202-203
87
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999. 15-16
88
Berry, Thomas, The Dream of the Earth. (San Fransisco: Sierra Club, 1998), 114
79

manusia telah mengubah mimpi tentang sebuah wonderworld menjadi wasteworld yang
disebabkan bermacam polusi yang menutupi sistem kehidupan di planet bumi. Umat manusia
tidak lagi sanggup menilai kehidupan dan keindahan alam karena tersumbat oleh perspektif
egosentrik dan pemenuhan kebutuhan jangka pendek manusia. Akibat ketersumbatan nilai
itu, dalam hubungan dengan alam, manusia telah bersikap autis dan sikap autis itu telah
berlangsung selama berabad-abad.89 Menurut Berry, bumi perlu punya mimpi sendiri yang
disebutnya mimpi dari bumi (the dream of the earth) sebab bumi adalah subyek dan bukan
obyek. Bumi adalah organisme yang hidup, sebuah perpaduan tetapi yang sekarang ini
nasibnya dikuasai oleh manusia. Inilah yang menyebabkan krisis ekologis dan manusia harus
kembali mendengarkan suara alam. Sayangnya, menurut Berry, manusia menjadi autis (tidak
bisa diam atau tenang) ketika mendengar suara alam, karena manusia memaksakan sistem
mekanismenya sendiri, padahal manusia mestinya sadar bahwa manusia tidak bisa hidup di
luar sistem mekanisme komunitas alam secara keseluruhan. Karena itu, manusia harus
mendengar suara-suara alam, suara gunung-gunung, suara sungai-sungai, suara samudera,
suara angkasa dan suara angin.90 Menurut Berry, alam mempunyai kesadarannya sendiri dan
sebagai dampaknya seluruh aspek dari kehidupan manusia harus berorientasi ke alam.
Seluruh profesi, institusi dan aktivitas manusia harus terintegrasi dengan alam sebagai satu-
satunya arah masa depan.91 Manusia adalah bagian dari alam, maka manusia seharusnya
hidup harmonis dengan alam bukan merusaknya. Dalam berteologi ekologi, sudah
sewajarnya dikembangkan teologi ekologi kontekstual yang memperhatikan konteks alam
sebagai subyek berteologi ekologi. Salah satu yang relevan dengan poros listening adalah
berteologi ekologi yang memperhatikan kearifan lokal (local wisdom).

2.5. Ekoteologi Leonardo Boff (Andreas Kristianto)


Interaksi teologi dengan ide-ide ekologis telah berkembang secara substansial dalam
dekade terakhir, khususnya pandangan Leonardo Boff,92 seorang teolog dari Amerika Latin.
Boff menekankan keterkaitan manusia dengan seluruh ciptaan untuk menawarkan etika
lingkungan yang bersahabat.

2.5.1. Dua Luka Yang Berdarah


Menurut Boff, teologi pembebasan dan wacana ekologis memiliki kesamaan yaitu
mereka berasal dari dua luka yang berdarah. Yang pertama yaitu luka kemiskinan, yang
89
Ibid., 215
90
Ibid., 215
91
Ibid., 88
92
https://www.idenera.com/ekoteologi-leonardo-boff/
80

merobek jalinan relasi sosial di seluruh dunia dan kedua adalah agresi secara sistematis
terhadap bumi, yang menghancurkan keseimbangan planet karena pembangunan yang
dilakukan oleh masyarakat kontemporer di seluruh dunia.
Dia berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah tentang alam semesta membutuhkan
paradigma ciptaan (creation-centredness), dimana refleksi teologis harus dimulai dengan
wahyu Allah berdasarkan ekologis dan kosmologis. Pengetahuan ekologis membuka
paradigma baru tentang pengetahuan dan kesadaran yang berorientasi pada komunitas dan
memahami semua makhluk sebagai keterhubungan dalam siklus kehidupan yang bergerak
maju (cosmogenesis) (Longair, 1974).
Ia berusaha untuk menunjukkan bahwa persoalan ekologi secara substansial berkaitan
dengan persoalan orang-orang tertindas. Judul salah satu bukunya adalah Cry of the Earth,
Cry of the Poor. Dektruktifnya penggunaan bumi adalah contoh dari eksploitasi. Eksploitasi
menghasilkan seruan bumi untuk pembebasan dari dominasi manusia yang merusak. Di
samping itu, ada jeritan dari orang-orang miskin, ciptaan yang tertindas membutuhkan
pembebasan, sehingga ia memiliki kebebasan untuk mewujudkan tujuannya di dalam Tuhan.

2.5.2. Metode Pembebasan Ekoteologi


Boff memahami metode pembebasan eko-teologis dalam empat tahap. Pertama adalah
kebutuhan untuk mengalami jeritan orang miskin. Kedua, analisis secara logis, dosa-dosa
ekologis dan penyebabnya. Ketiga, dibutuhkan keterlibatan dan transformasi tindakan aktif
untuk memperbaiki struktur yang berdosa itu. Keempat, ada perayaan harapan bersama orang
miskin dan seluruh ciptaan (Leonardo Boff, 1995 : 66-77).
Dalam tahap pertama, pengalaman bersama dengan orang miskin, menjadi tindakan
eksistensial untuk melihat, merasakan dan ikut menderita bersama dengan orang lain.
Mendengarkan tangisan orang miskin adalah refleksi teologis yang penting dalam praksis
gereja. Dalam bukunya Cry of the Earth, Boff menjabarkan pengalaman penderitaan ekologis
manusia dan seluruh ciptaan (bumi). Dia menggambarkan bencana ekologis di wilayah
Amazon di tangan pengembang kapitalis, yang mencari keuntungan di bidang manufaktur
(Leonardo Boff, 1995 : 72). Boff menunjukkan bencana yang tidak hanya merusak stabilitas
lingkungan, tetapi juga membahayakan sejumlah besar orang yang selama ini hidupnya
bergantung dengan alam, terutama mereka yang miskin.
Pada tahap kedua, analisa struktur dosa, bertemu dengan jeritan orang miskin. Para
teolog harus menganalisis situasi dengan alat uji kritis dimana ada upaya untuk memahami
dan menafsirkan penyebab terjadinya penindasan. Analisisnya membuat adanya penilaian
81

kongkret bahwa penindasan terhadap orang miskin adalah dosa. Hal ini yang mendorong
adanya keterlibatan secara transformatif untuk kerja-kerja keadilan. Bagi Boff, intepretasi
melibatkan hermeneutis iman, menggunakan sumber wahyu, tradisi dan ajaran gereja. Gereja
diajak untuk melihat penindasan sebagai gerakan melawan rencana Allah. Gereja didorong
untuk bersuara kepada ide dan praktik keagamaan yang tidak menghasilkan pembebasan.
Tahap ketiga, metode eko-teologis terlibat dalam aksi transformatif demi perjuangan
orang miskin dan melawan struktur masyarakat yang menindas. Melalui kekuatan simbolik,
gereja memiliki kekuatan yang berpengaruh, yang dapat digunakan untuk tindakan sosial
politik. Boff mengembangkan doktrin trinitas sebagai persekutuan, model inklusivitas dimana
terdapat wawasan teologis yang menyeluruh dengan ciptaan. Pengalaman orang Kristen
tentang persekutuan Bapa, Anak dan Roh Kudus mendefinisikan kembali pengalaman kita
tentang alam semesta sebagai persekutuan yang lebih luas di mana makhluk hidup diciptakan
menurut gambar Allah.
Tahap keempat, metode yang dikembangkan Boff mendorong adanya perayaan
harapan, yang muncul dari tindakan transformatif. Tindakan transformatif yang terus menerus
menghasilkan perubahan dan kemajuan praksis gerejawi, baik sosial dan politik yang pantas
untuk dirayakan. Boff mengutip pandangan St Fansiscus yang dapat menemukan mata rantai
antara ekologi di luar penciptaan fisik dengan ekologi batin, keduanya hidup dalam Roh
Allah. Analisis Boff digunakan untuk menemukan sebab dan akibat yang menyebabkan
adanya dosa ekologis termasuk analisis historis. Dia sangat peduli melacak bagaimana tradisi
agama telah membentuk sikap dan praktik kontemporer eksploitasi lingkungan.

2.5.3. Kecendrungan
Dalam analisis Boff, ada dua kecenderungan utama yang menjadi persoalan ekologis.
Pertama adalah kecenderungan antroposentisme. Pemikiran yang menempatkan manusia di
pusat alam semesta. Hal ini memuncak dalam analisis Nietzschean yang memperlihatkan
dominasi manusia atas seluruh dunia. Kedua, adalah kecenderungan adrosentrisme. Hal ini
juga ditolak oleh Boff karena dominasi maskulin menyebabkan adanya ketidakseimbangan
yang dimiliki manusia dengan alam. Bagi Boff, struktur peradaban itu bekerja melawan alam
melalui hirearki antroposentrisme dan androsentrisme (Leonardo Boff, 1995 : 71-75).
Menurut Boff, sinyal agama yang menjadi penyebab alienasi ekologis di Barat adalah
tradisi alkitabiah tentang “kejatuhan alam”. Ini mensyaratkan gagasan bahwa seluruh alam
semesta telah jatuh karena dosa asal manusia. Karena sifatnya telah jatuh, alam tidak lagi
dipandang suci. Tanpa kesuciannya, hal ini menyebabkan alam hanya dipandang sebagai
82

benda yang bisa dieksploitasi semaksimal mungkin. Gagasan tentang kejatuhan alam secara
logis terkait dengan dosa asal dalam konteks Kejadian 3, Boff menyebut beberapa teolog
antara lain Agustinus dan Luther yang menjadi pemikir utama, yang menekankan soal dosa
dan kutukan alam. Akibatnya, dunia dilihat tanpa kehadiran Illahi dan sebagai masalah yang
harus diatasi.
Boff ingin menemukan tempat untuk pengetahuan ekologis dalam iman Kristen demi
orang miskin dan penghuni bumi (alam semesta). Dia menerapkan metode pembebasan
dalam eko-teologi dengan menunjukkan relevansi praktis bagi gereja di dalam mereformasi
teologisnya sehingga ada refleksi yang bermakna untuk keadilan dan keutuhan ciptaan. Boff
juga menunjukkan bagaimana metode teologis dapat bekerja dalam realitas ekologi yang
baru. Semuanya berujung pada penyelamatan lingkungan.
Pada awalnya, ekologi menjadi sub-subjek biologi yang dipelajari dalam konteks
lingkungan dan keterkaitan dengan makhluk hidup lainnya. Tetapi sekarang dalam ekologi
dibagi beberapa bagian. Pertama adalah lingkungan. Kedua adalah sosial, terutama berkaitan
dengan relasi sosial sebagai kaitan dengan ekologis. Karena manusia sebagai pribadi dan
makhluk sosial adalah bagian dari keseluruhan alam semesta. Hal ini menyiratkan adanya
kerja-kerja keadilan ekologis, seperti relasi yang benar dengan alam, sikap yang adil pada
akses sumber daya dan jaminan kualitas hidup. Ketiga adalah mental, yang berawal dari
kesadaran bahwa alam bukanlah persoalan eksternal manusia, tetapi internal, ada dalam
pikiran, dalam bentuk simbol dan menyangkut model perilaku manusia, bisa agresif atau
menghormati alam semesta.
Sejak tahun 1990, 10 spesies makhluk hidup telah menghilang setiap hari. Pada
pergantian abad ini, mereka menghilang pada tingkat 1 jam dan oleh sebab itu, kita akan
kehilangan 20 % dari semua bentuk kehidupan di planet ini (Leonardo Boff, 1993). Ekologi
menjadi dasar kritik sosial yang kuat. Yang mendasari tipe masyarakat yang dominan dan
berkarakter antroposentrisme. Penemuan bumi sebagai organisme disebut sebagai Gaia.
Batuan, air, atmosfer, kehidupan tidak terpisah satu dengan yang lain, tetapi saling terkait
secara inklusif dan timbal balik. Zaman baru telah ditemukan yaitu zaman ekologis, setelah
konfrontasi dengan alam selama berabad-abad, manusia menemukan jalan kembali ke rumah
bersama, bumi yang baik untuk didiami sebagai habitat seluruh keanekaragaman hayati.
Relasi yang saling menghormati satu dengan yang lain sebagai saudara kosmos.

2.5.4. Teologi Pembebasan dan Ekoteologi


83

Bagaimana teologi pembebasan terhubung dengan masalah ekologis? Tantangan


utama yang dihadapi adalah bukan hanya bumi saja yang terancam, tetapi anak-anak,
perempuan yang dieksploitasi, meninggal sebelum waktunya menjadi persoalan yang rumit di
kemudian hari. Mereka terkait secara langsung karena orang miskin dan tertindas adalah
anggota alam. Situasi mereka secara objektif menjadi korban dari agresi perusakan
lingkungan. Sejak awal, menolong orang miskin adalah perhatian dari seluruh agama, tetapi
orang miskin tak pernah menjadi agen transformasi politik. Oleh sebab itu, alam adalah
warisan bersama, kehidupan yang ditujukan untuk generasi di masa kini dan masa depan.
Bagi Boff, demokrasi harus menjadi sosio-kosmis, yaitu unsur-unsur alam seperti
gunung, tanaman, sungai, binatang dan seluruh warga negara dapat berbagi dalam perjamuan
manusia, dan selain itu manusia dapat berbagi dalam perjamuan kosmik. Hanya dengan
demikian, terjadilah keadilan ekologis dan kedamaian di seluruh planet bumi. Harapan ke
depan adalah adanya praktik budaya non-konsumerisme, yang menghormati ritme ekosistem,
yang menghasilkan ekonomi yang cukup untuk semua dan memberikan kebaikan bersama,
tidak hanya untuk manusia tetapi juga makhluk lain dalam seluruh ciptaan.

2.6. Reintepretasi Kejadian 1:28


Tuhan digambarkan menyuruh manusia untuk "menaklukkan bumi dan berkuasa atas"
semua makhluk hidup. Penelitian terbaru itu menyangkut dua segi: penafsirannya yang tepat,
dan sejarah penafsirannya. Pertama-tama diselidiki ulang, bagaimana ayat ini seharusnya
diartikan, khususnya kedua kata kerjanya yang keras, "taklukkanlah" dan "berkuasalah". Dan
kedua, bagaimana ayat ini de fakto telah dimengerti oleh tradisi Yahudi dan Kristen
sepanjang abad. Kita mulai dengan yang pertama.

2.6.1. Penafsiran Kej 1:28

Sebagai akibat tuduhan bahwa ayat 28 ini telah membuka jalan untuk eksploitasi bumi
oleh ilmu dan teknologi modern, segera terbentuk konsensus baru tentang arti ayat 28 yang
lebih positif, yang tidak mengizinkan manusia untuk memakai alam ciptaan secara tak
terbatas untuk kepentingannya sendiri. Kuasa atas bumi dan binatang mulai diartikan sebagai
tugas positif Pencipta yang juga Pemelihara; maka diartikan sebagai tanggung jawab seorang
pengurus rumah tangga (stewardship). Akan tetapi pergeseran dalam eksegese itu tidak
berjalan tanpa tantangan. Baiklah kita mengikuti perkembangan diskusi ini dalam tiga fase.

(a) Tafsiran positif


84

Di awal tahun 70-an James Barr dan Norbert Lohfink, tampak secara independen,
mengusulkan pengartian yang lebih lunak tentang kata-kata kerja "taklukkanlah" dan
"kuasailah". Arti kedua kata kerja itu sebelumnya lazim ditentukan secara etimologis sebagai
"menjejak-jejak" dan "menginjak-injak" (bdk Yoel 3:13, dalam konteks memeras anggur).
James Barr yang menolak tafsiran yang terikat pada etimologi kata, berpandangan
bahwa makna dua kata kerja tersebut harus diterangkan dengan memperhatikan konteks Kej
1. Konteks dekat berbicara tentang berkat (ayat 28a), dan pembagian makanan vegetaris
antara manusia dan binatang (ayat 29-30) tanpa adanya pembunuhan untuk makan daging,
hal mana baru diizinkan setelah terjadinya kemerosotan dan air bah, dalam Kej 9:3.
Seluruh madah' penciptaan Kej 1 ini berbicara tentang suatu dunia yang ditata secara
harmonis dan dinilai baik, bahkan amat baik. Dalam konteks positif Kej 1  ini hal "berkuasa"
(raddah) atas binatang tak mungkin diartikan sebagai perlakuan keras (seperti dalam Yoel
3:13), melainkan oleh Barr dimengerti - menurut gambaran ideal Raja Gembala di Timur
Tengah Kuno - sebagai kegiatan manusia yang mengurusi binatang dengan baik-baik, sama
seperti pemerintahan seorang raja gembala yang baik akan melindungi warganya dan
memelihara wilayahnya. Kuasa manusia atas ikan, burung dan binatang, menurut Barr,
dijalankan dalam relasi damai yang serupa dengan keadaan damai firdaus yang digambarkan
dalam Yes 11:6-9. Juga kata "menaklukkan" (kabbasy) bumi dalam konteks Kej 1 tidak dapat
dimengerti menurut maknanya yang keras (menginjaki), tetapi diartikan Barr sebagai
'mengerjakan' bumi atau 'mengolah' tanah (tilling), sejajar dengan "mengusahakan dan
memelihara" taman dalam Kej 2:15-18.
Norbert Lohfink pun memberi arti positif kepada kedua kata kerja: yakni "mendiami"
bumi (in Besitz nehmen) dan "menggembalakan" binatang (weiden). Ia menemukan dasar
etimologis kata kerja `berkuasa' (raddah) bukannya dalam Yoel 3:13, tetapi dalam kata
bahasa Akkadia redu(m), mendampingi, mengantar; lalu mengartikan Kej 1:28 sebagai
perintah untuk menggembalakan binatang di padang rumput.
Berdasarkan penjelasan Barr dan Lohfink ini banyak pengarang akan berbicara
tentang manusia sebagai steward, pengurus yang diserahi tanggung jawab atas makhluk-
makhluk lain di bumi. Peranan manusia sebagai pengurus didukung juga oleh mereka yang
mengaitkan kuasa manusia dengan gagasan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, hal
mana diartikan sebagai wakil Allah, wazir atau kalifah. Sang wakil tentu diandaikan
menjalankan tanggung jawabnya atas bumi dan segala makhluknya dengan keprihatinan yang
sama seperti yang diperlihatkan oleh Allah sendiri.
85

Tujuan bersama dari pelbagai interpretasi yang searah ini adalah menegaskan bahwa
Kej 1:28 sesungguhnya sama sekali tidak memberi peluang untuk tindakan ataupun teknologi
yang mengeksploitasi bumi dan mengancam makhluk hidup. Kalau dipahami secara tepat,
sesuai dengan konteks Kej 1 dan konteks ideologi raja di Timur Tengah Kuno, ayat ini
sebaliknya mengungkapkan hubungan harmonis manusia dengan alam.

(b) Interpretasi ambivalen


Keja 1:28  yang menggambarkan manusia sebagai pengurus bumi dan segala makhluk
dan menekankan relasi damai, akhir-akhir ini mendapat tantangan. Ideologi Raja Timur
Tengah Kuno yang sering dipakai untuk mendukung gambaran harmonis itu, sesungguhnya
ambivalen. Ada juga segi despotisme, kesewenang-wenangannya. Oleh sebab itu ayat 28 ini
dianggap berbicara tentang "kenyataan ambivalen" manusia sebagai "pelindung yang agresif
militan" atau "pemelihara yang juga harus membendung kekacauan", seperti juga Allah
Pencipta terus menerus membendung ancaman khaos; berbicara tentang manusia yang
"sebagai gambar Allah diberi kewenangan untuk melindungi maupun menaklukkan."

(c) Penafsiran dialektis 


Kej 1:28 di atas, yang memindahkan tekanan antara dominion dan stewardship, oleh
pihak ketiga dinilai sebagai varian-varian saja dari sebuah perspektif antroposentris yang
tetap sama. Bagaimana penafsiran dapat melepaskan diri dari konsentrasi pada kekuasaan
manusia, entah itu sewenang-wenang atau bersifat kepengurusan yang prihatin. Sebuah
perspektif alternatif diusulkan dengan lebih memperhatikan Sabat yang mengakhiri cerita
penciptaan pertama (Kej 2:1-3). Sabbat berarti `berhenti', `menahan'. Pelbagai keterangan
tentang kuasa manusia di atas semuanya diwarnai oleh aktivisme manusia. Justru paham
kebudayaan yang hiperaktif ini telah memberi legitimasi kepada perkembangan sebuah
teknologi dan `kemajuan' yang tanpa batas. Terlupa bahwa Sabat, `menahan', termasuk
kebudayaan Allah. Apakah pengurus bumi yang adalah rekan kerja Allah, juga mampu
mengikuti contoh Allah dalam `menahan diri, menahan kegiatannya', mengambil jarak dari
aktivisme yang berlebihan dan manipulatif, lalu berada di tengah dunia dengan cara yang
lebih kontemplatif?

2.6.2. Sejarah Penafsiran Kej 1:28


Usaha penafsiran  Kej 1:28 di atas penting untuk kita sekarang, tetapi tidak dapat
menjawab pertanyaan apakah ayat ini telah membuka peluang untuk perkembangan ilmu dan
86

teknologi yang mengeksploitasi bumi. Pertanyaan itu hanya dapat dijawab dengan mengkaji
kembali sejarah kebudayaan dan penafsiran mulai dari zaman kuno (konteks asli ayat
tersebut) sampai kepada zaman modern (zaman ilmu, teknologi dan krisis ekologi). Penelitian
seluas itu melampaui bidang dan wewenang seorang penafsir Alkitab. Yang boleh diharapkan
darinya adalah perhatian untuk sejarah interpretasi ayat tersebut. Bagaimana umat Yahudi
dan Kristen dari abad ke abad mengartikan cerita-cerita penciptaan dan khususnya
ayat 28 tersebut?
Beberapa pakar sejarah gereja dan teologi telah meneliti bagian-bagian dari sejarah
interpretasi itu. Berdasarkan penelitian mereka, Heike Baranzke dan Hedwig Lamberty-
Zeilinski menarik beberapa kesimpulan mengenai pemahaman dan peran ayat ini pada masa
kuno dan abad pertengahan. Di sin kami hanya dapat mencatat beberapa hal saja.

=Tafsir tematik
Tafsir pada zaman kuno dan abad pertengahan yang cenderung tematis dan bukan
tekstual, tidak biasa menghubungkan kuasa manusia dalam Kej 1:28  dengan konteksnya,
misalnya tema gambaran Allah (Kej 1:26-27), pembagian makanan vegetaris (Kej 1:29-30),
atau hari Sabat (Kej 2:1-3), berbeda dengan tafsir modern. Kej 1:28  biasanya dibahas
bersama dengan Mzm 8:6-9, yang lebih tegas lagi berbicara tentang kuasa manusia atas
makhluk lain. Namun demikian, pemberian kekuasaan itu dikontraskan dengan pengalaman
kekecilan dan ketidakberartian manusia di tengah dunia ciptaan Tuhan yang dahsyat, dan
dengan demikian direlativir.

=Tafsir antroposentrik
Tafsir Kristen kuno atas Kej 1:28 ada kalanya tampak antroposentris karena dilandasi
keyakinan bahwa segalanya di dunia ini dipersiapkan Allah untuk manusia (sesuai dengan
prinsip Stoa bahwa yang lebih rendah ada demi yang lebih tinggi). Bukan hanya binatang
jinak dan tanaman yang dibudidayakan tetapi juga binatang liar dan yang berbisapun, bahkan
bintang-bintang ada untuk melayani manusia.

=Tafsir antik
Namun efek kekuasaan manusia atas ciptaan itu dibatasi oleh dua hal: Pertama-tama,
oleh kuasa Allah di atas segalanya. Manusia dilihat sebagai wakil Allah yang berada di
bawah kedaulatan-Nya. Kedua, oleh paham dunia yang statis. Alam dipandang sudah lengkap
dan tidak memberi peluang untuk teknik yang inovatif. Teknik-teknik yang menurut
anggapan kuno sudah ditemukan di zaman purba (bdk Kej 4:20-22), tidak dilihat sebagai
sarana untuk mengubah tata alam. Maka para penafsir kuno hampir tak menguraikan
87

kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia untuk menaklukkan bumi. Posisi kekuasaan


manusia, yang dibahas dalam konteks antropologi (yang membicarakan kelebihan manusia,
gambar Allah, sebagai makhluk yang dapat berpikir, berbicara, berjalan tegak, dll.), jarang
dijelaskan ke arah aktivitas teknis atau kultural. Antropologi Yahudi - Kristen yang di satu
sisi memperhatikan kuasa sebagai ciri hakiki manusia, di lain sisi kurang menunjukkan daya
dorong ke arah pengubahan dunia (hal mana justru diandaikan oleh dakwaan Lynn White).
Pembahasan kuasa manusia jarang disertai penggambaran konkrit bagaimana manusia
mengurus dan mengerjakan dunia. Pengubahan alam oleh manusia, penyempurnaannya oleh
kebudayaan manusia, tidak dilihat sebagai implikasi dari kuasa manusia dalam  Kej 1:28,
melainkan - secara ironis - dikaitkan dengan sebuah ayat yang sering dikemukakan sebagai
koreksi terhadap Kej 1:28, yakni  Kej 2:15, "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan
menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu."
Dengan bertolak dari ayat ini para rahib gereja barat mengembangkan etos kerja mereka.
Perkembangan ini dimungkinkan karena dari perspektif Yahudi - Kristen yang eskatologis
mereka menimba suatu konsep alam yang lebih dinamis, terbuka untuk perubahan. Manusia
sebagai rekan kerja Allah (cooperator Dei) turut bekerja untuk membuat alam ciptaan
menjadi lebih sempurna.

=Tafsir modern
Dalam perubahan masyarakat Eropa pada abad ke-12 dan 13, etos kerja para rahib dan
konsep alam mereka yang dinamis mulai tersebar di masyarakat kota. Penyebaran itu
bertepatan waktu dengan pandangan Hugo St. Victor, pemikir yang memasukkan mekanika
ke dalam studi artes, dan yang meminta agar semua pekerjaan mengabdikan diri kepada
pemulihan dunia yang keadaannya dirusak oleh kedosaan manusia. Dengan usaha yang
demikian kuasa manusia atas bumi, yang telah hilang karena kejatuhan dalam dosa, akan
diperoleh kembali. Perkembangan ini akan kemudian membawa kepada perubahan dunia
dengan bantuan teknik. Namun perlu manusia di atas semuanya diwarnai oleh aktivisme
manusia. Justru paham kebudayaan yang hiperaktif ini telah memberi legitimasi kepada
perkembangan sebuah teknologi dan `kemajuan' yang tanpa batas. Terlupa bahwa Sabat,
`menahan', termasuk kebudayaan Allah. Apakah pengurus bumi yang adalah rekan kerja
Allah, juga mampu mengikuti contoh Allah dalam `menahan diri, menahan kegiatannya',
mengambil jarak dari aktivisme yang berlebihan dan manipulatif, lalu berada di tengah dunia
dengan cara yang lebih kontemplatif?
88

Singkatnya, para peneliti sejarah interpretasi  Kej 1:28 tidak menemukan hubungan


sebab menyebab yang jelas antara ajaran penciptaan Yahudi - Kristen serta visinya tentang
kuasa manusia dengan perkembangan ilmu dan teknik modern. Masalahnya barangkali tidak
sesederhana seperti dibayangkan Lynn White. Banyak faktor lain perlu diselidiki. Misalnya,
apakah kebudayaan Yunani yang dikatakan lebih menyegani pesona alam yang ilahi,
sesungguhnya tidak menyumbang jauh lebih banyak kepada perkembangan ilmu-ilmu
daripada kebudayaan Yahudi?
Kalau perkembangan ilmu dan teknik yang merusak Lingkungan hidup toh masih
mau dikaitkan dengan visi Kristen, kiranya perlu diselidiki apakah cara visi Kristen
dikembangkan pada zaman kemudian di Eropa, misalnya dalam teologi alam sejak akhir abad
pertengahan, mungkin menjadi sumber perkembangan teknik yang merusakkan alam? Tetapi
hal itu jelas tidak dapat dibebankan kepada tradisi Yahudi atau Kristen awaL.

BAB III
PANDANGAN DAN PEMBELAAN GEREJA
89

TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP


Pada bab ini kita akan menjelajahi pikiran Magisterium Gereja, mulai dari Paus
Paulus VI hinggga Paus Fransiskus tentang pembelaan terhadap ekologi dan pandangan
teologis tentang ekologi atau Ekoteologi

3.1. Table
14-05-1971 Paulus VI, Adhortasi Apostolik
Octogesima Adveniens 21 (Epistula Apostolica
01. 21
Octogesima Adveniens ad Mauricium S.R.E. Cardinalem
Roy, 21) ………...….………………………..............................................
06-11-1971 Sinode Para Uskup, “Iustitia In Mundo”
02. / “Ultimis Temporibus” (Synodus Epis-coporum, 21
“Iustitia in mundo”/ “Ultimis temporibus”)..............................
01-06-1972 Paulus VI, Pesan pada Kesempatan
Pembukaan Konferensi PBB di Stockholm tentang
03. Lingkungan Hidup (Message du Pape Paul VI a 22
l’occasion de l’ouverture de la Conference des Nations
Unies sur l’Environnement) .................................................................
05-06-1977 Paulus VI, Amanat untuk Hari Se-Dunia
04. Ke 5 Lingkungan Hidup (Message on the occasion of 26
the 5th Worldwide Day of Environment).....................................
04-03-1979 Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik
05. “Redemptor Hominis” 15 (Ioannes Paulus II, Litterae 27
encyclicae “Redemptor hominis” 15) ..............................................
29-11-1979 Yohanes Paulus II, Surat Apostolik
06. “Inter Sanctos” (Litterae Apostolicae “Inter 29
Sanctos”)...........................................................................................................
10-05-1982 Pernyataan Wakil Takhta Suci pada
Konferensi “World Environment Day”, Nairobi
07. (Intervenção do Representante da Santa Sé na sede do
programa das Nações Unidas para o Ambiente (UNEP)
por ocasião do “Dia Mundial do Ambiente” a ser

celebrado dia 5 de
Junho)..................................................... 30
..................
18-08-1985 Yohanes
Paulus II, Amanat kepada
Para
Anggota Perwakilan PBB di
08. Nairobi (Address of Pope 31
John Paul II to the Members of
the Agency of the United
Nations) ...............................................
............................................................
02-04-1986 Yohanes
Paulus II, Audiensi Umum
09. 37
(Giovanni Paolo II, Udienza
Generale, 2 Aprile 1986) ..........
90

30-12-1987 Paus Yohanes


Paulus II, Ensiklik
“Sollicitudo Rei Socialis” 34
10. 37
(Litterae encyclicae
“Sollicitudo Rei Socialis” 34)
................................................................
30-12-1988 Yohanes
Paulus II, Adhortasi
Apostolik
11. ”Christifideles Laici” 43 39
(Adhortatio Apostolica
“Christifideles laici” 43)
...................................................................
.......
09-01-1989 Yohanes
Paulus II, Amanat kepada
Para Anggota Korps
Diplomatik pada Takhta
Suci
12. (Discours du Saint-Père Jean- 40
Paul II aux membres du
Corps Diplomatique accrédité
près le Saint Siège. Lundi,
9 Janvier 1989)
...................................................................
........................
16-11-1989 Amanat Paus
Yohanes Paulus II pada
Kesempatan Konferensi
Umum FAO (Address of His
13. Holiness John Paul II on the 40
occasion of the General
Conference of FAO)
...................................................................
................
08-12-1989 Yohanes
Paulus II, Pesan untuk Hari
Perdamaian Sedunia 1990,
“Perdamaian dengan
Allah Pencipta,
Perdamaian dengan
Seluruh
14. Ciptaan” (Message of His 41
Holiness Pope John Paul II for
the Celebration of the World
Day of Peace 1 January
1990, “Peace with God the
Creator, Peace with all of
Creation”) .......................................
.......................................................

15. 01-05-1991 Yohanes 52


Paulus II, Ensiklik
“Centesimus Annus” 37
91

(Litterae encyclicae
“Centesimus Annus”
37) ...........................................................
...............
04-06-1992 Pernyataan
Y.M. Renato R. Martino,
Nunsius Apostolik, Kepala
Delegasi Takhta Suci
kepada Konferensi PBB
Tentang Lingkungan dan
Pengembangan, Rio de
16. Janeiro (Statement of H.E. 53
Renato R. Martino, Apostolic
Nuncio, Head of the Holy See
Delegation to the UN
Conference on Environment
and Development, Rio de
Janeiro,
Brazil) ..............................................
13-06-1992 Intervensi
Kardinal Angelo Sodano
dalam Konferensi tentang
Lingkungan Hidup dan
Pengembangan di Rio de
Janeiro (Intervention by
17. 60
Cardinal Angelo Sodano on
the occasion of the United
Nations World Conference on
the Environment and
Development in Rio de Janeiro
(June 13, 1992) ......................
22-10-1993 Amanat Paus
Yohanes Paulus II kepada
Para Peserta Workshop
“Bahaya Kimiawi di Negara
Negara Berkembang” yang
Diorganisir Akademi
Kepausan untuk Ilmu
18. Pengetahuan (Address of His 62
Holiness John Paul II to the
participants in the workshop
on “Chemical Hazards in
developing countries
organized
by the Pontifical Academy of
Sciences) ........................................
19. 25-03-1993 Dewan 63
Kepausan untuk Ekumene,
Direktorium Aplikasi
Prinsip & Norma Ekumene
215 (b) (Pontifical Council
for Promoting Christian
92

Unity, Directory for the


Application of Principles and
Norms on Ecumenism 215
(b)) ................................................
10-11-1994 Paus Yohanes
Paulus II, Surat Apostolik
Tertio Millennio Adveniente
20. 64
3 (Epistula Apostolica
“Tertio Millennio Adveniente”
3) .......................................................

25-03-1995 Yohanes
Paulus II, Ensikilik
“Evangelium Vitae” 42
21. (Joannes Paulus II, lit. encycl. 64
“Evangelium vitae”,
42) ...........................................................
................
24-03-1996 Paus Yohanes
Paulus II, Angelus
22. Giovanni Paolo II, 65
Angelus) ..........................................
.................
25-03-1996 Yohanes
Paulus II, Adh. Apost. “Vita
Consecrata” 90 (Joannis
23. Pauli II, Adh. Apostolica “Vita 65
Consecrata”
90) ...........................................................
................................
04-10-1996 Dewan
Kepausan “Cor Unum”,
Kelaparan Sedunia,
Tantangan Bagi Semua,
Pengembangan dalam
24. 66
Solidaritas 30-31 (Pontifical
Council “Cor Unum”: World
Hunger, a Challenge for all,
Development in Solidarity, 30-
31) ...................................................
24-03-1997 Yohanes
Paulus II, Amanat Kepada
Konferensi tentang
Lingkungan Hidup dan
25. 67
Kesehatan (Address of His
Holiness Pope John Paul II to
Conference of Environment
and Health) ...................................
26. 27-06-1997 Intervensi 70
Oleh Y.M. Mgr. Jean Louis
Tauran dalam Sidang
Umum PBB tentang
Lingkungan Hidup
93

(Intervention by H.E. Msgr


Jean
Louis Tauran General
Assembly of the United
Nations on
Environment) ...................................
.............................................................
15-08-1997 Katekismus
Gereja Katolik 2415-2418
27. (Catechismus Ecclesiae 72
Catholicae 2415-
2418) .......................
23-11-1997 Dewan
Kepausan untuk Keadilan
dan
Perdamaian, “Menuju
Pembagian Tanah yang
Lebih
28. Baik” 21-31 (Pontifical 73
Council for Justice & Peace,
“Towards a better
Distribution of the Land” 21-
31)
...................................................................
............................................................

08-01-1998 Dewan
Kepausan Dialog
Antaragama
(Kard. Fr. Arinze) ”Pesan
untuk Akhir Ramadan
(Idul Fitri) 1998/1418”
29. 77
(Pontifical Council For
interreligious Dialogue:
“Message for the End of
Ramadan (‘Id-Al-Fitr)
1998/1418”)...................................
..........
19-08-1998 Audiensi
Umum (General Audience,
30. Wednesday 19 August 77
1998) ................................................
........
08-12-1998 Yohanes
Paulus II, Pesan Hari
Perdamaian Sedunia 1999,
No.10 (John Paul II,
31. 77
Message for the celebration of
the World Day of Peace
1999) ................................................
.......................................................
32. 22-01-1999 Yohanes 78
Paulus II, Adhortasi Apost.
94

“Ecclesia in America” 2 (
John Paul II, Post-synodal
Apostolic Exhortation
“Ecclesia in America”
25) ...................
23-05-1999 Dewan
Kepausan untuk Budaya,
“Menuju Pendekatan
Pastoral Budaya”
33. Pontifical Council For Culture, 79
Towards a Pastoral
Approach to Culture
11)......................................................
.............
26-05-1999 Intervensi
Takhta Suci pada Forum
Ekonomi Ke 7 Osce di
Praha: Lingkungan Hidup
dan
Keamanan (Address of the
34. 80
Holy See at the 7th OSCE
Economic Forum in Prague:
Environment and Security; a
responsibility of all for the
future of
humanity.) ....................
12-06-1999 Paus Yohanes
Paulus II, Homili di
Zamosk (John Paul II,
35. Address at the Liturgy of the 81
Word, 12 June
1999) ................................................
.........................
29-09-1999 Rancangan
Pernyataan Delegasi
Takhta
Suci pada Sidang Umum
36. IAEA 1999 (Draft Statement 83
of the Delegation of the Holy
See at the IAEA General
Conference) ....................................
.......................................................

37. 04-11-1999 Pesan Paus 84


Yohanes Paulus II kepada
Dewan Kepausan Keadilan
dan Perdamaian pada
Kesempatan Sidang
Paripurna, (Messagio di
Giovanni
Paolo II al Pontificio Consiglio
della Giustizia e della Pace
in occasione dell” Assemblea
95

Plenaria, 4) .................................
06-11-1999 Yohanes
Paulus II, Adhortasi
Apostolik
38. “Ecclesia in Asia” 41 ( Post- 85
Synodal Apostolic
Exhortation “Ecclesia in Asia”
41)..............................................
18-11-1999 Dewan
Kepausan Keadilan &
Perdamaian (Diarmuid
Martin), “Perdagangan,
Pengembangan &
Perjuangan Mengentaskan
39. 87
Kemiskinan” 10 (Pontifical
Council for Justice and
Peace, “Trade, development &
the fight against poverty”
10)......................................................
........................................................
26-01-2000 Audiensi
Umum (Udienza Generale,
40. Mercoledì, 26 gennaio 88
2000) ................................................
..........
11-11-2000 Paus Yohanes
Paulus II, Amanat
Yubileum Dunia Pertanian
41. (Address of John Paul II, 89
Jubilee of the Agricultural
World) ..............................................
..
12-11-2000 Paus Yohanes
Paulus II, Homili
Yubileum Dunia Pertanian
42. 90
(Homily of John Paul II at
the Jubilee of the Agricultural
World) ........................................
17-01-2001 Yohanes
Paulus II, Audiensi Umum:
Komitmen Untuk
Menghindarkan Bencana
Ekologis
43. 91
(Mzm 148:15) (Udienza
Generale: “L’impegno per
scongiurare la catastrofe
ecologica (Sal 148:15) )
...............
44. 29-06-2001 Pedoman 92
Reksa Pastoral Turisme
(Pontifical Council for
Migrants, Guidelines for the
pastoral care of
96

tourism) ..........................................
.......................

14-09-2001 Intervensi
Kardinal Angelo Sodano
Pada Convegno Nazionale
dei (Intervento del
45. 93
Cardinale Angelo Sodano al
XXXII Convegno Nazionale
dei Consiglieri Ecclesiastici
della Coldiretti”) ..........................
22-11-2001 Yohanes
Paulus II, Adhortasi
Apostolik
“Ecclesia in Oceania” 31
46. 95
(John Paul II, Post-synodal
Apostolic Exhortation
“Ecclesia in Oceania”
31) ....................
28-11-2001 Intervensi
Takhta Suci pada PBB
tentang Item 98F–
Lingkungan Hidup dan
Pengembangan Lestari:
Melindungi Iklim Global
untuk Generasi Umat
Manusia Kini dan
Mendatang
47. 96
(Intervention by the Holy See
at the United Nations on
Item 98F- “Environ-ment and
sustainable development:
Protecting of global climate
for present and future
generations of
mankind”) ......................................
..........................
21-05-2002 Intervensi
Yang Mulia Mgr Piero
Monni
Pengamat Tetap Takhta
Suci pada Pertemuan
Puncak Ekowisata
48. (Intervention de S. Exc. Mgr. 98
Piero
Monni, Observateur Saint
Siege lors du Sommet Mondial
sur
l’ecotourisme)................................
................................................
49. 22-05-2002 Dewan 98
Kepausan Keadilan &
Perdamaian, Catatan
97

tentang Perayaan Hari


Sedunia Keanekaragaman
Hayati (Note on the
celebration of the World Day
of Biodiversity)..........................
10-06-2002 Deklarasi
Bersama Yohanes Paulus II
&
Patriark Ekumenis Y.M.
Bartolomeus I (Common
Declaration on Environmental
50. 99
ethics signed by the Holy
Father and the Ecumenical
Patriarch His Holiness
Bartholomew
I) .........................................................
..........................

10-06-2002 Yohanes
Paulus II, Salam pada
Presentasi Pernyataan
Bersama tentang Etika
Lingkungan (Greeting of
51. John Paul II at the 103
presentation of the Common
Declaration on
Environmental
ethics)................................................
......................................................
24-06-2002 Pesan Yohanes
Paulus II untuk Hari
Pariwisata Sedunia 2002
52. 103
(Message of John Paul II for
the 23rd World Day of Tourism
2002)..........................................
27-09-2002 Dewan
Kepausan Pastoral Migran,
Kenangan Anugerah
Ciptaan. Kriterium
Ekowisata
(Pontificio Consiglio della
53. Pastorale per I Migranti e gli 107
Itineranti (Stephen Fumio
Hamao), Memoria del dono
del
Creato. Un criterio Per
l’Ecoturismo)..................................
........
54. 27-09-2002 Dewan 109
Kepausan Pastoral Migran,
Ekowisata, Kunci
Pengembangan Lestari
98

(Pontificio
Consiglio della Pastorale per I
Migranti e gli Itineranti
(Agostino Marchetto),
Ecoturismo, Chiave dello
sviluppo
sostenibile)......................................
.......................................................
17-02-2003 Ekowisata,
Kunci Pengembangan
Lestari (Pontificio Consiglio
della Pastorale per I
55. Migranti e gli Itineranti (Mos. 110
Jordi Gaya) ‘Ecoturismo,
chiave dello sviluppo
sostenibile’).....................................
...........
22-03-2003 Kontribusi
Delegasi Takhta Suci Pada
Kesempatan Forum Air
Sedunia Ketiga (A
Contribution of the Delegation
56. of the Holy See on the 111
occasion of the third World
Water Forum. Presentation
by H.E. Msgr. Renato R.
Martino)...........................................
........
27-05-2003 Yohanes
Paulus II, Pesan Kepada
Patriark Ekumenis
Bartolomaios I (Message of
57. 113
John
Paul II to the Ecumenical
Patriarch Bartolomaios
I)............

16-10-2003 Yohanes Paulus II, Adhortasi


Apostolik
58 “Pastores Gregis” 70 (John Paul II, Apostolic 115
Exhortation “Pastores Gregis”
70)...............................................
20-10-2003 Intervensi Y.M. Mgr. Celestino
Migliore
pada Komite II Sidang Umum PBB tentang
Dasawarsa Pendidikan untuk Pengembangan
Lestari” (Intervention by H.E. Msgr.Celestino Migliore
59. 116
at
the Second Committees of the General Assembly of the
UN
on “Decade of Education for Sustainable
Development”) ...
99

10-12-2003 Intervensi Takhta Suci pada


Konferensi
Para Pihak 9, Konvensi Kerangka PBB tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC) (Intervention by the
Holy
60. 117
See at the Ninth Conference of the Parties (COP-9) to
the
United Nations Framework Convention on Climate
Change
(UNFCCC))................................................................................
22-02-2004 Kongregasi Uskup, Apostolorum
Successores 204 (Congr. Ep. Apostolorum
61. Successores 119
204) ...................................................................................................
......
29-06-2004 Kompendium Ajaran Sosial Gereja
451-
487 (Compendium of the Social Doctrine of the
62. 120
Church
451-48)
...................................................................................................
23-07-2004 Komisi Teologi Internasional,
Persekutuan dan Perwalian, 72-81 - International
Theological Commission, Communion and
63. Stewardship, 141
72-
81........................................................................................................
.
15-10-2004 Pesan Paus Yohanes Paulus II
kepada
Bp. Jacques Diouf pada Kesempatan Hari Pangan
64. Sedunia - Message of John Paul II to Mr. Jacques 147
Diouf on
the occasion of the World Food Day 2004
...............................
65. 05-06-2005 Benediktus XVI, Sesudah Angelus

(Benedetto XVI, Dopo


Angelus)........................................... 148
...........
11-05-2006 Intervensi
Oleh Y.M Mgr. Celestino
Migliore kepada Sessi Ke
14 Komisi tentang
Pengembangan Lestari
ECOSOC. - Intervention by
66. H.E. 148
Msgr. Celestino Migliore to the
14th Session of the
Commission on Sustainable
Development of the
ECOSOC.............................................
....................................................
100

06-07-2006 Benediktus
XVI, Surat kepada Patriark
Ekumenis Bartolomeus I,
Patriark Ekumenis, pada
Kesempatan Simposium VI
tentang ”Agama, Ilmu &
Lingkungan dengan Fokus
pada Sungai Amazon
67. (Letter of HH. Benedict XVI to 149
H.H. Bartolomew I,
Ecumenical Patriarch on the
occasion of the sixth
symposium on “Religion,
Science and Environment’
focusing on the Amazon
River).................................................
...
16-10-2006 Paus
Benediktus XVI Kepada
Dirjen
FAO untuk Perayaan Hari
Pangan Sedunia (Message
of H.H.Benedict XVI to the
68. 151
Director General of the food
and agriculture organization
for the celebration of the
World Food
Day)...................................................
...............................
06-11-2006 Amanat Paus
Benediktus XVI kepada
Para Anggota Akademi
Kepausan Ilmu (Address of
69. H.H. Benedict XVI to the 152
members of the Pontifical
Academy of
Sciences)...........................................
..............................
08-12-2006 Pesan Paus
Benediktus untuk Hari
Perdamaian Sedunia 2007,
70. 153
8-9 (Benedict XVI, Message
World Day of Peace 2007, 8-9)
......................................................

71. 22-03-2007 Pesan Paus 155


Benediktus XVI
Ditandatangani Kardinal
Tarcisio Bertone kepada
Direktur Jenderal FAO
pada Kesempatan
Perayaan
Hari Air Sedunia 2007
101

(Message of the Holy Father


Benedict XVI signed by
Cardinal Tarcisio Bertone to
the
Director General of FAO on
the occasion of the
celebration of World Water
Day 2007) ......................................
10-05-2007 Intervensi
Takhta Suci pada Sesi Ke
15
tentang Pengembangan
Lestari Dewan Ekonomi
dan
Sosial. Amanat Y.M. Mgr.
72. Celestino Migliore 155
(Intervention by the Holy See
at the 15th Session of the
Commission on Sustain-able
Development on the UN
Economic and Social Council.
Address of H.E. Msgr.
Celestino Migliore) .............
01-09-2007 Benediktus
XVI Surat kepada Patriark
Ekumenis dari
Konstantinopel (Letter of
His Holiness
Benedict XVI to the
73. 157
Ecumenical Patriarch of
Constantinople on the
occasion of the seventh
Symposium of the Religion,
Science and the Environment
Movement)......................................
74. 24-09-2007 Amanat oleh 160
Mgr. Pietro Parolin pada
Sessi ke 62 Sidang Umum
PBB dalam “Peristiwa
Tingkat Tinggi tentang
Perubahan Iklim” dengan
Judul “Masa Depan di
Tangan Kita: Menanggapi
Tantangan Kepemimpinan
Perubahan Iklim”
(Address by Msgr Pietro
Parolin at the 62nd Session of
the General Assembly of the
United Nations during the
“High level event on climate
change entitled “The future in
our hands: addressing the
leadership challenge of the
102

climate change”).........................

29-10-2007 Amanat oleh


Y.M. Mgr. Celestino
Migliore pada Komite Ke 2
Sesi Ke 62 Sidang Umum
PBB tentang
Pengembangan Lestari.
(Address by H.E.
75. Msgr. Celestino Migliore at the 161
2nd Committee of the 62nd
Session of the General
Assembly of the United
Nations on
Sustainable
Development).................................
..............................
08-12-2007 Benediktus
XVI Pesan Hari Perdamaian
Sedunia 2008, 7-8 (Benedict
76. XVI, Message World Day of 164
Peace 2008. 7-8)
.............................................................
.....................
12-02-2008 Amanat oleh
Y.M. Mgr. Celestino
Migliore pada Pertemuan
Sidang Umum PBB yang
Berdebat tentang
“Menanggapi Perubahan
Iklim,
77. PBB dan Dunia Bekerja” 166
(Address by H.E. Msgr.
Celestino Mi-gliore at the
meeting of the UN General
Assembly debating on the
theme: “Addressing Climate
Change: the United Nations
and the World at work”) .........
12-07-2008 Wawancara
dengan Paus Benediktus
XVI dalam Penerbangan ke
78. 168
Sydney (Interview of the
Holy Father during the flight
to Sydney)....................................
79. 12-07-2008 Dewan 169
Kepausan Untuk Keadilan
&
Perdamaian (Mgr. Renato
Raffaele Martino), Ekologi
dalam Cahaya Ajaran Sosial
Gereja Katolik: Manusia
dalam Hubungannya
103

dengan Dunia (Ecology in


the
light of the Social Doctrine of
the Catholic Church: Man in
relation to the world, by
Renato Raffaele Marino,
President of the PC for Justice
and Peace).................................
27-09-2008 Paus
Benediktus XVI dalam
Pertemuan
yang Disponsori Pusat
Pariwisata Kaum Muda dan
Kantor Internasional
80. Pariwisata Sosial 170
(To participants at a Meeting
sponsored by the Youth
Tourist Centre and the
International Office for Social
Tourism) .........................................
........................................................

29-09-2008 Intervensi
Delegasi Takhta Suci
Selama
Debat Umum Sesi Ke 63
S.U. PBB
(Intervention by the Holy See
81. 172
Delegation during the
general debate of the 63rd
Session of the General
Assembly of the
UNO)..................................................
......................
26-06-2009 Benediktus
XVI, Ensiklik Caritas In
82. Veritate 48-52 (Litterae 172
encyclicae Caritas in Veritate
48-52).............................................
26-08-2009 Benediktus
XVI, Audiensi Umum:
Menyelamatkan Ciptaan
83. 179
(Benedetto XVI, Audienza
Generale: La salvaguardia del
creato) .......................................
84. 24-09-2009 Benediktus 181
Xvi, Pernyataan Video
Kepada Pertemuan Puncak
tentang Perubahan
Iklim (Videostatement of
Benedict XVI to the UN 2009
Summit on Climate
Change)............................................
104

................
14-10-2009 Pernyataan
Oleh Mgr. James Marvin
Reinert dari Dewan
Kepausan untuk Keadilan
dan Perdamaian Kepada
Komisi Ilmu Manusia dan
Sosial Sesi Ke 35
Konferensi Umum UNESCO
tentang Pendidikan untuk
Memajukn Pengembangan
Lestari, HAM dan
85. Lingkungan Hidup. 183
(Statement by Msgr. James
Marvin Reinert of the
Pontifical Council for Justice
and Peace to the Human and
Social Sciences Commission of
the 35th session of the
General Conference of
UNESCO on Education to
promote Sustainable
Development, Human Rights
and the Environment).......
08-12-2009 BENEDIKTUS
XVI, PESAN HARI PER
DAMAIAN SEDUNIA KE 43,
2001: “BILA ANDA MAU
MEMAJUKAN
86. PERDAMAIAN, LINDUNGI- 183
LAH CIP
TAAN” (43rd World Day of
Peace: “If you want to
cultivate peace, protect
creation).....................................

17-12-2009 Pernyataan
Oleh Y.M. Mgr Celestino
Migliore di Depan Pada
Sidang Pleno Tingkat Atas
Konferensi PBB Tentang
Perubahan Iklim
87. (Statement by H.E. Msgr. 195
Celestino Migliore before the
Plenary of the High-level
Segment of the United Nations
Conference on Climate
Change)............................................
...................................
88. 01-01-2010 Benediktus 196
XVI, Homili (Omelia del
Santo Padre Benedetto
XVI)....................................................
105

........
11-01-2010 Paus
Benediktus XVI, Amanat
Kepada
Korps Diplomatik yang
Terakreditasi pada Takhta
Suci pada Kesempatan
Tradisi Ucapan Selamat
89. 197
Tahun Baru (Pope Benedict
XVI, address to the members
of the Diplo-matic Corps for
the traditional Exchange of
New Year
Greetings)........................................
...................................
17-05-2010 Dewan
Kepausan Dialog
Antaragama
Pesan kepada Kaum
Budhis untuk Hari Raya
90. Waisak/Hammatsuri 2010 198
(Ponti-fical Council for
Interreligious Dialogue,
Message to Buddhists for the
Feast of Vesach/Hammatsuri
2010).............................................
24-06-2010 Dewan
Kepausan Pastoral Migran,
Wisata Lestari untuk
Melindungi
Keanekaragaman
91. 200
Hayati (Pontifical Council for
Pastoral Care of Migrants
& Itinerant People, A
Sustainable tourism for the
Protection of Biodiversity).......
29-08-2010 Benediktus,
Sesudah Angelus
92. (Benedetto XVI Dopo 202
Angelus)...........................................
.

93. 16-09-2010 Pernyataan 202


Takhta Suci pada Sesi XV
Biasa Dewan HAM tentang
Akses kepada, dan
Pasokan, Air Minum Aman
dan Pelayanan Sanitasi
(Statement by the Holy See at
the 15th Ordinary Session of
the Human Rights Council on
access to, and delivery of,
safe drinking water and
106

sanitation
services)............................
30-09-2010 Benediktus
XVI Adhortasi Apostolik
94. Verbum Domini 108 203
(Benedictus XVI, Adh. Apost.
Verbum Domini 108) ................
15-10-2010 Pesan Paus
Benediktus XVI kepada Bp.
Jacques Diouf, Dirjen FAO
pada Kesempatan Hari
Pangan Sedunia 2010
95. 204
(Message of Benedict XVI to
Mr. Jacques Diouf, Director
General of FAO on the
occasion of World Food Day
2010.........................................
18-11-2011 Amanat Paus
Benediktus XVI di
Parlemen Jerman
96. 204
(Ansprache von Papst
Benedikt im Berliner
Reichstag)......................
18-11-2011 Amanat Paus
Benediktus XVI kepada
Para Mahasiswa Peserta
Pertemuan yang
Diselenggarakan Fondasi
“Sorella Natura” (Discorso
97. 205
del Santo Padre Benedetto
XVI agli Studenti partecipanti
all’incontro promosso dalla
fondazione ‘Sorella
Natura’)............................................
.......................................................
09-01-2012 Benediktus
XVI kepada Para Anggota
Korps Diplomatik yang
Terakreditasi Pada Takhta
Suci untuk Pertukaran
Tradisional Selamat Tahun
98. Baru (Benedict XVI, To the 206
Members of the Diplomatic
Corps accredited to the Holy
See for the traditional
exchange of New Year
greetings)........................................
..........

99. 27-01-2012 Amanat Paus Benediktus XVI kepada 206


Para Peserta Sidang Paripurna Kongregasi Ajaran
Iman (Discorso dell Santo Padre Benedetto XVI al
Partecipanti alla Plenaria della Congregazione per la
107

Dottrina della
Fede)............................................................................
Maret 2012 Dewan Kepausan Keadilan &
Perdamaian, Memberikan Pemecahan Efektif. Air,
Unsur Hakiki Kehidupan (Pontifical Council Justice
100. 207
and Peace, Instaurer des solutions efficace. l’Eau, un
element essential pour la
vie).........................................................
19-11-2011 Paus Benediktus XVI, Adhortasi
Apostolik “Africae Munus” 80 (Benedict XVI,
101. 207
Apost.Exhortation “Africae munus”
80)......................................
05-06-2013 Paus Fransiskus, Audiensi Umum
102. 208
(Pope Francis, General Audience, Saint Peter's Square)....

3.2. Pidato dan Pesan Ekologis dan Ekoteologis Magisterium Gereja

Mengingat banyak serta panjangnya dokumen-dokumen Vatikan yang memperhatikan


masalah lingkungan hidup, tidak mungkin dan tidak mudah bagi Dokpen KWI untuk memuat
seluruhnya dalam satu buku. Tema tersebut tersebar di banyak tempat, maka dikumpulkan
menjadi satu. Sebuah teks bisa memiliki banyak tema, maka diambil kutipan-kutipan yang
sesuai dengan judul. Ini pun kadang hanya disebut tanpa diuraikan lebih lanjut. Dalam seri
dokumen gerejawi tentang Lingkungan Hidup ini, Dokpen KWI hanya memilih bagian-
bagian yang sungguh berkaitan dengan tema yang dibahas. Dengan demikian diharapkan
segala pernyataan Gereja tentang tema ini diketahui umat sehingga umat, maupun masyarakat
pada umumnya, bisa mengikuti perkembangannya dari awal serta memberikan tanggapan
atas perkembangan yang terjadi sesuai zamannya. Bilamana pembaca ingin mengetahui isi
seluruh dokumen tersebut, dipersilakan membaca teks aslinya yang bisa diakses di internet.

1. 14-05-1971 PAULUS VI, ADHORTASI APOSTOLIK “OCTOGESIMA ADVENIENS” 21 Epistula


Apostolica Octogesima Adveniens ad Mauricium S.R.E. Cardinalem Roy, 21

21: Sementara lingkup pandangan manusia berubah menurut gambaran yang dipilihnya,
dirasakanlah perubahan lain yang merupakan akibat kegiatan manusia yang merusak dan
tidak terkirakan. Tiba-tiba manusia dewasa ini menjadi sadar bahwa akibat eksploitasi alam
yang semena-mena, ia berisiko merusaknya dan pada gilirannya ia sendiri menjadi korban
atas degradasi ini. Tetapi bukan hanya lingkungan jasmani yang terus-menerus menjadi
ancaman bagi manusia: pencemaran, sampah, penyakit baru, kekerasan dahsyat yang
menghancurkan, melainkan juga berlaku bagi lingkungan hidup insani yang tidak
dikuasainya lagi sehingga dalam waktu singkat menciptakan kondisi hidup yang tak
tertahankan. Hal ini menjadi masalah sosial berjangkauan luas yang menimpa seluruh umat
108

manusia. Segala hal baru ini harus diperhatikan umat kristiani agar bersama dengan sesama
manusia memikul tanggung jawab demi masa depan yang menyangkut nasib semua orang.

2. 06-11-1971 SINODE PARA USKUP, “IUSTITIA IN MUNDO” / “ULTIMIS TEMPORIBUS”


Synodus Episcoporum, “Iustitia in mundo”/“Ultimis temporibus”

Selain itu permintaan negara-negara kaya –kapitalis atau sosialis– akan sumber daya
atau energi (seperti penggunaan yang mengakibatkan pencemaran udara dan air) begitu besar,
sehingga unsur hakiki untuk hidup di bumi seperti udara dan air diracuni secara tak
terpulihkan, apabila konsumsi yang tinggi dan pencemaran makin bertambah dan meliputi
seluruh umat manusia…
Kami masih harus mengingatkan masalah baru sedunia, yakni soal perlindungan
lingkungan hidup, yang akan dibahas untuk pertama kalinya dalam konferensi internasional
pada Juni 1972 di Stockholm. Tak dapat dimengerti, bagaimana bangsa-bangsa yang kaya
dapat menuntut untuk memperbanyak barang sedemikian rupa, sehingga bangsa lain tetap
hidup dalam kemelaratan dan kemiskinan atau ada bahaya bahwa dasar-dasar fisik hidup di
dunia dihancurkan. Kaum kaya harus menerima gaya hidup yang lebih sederhana dan
mengurangi penghamburan, agar warisan yang diberikan Allah jangan dihancurkan, dan
mereka harus berbagi secara adil dengan semua orang.

3. 01-06-1972 PAULUS VI, PESAN PADA KESEMPATAN PEMBUKAAN


KONFERENSI PBB DI STOCKHOLM TENTANG LINGKUNGAN HIDUP Message
du Pape Paul VI a l’occasion de l’ouverture de la Conference des Nations-Unies sur
l’Environnement
Bapak Sekretaris Jenderal yang terhormat,
Pada kesempatan pembukaan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang telah
Anda persiapkan dengan semangat dan kompetensi, kami ingin mengatakan kepada Anda
sendiri dan kepada semua peserta, perhatian yang kami curahkan untuk prakarsa besar ini.
Keprihatinan untuk melestarikan dan memperbaiki lingkungan alam, dan juga ambisi luhur
untuk mendorong langkah awal kerja sama sedunia untuk mendukung kepentingan bersama
semua orang, sesuai dengan tekad mendalam semua orang zaman kita. Dewasa ini menguat
kesadaran bahwa manusia dan lingkungannya semakin tak terpisahkan: lingkungan
merupakan syarat mutlak kehidupan dan perkembangan manusia, sedangkan ia sendiri pada
gilirannya menyempurnakan dan memuliakan lingkungannya dengan kehadirannya, kerjanya
dan pemikirannya. Tetapi kemampuan kreatif manusia akan menghasilkan buah sejati dan
109

lestari hanya sejauh manusia menghormati hukum yang mengatur kekuatan vital dan
kemampuan regenerasi alam: keduanya saling bergantung dan bermasa depan bersama.
Dengan demikian, manusia diberi peringatan akan perlunya mengganti daya dorong
kemajuan materiil yang seringkali buta dan brutal, bila dibiarkan pada kekuatannya sendiri,
dengan rasa hormat pada biosfer sebagai pandangan menyeluruh bidang ini yang telah
menjadi “satu bumi”, untuk mengutip semboyan bagus Konferensi ini.
Peniadaan jarak oleh kemajuan komunikasi, penegakan hubungan yang makin erat
antara bangsa-bangsa oleh perkembangan ekonomi; bertambahnya penguasaan kekuatan alam
oleh ilmu dan teknologi; bertambahnya relasi antar-manusia lintas batas bangsa dan ras
merupakan faktor-faktor ketergantungan timbal-balik untuk menjadi lebih baik atau lebih
buruk demi harapan akan keamanan dan risiko bencana. Penyalahgunaan, penurunan kualitas
di satu bagian dunia mempunyai pengaruh di tempat lain dan dapat merusak kualitas hidup
orang lain, seringkali tak sepengetahuan dan tanpa kesalahan mereka. Kini orang tahu pasti
bahwa kemajuan ilmiah dan teknis, kendatipun ada aspekaspek yang menjanjikan untuk
kemajuan semua bangsa, membawa serta dalam dirinya, seperti setiap karya manusia, beban
berat mendua, untuk kebaikan dan keburukan. Pertama-tama, akal budi dapat menerapkan
penemuannya untuk perusakan seperti dalam kasus persenjataan atom, kimia dan biologis dan
begitu banyak alat peperangan lain, besar dan kecil, yang membuat hati nurani hanya dapat
merasa ngeri. Tetapi bagaimana kita dapat mengabaikan ketidak-seimbangan yang ada dalam
biosfer dengan eksploitasi sumber daya alam planet kita, bahkan juga untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna, seperti limbah sumber daya alam tak terbarukan; pencemaran tanah,
air, udara dan ruang dengan serangan terhadap hidup flora dan fauna?
Segala hal itu mengakibatkan pemiskinan dan perusakan lingkungan hidup manusia
bahkan sampai mengancam kelanjutan keberadaannya. Akhirnya, generasi kita harus dengan
tegas menerima tantangan untuk mengatasi tujuan parsial dan langsung demi membangun
bumi yang ramah bagi generasi mendatang. Ketergantungan timbal-balik harus ditanggapi
dengan citarasa tanggung jawab; tujuan bersama sesuai dengan solidaritas. Hal ini tak dapat
dicapai dengan pemecahan mudah. Demikian pula seperti masalah kependudukan tak dapat
diatasi dengan terlalu membatasi akses kepada hidup, masalah lingkungan hidup tak dapat
diatasi hanya dengan sarana teknik. Ini memang perlu, dan sidang Anda akan mempelajarinya
dan mengajukan cara-cara untuk menanggapi situasi itu. Amat jelas bahwa, misalnya, industri
merupakan salah satu penyebab utama pencemaran. Mutlak perlu mereka yang mengemban
tanggung jawab atasnya untuk menemukan metode atau cara, tanpa membahayakan produksi,
untuk mengurangi atau sama sekali meniadakan penyebab pencemaran. Dalam tugas
110

pembersihan ini jelas pula bahwa pertama-tama peran utama terletak pada para ahli kimia,
dan harapan besar diletakkan pada kemampuan profesional mereka. Tetapi semua tindakan
teknik tinggal tak berhasil guna, apabila tidak disertai upaya kesadaran hati nurani untuk
perubahan radikal mentalitas. Semua dipanggil intuk kejernihan dan keberanian. Apakah
peradaban kita, yang tergoda untuk meningkatkan keberhasilannya yang mengagumkan
dengan penguasaan sewenang-wenang atas lingkungan hidup manusia, akan menemukan
pada waktunya cara mengendalikan pertumbuhan materiil, kebijaksanaan mengatur
penggunaan makanan bumi, kemiskinan nyata akan semangat untuk menjalankan pembaruan
yang mendesak dan perlu?
Kami ingin mempercayainya, karena ekses kemajuan mengakibatkan orang,
khususnya kaum muda, menyadari bahwa kekuasaan atas alam harus dilaksanakan menurut
tuntutan etika sejati. Kejenuhan beberapa pihak yang diakibatkan gaya hidup yang terlalu
mudah dan kesadaran yang makin tumbuh pada sejumlah besar orang dengan demikian
memulihkan sikap hormat manusia terhadap lingkungannya. Bagaimana tak mengingatkan
teladan abadi Santo Fransiskus dari Assisi dan ordo-ordo agung kontemplatif kristiani yang
memberi kesaksian harmoni batin dalam persekutuan dengan irama dan hukum alam?
“Segala yang diciptakan Allah adalah baik” tulis Rasul St. Paulus (1 Tim. 4:4) yang
menggemakan ayat Kitab Kejadian yang mengungkapkan kepuasan Allah pada setiap karya-
Nya. Berkuasa atas ciptaan bagi umat manusia tak berarti merusaknya, melainkan
menyempurnakannya, tidak mengubah dunia menjadi kekacauan, melainkan menjadi tempat
tinggal yang indah dan teratur seraya menghormati setiap hal. Maka tak seorang pun boleh
menguasai lingkungan hidup secara mutlak dan egoistis, yang bukan res nullius (bukan milik
siapa pun), melainkan res omnium (milik semua), warisan umat manusia, sedemikian rup
sehingga mereka yang mempunyainya –privat atau publik–, harus mempergunakannya
sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua orang. Manusia adalah kekayaan pertama
dan paling sejati dari bumi. Maka dari itu usaha menawarkan kepada setiap orang
kemungkinan akses berbagi secara adil sumber daya yang ada atau potensial dari planet kita,
harus sungguh memperhatikan hati nurani orang yang berkehendak baik. Pembangunan,
artinya, pengembangan manusia seutuhnya, mengemuka sebagai tema istimewa, kunci
pertimbangan Anda, yang membawa Anda tak hanya kepada keseimbangan ekologis,
melainkan juga keseimbangan kemakmuran antara pusat-pusat dunia industri dan pinggiran
yang amat luas. Kemelaratan, demikian secara tepat dikatakan, adalah pencemaran terburuk.
Apakah terlalu muluk mengharapkan agar bangsa-bangsa muda, yang membangun upaya
besar untuk masa depan yang lebih baik untuk rakyatnya, berusaha mengambil alih
111

pemerolehan positif peradaban teknik, tetapi menolak ekses dan penyelewengannya, menjadi
perintis pembangunan dunia baru, yang diharapkan berawal dengan Konferensi Stockholm?
Tidaklah adil, menolak sarana untuk melakukannya, karena bukankah mereka sering tanpa
bersalah harus menderita berat akibat degradasi dan pemiskinan warisan biologis bersama.
Maka, daripada dalam perjuangan untuk lingkungan yang lebih baik melihat reaksi ketakutan
kaum kaya, demi manfaat semua orang, perlu adanya peneguhan kepercayaan dan harapan
mengenai tujuan keluarga manusia yang berhimpun untuk proyek solidaritas.
Dengan perasaan inilah kami berdoa kepada Yang Mahakuasa untuk memberi kepada
semua peserta bersama kelimpahan berkat-Nya, cahaya kebijaksanaan dan semangat kasih
persaudaraan untuk keberhasilan penuh karya mereka.
Dari Vatikan, 1 Juni 1972 Paus Paulus VI

4. 05-06-1977 PAULUS VI, AMANAT UNTUK HARI SEDUNIA KE 5 LINGKUNGAN


HIDUP
Message on the occasion of the 5th World-wide Day of Environment
“Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik” (Kej. 1:31)
Ayat kuno ini, yang begitu sederhana tetapi juga amat mendalam, hari ini mengingatkan kita
semua bahwa dunia di mana kita hidup, ciptaan ini, harus dilihat dan dipeluk semua orang
dalam keseluruhannya sebagai baik: baik karena merupakan anugerah Allah, maupun karena
adalah lingkungan hidup di mana kita semua ditempatkan dan di mana kita dipanggil untuk
menghayati panggilan kita dalam solidaritas dengan sesama. Pada tahun-tahun terakhir ini di
seluruh dunia timbul kesadaran yang meningkat bahwa “lingkungan hidup secara hakiki
sangat mempengaruhi hidup dan perkembangan manusia dan bahwa manusia pada gilirannya,
menyempurnakan dan memuliakan lingkungannya dengan kehadiran, pekerjaan dan
pemikirannya. (Paus Paulus VI, Pesan kepada Konferensi tentang Lingkungan Hidup,
Stockholm 1972: Insegnamenti di Paulo VI, 10 (1972) 606).
Karenanya, amat mengharukan melihat para anggota PBB mengkhususkan Hari
Lingkungan Hidup Sedunia sehingga di manamana orang dapat menjadikan kesempatan ini
untuk merayakan hal-hal baik dari bumi ini dan berbagi lebih sadar dan lebih adil dengan
semua saudaranya. Kesadaran akan lingkungan sekitar kita dewasa ini lebih mendesak
daripada dulu. Karena manusia yang mempunyai sarana dan kemampuan membangun dan
memuliakannya, dapat juga merusaknya dan menghambur-hamburkan kekayaannya. Ilmu
pengetahuan manusia dan teknologi telah mencapai keberhasilan yang mengagumkan. Tetapi
harus diusahakan agar keduanya dipakai untuk meningkatkan hidup manusia dan tidak
112

menguranginya. Usaha manusia telah mengangkat banyak kekayaan dari bumi. Tetapi
kekayaan ini tak boleh terlalu dihamburhamburkan oleh minoritas kecil atau ditimbun bagi
sedikit orang dengan mengorbankan selebihnya dari umat manusia yang membutuhkannya.
Karena alasan itu Hari Lingkungan di mana kita hidup juga harus menjadi hari
imbauan kepada semua dari kita untuk dihimpun sebagai penjaga ciptaan Allah. Ini harus
menjadi hari membarui dedikasi untuk usaha memelihara, memperbaiki dan meneruskan
kepada generasi mendatang lingkungan yang sehat di mana setiap orang sungguh merasa
kerasan (Bdk. Paus Paulus VI, Pesan kepada Konferensi tentang Lingkungan Hidup,
Stockholm 1972, Insegnamenti di Paolo VI, 10 {1972} 607).
Maksud imbauan seperti itu menuntut lebih daripada hanya pembaruan upaya.
Dituntut perubahan mentalitas, pertobatan sikap, dan praktik sehingga si kaya dengan
sukarela mengurangi penggunaan dan berbagi kekayaan bumi dengan lebih luas dan lebih
bijaksana. Dituntut kesederhanaan gaya hidup dan masyarakat yang secara cerdas
memelihara daripada mengonsumsi yang tak perlu. Akhirnya dituntut citarasa universal
solidaritas di mana setiap orang dan setiap bangsa memainkan perannya yang khas dan saling
bergantung untuk memastikan lingkungan yang secara ekologis sehat baik bagi manusia
dewasa ini maupun generasi mendatang. “Setiap hal yang diciptakan Allah adalah baik”, tulis
Rasul Paulus. Adalah doa kami yang jujur agar Hari Lingkungan Hidup ini menjadi waktu
semua orang di mana-mana bersukacita dalam kebijaksanaan seruan itu dan melibatkan diri
untuk berbagi dalam semangat persaudaraan dan perlindungan lingkungan yang baik, warisan
bersama umat manusia.

5. 04-03-1979 PAUS YOHANES PAULUS II, ENSIKLIK


“REDEMPTOR HOMINIS” 15
Ioannes Paulus II, Litterae encyclicae “Redemptor hominis” 15 …
Dewasa ini kita rupanya lebih sadar bahwa pemanfaatan bumi yang kita huni
menuntut perencanaan yang masuk akal dan jujur. Tetapi pada saat yang sama, pemanfaatan
bumi untuk tujuan ekonomi dan malahan militer ini, serta perkembangan teknologi yang tak
terkontrol dan tak tertata dalam keseluruhan rencana kemajuan yang sungguh layak
manusiawi, seringkali merupakan ancaman bagi lingkungan alami manusia,
mengasingkannya dari hubungannya dengan alam, memisahkannya daripadanya. Manusia
rupanya seringkali tak melihat makna lain lingkungan alami daripada yang langsung
bermanfaat bagi penggunaan atau penyalah-gunaannya. Kehendak Pencipta justru sebaliknya,
113

yakni agar manusia berperan sebagai penguasa dan “penjaga” yang bijaksana dan mulia, dan
bukannya sebagai “penghisap” dan “perusak” tanpa hati nurani.
Kemajuan teknologi dan perkembangan peradaban dewasa ini yang diwarnai
dominasi teknologi menuntut perkembangan yang sesuai dalam hidup susila dan etika.
Sayangnya perkembangan susila dan etika ini selalu tertinggal. Kemajuan yang di satu pihak
mengagumkan karena kita dapat dengan mudah menemukan di dalamnya tanda kebesaran
manusia seperti sudah sejak semula dilukiskan dalam Kitab Kejadian (99) yang
menggambarkan penciptaan manusia, di lain pihak menimbulkan banyak kegelisahan.
Kegelisahan pertama menyangkut pertanyaan hakiki dan mendasar: Apakah kemajuan ini
yang berasal dan didukung manusia membuat hidup manusia di bumi “lebih manusiawi”
dalam setiap aspek hidup itu? Apakah hidup dijadikannya lebih “layak bagi manusia”?
Tentulah dalam beberapa hal demikian adanya.
Tetapi pertanyaan itu tetap muncul kembali bila menyangkut soal hakiki: apakah
manusia sebagai manusia, sehubungan dengan kemajuan ini, menjadi lebih baik, artinya,
lebih matang secara rohani, lebih menyadari martabat kemanusiaannya, lebih bertanggung
jawab, lebih terbuka bagi sesama, terutama mereka yang paling memerlukan bantuan dan
lemah, dan menjadi lebih suka memberi dan menolong semua orang?
..................
99. Bdk. Kej. 1-2
6. 29-11-1979 YOHANES PAULUS II, SURAT APOSTOLIK “INTER
SANCTOS” Litterae Apostolicae “Inter Sanctos” SANTO FRANSISKUS ASSISI DIPILIH
MENJADI PELINDUNG SURGAWI TOKOH LINGKUNGAN HIDUP
Demi peringatan abadi. Di antara para Kudus dan orang-orang terkemuka yang
menghormati alam sebagai anugerah Allah yang mengagumkan kepada umat manusia,
patutlah menyebut Santo Fransiskus Assisi. Karena ia telah secara istimewa mencintai semua
karya Pencipta dan dipenuhi oleh semangat ilahi ia menyanyikan “Madah Ciptaan” yang
amat indah. Lewatnya saudara Matahari yang amat berkuasa dan saudari Bulan dan
Bintangbintang di langit memberikan pujian wajar, kemuliaan, kehormatan dan segala berkat
kepada Tuhan yang Mahatinggi, Mahakuasa dan baik. Maka dari itu, dengan menyambut
nasihat tepat, Saudara terhormat, Kardinal Silvio Oddo, Prefek Kongregasi Klerus, terutama
atas nama para anggota Asosiasi Internasional, biasanya disebut “Planning Environmental
and Ecologycal Institute for Quality Life” mohon kepada Takhta Suci, agar Santo Fransiskus
Assisi dinyatakan sebagai Pelindung Tokoh Lingkungan Hidup di hadapan Allah.
114

Dengan mengikuti pendapat Kongregasi Suci untuk Sakramen dan Ibadat Ilahi, dan
berdasarkan Surat ini dan untuk selanjutnya, kami memaklumkan Santo Fransiskus Assisi
menjadi Pelindung surgawi bagi semua yang memajukan ekologi, seraya menambahkan
semua kehormatan dan keistimewaan liturgis, meskipun ada penentangan. Kami menyatakan
bahwa surat definitif ini ditaati secara religius dan mendapat efeknya sekarang dan
selanjutnya. Diberikan di Roma pada Takhta St. Petrus, di bawah cincin nelayan, pada,
tanggal 29 November, tahun 1979 sesudah Masehi, tahun kedua masa pontifikat kami.
Augustinus Kard. CASAROLI, Sekretariat Negara

7. 10-05-1982 PERNYATAAN WAKIL TAKHTA SUCI PADA KONFERENSI


“WORLD ENVIRONMENT DAY”, NAIROBI
Intervenção do Representante da Santa Sé na sede do programa das Nações Unidas
para o Ambiente (UNEP) por ocasião do “Dia Mundial do Ambiente” a ser celebrado dia 5
de Junh
Minat Takhta Suci akan program PBB untuk perlindungan lingkungan sejak awal
dinyatakan pada keikutsertaanya dalam Konferensi di Stockholm sepuluh tahun yang lalu.
Paus Paulus VI pada kesempatan itu telah mengirim pesan yang amat penting, yang
dibacakan pada awal Konferensi itu. Mengingat hasil yang diperoleh saat ini dan masalah
baru yang muncul, terutama yang menyangkut krisis energi serta akibat pencemarannya di
kemudian hari, Takhta Suci menegaskan kembali kehendaknya untuk mendukung program
yang dalam perlindungan lingkungan berorientasi membela manusia... Takhta Suci yang
menempatkan perlindungan lingkungan dalam konteks hormat terhadap manusia serta
kebutuhannya berpikir bahwa perlulah mencari, barangkali dari studi baru, pemecahan yang
dapat menjamin keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan perkembangan
demografis serta cultural penduduk, dengan penggunaan cerdas sumber daya alam, baik yang
terbarukan atau tidak.
Sesungguhnya, penyalahgunaan sumber daya alam, seperti dapat dilihat semua orang,
mengakibatkan desertifikasi, erosi dan kehilangan lahan yang layak untuk pertanian dan
peternakan, juga mengakibatkan pencemaran udara, air dan tanah yang mempengaruhi hewan
dan tumbuhan, kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pemanfaatan sembarangan bahan baku
pada gilirannya mengakibatkan kehancuran dan kehilangan sumber daya tak terbarukan yang
pada tahun-tahun mendatang membahayakan masa depan dan mengakibatkan degradasi
lingkungan.
115

Bila kita ingin melindungi lingkungan, perlulah memperhatikan, seraya menghormati


kebutuhan dan kepribadian manusia, arah yang menjamin keseimbangan antara manusia dan
lingkungan dan menghindari eksploitasi buta dan egoistis sumber daya, baik yang
terbarukan atau tidak. Dewasa ini perlindungan lingkungan, karena sifat gejala ini, hampir
selalu menuntut kerja sama internasional dalam arti bahwa degradasi lingkungan tak hanya
dibebankan pada penyebab lokal, melainkan demi keberhasilannya juga perlu–selain sarana
yang tepat–,budaya dan pendidikan penduduk. Takhta Suci lewat lembaganya yang–sentral
dan lokal–tersebar di seluruh dunia dan dapat bertindak juga di cabang-cabang yang lebih
kecil, dapat mendukung semua prakarsa baik demi kesejahteraan manusiamaupun
perlindungan lingkungan.
Pada tahun ini delapan abad setelah kelahiran St. Fransiskus Gereja Katolik dan
semua teman si miskin (“poverello”) dari Assisi ingin mengenang mereka yang menaruh
begitu banyak respek dan kasih terhadap makhluk yang bernyawa dan tak bernyawa; St.
Fransiskus dinyatakan Paus Yohanes Paulus II pada 23 April 1980 menjadi “Pelindung
ekologi”. Paus pada 28 Maret mengajak para pendengar dari Roma dan Assisi: bagaimana tak
melihat dalam teladan pengajaran yang dewasa ini amat mendesak, ketika manusia dengan
cepat sekali menghancurkan kebijaksanaan Pencipta. Kesaksian Santo Fransiskus
mengundang manusia dewasa ini untuk tidak berlaku seperti penghisap alam, melainkan
bertanggung jawab atasnya, berusaha menjaganya sehat dan utuh, dan dapat menawarkan
kepada setiap orang, termasuk generasi yang akan datang tempat tinggal yang hangat dan
nyaman.

8. 18-08-1985 YOHANES PAULUS II, AMANAT KEPADA PARA ANGGOTA


PERWAKILAN PBB DI NAIROBI
Address of Pope John Paul II to the Members of the Agency of the United Nations
Para Ibu Bapak,
1. Selalu merupakan kehormatan bagi saya mengunjungi suatu perwakilan PBB.
Pentingnya organisasi prestisius ini setiap tahun makin jelas. Tak pernah dalam sejarah ada
kebutuhan lebih besar akan dialog dan kerja sama pada taraf internasional dan upaya bersama
oleh bangsa-bangsa untuk memajukan pengembangan manusia seutuhnya dan keadilan serta
perdamaian tujuan-tujuan yang merupakan dedikasi organisasi ini. Maka saya sungguh
berterima kasih atas undangan untuk datang ke pusat ini hari ini, undangan yang disampaikan
kepada saya oleh Dr. Mostafa K. Tolba, Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup PBB.
116

Dalam memberi salam kepadanya saya juga menyalami staf dan semua yang terkait
dengan kerja agen ini. Sekaligus saya menyalami staf habitat: The UN Center for Human
Settlements, jug terletak di Nairobi, dan Direktur Eksekutifnya, Dr. Alcot Ramachandron.
2. Sejak bertahun-tahun lalu Gereja Katolik telah menaruh minat atas soal-soal
lingkungan. Delegasi Takhta Suci mengambil bagian dalam Konferensi tentang Lingkungan
di Stockholm 1972, pertemuan yang membuka jalan untuk pembentukan Program
Lingkungan Hidup PBB. Pendahulu saya, Paus Paulus VI, mengirim pesan kepada
Konferensi Stockholm, dimana ia mengatakan: “kami ingin mengatakan kepada Anda sendiri
dan kepada semua peserta, perhatian yang kami curahkan untuk prakarsa besar ini.
Keprihatinan mempertahankan dan memperbaiki lingkungan alami, dan juga ambisi luhur
mendorong gerakan pertama kerja sama sedunia untuk mendukung kepentingan bersama
semua orang sesuai dengan tekad mendalam semua orang zaman kita”
(PAULI VI Nuntius scripto datus ad Exc. mum Virum Maurictum Strong, Secretarium
Generalem Conventus Internationalis Consociatorum Natium de ambitu humano. Holmiae
habiti, die 1 iun.1972: Insegnamenti di Paolo VI, X (1972) 606 ss.).
Komitmen Gereja terhadap konservasi dan perbaikan lingkungan kita berkaitan
dengan perintah Allah. Pada halaman pertama Kitab Suci, kita baca, bagaimana Allah
menciptakan segalanya, lalu mempercayakannya kepada pemeliharaan manusia yang
diciptakan menurut citra Allah. Allah berkata kepada Adam dan Hawa: “Beranak cuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut
dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1: 28).
Adalah tuntutan martabat manusia kita, maka dari itu tanggung jawab serius, untuk
melakukan penguasaan atas ciptaan sedemikian rupa sehingga sungguh mengabdi keluarga
manusia. Pemanfaatan kekayaan alam harus terjadi menurut kriteria yang memperhitungkan
bukan hanya kebutuhan orang sekarang, melainkan juga kebutuhan generasi mendatang.
Dengan jalan ini, perwalian atas alam yang dipercayakan Allah kepada manusia, tak akan
dituntun kepicikan atau egoisme; melainkan akan memperhitungkan fakta bahwa semua harta
ciptaan diperuntukkan bagi kebaikan seluruh umat manusia. Penggunaan sumber daya alam
harus diarahkan untuk mengabdi perkembangan seutuhnya generasi dewasa ini dan masa
depan. Kemajuan di bidang ekologi, dan kesadaran yang makin meningkat untuk melindungi
dan merawat sumber daya alam tertentu yang tak terbarukan, sejalan dengan tuntutan
perwalian sejati. Allah dimuliakan bila ciptaan mengabdi perkembangan seutuhnya seluruh
keluarga manusia.
117

3. Dengan akselerasi pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasawarsa-


dasawarsa yang baru lalu, lingkungan telah mengalami perubahan jauh lebih besar daripada
sebelumnya. Akibatnya: kita dihadapkan dengan banyak peluang baru perkembangan dan
kemajuan manusia; kini kita mampu mengubah lingkungan kita secara besar-besaran, bahkan
secara dramatis, untuk peningkatan kualitas hidup. Di sisi lain kemampuan baru ini, kalau
tidak dipergunakan dengan bijaksana dan visioner, dapat mengakibatkan kerugian besar,
bahkan tak terpulihkan di bidang ekologis dan sosial. Kemampuan untuk memperbaiki
lingkungan dan kemampuan untuk merusaknya setiap tahun meningkat secara pesat.
Faktor yang paling menentukan ialah pribadi manusia. Bukan ilmu dan teknologi,
atau peningkatan sarana perkembangan ekonomis dan materiil, melainkan pribadi manusia
dan terutama kelompok orang, komunitas dan bangsa-bangsa, yang bebas memilih
menghadapi soal bersama-sama, yang akan, di bawah Allah, menentukan masa depan. Maka
dari itu apa pun yang menghambat kebebasan manusia atau melecehkannya, seperti kejahatan
apartheid dan semua bentuk prasangka dan diskriminasi, merupakan pukulan bagi manusia
untuk menata tujuannya sendiri. Pada akhirnya, hal itu akan memiliki pengaruh di semua
bidang yang menuntut kebebasan manusia dan dapat menjadi batu sandungan untuk
memperbaiki lingkungan dan seluruh masyarakat.
Ancaman terhadap lingkungan dewasa ini amat banyak: deforestasi, pencemaran air
dan udara, erosi tanah, desertifikasi, hujan asam dan masih banyak lainnya. Masalah ekologis
terutama mendesak di daerah tropis, dan khususnya di sini di Afrika. Hampir semua bangsa
yang tertimpa masalah ini adalah bangsa yang sedang berkembang yang dengan kesulitan
besar, mengalami pelbagai tingkat industrialisasi. Sangat kurangnya energi dan sumber daya
alam, menghambat kemajuan dan menyebabkan keadaan hidup yang keras. Dan masalah ini
seringkali menjadi rumit karena lingkungan tropis yang membuat manusia mudah diserang
penyakit endemik yang parah Karena setiap negara mempunyai sederet masalah masing-
masing dan pelbagai jumlah sumber daya alam, mudahlah melihat perbedaan antara masalah
yang dihadapi negara yang sedang berkembang dan negara yang sudah maju. Sementara
industri dan teknologi modern menawarkan harapan besar akan kemajuan, harus diambil
langkah-langkah yang menjamin bahwa perkembangan ekonomis, materiil dan sosial yang
amat penting harus mempertimbangkan dampaknya atas lingkungan, baik yang langsung
maupun di masa depan.
4. Gereja Katolik mendekati perawatan dan perlindungan lingkungan dari sudut
pandang pribadi manusia. Maka, adalah keyakinan kami, bahwa semua program ekologi
harus menghormati martabat sepenuhnya dan kebebasan siapa pun yang dapat terpengaruh
118

olehnya. Masalah ekologis harus dilihat dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia,
keluarganya, nilai-nilainya, warisan sosial dan kulturalnya yang khas. Karena tujuan akhir
program lingkungan ialah meningkatkan kualitas hidup manusia, untuk menempatkan ciptaan
sepenuhnya dalam pengabdian kepada keluarga umat manusia.
5. Barangkali relasi timbal-balik dunia dewasa ini tak terlihat lebih jelas daripada
dalam soal-soal yang menyangkut lingkungan. Interdependensi yang meningkat antara
individu-individu dan bangsa-bangsa sangat dirasakan bila menyangkut bencana alam seperti
kekeringan, badai, banjir dan gempa bumi. Konsekuensi daripadanya menjangkau jauh
melampaui daerah yang langsung terkena. Dan keluasan serta kerumitan banyak masalah
ekologis menuntut tidak hanya tanggapan bersama pada taraf lokal dan nasional, melainkan
juga bantuan substansial dan koordinasi komunitas internasional. Seperti tulis Paus Paulus
VI kepada Konferensi Stockholm: “Interdependensi harus dihadapi dengan tanggung jawab
bersama; tujuan bersama dengan solidaritas”. Sifat internasional masalah ekologis atau
keuntungan internasional pemecahannya hampir tak dapat dinilai berlebihan. Masalah-
masalah ini seringkali menuntut keahlian serta bantuan ilmuwan dan teknisi dari negara-
negara maju. Tetapi yang terakhir ini tak dapat memecahkannya tanpa kerja sama setiap
langkah dengan ilmuwan dan teknisi dari negara yang dibantu. Pengalihan keterampilan
teknologi ke negara yang sedang berkembang tak dapat diharapkan mempunyai keberhasilan
tetap apabila tak disediakan pelatihan bagi teknisi dan ilmuwan negara-negara itu sendiri.
Pelatihan personel lokal memungkinkan untuk mengadaptasi teknologi dengan menghormati
sepenuhnya struktur kultural dan sosial komunitas lokal. Pakar lokal mempunyai ikatan yang
perlu dengan bangsanya sendiri untuk menjamin kepekaan berimbang terhadap nilai-nilai dan
kebutuhan lokal. Mereka dapat mengevaluasi keabsahan terus-menerus dari keterampilan
yang baru diambil alih. Hanya bila personel yang terlatih ini ada secara lokal, ada kerja sama
sepenuhnya antarnegara.
6. Kini saya ingin mengatakan beberapa kata kepada mereka yang melibatkan diri
dalam United Nations Centre for Human Settlements, dan kepada semua yang berusaha
memperbaiki kondisi hidup kaum miskin dan menyediakan naungan bagi mereka yang tak
mempunyai kediaman. Karya ini tentu dekat dengan masalah ekologis yang telah saya
angkat. Sebenarnya itu termasuk jantung persoalan. Ketika Paus Paulus VI dalam pesannya
kepada Konferensi PBB tentang Pemukiman Manusia di Vancouver 1976 mengatakan:
“Rumah, artinya pusat kehangatan di mana keluarga dipersatukan dan anak-anak tumbuh
dalam kasih sayang, harus tetap merupakan keprihatinan pertama setiap program yang
menyangkut lingkungan hidup manusia” (PAULI VI Epistula ad Exc. mum Virum Bernay
119

Danson Canadensem Administrum pro Urbanis Negotiis eundemque Praesidem Conferentiae


Unitarum Nationum in urbe Vancuverio instructae ad dignas hominum fovendas
habitationes, die 24 maii 1976: Insegnamenti di Paolo VI, XIV (1976)(401 ss.).
Karena alasan itu, keprihatinan pertama Gereja terhadap pribadi manusia dalam
masalah lingkungan mencakup juga masalah perumahan dan tempat perlindungan (shelter).
Mereka yang percaya akan Yesus Kristus tak dapat melupakan kata-kata-Nya: “Serigala
mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak manusia tidak mempunyai
tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Mat. 8: 20). Maka, kita melihat dalam wajah
tunawisma wajah Kristus Tuhan. Dan kita merasa terdorong, karena cinta akan Dia dan
karena teladan pemberian diri-Nya yang murah hati, untuk berupaya menolong mereka yang
hidup dalam kondisi yang tak layak bagi martabat manusia. Sekaligus kita bergandeng tangan
dengan semua orang yang berkehendak baik dalam usaha mulia menyediakan tempat tinggal
yang pantas bagi jutaan orang dewasa ini yang hidup dalam kemelaratan mutlak. Dan kita tak
dapat tinggal pasif atau tak peduli karena peningkatan pesat urbanisasi dan industrialisasi
mengakibatkan masalah kompleks akan perumahan dan lingkungan hidup. Saya memastikan
minat dan dukungan Gereja bagi upaya mulia Anda untuk menyediakan perumahan bagi
tunawisma dan memelihara dimensi kemanusiaan semua pemukiman orang…
8… Saya diingatkan oleh kata-kata Paulus VI yang menjadi terkenal: “Pengembangan
adalah kata baru untuk perdamaian” (PAULI VI Popu-lorum Progressio 87). Ya,
pengembangan integral adalah syarat untuk memajukan perdamaian, dan program
lingkungan untuk pangan dan perumahan merupakan cara-cara nyata memajukan
perdamaian. Semua yang melayani kebutuhan dasar sesama mereka memberi sumbangan
untuk terbentuknya bangunan besar perdamaian. Perdamaian dibangun perlahan-lahan
dengan kehendak baik, kepercayaan dan usaha terus-menerus. Perdamaian dibangun oleh
badan-badan internasional dan Pemerintah serta LSM bila mereka ini melibatkan diri dalam
upaya bersama untuk menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi mereka yang
membutuhkannya, dan bila mereka bekerja sama untuk memperbaiki lingkungan.

9. 02-04-1986 YOHANES PAULUS II, AUDIENSI UMUM Giovanni Paolo II, Udienza
Generale, 2 Aprile 1986
4. Perlu ditambahkan bahwa masalah “otonomi wajar realitas dunia,” berkaitan juga
dengan masalah ekologi yang dewasa ini banyak dirasakan, yakni kepedulian akan
120

perlindungan dan pelestarian lingkungan alam. Krisis ekologis yang selalu mengandaikan
bentuk egoisme antisosial, timbul dari penggunaan semena-mena –dan pasti merugikan–
ciptaan, yang melanggar hukum-hukum dan tatanannya, dengan mengingkari dan
melecehkan tujuan imanen dalam ciptaan. Perilaku demikian itu berasal dari interpretasi
keliru mengenai otonomi barang-barang duniawi. Bila manusia mempergunakan barang-
barang itu “tanpa mengacu kepada Pencipta” –untuk memakai kata-kata konstitusi dari
Konsili–, ia mengenakan pada diri sendiri kerugian yang tak terhitung. Pemecahan masalah
ancaman ekologis tetap berkaitan erat dengan “otonomi wajar realitas duniawi”, yakni yang
akhirnya berkaitan dengan kebenaran sekitar ciptaan dan Pencipta dunia.
10. 30-12-1987 PAUS YOHANES PAULUS II, ENSIKLIK “SOLLICITUDO
REI SOCIALIS” 34 Litterae encyclicae “Sollicitudo Rei Socialis” 34
34. Sifat moral perkembangan tak menyisihkan respek terhadap makhluk dunia alam,
yang disebut “kosmos” oleh orang Yunani kuno – mengacu tatanan yang mewarnainya.
Kenyataan demikian itu menuntut respek berdasarkan tiga pertimbangan yang bermanfaat
untuk direnungkan dengan saksama.
Pertimbangan pertama ialah kewajaran untuk lebih menyadari hal bahwa orang tak
dapat mempergunakan pelbagai kategori makhluk, hidup atau tak bernyawa –hewan, tumbuh-
tumbuhan, unsur-unsur alami– sesukanya menurut kebutuhan ekonomis tanpa mendapat
hukuman. Sebaliknya, kodrat setiap makhluk dan hubungan timbal-baliknya dalam sistem
teratur yang adalah kosmos, harus diperhitungkan.
Pertimbangan kedua berdasarkan realisasinya–mungkin lebih mendesak –bahwa
sumber daya alam terbatas; beberapa, kata orang, tidak dapat diperbarui. Mempergunakannya
seolah-olah tak ada habisnya, dengan penguasaan mutlak, secara serius membahayakan
ketersediaannya tak hanya bagi generasi sekarang, melainkan terutama generasi mendatang.
Pertimbangan ketiga langsung mengacu kepada konsekuensi jenis tertentu perkembangan
atas kualitas hidup di daerah industri. Kita semua tahu bahwa hasil langsung atau tak
langsung industrialisasi, bahkan lebih daripada sering, adalah pencemaran lingkungan,
dengan konsekuensi serius bagi kesehatan penduduk. Sekali lagi jelaslah bahwa
perkembangan, perencanaannya, dan cara bagaimana sumber daya dipakai harus mencakup
hormat terhadap tuntutan moral. Salah satu daripadanya pasti memberi pembatasan
penggunaan alam. Penguasaan yang diberikan Pencipta bukanlah kekuasaan mutlak. Dan
orang tak dapat berbicara tentang kebebasan untuk “menggunakan dan menyalahgunakan”
atau mengatur hal-hal semaunya. Pembatasan yang sejak semula diberikan Pencipta sendiri
dan secara simbolis diungkapkan dengan larangan untuk tidak “makan buah pohon” (bdk.
121

Kej. 2:16-17) menunjukkan dengan cukup jelas. Bila menyangkut alam, kita tunduk tak
hanya pada hukum biologis, melainkan juga hukum moral yang tak dapat dilanggar tanpa
mendapat hukuman. Konsep perkembangan sejati tak dapat mengabaikan penggunaan unsur-
unsur alam, pembaruan sumber daya dan konsekuensi industrialisasi sembarangan – tiga
pertimbangan yang mengusik hati nurani kita sehubungan dengan dimensi moral
perkembangan.(63)…………..
63. Bdk. Homili di Val Visdende (12 Juli1987), n. 5: L'Osservatore Romano, 13-14
Juli 1987; Paulus VI, Surat Apostolik Octogesima Adveniens (14 Mei 1971), n. 21: AAS 63
(1971), pp. 416f

11. 30-12-1988 YOHANES PAULUS II, ADHORTASI APOSTOLIK


”CHRISTIFIDELES LAICI” 43
Adhortatio Apostolica “Christifideles laici” 43
Soal “ekologis” dewasa ini menjadi makin aktual sehubungan dengan kehidupan dan
karya sosial-ekonomis. Manusia menerima dari Allah sendiri tugas “berkuasa” atas dunia
yang diciptakan dan “mengurus taman dunia”; Tetapi; tugas ini harus dipenuhinya dalam
hormat terhadap citra ilahi yang telah diterimanya, artinya, dengan akal budi dan kasih,
mengemban tanggung jawab atas anugerah yang diberikan Allah kepadanya dan terus
diberikan. Anugerah yang ada di tangannya, kalau bisa bahkan disempurnakan, harus
diwariskannya kepada generasi mendatang, karena mereka ini juga penerima anugerah
Tuhan: “Kekuasaan yang dipercayakan Pencipta kepada manusia bukanlah kekuasaan
mutlak, dan juga tak dimaksudkan kebebasan “mempergunakan atau menyalahgunakannya”,
atau memperlakukan hal-hal itu semena-mena. Pembatasan yang secara simbolis tercantum
dalam larangan “makan dari buah pohon” (Kej. 2:16-17) menunjukkan dengan cukup jelas
bahwa ketika berhadapan dengan dunia alam, kita tak hanya tunduk pada hukum biologis,
melainkan juga pada hukum moral yang tak dapat dilanggar tanpa mendapat hukuman.
Konsep perkembangan sejati tak dapat mengabaikan penggunaan unsur-unsur alam,
pembaruan sumber daya dan konsekuensi industrialisasi sembarangan – tiga pertimbangan
yang mengusik hati nurani kita sehubungan dengan dimensi moral perkembangan” (161)
.……161. Paus Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, 34

12. 09-01-1989 YOHANES PAULUS II, AMANAT KEPADA PARA ANGGOTA


KORPS DIPLOMATIK PADA TAKHTA SUCI
122

Discours du Saint-Père Jean-Paul II aux membres du Corps Diplomatique accrédité près le


Saint Siège. Lundi, 9 Janvier 1989 5….
Orang mulai berbicara juga tentang hak atas pengembangan dan lingkungan hidup: seringkali
dalam “generasi ketiga” hak asasi manusia, tersangkut tuntutan sulit untuk diterjemahkan ke
dalam istilah hukum, sehingga tiada instansi mampu menjamin penerapannya. Tetapi
akhirnya, semua hal ini menunjukkan meningkatnya kesadaran akan kemanusiaan yang
saling tergantung dengan alam, yang sumber dayanya diciptakan untuk semua tetapi terbatas.
Maka, harus dilindungi, terutama melalui kerja sama internasional yang erat.

13. 16-11-1989 AMANAT PAUS YOHANES PAULUS II PADA KESEMPATAN


KONFERENSI UMUM FAO
Address of His Holiness John Paul II on the occasion of the General Conference of FAO
7. Perlindungan lingkungan alam menjadi aspek baru dan integral dari isu perkembangan.
Bila kita mencurahkan perhatian sewajarnya pada dimensi ekologisnya, perjuangan melawan
kelaparan tampak lebih rumit, dan memerlukan pembentukan ikatan baru solidaritas.
Keprihatinan akan ekologi yang dilihat dalam hubungan dengan proses perkembangan dan
khususnya persyaratan produksi, menuntut terutama bahwa dalam setiap upaya ekonomi ada
penggunaan sumber daya yang rasional dan diperhitungkan. Semakin jelas bahwa
penggunaan semenamena potensi alam yang tersedia, yang merugikan sumber primer energi
dan sumber daya serta lingkungan alam pada umumnya, membutuhkan tanggung jawab
moral yang serius. Bukan hanya generasi sekarang, melainkan juga generasi mendatang akan
terpengaruh tindakan-tindakan seperti itu.
8. Kegiatan ekonomi membawa-serta tanggung jawab untuk menggunakan potensi alam
secara masuk akal. Tetapi hal itu juga berarti kewajiban berat untuk memperbaiki kerusakan
yang telah ditimbulkan pada alam dan untuk mencegah setiap akibat negatif yang dapat
timbul di kemudian hari. Dibutuhkan pengendalian yang lebih hati-hati mengenai
kemungkinan akibatnya pada lingkungan alam dalam era kebangkitan industri, terutama
sehubungan dengan sisa bahan beracun dan di wilayah yang diwarnai penggunaan eksesif
bahan kimia dalam pertanian.
Hubungan antara masalah perkembangan dan ekologi juga minta agar kegiatan
ekonomi menganggarkan dan menerima biaya-biaya tindakan perlindungan lingkungan yang
diminta masyarakat, baik lokal atau global, di mana kegiatan berlangsung. Biaya demikian itu
tidak boleh diperhitungkan sebagai beban tambahan, melainkan sebagai unsur hakiki dari
biaya sesungguhnya dalam kegiatan ekonomi…..
123

9. Dewasa ini ada peningkatan kesadaran bahwa pengambilan tindakan untuk


melindungi lingkungan mengandung solidaritas nyata dan perlu di antara bangsa-bangsa.
Makin jelas bahwa solusi efektif masalah yang dipicu oleh risiko pencemaran atom dan
atmosfer, dan memburuknya kondisi umum alam dan hidup manusia dapat diusahakan hanya
pada tingkat dunia. Hal ini pada gilirannya memerlukan pengakuan akan interdependensi
yang meningkat dan menjadi ciri zaman kita. Memang benar, makin jelas bahwa kebijakan
perkembangan menuntut kerja sama internasional sejati, yang dijalankan sesuai dengan
keputusan bersama dan dalam konteks visi universal, kebijakan yang memperhitungkan
kebaikan keluarga umat manusia dewasa ini dan mendatang.

14. 08-12-1989 YOHANES PAULUS II, PESAN UNTUK HARI PERDAMAIAN


SEDUNIA 1990, “PERDAMAIAN DENGAN ALLAH PENCIPTA, PERDAMAIAN
DENGAN SELURUH CIPTAAN” Message of His Holiness Pope John Paul II for the
Celebration ofthe World Day of Peace 1 January 1990, “Peace with God the Creator, Peace
with all of Creation”
Pengantar
1. Dewasa ini ada peningkatan kesadaran bahwa perdamaian dunia diancam tak hanya oleh
perlombaan sejata, konflik regional dan ketidakadilan yang terus berlangsung di antara
bangsa-bangsa dan negara-negara, melainkan juga oleh kurangnya rasa hormat sewajarnya
terhadap alam, dengan merampok kekayaan alam dan dengan penurunan makin hebat dalam
kualitas hidup. Citarasa ketidakpastian dan ketidakamanan yang ditimbulkan keadaan
demikian itu merupakan ladang subur egoisme kolektif, ketidakpedulian terhadap orang lain
dan ketidak-jujuran. Berhadapan dengan meluasnya perusakan lingkungan, di manamana
orang mulai mengerti bahwa kita tak dapat terus mempergunakan harta kekayaan bumi
seperti di masa lampau. Publik pada umumnya dan politisi prihatin akan masalah ini, dan
para pakar dari kalangan luas aneka ilmu mempelajari penyebabnya. Selain itu mulai timbul
kesadaran baru ekologis yang, alih-alih diremehkan, harus dikembangkan menjadi program
dan prakarsa konkret.
2. Banyak nilai etis, yang mendasar bagi perkembangan masyarakat cinta damai, amat
relevan untuk soal ekologis. Fakta bahwa banyak tantangan yang dihadapi dunia dewasa ini
saling tergantung, meneguhkan perlunya pemecahan yang terkoordinasi dengan saksama
berdasarkan pandangan dunia yang secara moral koheren. Bagi orang kristiani pandangan
akan dunia demikian itu berdasarkan pada keyakinan religius yang digali dari Wahyu. Maka
dari itu saya ingin memulai pesan ini dengan refleksi atas kisah alkitabiah penciptaan. Saya
124

berharap agar juga mereka yang tidak mengemban kepercayaan yang sama menemukan
dalam halaman-halaman ini dasar bersama untuk refleksi dan aksi.
I.”Dan Allah melihat bahwa itu baik”
3. Dalam Kitab Kejadian di mana kita menemukan wahyu pertama Allah kepada umat
manusia (Kej. 1-3), ada refrein yang muncul berulang-ulang: “Dan Allah melihat bahwa itu
baik”. Sesudah menciptakan langit, laut, bumi dan segala isinya, Allah menciptakan pria dan
perempuan. Di sini refrein berubah secara mencolok: “Dan Allah melihat segala yang
dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik (Kej. 1:31), Allah mempercayakan seluruh ciptaan
kepada manusia, dan hanya setelah itu –seperti kita baca– Ia dapat berhenti “dari segala
pekerjaan-Nya” (Kej. 2:3). Panggilan Adam dan Hawa untuk berbagi dalam pengembangan
rencana Allah mengenai penciptaan menunjukkan kemampuan dan anugerah yang
membedakan manusia dengan semua ciptaan lainnya. Sekaligus panggilan itu menciptakan
relasi tetap antara manusia dan ciptaan lainnya. Diciptakan dalam citra dan keserupaan Allah,
Adam dan Hawa harus melaksanakan penguasaannya atas bumi (Kej. 1:28) dengan bijaksana
dan kasih. Tetapi, mereka merusak harmoni yang ada dengan sengaja melawan rencana
Pencipta, yakni dengan memilih untuk berdosa. Hal ini mengakibatkan bahwa manusia
mengasingkan diri sendiri, dalam kematian dan pembunuhan saudara, melainkan juga dalam
“pemberontakan” bumi melawannya (bdk. Kej. 3:17-19; 4:12). Seluruh ciptaan menjadi
siasia, secara misterius menunggu dibebaskan dan mendapat pembebasan mulia bersama
dengan semua anak Allah (bdk. Rom. 8:20-21).
4. Kaum kristiani percaya bahwa Wafat dan Kebangkitan Kristus menyelesaikan karya
rekonsiliasi umat manusia dengan Bapa yang ingin mendamaikan segalanya, di bumi dan di
surga lewat Dia, dengan menciptakan damai melalui darah di kayu salib-Nya” (Kol.
1:19-20). Demikianlah ciptaan diperbarui (bdk. Why. 21:5). Sekali jatuh ke dalam
perbudakan dosa dan kebusukan (bdk Rom. 8:21), kini diterimanya hidup baru, sementara
“kita menantikan langit baru dan bumi baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13).
Demikianlah Bapa “menyatakan rahasia Kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana
kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus
sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala
segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi” (Ef. 1:9-10).
5. Pertimbangan biblis ini membantu kita untuk mengerti dengan lebih baik relasi antara
kegiatan manusia dan keseluruhan ciptaan. Bila manusia mengingkari rencana Pencipta, ia
mengakibatkan gangguan yang berpengaruh atas tatanan ciptaan lain. Bila manusia tak
berdamai dengan Allah, maka bumi sendiri tak dapat dalam damai: “Sebab itu negeri ini akan
125

berkabung, dan seluruh penduduknya akan merana; juga binatang-binatang di ladang dan
burung-burung di udara, bahkan ikan-ikan di laut akan mati lenyap” (Hos. 4:3). Makna
mendalam bahwa bumi “menderita” juga dianut oleh mereka yang tidak mengakui iman kita
akan Allah. Memang peningkatan perusakan dunia alam jelas bagi semua orang. Itulah
akibat perilaku orang yang menunjukkan ketidakpedulian tanpa hati terhadap tuntutan
tersembunyi tetapi dapat ditangkap dari tatanan dan harmoni yang mengatur alam sendiri.
Orang bertanya penuh kecemasan, apakah masih mungkin memperbaiki kerusakan yang
diakibatkan. Jelas, bahwa jawaban tuntas tak dapat diberikan hanya dalam manajemen yang
lebih baik atau penggunaan sumber daya alam yang lebih rasional, betapa pun pentingnya hal
itu. Namun, kita harus menukik ke akar masalah dan menghadapi secara keseluruhan krisis
moral mendalam, yang mana penghancuran lingkungan hanyalah satu aspek yang
mengganggu.

II. Krisis ekologis: masalah moral


6. Unsur tertentu krisis ekologis dewasa ini menunjukkan sifat moralnya. Yang pertama
daripadanya ialah penerapan sembarangan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak penemuan baru membawa manfaat yang tak terbantahkan bagi umat manusia. Ini
menunjukkan kemuliaan panggilan manusia untuk berpartisipasi penuh tanggung jawab
dalam tindakan kreatif Allah di dunia. Celakanya, kini jelaslah bahwa penerapan penemuan
ini di bidang industri dan pertanian telah membuahkan akibat-akibat merugikan untuk jangka
panjang. Hal ini membawa pada kesadaran yang menyakitkan bahwa kita tak dapat campur
tangan di satu bidang ekosistem tanpa memperhatikan konsekuensi intervensi itu di bidang
lain dan kesejahteraan generasi mendatang. Penipisan berangsur-angsur lapisan ozon dan
efek rumah kaca yang berkaitan dengannya kini mencapai ukuran krisis sebagai akibat
pertumbuhan industri, konsentrasi urbanisasi besarbesaran dan peningkatan kebutuhan akan
energi. Limbah industri, pembakaran bahan fosil, deforestasi tanpa batas, penggunaan jenis
tertentu herbisida, zat pendingin dan propelan (bahan pendorong): segala hal ini diketahui
merugikan atmosfer dan lingkungan. Akibatnya: perubahan metereologis dan atmosferis
terbentang antara kerugian bagi kesehatan sampai kemungkinan penenggelaman dataran
rendah. Sementara dalam kasus-kasus tertentu kerusakan yang telah diakibatkan tak dapat
dipulihkan, dalam kasus-kasus lain masih dapat ditahan. Tetapi perlu bahwa seluruh
komunitas manusia –individu-individu, negara-negara dan badan internasional–memandang
serius tanggung jawab masingmasing.
126

7. Indikasi paling mendalam dan serius implikasi moral yang mendasari soal ekologis ialah
kurangnya rasa hormat terhadap hidup, yang tampak jelas pada banyak pola pencemaran
lingkungan. Seringkali kepentingan produksi diutamakan atas keprihatinan terhadap martabat
pekerja. Sedangkan kepentingan ekonomis didahulukan di atas kesejahteraan individu-
individu dan bahkan segenap bangsa. Dalam hal ini pencemaran atau penghancuran
lingkungan merupakan akibat dari pandangan tak alamiah dan reduksionistis yang kadang-
kadang menghina manusia. Pada tingkat lain, keseimbangan halus ekologis dikacaukan oleh
penghancuran tak terkendali terhadap kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan atau oleh
eksploitasi sembarangan sumber daya alam. Harus ditekankan bahwa segala ini, juga bila
dilakukan atas nama kemajuan atau demi kesejahteraan, pada akhirnya merupakan kerugian
umat manusia. Akhirnya, hanya dengan keprihatinan mendalam kita dapat melihat begitu
banyak kemungkinan besar penelitian biologis. Kita belum dalam posisi untuk menilai
kekacauan biologis yang dapat timbul dari manipulasi genetis tanpa pembedaan dan dari
pengembangan sembarangan bentuk-bentuk baru hidup hewan dan tumbuh- tumbuhan, lepas
dari soal eksperimentasi asal-usul hidup manusia sendiri. Adalah jelas bagi semua bahwa di
bidang apa pun yang delikat seperti ini, ketidakpedulian terhadap norma-norma etis
mendasar, atau penolakannya, akan membawa umat manusia pada penghancuran diri sendiri.
Hormat terhadap hidup, dan terutama terhadap martabat pribadi manusia adalah norma
pedoman utama untuk setiap kemajuan ekonomis, industrial dan ilmiah yang sehat.
Kompleksitas soal ekologis jelas bagi semua. Tetapi ada beberapa prinsip mendasar yang
seraya menghormati otonomi wajar dan kompetensi spesifik mereka yang terlibat, dapat
mengarahkan penelitian menuju pemecahan tuntas dan lestari. Prinsip-prinsip ini sangat
penting untuk membangun masyarakat damai; tiada masyarakat damai dapat mengabaikan,
baik hormat terhadap hidup maupun fakta adanya keutuhan ciptaan.

III. Mencari pemecahan


8. Teologi, filsafat dan ilmu pengetahuan semua berbicara tentang alam semesta yang serasi,
suatu “kosmos” dengan keutuhannya sendiri, keseimbangan internal dan dinamisnya sendiri.
Keteraturan ini harus dihormati. Umat manusia dipanggil untuk meneliti tatanan ini, untuk
memeriksanya dengan perhatian sewajarnya dan untuk mempergunakannya seraya
memelihara keutuhannya. Pada sisi lain, bumi akhirnya adalah warisan bersama,
buahbuahnya adalah untuk kesejahteraan semua. Dalam kata-kata Konsili Vatikan II: “Allah
memperuntukkan bumi dan segala isinya untuk digunakan setiap individu dan semua bangsa”
(GS 69). Ini mempunyai konsekuensi bagi masalah ini. Jelas tidak adil bahwa sedikit orang
127

yang mendapat hak istimewa terus menimbun kekayaan, menghambur-hamburkan sumber


daya yang tersedia, sedangkan amat banyak orang hidup dalam kemelaratan pada taraf
terbawah. Dewasa ini, ancaman dramatis kehancuran ekologis mengajar kita betapa
kerakusan dan egoisme –individual dan kolektif– bertentangan dengan tatanan penciptaan,
tatanan yang diwarnai saling ketergantungan.
9. Konsep alam semesta yang teratur dan warisan bersama menunjukkan perlunya
pendekatan yang lebih terkoordinasi secara internasional pada manajemen harta bumi.
Dalam banyak kasus akibat masalah ekologis mengatasi batas-batas tiap-tiap negara; maka
pemecahannya pun tak dapat ditemukan hanya pada tataran nasional. Akhir-akhir ini ada
langkah-langkah yang menjanjikan menuju aksi internasional seperti itu, tetapi mekanisme
dan badan yang ada jelas tidak memadai untuk pengembangan rencana tindakan yang
komprehensif. Hambatan politis, bentuk-bentuk nasionalisme berlebihan, dan kepentingan
ekonomi –untuk menyebut hanya beberapa faktor–menghalangi kerja sama internasional dan
tindakan efektif jangka panjang. Kebutuhan akan aksi bersama pada taraf internasional tidak
mengurangi tanggung jawab tiap-tiap negara. Setiap negara tak hanya harus bergabung
dengan negara lain dalam menerapkan standar yang disepakati secara internasional,
melainkan juga harus atau mempermudah penyesuaian sosial-ekonomis yang perlu dalam
batas-batasnya sendiri, seraya memperhatikan sektor-sektor yang paling lemah dalam
masyarakat. Negara juga harus aktif berusaha dalam wilayahnya sendiri untuk mencegah
perusakan atmosfer dan biosfer, dengan secara saksama mengamati, antara lain, dampak
kemajuan teknologi atau ilmiah baru. Negara juga bertanggung jawab menjamin agar
penduduknya tak terkena polutan berbahaya atau limbah beracun. Hak atas lingkungan yang
aman makin mendesak diajukan dewasa ini sebagai hak yang harus dimasukkan ke dalam
Piagam HAM yang dibarui.

IV. Kebutuhan mendesak akan solidaritas baru


10. Krisis ekologis membuka kebutuhan moral mendesak akan solidaritas baru, terutama
dalam hubungan antara negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara industri
yang sangat maju. Negara harus makin berbagi tanggung jawab, secara komplementer, untuk
perkembangan lingkungan alam dan sosial yang damai dan sehat. Negara-negara industri
baru tak dapat, misalnya, diminta menerapkan standar lingkungan yang restriktif pada
industri mereka yang baru muncul, kecuali jika negara-negara maju terlebih dahulu
menerapkannya dalam batas-batasnya sendiri. Pada saat yang sama, negara-negara dalam
proses industrialisasi secara moral tak bebas mengulangi kesalahan yang di masa lampau
128

telah dibuat pihak lain, dan secara sembarangan terus merugikan lingkungannya dengan
pencemaran industri, deforestasi radikal atau eksploitasi tak terbatas atas sumber daya tak
terbarukan. Dalam konteks ini ada kebutuhan mendesak untuk mencari solusi penanganan
dan pembuangan limbah beracun. Tetapi tiada rencana atau organisasi dapat menghasilkan
perubahan yang perlu kecuali jika pemimpin dunia sungguhsungguh yakin akan kemutlakan
perlunya solidaritas baru itu yang diminta dari mereka oleh krisis ekologis dan yang hakiki
untuk perdamaian. Kebutuhan itu mengajukan peluang baru untuk memperkuat relasi
kooperatif dan damai antara negara-negara.
11. Harus juga dikatakan bahwa keseimbangan ekologis wajar tak akan ditemukan tanpa
secara langsung membahas bentuk-bentuk struktural kemiskinan yang ada di seluruh dunia.
Kemiskinan pedesaan dan pembagian tanah yang tak adil di banyak negara, misalnya,
mengakibatkan pertanian subsisten dan pengurasan tanah. Ketika tanah mereka tak
menghasilkan apa pun, banyak petani pindah untuk membuka lahan baru, dengan demikian
mempercepat deforestasi tanpa kontrol, atau mereka tinggal di pusat perkotaan yang tak
mempunyai infrastruktur untuk menerima mereka. Demikian pula beberapa negara yang
dibebani utang menghancurkan warisan alam mereka, dengan pengurbanan ketidak-
seimbangan ekologis yang tak dapat diperbaiki, untuk mengembangkan produk baru untuk
ekspor. Dalam menghadapi situasi seperti itu kelirulah melemparkan tanggung jawab hanya
kepada kaum miskin atas konsekuensi lingkungan negatif. Sebaliknya, kaum miskin yang
seperti orang lain dipercaya mengatur bumi, harus dibantu menemukan jalan keluar dari
kemiskinan mereka. Hal ini menuntut reformasi berani atas struktur, juga cara-cara baru
berelasi antara bangsa-bangsa dan negara-negara.
12. Tetapi ada bahaya lain yang mengancam kita, yakni perang. Sayang bahwa ilmu
pengetahuan modern sudah mempunyai kemampuan mengubah lingkungan demi tujuan
bermusuhan. Perubahan semacam itu pada jangka panjang dapat mempunyai konsekuensi tak
terduga dan bahkan lebih serius. Kendatipun ada kesepakatan internasional yang melarang
persenjataan kimiawi, bakteriologis dan biologis, kenyataannya ialah bahwa riset
laboratorium terus mengembangkan senjata ofensif baru yang mampu mengubah
keseimbangan alam. Dewasa ini setiap bentuk peperangan dalam skala global akan menjurus
kepada kerugian ekologis yang tak terhitung. Tetapi juga peperangan lokal atau regional,
betapapun terbatas, tak hanya menghancurkan hidup manusia dan struktur sosial, melainkan
juga merugikan tanah, menghancurkan sayur-mayur dan vegetasi, meracuni tanah dan air.
Orang yang hidup sesudah peperangan terpaksa memulai hidup baru dalam kondisi
129

lingkungan yang amat sulit, yang pada gilirannya menciptakan situasi keresahan sosial
ekstrem dengan akibat negatif lebih lanjut bagi lingkungan.
13. Masyarakat modern tak akan menemukan pemecahan masalah ekologis kalau tidak
memperhatikan gaya hidupnya secara serius. Di banyak bagian dunia ini masyarakat tunduk
kepada pemuasan instan serta konsumerisme, dan tetap acuh tak acuh terhadap
kerugian yang diakibatkannya. Seperti sudah saya katakan, keseriusan masalah ekologis
membuka kedalaman krisis moral manusia. Apabila penghargaan terhadap nilai pribadi
manusia dan hidup manusia tiada, maka kita kekurangan perhatian terhadap sesama manusia
dan bumi sendiri. Kesederhanaan, pengendalian diri dan disiplin demikian pula semangat
berkorban, harus menjadi bagian hidup sehari-hari, agar jangan semua menderita konsekuensi
negatif atas kebiasaan sembarangan sedikit orang. Pendidikan dalam tanggung jawab
ekologis mendesak: tanggungjawab atas diri sendiri, atas orang lain, dan atas bumi.
Pendidikan ini tak dapat hanya berakar dalam perasaan atau harapan kosong. Tujuannya tak
dapat bersifat ideologis atau politis. Tidak boleh berdasarkan penolakan terhadap dunia
modern, atau keinginan kabur untuk kembali ke suatu “firdaus yang hilang”. Sebaliknya,
pendidikan sejati dalam tanggung jawab memerlukan pertobatan sejati dalam pikiran dan
perilaku. Gereja dan badan religius, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi Pemerintah,
semua anggota masyarakat mempunyai peran sendiri yang harus dimainkan dalam
pendidikan seperti itu. Tetapi pendidik pertama ialah keluarga, di mana anak belajar
menghormati sesamanya dan mencintai alam.
14. Akhirnya, nilai estetis ciptaan tak boleh dilupakan. Kontak kita dengan alam mempunyai
daya restoratif mendalam: kontemplasi kebesarannya memberi rasa damai dan kejernihan.
Kitab Suci berkali-kali berbicara tentang kebaikan dan keindahan ciptaan yang terpanggil
untuk memuliakan Allah (bdk. Kej. 1:4 dst; Mzm. 8:2; 104:1 dst.; Keb. 13:3-5; Sir. 39:16.33;
43:1.9). Lebih sulit mungkin, tetapitak kurang mendalam ialah kontemplasi karya genius
manusia. Bahkan kota dapat memiliki keindahannya sendiri, yang harus mendorong manusia
untuk memperhatikan lingkungannya. Perencanaan kota yang baik merupakan bagian penting
perlindungan lingkungan, dan respek terhadap kontur alamiah tanah merupakan prasyarat
untuk perkembangan yang secara ekologis sehat. Hubungan antara pendidikan estetis yang
baik dan pemeliharaan lingkungan yang sehat tak dapat diabaikan.

V. Krisis ekologis: tanggung jawab bersama


130

15. Dewasa ini krisis ekologis mencapai proporsi sedemikian besar sehingga merupakan
tanggung jawab setiap orang. Seperti sudah saya nyatakan, pelbagai aspeknya membuktikan
perlunya upaya terpadu untuk menetapkan tugas dan kewajiban individu-individu, bangsa-
bangsa, negara-negara dan komunitas internasional. Hal ini tak hanya bersamaan dengan
upaya membangun perdamaian sejati, melainkan juga meneguhkan dan menegaskan upaya-
upaya itu secara konkret. Apabila krisis ekologis ditempatkan dalam konteks lebih luas
pencarian perdamaian dalam masyarakat, kita dapat memahami lebih baik pentingnya
memperhatikan apa yang dikatakan bumi dan atmosfernya kepada kita: yakni adanya tatanan
dalam alam semesta yang harus dihormati, dan bahwa pribadi manusia, yang dibekali dengan
kemampuan untuk memilih dengan bebas, mengemban tanggung jawab besar untuk
memelihara tatanan ini demi kesejahteraan generasi mendatang. Saya ingin mengulangi
bahwa krisis ekologis adalah tema moral. Bahkan orang tanpa keyakinan religius tertentu,
tetapi dengan citarasa peka akan tangung jawabnya demi kesejahteraan bersama, mengakui
kewajiban mereka untuk memberi sumbangan demi pemulihan lingkungan yang sehat. Maka
dari itu, lebih-lebih orang yang percaya pada Allah Pencipta, yang karenanya yakin akan
adanya kesatuan dan tatanan di dunia, merasa terpanggil untuk menanggapi masalah ini. Pada
khususnya, kaum kristiani menyadari bahwa tanggung jawab mereka dalam ciptaan dan
kewajiban mereka terhadap alam dan Pencipta merupakan bagian hakiki dari iman mereka.
Akibatnya, mereka sadar akan luasnya bidang kerja sama ekumenis dan antaragama yang
terbentang di depan mereka.
16. Pada akhir pesan ini saya harus langsung menyapa para saudara saya dalam Gereja
Katolik, untuk mengingatkan mereka akan kewajiban serius mereka untuk mempedulikan
seluruh ciptaan. Komitmen kaum beriman akan lingkungan yang sehat bagi setiap orang
berasal langsung dari iman mereka kepada Allah Pencipta, dari keyakinan akan efek dosa asal
dan dosa pribadi dan dari kepastian penebusan oleh Kristus. Hormat terhadap hidup dan
terhadap martabat pribadi manusia mengenai juga ciptaan lainnya yang dipanggil untuk
bergabung dalam memuji Allah (bdk. Mzm. 148:96). Pada tahun 1979 saya memaklumkan
Santo Fransiskus Assisi sebagai pelindung surgawi semua orang yang memajukan ekologi
(bdk. Surat Apostolik “Inter sanctos”: AAS 71 {1979} 1509). Ia memberikan kepada kaum
kristiani teladan sejati dan hormat mendalam untuk keutuhan ciptaan. Sebagai teman kaum
miskin yang dicintai oleh ciptaan Allah. Santo Fransiskus mengundang semua ciptaan –
hewan, tumbuhan, kekuatan alam, bahkan Saudara Matahari dan Saudari Bulan– untuk
memuliakan dan memuji Tuhan. Saudara Dina dari Assisi memberi kita kesaksian yang
mengagumkan bahwa ketika kita berdamai dengan Allah, kita akan lebih mampu
131

mengabdikan diri untuk membangun perdamaian dengan seluruh ciptaan, yang tak
terpisahkan dari perdamaian di antara semua bangsa. Saya berharap agar ilham Santo
Fransiskus membantu kita untuk terus menghayati citarasa “persaudaraan” dengan segala hal
yang baik dan indah yang telah diciptakan Allah Yang Mahakuasa. Dan semoga ia
mengingatkan kewajiban kita yang serius untuk menghormati dan memelihara segala yang
baik dan indah itu dengan perhatian dalam terang persaudaraan yang semakin besar dan
semakin tinggi yang ada dalam keluarga umat manusia....

15. 01-05-1991 YOHANES PAULUS II, ENSIKLIK “CENTESIMUS ANNUS” 37


Litterae encyclicae “Centesimus Annus” 37

37. Sama meresahkannya adalah soal ekologi, di samping masalah konsumerisme dan yang
terkait erat dengannya. Dalam hasratnya untuk memiliki dan menikmati daripada ada dan
berkembang, manusia mengonsumsi tanpa batas dan tanpa disiplin sumber daya bumi dan
bahkan hidupnya sendiri. Penghancuran sembarangan terhadap lingkungan alam bersumber
pada kesalahan antropologis yang dewasa ini sayangnya tersebar luas. Manusia yang
menemukan kemampuannya, mengubah dunia dengan karyanya dan dalam arti tertentu
“menciptakan”nya kembali, lupa bahwa kemampuan itu terjadi berdasarkan anugerah
pertama dari pihak Allah. Manusia mengira dapat mempergunakan bumi sesukanya dengan
menaklukkannya di bawah kehendaknya tanpa syarat, seolah-olah bumi tak mempunyai
kodrat sendiri dan tujuan yang diberikan oleh Allah, yang dapat dikembangkan manusia, tapi
tak boleh dikhianatinya. Alih-alih melaksanakan tugasnya sebagai rekan kerja Allah pada
karya penciptaan, manusia bahkan menempatkan diri seolah-olah ia Allah dan memicu
perlawanan alam yang olehnya lebih dizalimi daripada diatur. (76)
Dalam sikap ini dapat dikenal terutama miskinnya atau sempitnya pandangan
manusia. Ia didorong keinginan memiliki barangbarang, daripada mengarahkannya kepada
kebenaran; ia kekurangan sikap murah hati yang timbul dari kekaguman terhadap makhluk
dan dari keindahan, yang memampukan orang melihat dalam benda yang tampak pesan Allah
Pencipta yang tak kelihatan. Dalam konteks ini, umat manusia masa kini harus menyadari
tugas dan kewajibannya terhadap generasi mendatang.
76. Bdk. Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, 34: loc. cit., 559f.; Pesan untuk Hari
Pedamaian Sedunia 1990: AAS 82 (1990), 147-156
132

16. 04-06-1992 PERNYATAAN Y.M. RENATO R. MARTINO,


NUNSIUS APOSTOLIK, KEPALA DELEGASI TAKHTA SUCI
KEPADA KONFERENSI PBB TENTANG LINGKUNGAN DAN
PENGEMBANGAN, RIO DE JANEIRO
Statement of H.E. Renato R. Martino, Apostolic Nuncio, Head of
the Holy See Delegation to the UN Conference on Environment
dan Development, Rio de Janeiro, Brazil
Rakyat seluruh dunia dengan penuh perhatian dan harapan besar melihat Konferensi PBB
tentang Lingkungan dan Pengembangan ini. Tantangan yang dihadapi komunitas
internasional ialah bagaimana memadukan kewajiban melindungi lingkungan dengan hak
asasi semua bangsa atas pengembangan.
1. Sentralitas pribadi manusia
Gereja Katolik mendekati baik perawatan dan perlindungan lingkungan maupun
semua soal yang menyangkut pengembangan dari sudut pandang pribadi manusia. Adalah
keyakinan Takhta Suci bahwa semua program ekologis dan semua prakarsa pengembangan
harus menghormati martabat dan kebebasan penuh siapa pun yang terkena program itu.
Mereka harus dilihat dalam hubungannya dengan kebutuhan nyata perempuan dan lakilaki,
keluarganya, nilai-nilainya, warisan sosial dan kulturalnya yang tiada taranya, tanggung
jawabnya terhadap generasi mendatang. Karena tujuan akhir program lingkungan dan
pengembangan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, untuk menempatkan
ciptaan sebisa-bisanya dalam pengabdian kepada keluarga manusia. Faktor penentu
terakhir ialah pribadi manusia. Bukanlah ilmu dan teknologi, juga bukan sarana
pengembangan ekonomis dan materiil, melainkan pribadi manusia, dan terutama kelompok
orang, komunitas dan bangsa, yang memilih dengan bebas untuk bersama menghadapi
masalah yang akan, di bawah Allah, menentukan masa depan (1).
Kata lingkungan sendiri berarti “apa yang mengelilingi”. Definisi ini menuntut
adanya pusat yang dikelilingi lingkungan. Pusat itu ialah manusia, satu-satunya makhluk di
dunia ini yang tak hanya mampu menyadari diri dan lingkungannya, tetapi dianugerahi akal
budi untuk meneliti, kebijaksanaan untuk menggunakan, dan akhirnya bertanggung jawab
atas pilihannya dan konsekuensi atas pilihan itu. Kesadaran unggul generasi dewasa ini untuk
semua komponen lingkungan, dan upaya konsekuen merawat dan melindunginya, daripada
melemahkan posisi sentral manusia, menggarisbawahi peran dan tanggung jawabnya.
Demikian pula tak dapat dilupakan bahwa tujuan sejati setiap sistem ekonomi, sosial dan
politik dan setiap model pengembangan merupakan kemajuan integral pribadi manusia.
133

Pengembangan jelaslah sesuatu yang lebih ekstensif daripada sekadar kemajuan ekonomi
yang diukur dengan produk nasional bruto (GNP). Pengembangan sejati mengambil sebagai
tolok ukurnya pribadi manusia dengan segala kebutuhannya. Ekspektasi yang wajar dan hak
fundamentalnya (2).
Hormat yang melengkapi terhadap pribadi dan hidup manusia ialah tanggung jawab
menghormati seluruh ciptaan. Allah adalah pencipta dan perancang seluruh alam semesta.
Alam semesta dan hidup dalam segala bentuknya merupakan kesaksian kuasa Allah yang
kreatif, kasih-Nya, kehadiran-Nya terus-menerus. Segala ciptaan mengingatkan kita akan
misteri dan kasih Allah. Sebagaimana Kitab Kejadian menceritakan pada kita: “Dan Allah
melihat segalanya yang dijadikan-Nya, dan lihatlah, itu amat baik” (Kej. 1: 31).
II. Dimensi moral
Pada tahap sangat awal yang mengarah ke pelaksanaan Konferensi ini, Sidang Umum
menekankan bahwa “mengingat sifat global masalah-masalah besar lingkungan, ada
kepentingan bersama semua negara untuk mengejar kebijakan yang bertujuan mencapai
pengembangan lestari dan ramah lingkungan dalam keseimbangan ekologis” (3).
Takhta Suci pernah dan tetap berminat akan tema yang dibahas oleh Konferensi ini.
Selama tahap persiapan yang sulit Delegasi Takhta Suci telah memeriksa dengan saksama
dan hormat banyak usul yang bersifat teknologis, ilmiah dan politis dan menghargai
kontribusi begitu banyak partisipan dalam proses. Setia pada kodrat dan perutusannya Takhta
Suci terus menegaskan hak dan kewajiban, kesejahteraan dan tanggung jawab individu dan
masyarakat. Bagi Takhta Suci masalah lingkungan dan pengembangan pada dasarnya adalah
soal moral, bersifat etis, daripadanya keluar dua kewajiban: keharusan mendesak untuk
menemukan solusi dan permintaan tak terhindarkan agar setiap solusi yang diajukan
memenuhi kriteria kebenaran dan keadilan. “Teologi, filsafat dan ilmu pengetahuan semua
berbicara tentang alam semesta yang harmonis, “kosmos” yang dibekali keutuhannya sendiri,
keseimbangannya sendiri yang dinamis. Tatanan ini harus mendapat hormat. Umat
manusia dipanggil untuk meneliti tatanan ini, untuk memeriksanya dengan perhatian
sewajarnya dan mempergunakannya seraya memelihara keutuhannya”(4).
Pencipta menempatkan manusia di pusat ciptaan, dengan mengangkatnya menjadi
wali yang bertanggung jawab, bukan tiran yang mengeksploitasi dunia sekitarnya. “Di lain
pihak, bumi pada akhirnya adalah warisan bersama, buahnya untuk kesejahteraan semua.
Ini memiliki konsekuensi langsung terhadap masalah yang dihadapi. Jelas tak adil bahwa
sedikit orang dengan hak istimewa terus menimbun secara berlebihan harta benda, dengan
memboroskan sumber daya yang tersedia, sedangkan amat banyak orang hidup dalam kondisi
134

kemiskinan pada taraf kehidupan paling rendah. Dewasa ini ancaman dramatis keruntuhan
ekologis mengajarkan kepada kita sejauh mana kerakusan dan egoisme –baik individual
maupun kolektif– bertentangan dengan tatanan ciptaan, tatanan yang dicirikan oleh
ketergantungan timbal-balik.(5)
III. Kewajiban yang timbul daripadanya: perwalian dan solidaritas
Konsep alam semesta yang teratur dan warisan bersama menunjukkan perlunya
mengembangkan dalam hati setiap orang dan dalam kegiatan setiap masyarakat citarasa sejati
perwalian dan solidaritas. Adalah kewajiban wali yang bertanggung jawab untuk menjadi
orang yang merawat harta benda yang diserahkan kepadanya dan bukannya yang merampok;
menjadi orang yang memelihara dan mengembangkan, bukannya yang menghancurkan dan
menghambur-hamburkan. Kerendahan hati, dan bukan kesombongan harus menjadi sikap
sepatutnya umat manusia terhadap lingkungan. Penemuan ilmiah yang mengagumkan pada
abad kita memungkinkan akal budi manusia berhasil menembus baik dunia yang paling kecil
maupun yang besarnya tak terukur. Hasilnya mendua, karena kita menyaksikan bahwa tanpa
etika, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dipakai untuk mematikan atau menyelamatkan
hidup, untuk memanipulasi atau memelihara, untuk menghancurkan atau membangun.
Perwalian penuh tanggung jawab menuntut agar kebaikan bersama diperhatikan: Tak
seorang pun, tiada kelompok dalam isolasi dibenarkan menentukan relasinya dengan alam
semesta. Kesejahteraan bersama universal mengatasi segala kepentingan pribadi, segala batas
nasional, dan melampaui saat ini, menjangkau generasi mendatang. Maka solidaritas
menjadi keharusan moral yang mendesak. Kita semua adalah bagian dari ciptaan Allah – kita
hidup sebagai keluarga umat manusia. Seluruh ciptaan adalah warisan setiap orang. Semua
sama-sama diciptakan Allah dan dipanggil berbagi harta benda dan keindahan satu dunia,
manusia dipanggil memasuki solidaritas dimensi universal, “persaudaraan kosmis” yang
dijiwai kasih yang mengalir dari Allah. Pendidikan solidaritas merupakan kebutuhan
mendesak dewasa ini. Kita harus belajar lagi hidup dalam harmoni, tak hanya dengan Allah
dan sesama, melainkan juga dengan ciptaan sendiri. “Madah ciptaan” Santo Fransiskus dapat
menjadi nyanyian generasi baru yang mengasihi dan menghormati dalam satu pelukan
Pencipta dan semua makhluk ciptaan Allah.
Perwalian yang bertanggung jawab dan solidaritas sejati tak hanya diarahkan kepada
perlindungan lingkungan, melainkan juga hak dan kewajiban semua bangsa akan
pengembangan. Sumber daya bumi dan sarana akses dan penggunaan harus dicermati dengan
bijaksana dan dibagi secara adil. Tuntutan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan tak
dapat dipakai untuk menghambat hak atas pengembangan, dan pengembangan tak dapat
135

dipakai untuk melawan lingkungan. Tugas untuk mencapai keseimbangan yang wajar adalah
tantangan dewasa ini. Pola konsumsi yang menimbulkan sandungan dan pemborosan segala
macam sumber daya oleh sedikit orang harus diperbaiki untuk menjamin keadilan dan
pengembangan lestari bagi semua di mana pun di dunia. Paus Yohanes Paulus II
mengingatkan bahwa “Kesederhanaan, pengendalian dan disiplin, demikian juga semangat
berkorban, harus menjadi bagian hidup sehari-hari, agar jangan semua orang menderita
konsekuensi negatif dari kebiasaan sembarangan sedikit orang”(6)
Negara berkembang dalam keinginan wajar untuk meningkatkan statusnya dan
meniru pola pengembangan yang ada, harus menyadari dan melawan bahaya yang dapat
menimpa bangsanya dan dunia dengan mengambil alih strategi pertumbuhan yang amat
boros, yang hingga kini dipergunakan luas dan menjerumuskan umat manusia dalam situasi
sekarang ini. Sumber daya baru, penemuan bahan baru pengganti, upaya pemeliharaan dan
program daur ulang membantu perlindungan cadangan yang ada; pengembangan teknologi
baru menjanjikan penggunaan sumber daya secara lebih efisien. Bagi bangsa berkembang,
yang kadang-kadang kaya dengan sumber daya alam, pemerolehan dan penggunaan teknologi
baru jelas merupakan keharusan. Hanya berbagi teknologi global secara adil memungkinkan
proses pengembangan lestari. Bila melihat masalah lingkungan dan pengembangan, orang
juga harus mencurahkan perhatian selayaknya kepada masalah kompleks kependudukan.
Posisi Takhta Suci sehubungan dengan prokreasi sering ditafsirkan salah. Gereja Katolik tak
mengusulkan prokreasi mati-matian….
Yang dilawan Gereja ialah pemaksaan kebijakan demografis dan promosi metode
pembatasan kelahiran yang bertentangan dengan tatanan moral obyektif dan kebebasan,
martabat dan hati nurani manusia. Sekaligus Takhta Suci tak memandang penduduk hanya
sebagai soal angka, atau hanya sebagai faktor ekonomi (8).
Dengan tegas ia menyatakan keprihatinannya agar kaum miskin tidak dipinggirkan,
seolah-olah hanya dengan keberadaaannya saja, merekalah penyebab, dan bukannya korban
dari kurangnya pengembangan dan degradasi lingkungan. Betapapun serius masalah
keterkaitan antara lingkungan, pengembangan dan kependudukan, ia tak dapat dipecahkan
dengan amat sederhana dan banyak prediksi yang mengejutkan ternyata tak benar dan
dibantah oleh sejumlah studi baru. “Orang tak hanya lahir dengan mulut yang harus diberi
makan, melainkan juga dengan tangan yang dapat menghasilkan, dan akal budi yang
dapat mencipta dan membarui”(9).
Sehubungan dengan lingkungan, hanya untuk menyebut satu contoh saja, negara-
negara dengan sedikitnya 5% jumlah penduduk dunia bertanggung jawab atas lebih daripada
136

seperempat gas rumah kaca utama, sedangkan negara-negara dengan seperempat jumlah
penduduk dunia hanya menghasilkan 5% gas rumah kaca yang sama. Upaya serius dan
terpadu untuk melindungi lingkungan dan memajukan pengembangan tak akan mungkin
tanpa menanggapi secara langsung bentuk kemiskinan struktural yang ada di seantero
dunia. Lingkungan dihancurkan dan pengembangan dihambat oleh pecahnya perang, ketika
konflik internal menghancurkan rumah, ladang dan pabrik, ketika keadaan tak tertahankan
memaksa jutaan orang dengan putus asa mencari perlindungan jauh dari negaranya, ketika
minoritas ditindas, ketika hak orang yang paling lemah –perempuan, anak, orang lanjut usia
dan sakit – diabaikan atau diremehkan. “Kaum miskin, kepada siapa bumi dipercayakan tak
kurang daripada kepada orang lain, harus dimungkinkan menemukan jalan keluar dari
kemiskinan mereka. Hal ini menuntut pembaruan struktur yang berani, maupun cara-cara
baru dalam hubungan antara bangsa-bangsa dan negara-negara: (10).
Akirnya, Takhta Suci mengundang komunitas internasional untuk menemukan dan
meneguhkan adanya dimensi spiritual dari isuisu yang ada ini... Marilah kita berupaya
memberikan lingkungan fisik yang sehat dan aman bagi setiap pria, perempuan dan anak,
marilah kita menggabungkan kekuatan untuk menyediakan mereka peluang nyata untuk
perkembangan, tetapi dalam proses, jangan biarkan mereka dirampok jiwa mereka. Pada taraf
yang berkaitan, nilai estetika lingkungan harus juga diperhatikan dan dilindungi. Dengan
demikian, ditambahkan keindahan dan diilhami ungkapan artistik pada kegiatan
pengembangan. Takhta Suci memandang Konferensi ini sebagai tantangan besar dan peluang
unik yang diajukan bangsa-bangsa dunia kepada komunitas internasional…
..............
1. Bdk. Amanat Paus Yohanes Paulus II kepada Pusat PBB untukLingkungan. Nairobi, 18
Agustus 1985.
2. Bdk. Amanat Paus Yohanes Paulus II kepada Sesi ke-21 Konferensi Organisasi Makanan
dan Pertanian, The Vatican, 13 November 1981.
3. Resolusi 43/196 Sidang Umum, 20 Desember 1988.
4. Pesan Paus Yohanes Paulus II pada Hari Perdamaian Sedunia 1990 dengan tema
"Perdamaian dengan Allah Pencipta, Perdamaian dengan seluruh ciptaan, ". 8 Desember
1989. n.8.
5. Ibidem.
6. Pesan pada Hari Perdamaian Sedunia 1990. o.c., n.13.
137

7. Bdk. Pesan Yang Mulia Kardinal Maurice Roy, Presiden Komisi Kepausan "Justice and
Peace" kepada Y.M. U Thant, Sekretaris Jenderal PBB pada kesempatan peluncuran Dekade
Pembangunan Kedua. The Vatican, 19 November 1970.
8. Bdk. Amanat Paus Yohanes Paulus II kepada Mr. Rafael Salas, Sekretarias Jenderal
Konferensi Internasional tentang Kependudukan 1984, dan Direktur Eksekutif Dana untuk
Kegiatan Kependudukan PBB (UNFPA). The Vatican, 7 June 1984. N
9. The Wall Street Journal, dalam "Review and Outlook": Prince Malthus, Tuesday, 28 April
1992.
10. Pesan pada Hari Perdamaian Sedunia, o.c., n.11.

17. 13-06-1992 INTERVENSI KARDINAL ANGELO SODANO DALAM


KONFERENSI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGEMBANGAN DI RIO
DE JANEIRO
Intervention by Cardinal Angelo Sodano on the occasion of the United Nations World
Conference on the Environment and Development in Rio de Janeiro (June 13, 1992)
“Semesta alam ciptaan dipercayakan oleh Allah kepada manusia”
Dalam suatu buku suci yang amat dihargai oleh jutaan orang beriman, dinyatakan
bahwa pada awal zaman Allah menciptakan alam semesta dengan segala aspeknya yang
mengagumkan: langit, bumi, laut, dan akhirnya Ia menciptakan manusia sebagai raja kosmos
itu dan mempercayakannya untuk dirawat. Demikianlah kisah Kitab Kejadian. Pandangan
Gereja Katolik dan terutama Takhta Suci, mengenai masalah-masalah yang diperdebatkan di
sini, diilhami halamanhalaman Kitab Suci. Perkenankanlah saya sejenak mengingatkan
halaman-halaman itu yang termasuk warisan umat manusia. Dikatakan bahwa kosmos yang
diciptakan, dipercayakan oleh Allah kepada manusia, yang menduduki tempat sentral dalam
dunia untuk diperintahnya dengan bijaksana dan tanggung jawab, dengan respek terhadap
tatanan yang ditetapkan Allah dalam ciptaan-Nya (bdk.Yohanes Paulus II, Amanat kepada
Akademi Kepausan untuk Ilmu Pengetahuan, 22 November 1991 no.6). Dalam terang
keyakinan mendalam ini kita dapat membuat beberapa refleksi.
1. Krisis ekologis dan krisis moral
Krisis ekologis dewasa ini merupakan aspek mengkhawatirkan dari krisis moral yang
lebih mendalam dan akibat dari pengertian salah tentang pengembangan yang berlebihan,
yang tak memperhitungkan lingkungan alam, batas-batasnya, hukumhukumnya dan
keserasiannya, terutama sejauh menyangkut penggunaan-penyalahgunaan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bumi menderita karena egoisme manusia.
138

2. Tujuan universal harta kekayaan bumi


“Allah telah memperuntukkan bumi dan segala isinya bagi semua orang dan bangsa,
sehingga kekayaan ciptaan berlaku untuk semua orang menurut peraturan keadilan dan cinta
kasih” (GS 69). Daripadanya lahirlah kewajiban solidaritas antara semua yang merangkul
semua, seperti kerja sama demi pengembangan yang memberi prioritas kepada bangsa-
bangsa yang kurang beruntung (bdk. Yohanes Paulus II, ensiklik Sollicitudo rei socialis 45).
3. Keharusan solidaritas
Kata-kata Paulus VI ternyata profetis ”bangsa-bangsa yang kelaparan dengan
dramatis akan berseru kepada bangsa-bangsa yang kaya” (Paulus VI, ensiklik Populorum
progressio 3). Jelaslah kesenjangan yang makin tumbuh, secara moral tak dapat dibenarkan
dan tak adil, antara bagian utara bumi yang semakin kaya, dan bagian selatan yang semakin
miskin.
4. Pemeriksaan batin di hadapan negara-negara miskin
Perlulah bahwa umat manusia menemukan akar bersamanya dan berangkat dari kesadaran
bahwa semua orang bersaudara, timbul kekuatan imajinasi untuk mempraktikkan solidaritas...
Kita tidak dapat memperoleh keseimbangan ekologis yang benar, jika tak langsung
menghadapi bentuk kemiskinan struktural di dunia ini (bdk.Yohanes Paulus II, Pesan Hari
Perdamaian Sedunia 1990 “Perdamaian dengan Allah Pencipta, perdamaian dengan ciptaan”,
no. 11) dan bila masyarakat kaya tak meninjau kembali gaya hidup hedonistik dan
konsumeristik mereka..
7. Untuk ekologi sejati
Sementara pekerjaan sidang ini akan disimpulkan, kita harus ingat bahwa kita hanya
pengelola warisan umum planet. Martabat manusia yang merupakan satu-satunya makhluk di
dunia ini yang mampu merawat pelbagai spesies, lingkungan yang mengelilinginya dan para
saudaranya, harus membawanya tak hanya untuk melindungi keseimbangan global bumi,
melainkan juga untuk “menyelamatkan kondisi moral ‘bagi ‘ekologi manusiawi’ sejati”
(Yohanes Paulus II, ensiklik Centesimus annus no.38), dan ekologi sosial. “Bukan hanya
bumi dianugerahkan Allah kepada manusia, melainkan manusia dari dirinya sendiri adalah
anugerah dari Allah dan, oleh karenanya, harus menghormati struktur kodrati dan moral yang
telah dianugerahkan-Nya.” (Yohanes Paulus II, ensiklik Centesimus annus, 38).

18. 22-10-1993 AMANAT PAUS YOHANES PAULUS II KEPADA PARA PESERTA


WORKSHOP “BAHAYA KIMIAWI DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG”
YANG DIORGANISIR AKADEMI KEPAUSAN UNTUK ILMU PENGETAHUAN
139

Address of His Holiness John Paul II to the participants in the workshop on “Chemical
Hazards in developing countries organized by the Pontifical Academy of Sciences...
Siapa yang tidak sangat prihatin dengan kemungkinan bahaya yang sudah ada dan
terus berkembang dari polusi dan efek samping lain produksi dan penggunaan bahan kimia?
Diskusi Anda yang mencerminkan tingkat tertinggi kompetensi ilmiah akan bermanfaat bagi
keprihatinan publik yang makin meningkat menyangkut lingkungan.
2. Di kebanyakan negara industri, perhatian dicurahkan kepada risiko bagi manusia
dan lingkungan atas bahan-bahan kimia buatan manusia … Ini adalah penyalahgunaan serius
dan penghinaan terhadap solidaritas manusiawi bila perusahaan industri negaranegara kaya
mengambil untung dari kelemahan ekonomis dan legislatif negara-negara miskin dengan
menempatkan pabrikpabrik produksi atau menimbun limbah yang mengakibatkan degradasi
lingkungan dan pengaruh buruk atas kesehatan rakyat.
5. Keluarga manusia ada di persimpangan jalan dalam hubungannya dengan
lingkungan alam. Keluarga manusia tidak hanya perlu meningkatkan upaya untuk
mengajarkan kesadaran kuat akan solidaritas dan saling ketergantungan antara bangsabangsa
di dunia, melainkan juga perlu mendesakkan saling ketergantungan berbagai ekosistem dan
pentingnya keseimbangan sistem ini untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia.
Pertimbangan manfaat semata atau pendekatan estetika terhadap alam tidak bisa menjadi
dasar yang cukup untuk pendidikan sejati dalam ekologi. Kita semua harus belajar mendekati
masalah lingkungan dengan keyakinan etis yang solid yang mencakup tanggung jawab,
pengendalian diri, keadilan dan kasih persaudaraan.

19. 25-03-1993 DEWAN KEPAUSAN UNTUK EKUMENE, DIREKTORIUM


APLIKASI PRINSIP & NORMA EKUMENE 215 (b)
Pontifical Council for Promoting Christian Unity, Directory for the Application of
Principles and Norms on Ecumenism 215 (b) b) Kerja sama di bidang pengembangan,
kebutuhan manusia dan penatalayanan ciptaan 215
Ada kaitan intrinsik antara pengembangan, kebutuhan manusia dan penatalayanan
ciptaan. Pengalaman mengajarkan kita bahwa pengembangan demi kebutuhan manusia yang
makin meningkat tak dapat menguras atau menyalahgunakan kekayaan dunia tanpa akibat
yang parah. Tanggung jawab untuk merawat ciptaan, yang mempunyai martabat khusus
dalam dirinya sendiri, dipercayakan kepada semua orang oleh Pencipta sendiri, sejauh
mereka menjadi wali atas ciptaan (193). Pada pelbagai taraf orang katolik diajak melibatkan
diri dalam prakarsa untuk studi dan aksi tentang masalah yang mengancam martabat ciptaan
140

dan membahayakan seluruh umat manusia. Tema lain untuk studi dan aksi semacam itu,
misalnya, beberapa bentuk industrialisasi dan teknologi pesat tak terkendali yang
menyebabkan pencemaran lingkungan alam dengan akibat parah bagi keseimbangan ekologis
seperti penghancuran hutan, percobaan nuklir dan penggunaan atau penyalahgunaan tak
rasional atas kekayaan bumi, yang terbarukan dan tak terbarukan. Aspek penting aksi
bersama di bidang ini ialah mengajar manusia dalam penggunaan sumber daya itu, juga
pemakaiannya yang terencana dan dalam penatalayanan ciptaan
.……….
193 RH, n. 8, 15, 16; SRS, n. 26, 34.
20. 10-11-1994 PAUS YOHANES PAULUS II, SURAT APOSTOLIK “TERTIO
MILLENNIO ADVENIENTE” 3 Epistula Apostolica “Tertio Millennio Adveniente” 3...
Hal bahwa dengan kegenapan waktu Sabda abadi mengambil kondisi ciptaan,
memberi makna kosmis kepada peristiwa Betlehem 2000 tahun yang lalu. Karena Sabda itu
sendiri dunia ciptaan tampil sebagai kosmos, artinya, sebagai alam semesta yang teratur. Dan
diperbarui Sabda, yang karena penjelmaan-Nya membarui tatanan kosmos...

21. 25-03-1995 YOHANES PAULUS II, ENSIKLIK “EVANGELIUM VITAE” 42


Joannes Paulus I, lit.encycl. “Evangelium vitae”, 42
Manusia yang dipanggil untuk mengolah taman dunia dan menjaganya (Bdk. Kej
2:15) mengemban tanggung jawab khusus atas lingkungan hidup, artinya atas ciptaan, yang
ditugaskan Allah mengabdi martabat personalnya, hidupnya: tanggung jawab tak hanya
sehubungan dengan generasi masa kini, melainkan juga generasi masa mendatang. Masalah
ekologis –dari pemeliharaan ruang hidup pelbagai jenis hewan dan aneka bentuk kehidupan
sampai “ekologi human” dalam arti kata sesungguhnya. (28)– mendapatkan dalam teks Kitab
Suci pedoman etis yang jelas dan tegas, yang mengarah pada solusi yang memperhatikan
nilai besar kehidupan, setiap kehidupan. Sesungguhnya “kuasa yang diberikan oleh Pencipta
kepada manusia bukanlah kuasa mutlak, dan tak dapat disebut kebebasan
mempergunakannya atau menyalahgunakannya atau mengatur hal-hal itu semena-mena.
Pembatasan yang diberikan Pencipta sejak semula secara simbolis diungkapkan dalam
larangan ‘makan dari buah pohon’ (bdk. Kej 2:16-17); dengan cukup jelas menunjukkan
bahwa, ketika sampai pada dunia alam, kita tak hanya terikat pada hukum biologis,
melainkan juga hukum moral, yang tak dapat dilanggar tanpa hukuman” (29)
141

……….
28 bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 38: AAS 83 (1991),
840-841.
29 Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (30 Desember 1987), 34: AAS 80
(1988), 560.

22. 24-03-1996 PAUS YOHANES PAULUS II, ANGELUS


Giovanni Paolo II, Angelus, Piazza San Pietro V Domenica di Quaresima
1. Sementara alam, pada awal musim semi ini, bangkit untuk kehidupan baru, saya ingin
menggarisbawahi bahwa praktik penitensi pada akhirnya juga menyentuh pendidikan
mendalam menghormati lingkungan menurut rencana Allah. Barangkali orang mengira
bahwa puasa dan penyangkalan lain yang disarankan pedagogi kegerejaan mengandung
ketidak-pedulian terhadap ciptaan. Tetapi tidak demikian halnya. Diandaikan pandangan
mulia terhadap dunia materiil dan dapat dilihat sebagai penawar terhadap sifat kurang tahu
ukuran dan ketamakan, dengan membandingkan citarasa untuk mempunyai dan menikmati
habis-habisan, yang mendorong manusia menjadi penguasa mutlak lingkungannya
2. ... untuk manusia Kitab Suci memberikan kedudukan istimewa. Diciptakan “dalam rupa
Allah” (Kej. 1:26), ia memiliki hak untuk dilayani oleh realitas-realitas ciptaan lainnya.
Tetapi hal ini tidak berarti memberinya kuasa menjadi tuan atas alam, apalagi sampai
menghancurkannya. Sebaliknya, manusia dipanggil menjadi rekan kerja Allah untuk
memajukan ciptaan.

23. 25-03-1996 YOHANES PAULUS II, ADH.APOST. “VITA CONSECRATA” 90


Joannis Pauli II, Adh.Apostolica “Vita Consecrata” 90
Maka dari itu, dewasa ini lebih daripada di masa lain seruan kemiskinan injili juga akan
dirasakan oleh mereka yang menyadari keterbatasan sumber daya alam planet dan
menyerukan sikap hormat terhadap ciptaan serta pemeliharaannya dengan membatasi
konsumsi, dengan hidup lebih sederhana, dengan mengendalikan keinginan sendiri.

24. 04-10-1996 DEWAN KEPAUSAN “COR UNUM”, KELAPARAN SEDUNIA,


TANTANGAN BAGI SEMUA, PENGEMBANGAN DALAM SOLIDARITAS 30-31
Pontifical Council “Cor Unum”: World Hunger, a Challenge for all, Development in
Solidarity, 30-31
142

Hormat terhadap Lingkungan


30. Dewasa ini alam mengajarkan soal solidaritas kepada kita semua, tetapi kita kurang
memperhatikannya. Pada produksi bahan makanan semua orang mengetahui bahwa mereka
bisa menjadi bagian unsur pasif atau aktif dari suatu ekosistem. Suatu ranah tanggung jawab
baru terbuka bagi hati nurani orang. Orang tak dapat membuat makin banyak orang kenyang
sekaligus melemahkan pertanian. Pertanian juga menyebabkan lebih banyak pencemaran
lingkungan (penggunaan besar-besaran pupuk, pestisida dan mesin-mesin) ketika mencapai
tahap industri; sebelum mengembangkan kemampuan berproduksi tanpa mencemari.
Pencemaran lingkungan, konsumsi berlebihan, desertifikasi dan deforestasi yang dibuat
manusia membahayakan unsur-unsur lain, yang perlu untuk hidup seperi udara, air, tanah dan
hutan. Dalam kurun waktu 50 tahun separuh dari hutan tropis telah habis ditebang dengan
tujuan mendapat lebih banyak tanah atau karena kebijakan jangka pendek intensifikasi
pertanian demi pelunasan beban utang. Di daerah termiskin desertifikasi diakibatkan oleh
praktik bertahan hidup yang justru meningkatkan kemiskinan. Hal ini mencakup pengurangan
rumput, penebangan pohon dan pengambilan kayu untuk memasak dan pemanas. (47)

Ekologi dan pemerataan pengembangan


31. Adalah mendesak menangani planet ini dengan cara yang secara ekologis lestari. Patut
dikemukakan dua aspek dari sudut produksi makanan yang merupakan sektor yang berarti.
Pertamatama, pengelolaan produksi yang ramah lingkungan ini menuntut ongkos
yang harus disatukan dengan aktivitas ekonomis (48). Kita harus bertanya pada diri sendiri,
apakah selalu mereka yang miskin harus memikul beban yang mengakibatkan kerugian
nutrisi mereka.
Kedua, keinginan untuk lebih memahami kaitan antara ekologi dan ekonomi dalam
pengertian pengembangan lestari. Tetapi pengetahuan itu tak boleh mengalihkan perhatian
akan perlunya usaha lebih besar untuk pengembangan lestari. Akhirnya, harus dikatakan
bahwa pengembangan tak dapat lestari kalau tidak merata. Kalau tidak, mungkin distorsi
sekarang ini akan diperparah oleh yang baru..
……..
(47) Bdk. FAO, Sustainable Development and the Environment, FAO Policies and Actions,
Roma, 1992.
(48) Bdk.Yohanes Paulus II, Amanat pada Sidang ke-25 Konferensi FAO, 16 November
1989, No. 8: AAS 82 (1990), pp. 672-673.
143

25. 24-03-1997 YOHANES PAULUS II, AMANAT KEPADA KONFERENSI


TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KESEHATAN Address of His Holiness Pope
John Paul II to Conference of Environment and Health
Para saudara,
1. Saya mengucapkan selamat datang kepada Anda semua, para sponsor, penyelenggara dan
peserta dalam pertemuan dengan tema “Lingkungan Hidup dan Kesehatan” di mana
Universitas Katolik Hati Kudus telah memberikan keramahan dan kerja sama ilmiah. Secara
khusus saya menyatakan terima kasih kepada Bp. Sergio Gianotti yang menjelaskan prakarsa
penting ini kepada saya. Ekologi, yang timbul sebagai nama dan pesan budaya lebih daripada
seabad yang lalu, amat mendapat perhatian para pakar, dan menuntut upaya interdisipliner
lebih besar dari para ahli biologi, dokter, ekonom, filsuf dan politisi. Dibutuhkan studi
tentang relasi antara organisme hidup dan lingkungannya, dan terutama antara manusia dan
lingkungan hidupnya. Sesungguhnya lingkungan, bernyawa atau tidak, mempunyai pengaruh
yang menentukan untuk kesehatan manusia, tema yang menjadi konsentrasi Anda dalam
pertemuan ini.
2. Relasi antara manusia dan lingkungan hidupnya mewarnai pelbagai tahap peradaban
manusia, mulai dari budaya primitif: dalam tahap pertanian, industri dan teknologi. Zaman
modern telah menyaksikan kemampuan manusia yang senantiasa meningkat untuk intervensi
transformatif. Aspek perebutan dan eksploitasi sumber daya telah menjadi dominan dan
invasif, dan dewasa ini bahkan sudah mencapai titik yang mengancam aspek lingkungan yang
ramah: lingkungan sebagai “sumber daya” mengancam lingkungan sebagai “kediaman”.
Karena daya dahsyat sarana transformasi yang ditawarkan peradaban teknologi, kadang-
kadang tampak bahwa keseimbangan antara manusia dan lingkungan sudah mencapai titik
kritis.
3. Di zaman kuno, manusia menunjukkan rasa mendua dan bergantiganti terhadap lingkungan
di mana ia hidup; kekaguman dan penghormatan, atau ketakutan dari dunia yang
kelihatannya mengancam. Terhadap gagasan kosmos Wahyu injili telah membawa pesan
yang menerangi dan damai tentang ciptaan; yang daripadanya dapat disimpulkan bahwa
realitas keduniaan adalah baik karena dikehendaki Allah demi kasih pada manusia. Sekaligus
antropologi injili telah memandang manusia, yang diciptakan menurut citra dan keserupaan
dengan Allah, sebagai ciptaan yang dapat mengatasi realitas keduniaan berdasarkan
spiritualitasnya, maka juga sebagai penjaga lingkungan yang bertanggung jawab, di mana ia
ditempatkan untuk hidup. Pencipta memberikannya kepadanya baik sebagai kediaman
maupun sebagai sumber daya.
144

4. Konsekuensi ajaran ini amat jelas: relasi manusia dengan Allahlah yang menentukan
relasinya dengan sesama manusia dan lingkungannya. Maka dari itu budaya kristiani selalu
mengakui ciptaan yang mengelilingi manusia juga sebagai anugerah Allah yang harus
dipelihara dan dijaga dengan rasa syukur terhadap Pencipta. Spiritualitas Benediktin atau
Fransiskan khususnya telah memberi kesaksian terhadap macam kekerabatan manusia
dengan lingkungan ciptaan, dengan memupuk dalam dirinya sikap respek terhadap setiap
realitas dunia yang mengelilinginya.
Di zaman sekularisasi modern ini kita melihat munculnya dua macam godaan: konsep
pengetahuan yang tidak lagi dipahami sebagai kebijaksanaan dan kontemplasi, melainkan
sebagai kuasa atas alam, yang dianggap sebagai obyek untuk ditaklukkan. Godaan yang lain
ialah eksploitasi tak terkendali terhadap sumber daya atas desakan mencari untung tak
terbatas, menurut mentalitas kapitalisme yang khas bagi masyarakat modern. Dengan
demikian lingkungan seringkali menjadi mangsa bagi kepentingan beberapa kelompok
industri yang kuat sehingga merugikan umat manusia sebagai keseluruhan, dengan kerugian
berikutnya bagi keseimbangan ekosistem, kesehatan penduduk dan generasi mendatang.
5. Dewasa ini kita sering menyaksikan pengambilan posisi yang berlawanan dan berlebihan:
di satu pihak, atas nama keterkurasan dan ketidakcukupan sumber daya lingkungan, dibuat
permintaan untuk membatasi kelahiran, terutama di antara bangsa-bangsa yang miskin dan
sedang berkembang. Di lain pihak, atas nama gagasan yang diilhami oleh egosentrisme dan
biosentrisme, diusulkan agar perbedaan ontologis dan aksiologis antara manusia dan makhluk
hidup lainnya dihapus, karena biosfer dianggap sebagai kesatuan biotik yang nilainya tak
dirinci. Maka tanggung jawab khusus manusia dapat dihapus demi pertimbangan kesetaraan
“martabat” semua makhluk hidup. Tetapi keseimbangan ekosistem dan pertahanan kesehatan
lingkungan sungguh membutuhkan tanggung jawab manusia dan tanggung jawab yang harus
terbuka bagi bentuk baru solidaritas. Solidaritas terbuka dan komprehensif dengan semua
orang dan semua bangsa adalah hakiki, berdasarkan hormat terhadap hidup dan
pengembangan sumber daya yang cukup bagi yang termiskin dan generasi masa depan. Bila
umat manusia dewasa ini berhasil memadukan kemampuan ilmiah baru dengan dimensi etis
yang kuat, tentulah mampu memajukan lingkungan sebagai kediaman dan sumber daya bagi
manusia dan bagi semua orang, dan akan mampu menghapus penyebab pencemaran dan
menjamin kondisi memadai higiene dan kesehatan, baik bagi kelompok kecil maupun
pemukiman besar. Teknologi yang mencemarkan dapat juga membersihkan, produksi yang
menimbun dapat juga membagi dengan adil, dengan syarat bahwa diberlakukan etika yang
menghormati hidup dan martabat manusia, hak-hak generasi sekarang dan masa depan.
145

6. Hal ini menuntut sumber acuan dan inspirasi yang kuat: pengetahuan jelas tentang ciptaan
sebagai karya kebijaksanaan Allah yang menyelenggarakan dan kesadaran akan martabat
manusia dan tanggung jawab dalam rencana ciptaan. Dengan memandang wajah Allah,
manusia dapat menerangi wajah bumi dan menjamin keramahan lingkungan bagi manusia
dewasaini dan masa depan. Saya sudah mengingatkan dalam pesan saya untuk Hari
Perdamaian Sedunia 1990 bahwa “indikasi paling mendalam dan serius implikasi moral yang
mendasari masalah ekologis ialah kurangnya hormat terhadap hidup yang jelas dalam
banyak pola pencemaran lingkungan” (No.7; L’Osservatore Romano, edisi Inggris, 18-26
Desember 1989, hlm. 2) Pembelaan hidup dan pengembangan kesehatan, terutama di antara
bangsa-bangsa yang paling miskin dan sedang berkembang, akan sekaligus menjadi tindakan
dan kriteria dasar cakrawala ekologis pada taraf regional dan global. Dalam usaha Anda
untuk memelihara kesehatan lingkungan, semoga Tuhan menerangi dan membantu Anda.
Saya menyerahkan upaya Anda kepada kemurahan-Nya sebagai Bapa, yang kaya akan kasih
bagi setiap ciptaan-Nya, dan saya memberkati Anda sekalian dalam Nama-Nya.

26. 27-06-1997 INTERVENSI OLEH YM. MGR. JEAN L0UIS TAURAN DALAM
SIDANG UMUM PBB TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
Intervention by H.E.Msgr Jean Louis Tauran General Assembly of the United Nations on
Environment
Bapak Ketua,
Para pembicara hari-hari terakhir ini telah menyatakan sejauh mana konsep
lingkungan layak bagi manusia dan pengembangan lestari yang dipersiapkan untuk
kesempatan Pertemuan Puncak di Rio 1992, pada akhirnya memasuki benak kita. Takhta Suci
bahkan lebih bergembira karena Gereja Katolik selalu menandaskan bahwa soal lingkungan
adalah soal manusia, makhluk rohani dan jasmani, penjaga dan penerima sumber daya alam
sebagai hasil kecerdasan dan tekniknya. Berbicara tentang hutan, sumber daya air,
pencemaran udara, air atau tanah dan pemukiman manusia adalah untuk berefleksi tentang
kondisi hidup dan kelangsungan hidup umat manusia. Agenda no. 21 tak mengatakan apa-apa
secara khusus: “Manusia berada di pusat keprihatinan mengenai pengembangan lestari.
Manusia berhak atas lingkungan sehat dan hidup produktif dalam harmoni dengan alam”.
Maka saya berbahagia mendapatkan aspek-aspek itu ada dalam dokumen final yang diberikan
untuk kita pertimbangkan. Tetapi delegasi saya hanya dapat mengulangi reservasi dan
interpretasi yang dikeluarkan Takhta Suci pada konferensi PBB baru-baru ini dan –jangan
dilupakan – yang merupakan bagian utuh dari laporan konferensi itu. Saya memikirkan
146

terutama istilah seperti “genetic health”, “sexual health” dan “family planning” yang kita
temukan lagi dalam dokumen pertemuan kita. Hasil yang diperoleh di Rio –dan bahkan lebih
banyak komitmen mereka– menuntut dari kita kewajiban melindungi alam untuk
membela manusia. Dan kita harus melakukannya secara solider, tanpa mengabaikan kaitan
antara ekologi, ekonomi dan pengembangan yang merata. Salah satu aspek khusus tema ini
dan yang perlu dikemukakan ialah nasib 50 juta orang pengungsi di dunia ini, yang dalam
banyak kasus juga karena lingkungan tak memberi mereka keamanan ekonomis dan
manusiawi. Jangan lupa mereka memiliki hak untuk hidup, ‘habitat’ yang wajar dan sumber
makanan yang stabil. Takhta suci percaya bahwa salah satu cara yang paling sederhana dan
efektif untuk memastikan bahwa wawasan dan resolusi Rio menjadi kenyataan adalah
melalui pendidikan. Dari sejak tahuntahun awal masa kanak-kanak dan permulaan masa
sekolah, melalui lingkungan yang diciptakan, pengajaran Anda dan teladan Anda, para
orangtua dan pendidik dapat melatih orang-orang muda untuk menghargai alam,
menyelamatkan sumber-sumber daya dan dengan demikian mereka ditarik untuk menerima,
untuk berbagi, dan ditarik kepada anugerah ini.

27. 15-08-1997 KATEKISMUS GEREJA KATOLIK 2415-2418 Catechismus Ecclesiae


Catholicae 2415-2418
Pemeliharaan keutuhan ciptaan
2415 Perintah ke-7 menuntut pemeliharaan keutuhan ciptaan. Hewan, dan juga
tumbuh-tumbuhan dan segala hal tak bernyawa yang ada diperuntukkan bagi kesejahteraan
umum umat manusia masa lampau, masa sekarang dan masa mendatang (290). Penggunaan
sumber daya seluruh alam semesta, mineral, tumbuhtumbuhan dan hewan tak boleh
dipisahkan dari pemeliharaan tuntutan moral. Pemberian kuasa oleh Pencipta kepada manusia
atas hal-hal bernyawa dan tak bernyawa tidak mutlak; ia dibatasi perhatian terhadap kualitas
hidup sesama, termasuk generasi masa depan; dituntut hormat religius terhadap keutuhan
ciptaan (291).
2416 Hewan adalah ciptaan Allah. Allah menganugerahinya dengan perhatiannya
dengan penyelenggaraan penuh kasih (293). Juga manusia harus memperlakukan hewan
dengan baik. Orang dapat memikirkan kepekaan para Kudus seperti Fransiskus Assisi atau
Filipus Neri.
2417 Allah menyerahkan kuasa atas hewan kepada manusia. Maka manusia
diperbolehkan menggunakan hewan untuk makanan dan pakaian. Orang boleh
menjinakkannya untuk membantu manusia dalam pekerjaan dan senggang waktu. Bila
147

eksperimen medis dan ilmiah dengan hewan berada dalam batas masuk akal, secara moral
dapat diterima, karena memberi sumbangan mengurus manusia atau menyelamatkan hidup
manusia.
2418 Membiarkan hewan menderita tanpa guna atau menyianyiakan hidupnya
bertentangan dengan martabat manusia. Demikian pula tak pantas untuk hewan
mengeluarkan jumlah amat besar yang lebih baik dipakai untuk meringankan kemelaratan
manusia. Orang boleh mencintai hewan, tetapi kasih sayang yang berlaku hanya untuk
manusia, tak boleh diberikan kepada hewan.

28. 23-11-1997 DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN,


“MENUJU PEMBAGIAN TANAH YANG LEBIH BAIK” 21-31
PC for Justice & Peace, “Towards a better Distribution of the Land” 21-31 Konsekuensi
bagi lingkungan hidup
21. Selain itu ketidakadilan dalam pembagian kepemilikan lahan mengakibatkan
proses tak terpulihkan perusakan lingkungan hidup (15). Kerusakan tanah, penurunan
kesuburannya, bahaya banjir, menurunnya air, pengeringan sungai dan danau serta masalah
ekologis lainnya juga menyumbang dalam proses ini. Kerusakan hutan di daerah luas sering
digalakkan melalui pajak dan kemudahan kredit, untuk memperoleh jalan perluasan lahan
peternakan, atau kegiatan pertambangan atau mengeksploitasi hasil perkayuan, tetapi rencana
perbaikan lingkungan tidak ada, atau tidak dilaksanakan. Kemiskinan juga berkaitan dengan
perusakan lingkungan dalam lingkaran setan ketika petani gurem dirampas oleh tuan tanah
dan kaum miskin tanpa tanah dipaksa mencari lahan baru dan menempati daerah yang secara
struktur rapuh seperti lerenglereng, serta mengikis hutan lindung untuk dijadikan lahan
pertanian.
Bab II. Amanat Kitab Suci dan Gereja tentang kepemilikan tanah dan pengembangan
pertanian Amanat Kitab Suci: perhatian terhadap ciptaan
22. Halaman pertama Kitab Suci membahas penciptaan dunia dan manusia: ”Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). Dengan kata mulia
dilukiskan tugas yang dipercayakan Allah kepada mereka: “Allah memberkati mereka, lalu
Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi
dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burungburung di udara dan atas
segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1: 28). Tugas pertama yang diserahkan Allah
kepada mereka – jelas tugas yang mendasar artinya– menyangkut sikap yang harus mereka
148

miliki terhadap bumi dan semua makhluk hidup. Kata-kata “menaklukkan” dan “menguasai”
merupakan dua konsep yang mudah disalahartikan, bahkan merupakan pembenaran
penguasaan lalim tanpa kendali untuk tidak mengurus bumi dan hasilnya, melainkan
merusaknya demi keuntungannya sendiri. Namun, dalam bahasa alkitabiah itu dipakai untuk
melukiskan kekuasaan raja bijaksana yang mempedulikan kesejahteran bawahannya. Laki-
laki dan perempuan dimaksudkan untuk mengurus ciptaan, agar mengabdi mereka dan
semua, dan tidak hanya sejumlah kecil.
23. Inti hakiki ciptaan ialah menjadi anugerah Allah, anugerah bagi semua ciptaan.
Dan Allah menghendakinya demikian. Maka berlakulah perintah Allah: melestarikan bumi
sebagai anugerah dan berkat dan tidak mengubahnya menjadi sarana kekuasaan atau motif
perpecahan. Hak dan kewajiban manusia menguasasi bumi menyangkut hal bahwa manusia
diciptakan menurut citra Allah; semua orang –dan tak hanya beberapa– mengemban
tanggung jawab atas ciptaan. Di Mesir dan Babilonia hak ini hanya menyangkut segelintir
orang. Tetapi menurut Kitab Suci penguasaan ini milik umat manusia sedemikian rupa
sehingga, dan karenanya semua manusia. Bahkan seluruh umat manusia harus mengemban
tanggung jawab atas ciptaan. Manusia ditempatkan di taman, agar ia mengolahnya dan
menjaganya (bdk. Kej. 2:15) dan menyediakan makan untuk dirinya dari buahnya. Di Mesir
dan Babilonia pekerjaan merupakan keharusan yang keras, yang dibebankan pada manusia
demi kesejahteraan dewa-dewa – yang sebenarnya dimaksudkan untuk kesejahteraan raja,
pejabat, imam dan orang kaya. Sementara, dalam kisah Kitab Suci pekerjaan demi realisasi
diri manusia.
Bumi milik Allah dan Ia menganugerahkannya kepada semua anakNya
24. Warga bangsa Israel mempunyai hak atas tanah yang dilindungi hukum dengan pelbagai
cara. Dekalog menentukan: “..jangan menghasratkan rumahnya, atau ladangnya, atau
hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun
yang dipunyai sesamamu” ( Ul. 5:21). Dapat dikatakan bahwa orang Israel sungguh bebas,
dan merasa diri sebagai warga Israel sepenuhnya, hanya bila ia memiliki sebidang tanahnya
sendiri. Tetapi Perjanjian Lama menekankan bahwa bumi adalah milik Allah dan Allah telah
menyerahkannya kepada semua putra Israel. Maka, itu harus dibagi di antara semua suku
bangsa, marga dan keluarga. Manusia bukanlah penguasa sejati tanahnya, melainkan
pengurusnya. Penguasa sebenarnya ialah Allah. Dalam Kitab Imamat dikatakan: “Tanah
jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan
pendatang bagi-Ku” (Im. 25:23). Di Mesir tanah milik Firaun., dan para petani adalah hamba
dan miliknya. Di Babilonia berlaku struktur feodal. Di sana raja memberi tanah demi
149

kesetiaan dan pengabdian. Hal demikian tak berlaku di Israel. Bumi milik Allah, dan Ia
menganugerahkannya kepada semua anak-anaknya.
25. Daripadanya lahirlah akibat tertentu: Di satu pihak, tak seorang pun boleh merampas
tanah yang dipakai, sebab ia melanggar hak ilahi, bahkan raja pun tak dapat melakukannya,
(16) tetapi di pihak lain, setiap bentuk kepemilikan yang mutlak dan semena-mena, yang
hanya menguntungkan diri sendiri, dilarang: harta benda yang diperuntukkan Allah bagi
semua tak boleh diperlakukan sesukanya.
Kepemilikan tanah menurut Ajaran Sosial Gereja
27. Berlandaskan pada Kitab Suci, Gereja selama abad-abad telah mengembangkan Ajaran
Sosial, dengan menerbitkan dokumendokumen otoritatif dan mendasar yang menggambarkan
kriterianya yang hakiki untuk pertimbangan dan penegasannya, juga orientasi dan ajarannya
untuk membimbing dalam menentukan pilihan.
Peruntukan universal harta benda dan kepemilikan pribadi
28. Dampak dari situasi kacau saat ini menegaskan perlunya terusmenerus mengingatkan
seluruh umat manusia akan prinsip keadilan, terutama prinsip peruntukan universal harta
benda. Mengenai kepemilikan, Ajaran Sosial Gereja mendasarkan etika hubungan antara
manusia dan harta benda dunia menurut pandangan Kitab Suci, bahwa Allah
menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia (GS 69): “Allah telah
memperuntukkan bumi dan segala isinya bagi kepentingan semua orang dan bangsa; maka
dari itu harta benda yang diciptakan ini harus secara wajar terjangkau semua orang;
berpedoman pada keadilan yang dijiwai cinta kasih. Maka prinsip ini selalu harus
diperhatikan”. Hak menggunakan harta benda bumi merupakan hak kodrati primer dengan
penerapan universal, karena merupakan hak setiap manusia. Hak ini tak dapat dilanggar oleh
hak ekonomis lain (MM 69; Pius XII Pesan Pentakosta 13), melainkan harus dijunjung tinggi
dan dipraktikkan melalui hukum dan lembaga-lembaga. ……….
(15) Tentang hubungan antara pemusatan kepemilikan lahan, kemiskinan pedesaan dan
degradasi lingkungan, lihat: Bank Dunia, World Development Report 1990, hal. 71-73; Bank
Dunia, World Development Report 1992, Washington, D.C., hal. 134-138, 149-153; FAO,
Sustainable Development and the Environment, FAO Policies and Actions, Roma 1992.
(16) Kisah tentang kebun anggur Nabot adalah simbolis di sini (bdk. 1Raj. 21).
150

29. 08-01-1998 DEWAN KEPAUSAN DIALOG ANTAR-AGAMA (KARDINAL FR.


ARINZE) ”PESAN UNTUK AKHIR RAMADAN (IDUL FITRI) 1998/1418” Pontifical
Council For inter-religious Dialogue: “Message for the End of Ramadan (‘Id-Al-Fitr)
1998/1418”
4. Harapan memungkinkan kita menangkap kebaikan yang ada dalam dunia kita. Itu adalah
buah dan tanda tindakan ilahi dalam hati manusia. Ada banyak tanda harapan: … perhatian
akan lingkungan, dan sebagainya. Saya ingin di sini menyebut tanda harapan khusus, yang
digaris-bawahi Paus Yohanes Paulus II, yakni dialog antaragama.

30. 19-08-1998 AUDIENSI UMUM


General Audience, Wednesday 19 August 1998
Kosmos diciptakan Allah sebagai kediaman manusia dan panggung petualangan
kebebasannya. Dalam dialog dengan rahmat setiap manusia dipanggil untuk menerima penuh
tanggung jawab anugerah keputraan ilahi dalam Kristus Yesus. Dengan itu dunia ciptaan
memperoleh maknanya yang sejati dalam diri manusia dan untuk manusia. Ia tak dapat
sesukanya menguasai kosmos di mana ia hidup, tetapi dengan akal budi dan dengan sadar ia
harus menyempurnakan karya Pencipta.

31. 08-12-1998 YOHANES PAULUS II, PESAN HARI PERDAMAIAN SEDUNIA


1999, NO.10 John Paul II, Message for the celebration of the World Day of Peace 1999
Tanggung jawab atas lingkungan
10. Pengembangan martabat manusia berkaitan dengan hak atas lingkungan yang sehat,
karena hak ini menyoroti dinamika hubungan antara orang perorangan dan masyarakat.
Badan norma internasional, regional dan nasional tentang lingkungan berangsur- angsur
memberi bentuk yuridis kepadanya. Meskipun demikian tindakan hukum saja tidak cukup.
Bahaya kerugian besar untuk bumi dan lautan, iklim, flora dan fauna menuntut perubahan
mendalam pada gaya hidup khas peradaban modern, terutama di negara-negara kaya. Bahaya
selanjutnya –sekalipun itu kurang drastis– juga tak boleh diabaikan: orang miskin di daerah
pedalaman bisa didorong oleh kebutuhan untuk memanfaatkan sedikit tanah yang mereka
punyai secara berlebihan melampui batas kewajaran. Maka dari itu, harus dimajukan
pendidikan khusus untuk mengajarkan bagaimana memadukan pengolahan tanah dengan rasa
hormat terhadap lingkungan. Masa kini dan masa depan dunia tergantung pada pemeliharaan
ciptaan, karena ada interdependensi tanpa henti antara manusia dan lingkungan mereka.
Menempatkan kesejahteraan manusia di pusat kepedulian terhadap lingkungan merupakan
151

jalan paling aman untuk memelihara ciptaan; karena dengan itu kesadaran akan tanggung
jawab setiap orang terhadap sumber daya alam serta pemanfaatannya yang bijaksana
diperkuat.

32. 22-01-1999 YOHANES PAULUS II, EKSHORTASI APOSTOLIK “ECCLESIA IN


AMERICA” 2
John Paul II, Post-synodal Apostolic Exhortation “Ecclesia in America” 25 Perhatian bagi
lingkungan
25. ”Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej. 1:25). Kata-kata dalam Bab I Kitab
Kejadian ini, menunjukkan makna karya penciptaan ilahi. Pencipta mempercayakan kepada
manusia, mahkota dari seluruh proses penciptaan, pemeliharaan dan perhatian bagi bumi
(bdk. Kej. 2: 15). Daripadanya lahir kewajiban nyata di bidang lingkungan bagi setiap orang.
Pemenuhannya mengandaikan keterbukaan terhadap perspektif etis dan spiritualnya, yang
memampukan mengatasi sikap egois dan “gaya hidup yang mengakibatkan pengurasan
sumber daya alam,” (66). Bahkan di bidang yang dewasa ini juga amat aktual, kerja sama
kaum beriman lebih penting daripada sebelumnya. Diperlukan kerja sama semua orang yang
berkehendak baik dengan instansi legislatif dan pemerintah, untuk menjamin perlindungan
lingkungan yang efektif, karena lingkungan ini dipandang sebagai anugerah Allah. Betapa
banyak penyalahgunaan dan perusakan lingkungan terjadi di banyak daerah di Amerika!
Pikirkan saja emisi gas berbahaya tanpa kontrol atau akan gejala dramatis kebakaran hutan
yang seringkali sengaja diatur oleh orang-orang yang didorong kepentingan egoistis.
Perusakan seperti ini dapat menyebabkan desertifikasi di banyak bagian benua Amerika, yang
secara tak terelakkan mengakibatkan kelaparan dan penderitaan. Hal ini menjadi masalah
yang amat intensif di hutan-hutan Amazon, sebuah wilayah amat luas yang meliputi berbagai
negara: dari Brasilia sampai Guyana, Suriname, Venezuela, Kolumbia, Ekuador, Peru dan
Bolivia (67). Keanekaragaman hayati hutan Amazon merupakan salah satu wilayah alam
yang sangat berharga di dunia, karena ia vital bagi keseimbangan lingkungan hidup seluruh
planet.
……………..
(66) Propositio 36.
(67) Cf. Ibid
152

33. 23-05-1999 DEWAN KEPAUSAN UNTUK BUDAYA, “MENUJU PENDEKATAN


PASTORAL BUDAYA”
Pontifical Council For Culture, Towards a Pastoral Approach to Culture 11 Lingkungan
Hidup, ilmu alam, filsafat dan bioetika
11. Perkembangan ekologi merupakan tanda timbulnya kesadaran baru pada manusia. Tetapi
bagi Gereja itu bukan hal baru: Terang iman menjelaskan makna ciptaan dan relasi manusia
dengan alam. Santo Fransiskus dari Assisi dan Santo Filipus Neri merupakan saksi simbolis
dari penghargaan terhadap alam, yang timbul dari fakta bahwa alam bukan milik umat
manusia, melainkan milik Allah Penciptanya. Allah menyerahkannya kepada manusia untuk
diurus (bdk. Kej. 1:28), agar ia bersikap penuh hormat terhadapnya dan memperoleh dasar
sejati keberadaannya (bdk. Centesimus Annus 38-39).

34. 26-05-1999 INTERVENSI TAKHTA SUCI PADA FORUM EKONOMI KE 7


OSCE DI PRAHA: LINGKUNGAN HIDUP DAN KEAMANAN
Address of the Holy See at the 7th OSCE Economic Forum in Prague: Environment and
Security; a responsibility of all for the future of humanity.
Bapak Ketua yth.
Tema yang dipilih untuk Forum Ekonomi ini mempunyai dua aspek yang, seperti kita
semua sadari, nampaknya ditujukan untuk memainkan peran vital untuk hidup manusia
sampai milenium mendatang: lingkungan dan keamanan. Kedua aspek itu mempunyai ciri
yang sama: tanpa batas. Maka dari itu kita semua dituntut melihat melampaui pembagian
politis, ekonomis dan kultural dan mewajibkan kita semua untuk kerja sama efektif serta
transparan dan dalam solidaritas. Seperti halnya dengan masalah-masalah besar serupa di
dunia dewasa ini, penyebab krisis ekologis dan akibatnya bagi keamanan terutama harus
ditemukan dalam perilaku manusia yang salah: ada kecenderungan untuk mendahulukan
keuntungan ekonomis dan pandangan individualistis tentang tanggung jawab bersama atas
sumber daya alam dan kesejahteraan bersama; Maka dari itu, pendekatan benar yang
bermaksud menghadapi masalah yang terkait dengan krisis ekologis secara global terutama
harus mempunyai proses pendidikan dan formatif sebagai tujuan utamanya yang mampu
menghasilkan perubahan mendalam pada mentalitas setiap orang.
Menurut kata-kata Paus Yohanes Paulus II, dituntut komitmen untuk memajukan
kondisi moral untuk ekologi human yang autentik (Paus Yohanes Paulus II, ensiklik
Centesimus annus, 1 Mei 1991, No. 38). Untuk memupuk ‘ekologi human’ autentik
sedemikian itu perlulah, pertama-tama, meningkatkan kesadaran akan kekuatan-kekuatan
153

dalam masyarakat, sehingga meneguhkan citarasa tanggung jawab moral yang lebih luas
dalam diri setiap orang. Dalam menghadapi perluasan kegiatan manusia yang mengiringi
setiap tahap perkembangan, harus ditambahkan tanggung jawab setiap orang atas lingkungan
dan atas masa depan umat manusia... Karena alasan itu perlulah semua lembaga, termasuk
lembaga agama, melibatkan diri untuk memajukan kesadaran yang lebih mendalam akan
prinsip-prinsip tanggung jawab dan solidaritas bersama yang mengacu pada martabat integral
pribadi manusia serta kualitas hidupnya, yang tak hanya menyangkut kesejahteraan materiil,
melainkan juga dimensi spiritual umat manusia. Dengan berbuat demikian krisis ekologis
dewasa ini dapat juga menjadi peluang pembaruan penghargaan atas kedudukan sejati umat
manusia di dunia dan tanggung jawab kita terhadap para saudara kita dan sejarah.
Terima kasih, Bapak Ketua.

35 12-06-1999 PAUS YOHANES PAULUS II, HOMILI DI ZAMOSK


John Paul II, Address at the Liturgy of the Word, 12 June 1999
3….
Bila hari ini saya berbicara tentang kekudusan dan martabat, saya melakukannya dalam
semangat syukur kepada Allah, yang telah melakukan hal-hal besar itu kepada kita; tetapi
saya melakukannya juga dalam semangat kepedulian atas pelestarian kebaikan dan keindahan
yang diberikan Pencipta. Karena ada bahaya bahwa segala yang memberi kegembiraan
kepada mata dan sukacita kepada roh dapat dirusak. Saya tahu bahwa para Uskup Polandia
telah menyuarakan keprihatinan ini sepuluh tahun yang lalu, dengan mengimbau semua orang
yang berkehendak baik dalam Surat Gembala tentang perlindungan lingkungan. Mereka
menulis bahwa “segala kegiatan manusia, sebagai kegiatan agen yang bertanggung jawab,
mempunyai dimensi moral. Perusakan lingkungan merugikan kebaikan ciptaan yang
diberikan kepada manusia oleh Allah Pencipta sebagai suatu keniscayaan bagi hidup dan
perkembangannya. Kita wajib mempergunakan anugerah ini dengan baik dalam semangat
syukur dan hormat. Kesadaran bahwa anugerah itu diperuntukkan bagi semua orang, bahwa
itu merupakan kesejahteraan bersama, juga menimbulkan kewajiban yang sesuai dalam
kaitannya dengan orang lain. Karena itu kita juga harus sadar bahwa setiap tindakan yang
mengingkari hak Allah atas dunia ini, dan juga hak manusia yang diberikan oleh Allah,
bertentangan dengan perintah kasih. Maka kita harus sadar bahwa bisa ada dosa besar
melawan lingkungan alam, yang menindih hati nurani kita dan yang menuntut tanggung
jawab berat terhadap Allah Pencipta (2 Mei 1989). Dalam membicarakan tanggung jawab di
depan Allah, kita tahu bahwa hal itu bukan hanya apa yang dewasa ini disebut ekologi. Tak
154

cukup hanya mencari penyebab kehancuran dunia dalam industrialisasi yang berlebihan,
penggunaan tak kritis kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam industri dan
pertanian, atau dalam pencarian kekayaan tanpa kendali, tanpa mempedulikan dampak masa
depan dari semua kegiatan itu. Meskipun tak dapat disangkal bahwa kegiatan itu amat
merugikan, mudahlah melihat bahwa penyebabnya terletak lebih mendalam; dalam sikap
manusia sendiri. Rupanya hal yang paling berbahaya bagi ciptaan dan manusia ialah
kurangnya hormat terhadap hukum alam dan hilangnya citarasa nilai hidup. Hukum yang
ditulis Allah di alam dan dapat dibaca oleh akal budi menuntun orang untuk menghormati
rencana Allah, rencana yang dimaksudkan demi kebaikan umat manusia. Hukum ini
menetapkan suatu tatanan intern yang ditemukan manusia dan harus dipeliharanya. Setiap
kegiatan yang bertentangan dengan tatanan ini secara tak terelakkan merugikan manusia
sendiri. Hal ini terjadi bila citarasa nilai kehidupan sendiri dan hidup manusia pada
khususnya, menghilang. Bagaimana alam secara efektif bisa dibela bila dituntut pembenaran
tindakan yang langsung mengenai jantung ciptaan sendiri, yakni hidup manusia? Dapatkah
melawan perusakan lingkungan dengan membiarkan, atas nama kenyamanan dan
kemudahan, pembantaian manusia yang belum lahir dan pembunuhan orang lanjut usia dan
sakit, dan menjalankan, atas nama kemajuan, intervensi yang tak dapat diterima dan bentuk-
bentuk eksperimen pada tahap awal hidup manusia? Bila kebaikan ilmu pengetahuan atau
kepentingan ekonomi didahulukan atas kebaikan pribadi manusia, dan akhirnya seluruh
masyarakat, perusakan lingkungan adalah tanda penghinaan nyata terhadap manusia. Semua
yang dalam hati memperjuangkan kebaikan manusia di dunia ini harus senantiasa memberi
kesaksian tentang fakta bahwa “hormat terhadap hidup, dan terutama martabat pribadi
manusia, merupakan norma pembimbing utama untuk kemajuan ekonomi, industri atau ilmu
pengetahuan” (Pesan Hari Perdamaian Sedunia 1990. No. 7). 4. ...
Keindahan tanah ini membimbing saya untuk menyerukan pelestariannya bagi
generasi mendatang. Jika Anda mencintai tanah air kita, jangan biarkan seruan ini tak
terjawab! Secara khusus saya meminta pada mereka yang telah diserahi tanggung jawab atas
negara ini dan perkembangannya, dan saya mendesak mereka untuk tidak mengabaikan
kewajiban mereka melindunginya terhadap perusakan lingkungan. Biarkan mereka menyusun
program perlindungan lingkungan dan memastikan program tersebut dijalankan dengan tepat!
Terlebih, biarkan mereka melatih orang untuk menunjukkan rasa hormat pada kesejahteraan
bersama, pada hukum alam dan kehidupan! Semoga mereka didukung oleh organisasi-
organisasi yang bekerja untuk perlindungan sumber daya alam! Dalam keluarga dan di
sekolahsekolah harus ada pelatihan menghormati kehidupan, kebaikan dan keindahan. Semua
155

orang yang berkehendak baik harus bekerja sama dalam tugas besar ini. Semua pengikut
Kristus harus meneliti gaya hidup mereka sendiri, untuk memastikan bahwa upaya sah
mencari kesejahteraan tidak menekan suara hati nurani yang menjadi hakim atas apa yang
benar dan apa yang sungguh baik.

36. 29-09-1999 RANCANGAN PERNYATAAN DELEGASI TAKHTA SUCI PADA


SIDANG UMUM IAEA 1999
Draft Statement of the Delegation of the Holy See at the IAEA General Conference
4. Bapak Ketua, keprihatinan besar bidang lain bagi Delegasi saya ialah pencarian dan
pasokan air minum, sumber daya yang amat berharga ini… Diperkirakan bahwa dalam
kondisi yang berlaku, menjelang pertengahan abad mendatang kurang dari 50% penduduk
dunia akan memperoleh akses penuh untuk air minum. Maka sangat mendesaklah
menyediakan pasokan air yang cukup bagi umat manusia....Urgensi pemecahan masalah atas
permintaan sedunia akan air seharusnya tidak diremehkan, karena merupakan prasyarat setiap
pengembangan lestari.
5. Bapak Ketua, berbicara tentang pengembangan lestari dalam konteks ini, harus dicatat
bahwa kegiatan Badan Kerja sama Teknismerupakan sumbangan yang amat efektif untuk
proses pengembangan ini. Sekretariat harus dipuji atas keberhasilan implementasi progam
Kerja sama Teknis, yang bertujuan untuk hasil-hasil yang ramah lingkungan, dan dengan
demikian menjaga keseimbangan ekologi alam yang utuh. Konsep “Model Project” dan
kemajuan yang dicapai melalui pengenalannya di negara-negara penerima akhirnya dapat
mengarah kepada apa yang dimaksudkan Paus Yohanes Paulus II ketika ia mengajukan
istilah “ekologi human”, persyaratan lain untuk pengembangan lestari (bdk. Ensiklik
Centesimus Annus, 1 Mei 1991, no. 38 dst.). Pengembangan lestari harus berjalan seiring
dengan dimensi sosialnya bagi dan bersama orang yang terlibat. Maka, dengan ekologi
human dimaksudkan keseimbangan dalam kelompok masing-masing orang, mulai pada
tataran keluarga, komunitas dan masyarakat sipil. Dengan demikian, kita juga dapat melihat
sumbangan Badan ini untuk “perdamaian, kesehatan dan kesejahteraan”.
Terima kasih, Bapak Ketua, ibu bapak atas perhatian Anda.

37. 04-11-1999 PESAN PAUS YOHANES PAULUS II KEPADA DEWAN KEPAUSAN


KEADILAN DAN PERDAMAIAN PADA KESEMPATAN SIDANG PARIPURNA,
Messagio di Giovanni Paolo II al Pontificio Consiglio della Giustizia e della Pace in
occasione dell”Assemblea Plenaria, 4
156

4. Dalam kesempatan sidang paripurna ini Anda akan memikirkan krisis lingkungan yang
aktual ini dalam cahaya Ajaran Sosial Gereja. Soal lingkungan berkaitan erat dengan soal
sosial penting lain, karena ling-kungan mencakup semua yang mengelilingi kita dan segala
yang menyangkut hidup manusia. Maka dari itu pentinglah menangani soal ini dengan baik.
Dalam hal ini, refleksi atas dasar alkitabiah tentang perhatian pada dunia ciptaan bisa
menjelaskan kewajiban untuk memajukan lingkungan yang sehat dan segar. Aspek krusial
lainnya dari masalah lingkungan ialah pemanfaatan sumber daya bumi. Penelitian masalah
kompleks ini menyentuh inti tatanan masyarakat modern. Bila kita dalam terang Kitab Suci
dan Ajaran Sosial Gereja berpikir tentang lingkungan, mau tak mau kita mengajukan
pertanyaan mengenai gaya hidup kita, yang dipromosikan oleh masyarakat modern, dan
terutama pertanyaan soal pembagian tak merata kebaikan kemajuan. Dewan Kepausan akan
memberikan pelayanan berharga kepada Gereja dan melalui Gereja kepada seluruh umat
manusia, seraya memajukan pemahaman yang lebih mendalam akan kewajiban untuk
bertindak supaya manusia, berdasarkan keadilan dan kesetaraan yang lebih besar, berbagi
sumber daya ciptaan Allah.

38. 06-11-1999 YOHANES PAULUS II, ADHORTASI APOSTOLIK “ECCLESIA IN


ASIA” 41
Post-Synodal Apostolic Exhortation “Ecclesia in Asia” 41
LINGKUNGAN HIDUP
41. Bila keprihatinan akan kemajuan ekonomi dan teknologi tak disertai keprihatinan akan
keseimbangan ekosistem, bumi kita rentan terkena kerusakan lingkungan yang serius, dengan
akibat kerugian bagi manusia. Tiadanya hormat terhadap lingkungan akan terus berlangsung
selama bumi dan potensinya dipandang hanya sebagai objek penggunaan langsung dan
konsumsi, dimanipulasi oleh keinginan tak terkendali demi laba (200). Adalah kewajiban
kaum kristiani dan semua orang yang memandang Allah sebagai Pencipta untuk melindungi
lingkungan dengan memulihkan citarasa hormat bagi keseluruhan ciptaan Allah. Adalah
kehendak Pencipta bahwa manusia harus memperlakukan alam tidak seperti penguras yang
kejam, melainkan sebagai pengurus yang cerdas dan penuh tanggung jawab (201). Para Bapa
Sinode secara khusus mengajak supaya ada citarasa tanggung jawab lebih besar di kalangan
pemimpin bangsa, legislator, pebisnis dan semua orang yang langsung terlibat dalam
manajemen sumber daya bumi (202). Mereka menggarisbawahi perlunya mendidik orang,
terutama kaum muda, dalam tanggung jawab atas lingkungan, dengan melatih mereka dalam
157

pemeliharaan atas ciptaan yang dipercayakan Allah kepada umat manusia. Perlindungan
lingkungan bukanlah melulu soal teknis; hal itu terutama dan di atas segalanya adalah soal
etis. Semua orang mengemban kewajiban moral untuk memperhatikan lingkungan, tak hanya
demi kepentingan diri sendiri, melainkan juga demi kebaikan generasi masa depan. Akhir
kata, baiklah diingat bahwa dalam mengajak kaum kristiani untuk bekerja dan berkorban
dalam pengabdian demi pengembangan manusia, para Bapa Sinode melukiskan beberapa
keyakinan inti tradisi Kitab Suci dan Gereja. Israel kuno menekankan perjanjian tak
terputuskan antara ibadat terhadap Allah dan perawatan kaum lemah, yang dalam Kitab Suci
mereka diwakili oleh “janda, orang asing dan yatim-piatu” (bdk. Kel. 22:21- 22; Ul. 10:18;
17: 19), yang dalam masyarakat di zaman itu paling terancam oleh ketidakadilan. Dalam
Kitab Nabi-nabi kita dengar seruan menuntut keadilan, hak menata masyarakat yang perlu
juga untuk ibadat sejati kepada Allah (bdk. Yes. 1:10-17; Ams. 5:21-24). Dalam imbauan
Bapa Sinode kita mendengar gema para nabi yang dipenuhi Roh Allah. Yang menghendaki
“kerahiman, bukan korban” (Hos. 6:6). Yesus membuat kata-kata itu menjadi milik-Nya
(bdk. Mat. 9:13). Dan hal itu juga berlaku bagi para Kudus pada setiap zaman dan setiap
tempat. Pertimbangkanlah kata-kata SantoYohanes Krisostomus: “Apakah kamu mau
menghormati tubuh Kristus? Maka jangan menyangkalnya bila Ia telanjang. Jangan
menghormati-Nya di kenisah, hanya kemudian mengabaikan-Nya ketika Ia kedinginan dan
telanjang di luar. Ia yang berkata: “Inilah Tubuh-Ku” adalah sama dengan orang yang
mengatakan: “Kamu melihat Aku lapar dan kamu tidak memberi roti kepada-Ku... Apa
gunanya meja ekaristi memikul piala emas terlalu berat, bila Kristus wafat karena lapar?
Mulailah dengan memuaskan rasa lapar-Nya, lalu dengan sisanya kamu boleh juga menghias
altar (203). Dalam imbauan Sinode untuk pengembangan manusia dan keadilan dalam
perkara kemanusiaan, kita mendengar suara yang lama dan baru. Lama karena muncul dari
kedalaman tradisi kristiani yang mencari harmoni mendalam yang dimaksudkan Pencipta;
baru karena menyapa situasi langsung orang Asia yang tak terbilang jumlahnya dewasa ini.
………………….
(200) Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis (4 Maret1979), 15: AAS 71
(1979), 287.
(201) Bdk. ibid.
(202) Bdk. Propositio 47.
(203) Homili tentang Injil Matius, 50, 3-4: PG 58, 508-509.
158

39. 18-11-1999 DEWAN KEPAUSAN KEADILAN & PERDAMAIAN (DIARMUID


MARTIN), “PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN DAN PERJUANGAN
MENGENTASKAN KEMISKINAN” 10
Pontifical Council for Justice and Peace, “Trade, development & the fight against poverty”
10

11. Perdagangan dan Lingkungan Hidup.


Latar belakang:
Pada tahun-tahun terakhir ini berkembang keprihatinan terhadap isu lingkungan hidup. Hal
ini membuka debat tentang hubungan antara negosiasi perdagangan multilateral dan soal
memajukan pengembangan lestari. Seperti kata Paus Yohanes Paulus II, “Krisis ekologis
mengungkapkan kebutuhan moral mendesak bagi solidaritas baru, terutama antara bangsa
yang sedang berkembang dan negara industri yang sangat maju” (Pesan untuk perayaan
Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 1990 n.10).

Usul:
Negara yang sedang berkembang harus dibantu dalam usaha menerapkan kebijakan
perlindungan lingkungan hidup. Maka usul harus menyangkut penghapusan pembatasan pada
perdagangan barang dan jasa lingkungan untuk memajukan peralihan teknologi lingkungan
dengan biaya lebih rendah untuk negara yang sedang berkembang.... Meski demikian,
menetapkan standar lingkungan internasional, bukanlah tugas WTO, apalagi, penyalahgunaan
langkah-langkah perdagangan unilateral yang ditujukan untuk penegakan standar lingkungan
nasional bisa berdampak proteksionis berbahaya yang akan merugikan perekonomian negara-
negara kurang berkembang. Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian mengundang
anggota WTO untuk memperkuat kerja sama antara WTO dan organisasi lingkungan
internasional, seperti UNEP dan organisasi non-pemerintah. Cara yang paling efektif untuk
menangani masalah lingkungan, yang menurut sifatnya tidak kenal batas, adalah kesimpulan
dari perjanjian multilateral lingkungan (MEA).

40. 26-01-2000 AUDIENSI UMUM


Udienza Generale, Mercoledì, 26 gennaio 2000
Puji syukur bagi Allah Tritunggal dalam ciptaan Saudara-saudara yang terkasih!
159

1.”Betapa eloklah segala ciptaan Tuhan, tetapi hanya sebagai bunga api sajalah apa yang
nampak (…) tidak ada sesuatu pun yang diciptakan-Nya kurang lengkap (…) siapa gerangan
pernah kenyang-kenyang memandang kemuliaan Tuhan? (…) Masih banyak dapat kami
katakan, tapi tidak akan sampai berakhir dan ringkasan segala perkataan ialah: ”Dialah
segala-galanya. Bagaimana gerangan kami mampu memuliakan Dia, sebab Dia adalah Yang
Besar melampaui segala buatan-Nya” (Sir. 42:22,24- 25; 43:27-28). Dengan kata-kata penuh
kekaguman ini guru alkitabiah Yesus bin Sirakh menyikapi keindahan ciptaan dan memuji
Allah. Ini adalah cuplikan kecil dari rentetan panjang renungan dan meditasi yang meresapi
seluruh Kitab Suci, yang berawal dari baris-baris pertama Kitab Kejadian, ketika ciptaan
timbul dari ketiadaan apa pun, yang diadakan oleh Sabda Allah Pencipta. 5. ... Alam menjadi
injil yang berbicara tentang Allah kepada kita: “Sebab orang dapat mengenal Khalik dengan
membandingbandingkan kebesaran dan keindahan ciptaan-Nya (Keb. 13:5). ... Bila alam tak
dirusak dan direndahkan, ia menjadi saudara manusia lagi.

41. 11-11-2000 PAUS YOHANES PAULUS II, AMANAT YUBILEUM DUNIA


PERTANIAN
Address of John Paul II, Jubilee of the Agricultural World
Saudara-saudari dari dunia pertanian, Anda dipercaya dengan tugas untuk membuat bumi
berbuah. Suatu tugas terpenting yang dewasa ini semakin tampak kebutuhannya yang
mendesak. Bidang kerja yang Anda tangani dalam ilmu ekonomi biasanya disebut “sektor
primer”. Pada tataran dunia ekonomi, sektor Anda sangat beragam dibandingkan dengan
yang lain, menurut benua dan bangsa. Tetapi apa pun harga dalam istilah ekonomi, citarasa
baik yang sederhana cukup untuk menyoroti “keunggulan”nya yang riil sehubungan dengan
kebutuhan vital manusia. Bila sektor ini diremehkan atau diperlakukan salah, akan berakibat
serius bagi kehidupan, kesehatan dan keseimbangan ekologis serta biasanya sulit diperbaiki,
setidaknya dalam jangka pendek.
4. Dengan sendirinya Gereja tak dapat memberi solusi “teknis”. Sumbangannya berada pada
tataran kesaksian Injil dan terungkap dalam menawarkan nilai rohani yang memberi makna
kepada hidup dan orientasi untuk keputusan konkret, termasuk pada taraf kerja dan ekonomi.
Bila orang melihat bumi dan mereka yang mengolahnya, maka nilai terpenting yang
dipertaruhkan ialah prinsip yang menghubungkan bumi kembali ke Penciptanya. Bumi milik
Allah! Maka ia harus diperlakukan menurut hukum-Nya. Bila sehubungan dengan sumber
daya alam, terutama di bawah tekanan industrialisasi, telah merajalela budaya “kekuasaan”
tanpa tanggung jawab dengan akibat parah untuk lingkungan, maka hal itu tentu saja tak
160

sesuai dengan rencana Allah. “Penuhilah bumi dan taklukanlah itu, dan berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara: (Kej. 1:28). Kata-kata terkenal dari Kitab
Kejadian ini menyerahkan bumi kepada manusia untuk digunakan dan tidak untuk
disalahgunakan. Ini tak berarti bahwa manusia boleh sesukanya berkuasa atas bumi, manusia
justru dijadikan “rekan kerja” Pencipta. Itu tugas yang patut dikagumi, tetapi juga
menunjukkan batas jelas, yang tak boleh dilanggar tanpa hukuman,.. Dalam produksi
pertanian sendiri prinsip ini harus diingat bilamana muncul soal kemajuannya melalui
penerapan bioteknologi, yang tak dapat dievaluasi hanya berdasarkan kepentingan ekonomi
langsung. Ia harus diserahkan sebelumnya untuk pemeriksaan ilmiah yang ketat dan etis,
untuk menghindarkannya dari menjadi bencana bagi kesehatan manusia dan masa depan
bumi.

42. 12-11-2000 PAUS YOHANES PAULUS II, HOMILI YUBILEUM DUNIA


PERTANIAN
Homily of John Paul II at the Jubilee of the Agricultural World
Budaya dunia pertanian selalu ditandai dengan resiko yang akan terjadi pada panenan
karena kesalahan iklim yang tak terduga. Namun demikian, beban tradisional lainnya
seringkali terjadi karena kelalaian manusia. Kegiatan pertanian masa kini harus
memperhitungkan akibat industrialisasi dan perkembangan wilayah perkotaan yang tak selalu
teratur, dengan gejala pencemaran udara dan gangguan ekologi, dengan pembuangan limbah
beracun dan pembabatan hutan…..Bila dunia teknologi yang paling canggih tak berdamai
dengan bahasa alam yang sederhana dalam keseimbangan yang sehat, hidup manusia akan
menghadapi bahaya yang selalu makin besar, dan sekarang kita sudah melihat gejala-gejala
awal yang meresahkan.

43. 17-01-2001 YOHANES PAULUS II, AUDIENSI UMUM: KOMITMEN UNTUK


MENGHINDARKAN BENCANA EKOLOGIS (MZM. 148:15)

Udienza Generale: “L’impegno per scongiurare la catastrofe ecologica (Sal 148:15)

2. Perbedaan antara dua rencana dengan jelas muncul dalam panggilan manusia, menurut
Injil, dan dalam konsekuensi dari ketidaksetiaannya pada panggilan ini. Manusia menerima
perutusan untuk menguasai ciptaan supaya membuat seluruh potensinya berkembang. Inilah
pendelegasian yang diberikan oleh Raja ilahi pada awal mula penciptaan...
161

3. Tetapi penguasaan manusia tidaklah “mutlak, tetapi ministerial: itulah refleksi


sesungguhnya kekuasaan Allah yang tiada taranya. Maka manusia harus melaksanakannya
dengan kebijaksanaan dan kasih, dengan berbagi dalam kebijaksanaan dan kasih Allah yang
tanpa batas (Evangelium vitae 52),… Sayangnya, kalau kita menelusuri wilayah planet kita,
kita segera melihat bahwa umat manusia telah mengecewakan harapan Allah. Manusia,
khususnya dewasa ini, tanpa ragu telah menghancurkan dataran berpohon dan lembah,
mencemarkan air, merusak habitat bumi, membuat udara tak dapat dihirup, mengacaukan
sistem hidrogeologi dan atmosfer, mengubah daerah subur menjadi padang pasir dan
melakukan industrialisasi tanpa kendali, memburukkan “taman”–menggunakan gambaran
Dante Alighieri (Paradiso, XXII, 151)– yang adalah bumi, kediaman kita.
4. Maka, kita harus memberanikan dan mendukung “pertobatan ekologis” yang pada
dasawara-dasawarsa yang baru lalu telah membuat manusia lebih peka terhadap bencana.
Manusia bukan lagi “wakil” Pencipta, melainkan penguasa otonom, yang akhirnya mengerti
bahwa ia harus berhenti di pinggir jurang. “Tanda baik lain ialah makin tumbuhnya perhatian
terhadap kualitas hidup dan ekologi, terutama pada masyarakat yang lebih maju, di mana
harapan orang tak lagi terpusat pada soal kelangsungan hidup, melainkan lebih pada usaha
untuk perbaikan kondisi hidup secara menyeluruh” (Evangelium vitae 27). Maka dari itu
yang dipersoalkan bukan hanya ekologi “fisik” yang berusaha memelihara kediaman pelbagai
makhluk hidup, melainkan juga ekologi “manusia” yang membuat hidup ciptaan lebih
bermartabat, dengan melindungi hal fundamental hidup dalam segala manifestasinya dan
dengan mempersiapkan bagi generasi mendatang lingkungan yang lebih sesuai dengan
rencana Pencipta.

5. Dalam harmoni dengan alam dan sesama manusia yang ditemukan kembali ini, manusia
sekali lagi berjalan di taman ciptaan, berusaha membuat harta benda bumi tersedia bagi
semua dan tidak hanya untuk beberapa orang dengan hak istimewa, seperti disarankan Yobel
Kitab Suci (bdk. Im. 25:8-13, 23). Di antara hal-hal yang mengagumkan kita temukan suara
Pencipta, yang disampaikan langit dan bumi, siang dan malam: bahasa “tidak ada berita dan
tidak ada kata, suara mereka tak terdengar” (bdk. Mzm. 19:2-5).

44. 29-06-2001 PEDOMAN REKSA PASTORAL TURISME


Pontifical Council for Migrants, Guidelines for the pastoral care of tourism

15. Sejarah keselamatan mulai dengan halaman-halaman Kitab Kejadian. Pada awalnya,
tindakan kasih dan kebijaksanaan pertama Allah memuncak dalam penciptaan laki-laki dan
162

perempuan menurut “citra dan keserupaan-Nya” (Kej. 1: 26). Citra dan keserupaan menurut
kasih ilahi itu sejak semula telah dinyatakan sebagai daya cipta. Laki-laki dan perempuan
diundang untuk kreativitas manusiawi yang harus mengakui sesama manusia dalam kasih dan
membuat bumi “layak dihuni”. Citra dan keserupaan ini juga ada dalam kebutuhan akan
istirahat, yang merayakan kasih yang menjelma dalam keindahan ciptaan. Ciptaan adalah
anugerah pertama yang diberikan kepada manusia “untuk mengusahakan dan
memeliharanya” (Kej 2:15). Dalam perutusannya manusia harus mempertimbangkan
terutama bahwa “asal-usulnya dari Allah, kosmos membawa jejak kebaikan-Nya. Dunia ini
indah, mendorong kita untuk mengagumi dan menikmatinya, tetapi juga untuk mengusahakan
dan mengembangkannya (14). Perutusan ini juga berarti mengenal dan mengalami keaneka-
ragaman ciptaan (bdk. Sir. 42:24) seperti dilukiskan oleh kesaksian pejalan alkitabiah:
“Orang yang banyak perjalanannya, banyak pula pengetahuannya, dan yang banyak
pengalamannya mengucapkan pengertian. Orang yang tidak berpengalaman hanya
mengetahui sedikit, sedangkan orang yang banyak perjalanannya mengumpulkan kecerdikan
besar. Banyaklah yang telah kulihat dalam segala perjalananku, dan aku mengerti lebih
banyak daripada dapat kukatakan. Kerapkali aku di dalam bahaya maut, tetapi diselamatkan
daripadanya berkat pengalamanku itu” (Sir. 34:9-12). Ciptaan diberikan kepada manusia
sebagai sumber penghidupannya dan sarana pengembangan hidup yang bermartabat, di mana
semua anggota keluarga umat manusia harus berbagi…

26... Masalah ekologi, yang berkaitan dengan pariwisata secara sangat sensitif, merupakan
aspek yang harus sungguh dipertimbangkan dalam memajukan kegiatan pariwisata. Untuk
menanggapi “masalah moral” (40) yang ditegaskan oleh krisis ekologis dewasa ini, perlulah
mendorong prakarsa-prakarsa untuk menghormati dampak lingkungan dan menjaga prioritas
masyarakat lokal, bahkan bila itu harus membatasi kegiatan pariwisata. Segala upaya yang
ditujukan untuk menjadikan kaum kristiani bertanggung jawab terhadap gaya hidup ugahari
dengan solidaritas dalam perjalanan mereka ke negara-negara berkembang akan sia-sia jika
penyelenggara tur dan yang memajukannya tidak dibimbing oleh kepekaan yang wajar.
………….
[14]Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Dies Domini (31 Mei 1998), 10.
[40] Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia 1990, 15
163

45. 14-09-2001 INTERVENSI KARDINAL ANGELO SODANO PADA CONVEGNO


NAZIONALE DEI
Intervento del Cardinale Angelo Sodano al XXXII Convegno Nazionale dei Consiglieri
Ecclesiastici della Coldiretti

Saudara-saudara terkasih dalam imamat. Kasih bersama bagi orang-orang di tempat ini
menghimpun Anda dalam Pertemuan ini untuk bertukar pengalaman tentang karya kerasulan
Anda dan studi mendalam tentang isu yang hangat, apa hubungan antara ekologi dan etika.

2. Pandangan ke masa depan Masalah-masalah baru muncul di hadapan masyarakat kita.


Pada hari ini Anda mengajukan soal aktual: hubungan antara ekologi dan etika. Dan laporan
hari ini yang menyoroti masalah berat dan delikat, supaya diajukan dengan baik serta dibawa
kepada pemecahan, pertama-tama perlu diterangi oleh visi kristiani tentang hidup yang tuntas
dan benar.

3. Rumah bersama

Kita harus memikirkan, bila kita merencanakan, tugas manusia dewasa ini untuk menjaga
rumah bersama ini. Rumah bersama ini terancam oleh resiko baru yang berasal dari
kekacauan dan penyalahgunaan yang didorong oleh keegoisan, kadang-kadang bersama-sama
dengan kekuatan teknologi dan ekonomi, yang mampu menyebabkan kerusakan serius seperti
polusi, desertifikasi, kerusakan yang tak bisa diperbaiki, risiko terhadap hidup dan kesehatan
seluruh penduduk dan ancaman bagi sebagian besar bumi. Perlu dan mendesak adanya
citarasa keadilan dan kekuatan solidaritas dengan dimensi baru tentang dunia global untuk
mencegah dampak buruk ini, tidak hanya bagi manusia zaman ini, melainkan juga untuk
generasi mendatang dengan menerapkan pengembangan yang baik untuk semua orang. Juga
sumber-sumber baru ilmu pengetahuan yang diterapkan pada teknologi binatang dan tanaman
yang baru-baru ini dipertimbangkan oleh Dewan Kepausan untuk Hidup, harus diatur dan
digunakan sehingga bermanfaat untuk menolong melawan kemiskinan dan faktor-faktor
polusi, meningkatkan produksi makanan yang dibutuhkan terutama oleh wilayah-wilayah
miskin di dunia, menghindari –dengan kriteria tegas dan kehati-hatian– resiko terhadap
kesehatan manusia dan memperhatikkesejahteraan dan konservasi keanekaragaman hayati
untuk kemaslahatan orang masa kini dan generasi mendatang dan juga untuk keindahan alam
semesta serta keseimbangan ekosistem. Seperti halnya sumber daya lain yang berasal dari
ilmu pengetahuan dan kepandaian manusia, bioteknologi seharusnya tidak memberikan
pengaruh buruk, melainkan dimanfaatkan demi kesejahteraan umat manusia. Negara-negara
164

industri baru dan komunitas internasional harus memakai legislasi yang memadai terhadap
tahap baru hukum, yang disebut ‘hukum alam’, terutama untuk melindungi hidup manusia
dan melestarikan biosfer.

46. 22-11-2001 YOHANES PAULUS II, ADHORTASI APOSTOLIK “ECCLESIA IN


OCEANIA” 31
John Paul II, Post-synodal Apostolic Exhortation “Ecclesia in Oceania” 31
Lingkungan Hidup
31. Oseania merupakan bagian dunia dengan keindahan alam yang besar, dan berhasil
memelihara daerah yang tak tercemarkan. Daerah itu masih menawarkan kepada penduduk
pribumi tempat untuk hidup dalam harmoni dengan alam dan sesama manusia (108). Karena
ciptaan dipercayakan kepada pemeliharaan manusia, alam bukan hanya sumber daya untuk
dieksploitasi, melainkan juga realitas untuk dihormati dan bahkan dijunjung sebagai anugerah
dan kepercayaan Allah. Adalah tugas manusia untuk memperhatikan, melestarikan dan
memelihara kekayaan ciptaan. Para Bapa Sinode berseru kepada orang-orang Oseania untuk
selalu bersorak-sorai dalam kemuliaan ciptaan dalam semangat syukur kepada Pencipta
Tetapi keindahan alami Oseania tak luput dari kebuasan eksploitasi oleh manusia. Para Bapa
Sinode berseru kepada Pemerintah dan bangsa Oseania untuk melindungi lingkungan yang
berharga itu untuk generasi dewasa ini dan yang akan datang (109). Adalah tanggung jawab
khusus mereka untuk atas nama seluruh umat manusia menerima tanggung jawab atas
pemeliharaan Lautan Pasifik yang memuat separuh dari seluruh persediaan air bumi.
Kesehatan lanjut dari lautan ini dan lautan lain adalah krusial untuk kesejahteraan bangsa-
bangsa bukan hanya di Oseania, melainkan juga di setiap bagian dunia. Sumber daya alam
Kepulauan Oseania perlu dilindungi terhadap kebijakan berbahaya dari beberapa negara
industri dan perusahaan transnasional yang makin kuat, yang dapat menimbulkan perusakan
hutan, pencemaran tanah, polusi sungai oleh tambang, penangkapan ikan berlebihan pada
spesies yang menguntungkan, pencemaran area penangkapan ikan dengan limbah industri
dan nuklir. Pembuangan limbah nuklir di daerah tersebut merupakan bahaya tambahan bagi
kesehatan penduduk pribumi. Namun juga penting untuk mengenali bahwa industri bisa
membawa manfaat besar bila dilakukan dengan hormat terhadap hak-hak dan budaya
penduduk setempat serta terhadap keutuhan lingkungan.…………….

(108)Bdk. Propositio 19.


(109) Bdk. Ibid
165

47. 28-11-2001 INTERVENSI TAKHTA SUCI PADA PBB TENTANG ITEM 98F–
LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGEMBANGAN LESTARI: MELINDUNGI IKLIM
GLOBAL UNTUK GENERASI UMAT MANUSIA KINI DAN MENDATANG
Intervention by the Holy See at the United Nations on Item 98F- “Environment and
sustainable development: Protecting of global climate for present and future generations of
mankind”

Tetapi kemudian disadari bahwa umat manusia yang sama yang memahami kekuatan alam
telah melupakan satu daripadanya: umat manusia sendiri telah menjadi kekuatan alam yang
begitu dahsyat sehingga mampu mengubah dunia kita berabad-abad mendatang. Kekuatan ini
telah mengakibatkan efek rumah kaca dan masyarakat ilmiah kini sepakat akan implikasi
gejala yang diakibatkan manusia ini. Sesungguhnya, “ada bukti baru dan lebih kuat bahwa
kebanyakan pemanasan yang diamati lebih dari 50 tahun terakhir ini diakibatkan oleh
kegiatan manusia” dan bahwa perubahan mendatang akan mengenai semua aspek
kesejahteraan lingkungan dan sosial, terutama kaum miskin, kaum lemah dan generasi yang
masih akan lahir. (PPCC “Climate Change 2001, The Scientific Basis”, 2001).

Bapak Ketua,

Sejarah umat manusia ditandai pelbagai revolusi… Pemanasan global, nama populernya,
berukuran global. Tiadabatas, tiada bangsa, tiada pembagian budaya. Ia adalah penyeimbang
besar dengan konsekuensi negatif. Tanggapan atas gejala seperti itu harus mencerminkan
interdependensi dan tanggung jawab bersama kita atas masa kini dan masa depan planet kita,
seraya memperhitungkan peran penting yang dapat dimainkan oleh keutamaan kearifan
dalam membahas perubahan iklim… (Para Uskup AS: Global Climate Change: A Plea for
Dialogue, Prudence and the Common Good, Juni 2001).

Bapak Ketua,

Setelah Pesan Angelus-nya, sehari menjelang Konferensi Rio tentang Lingkungan dan
Pengembangan, Paus Yohanes Paulus II berbagi pikiran yang kini masih relevan dan
terpenting sementara kita mempersiapkan Pertemuan Puncak tentang Pengembangan Lestari,
yang akan diselenggarakan di Johannesburg, September 2002. “Pertemuan penting ini –
katanya– bertujuan mempelajari secara mendalam relasi antara perlindungan lingkungan dan
pengembangan bangsa-bangsa. Ini adalah masalah yang pada akarnya mempunyai dimensi
etis yang mendalam, dan yang karenanya melibatkan pribadi manusia, pusat ciptaan, dengan
166

hak kebebasan yang berasal dari martabatnya yang diciptakan dalam citra Allah dan dengan
kewajiban yang dipunyai setiap orang untuk generasi masa depan”. “Saya mengundang
semua untuk berdoa, lanjutnya, bersama saya agar para perwakilan tinggi pelbagai negara
dunia,… akan bijaksana dalam pertimbangan mereka dan akan mengetahui bagaimana
menunjukkan arah kemanusiaan di sepanjang jalan solidaritas dengan umat manusia dan
tanggung jawab dalam komitmen bersama untuk melindungi bumi yang diberikan Allah
kepada kita” (Paus Yohanes Paulus II, Pesan sebelum Angelus di lapangan San Pietro, 31
Mei 1992)

48. 21-05-2002 INTERVENSI YANG MULIA MGR. PIERO MONNI PENGAMAT


TETAP TAKHTA SUCI PADA PERTEMUAN PUNCAK EKOWISATA

Intervention de S.Exc. Mgr. Piero Monni, Observateur Saint Siege lors du Sommet Mondial
sur l’ecotourisme

Ada banyak keterjalinan antara ekowisata dan pengembangan lestari, yang seperti Anda
ketahui, berlandaskan pada gagasan yang mengaitkan bersama-sama tiga dimensi
pengembangan: ekonomis, sosial dan ekologis. Takhta Suci pada bagiannya juga ingin
memberi sumbangan kepada debat ini, dengan menunjukkan masing-masing prinsip dan nilai
yang ada, atau seharusnya, menjadi dasar ekowisata. Yang terakhir ini tak boleh membatasi
diri dengan mempertemukan para wisatawan dengan alam yang tak tercemarkan atau
masyarakat pedesaan; ia harus juga menjadi sarana konkret untuk memelihara warisan alam
dan terutama tradisi kultural, spiritual dan religius. Kita ingat akan prinsip pertama yang
diambil oleh Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan hidup dan Pengembangan, yakni bahwa
“manusia berada di pusat perhatian untuk pengembangan lestari”. Hal ini berarti bahwa demi
perkembangan ekowisata, adalah keharusan untuk menegaskan sifat sentral manusia sebagai
titik acuan. Pendekatan semacam ini pasti mensyaratkan pembahasan dan pengorganisasian
kembali sistem operasional yang berusaha mencapai hasil ekonomis dan finansial langsung
dengan mengorbankan ekowisata lestari, yang memerlukan pemeliharaan warisan budaya
bersama. Ekowisata sesungguhnya menawarkan kesempatan untuk tidak hanya berfokus pada
prakarsa bisnis, melainkan memelihara nilai-nilai manusiawi, kultural, spiritual, dengan
dukungan semua pihak yang terkait…
167

49. 22-05-2002 DK KEADILAN & PERDAMAIAN, CATATAN TENTANG


PERAYAAN HARI SEDUNIAKEANEKARAGAMAN HAYATI

Note on the celebration of the World Day of Biodiversity

Hari Keanekaragaman Hayati tahun ini, yang dirayakan pada 22 Mei, diperuntukkan bagi
tema keanekaragaman hayati hutan. Tema ini secara global penting dan merupakan tema
yang cocok untuk peringatan tahun ini, karena Pertemuan Puncak Pengembangan Lestari
mendekat. Maka, hari keanekaragaman hayati sedunia ini mudah-mudahan membantu
menarik perhatian kita kepada kekayaan hutan kita yang luas dan besar, yang dewasa ini
terlalu banyak daripadanya rupanya sedang terancam.... Pengelolaan yang salah dan
eksploitasi berlebihan menguras banyak sumber daya hutan, terutama yang ada di hutan
tropis yang menjadi rumah bagi sebagian besar spesies hewan dan tumbuhan dan berisi
biomassa terbesar di planet ini. Sesungguhnya, banyak kerugian ini diakibatkan oleh
masalah-masalah politik, sosial dan ekonomi yang dihadapi terutama oleh negara-negara
berkembang. Orang-orang miskin dan tak bertanah seringkali tak memiliki jalan lain kecuali
mengambil dan memanfaatkan kayu bakar untuk memasak dan pemanas. Pemakaian yang
berlebihan ini bisa menimbulkan kerusakan hutan dan desertifikasi. Beberapa negara yang
sedang berkembang menyadari bahwa pemberian izin akses ke hutan-hutan tropis mereka
adalah jalan yang cepat dan mudah menuju sumber-sumber keuangan yang dibutuhkan.
Realitas tekanan ekonomi ini menunjukkan bahwa solusi melindungi keanekaragaman hayati
hutan ini terletak pada penghapusan kemiskinan absolut dan penyediaan kesempatan yang
lebih besar kepada kaum miskin di dunia...

50. 10-06-2002 DEKLARASI BERSAMA YOHANES PAULUS II & PATRIARK


EKUMENIS Y.M. BARTOLOMEUS I

Common Declaration on Environmental ethics signed by the Holy Father and the Ecumenical
Patriarch His Holiness Bartholomew

I...Kita juga prihatin akan konsekuensi negatif bagi umat manusia dan semua ciptaan sebagai
akibat dari degradasi sejumlah sumber daya alam mendasar seperti air, udara dan tanah, yang
disebabkan oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang tidak mengenal dan tidak
memperhitungkan batas-batasnya. Allah yang Mahakuasa memikirkan sebuah dunia
keindahan dan harmoni, dan Ia menciptakannya, membuat setiap bagian menjadi ungkapan
168

kebebasan, kebijaksanaan dan kasih-Nya (bdk. Kej. 1:1- 25). Pada pusat seluruh ciptaan Ia
menempatkan kita manusia, dengan martabat manusia yang tak dapat ditiadakan. Meskipun
kita mempunyai banyak keserupaan dan kebersamaan dengan makhluk-makhluk lain, Allah
yang Mahakuasa bertindak lebih jauh dengan kita dan memberi kita jiwa yang tak dapat mati,
sumber kesadaran diri dan kebebasan, bekal yang membuat kita menjadi citra dan
keserupaan-Nya (bdk. Kej. 1:26-31:2-7). Ditandai keserupaan itu kita telah ditempatkan
Allah di dunia untuk bekerja sama dengan-Nya dalam makin mewujudkan tujuan ilahi bagi
ciptaan. Pada awal sejarah, manusia berdosa karena tidak taat kepada Allah dan menolak
rencana-Nya untuk ciptaan. Di antara akibat dosa pertama ini ialah penghancuran harmoni
asli ciptaan. Bila kita dengan saksama memeriksa krisis sosial dan lingkungan hidup yang
dihadapi komunitas dunia, kita harus menyimpulkan bahwa kita masih mengkhianati perintah
yang diberikan Allah kepada kita: menjadi wakil-Nya, yang dipanggil untuk bekerja sama
dengan Allah menjaga ciptaan dalam kekudusan dan kebijaksanaan. Allah tidak
meninggalkan dunia. Adalah rencana-Nya dan harapan kita bahwa itu akan diwujudkan
melalui kerja sama kita dalam memulihkan harmoni aslinya. Di zaman kita sendiri kita
menjadi saksi pertumbuhan kesadaran ekologis yang perlu didukung, sehingga menghasilkan
program dan prakarsa praktis. Kesadaran akan relasi antara Allah dan umat manusia
menghasilkan makna lebih penuh akan pentingnya relasi antara manusia dan lingkungan
alam, yang adalah ciptaan Allah dan yang dipercayakan Allah kepada kita untuk dijaga
dengan kebijaksanaan dan kasih (bdk. Kej. 1:28). Hormat terhadap ciptaan berakar dari
hormat terhadap hidup manusia dan martabatnya. Adalah berdasarkan pengakuan kita bahwa
dunia diciptakan Allah, bahwa kita dapat mengenal tatanan moral objektif sebagai kerangka
kode etik lingkungan hidup. Dalam perspektif ini kaum kristiani dan semua orang beriman
lain mempunyai peran khusus dalam mewartakan nilai-nilai moral dan mendidik orang dalam
kesadaran ekologis, yang tak bukan dan tak lain adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri,
orang lain dan ciptaan. Apa yang dituntut ialah tindak penyesalan di pihak kita dan usaha
baru untuk melihat diri kita, sesama, dan dunia sekitar kita dalam perspektif rencana ilahi
untuk ciptaan. Masalahnya tak melulu ekonomis dan teknis, melainkan moral dan spiritual.
Solusi di tingkat ekonomi dan teknik dapat ditemukan hanya kalau kita menjalani sedalam
mungkin, perubahan hati yang dapat membawa kepada perubahan gaya hidup dan perubahan
pola-pola tak lestari atas konsumsi dan produksi. Pertobatan sejati dalam Kristus akan
memampukan kita mengubah cara berpikir dan berbuat.
169

Pertama, kita harus mendapat kembali kerendahan hati dan mengakui batas-batas kekuasaan
kita, dan yang amat penting, batas-batas pengetahuan dan penilaian kita. Kita telah membuat
keputusan, melakukan tindakan dan menetapkan nilai-nilai yang menjauhkan kita dari dunia
yang semestinya, menjauhi rencana Allah untuk ciptaan, menjauhi segala yang hakiki untuk
planet yang sehat dan kemakmuran yang sehat dari rakyat. Diperlukan pendekatan baru dan
budaya baru, berdasarkan sentralitas pribadi manusia dalam ciptaan dan diilhami perilaku etis
terhadap lingkungan yang berasal dari tiga relasi dengan Allah, diri sendiri dan ciptaan. Etika
seperti itu memupuk interdependensi dan menekankan prinsip solidaritas universal, tanggung
jawab dan keadilan sosial untuk memajukan budaya kehidupan sejati.

Kedua, dengan jujur kita harus mengakui bahwa umat manusia berhak atas sesuatu yang lebih
baik daripada apa yang kita lihat di sekeliling kita. Kita, dan lebih-lebih, anak-anak kita dan
generasi mendatang berhak atas dunia yang lebih baik, dunia yang bebas dari degradasi,
kekerasan dan pertumpahan darah, dunia kemurahan hati dan kasih.

Ketiga, sadar akan nilai doa, kita harus mohon kepada Allah Pencipta untuk menerangi rakyat
di mana-mana sehubungan dengan kewajiban menghormati dan secara saksama menjaga
ciptaan. Maka dari itu kami mengundang semua orang yang berkehendak baik untu
mempertimbangkan pentingnya tujuan etis sbagai berikut:

1. Memikirkan anak-anak di dunia bila kita merefleksikan dan mengevaluasi pilihan-pilihan


tindakan kita.
2. Terbuka untuk mempelajari nilai-nilai sejati berdasarkan hukum kodrati yang mendukung
setiap budaya insani
3. Mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sepenuhnya dan secara konstruktif,
sambil mengakui bahwa penemuan ilmu pengetahuan senantiasa harus dinilai dalam terang
sentralitas pribadi manusia, kepentingan umum dan tujuan internal ciptaan. Ilmu pengetahuan
dapat membantu kita memperbaiki kesalahan masa lalu, untuk memajukan kesejahteraan
spiritual dan materiil generasi kini dan kelak. Kasih pada anak-anak kitalah yang akan
menunjukkan jalan yang harus kita ikuti menuju masa depan.
4. Menjadi rendah hati sehubungan dengan gagasan kepemilikan dan terbuka terhadap
tuntutan solidaritas. Kefanaan dan kelemahan penilaian kita bersama-sama mengingatkan kita
untuk tidak mengambil tindakan yang tak bisa diubah sehubungan dengan apa yang kita pilih
untuk menganggap sebagai milik kita selama kita tinggal secara singkat di bumi ini. Kita tak
dibekali kekuasaan tak terbatas atas ciptaan, kita hanya pemelihara warisan bersama.
170

5. Mengakui keragaman situasi dan tanggung jawab dalam kerja demi lingkungan yang lebih
baik. Kami tidak mengharapkan setiap orang dan setiap lembaga menanggung beban yang
sama. Setiap orang memainkan peran, tetapi agar tuntutan keadilan dan karya amal kasih
dihormati, masyarakat paling kaya harus menanggung beban lebih besar, dan mereka juga
diminta pengorbanan lebih besar daripada yang diberikan orang miskin. Agama, pemerintah
dan lembaga dihadapkan pada situasi yang berbeda, tetapi berdasarkan prinsip subsidiaritas
semua dapat mengambil tugas dan sebagian upaya bersama.
6. Memajukan pendekatan penuh damai tentang soal bagaimana hidup di bumi, bagaimana
berbagi dan menggunakannya, apa yang harus diubah dan dibiarkan tak berubah. Bukanlah
keinginan kami untuk menghindarkan diri dari kontroversi mengenai lingkungan, karena
kami percaya akan kemampuan budi manusia dan jalan dialog untuk mencapai kesepakatan.
Kami bertekad menghargai pandangan mereka yang tak sepakat dengan kami, mencari
pemecahan dengan pertukaran terbuka, tanpa penindasan atau dominasi. Tidak terlalu
terlambat. Dunia Allah mempunyai daya penyembuhan luar biasa. Dalam satu generasi kita
dapat mengarahkan bumi menuju masa depan anak-anak kita. Biarlah generasi itu mulai
sekarang, dengan bantuan dan berkat Allah.
Roma – Venesia. 10 Juni 2002

51. 10-06-2002 YOHANES PAULUS II, SALAM PADA PRESENTASI PERNYATAAN


BERSAMA TENTANG ETIKA LINGKUNGAN
Greeting of John Paul II at the presentation of the Common Declaration on Environmental
ethics

Pertemuan kita, bahkan dari kejauhan, memperkenankan kita mengungkapkan kehendak


bersama untuk memelihara ciptaan, mendukung dan menyokong setiap prakarsa yang
bermanfaat untuk memperindah, menyembuhkan dan memelihara bumi yang diberikan Allah
kepada kita untuk diurus dengan bijaksana dan kasih.

52. 24-06-2002 PESAN YOHANES PAULUS II UNTUK HARI PARIWISATA


SEDUNIA 2002

Message of John Paul II for the 23rd World Day of Tourism 2002
1. Hari pariwisata sedunia dengan tema “Ekowisata sebagai kunci pengembangan lestari”
yang diselenggarakan pada 27 September mendatang merupakan peluang bagus bagi saya
untuk mempertimbangkan gejala mobilitas manusia, yang pada dasawarsa baru-baru ini
171

berkembang secara luar biasa dan dewasa ini menyangkut jutaan orang. Pariwisata
memungkinkan kita mempergunakan sebagian waktu senggang kita untuk merenungkan
kebaikan dan keindahan Allah dalam ciptaan-Nya, dan melalui kontak dengan sesama,
membantu meningkatkan dialog dan pengenalan timbal-balik. Waktu senggang dan
pariwisata dengan demikian dapat mengimbangi kurangnya kontak manusia yang sering
dirasakan dalam hidup sehari-hari. ...Ciptaan dipercayakan kepada manusia, sehingga dengan
mengurus dan menjaganya (bdk. Kej. 2:15) ia bisa menyediakan kebutuhannya dan mendapat
“rezeki setiap hari”- nya– anugerah yang diperuntukkan Allah sendiri bagi semua anak-Nya.
Orangharus melihat ciptaan dengan pandangan jernih dan penuh kekaguman. Sayang,
kadang-kadang orang kurang hormat kepada ciptaan. Ketika manusia bukannya menjadi
penjaga, melainkan tiran atas ciptaan, maka cepat atau lambat ciptaan akan memberontak
terhadap ketidakpedulian manusia ini (Bdk. Yohanes Paulus II, Homili pada Perayaan Tahun
Suci para Petani, 12 November 2000, n. 4; ORE, 15 November 2000, p. 1).

2. Di antara para wisatawan yang tak terbilang jumlahnya yang setiap tahun “menjelajah
dunia,” ada banyak yang berangkat dengan tujuan jelas menemukan alam dan
menjelajahinya, bahkan sampai ke sudut-sudut yang paling terpencil. Label pariwisata yang
cerdas cenderung menampilkan keindahan alam dan mengajak manusia mendekatinya
dengan hormat dan bergembira atasnya, tanpa mengacaukan keseimbangannya. Tetapi
dapatkah disangkal bahwa umat manusia dewasa ini tengah mengalami kedaruratan ekologis?
Pariwisata liar ikut mengakibatkan kehancuran tak diinginkan dan masih terus
mengakibatkannya melalui fasilitas pariwisata yang dibangun tanpa perencanaan yang
memperhitungkan dampak ekologis. Seperti saya tulis dalam Pesan saya untuk Hari
Perdamaian Sedunia 1990, “kita perlu menggali sumber masalah dan menanggapi krisis
moral yang mendalam di mana salah satu aspeknya yang menggelisahkan berupa kehancuran
lingkungan” (dalam: ORE, no.5, 18-26 Des 1989, hal. 1). Sesungguhnya penghancuran
lingkungan hidup dengan amat jelas menunjukkan akibat keputusan kepentingan egoistis
yang tak sesuai dengan tuntutan martabat manusia. Ada banyak keinginan tak terkendali
untuk menumpuk kekayaan pribadi yang menghambat orang mendengar teriakan peringatan
kemiskinan seluruh bangsa. Dengan kata lain pencarian egoistis demi kesejahteraan sendiri
mengakibatkan orang mengabaikan harapan wajar generasi sekarang dan masa depan.
Kebenarannya ialah bahwa bila orang menjauhkan diri dari rencana Allah untuk ciptaan,
seringkali juga kepedulian terhadap sesama dan hormat terhadap alam lenyap.
172

3. Meskipun demikian, ada alasan untuk berharap. Banyak orang, sadar akan masalah ini,
sejak beberapa waktu telah mempelajari cara-cara untuk mencari pemecahan. Mereka
berusaha pertamatama memulihkan dimensi spiritual atas relasi terhadap ciptaan, dengan
menemukan kembali pesan Allah yang sejak awal mempercayakan ciptaan kepada manusia
(bdk. Kej. 2:15). “Ekologi internal” memajukan “ekologi eksternal”, dengan akibat langsung,
positif, tak hanya atas perjuangan melawan kemiskinan dan kelaparan orang lain, melainkan
juga atas kesehatan dan kenyamanan diri sendiri. Sikap ini harus dikembangkan untuk
menguatkan budaya kehidupan dan melenyapkan budaya kematian. Maka dari itu harus
didukung bentuk-bentuk pariwisata yang menunjukkan respek lebih besar terhadap
lingkungan, lebih moderat dalam mempergunakan sumber daya alam dan lebih solider
terhadap budaya setempat. Bentuk pariwisata seperti ini mengandaikan motivasi etis yang
lebih kuat berdasarkan norma bahwa lingkungan adalah kediaman semua orang dan bahwa
harta benda alam diperuntukkan bagi semua yang menikmatinya saat ini dan untuk generasi
yang akan datang.

4. Selain itu dewasa ini muncul kepekaan baru, yang secara umum terkenal sebagai
“ekowisata”. Asumsi dasarnya pasti baik. Tetapi perlu kewaspadaan untuk memastikan
bahwa itu tidak terdistorsi dan dijadikan alat penyalahgunaan dan diskriminasi, karena bila
perlindungan lingkungan menjadi tujuan dalam diri sendiri, ada bahaya akan tumbuh bentuk
kolonialisme modern yang melanggar hak-hak tradisional masyarakat yang tinggal di wilayah
tertentu. Ini bisa menghambat keberlangsungan hidup dan perkembangan budaya lokal, dan
merampas sumber daya ekonomi dari otoritas pemerintah lokal yang mengemban tanggung
jawab utama ekosistem dan kekayaan keanekaragaman hayati di wilayah itu. Terhadap
intervensi di suatu bidang ekosistem juga harus dipertimbangkan pengaruhnya atas bidang-
bidang lain dan secara umum, dampaknya bagi kesejahteraan generasi mendatang. Biasanya
ekowisata membawa manusia ke tempat-tempat, lingkungan atau daerah, yang keseimbangan
alaminya membutuhkan pemeliharaan terus-menerus, agar jangan rusak. Maka dari itu studi
dan pengawasan ketat harus didorong agar sikap hormat terhadap alam dan hak manusia
untuk mempergunakannya demi perkembangan dirinya, dapat dipadukan dengan serasi.

5. ”Kita menantikan langit baru dan bumi baru” (2Ptr. 3:13). Sehubungan dengan eksploitasi
tanpa kendali atas ciptaan, yang diakibatkan oleh ketidakpekaan manusia, masyarakat kita
dewasa ini tidak akan menemukan pemecahan yang memadai, bila tak serius meninjau
kembali gaya hidupnya dan mengaturnya berdasarkan “suatu titik acuan dan arah jelas:
kesadaran jernih tentang ciptaan sebagai karya kebijaksanaan penyelenggaraan Allah dan
173

kesadaran akan martabat dan tanggung jawab manusia dalam rencana penciptaan.”
(Yohanes Paulus II, Amanat pada Kongres tentang Lingkungan dan Kesehatan”, 24 Maret
1997, no. 6. ORE, 9 April 1997, hal. 2). Pariwisata dapat menjadi sarana efektif untuk
menumbuhkan kesadaran ini. Sikap yang kurang agresif terhadap lingkungan alamiah dapat
membantu orang menemukan dan menilai lebih tinggi harta benda yang dipercayakan kepada
tanggung jawab semua dan setiap orang. Dengan lebih dekat mengenal sifat rentan pelbagai
aspek alam akan menciptakan kesadaran lebih besar perlunya tindakan perlindungan untuk
mengakhiri eksploitasi sembarangan sumber daya alam. Perhatian dan sikap hormat terhadap
alam dapat mengembangkan rasa solidaritas dengan manusia yang lingkungan manusiawinya
terus-menerus dilanggar oleh eksploitasi, kemiskinan, kelaparan atau kekurangan pendidikan
dan kesehatan. Adalah tugas semua orang terutama yang berkecimpung di bidang pariwisata,
untuk mengusahakan agar tujuan itu tercapai. Semoga orang beriman menimba dari iman
mereka dorongan efektif yang akan membimbing mereka dalam relasinya dengan lingkungan
dan dalam komitmennya mempertahankan keutuhannya demi kebaikan umat manusia masa
kini dan masa depan. Maka dari itu saya secara khusus mengajak kaum kristiani, agar mereka
membuat pariwisata juga menjadi peluang lain untuk memandang Allah dan bertemu dengan
Pencipta serta Bapa semua orang. Dengan demikian mereka diteguhkan dalam
pengabdiannya bagi keadilan dan perdamaian dan dalam kesetiaan kepada-Nya yang berjanji
menciptakan langit baru dan bumi baru (bdk. Why. 21:1). Harapan saya ialah agar perayaan
Hari Pariwisata Sedunia mendatang menjadi sumbangan untuk penemuan kembali nilainilai
yang terkan-dung dalam pengalaman kontak manusia dengan ciptaan, dan agar setiap orang
disemangati untuk bersikap hormat terhadap habitat alami dan budaya lokal. Saya
mempercayakan kepada Bunda Maria, Bunda Kristus, semua orang yang peduli dengan
bidang khas hidup manusia ini dan memohonkan berkat Allah bagi mereka.

Dari Vatikan, 24 Juni 2002


YOHANES PAULUS II

53. 27-09-2002 DEWAN KEPAUSAN PASTORAL MIGRAN, KENANGAN


ANUGERAH CIPTAAN. KRITERIUM EKOWISATA

Pontificio Consiglio della Pastorale per I Migranti e gli Itineranti (Stephen Fumio Hamao),
Memoria del dono del Creato. Un criterio Per l’Ecoturismo
174

Gereja berpartisipasi dalam Perayaan Hari Pariwisata Sedunia dengan maksud menyumbang,
sehingga ... suaranya juga sampai kepada mereka yang terlibat agar ada jaminan bahwa
pariwisata selalu mengabdi pengembangan manusia sepenuhnya. Suatu tema yang memasuki
sepenuhnya ke dalam kesibukan, yang setiap hari makin meningkat dalam situasi degradasi
yang mempengaruhi tak hanya lingkungan, melainkan juga hidup jutaan orang yang
menderita akibatnya. Degradasi lingkungan, yang berulang kali disampaikan Paus, dan
diingatkannya dalam pesan ini, terjadi dalam konteks “krisis moral yang mendalam”. Dan
dalam arti itu perlulah “memulihkan dimensi spiritual hubungan dengan ciptaan”…
Ekowisata, sesuai tema hari pariwisata ini, bisa dipandang sebagai kunci menuju
pengembangan lestari, yang banyak dibutuhkan oleh kemanusiaan yang saat ini terbenam
dalam proses globalisasi yang tidak dapat dihentikan dan sering tak manusiawi. Ekowisata
berdasarkan “penemuan kembali tugas awal yang dipercayakan Allah kepada umat manusia”
(n.3) juga dapat memberi sumbangan untuk menjaga kualitas kemanusiaan dan solidaritas
yang harus memandu kegiatan pariwisata.... “Ciptaan adalah anugerah pertama yang
diberikan kepada manusia agar ia “mengolah dan menjaganya”. Dengan mengingat kata-kata
ini dari wahyu, Pedoman Pastoral Pariwisata yang diterbitkan Dewan Kepausan pada tahun
2001, menunjukkan bahwa “manusia tak pernah boleh lupa bahwa seluruh ciptaan adalah
anugerah yang senantiasa berbicara tentang kebaikan Allah dan Pencipta… Ingatan akan
anugerah pertama selalu meliputi dimensi ganda kekaguman dan syukur, di satu pihak, dan
penerimaan tanggung jawab di lain pihak. Dalam arti tertentu itu adalah dimensi liturgis dan
karitatif yang harus memberi makna kepada hidup kristiani. Mengagumi, memuji dan
bersyukur kepada Allah dalam ciptaan, dengan menerjemahkannya ke dalam komitmen untuk
melestarikannya, untuk berbagi dan tetap melayani para saudara. Dan hal ini juga dalam
pariwisata…. Kebebasan lebih besar yang dapat dinikmati di waktu bebas untuk wisata,
menjembatani dalam arti tertentu, dengan kemurahan hati lebih intens, sikap ekologis orang
kristiani. Ingatan akan anugerah ciptaan selain itu menjadi tolok ukur efektif
dalam memilih sikap ekologis atau pada saat memberi dukungan kepada bentuk-bentuk
pariwisata yang memiliki persyaratan demikian. Hal itu dikatakan Paus dalam pesannya:
adalah hakiki bahwa hormat terhadap alam menjamin hak manusia, hak semua orang,.. demi
kebaikan pengembangan pribadi.

54. 27-09-2002 DEWAN KEPAUSAN PASTORAL MIGRAN, EKOWISATA, KUNCI


PENGEMBANGAN LESTARI
175

Pontificio Consiglio della Pastorale per I Migranti e gli Itineranti (Agostino Marchetto),
Ecoturismo, Chiave dello sviluppo sostenibile

Beberapa minggu kami menghadiri sesi-sesi yang melelahkan pada Pertemuan Puncak
Johannesburg, yang hasilnya tak setinggi harapan kami. Meskipun demikian, Pertemuan
Puncak itu menandai tahap lebih lanjut dalam kesadaran ekologis dunia, sepuluh tahun
sesudah Pertemuan Puncak di Rio tahun 1992 yang menghasilkan agenda kaya harapan dan
janji….Sekarang ini, pada saat memberikan evaluasi terhadap perjalanan yang sedang
berlangsung dan mengajukan tujuan yang akan datang, kita dapat mengatakan bahwa adalah
sangat sulit pada umumnya untuk menyadari, secara utuh dan konkret, dengan
konsekuensinya, masalah-masalah besar yang menimpa umat manusia zaman ini... Sedikit
orang meragukan bahwa krisis ekologis merupakan salah satu daripadanya. Adalah sulit
menyangkal kejelasan berhadapan dengan fakta. Dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir orang
sampai pada kesimpulan bahwa masalah ekologis tak dapat dipisahkan dari perilaku umum
dari dunia dewasa ini dalam hal hubungan politik, ekonomi dan budaya antar Negara-negara
yang membentuk komunitas internasional. Untunglah, perhatian banyak orang pada soal
ekologi segera menjadi prioritas dalam pemilihan perjalanan dan akibatnya, sebagian besar
sek-tor kegiatan pariwisata diarahkan untuk menanggapi harapan “ekologis” ini. Maka, apa
yang disebut “ekowisata” mampu mencakup suatu skala kegiatan yang luas. Namun, dalam
berbagai bentuknya ekowisata memiliki tiga tujuan yang tepat dan mendasar: memperoleh
manfaat dari alam, mengenal realitas lingkungan dan bersikap solider serta bertanggung
jawab. Maka, pengorganisasian kembali kegiatan wisata dalam ketiga tujuan ini pada
umumnya, tak diragukan lagi, akan menghasilkan keluhuran yang semakin tinggi bagi
pariwisata demi kepentingan manusia, dan akan memperoleh sumbangan yang semakin
menentukan bagi dialog antara bangsa-bangsa dan bagi perdamaian dunia.

55. 17-02-2003 EKOWISATA, KUNCI PENGEMBANGAN LESTARI


Pontificio Consiglio della Pastorale per I Migranti e gli Itineranti (Mos. Jordi Gaya)
‘Ecoturismo, chiave dello sviluppo sostenibile’

Pariwisata, ekologi, pengembangan lestari

Dalam konteks hati nurani ekologis yang diperluas, juga pariwisata harus menganalisa
banyak tujuan dan praktiknya, yang di masa lampau bersifat antiekologis. Dalam paradoks
tragis, pariwisata yang pada dasarnya hidup dari sumber daya alam, banyak kali menjadi
176

perusak utama lingkungan. Booming pariwisata massal pada khususnya telah mengakibatkan
pemanfaatan tanpa kendali wilayah, pantai atau sumber daya air perairan, dengan
konsekuensi tak terpulihkan di tempat-tempat tertentu. Situasi serupa terulang kembali
bertahun-tahun kemudian ketika pariwisata terbuka dengan tujuan di negaranegara
berkembang, di wilayah dengan risiko ekologis tinggi seperti pulau-pulau terpencil, atau
bahkan di daerah yang dinyatakan terlindung. Tuntutan untuk mengikuti kriteria ekologis
juga mendapatkan jalannya dalam pariwisata sejauh kepedulian sosial berkembang untuk
keseimbangan lingkungan...

56. 22-03-2003 KONTRIBUSI DELEGASI TAKHTA SUCI PADA KESEMPATAN


FORUM AIR SEDUNIA KETIGA

A Contribution of the Delegation of the Holy See on the occasion of the third World Water
Forum. Presentation by H.E. Msgr. Renato R.Martino

CATATAN: AIR. UNSUR HAKIKI UNTUK HIDUP


Air dan energi
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) merupakan sumber penting energi bersih. PLTA
menyediakan kira-kira 20% dari total produksi listrik sedunia dan memberi keuntungan
ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Untuk beberapa daerah pegunungan PLTA
memberikan beberapa pertumbuhan ekonomi melalui ekspor listrik. Tetapi, di masa lampau
terlalu sering proyek demikian itu disertai kerusakan lingkungan. Diskusi kebijakan di bidang
ini telah didominasi oleh bendunganbendungan besar dan mengabaikan soal PLTA skala
kecil dan penggunaan air untuk mendinginkan pembangkit listrik termal. Sementara
kebanyakan air ini memasuki kembali sistem air, perubahan penting pada suhu dan dalam
beberapa hal kualitas, mempunyai implikasi serius atas lingkungan dan sumber daya.
Bendungan sampai saat ini masih menjadi soal perkembangan yang paling diperdebatkan
untuk sektor air.
Keterlibatan sektor swasta dan privatisasi
Air menurut kodratnya tak dapat diperlakukan hanya sebagai komoditas di antara komoditas
lain. Pemikiran sosial Katolik selalu menekankan bahwa pembelaan dan pemeliharaan barang
kepentingan umum, seperti lingkungan alami dan insani, tak dapat diselamatkan hanya
dengan kekuatan pasar, karena menyentuh kebutuhan mendasar yang lepas dari logika pasar
(bdk.CA 40).
177

V. AIR, HARTA LINGKUNGAN


Debat seputar air secara historis sebagian besar terbatas pada isu sosio-ekonomis. Dewasa ini
dalam konteks pengelolaan lestari sumber daya air, aspek lingkungan mengemuka bersama
dengan peranan air dalam mendukung berfungsinya ekosistem dan spesies. Pendekatan
sumber daya air ini telah dipusatkan pada pemakaian lestari dan memastikan penggunaan air
yang ramah lingkungan. Usul spesifik untuk melindungi ekosistem air dan sumber daya air
tawar bersih telah bertahun-tahun diajukan karena mencerminkan ancaman terhadap banyak
rawa-rawa, ekosistem sungai dan danau, delta dan wilayah lain. Perubahan sistematis
terhadap pendekatan kebijakan sekarang diperlukan, menjauhi fokus teknis sisi-penawaran
tradisional ke sikap yang menganggap tema lingkungan sebagai bagian integral dengan
kebijakan air dan praktiknya. Tujuan dan prioritas kebijakan dalam beberapa hal harus diatur
kembali dengan penggunaan Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai penentu
keputusan mengenai investasi air. Tetapi dalam sektor ini kurang sumber daya manusia yang
memadai. Hal ini menuntut perencanaan dan investasi dalam pengembangan sumber daya
manusia.
Sanitasi yang ramah lingkungan
Bentuk-bentuk konvensional sanitasi sentral makin dikecam karena biaya operasional dan
pemeliharaan yang tinggi, tetapi yang lebih penting adalah penggunaan air yang tinggi dan
pencemaran air tanah yang dapat timbul daripadanya… Pendekatan alternatif terhadap
sanitasi yang sehat secara ekologis dan lingkungan ditawarkan oleh konsep yang disebut
‘sanitasi ekologis”. Hal ini mengambil prinsip sanitasi lingkungan yang berfokus untuk
menjaga lingkungan bersih dan aman, dan mencegah pencemaran... Hal ini mencakup
pengolahan air limbah dan pembuangan serta kegiatan pencegahan penyakit. Ini adalah
pendekatan berdasarkan prinsip daur ulang dengan tujuan utama untuk mempromosikan
filosofi baru berkaitan dengan apa yang dianggap sebagai limbah. Konservasi air adalah baik
karena menyediakan bagi generasi masa depan barang pokok yang menghidupi dan
memungkinkan kita melindungi keindahan sumber daya dan hal-hal indah lainnya. Tak satu
pun hal yang dipaparkan di sini dilakukan secara terpisah. Hanya dengan suatu pendekatan
utuh yang sejati umat manusia dapat menghadapi tantangan ke depan untuk menangani
masalah air. Sumbangan Takhta Suci diajukan dengan keyakinan peran sentral manusia
dalam memelihara lingkungan dan unsur-unsur konstitutifnya. Hanya bila umat manusia
menghormati keutuhan ciptaan, selaras dengan rencana penyelenggaraan Allah, kita akan
mencapai penghargaan sejati akan pentingnya air dalam ciptaan dan bagi umat manusia.
178

57. 27-05-2003 YOHANES PAULUS II, PESAN KEPADA PATRIARK EKUMENIS


BARTOLOMAIOS I

Message of John Paul II to the Ecumenical Patriarch Bartolomaios I

Pada sejumlah kesempatan saya telah menyatakan makin meningkatnya kesadaran di antara
individu dan bahkan seluruh komunitas internasional, perlunya respek akan lingkungan dan
sumber daya alam yang diberikan Allah kepada umat manusia. Simposium Anda baru-baru
ini membuktikan keinginan untuk mengubah kesadaran yang meningkat itu menjadi
kebijakan dan tindakan pemeliharaan autentik. Saya akan mengikuti dengan penuh perhatian
upaya Anda untuk mewujudkan tujuan yang digariskan dalam Deklarasi Bersama kita tahun
yang lalu. Kiranya sifat sejati krisis ekologi perlu dipahami. Relasi antara individu-individu
atau komunitas-komunitas dan lingkungan tak boleh dilepaskan dari relasi dengan Allah. Bila
“orang mengingkari rencana Pencipta, ia mengakibatkan gangguan yang pasti berpengaruh
atas tatanan ciptaan lainnya” (Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia 1990, 5). Tiadanya
tanggung jawab ekologis pada intinya adalah masalah moral – berdasarkan kesesatan
antropologis– yang timbul ketika orang lupa bahwa kemampuannya mengubah dunia harus
selalu menghormati rencana penciptaan Allah (bdk. Centesimus Annus 37). Justru karena
sifat hakiki moral masalah ini yang dibahas Simposium, wajarlah para pemimpin religius,
sipil dan politik bersama perwakilan pakar komunitas ilmiah membahas tantangan
lingkungan yang dihadapi wilayah Baltik. Hal bahwa simposium diselenggarakan di atas
kapal yang akan berlayar ke banyak pelabuhan kota di Laut Baltik merupakan peringatan
jelas bahwa akibat-akibat tindakan ekologis tak bertanggung jawab sering melampaui batas-
batas tiap-tiap bangsa. Maka pemecahan masalah ini niscaya melibatkan tindakan solidaritas
yang mengatasi pembagian politik atau tanpa perlu mempersempit kepentingan industri.

Yang Mulia, dalam Deklarasi Bersama tentang Etika Lingkungan Hidup yang kita
tandatangani 10 Juni tahun lalu sehubungan dengan pemeliharaan ciptaan, kita menggariskan
interpretasi khas kristiani dari kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan krisis ekologi. Kaum
kristiani harus selalu siap bersama-sama memikul tanggung jawab mereka dalam rencana
ilahi bagi ciptaan, tanggung jawab yang meluas ke medan kerja sama ekumenis dan
antaragama. Seperti kita tegaskan, solusi tantangan ekologis menuntut lebih daripada hanya
usul ekonomi dan teknologi. Diperlukan perubahan batin yang mengarah pada penolakan
pola-pola konsumsi dan produksi yang tak tertahankan. Diperlukan perilaku etis yang
179

menghormati prinsip-prinsip solidaritas universal, keadilan sosial dan tanggung jawab.


Seperti Anda nyatakan sendiri pada penutupan Simposium Internasional IV tentang
Lingkungan Hidup di Venezia, hal ini menuntut pengorbanan sejati: “bila kita mengorbankan
hidup kita dan berbagi kekayaan, kita mendapat hidup berlimpah-limpah dan memperkaya
seluruh dunia”. Yang Mulia, saya ingin menyampaikan dukungan saya untuk komitmen Anda
untuk memimpin proyek Simposium Agama, Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup.
Semoga Allah yang Mahakuasa memberkati prakarsa ini secara berlimpah-limpah. Semoga Ia
mendampingi Anda dan rekan-rekan Anda dan memandu Anda di jalan keadilan, sehingga
seluruh ciptaan memuji Allah (bdk. Mzm 148).

Dari Vatikan, 27 Mei 2003

58. 16-10-2003 YOHANES PAULUS II, ADHORTASI APOSTOLIK “PASTORES


GREGIS” 70
John Paul II, Apostolic Exhortation “Pastores Gregis” 70 Sikap hormat terhadap
Lingkungan dan pemeliharaan ciptaan

70. Para Bapa Sinode juga membahas dimensi etis masalah ekologis (288). Dalam makna
terdalamnya, seruan globalisasi solidaritas juga menyangkut masalah mendesak tentang
pemeliharaan ciptaan dan sum-ber daya bumi. “Keluhan ciptaan” yang disebut Rasul Paulus
(bdk. Rom. 8:22) kini rupanya berlangsung terbalik, karena bukan lagi soal ketegangan
eskatologis yang menunggu pewahyuan para putra Allah (bdk. Rom. 8:19), melainkan
menyangkut sakratul maut yang berusaha menarik manusia untuk menghancurkannya.

Di sini masalah lingkungan hidup nampak dalam bentuk paling berbahaya dan paling busuk.
Sesungguhnya, “tanda paling mendalam dan paling serius implikasi moral yang mendasari
masalah ekologis adalah kurangnya hormat terhadap hidup yang tampak nyata dalam banyak
pola pencemaran lingkungan. Seringkali kepentingan produksi lebih diutamakan di atas
martabat pekerja, dan kepentingan ekonomis didahulukan di atas kesejahteraan perorangan,
bahkan seluruh penduduk. Dalam hal demikian itu, pencemaran atau penghancuran
lingkungan merupakan buah pandangan picik dan tak alami, yang kadangkadang
mengakibatkan penghinaan autentik terhadap manusia (289).

Jelas, bahwa bukan hanya ekologi fisik –jadi yang memperhatikan perlindungan habitat
pelbagai makhluk hidup, melainkan juga dipertaruhkan ekologi human yang mampu
melindungi nilai dasar hidup dalam semua bentuknya dan menyediakan bagi generasi
180

mendatang lingkungan yang mendekati rencana Pencipta. Maka diperlukan pertobatan


ekologis, yang didukung oleh para uskup dengan pengajaran mereka tentang relasi yang
benar antara manusia dan alam. Dilihat dalam terang ajaran tentang Allah Bapa, Pencipta
langit dan bumi, relasi ini merupakan salah satu “penatalayanan”: manusia ditetapkan pada
pusat ciptaan sebagai para penata layan dari Pencipta

………….
288. Bdk. Propositio 56.
289. Yohanes Paulus II, Pesan Untuk Hari Perdamaian Sedunia 1990. (8 Desember 1989), 7:
AAS 82 (1990), 150.

59. 20-10-2003 INTERVENSI Y.M. MGR. CELESTINO MIGLIORE PADA KOMITE


II SIDANG UMUM PBB TENTANG DASAWARSA PENDIDIKAN UNTUK
PENGEMBANGAN LESTARI”

Intervention by H.E. Msgr.Celestino Migliore at the Second Committees of the General


Assembly of the UN on “Decade of education for Sustainable Development”.

Di Rio, selama Konferensi 1992 tentang Lingkungan dan Pengembangan, pemerintah


pemerintah menyadari hubungan antara pendidikan dan pengembangan lestari dan
menyetujui berbagai program yang melibatkan pendidikan dalam semua aspek
pengembangan. Pengakuan telah dipenuhi dalam konferensi dan pertemuan puncak sejak Rio,
termasuk Pertemuan Puncak Dunia tahun lalu tentang pengembangan lestari, yang
diselenggarakan di Johannesburg. Di Johannesburg pendidikan dibahas terutama dalam
konteks perlindungan lingkungan. “Pendidikan dalam tanggung jawab ekologis mendesak:
tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, dan bumi. Pendidikan ini tak dapat berakar
hanya dalam perasaan atau harapan kosong. Tujuannya tak dapat ideologis atau politis. Tak
boleh berdasarkan pada penolakan dunia modern atau keinginan samar-samar untuk kembali
ke “firdaus yang hilang”. Sebaliknya, pendidikan sejati dalam tanggung jawab memerlukan
pertobatan pikiran dan perilaku” (Yohanes Paulus II, Pesan Untuk Hari Perdamaian Sedunia,
1 Januari 1990).

Pencanangan Dasawarsa Pendidikan untuk Pengembangan Lestari dimulai 1 Januari 2005.


Hal ini bersamaan dengan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang menetapkan agar
pada tahun 2015 “anak-anak di mana pun, laki-laki dan perempuan sama saja, akan dapat
menyelesaikan sekolah dasar dan agar laki-laki dan perempuan bisa mendapat akses yang
181

sama ke semua jenjang pendidikan”. Tetapi, rencana dan tujuan Dasawarsa harus lebih dari
sekolah dasar. Program-program selama Dasawarsa itu juga harus terus membahas masalah
anak-anak putus sekolah.

Bapak Ketua, di sinilah kami melihat jelas hubungan antara peluang pendidikan dan
pengembangan… Kami menanti dengan penuh harapan agar, berkat komitmen Sidang Umum
yang menyerukan Dasawarsa Pendidikan untuk Pengembangan Lestari, pemenuhannya akan
sarat dengan keberhasilan, terutama dalam menyediakan kesempatan pendidikan bagi semua
orang: anak-anak, kaum muda dan dewasa. Pendidikan untuk Pengembangsan Lestari
merupakan sarana untuk mencapai banyak, kalau tidak sebagian besar dari Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs). Itu akan menciptakan lingkungan yang “kondusif bagi
perkembangan dan pengentasan kemiskinan.” Mewujudkan dan mencapai tujuan itu mungkin
memakan waktu, tetapi menyediakan kesempatan pendidikan bagi semua akan mempunyai
pengaruh langsung, yang dapat terbukti dan terukur pada kesejahteraan rakyat seluruh dunia
dan pada pengembangan lestari.

Terima kasih, Bapa Ketua

60. 10-12-2003 INTERVENSI TAKHTA SUCI PADA KONFERENSI PARA PIHAK 9,


KONVENSI KERANGKA PBB TENTANG PERUBAHAN IKLIM (UNFCCC)

Intervention by the Holy See at the Ninth Conference of the Parties (COP-9) to the United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)

Perubahan Iklim berada di persimpangan keprihatinan lingkungan, ilmu pengetahuan,


teknologi, etika, politik dan ekonomi keluarga umat manusia. Dengan demikian,
implementasi Konvensi Kerangka kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC) secara
langsung berakibat pada pola pengembangan lestari masa depan dari semua negara dan
semua bangsa. Iklim adalah konteks utama bagi pertimbangan banyak masalah sosial
ekonomi yang dihadapi dunia dewasa ini. Delegasi Takhta Suci ingin menyoroti beberapa
soal etika sehubungan dengan tindakan yang telah atau akan diambil berkaitan dengan
perubahan iklim. Meskipun hanya ada amat sedikit diskusi tentang soal ini pada COP-9,
justru dimensi etika ditemukan pada inti aksi kita. Baik secara ilmiah maupun politik telah
diakui bahwa kegiatan manusia merupakan faktor penting dalam perubahan iklim.
Selanjutnya tindakan manusia dapat memainkan peran krusial dalam mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim. Tetapi, tanggung jawab etis yang menyertainya tidak terbatas hanya pada
182

perbuatan tunggal perorangan, melainkan juga berlaku pada tataran struktur teknis, ekonomis
dan sosial serta pada tingkat pemerintah. Maka, ada kewajiban etis yang melekat pada semua
individu dan masyarakat, khususnya sektor-sektor tertentu masyarakat, untuk memastikan
bahwa semua kegiatan terarah kepada kesejahteraan bersama dengan perhatian dan
pertimbangan khusus pada kaum miskin. Salah satu prinsip utama yang harus mengatur
tanggapan atas perubahan iklim ialah pertimbangan bahwa ada tatanan di alam
semesta yang harus dihormati. Prinsip ini tak hanya membatasi kegiatan manusia, melainkan
mengarahkannya menuju penggunaan lingkungan dengan sikap hati-hati dan hormat. Ketika
dan jika sikap hormat terhadap tatanan alam semesta ini diabaikan atau dengan sengaja
dilanggar, maka dipicu ketidakseimbangan yang mempunyai konsekuensi tak terhindarkan
bagi semua. Setiap batasan yang dijumpai tak perlu dipandang sebagai hambatan, melainkan
sebagai peluang untuk memajukan pengembangan manusia seutuhnya. Tantangan ini dapat
mengembangkan riset dan kemampuan teknis. Mitigasi dan adaptasi sejati dapat diwujudkan
hanya bila manusia ditempatkan di pusat keprihatinan pengembangan lestari. Pribadi manusia
menduduki tempat khusus dalam ciptaan. Hanya dengan mengangkat sentralitas pribadi
manusia, tidak dengan mengingkarinya, dengan menekankan tanggung jawab pribadi
manusia atas ciptaan, tidak dengan menyangkalnya, kita lebih mampu memajukan dan
memelihara iklim yang sehat bagi semua, khususnya bagi yang paling lemah. Maka, dituntut
pilihan jelas berdasarkan keadilan, kerja sama dan solidaritas antara bangsabangsa, semua
terbuka pada keprihatinan bersama. Martabat tak tergugat setiap pribadi manusia
melengkapinya. Meskipun pribadi manusia adalah bagian dari ekosistem, tetapi ia juga
berbeda. Kita sendiri bebas untuk membuat pilihan, bahkan pengurbanan, untuk
merencanakan masa depan –bagi generasi-generasi masa depan– dan mengayunkan langkah
untuk melaksanakannya. Maka, kita memikul tanggung jawab atas pilihan yang kita buat saat
ini dan harus memastikan agar warisan bersama umat manusia diperbaiki dan tidak dirusak.
Sehubungan dengan hal ini, upaya mitigasi dan adaptasi dalam konteks etika, menunjuk ke
arah kemampuan bagi kebijakan pengembangan lestari yang baru dan sehat untuk dilakukan
dalam solidaritas dengan saudara-saudara kita di seluruh dunia.

61. 22-02-2004 KONGREGASI USKUP, APOSTOLORUM SUCCESSORES 204


Congr. Ep. Apostolorum Successores 204...

Uskup juga perlu memberi sumbangan pribadi untuk debat ekologis demi perlindungan
ciptaan Allah, dengan mengajarkan relasi yang benar antara manusia dan alam. Dalam cahaya
183

ajaran tentang Allah Bapa, Pencipta langit dan bumi, relasi ini merupakan “perwalian”:
manusia ditempatkan di pusat sebagai wali Pencipta. Dalam arti ini perlu ada pertobatan
ekologis (624), dan pengakuan bahwa bersama dengan perlindungan ciptaan Allah, perlu ada
komitmen lebih besar akan ekologi human, yang mampu melindungi nilai kehidupan dalam
segala manifestasinya dan mewariskan kepada generasi mendatang lingkungan yang sedapat
mungkin sesuai dengan rencana Allah.…………

(624) Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Pasca-Sinodal, Pastores Gregis, 70

62. 29-06-2004 KOMPENDIUM AJARAN SOSIAL GEREJA 451- 487


Compendium of the Social Doctrine of the Church 451-487

BAB SEPULUH: MELINDUNGI DAN MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP

I. SEGI-SEGI ALKITABIAH

451. Pengalaman hidup tentang kehadiran yang ilahi di tengah sejarah merupakan fondasi
iman umat Allah: “Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi Tuhan membawa kita
keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat” (Ul. 6:21). Mencermati sejarah memungkinkan
seseorang untuk meninjau masa lampau dan menemukan Allah yang berkarya sejak saat
paling awal: “Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara” (Ul. 26:5); tentang umat-
Nya, Allah dapat berkata: “Aku mengambil Abraham, bapamu itu, dari seberang sungai
Efrat” (Yos. 24:3). Refleksi ini memungkinkan kita untuk memandang ke masa depan dengan
harapan, yang ditopang oleh ikrar serta perjanjian yang senantiasa dibarui Allah. Iman Israel
dilakoni dalam ruang dan waktu di tengah dunia ini, yang tidak dianggap sebagai sebuah
lingkup yang bermusuhan, bukan pula sebagai si jahat darinya orang mesti dibebaskan,
melainkan sebaliknya sebagai karunia dari Allah sendiri, sebagai tempat dan rencana yang
Ia percayakan kepada pengelolaan serta kegiatan yang bertanggung jawab manusia. Alam,
yakni buah kerja tindakan kreatif Allah, bukanlah seteru yang berbahaya. Allah sendirilah
yang telah menciptakan segala sesuatu, dan berkenaan dengan masing-masing realitas
tercipta “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (bdk. Kej. 1:4,10,12, 18,21,25). Pada
puncak ciptaan ini, yang adalah “sungguh amat baik” (Kej. 1:31), Allah menempatkan
manusia. Hanya kedua manusia itulah, di antara semua makhluk ciptaan lainnya, yang
diciptakan Allah “menurut gambar-Nya” (Kej. 1:27). Tuhan mempercayakan segenap ciptaan
kepada tanggung jawab keduanya, dengan memberi mereka kewenangan untuk
184

memperhatikan keselarasan serta perkembangannya (bdk. Kej. 1:26-30). Ikatan yang khusus
ini dengan Allah menjelaskan posisi istimewa dari pasangan manusia pertama dalam tatanan
ciptaan.
452. Relasi manusia dengan dunia merupakan bagian konstitutif dari jati diri manusia.
Relasi ini pada gilirannya merupakan hasil dari se-buah relasi lain yang jauh lebih dalam
lagi antara manusia dan Allah. Tuhan telah menjadikan pribadi manusia sebagai seorang
mitra bersama Dia di dalam dialog. Hanya di dalam dialog itulah manusia bisa menemukan
kebenaran tentang dirinya, dan darinya pula ia menimba ilham serta berbagai kaidah untuk
merancangkan rencana bagi masa depan dunia, yang merupakan taman yang telah diberikan
Allah kepadanya untuk diusahakan dan dipelihara (bdk. Kej. 1:15). Bahkan dosa sekalipun
tidak dapat membatalkan kewajiban ini, walaupun dosa memelorotkan kerja yang agung ini
dengan jerih lelah dan penderitaan (bdk. Kej. 3:17-19). Ciptaan selalu menjadi objek pujian
doa Israel: “Betapa banyak perbuatan-Mu, ya Tuhan, sekaliannya Kau jadikan dengan
kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu” (Mzm. 104:24). Keselamatan dilihat dan
dipahami sebagai satu ciptaan baru yang menegakkan kembali keselarasan serta potensi
pertumbuhan yang telah dicederai dosa: “Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang
baru” (Yes. 65:17) – firman Tuhan di mana “padang gurun akan menjadi kebun buah-buahan
… di kebun buah-buahan akan tetap ada kebenaran …. Bangsaku akan diam di tempat yang
damai”(Yes. 32:15-18).

453. Keselamatan definitif yang Allah tawarkan kepada semua umat manusia melalui Putra-
Nya tidak terlaksana di luar dunia ini. Walaupun dicederai oleh dosa, dunia telah ditetapkan
untuk mengalami sebuah pemurnian radikal (bdk. 2Ptr. 3:10), yang membuatnya menjadi
sebuah dunia yang dibarui (bdk. Yes. 65:17; 66:22; Why. 21:1), dan akhirnya menjadi tempat
di mana “terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13). Dalam pelayanan-Nya di depan umum, Yesus
memakai unsur-unsur alam. Ia tidak saja seorang penafsir alam yang cerdas, yang berbicara
tentangnya dalam berbagai gambar dan perumpamaan, tetapi Ia juga berkuasa atasnya (bdk.
episode diredakannya angin ribut dalam Mat. 14:22-23; Mrk. 6:45-52; Luk. 8:22-25; Yoh.
6:16- 21). Tuhan menempatkan alam untuk melayani rencana penebusan-Nya. Ia meminta
para murid-Nya untuk mencermati hal, musim dan orang dengan kepercayaan seperti yang
dipunyai anak-anak yang mengetahui bahwa mereka tidak akan ditelantarkan oleh seorang
Bapa yang mahabaik (bdk. Luk. 11:11-13). Alih-alih diperbudak oleh barang-barang, seorang
murid Yesus mesti mengetahui bagaimana mempergunakan barang-barang itu agar
menghasilkan kesediaan untuk berbagi dan persaudaraan (bdk. Luk. 16:9-13).
185

454. Masuknya Yesus Kristus ke dalam sejarah dunia ini mencapai puncaknya pada Rahasia
Paskah, di mana alam itu sendiri ambil bagian di dalam drama penolakan terhadap Putra
Allah dan dalam kemenangan Kebangkitan-Nya (bdk. Mat. 27:45,51; 28:2). Dengan
melewati kematian dan mencangkokkan ke dalamnya semarak baru Kebangkitan, Yesus
meresmikan sebuah dunia baru di mana segala-galanya ditaklukkan kepada-Nya (bdk. 1Kor.
15:20- 28), dan Ia menciptakan secara baru relasi ketertiban dan relasi keselarasan yang telah
dirusakkan dosa. Pengetahuan tentang ketidakseimbangan antara manusia dan alam
hendaknya disertai dengan suatu kesadaran bahwa di dalam Yesus telah terlaksana
pendamaian di antara manusia dan dunia dengan Allah – sedemikian rupa sehingga setiap
manusia, sadar akan cinta kasih ilahi, dapat menemukan secara baru kedamaian yang
dahulunya hilang. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama
sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor. 5:17). Alam, yang diciptakan di
dalam Firman, oleh Firman yang sama yang telah menjadi manusia, diperdamaikan dengan
Allah dan diberi kesentosaan yang baru (bdk. Kol. 1:15-20).

455. Tidak saja manusia batiniah yang sekali lagi dijadikan utuh, tetapi juga seluruh
kodratnya sebagai makhluk jasmaniah dijamah oleh kuasa penebusan Kristus. Seluruh
ciptaan turut serta dalam pembaruan yang mengalir dari Rahasia Paskah Tuhan, walaupun
ia masih menantikan pembebasan sepenuhnya dari kebinasaan, seraya mengeluh merasa sakit
bersalin (bdk. Rom. 8:19-23) dalam harapan akan melahirkan “langit yang baru dan bumi
yang baru” (Why. 21:1) yang merupakan karunia pada akhir zaman, kegenapan keselamatan.
Dalam pada itu, tidak ada sesuatu pun yang berdiri di luar keselamatan. Apa pun kondisi
hidupnya, seorang Kristen dipanggil untuk melayani Kristus untuk hidup sesuai dengan Roh-
Nya, sang prinsip kehidupan baru yang membawa dunia dan manusia kembali ke tujuannya
yang asli: “baik dunia, hidup, maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan
datang. Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik
Allah” (1Kor. 3:22-23)

II. MANUSIA DAN JAGAT BENDA-BENDA TERCIPTA

456. Wawasan alkitabiah mengilhami sikap dan perilaku orangorang Kristen dalam kaitan
dengan penggunaan bumi oleh mereka, dan juga yang berkenaan dengan berbagai kemajuan
dalam bidang ilmu dan teknologi. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “sunggu tepatlah
pandangan manusia, yang ikut menerima cahaya akal budi ilahi, bahwa dengan akal budinya
ia melampaui seluruh alam”.946 Para Bapa Konsili menyadari kemajuan yang tercapai berkat
186

pengerahan tanpa kenal lelah dari kecerdasan nalar manusia selama berabad-abad, entah
dalam ilmu pengetahuan empiris, keterampilan teknis atau ilmu-ilmu humaniora.947 Dewasa
ini, “terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap masih memperluas
kedaulatannya hampir atas alam semesta”.948 Manusia, “yang diciptakan menurut gambar
Allah, menerima titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat
padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk
mengakui Allah sebagai pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam
kepada-Nya, sehingga dengan terbawanya segala sesuatu kepada manusia nama Allah sendiri
dikagumi di seluruh bumi. [Konsili mengajarkan bahwa] dari zaman ke zaman manusia telah
berupaya untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka melalui sejumlah amat besar
kegiatan perorangan maupun kolektif. Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan:
dipandang dalam dirinya sendiri kegiatan manusia ini memang sesuai dengan rencana
Allah.”949

457. Hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam dirinya sendiri, bersifat positif.
“Oleh karena itu umat Kristen tidak beranggapan seolah-olah karya kegiatan, yang dihasilkan
oleh bakat pembawaan serta daya kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah,
seakan-akan ciptaan yang berakal budi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan yakin
bahwa kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan
merupakan buah rencana-Nya yang tak terperikan.”950 Para Bapa Konsili juga menekankan
kenyataan bahwa “semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan
tanggung jawabnya, baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung jawab
bersama”,951 dan bahwa setiap kegiatan manusia hendaknya bersepadanan, seturut rencana
dan kehendak Allah, dengan kesejahteraan sejati umat manusia.952 Berkenaan dengan hal
ini, Magisterium telah berulang kali menekankan bahwa Gereja Katolik sama sekali tidak
menentang kemajuan,953 tetapi sebaliknya ia menganggap “ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan hasil yang menakjubkan dari kreativitas manusia yang dianugerahkan oleh Allah,
karena keduanya telah menyediakan bagi kita aneka rupa peluang yang mencengangkan, dan
kita semua dengan penuh terima kasih memperoleh manfaat dari keduanya”.954 Karena
alasan ini, “sebagai orang-orang yang percaya kepada Allah, yang melihat bahwa alam yang
telah Ia ciptakan adalah ‘baik’, kita bersukacita atas kemajuan teknologi dan ekonomi yang
berhasil dicapai manusia dengan mendayagunakan akal budinya”.955

458. Berbagai pertimbangan Magisterium yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada umumnya dapat pula diterapkan pada lingkungan hidup dan pertanian.
187

Gereja menghargai “pelbagai kemajuan yang dihasilkan –dan masih dapat terus dihasilkan–
dari studi serta penerapan biologi molekuler, yang dilengkapi dengan disiplin-disiplin lain
semisal genetika dan penerapan teknologisnya di bidang pertanian dan industri”.956 Malah
teknologi “bisa menjadi peranti yang tak ternilai dalam memecahkan banyak persoalan berat,
pada tempat pertama masalah-masalah kelaparan dan penyakit, melalui produksi jenisjenis
tanaman yang lebih unggul dan kuat, dan melalui produksi obat-obatan yang berharga”.957
Namun pentinglah untuk mengulangi gagasan tentang “penerapan yang tepat”, sebab “kita
tahu bahwa potensi ini tidaklah netral: ia dapat digunakan entah demi kemajuan manusia atau
demi keburukannya”.958 Karena alasan ini, “niscayalah untuk mempertahankan sebuah sikap
arif serta dengan penuh kesaksamaan meneliti hakikat, tujuan dan sarana dari aneka bentuk
teknologi terapan itu”.959 Oleh karena itu, para ilmuwan mesti “sungguh-sungguh
menggunakan penelitian serta keterampilan teknis mereka untuk melayani umat
manusia”, 960 dan sungguh mengebawahkan hal-hal tersebut “pada kaidah-kaidah serta nilai-
nilai moral yang menghormati dan mewujudkan dengan sepenuh-penuhnya martabat
manusia”.961

459. Salah satu titik rujukan utama untuk setiap penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
ialah penghargaan terhadap manusia, yang mesti disertai pula dengan suatu sikap hormat
yang mutlak diperlukan terhadap makhluk-makhluk lainnya. Juga bila terbersit pikiran untuk
mengadakan perubahan tertentu di dalam makhlukmakhluk tersebut, “orang mesti
mengindahkan kodrat setiap makhluk serta hubungan antarciptaan dalam satu tata susunan
yang teratur”.962 Berkaitan dengan hal ini, kemungkinankemungkinan yang mengerikan dari
riset biologis menimbulkan keprihatinan yang amat besar, dalam arti bahwa “kita belum lagi
berada pada suatu posisi untuk menilai kekacauan biologis yang bisa dihasilkan dari
manipulasi genetik secara serampangan dan dari pengembangan secara sembrono bentuk-
bentuk baru kehidupan tanaman dan binatang, belum lagi mengatakan percobaan yang tidak
bisa diterima berkenaan dengan asal-usul kehidupan manusia itu sendiri”.963 Malah “kini
menjadi jelas bahwa penerapan berbagai temuan ini dalam bidang industri dan pertanian telah
menimbulkan dampak-dampak jangka panjang yang membahayakan. Hal ini telah berujung
pada kesadaran yang menyakitkan bahwa kita tidak dapat campur tangan dalam satu bidang
ekosistem tanpa memberi perhatian yang sepantasnya baik terhadap konsekuensi-konsekuensi
dari campur tangan tersebut di bidang-bidang lain maupun terhadap kemaslahatan dari
generasigenerasi yang akan datang.”964
188

460. Maka, manusia mesti tidak pernah boleh melupakan bahwa “ke-mampuannya untuk
mengubah dan dalam arti tertentu ‘menciptakan’ dunia melalui kerjanya ... selalu harus
didasarkan pada pengaruniaan segala-galanya oleh Allah menurut maksud-Nya
semula”.965 Ia tidak boleh “semaunya sendiri mendayagunakan bumi, dengan
menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak
mengemban tuntutan dan tujuannya sendiri yang sejak semula diterimanya dari Allah, dan
yang semestinya dapat manusia kembangkan namun tidak boleh ia khianati”.966 Bila ia
bertindak demikian maka “alih-alih menjalankan tugasnya sebagai mitra Allah dalam karya
penciptaan, manusia justru mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya
membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya”.967 Jika
manusia campur tangan dalam alam tanpa melecehkan atau merusakkannya, maka kita dapat
mengatakan bahwa ia “campur tangan bukan dalam rangka mengubah alam melainkan untuk
memicu perkembangannya seturut kehidupannya sendiri, yakni sesuai dengan penciptaan
yang Allah kehendaki. Tatkala bekerja dalam ranah yang jelas-jelas pelik dan rumit ini,
seorang peneliti mesti menaati rancangan Allah. Allah menghendaki agar manusia menjadi
raja ciptaan.”968 Pada ujung-ujungnya, Allah sendirilah yang menawarkan kepada manusia
kehormatan untuk bekerja sama dengan kekuatan penuh daya nalar mereka dalam karya
penciptaan.

III. KRISIS DALAM RELASI ANTARA MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP

461. Amanat alkitabiah dan Magisterium Gereja menyajikan titiktitik rujukan hakiki untuk
menilai berbagai masalah yang ditemukan dalam relasi manusia dan lingkungan hidup.969
Penyebab yang mendasari persoalan-persoalan ini dapat disaksikan dalam pretensi manusia
untuk melakukan penguasaan tanpa syarat atas segala sesuatu, tanpa mengindahkan
pertimbangan moral apa pun, yang semestinya mencirikan semua kegiatan manusia.
Kecenderungan pada eksploitasi “yang acak-acakan”970 terhadap sumber-sumber daya
ciptaan merupakan hasil dari proses historis dan kultural yang panjang. “Abad modern telah
menyaksikan kesanggupan manusia yang semakin berkembang untuk melakukan intervensi
transformatif. Segi penaklukan serta eksploitasi atas sumber-sumber daya alam telah menjadi
dominan dan invasif, dan dewasa ini hal itu telah mencapai titik yang mengancam segi
keramahan lingkungan hidup: lingkungan hidup sebagai ‘sumber daya alam’ berisiko
mengancam lingkungan hidup sebagai ‘rumah’. Oleh karena sarana transformasi ampuh yang
ditawarkan peradaban teknologis, kadang kala tampak bahwa keseimbangan antara manusia
dan lingkungan hidup telah mencapai suatu titik kritis.”971
189

462. Alam tampak sebagai sebuah sarana dalam tangan manusia, sebuah realitas yang
secara tetap mesti ia manipulasi, khususnya dengan memakai teknologi. Sebuah pemahaman
reduksionis dengan cepat tersebar, berawal dengan pengandaian – yang tentu saja keliru –
bahwa tersedia jumlah energi dan sumber-sumber daya alam yang tak terbatas, bahwa ada
kemungkinan untuk membarui sumber-sumber itu secara cepat, dan bahwa dampakdampak
negatif dari eksploitasi atas tata susunan alam dapat dengan mudah ditangkal. Pemahaman
reduksionis ini melihat dunia alam dalam bingkai mekanistik dan memahami perkembangan
serta pembangunan dalam bingkai konsumerisme. Keutamaan diberikan pada ihwal berbuat
dan memiliki, alih-alih berada, dan hal ini menimbulkan bentuk-bentuk serius keterasingan
manusia.972 Sikap-sikap semacam itu tidak muncul dari riset ilmiah dan teknologis
melainkan dari saintisme dan ideologi-ideologi teknokratis yang cenderung mengkondisikan
riset dimaksud. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak menghilangkan kebutuhan
akan transendensi, dan dalam dirinya sendiri bukan merupakan penyebab dari sekularisasi
menggusarkan yang berujung pada nihilisme. Bersama dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, bertambah pula pertanyaan menyangkut makna keduanya dan menyata suatu
kebutuhan yang semakin jelas untuk menghormati matra transenden pribadi manusia serta
ciptaan itu sendiri.

463. Sebuah pemahaman yang benar tentang lingkungan hidup mencegah reduksi utilitarian
atas alam menjadi semata-mata satu objek yang mesti dimanipulasi dan dieksploitasi. Pada
saat yang sama, mesti tidak bolehlah alam dimutlakkan dan ditempatkan di atas martabat
pribadi manusia itu sendiri. Menyangkut hal terakhir tadi, orang bisa berlangkah begitu jauh
sehingga mengilahikan alam atau bumi, sebagaimana yang dapat dengan segera disaksikan
dalam gerakan-gerakan ekologis tertentu yang berjuang menggapai sebuah status
kelembagaan yang diakui secara internasional untuk berbagai keyakinan mereka.973
Magisterium menemukan motivasi bagi penentangannya terhadap sebuah paham tentang
lingkungan hidup yang dilandaskan pada ekosentrisme dan pada biosentrisme dalam
kenyataan bahwa “paham itu menyatakan bahwa perbedaan ontologis dan aksiologis antara
manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya telah dihapuskan, sebab biosfer dianggap
sebagai sebuah kesatuan biotik tanpa perbedaan nilai apa pun. Tanggung jawab utama
manusia dapat dilenyapkan guna mendukung suatu pertimbangan egalitarian menyangkut
‘martabat’ dari semua makhluk hidup.”974

464. Sebuah pandangan tentang manusia yang memisahkan diri dari rujukan apa pun pada
yang transenden telah berujung pada penolakan terhadap gagasan tentang penciptaan dan
190

mengenakan eksistensi yang sama sekali terpisah antara manusia dan alam. Ikatan-ikatan
yang mempersatukan dunia dengan Allah dengan demikian diputuskan. Pemutusan ini juga
menimbulkan pemisahan manusia dari dunia dan, lebih radikal lagi, mempermiskin jati diri
manusia. Manusia berpikir bahwa ia asing terhadap konteks lingkungan hidup di mana ia
hidup. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari hal ini tentu saja sangat jelas: “Relasi yang
dimiliki manusia dengan Allah itulah yang menentukan relasinya dengan sesamanya dan
dengan lingkungan hidupnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan Kristen selalu mengakui
makhluk-makhluk hidup yang mengitarinya juga sebagai karunia Allah yang mesti dipelihara
dan dilindungi dengan rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Spiritualitas Benediktin dan
Fransiskan telah bersaksi tentang jenis kekerabatan yang dipunyai manusia dengan
lingkungan hidupnya, seraya mengembangkan di dalam dirinya suatu sikap hormat terhadap
segenap realitas dari dunia di sekitarnya.”975 Terdapat satu kebutuhan untuk memberi
penekanan yang semakin besar pada hubungan yang mesra antara ekologi lingkungan hidup
dan “ekologi manusiawi”.976

465. Magisterium menggarisbawahi tanggung jawab manusia bagi pelestarian lingkungan


hidup yang bersih dan sehat bagi semua orang. 977 “Jika umat manusia dewasa ini berhasil
memadukan kecakapan ilmiah baru dengan sebuah matra etis yang kuat, maka niscaya ia
akan mampu mengembangkan lingkungan hidup sebagai rumah dan sumber daya bagi
manusia, dan ia akan mampu pula menghilangkan penyebab-penyebab pencemaran serta
menjamin kondisi higienis dan kesehatan yang memadai bagi kelompokkelompok kecil
sekaligus juga bagi pemukiman-pemukiman manusia yang luas. Teknologi yang mencemari
dapat juga membersihkan, produksi yang menumpuk dapat juga dibagikan secara merata,
dengan syarat bahwa berlakulah etika yang menghormati kehidupan serta martabat manusia,
yang menghormati hak-hak generasi sekarang dan yang akan datang.”978

IV. SEBUAH TANGGUNG JAWAB BERSAMA

a. Lingkungan hidup, sebuah harta milik bersama

466. Kepedulian terhadap lingkungan hidup menyajikan sebuah tantangan bagi segenap
umat manusia. Ini merupakan persoalan kewajiban bersama dan universal, yakni soal
menghormati harta milik bersama,979 yang diperuntukkan bagi semua orang, dengan
mencegah siapa pun untuk menggunakan “semaunya sendiri saja pelbagai golongan ciptaan,
entah bernyawa atau tidak – margasatwa, tumbuh-tumbuhan, unsur-unsur alam– untuk
memenuhi kebutuhannya di bidang ekonomi”.980
191

Inilah pula sebuah tanggung jawab yang mesti dimatangkan dengan berlandaskan pada matra
global krisis ekologi sekarang ini beserta keniscayaan yang konsekuen untuk menghadapinya
pada tingkat sedunia, sebab semua makhluk bergantung satu sama lain dalam tatanan
universal yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. “Kita mesti mengindahkan kodrat setiap
makhluk serta hubungan timbal baliknya di dalam suatu tata susunan yang teratur, yang justru
disebut ‘kosmos’.”981

Perspektif ini memperoleh suatu makna khusus tatkala kita mempertimbangkan, dalam
konteks hubungan erat yang mengikat aneka ragam bagian ekosistem, nilai alamiah
keragaman biologis, yang mesti ditangani dengan rasa tanggung jawab serta dilindungi
secara memadai, karena ia mengandung sebuah kekayaan yang luar biasa bagi segenap umat
manusia. Berkenaan dengan hal ini, setiap orang dapat dengan mudah mengakui misalnya
pentingnya kawasan Amazon, “salah satu kawasan alam yang paling berharga di dunia ini,
karena keragaman biologisnya menjadikan kawasan tersebut teramat penting bagi
keseimbangan lingkungan dari keseluruhan planet ini”.982

Hutan membantu menjaga keseimbangan alamiah yang hakiki dan yang mutlak diperlukan
bagi kehidupan.983 Perusakan atasnya juga melalui pembakaran secara serampangan dan
sengaja, mempercepat proses penggundulan dengan berbagai konsekuensi penuh risiko bagi
sumber-sumber air serta membahayakan kehidupan banyak suku bangsa pribumi serta
kemaslahatan generasi-generasi yang akan datang. Semua pribadi dan lembaga mesti merasa
wajib untuk melindungi warisan hutan dan untuk melakukan penghijauan di mana memang
perlu.

467. Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup, warisan bersama umat manusia, tidak
saja mencakup kebutuhan-kebutuhan saat sekarang tetapi juga kebutuhan-kebutuhan di masa
depan. “Kita menjadi ahli waris angkatan-angkatan sebelum kita, dan kita menuai buah
keuntungan dari usaha-usaha orang-orang sezaman. Kita mempunyai kewajiban terhadap
semua orang. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengabaikan kesejahteraan mereka yang akan
menyusul kita untuk menumbuhkan bangsa manusia.”984 Inilah tanggung jawab yang
dipunyai generasi-generasi sekarang terhadap generasi-generasi yang akan datang,985 sebuah
tanggung jawab yang juga berkaitan dengan masing-masing negara serta masyarakat
internasional.

468. Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup hendaknya pula menemukan ungkapan
yang memadai pada ranah hukum. Pentinglah bahwa masyarakat internasional merancang
192

aturanaturan seragam yang memungkinkan negara-negara melakukan kontrol yang lebih


efektif atas beraneka ragam kegiatan yang memiliki dampak-dampak negatif atas lingkungan
hidup serta melindungi ekosistem dengan mencegah risiko kecelakaan. “Negara mesti juga
secara aktif berjuang seturut lingkup kewenangannya untuk mencegah perusakan atmosfer
dan biosfer, dengan secara saksama memantau, antara lain, dampak dari berbagai kemajuan
teknologi atau ilmu pengetahuan baru ... [dan] menjamin agar para warganya tidak tak
terlindungi dari sisa buangan yang berbahaya atau limbah-limbah beracun.”986 Muatan
yuridis dari “hak untuk memperoleh sebuah lingkungan hidup yang aman dan sehat”987
perlahan-lahan mulai terbentuk, yang dirangsang oleh keprihatinan yang diperlihatkan oleh
opini publik untuk menertibkan penggunaan barang-barang tercipta sesuai dengan tuntutan
kesejahteraan umum serta suatu hasrat bersama untuk menghukum barang siapa yang
melakukan pencemaran. Namun langkah-langkah hukum itu dalam dirinya sendiri tidaklah
memadai.988 Langkah-langkah itu mesti disertai dengan rasa tanggung jawab yang semakin
meningkat serta perubahan yang efektif dalam mentalitas dan gaya hidup.

469. Para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan berkenaan dengan
kesehatan dan risiko lingkungan sering kali menemukan diri mereka menghadapi sebuah
situasi di mana data ilmiah yang tersedia bersifat kontradiktif atau langka secara kuantitatif.
Maka barangkali lebih tepat memijakkan penilaian pada “prinsip pencegahan”, yang tidak
berarti menerapkan aturan-aturan tetapi panduan-panduan tertentu yang bertujuan
menangani situasi ketidak-pastian. Hal ini menunjukkan kebutuhan untuk mengambil
keputusan-keputusan sementara yang bisa diubah lagi seturut fakta-fakta baru yang pada
akhirnya diketahui. Keputusan-keputusan semacam itu mesti sebanding dengan berbagai
ketentuan yang sudah diambil menyangkut risikorisiko yang lain. Kebijakan-kebijakan yang
arif, yang dilandaskan pada prinsip pencegahan menuntut agar keputusan-keputusan mesti
didasarkan pada suatu perbandingan antara risiko dan manfaat yang sudah terlebih dahulu
memperhitungkan berbagai alternatif yang mungkin, termasuk keputusan untuk tidak campur
tangan. Pendekatan pencegahan ini dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendorong setiap
upaya guna memperoleh pengetahuan yang menyeluruh, dalam kesadaran penuh bahwa ilmu
pengetahuan tidak mampu membuat kesimpulan-kesimpulan cepat tentang tidak adanya
risiko. Situasi ketidakpastian serta jalan-jalan keluar sementara secara khusus menonjolkan
betapa pentingnya proses pengambilan keputusan itu mesti dibuat transparan.

470. Program-program pengembangan ekonomi mesti secara saksama memperhatikan“


perlunya menghormati keutuhan serta irama-irama alam”989 karena sumber-sumber daya
193

alam itu terbatas dan beberapa darinya tidak dapat dibarui. Irama eksploitasi dewasa ini
benar-benar membahayakan ketersediaan beberapa sumber daya alam baik untuk saat ini
maupun untuk masa yang akan datang.990 Berbagai jalan keluar untuk masalah ekologis
menuntut bahwa kegiatan ekonomi mesti menghormati lingkungan hidup pada taraf yang
lebih besar lagi, seraya mendamaikan kebutuhan-kebutuhan pembangunan ekonomi dengan
kebutuhan-kebutuhan akan perlindungan lingkungan hidup. Setiap kegiatan ekonomi yang
mendayagunakan sumbersumber daya alam mesti juga peduli untuk melindungi lingkungan
hidup dan harus memperhitungkan sebelumnya ongkos-ongkos yang dikeluarkan, yang
merupakan “salah satu unsur hakiki dari ongkos aktual kegiatan ekonomi”.991

Dalam konteks ini, kita teringat pada relasi antara kegiatan manusia dan perubahan iklim
yang, mengingat kepelikannya yang luar biasa, mesti dipantau secara selayaknya dan secara
tetap pada level keilmuan, politik dan hukum, nasional dan internasional. Iklim adalah sebuah
harta milik yang mesti dilindungi, dan mengingatkan para konsumen dan orang-orang yang
terlibat dalam kegiatan industri untuk mengembangkan sebuah rasa tanggung jawab yang
lebih besar atas perilaku mereka.992 Sebuah ekonomi yang menghormati lingkungan hidup
tidak akan menempatkan maksimalisasi keuntungan sebagai satu-satunya tujuannya, karena
perlindungan atas lingkungan hidup tidak dapat dijamin semata-mata berdasar pada
perhitungan finansial menyangkut biaya dan laba. Lingkungan hidup adalah salah satu harta
milik yang tidak dapat dilindungi atau dikembangkan secara memadai oleh kekuatan-
kekuatan pasar.993

Setiap negara, khususnya negara-negara maju, mesti menyadari kewajiban yang mendesak
untuk mempertimbangkan kembali cara barang-barang alamiah itu dipergunakan. Mencari
cara-cara baru untuk mengurangkan dampak lingkungan dari produksi dan konsumsi barang-
barang harus didorong secara efektif. Perhatian khusus mesti dicurahkan kepada masalah-
masalah pelik yang berkenaan dengan sumber-sumber energi.994 Sumbersumber yang tidak
dapat dibarui, yang banyak disedot oleh negara-negara industri baik lama maupun baru, mesti
ditempatkan untuk melayani semua umat manusia. Dari sebuah perspektif moral yang
berpijak pada hak menurut keadilan serta solidaritas antar wilayah, mutlak diperlukan pula
untuk terus, melalui andil komunitas keilmuan, mencari sumber-sumber energi baru,
mengembangkan sumber-sumber energi alternatif serta meningkatkan tingkat keamanan
energi nuklir.995 Penggunaan energi, dalam konteks relasinya dengan pembangunan dan
lingkungan hidup, menuntut tanggung jawab politik negara-negara, masyarakat internasional
194

dan para pelaku ekonomi. Tanggung jawab semacam itu mesti diterangi dan dibimbing oleh
rujukan yang berkelanjutan pada kesejahteraan umum seluruh umat manusia.

471. Hubungan suku-suku pribumi dengan tanah serta sumber daya mereka layak mendapat
perhatian khusus, sebab hubungan itu merupakan sebuah ungkapan yang hakiki tentang jati
diri mereka.996 Oleh karena adanya kepentingan agro-industri yang sangat kuat atau proses
asimilasi serta urbanisasi yang sangat kuat pula, banyak dari antara suku-suku ini yang telah
kehilangan atau berisiko akan kehilangan tanah di mana mereka hidup,997 yakni tanah yang
berkaitan sangat erat dengan makna keberadaan mereka sendiri.998 Hak-hak suku-suku
pribumi mesti dilindungi secara sewajarnya.999 Suku-suku menyajikan sebuah teladan
tentang satu kehidupan yang dilakoni dalam keselarasan dengan lingkungan hidup yang telah
mereka kenal dengan sangat baik dan mereka pelihara pula.1000 Pengalaman mereka yang
luar biasa, yang merupakan sebuah sumber daya yang tak tergantikan bagi semua umat
manusia, terancam risiko akan punah bersama dengan lingkungan hidup dari mana mereka
berasal.

b. Penggunaan bioteknologi

472. Dalam tahun-tahun belakangan ini pertanyaan-pertanyaan mendesak mulai


dilayangkan berkenaan dengan penggunaan bentuk-bentuk baru bioteknologi di bidang
pertanian, peternakan, kedokteran serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. Berbagai
peluang baru yang ditawarkan oleh teknik biologis serta teknik biogenetika merupakan
sebuah sumber harapan dan antusiasme di satu pihak, dan sumber yang menggelisahkan dan
bermusuhan di
lain pihak. Penerapan aneka ragam jenis bioteknologi, penerimaannya dari sisi tilik moral,
konsekuensi-konsekuensinya bagi kesehatan manusia serta dampaknya atas lingkungan hidup
dan ekonomi menjadi subjek kajian yang menyeluruh dan perdebatan yang panas. Inilah
persoalan-persoalan kontroversial yang melibatkan banyak ilmuwan dan peneliti, politisi dan
pembuat undang-undang, pakar ekonomi dan pemerhati lingkungan hidup, dan juga para
produsen dan konsumen. Orangorang Kristen tidak masa bodoh terhadap persoalan-persoalan
ini, sebab mereka sadar akan pentingnya nilai-nilai yang sedang dipertaruhkan di sini.1001

473. Wawasan Kristen tentang ciptaan membuat suatu penilaian yang positif tentang
diperkenankannya campur tangan manusia atas alam, yang juga mencakup makhluk-
makhluk hidup lainnya, dan pada saat yang sama membuat sebuah seruan yang tegas
menyangkut tanggung jawab.1002 Pada hakikatnya, alam bukanlah sebuah realitas sakral
195

atau ilahi yang tidak boleh disentuh oleh manusia. Sebaliknya, alam adalah sebuah karunia
yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada masyarakat manusia, yang dipercayakan kepada
daya nalar serta tanggung jawab moral manusia. Karena alasan ini maka pribadi manusia
tidak melakukan sebuah tindakan terlarang manakala, berdasarkan penghargaan terhadap tata
susunan, keindahan serta kegunaan masing-masing makhluk hidup dan fungsinya di dalam
ekosistem, ia melakukan campur tangan dengan mengubah beberapa ciri khas atau sifat
dasarnya. Campur tangan manusia yang merusakkan makhlukmakhluk hidup atau lingkungan
alam layak dicela, sedangkan campur tangan yang meningkatkannya patut dipuji.
Penerimaan terhadap penggunaan teknik biologis serta teknik biogenetika hanyalah satu sisi
dari masalah etika: sama seperti yang berlaku atas setiap tingkah laku manusia, mutlak
diperlukan pula untuk menilai secara sangat tepat keuntungan-keuntungan riil maupun
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul, yakni berupa risiko-risikonya. Dalam ranah
intervensi ilmiah teknologis yang memiliki dampak kuat dan tersebar luas atas organisme
hidup, dengan kemungkinan akibat-akibat yang bertolak belakang dalam jangka panjang,
maka tidak dapat diterima untuk bertindak secara enteng-entengan atau secara tidak
bertanggung jawab.

474. Berbagai bioteknologi modern memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik yang sangat
besar baik secara lokal, nasional maupun internasional. Semuanya perlu dinilai berdasarkan
kriteria etika yang mesti selalu dibimbing oleh aneka rupa kegiatan dan relasi manusia
dalam ranah sosial, ekonomi dan politik.1003 Terutama nian kriteria keadilan dan
solidaritas mesti diindahkan. Individu-individu maupun kelompok-kelompok yang terlibat
dalam riset serta komersialisasi di bidang bioteknologi mesti secara khusus diikat oleh
kriteria tersebut. Bagaimanapun juga, orang mesti mencegah agar tidak jatuh ke dalam
kesalahan yaitu mempercayai bahwa hanya penyebaran keuntungan-keuntungan yang
berkaitan dengan teknik-teknik baru bioteknologi yang bisa memecahkan masalah-masalah
mendesak semisal kemiskinan dan keterbelakangan yang masih menimpa begitu banyak
negeri di planet ini.

475. Dalam semangat solidaritas internasional, aneka macam langkah dapat ditempuh
dalam hubungan dengan penggunaan pelbagai bioteknologi baru. Pada tempat pertama,
pertukaran niaga yang adil, tanpa beban syarat-syarat yang tidak adil, mesti diperlancar.
Namun memajukan perkembangan bangsa-bangsa yang paling tidak beruntung tidak akan
autentik atau efektif jika cuma direduksi pada pertukaran barang-barang semata. Teramat
pentinglah untuk menggalakkan pengembangan otonomi keilmuan dan teknologi yang mutlak
196

diperlukan pada pihak bangsa-bangsa dimaksud, seraya memajukan pertukaran pengetahuan


ilmiah dan teknologis serta alih teknologi ke negara-negara sedang berkembang.

476. Solidaritas berarti mengandalkan tanggung jawab negaranegara sedang berkembang,


dan khususnya para pemimpin politik mereka, untuk memajukan kebijakan-kebijakan dagang
yang lebih menguntungkan bagi rakyat mereka serta pertukaran teknologi yang bisa
meningkatkan kondisi pasokan makanan dan kesehatan mereka. Di negara-negara semacam
itu, mesti ada suatu peningkatan dalam investasi di bidang riset, dengan perhatian khusus
pada ciri khas serta kebutuhan-kebutuhan di wilayah dan penduduk mereka, terutama nian
dengan mencamkan bahwa riset tertentu di bidang bioteknologi, yang secara potensial
bermanfaat, menuntut investasi yang tidak seberapa banyak. Untuk mencapai hal ini maka
ada gunanya untuk mendirikan badan-badan nasional yang bertanggung jawab untuk
melindungi kesejahteraan umum dengan mempertimbangkan risiko secara saksama.

477. Para ilmuwan dan teknisi yang terlibat dalam bidang bioteknologi dipanggil untuk
bekerja secara rajin dan dengan gigih dalam mencari jalan-jalan keluar terbaik atas dua
masalah serius lagi mendesak, yakni pasokan makanan dan perawatan kesehatan. Mereka
mesti tidak boleh melupakan bahwa kegiatan mereka berkenaan dengan material – baik hidup
maupun mati – yang menjadi warisan umat manusia dan diperuntukkan pula bagi generasi-
generasi yang akan datang. Bagi kaum beriman, ini adalah soal menyangkut karunia yang
telah diterima dari Sang Pencipta dan dipercayakan kepada daya nalar serta kebebasan
manusia, dan keduanya pun adalah juga karunia dari surga. Diharapkan bahwa para ilmuwan
mendayagunakan tenaga serta kesanggupan mereka dalam riset yang ditandai dengan
semangat tinggi dan dibimbing oleh hati nurani yang jelas dan jujur.1004

478. Para wirausahawan serta direktur lembaga-lembaga publik yang terlibat dalam riset,
produksi dan penjualan produk yang berasal dari pelbagai bioteknologi baru mesti
mengindahkan tidak saja keuntungan yang memang sah tetapi juga kesejahteraan umum.
Prinsip ini, yang juga berlaku untuk setiap jenis kegiatan ekonomi, khususnya untuk pelbagai
kegiatan yang berkaitan dengan pasokan makanan, obat-obatan, perawatan kesehatan serta
lingkungan hidup. Oleh berbagai keputusan yang mereka ambil, para wirausahawan serta
direktur lembaga-lembaga publik yang terlibat dalam sektor ini bisa menuntun berbagai
perkembangan dalam bidang bioteknologi menuju ke akhir yang menjanjikan sejauh yang
berkenaan dengan perang melawan kelaparan, khususnya di negara-negara yang lebih miskin,
197

perang melawan penyakit dan perang untuk melindungi ekosistem, pusaka bersama dari
semua orang.

479. Para politisi, pembuat undang-undang dan pejabat publik bertanggung jawab untuk
menilai potensi-potensi keuntungan serta kemungkinan-kemungkinan risiko yang
berhubungan dengan penggunaan pelbagai bioteknologi. Tidaklah diharapkan bahwa
keputusan-keputusan mereka, entah pada tingkat nasional maupun internasional, didiktekan
oleh tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Para pejabat publik mesti juga
mendorong terciptanya suatu opini publik berdasarkan informasi yang tepat dan mengambil
keputusan-keputusan yang paling cocok dengan kesejahteraan umum.

480. Para pemimpin dalam sektor informasi juga memiliki sebuah tugas penting yang mesti
dilaksanakan dengan kearifan serta objektivitas. Masyarakat mengharapkan informasi yang
lengkap dan objektif, yang membantu para warga untuk membentuk opini yang tepat
berkenaan dengan produk-produk bioteknologi, terutama nian karena hal ini bersinggungan
secara langsung dengan mereka sebagai para calon konsumen. Godaan untuk jatuh ke dalam
informasi dangkal, yang dikobarkan oleh semangat yang berlebihan atau kekhawatiran yang
tidak berdasar, mesti dihindarkan.

c. Lingkungan hidup serta penggunaan harta milik secara bersama

481. Menyangkut persoalan ekologis, ajaran sosial Gereja mengingatkan kita bahwa bumi
yang telah diciptakan Allah mesti digunakan secara bijaksana oleh semua orang. Mereka
mesti saling berbagi secara merata, sesuai dengan keadilan dan cinta kasih. Pada dasarnya
ini merupakan persoalan tentang mencegah ketidakadilan penimbunan sumber-sumber daya
alam: ketamakan, entah itu perorangan atau kolektif, bertentangan dengan tata susunan
ciptaan.1005 Masalah-masalah ekologi modern memiliki matra seluas planet bumi itu sendiri
dan dapat secara efektif dipecahkan hanya melalui kerja sama internasional yang bisa
menjadi koordinasi yang lebih besar dalam penggunaan sumbersumber daya bumi.

482. Krisis lingkungan dan kemiskinan dikaitkan oleh serangkaian penyebab yang pelik dan
dramatis, yang dapat diatasi oleh prinsip menyangkut tujuan universal harta benda, yang
menawarkan sebuah orientasi moral dan kultural yang fundamental. Krisis lingkungan yang
terjadi saat ini mempengaruhi secara sangat khusus orang-orang yang paling miskin, entah
mereka hidup di bidang tanah yang tergerus erosi atau penggundulan, terlibat dalam konflik-
konflik bersenjata atau terkena migrasi paksa, atau karena mereka tidak memiliki sarana
198

ekonomi dan teknologi guna melindungi diri mereka sendiri dari aneka bencana lainnya.
Tak terhitung jumlahnya orang-orang miskin ini yang tinggal di wilayah-wilayah pinggiran
yang tercemar di kota-kota besar, di tempat-tempat tinggal sementara atau di kompleks-
kompleks pemukiman padat dengan rumah-rumah lapuk dan tidak aman (slum, bidonville,
barrio, favela). Dalam kasus di mana niscayalah untuk memindahkan mereka, agar jangan
menumpuk penderitaan di atas penderitaan, informasi yang memadai mesti diberikan
sebelumnya, dengan pilihan berupa tawaran rumah layak huni, dan orang-orang yang terkena
mesti secara aktif diikutsertakan dalam proses tersebut. Lebih dari itu, mutlak diperlukan pula
untuk mencamkan situasi di negara-negara yang dihukum oleh aturan-aturan perdagangan
internasional yang tidak adil serta negara-negara yang mengalami kelangkaan barang modal,
yang sering kali diperparah oleh beban utang luar negeri. Dalam kasus semacam ini,
kelaparan dan kemiskinan membuat nyaris mustahil untuk menghindari eksploitasi secara
intensif dan berlebihan atas lingkungan hidup.

483. Hubungan erat yang ada antara pembangunan negara-negara yang paling miskin,
perubahan-perubahan demografis dan penggunaan secara lestari atas lingkungan hidup
mesti tidak boleh menjadi dalih untuk pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang bertentangan
dengan martabat pribadi manusia. Di negara-negara maju terjadi “penurunan laju kelahiran,
beserta dampaknya yakni makin lanjutnya usia penduduk yang tidak mampu meremajakan
diri secara biologis”.1006 Keadaannya berbeda di negara-negara sedang berkembang di mana
perubahan-perubahan demografis terus meningkat. Walaupun benar bahwa sumber-sumber
daya yang tersedia serta persebaran penduduk yang tidak merata menciptakan kendala-
kendala bagi pembangunan dan pendayagunaan lingkungan hidup secara lestari, namun
bagaimanapun juga mesti diakui bahwa pertumbuhan penduduk sepenuhnya bersepadanan
dengan sebuah pembangunan yang terpadu dan merata.1007 “Terdapat kesepakatan yang
tersebar luas bahwa suatu kebijakan kependudukan hanyalah sebagian dari keseluruhan
strategi pembangunan. Maka dari itu, pentinglah bahwa setiap pembahasan mengenai
kebijakan kependudukan mesti mencamkan perkembangan aktual dan yang diproyeksikan
dari bangsa-bangsa dan wilayah-wilayah. Pada saat yang sama, tidaklah mungkin
mengabaikan sama sekali hakikat dari apa yang dimaksudkan oleh istilah ‘pembangunan’ itu
sendiri. Semua jenis pembangunan yang layak menyandang nama itu semestinya bercorak
terpadu, artinya mesti diarahkan pada kesejahteraan sejati setiap pribadi dan keseluruhan
pribadi.”1008
199

484. Prinsip menyangkut tujuan universal harta benda juga berlaku secara wajar pada air,
yang dalam Alkitab dipandang sebagai simbol pemurnian (bdk. Mzm. 51:4; Yoh. 13:8) dan
simbol kehidupan (bdk. Yoh. 3:5; Gal. 3:27). “Sebagai karunia Allah, air adalah unsur vital
yang sangat hakiki bagi keberlangsungan hidup; jadi, setiap orang berhak atasnya.”1009
Pemuasan kebutuhan semua orang, khususnya orang-orang yang hidup dalam kemiskinan,
mesti menuntut penggunaan air dan berbagai pelayanan yang berkaitan dengannya. Akses
yang tidak memadai pada air minum yang aman mempengaruhi kemaslahatan sejumlah amat
besar orang dan sering kali menyebabkan penyakit, penderitaan, konflik, kemiskinan dan
bahkan kematian. Untuk memperoleh jalan keluar yang memadai atas persoalan ini, maka ia
“mesti ditempatkan dalam konteksnya dalam rangka menyusun kriteria moral yang justru
berlandas pada nilai kehidupan serta penghormatan kepada hak-hak dan martabat semua
manusia”.1010

485. Seturut hakikatnya yang paling dalam, air tidak dapat diperlakukan semata-mata sebagai
salah satu komoditas di antara banyak komoditas lainnya, dan air mesti digunakan secara
rasional dan dalam solidaritas dengan orang-orang lain. Distribusi air secara tradisional jatuh
ke dalam tanggung jawab lembaga-lembaga publik, karena air dipandang sebagai satu barang
publik. Biarpun distribusi air dipercayakan kepada sektor swasta, tetaplah air itu dipandang
sebagai satu barang publik. Hak atas air,1011 sebagaimana semua hak asasi manusia lainnya,
memperoleh pijakannya pada martabat manusia dan bukan pada penilaian kuantitatif macam
mana pun juga yang memandang air sematamata sebagai barang ekonomi. Tanpa air,
kehidupan terancam. Oleh karena itu, hak atas air minum yang aman adalah sebuah hak yang
universal dan tidak dapat dicabut.

d. Gaya-gaya hidup baru

486. Masalah-masalah ekologis yang serius menuntut sebuah perubahan mentalitas yang
efektif yang berujung pada diambilnya gaya-gaya hidup yang baru,1012 “di mana ikhtiar
akan kebenaran, keindahan, kebaikan dan persekutuan hidup dengan sesama demi kemajuan
bersama menjadi faktor-faktor yang menentukan pilihan-pilihan konsumen, tabungan serta
investasinya”. 1013 Gaya-gaya hidup ini mesti diilhami oleh ketenangan hati, kesahajaan
serta disiplin diri baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Terdapat suatu kebutuhan
untuk melakukan pemutusan hubungan dengan logika konsumsi semata-mata dan memajukan
bentuk-bentuk produksi pertanian dan industri yang menghormati tata susunan ciptaan serta
memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusiawi semua orang. Perisikap semacam ini,
200

yang ditopang oleh suatu kesadaran yang dibarui tentang saling ketergantungan di antara
semua penghuni bumi ini, akan memberi andil dalam melenyapkan sejumlah besar penyebab
bencana ekologis dan juga kesanggupan untuk tanggap secara cepat manakala bencana-
bencana semacam itu menimpa orang-orang atau wilayah-wilayah tertentu.1014 Persoalan
ekologis mesti tidak boleh dihadapi semata-mata karena kemungkinan menakutkan yang
didatangkan oleh kerusakan lingkungan hidup; sebaliknya, persoalan itu mesti terutama nian
menjadi sebuah motivasi yang kuat untuk menggalang sebuah solidaritas yang autentik yang
bermatra sedunia.

487. Perisikap yang mesti mencirikan cara manusia bertindak dalam hubungannya dengan
ciptaan pada hakikatnya adalah rasa terima kasih serta penghargaan; dunia sesungguhnya
menyingkapkan rahasia Allah yang menciptakan dan menopangnya. Apabila relasi dengan
Allah dikesampingkan, maka alam akan dilucuti dari maknanya yang paling dasar dan
dipermiskin. Jika di satu pihak, alam ditemukan kembali seturut matra ciptawinya, maka
saluran-saluran komunikasi dengannya dapat dibangun, maknanya yang kaya lagi simbolik
dapat dipahami, seraya membiarkan kita untuk masuk ke dalam ranah rahasianya. Ranah ini
membuka jalan manusia kepada Allah, Sang Pencipta langit danbumi. Dunia menampilkan
dirinya di hadapan pandangan mata manusia sebagai kesaksian tentang Allah, tempat di
mana daya kreatif-Nya, penyelenggaraan-Nya yang ilahi serta kuasa penebusan-Nya
disibakkan

63. 23-07-2004 KOMISI TEOLOGI INTERNASIONAL, PERSEKUTUAN DAN


PERWALIAN, 72-81

International Theological Commission, Communion and Stewardship, 72-81 (Catatan:


Komisi memang tak masuk Magisterium, tapi perangkatnya dan CTI dikepalai Prefek
Kongregasi Ajaran Iman)

71. Kemajuan ilmiah dan teknologi yang pesat selama seratus lima puluh tahun telah
menciptakan situasi baru secara radikal bagi semua makhluk hidup di planet kita. Bersamaan
dengan berlimpahnya materi, standar hidup yang lebih tinggi, kesehatan yang lebih baik dan
rentang hidup yang lebih panjang telah terjadi polusi udara dan air, pemborosan industri
beracun, eksploitasi dan kadang-kadang penghancuran habitat halus. Dalam situasi ini,
201

manusia telah mengembangkan kesadaran tinggi bahwa mereka secara organis terhubung
dengan makhluk hidup lainnya. Alam telah dipandang sebagai biosfer di mana semua
makhluk hidup membentuk jejaring kehidupan yang kompleks namun diatur secara seksama.
Selain itu, sekarang telah dikenali adanya batasbatas, baik untuk kepenuhan sumber daya
alam dan kemampuannya untuk pulih dari kerugian yang diakibatkan oleh gencarnya
eksploitasi sumber dayanya.

72. Suatu aspek tak menguntungkan dari kesadaran ekologis baru ini ialah bahwa menurut
tuduhan beberapa orang agama kristiani sebagai bagian yang bertanggung jawab atas krisis
lingkungan hidup, karena telah memaksimalkan kedudukan manusia yang diciptakan menurut
citra Allah untuk menguasai ciptaan yang terlihat. Beberapa kritikus sampai menyatakan
bahwa tradisi kristiani tidak memiliki sumber daya untuk menyusun etika ekologis yang sehat
karena memandang manusia secara hakiki lebih tinggi daripada dunia alam selebihnya, dan
bahwa perlu berpaling kepada agama Asia dan tradisional untuk mengembangkan etika
ekologis yang dibutuhkan.

73. Tetapi kritik ini timbul dari salah paham mendalam tentang teologi kristiani penciptaan
dan imago Dei. Berbicara tentang perlunya “pertobatan ekologis”, Paus Yohanes Paulus II
memberi catatan: “Kekuasaan manusia tak mutlak, melainkan melayani (ministerial), …
bukan perutusan penguasa mutlak dan tak dapat dipertanyakan, melainkan penatalayan
kerajaan Allah” (Amanat 17 Januari 2001). Pengertian salah tentang ajaran ini dapat
mengakibatkan beberapa orang berbuat sembrono melecehkan lingkungan alam, tetapi itu
bukan bagian ajaran kristiani tentang ciptaan dan imago Dei yang mendorong pengembangan
tak terkendali dan pengurasan sumber daya bumi. Pernyataan Paus Yohanes Paulus II
mencerminkan keprihatinan yang makin meningkat akan krisis ekologis di pihak magisterium
yang berakar dalam sejarah panjang ajaran yang terdapat dalam ensiklik-ensikliksosial
pontifikat modern. Dalam perspektif ajaran ini, krisis ekologis merupakan masalah insani dan
sosial, yang terkait dengan pelanggaran HAM dan akses tak sama ke sumber daya bumi. Paus
Yohanes Paulus II meringkas tradisi ajaran sosial Gereja ini dalam Centesimus Annus. “Yang
juga meresahkan ialah soal lingkungan hidup yang menyertai masalah konsumerisme dan
berkaitan erat dengannya. Karena keinginannya untuk memiliki dan menikmati lebih
daripada berada dan berkembang, orang mengonsumsi sumber daya bumi dan hidup mereka
sendiri secara berlebihan dan tak teratur. Pada akar penghancuran tanpa nalar terhadap
lingkungan alam ada kesesatan antropologis, yang sayang tersebar luas di zaman kita.
Manusia, yang menemukan kemampuannya untuk mengubah dan dalam arti tertentu
202

‘menciptakan’ dunia melalui karyanya sendiri, lupa bahwa hal itu selalu berdasarkan
anugerah Allah seturut maksud tujuanNya semula” (37).

74. Teologi kristiani penciptaan memberi sumbangan langsung kepada pemecahan krisis
ekologis dengan menegaskan kebenaran mendasar bahwa ciptaan yang kelihatan itu sendiri
adalah anugerah ilahi, “anugerah asli” yang menciptakan “ruang” persekutuan pribadi. Kita
dapat berkata bahwa teologi kristiani yang wajar tentang ekologi merupakan penerapan
teologi penciptaan. Seraya mencatat bahwa istilah “ekologi” memadukan dua kata Yunani
oikos (rumah) dan logos (kata), lingkungan fisik eksistensi manusia dapat ditangkap sebagai
“rumah” untuk hidup manusia. Mengingat bahwa hidup internal Tritunggal merupakan
persekutuan, maka perbuatan ilahi penciptaan adalah hasil cumacuma para mitra untuk
berbagi dalam persekutuan ini. Dalam makna ini orang dapat mengatakan bahwa persekutuan
ilahi menemukan diri sendiri “tinggal” di kosmos ciptaan. Karenanya, orang dapat berbicara
tentang kosmos sebagai tempat persekutuan pribadi.

75. Kristologi dan eskatologi bersama-sama mengabdi untuk membuat kebenaran ini lebih
jelas secara mendalam. Dalam kesatuan hipostatis Pribadi Putra dengan kodrat manusia Allah
datang ke dunia dan menerima ketubuhan yang diciptakan-Nya sendiri. Dalam inkarnasi,
lewat Putra tunggal yang dilahirkan oleh Perawan Maria dengan daya Roh Kudus, Allah
Tritunggal menciptakan kemungkinan persekutuan pribadi yang mesra dengan manusia.
Karena Allah yang mahamurah hendak mengangkat pribadi ciptaan untuk berpartisipasi
dialogis dalam hidup-Nya, Ia telah turun ke tingkat ciptaan. Sejumlah teolog menyebut
penurunan ilahi ini semacam “hominisasi:” yang dipakai Allah secara bebas untuk
pengilahian kita. Allah tak hanya menyatakan kemuliaan-Nya dalam kosmos lewat perbuatan
teofani, melainkan juga dengan menerima ketubuhannya. Dalam perspektif kristologis ini
“hominisasi” Allah merupakan tindakan solidaritas-Nya, tak hanya dengan orang-orang
ciptaan, melainkan dengan seluruh alam semesta yang diciptakan-Nya dan tujuan historisnya.
Lebih dari itu, dalam perspektif eskatologis, kedatangan kedua Kristus dapat dilihat sebagai
peristiwa kediaman fisik Allah di dalam alam semesta yang disempurnakan, yang
menyelesaikan rencana asli ciptaan.

76. Jauh dari mendorong pengabaian lingkungan alam secara sembarangan oleh manusia
yang menganggap diri sebagai pusat, teologi imago Dei justru menegaskan peran krusial
manusia dalam mewujudkan kediaman ilahi abadi dalam alam semesta sempurna ini.
Manusia, oleh rancangan Allah, merupakan penatalayan perubahan ini yang dirindukan
203

semua ciptaan. Bukan hanya manusia, melainkan seluruh ciptaan yang kelihatan, dipanggil
untuk berpartisipasi dalam hidup ilahi. “Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah
menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan
pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita” (Rom. 8:23). Dalam perspektif
kristiani tanggung jawab etis kita atas lingkungan alam – “eksistensi kediaman kita”– dengan
demikian berakar dalam pemahaman teologis mendalam tentang ciptaan yang kelihatan dan
tempat kita di dalamnya.

77. Mengacu pada tanggung jawab ini dalam bagian penting Evangelium vitae, Paus Yohanes
Paulus II menulis: ”Sebagai orang yang dipanggil untuk mengusahakan dan memelihara
taman dunia (bdk. Kej 2 15), manusia mengemban tanggung jawab khusus terhadap
lingkungan di mana ia hidup; terhadap ciptaan yang telah diletakkan Allah dalam pelayanan
martabat pribadinya. Itu adalah soal ekologis –mulai dari pemeliharaan habitat alami pelbagai
spesies hewan dan bentuk lain sampai “ekologi human”– yang dalam Kitab Suci terdapat
arah etis yang jelas dan kuat menuju pemecahan yang menghormati nilai besar kehidupan,
setiap hidup… Bila menyangkut dunia alam, kita terikat tak hanya hukum biologis melainkan
juga moral, yang tak dapat dilanggar tanpa hukuman” (42).

78. Akhirnya, harus dicatat bahwa teologi tak akan mampu menyediakan resep teknis untuk
solusi krisis ekologis, tetapi seperti telah kita lihat, dengannya kita dapat dibantu melihat
lingkungan alam kita seperti dilihat oleh Allah, sebagai ruang persekutuan pribadi di mana
manusia, yang diciptakan sebagai citra Allah, harus mencari persekutuan timbale-balik
dengan sesama dan penyempurnaan final alam semesta yang kelihatan.

79. Tanggung jawab ini membentang sampai dunia hewan. Hewan adalah ciptaan Allah, dan
menurut Kitab Suci, Ia mengelilinginya dengan perhatian providensial-Nya (Mat 6:26).
Manusia harus menerimanya dengan syukur dan, bahkan mengambil sikap ekaristis terhadap
setiap unsur ciptaan, untuk mengucap syukur pada Allah atas mereka. Dengan keberadaannya
saja hewan meluhurkan Allah dan memuliakan-Nya: “Pujilah Tuhan, segala unggas di udara.
Semua binatang, buas dan jinak, luhurkanlah Tuhan” (Tamb. Dan. 3:80-81). Selain itu,
harmoni yang harus dibangun, atau dipulihkan manusia, dalam seluruh ciptaan mencakup
relasinya dengan hewan. Bila Kristus datang dalam kemuliaan-Nya, Ia akan “merekapitulasi”
seluruh ciptaan dalam momen eskatologis dan definitif harmoni.

80. Namun demikian, ada perbedaan ontologis antara manusia dan hewan karena hanya
manusia diciptakan sebagai citra Allah dan Allah memberinya kekuasaan atas dunia hewan
204

(Kej. 1:26, 28; Ke.j 2:19-20). Dengan merenungkan tradisi kristiani mengenai penggunaan
wajar hewan, Katekismus Gereja Katolik menegaskan: “Allah mempercayakan hewan kepada
penguasaan mereka yang diciptakan-Nya sebagai citra-Nya. Maka adalah legitim
memanfaatkan hewan untuk makanan dan pakaian. Mereka boleh dijinakkan untuk
membantu manusia dalam pekerjaan dan waktu senggangnya” (2417). Pernyataan ini juga
mengingatkan penggunaan legitim hewan untuk eksperimentasi medis dan ilmiah, tetapi
selalu dengan mengakui bahwa “bertentangan dengan martabat manusia menyebabkan hewan
menderita sia-sia” (2418). Maka, setiap penggunaan hewan harus selalu dituntun oleh
prinsip-prinsip yang sudah dirumuskan: kedaulatan manusia atas dunia hewan secara hakiki
adalah kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan manusia kepada Allah yang adalah
Penguasa ciptaan dalam arti yang sebenarnya.

3. Tanggung jawab atas keutuhan biologis manusia

81. Teknologi modern, bersama dengan perkembangan terbaru dalam biokimia dan biologi
molekular terus memberikan ilmu kedokteran kontemporer kemungkinan diagnostik dan
terapeutik baru. Teknik-teknik ini tak hanya memberi perawatan baru dan lebih efektif bagi
penyakit, tetapi juga kemungkinan mengubah manusia itu sendiri. Ketersediaan dan
kelayakan teknologi ini memberi urgensi baru kepada soal ini, sejauh mana manusia boleh
mengubah dirinya? Pelaksanaan penatalayanan penuh tanggung jawab di bidang bioetika
menuntut refleksi moral mendalam mengenai sejumlah teknologi yang dapat mempengaruhi
keutuhan biologis manusia. Di sini dapat diberikan hanya beberapa indikasi singkat tantangan
moral spesifik yang ditimbulkan teknologi baru dan beberapa prinsip yang harus diterapkan
bila kita harus melaksanakan penatalayanan penuh tanggung jawab atas keutuhan biologis
manusia yang diciptakan sebagai citra Allah.

64. 15-10-2004 PESAN PAUS YOHANES PAULUS II KEPADA BP. JACQUES


DIOUF PADA KESEMPATAN HARI PANGAN SEDUNIA Message of John Paul II to
Mr. Jacques Diouf on the occasion of the World Food Day 2004

2. Sayangnya, dewasa ini banyak rintangan menghambat tindakan inter-nasional untuk


melestarikan keanekaragaman hayati. Kendatipun ada peraturan yang makin meningkat,
kepentingan lain rupanya menggang-gu keseimbangan wajar antara kedaulatan Negara atas
sumber daya di wilayahnya dan kemampuan perorangan dan masyarakat untuk
mempertahankan atau mengelola sumber daya itu dalam hal kebutuhan riil. Maka dari itu
205

kerja sama internasional harus didasarkan atas prinsip yang menuntut agar kedaulatan atas
sumber daya genetis yang ada dalam pelbagai ekosistem tak menjadi eksklusif atau menjadi
penyebab konflik, melainkan harus dijalankan sesuai dengan aturan alami manusia yang
mengatur hidup bersama antara pelbagai bangsa yang membentuk keluarga umat manusia.

3. Amat perlulah di banyak bidang meninjau kembali strategi yang diikuti hingga kini untuk
melindungi sumber daya raksasa dan tak tergantikan dari planet ini dan untuk mencapai
bukan hanya pengembangan lestari, melainkan terutama pengembangan dengan solidaritas…
Bila solidaritas dengan teguh didasarkan atas pribadi manusia, dengan kodrat dan
kebutuhannya, dapatlah disusun bersama rencana, norma, strategi dan tindakan lestari secara
sempurna. Pengembangan yang sejalan dengan solidaritas dapat juga menanggapi target
kelestarian, seraya memperhatikan bukan hanya perlindungan lingkungan atau referensi
abstrak terhadap kebutuhan generasi mendatang, melainkan juga tuntutan keadilan,
pembagian adil sumber daya dan kewajiban untuk kerja sama… Mandat yang diberikan
Pencipta kepada manusia untuk menguasai bumi dan mempergunakanbuahnya (bdk. Kej.
1:28), yang dipertimbangkan dalam terang keutamaan solidaritas, mencakup hormat terhadap
rencana ciptaan melalui tindakan manusia yang tidak menantang alam dan hukum-hukumnya,
bahkan untuk mencapai cakrawala baru, melainkan sebaliknya, memelihara sumber daya,
menjamin kesinambungan dan ketersediannya bagi generasi mendatang…

65. 05-06-2005 BENEDIKTUS XVI, SESUDAH ANGELUS


Benedetto XVI, Dopo Angelus

Di Italia hari ini kita merayakan Hari Olahraga untuk semua, yang ditetapkan untuk
menghidupkan nilai-nilai sejati olahraga. Secara khusus, tahun ini terutama ditekankan kaitan
antara olahraga dan alam, sehubungan dengan tema yang dipilih UNESCO untuk Hari
Lingkungan Hidup Sedunia pada hari ini. Saya berharap agar olahraga yang dipraktikkan
secara sehat dan harmonis pada semua tataran mendukung persaudaraan dan solidaritas
antara semua orang, serta sikap hormat dan penghargaan terhadap lingkungan alam kita.

66. 11-05-2006 INTERVENSI OLEH YM MGR. CELESTINO MIGLIORE KEPADA


SESSI KE-14 KOMISI TENTANG PENGEMBANGAN LESTARI ECOSOC.
206

Intervention by H.E. Msgr. Celestino Migliore to the 14th Session of the Commission on
Sustainable Development of the ECOSOC

Bapak Ketua,

Kemajuan akhir-akhir ini dalam hal pengembangan lestari yang dilaporkan dalam
dokumentasi persiapan Komisi harus disambut dengan baik, tetapi ini adalah keberhasilan
bersahaja bila ditempatkan di samping gambaran global serius. Hanya integrasi keprihatinan
akan lingkungan serta pengembangan kedalam pembuatan kebijakan dan komitmen tindak
lanjut politis akan mendatangkan perbaikan hakiki atas taraf hidup semua orang, seraya
menjamin masa depan lingkungan hidup dunia kita. Selain penghancuran tak masuk akal atas
lingkungan alam, ada penghancuran yang lebih serius atas lingkungan insani. Meskipun
orang sungguh kuatir mengenai pemeliharaan habitat alami, upaya untuk menyelamatkan
kondisi moral untuk ekologi human yang autentik terlalu sedikit. Ekologi semacam itu harus
menempatkan pribadi manusia di pusat keprihatinan akan lingkungan, seraya sekaligus
memajukan citarasa mendesak tanggung jawab manusia atas bumi, pada tataran negara,
perdagangan atau individuindividu. Untunglah, sementara simbiosis hidup yang hakiki di
planet menjadi nyata, sudah ada pengetahuan yang makin tumbuh bahwa kebijakan
lingkungan yang baik pada akhirnya adalah juga kebijakan yang baik bagi rakyat. Salah satu
bidang itu ialah air… Ini sudah merupakan krisis manusia dan lingkungan, serta keadilan
sosial… Terkait dengan hal ini adalah soal hakiki lainnya, yakni masalah ketahanan
pangan....Tak diragukan lagi bahwa perubahan kondisi iklim telah berdampak di sini. Kita tak
lagi dapat berpura-pura bahwa kegiatan manusia tak berpengaruh atau berpengaruh sedikit
pada soal-soal ini. Energi adalah pusat untuk mencapai perkembangan lestari... perbaikan
akses ke layanan energi yang terpercaya, terjangkau dan ramah lingkungan merupakan
tantangan besar pengentasan kemiskinan dan pencapaian MDGs. Bapak Ketua, mengaitkan
keprihatinan lingkungan dan pengembangan dengan kebijakan komersial dan industrial pasti
akan membawa masa depan yang lebih aman, lebih sejahtera bagsemua. Tak ada satu negara
pun yang dapat mencapai hal ini sendirian, tetapi negara-negara yang bekerja bersama-sama
dapat dan harus melakukannya, jika pola-pola lestari dalam bidangbidang ini, yang penting
bagi masa depan kita bersama, akan terjamin.

Terima kasih, Bapak Ketua.


207

67. 06-07-2006 BENEDIKTUS XVI, SURAT KEPADA PATRIARK EKUMENIS


BARTOLOMEUS I, PADA KESEMPATAN SIMPOSIUM VI TENTANG ”AGAMA,
ILMU & LINGKUNGAN DENGAN FOKUS PADA SUNGAI AMAZON

Letter of HH. Benedict XVI to H.H. Bartolomew I, Ecumenical Patriarch on the occasion of
the sixth symposium on “Religion, Science and Environment’ focusing on the Amazon River.

Saudara terkasih dalam Kristus,

Karena saya tak dapat hadir secara pribadi dalam pertemuan baru dan penting untuk
pemeliharaan ciptaan yang Anda selenggarakan dengan Simposium VI tentang.”Agama, ilmu
pengetahuan dan lingkungan” yang dikhususkan bagi sungai Amazon, saya mempercayakan
penyampaian salam hangat saya untuk Anda kepada Kardinal Roger Etchegeray. Saya amat
berterima kasih kepada Anda karena telah mengatur persiapan simposium dalam kerja sama
erat dengan Konferensi Para Uskup Brasilia. Kardinal Geraldo Majella Agnelo, Uskup
Agung Sao Salvador da Bahia, akan ambil bagian dan tak akan lalai menyampaikan syukur
saya atas dukungan Anda untuk karya Episkopat Brasilia di Amazonia dan aksinya untuk
lingkungan, yang degradasinya mempunyai akibat mendalam dan serius atas penduduk.
Upaya bersama menciptakan kesadaran pada pihak umat kristiani dari segala denominasi
untuk menunjukkan “kaitan intrinsik antara pengembangan, kebutuhan manusia dan
pemeliharaan ciptaan” (Direktorium Penerapan Asas dan Norma Ekumene 1993, no. 215),
ternyata kini terbukti lebih penting. Dalam konteks ini, saya ingat akan mendiang Paus
Yohanes Paulus II yang mendukung simposium IV di laut Adriatik dan saya juga ingat akan
Deklarasi Bersama yang ditanda-tanganinya bersama Anda, saudara terhormat. Kewajiban
untuk menekankan katekese yang sesuai tentang ciptaan, untuk mengingatkan arti dan makna
religius perlindungannya, terkait erat dengan kewajiban kita sebagai gembala dan dapat
mempunyai dampak penting atas persepsi nilai hidup itu sendiri dan juga atas pemecahan
memuaskan dari masalah-masalah sosial tak terhindarkan berikutnya.

Yang Mulia, saya sungguh berharap agar Simposium VI bagi sungai Amazon sekali lagi akan
menarik perhatian bangsa-bangsa dan pemerintah terhadap masalah, kebutuhan dan keadaan
darurat wilayah yang terpukul hebat dan keseimbangan ekologisnya terancam: dalam
keindahannya yang luar biasa, sungai-sungai dan hutan-hutan mewartakan kepada kita Allah
serta karyanya yang agung bagi umat manusia. Wilayah sangat besar ini, di mana air
merupakan sumber harmoni dan kekayaan tiada taranya, disajikan seperti buku terbuka yang
halaman-halamannya mengungkapkan misteri kehidupan. Bagaimana mungkin tidak merasa,
208

baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, didorong untuk memperoleh kesadaran
bertanggung jawab yang dinyatakan dalam keputusan yang konsisten untuk melindungi
lingkungan ekologis yang kaya semacam itu? ... Poin umum harus ditemukan dalam
bertemunya komitmen masing-masing orang untuk memelihara habitat yang telah disediakan
Sang Pencipta untuk manusia, yang telah diukir sebagai gambar-Nya.

68. 16-10-2006 PAUS BENEDIKTUS XVI KEPADA DIRJEN FAO UNTUK


PERYAAN HARI PANGAN SEDUNIA

Message of H.H.Benedict XVI to the Director General of the food and agriculture
organization for the celebration of the World Food Day

Tema yang dipilih tahun ini –Investasi di bidang pertanian demi ketahanan pangan–
memusatkan perhatian kita pada sektor pertanian dan mengajak kita untuk merefleksikan
berbagai faktor yang menghambat perang melawan kelaparan, yang banyak di antaranya
karena ulah manusia. Tak cukup perhatian dicurahkan kepada kebutuhan pertanian dan hal ini
mengganggu tatanan alami ciptaan dan melecehkan hormat terhadap martabat manusia.
Pada hari ini kita ingat terutama akan mereka yang meninggalkan tanah pertaniannya karena
konflik, bencana alam dan karena masyarakat mengabaikan sektor pertanian…...Masyarakat
lokal perlu dilibatkan dalam pemilihan dan keputusan menyangkut penggunaan tanah, karena
tanah pertanian semakin beralih fungsi untuk tujuan lain, yang seringkali berdampak pada
kerusakan lingkungan dan kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang. Tata ciptaan
menuntut agar prioritas diberikan kepada aktivitas manusia yang tidak mengakibatkan
kerugian tak terpulihkan kepada alam, tetapi yang berkaitan dengan tatanan sosial, kultural
dan religius pelbagai komunitas. Dengan demikian, dicapai keseimbangan jernih antara
konsumsi dan kelestarian sumber daya. Program-program pendidikan dan pembinaan di desa-
desa perlu diperluas, diberi sumber daya yang memadai serta ditujukan bagi semua kelompok
usia. Perhatian khusus perlu diberikan kepada mereka yang paling rentan, terutama kaum
wanita dan remaja. Pentinglah untuk mewariskan kepada generasi mendatang tidak hanya
aspek teknik produksi, nutrisi dan perlindungan sumber daya alam, melainkan juga nilai-nilai
dunia pedesaan.

69. 06-11-2006 AMANAT PAUS BENEDIKTUS XVI KEPADA PARA ANGGOTA


AKADEMI KEPAUSAN ILMU

Address of H.H.Benedict XVI to the members of the Pontifical Academy of Sciences


209

... Tema pertemuan Anda “Prediktabilitas dalam Ilmu Pengetahuan: Akurasi dan
Keterbatasan” berkaitan dengan sifat khas ilmu pengetahuan modern. Sesungguhnya,
prediktabilitas merupakan salah satu alasan utama prestise ilmu pengetahuan dalam
masyarakat kontemporer. Penetapan metode ilmiah memberikan kepada ilmu pengetahuan
kemampuan memprakirakan gejala, mempelajari perkembangannya, dan dengan demikian
mengawasi lingkungan yang dihuni manusia…

Titik awal Kitab Suci adalah penegasan bahwa Allah menciptakan umat manusia,
menganugerahi mereka akal budi, dan menempatkannya di atas seluruh ciptaan di bumi.
Dengan demikian, manusia menjadi pemelihara ciptaan dan “pembantu” Allah. Jika kita
memikirkan, misalnya, tentang bagaimana ilmu pengetahuan, dengan memprakirakan gejala
alam, telah berkontribusi untuk perlindungan lingkungan, kemajuan negaranegara
berkembang, perlawanan terhadap epidemi dan peningkatan harapan hidup, maka menjadi
jelas bahwa tidak ada pertentangan antara penyelenggaraan Allah dan usaha manusia.
Sungguh, dapat dikatakan bahwa kerja memprakirakan, mengawasi dan mengatur alam, yang
saat ini lebih mampu dilakukan oleh ilmu pengetahuan daripada di masa lalu, itu sendiri
merupakan bagian dari rencana Sang Pencipta. Para anggota Akademi yang terkasih, dunia
kita terus memandang Anda dan rekan-rekan Anda, untuk mengerti konsekuensi banyak
gejala alam. Saya memikirkan misalnya ancaman terus-menerus terhadap lingkungan yang
menimpa banyak bangsa dan kebutuhan mendesak untuk menemukan sumber daya energi
alternatif aman yang tersedia bagi semua. Para ilmuwan akan memperoleh dukungan dari
Gereja dalam usaha mereka menghadapi soal-soal ini, karena Gereja telah menerima dari
pendiri ilahinya tugas membina hati nurani umat menuju kebaikan, solidaritas dan
perdamaian. Justru karena alasan inilah Gereja berkewajiban mendesak agar kemampuan
ilmu pengetahuan untuk memprakirakan dan mengawasi tidak pernah dipakai untuk melawan
hidup manusia dan martabatnya, melainkan selalu ditempatkan untuk melayani generasi
sekarang dan mendatang.

70. 08-12-2006 PESAN PAUS BENEDIKTUS UNTUK HARI PERDAMAIAN


SEDUNIA 2007, 8-9
Benedict XVI, Message World Day of Peace 2007, 8-9 “Ekologi perdamaian”

8. Yohanes Paulus II menulis dalam ensiklik Centesimus annus: “Bukan hanya bumi
diberikan Allah kepada manusia, agar ia dengan menghormati tujuan semula
210

menggunakannya demi kebaikannya, melainkan manusia sendiri dianugerahkan Allah kepada


dirinya sendiri. Maka dari itu, ia harus menghormati struktur kodrati dan moral yang telah
dianugerahkan kepadanya” (no. 38). Dengan menanggapi tugas ini, yang dipercayakan Sang
Pencipta kepadanya, manusia dapat bergabung bersa-ma untuk mewujudkan dunia damai.
Selain ekologi alam, ada juga –yan dapat disebut – “ekologi human”, yang pada gilirannya
menuntut “ekologi sosial”. Dan hal itu berarti bahwa umat manusia, jika ia sungguh
mendambakan perdamaian, harus memperhatikan hubungan antara ekologi alam –jadi,
mempedulikan alam– dan ekologi yang menyangkut manusia. Pengalaman menunjukkan
bahwa setiap ketidakpedulian terhadap lingkungan merugikan hidup bersama manusia dan
begitu sebaliknya. Makin jelas Nampak hubungan tak terpisahkan antara perdamaian dengan
ciptaan dan perdamaian di antara manusia. Kedua hal ini mengandaikan perdamaian dengan
Allah. Puisi doa St. Fransiskus yang dikenal sebagai “Gita Sang Surya” merupakan contoh
yang mengagumkan dan baik untuk pelbagai ekologi perdamaian ini.

9. Hubungan erat antara ekologi yang satu dan yang lain, dapat dipahami dari semakin
meningkatnya masalah serius penyediaan energi. Pada tahun-tahun ini bangsa-bangsa baru
dengan penuh semangat telah memulai produksi industrial, dan dengan demikian
meningkatkan kebutuhan akan energi. Hal ini menyebabkan perlombaan yang belum pernah
terjadi sebelumnya ke sumber energi yang tersedia. Sementara itu, beberapa bagian bumi
masih tetap terbelakang, dan pengembangan praktis terhalangi, sebagian karena peningkatan
harga energi. Apa yang akan terjadi dengan bangsa-bangsa ini? Pengembangan atau non-
pengembangan yang bagaimana akan dikenakan pada mereka karena kekurangan pasokan
energi? Ketidakadilan dan konflik apa akan dipicu oleh perlombaan ke sumber energi? Dan
bagaimana reaksi mereka yang dikucilkan dari perlombaan itu? Itu semua soal-soal yang
menunjukkan bahwa betapa hormat terhadap alam terkait erat dengan keharusan menjalin
hubungan antara manusia dan bangsa yang menjunjung tinggi hormat kepada martabat
pribadi manusia dan mampu memenuhi kebutuhan riilnya. Penghancuran lingkungan,
pemanfaatannya yang sembarangan dan egoistis, serta penghamburan sumber daya bumi
menimbulkan dendam, konflik dan peperangan, justru karena merupakan buah konsep
pengembangan tak manusiawi. Sebenarnya, jika pengembangan membatasi diri pada aspek
teknis-ekonomis dan mengaburkan dimensi etis-religius, itu bukanlah pengembangan
manusiawi seutuhnya, melainkan distorsi sepihak yang akan memicu daya merusak dari
manusia.
211

71. 22-03-2007 PESAN PAUS BENEDIKTUS XVI DITANDATANGANI KARDINAL


TARCISIO BERTONE KEPADA DIREKTUR JENDERAL FAO PADA
KESEMPATAN PERAYAAN HARI AIR SEDUNIA 2007
Message of the Holy Father Benedict XVI signed by Cardinal Tarcisio Bertone to the
Director General of FAO on the occasion of the celebration of World Water Day 2007

Lebih lanjut, investasi tepat di sektor air dan layanan higiene merupakan mekanisme penting
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pengembangan lestari, memperbaiki
kesehatan dan higiene, mengentaskan kemiskinan dan memerangi degradasi lingkungan. Hari
Air Sedunia merupakan peluang berharga untuk mendorong komunitas internasional
menemukan cara-cara efektif untuk memungkinkan hak asasi manusia ini dikembangkan,
dilindungi dan dinikmati. Sehubungan dengan ini manajemen lestari air menjadi tantangan
sosial, ekonomi, lingkungan dan etika yang melibatkan bukan hanya lembaga, melainkan
seluruh masyarakat..

72. 10-05-2007 INTERVENSI TAKHTA SUCI PADA SESI KE I5 TENTANG


PENGEMBANGAN LESTARI DEWAN EKONOMI DAN SOSIAL. AMANAT Y.M.
MGR. CELESTINO MIGLIORE
Intervention by the Holy See at the 15th Session of the Commission on Sustainable
Development on the UN Economic and Social Council. Address of H.E. Msgr. Celestino
Migliore

Saudara ketua, persoalan energi dengan cepat menjadi salah satu soal kunci dari seluruh
agenda internasional, karena kami semua berjuang mengumpulkan satu strategi bersama,
global, jangka panjang, yang mampu memuaskan kebutuhan energi jangka pendek dan
jangka menengah yang wajar, menjamin keamanan energi, melindungi kesehatan manusia
dan lingkungan, dan menetapkan komitmen yang tepat untuk menghadapi perubahan iklim.
Bukti ilmiah pemanasan global dan peran umat manusia dalam peningkatan gas rumah kaca
menjadi makin tak disangsikan, seperti dinyatakan oleh penemuan Panel Antar-pemerintah
tentang Perubahan Iklim (IPCC), dan kegiatan demikian itu amat berarti tak hanya untuk
lingkungan, melainkan juga dalam arti etis, ekonomis, sosial dan politis.

Konsekuensi perubahan iklim dirasakan tak hanya dalam lingkungan, melainkan juga di
seluruh sistem sosioekonomi dan, seperti terlihat dalam temuan banyak laporan yang sudah
tersedia, itu akan menimpa pertama dan terutama kaum termiskin dan terlemah, yang
meskipun mereka paling tak mengakibatkan pemanasan global, adalah yang paling terancam
212

karena mereka memiliki sumber daya terbatas atau hidup di wilayah dengan risiko lebih
besar. Cukuplah kita memikirkan negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang
(SIDS)) sebagai satu dari banyak contoh. Banyak dari masyarakat yang paling terancam,
yang sudah menghadapi masalah energi, mengandalkan pertanian, sektor yang diprakirakan
paling menderita perubahan iklim. Maka, untuk menghadapi ancaman ganda perubahan iklim
dan kebutuhan akan sumber daya energi yang makin besar, kita harus mengubah model kita
dewasa ini dari model yang tanpa peduli mengejar pertumbuhan ekonomi atas nama
pengembangan, menuju model yang mempedulikan konsekuensi kegiatannya dan menaruh
respek lebih besar terhadap Penciptaan yang kita anut bersama, ditambah dengan
pengembangan manusia seutuhnya bagi generasi sekarang dan masa depan.

Kompleksitas promosi pengembangan lestari jelas bagi semua; tetapi ada beberapa prinsip
dasar tertentu yang dapat memandu penelitian menuju solusi tuntas dan tetap. Umat manusia
harus makin sadar akan kaitan antara ekologi alami, atau respek terhadap alam, dan ekologi
human. Pengalaman membuktikan bahwa abai terhadap lingkungan merugikan hidup
bersama manusia sendiri, sementara sekaligus menjadi makin jelas bahwa ada kaitan positif
antara perdamaian dengan ciptaan dan perdamaian antara bangsa-bangsa. Belum lama lalu
Dewan Keamanan mengadakan pertemuan untuk membahas hubungan antara energi,
keamanan dan iklim. Meskipun tak setiap orang menyetujui diskusi bahan seperti itu dalam
Dewan Keamanan, adalah kenyataan yang membuka mata bahwa kita sudah menyaksikan
perjuangan untuk pengawasan sumber daya strategis seperti minyak dan air segar, yang
keduanya menjadi makin langka. Bila kita menolak membangun perekonomian lestari
sekarang, kita akan terus melaju ke arah lebih banyak ketegangan dan konflik mengenai
sumber daya, untuk tidak mengatakan mengancam hidup masyarakat pesisir dan negara-
negara kepulauan kecil…

Di seluruh dunia perubahan ekologis yang belum pernah ada sebelumnya sudah terjadi dan
tak seorang pun dari kita sungguh dapat memprakirakan konsekuensi kegiatan industrial
manusia selama abad-abad belakangan ini. Perbaikan tidak melampaui kecerdasan kita, tetapi
kita harus hati-hati untuk tidak membuat keadaan menjadi lebih parah, terutama bagi kaum
miskin. Kita tak dapat hanya meniadakan penemuan dunia modern, tetapi masih ada waktu
menggunakan teknologi dan pendidikian untuk memajukan pengembangan lestari secara
universal sebelum terlambat.

Terima kasih, saudara ketua.


213

73. 01-09-2007 BENEDIKTUS XVI SURAT KEPADA PATRIARK EKUMENIS DARI


KONSTANTINOPEL
Letter of His Holiness Benedict XVI to the Ecumenical Patriarch of Constantinople on the
occasion of the seventh Symposium of the Religion, Science and the Environment Movement
Kepada Yang Tersuci Bartolomaios I
Uskup Agung Konstantinopel, Patriark Ekumenis
Merupakan kegembiraan besar bagi saya untuk menyambut Anda dan semua yang mengikuti
Simposium ketujuh tentang Agama, Ilmu Pengetahuan dan Gerakan Lingkungan, yang tahun
ini mencurahkan perhatiannya untuk tema: “Artik: cermin kehidupan”. Dedikasi Anda sendiri
dan komitmen pribadi untuk perlindungan lingkungan menunjukkan amat perlunya ilmu
pengetahuan dan agama bersama-sama melindungi anugerah alam dan memajukan
pemeliharaan penuh tanggung jawab.
Lewat kehadiran Kardinal McCarrick saya ingin meneguhkan kembali solidaritas saya yang
berkobar-kobar terhadap tujuan proyek dan memastikan harapan saya untuk pengakuan
global yang mendalam atas hubungan penting antara ekologi human dan ekologi alam.
(Pesan Hari Perdamaian Sedunia 2007, 8). Pelestarian lingkungan, promosi pengembangan
lestari dan perhatian khusus atas perubahan iklim adalah soal-soal yang mendapatkan
perhatian besar seluruh keluarga umat manusia. Tiada bangsa atau sektor bisnis dapat
mengingkari implikasi etis yang ada dalam semua pengembangan ekonomi dan sosial.
Dengan meningkatnya kejelasan, riset ilmiah menunjukkan bahwa dampak kegiatan manusia
di satu tempat atau wilayah dapat mempunyai pengaruh sedunia. Konsekuensi pelecehan
lingkungan tak dapat dibatasi pada wilayah, penduduk langsung, karena itu selalu merugikan
hidup manusia. Dan dengan demikian martabat manusia dikhianati dan hak warga yang rindu
hidup dalam lingkungan yang aman, dilanggar (bdk. ibid, 8-9).

Simposium tahun ini, yang dibaktikan lagi untuk sumber daya air bumi, membawa Anda dan
pelbagai pemimpin religius, ilmuwan, dan pihak lain yang berkepentingan ke Ilulissat
Icefjord di pantai barat Greenland. Ketika berkumpul di keindahan megah daerah es yang
tiada taranya dan situs warisan dunia ini, hati dan benak Anda dengan cepat terkesima akan
mukjizat Allah dan menggemakan kata-kata penulis mazmur yang memuji nama Tuhan yang
“megah di seluruh bumi”. Terbenam dalam kontemplasi memandang “buatan jari-Nya”
(Mzm 8), bahaya keterasingan rohani dari ciptaan menjadi terang benderang. Hubungan
antara individu atau komunitas dan lingkungan pada akhirnya berasal dari hubungan dengan
Allah. Bila manusia “mengingkari rencana Pencipta, ia memicu kekacauan yang mempunyai
214

akibat tak terhindarkan pada seluruh tatanan ciptaan” (Pesan Hari Perdamaian Sedunia 1990,
No.5).

Bapa Suci, sifat internasional dan multidisipliner simposium ini membuktikan perlunya
menemukan solusi global atas soal-soal yang dibahas. Saya didukung pengakuan yang makin
kuat bahwa seluruh komunitas manusia –anak-anak dan orang-orang dewasa, sektor industri,
negara dan badan internasional,– harus mengemban secara serius tanggung jawab yang
menyangkut setiap orang dari kita. Meski benar bahwa negara-negara industri secara
moral tak bebas mengulangi kesalahan masa lalu orang lain, dengan tanpa peduli terus
merusak lingkungan (bdk. ibid, 10), masalahnya juga adalah bahwa negara-negara industri
maju harus berbagi ‘teknologi bersih’ dan menjamin agar pasar mereka sendiri tak
mendukung permintaan akan barang yang produksinya menyumbang penyebaran
pencemaran. Interdependensi antara kegiatan ekonomi dan sosial bangsa-bangsa menuntut
solidaritas internasional, kerja sama dan upaya pendidikan berkesinambungan. Prinsip-prinsip
inilah yang dipegang teguh oleh agama, ilmu pengetahuan dan gerakan lingkungan. Dengan
penghargaan mendalam dan mengingat komitmen kita untuk mendorong dan mendukung
semua upaya untuk melindungi karya Allah, (bdk. Deklarasi Bersama, 30 November 2006),
saya berdoa agar Yang Mahakuasa secara berlimpah-limpah memberkati simposium ini.
Semoga Ia menyertai Anda dan semua yang berkumpul dengan Anda, sehingga semua
ciptaan memuji Allah.

Dari Vatikan, 1 September 2007 Benediktus XVI

74. 24-09-2007 AMANAT OLEH MGR. PIETRO PAROLIN PADA SESSI KE 62


SIDANG UMUM PBB DALAM “PERISTIWA TINGKAT TINGGI TENTANG
PERUBAHAN IKLIM” DENGAN JUDUL “MASA DEPAN DI TANGAN KITA:
MENANGGAPI TANTANGAN KEPEMIMPINAN PERUBAHAN IKLIM”

Address by Msgr Pietro Parolin at the 62nd Session of the General Assembly of the United
Nations during the “High-level event on climate change entitled “The future in our hands:
addressing the leadership challenge of the climate change”

Perubahan iklim merupakan masalah serius dan menjadi tanggung jawab tak terelakkan bagi
para ilmuwan dan para ahli lainnya, pemimpin politik dan pemerintah, pemangku lokal dan
organisasi internasional, serta setiap sektor komunitas insani dan setiap pribadi manusia.
215

Delegasi saya ingin menekankan norma moral yang mendasarinya bahwa semua tanpa
kecuali mempunyai tanggung jawab berat untuk melindungi lingkungan. Akhir-akhir ini
betapa mengejutkan ada beberapa komentator mengatakan bahwa kita harus mengeksploitasi
dunia kita sepenuhnya, tanpa terlalu memperhitungkan konsekuensinya, dengan
mempergunakan pandangan hidup yang katanya berdasarkan iman. Kami percaya sungguh
bahwa hal ini adalah pendekatan yang pada dasarnya gegabah. Di sisi ekstrem lain, ada orang
yang menganggap bumi sebagai satu-satunya harta, dan memandang umat manusia sebagai
ancaman tak terelakkan, di mana penduduk serta kegiatannya harus diawasi dengan pelbagai
sarana drastis. Kami sungguh percaya bahwa pernyataan demikian menempatkan manusia
serta kebutuhannya untuk pelayanan ekologi secara tak manusiawi. Saya telah menyoroti dua
posisi ekstrem ini untuk pertimbangan saya, tetapi posisi serupa meski kurang ekstrem, jelas
akan menghambat setiap upaya global yang sehat untuk memajukan mitigasi, adaptasi,
ketahanan dan menjaga masa depan kita bersama.

Bapak ketua, karena tiada negara sendiri saja dapat memecahkan soal-soal yang berkaitan
dengan lingkungan kita bersama, kita perlu mengatasi kepentingan diri sendiri melalui
tindakan bersama. Di pihak komunitas internasional, hal ini mengandaikan pengambilan
strategi internasional yang terkoordinasi, efektif dan tepat yang mampu menanggapi masalah-
masalah kompleks semacam itu. Strategi ini perlu mengidentifikasi cara dan sarana
mitigasi dan adaptasi yang secara ekonomis dapat diakses orang banyak, meningkatkan
pengembangan lestari dan memajukan lingkungan yang sehat.

Bapak Ketua, kita sering mendengar di aula PBB “tanggung jawab untuk melindungi.”
Takhta Suci percaya bahwa hal ini berlaku juga dalam konteks perubahan iklim. Negara-
negara memiliki “tanggung jawab bersama untuk melindungi” iklim dunia melalui
mitigasi/adaptasi, dan terutama “tanggung jawab bersama” untuk melindungi planet kita dan
menjamin bahwa generasi sekarang dan mendatang dapat hidup dalam lingkungan yang sehat
dan aman.

75. 29-10-2007 AMANAT OLEH YM MSGR. CELESTINO MIGLIORE PADA


KOMITE KEDUA SESSI KE 62 SIDANG UMUM PBB TENTANG
PENGEMBANGAN LESTARI.
Address by H.E. Msgr. Celestino Migliore at the 2nd Committee of the 62nd Session of the
General Assembly of the United Nations on Sustainable Development
Ibu Ketua,
216

Rencana Implementasi yang diterima pada penutupan Pertemuan Puncak Sedunia 2003
tentang Pengembangan Lestari di Johannesburg meneguhkan bahwa pengentasan
kemiskinan, pengubahan pola produksi dan konsumsi yang tak lestari, dan perlindungan serta
pengelolaan sumber daya alam dasar untuk pengembangan ekonomi dan sosial merupakan
tujuan yang perlu dan tuntutan hakiki untuk pengembangan lestari. Berkali-kali ditegaskan
bahwa ketiga komponen pengembangan lestari– pengembangan ekonomi, sosial dan
perlindungan lingkungan– saling tergantung dan merupakan pilar yang saling menguatkan.
Delegasi saya percaya bahwa melindungi lingkungan berarti lebih daripada
mempertahankannya. Melindungi lingkungan mengandung visi lebih positif dari manusia,
dalam arti bahwa manusia tak dilihat sebagai gangguan atau ancaman bagi lingkungan,
melainkan orang yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan.
Dalam arti ini, tak hanya tiada pertentangan antara manusia dan lingkungan, namun telah
ditetapkan ikatan tak terpisahkan, di mana lingkungan secara hakiki mengkondisikan hidup
manusia dan perkembangannya, sedangkan manusia menyempurnakan dan memuliakan
lingkungan dengan kegiatan kreatifnya. Di luar segala studi tentang lingkungan dan
pengembangan, keprihatinan utama delegasi saya ialah pentingnya memahami norma moral
yang mendasarinya bahwa semua, tanpa kecuali, mengemban tanggung jawab berat
melindungi lingkungan. Kewajiban melindungi lingkungan tak boleh dipandang berlawanan
dengan pengembangan, sehingga ia tak boleh dikorbankan di atas altar perkembangan
ekonomi.
Delegasi saya percaya bahwa pada intinya krisis lingkungan adalah tantangan moral.
Kita diajak memeriksa bagaimana kita menggunakan dan berbagi harta bumi dan apa yang
kita wariskan kepada generasi masa depan. Kita diajak hidup dalam harmoni dengan
lingkungan kita. Maka dari itu kekuasaan manusia yang makin besar atas alam harus disertai
tanggung jawab yang juga makin besar atas lingkungan. Isu lingkungan secara langsung
berkaitan dengan soal-soal mendasar lain, yang membuat pemecahan menyeluruh makin sulit
didapatkan.
Lingkungan tak dapat dipisahkan dari soal-soal seperti energi dan ekonomi,
perdamaian dan keadilan, kepentingan nasional dan solidaritas internasional. Tidak sulit
melihat bagaimana isu perlindungan lingkungan, pola pengembangan, kesetaraan sosial dan
tanggung jawab setiap orang untuk merawat lingkungan saling terjalin dengan rumit.
Misalnya, sementara kita berusaha menemukan cara terbaik untuk melindungi lingkungan
dan mencapai pengembangan lestari, kita harus juga memperjuangkan keadilan dalam
masyarakat dan antara bangsa-bangsa. Kita harus memikirkan bagaimana di kebanyakan
217

negara dewasa ini kaum miskin dan kaum yang tak berdayalah yang langsung menderita
akibat degradasi lingkungan. Tak mampu melihat kemungkinan lain, mereka hidup di tanah
tercemar, dekat tempat pembuangan limbah beracun, atau bergelandangan di tanah-tanah
publik atau milik orang lain tanpa akses kepada pelayanan mendasar. Petani gurem
membabat hutan untuk bertahan hidup. Usaha mereka untuk bertahan hidup mengabadikan
lingkaran setan kemiskinan dan degradasi lingkungan. Memang, kemiskinan ekstrem bukan
hanya merupakan pencemaran yang paling parah; tetapi juga pencemar besar. Tetapi tidak
semuanya suram. Telah muncul tanda-tanda kesadaran publik yang lebih besar mengenai
keterkaitan timbal balik tantangan yang kita hadapi. Kegelisahan yang diciptakan oleh
ramalan akan dampak berbahaya perubahan iklim telah membangkitkan orang dan negara
akan mendesaknya perawatan lingkungan. Degradasi lingkungan yang disebabkan beberapa
model pengembangan ekonomi membuat banyak orang sadar bahwa pengembangan tak
dicapai dengan melulu pertambahan kuantitatif produksi, melainkan dengan pendekatan
seimbang produksi, sikap hormat terhadap hak-hak dan martabat pekerja, dan perlindungan
lingkungan.
Delegasi saya sungguh mengharapkan agar tanda-tanda positif itu dapat menghantar
ke konsolidasi visi kemajuan kemanusiaan yang konsisten dengan rasa hormat terhadap alam,
dan solidaritas internasional lebih besar di mana tanggung jawab atas perawatan lingkungan
dibagi secara adil dan proporsional antara negara maju dan negara yang sedang berkembang,
antara kaum kaya dan kaum miskin. Adalah tugas otoritas menjamin agar tanda-tanda yang
menjanjikan itu diterjemahkan kedalam kebijakan publik yang dapat menghentikan,
membalikkan dan mencegah kerusakan lingkungan, sambil mengejar tujuan pengembangan
lestari bagi semua.
Hukum tak cukup untuk mengubah perilaku. Perubahan perilaku menuntut komitmen
pribadi dan keyakinan etis tentang nilai solidaritas. Hal itu menuntut relasi lebih adil antara
negara kaya dan negara miskin, dengan meletakkan kewajiban khusus pada struktur industri
skala besar, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang, agar secara serius
mengambil tindakan untuk perlindungan lingkungan. Sikap yang lebih penuh perhatian
terhadap alam dapat dicapai dan dipertahankan dengan pendidikan dan kampanye kesadaran
yang gigih. Makin banyak orang mengetahui pelbagai aspek tantangan lingkungan yang
mereka hadapi, makin baik mereka dapat menanggapinya.

Terima kasih, ibu Ketua.


218

76. 08-12-2007 BENEDIKTUS XVI PESAN HARI PERDAMAIAN SEDUNIA 2008, 7-8
Benedict XVI, Message World Day of Peace 2008. 7-8

Keluarga, masyarakat dan lingkungan hidup

7. Keluarga membutuhkan rumah, lingkungan yang layak, di mana mereka dapat menjalin
hubungan-hubungan wajar. Untuk keluarga umat manusia rumah itu ialah bumi, lingkungan,
yang diberikan Allah Pencipta kepada kita agar kita huni dengan kreativitas dan tanggung
jawab. Kita harus memelihara lingkungan: ia dipercayakan kepada manusia, agar manusia
melindungi dan mengolahnya dalam kebebasan yang bertanggung jawab, dengan
kesejahteraan semua orang sebagai tolok-ukur orientasi yang tetap. Tentu saja, manusia lebih
utama daripada seluruh ciptaan. Menghormati lingkungan tak berarti menganggap alam
materi atau dunia hewan lebih tinggi daripada manusia, melainkan tidak secara egoistis
menganggapnya melulu sebagai bahan untuk dipakai demi kepentingan diri sendiri, sebab
juga generasi mendatang mempunyai hak memanfaatkan alam dan menunjukkan terhadap
alam kebebasan bertanggung jawab yang sama yang kita tuntut bagi diri sendiri. Demikian
pula tak boleh dilupakan kaum miskin, yang dalam banyak hal dikucilkan dari harta milik
ciptaan yang ditujukan bagi semua. Dewasa ini umat manusia khawatir akan keseimbangan
ekologis masa depan. Pentinglah penilaian mengenai hal ini dilakukan dengan hati-hati,
dalam dialog dengan para ahli dan ilmuwan, tanpa hambatan tekanan ideologis untuk
menarik kesimpulan secara tergesa-gesa, dan terutama dengan tujuan mencapai kesepakatan
tentang model pengembangan lestari yang mampu menjamin kesejahteraan semua dengan
memperhatikan keseimbangan ekologis. Bila perlindungan lingkungan makan biaya, haruslah
ini dibagi secara adil dengan memperhatikan tingkat pengembangan yang berbeda di pelbagai
negara dan perlunya solidaritas dengan generasi mendatang. Kehati-hatian tak berarti gagal
menerima tanggung jawab dan menunda keputusan, melainkan mewajibkan diri dengan
pertimbangan penuh tanggung jawab untuk membuat keputusan bersama, jalan mana yang
harus ditempuh, dengan tujuan memperkuat ikatan antara manusia dan lingkungan, yang
harus menjadi cermin kasih Allah, asal dan tujuan kita.
8. Dalam hal ini, sungguh perlu “merasakan” bumi sebagai “rumah kita bersama” dan, dalam
penatalayanan serta pemanfaatannya demi semua, memilih jalan dialog daripada keputusan
sepihak. Bila perlu dapat dibentuk lembaga pada taraf internasional, untuk bersama
menghadapi penatalayanan “rumah” kita ini; namun, lebih penting lagi, ialah perlunya
keyakinan yang terus meningkat bahwa kerja sama penuh tanggung jawab itu perlu. Masalah
yang tampak di cakrawala bersifat kompleks, dan waktunya pendek. Untuk menanggulangi
219

situasi itu secara efektif, diperlukan tindakan yang selaras. Satu bidang yang khusus
memerlukan intensifikasi dialog antara bangsa-bangsa ialah pengelolaan sumber daya energi
bumi. Negara-negara berteknologi maju menghadapi urgensi ganda: di satu pihak perlu
dipertimbangkan kembali standar konsumsi yang tinggi yang diakibatkan model
pengembangan aktual; di lain pihak, perlu menginvestasikan sumber daya yang cukup untuk
mencari sumber energi alternatif dan efisiensi energi yang lebih besar. Negara agak maju
mempunyai kebutuhan energi, tetapi kadang-kadang kebutuhan itu dipenuhi dengan
merugikan negara miskin yang, karena infrastruktur teknis yang tak memadai, terpaksa
menjual sumber daya energi yang mereka punyai di bawah harga semestinya. Kadang-kadang
juga kebebasan politiknya dipertaruhkan dengan bentuk-bentuk protektorat atau sekurang-
kurangnya bentuk-bentuk pengkondisian yang ternyata jelas merendahkan.

77. 12-02-2008 AMANAT OLEH YM. MGR. CELESTINO MIGLIORE PADA


PERTEMUAN SIDANG UMUM PBB YANG BERDEBAT TENTANG
“MENANGGAPI PERUBAHAN IKLIM, PBB DAN DUNIA BEKERJA”
Address by H.E. Msgr. Celestino Migliore at the meeting of the UN General Assembly
debating on the theme: “Addressing Climate Change: the United Nations and the World at
work”
Bapak Presiden,
Debat terus-menerus tentang perubahan iklim telah membantu mengarahkan perhatian pada
keharusan tanggung jawab semua orang untuk merawat lingkungan, seraya membangun
kesepakatan sekitar tujuan bersama untuk memajukan lingkungan yang sehat bagi generasi
sekarang dan masa depan. Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali telah
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya keprihatinan bagi tetangga kita, khususnya
mereka yang paling terancam perubahan iklim, kita lebih siap menerima strategi dan
kebijakan yang menyeimbangkan kebutuhan kemanusiaan dan urgensi pengelolaan yang
lebih bertanggung jawab.
Takhta Suci menjamin kerja sama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan di Bali. Untuk itu
komitmen pribadi dan banyak seruan Paus Benediktus XVI menciptakan kampanye
kesadaran untuk membarui citarasa hormat terhadap dan kebutuhan untuk menyelamatkan
ciptaan Allah. Individu dan komunitas mulai mengubah gaya hidupnya, sadar bahwa perilaku
pribadi dan kolektif mempengaruhi iklim dan kesehatan menyeluruh lingkungan. Meskipun
perubahan gaya hidup seperti itu terkadang nampak tak berpengaruh, setiap prakarsa kecil
untuk mengurangi atau mengimbangi jejak karbon seseorang, misalnya dengan menghindari
220

penggunaan transportasi yang tak perlu atau upaya setiap hari mengurangi konsumsi energi,
merupakan sumbangan untuk mitigasi kerusakan lingkungan dan menunjukkan secara
konkret komitmen kepedulian terhadap lingkungan.
Di sisi yang lebih praktis, Takhta Suci sudah mengambil beberapa tindakan untuk
mengurangi dan mengimbangi emisi karbon Negara kota Vatikan, seperti penggunaan panel
surya dan penanaman pohon. Dengan keterlibatannya dalam proyek penghutanan kembali di
Hungaria, itu akan memberikan manfaat lingkungan kepada negara tuan rumah, membantu
pemulihan lahan yang lingkungannya terdegradasi dan menciptakan kesempatan kerja lokal.
Soal-soal yang saling berkaitan: pelestarian lingkungan, pengembangan ekonomi dan
perubahan iklim bisa mempunyai tuntutan yang bersaing dalam soal prioritas dan
keprihatinan. Adalah tugas setiap individu dan bangsa untuk secara serius mengemban bagian
tanggung jawab masing-masing untuk mendapatkan dan melakukan pendekatan yang paling
seimbang mungkin terhadap tantangan ini. Pengembangan lestari menyediakan kunci strategi
yang secara serasi memperhitungkan tuntutan pelestarian lingkungan, perubahan iklim,
perkembangan ekonomi dan kebutuhan dasar manusia. Penggunaan “teknologi bersih” adalah
unsur penting pengembangan lestari. Untuk membantu negara-negara yang sedang
mengembangkan industri menghindari kesesatan yang dilakukan pihak lain di masa lampau,
Negara-negara yang amat maju harus berbagi teknologi yang lebih maju dan lebih bersih
dengan negara-negara tersebut. Penyatuan sumber daya membuat prakarsa mitigasi dan
adaptasi secara ekonomis terjangkau oleh kebanyakan, dengan demikian membantu negara
yang kurang terbekali untuk mengejar pengembangan seraya menyelamatkan lingkungan.
Selain itu pasar harus didorong untuk mengutamakan “ekonomi hijau” dan tak mendukung
permintaan barang yang produksinya mengakibatkan degradasi lingkungan. Para konsumen
harus sadar bahwa pola konsumsi mereka mempunyai dampak langsung atas kesehatan
lingkungan. Maka lewat interdependensi, solidaritas dan akuntabilitas individu-individu dan
bangsa-bangsa bersama akan lebih mampu memperseimbangkan kebutuhan akan
pengembangan lestari dan penatalyanan yang baik di setiap tingkat. Memang tantangan
perubahan iklim sekaligus bersifat individual, lokal, nasional dan global. Maka mendesak
adanya tanggapan terkoordinasi bertingkat, dengan program mitigasi dan adaptasi yang
sekaligus individual, lokal, nasional dan global dalam visi dan ruang lingkupnya. Maka
delegasi saya menganjurkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim
(UNFCCC) untuk menyediakan kerangka global demi aksi bersama internasional untuk
mitigasi perubahan iklim dan beradaptasi dengan akibat-akibatnya. Keanggotaan yang hampir
universal dalam Konvensi tak akan gagal memperlancar pencanangan strategi nasional, –
221

yang bermula pada mereka yang paling terancam, seperti negara-negara kepulauan kecil dan
daerah pesisir dataran rendah yang berpenduduk– dan memajukan penyatuan yang lebih adil
atas sumber daya dan teknologi untuk membantu negara yang rentan dengan sumber daya
sedikit agar memahami dan memprakirakan dengan lebih baik risiko yang mereka hadapi.
“Bali Roadmap” menunjukkan visi bersama, yang mampu mengatasi kepentingan diri lewat
aksi kolektif. Dituntut kebersamaan global untuk adopsi strategi politik internasional yang
terkoordinasi menuju lingkungan sehat bagi semua.
Terima kasih, Bapak Presiden.

78. 12-07-2008 WAWANCARA DENGAN PAUS BENEDIKTUS XVI DALAM


PENERBANGAN KE SYDNEY

Interview of the Holy Father during the flight to Sydney

... Kita dapat melakukan banyak hal, namun kita tak dapat menciptakan iklim. Kita mengira
kita dapat melakukannya, tetapi kita tak dapat. Kita membutuhkan anugerah bumi, anugerah
air, kita membutuhkan Pencipta; Pencipta tampil kembali dalam ciptaan-Nya. Dan dengan
demikian kita mengerti bahwa kita tak dapat sungguh bahagia, bahwa kita tak dapat sungguh
memajukan
keadilan untuk seluruh dunia tanpa krite-ium yang berlaku dalam pemikiran kita sendiri,
tanpa Allah yang adil dan menganugerahkan cahaya dan hidup kepada kita.

79. 12-07-2008 DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN & PERDAMAIAN


(RENATO RAFFAELE MARTINO), EKOLOGI DALAM CAHAYA AJARAN
SOSIAL GEREJA KATOLIK: MANUSIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN
DUNIA
Ecology in the light of the Social Doctrine of the Catholic Church: Man in relation to the
world, by Renato Raffaele Martino, pres. of the PC for Justice and Peace

Penulis Kitab Kejadian merasa perlu mengingatkan kita akan kehadiran Allah dalam ciptaan
“Dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (1:2). Karena setiap hari
dibeberkan, dalam kisah penciptaan, dunia makin dekat penyelesaiannya. Pada akhir setiap
hari Allah menilai pekerjaan-Nya dan pada akhirnya pekerjaan itu tak hanya baik, melainkan
amat baik.
222

Selama akhir 1960-an dan awal 1970-an kesadaran baru mulai berakar dalam gerakan
lingkungan yang mulai mengumpulkan lebih banyak dukungan dan orang mulai lebih
mengerti dampak kegiatan manusia atas alam. Dalam lima tahun terakhir kita mulai memberi
perhatian lebih besar terhadap bumi dan lingkungan alam yang mendukung hidup kita.
Dengan demikian gerakan yang mulai 40 tahun lalu itu terus berlanjut, bahkan lebih kuat
dewasa ini.

Sayang, dalam banyak cara gerakan awal ini bertentangan dengan ajaran Gereja dan
mengambil rupa “keterpusatan pada bumi” yang seringkali berdekatan dengan kekafiran
baru. Pada saat yang sama, meskipun Gereja sering mendapatkan dirinya tersingkir dari atau
kadang-kadang bermusuhan dengan beberapa aspek gerakan lingkungan, ia terus membahas
gerakan lingkungan dalam konteks ajaran sosialnya. Penulis Kitab Kejadian mengisahkan
bahwa Allah memandang setiap aspek dunia ciptaan, setiap aspek pekerjaan-Nya, langit, laut,
bumi, dan segala yang ada dan hidup di atasnya, sebagai “baik”. Namun, Allah memandang
penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai “puncak” ciptaan-Nya, sebagai “amat baik”,
dengan menempatkan manusia pada posisi kepercayaan di atas ciptaan selebihnya. Hanya
sesudah mempercayakan pemeliharaan bumi kepada manusia, Allah beristirahat pada hari ke
tujuh.
Dalam pesannya untuk Hari Perdamaian Sedunia ke 41, 1 Januari 2008 Paus Benediktus XVI
menempatkan pengertiannya mengenai perdamaian, ciptaan, tanggung jawab dan kasih ke
dalam konteks keluarga dan lingkungan. Ia menulis “Keluarga memerlukan rumah,
lingkungan yang sesuai untuk mengembangkan relasi yang pantas. Untuk keluarga manusia
rumah itu ialah bumi, lingkungan yang diberikan Allah Pencipta untuk didiami dengan
kreativitas dan tanggung jawab. Kita harus merawat lingkungan: ia dipercayakan kepada
manusia untuk dilindungi dan dikelola dengan kebebasan bertanggung jawab, dengan
kesejahteraan semua sebagai tolokukur tetap” ( no.7).

Ajaran Sosial Gereja, Relasi manusia-lingkungan

Ketika hubungan manusia dan lingkungan rusak, hubungannya dengan Allah pun juga
menderita. Itulah alasan bahwa Gereja mengingatkan kita bahwa lingkungan alam dan setiap
makhluk hidup adalah anugerah dari Allah. Anugerah ini harus dijaga dan dirawat dengan
rasa syukur kepada Sang Pencipta. Maka, pemahaman kekuasaan dan bukan penguasaan
dipandang sebagai prinsip penuntun dalam hubungan manusia dengan alam sekelilingnya
223

80. 27-09-2008 PAUS BENEDIKTUS XVI DALAM PERTEMUAN YANG


DISPONSORI PUSAT PARIWISATA KAUM MUDA DAN KANTOR
INTERNASIONAL PARIWISATA SOSIAL

To participants at a Meeting sponsered by the Youth Tourist Centre and the International
Office for Social Tourism

...Pertemuan kita tahun ini terjadi pada kesempatan Hari Pariwisata Sedunia. Tema tahun ini
“Pariwisata menghadapi tantangan perubahan iklim” menunjuk masalah yang amat aktual
yang mengacu pada potensi sektor wisata berkaitan dengan keadaan planet kita dan
kesejahteraan umat manusia. Kedua lembaga Anda sudah berusaha memajukan pariwisata
yang memperhatikan perkembangan manusia seutuhnya dari sudut kelestarian dan solidaritas;
dan hal itu membuat Anda menjadi rekan kerja yang bermutu untuk upaya perlindungan dan
pengembangan penuh tanggung jawab sumber daya ciptaan, anugerah tak terperikan ini
dari Allah kepada umat manusia. Umat manusia wajib melindungi harta ini dan melawan
pemanfaatan sembarangan harta bumi. Tanpa batas etis dan moral yang memadai, perilaku
manusia dapat menjadi ancaman dan tantangan. Pengalaman mengajarkan bahwa pengelolaan
yang bertanggung jawab atas ciptaan bisa, atau seharusnya, menjadi bagian ekonomi wisata
yang sehat dan lestari. Sebaliknya, pemanfaatan tak pantas atas alam dan penyalahgunaan
yang mendera kebudayaan bangsa setempat juga merusak pariwisata. Belajar menaruh respek
terhadap lingkungan juga mengajarkan sikap hormat terhadap sesama dan diri sendiri. Pada
tahun 1991 dalam ensikliknya ‘Centesimus annus’, pendahulu saya yang terkasih Paus
Yohanes Paulus II telah mengecam pemanfaatan sumber daya secara berlebihan dan
sewenang-wenang, dengan mengingatkan bahwa manusia adalah rekan kerja Allah dalam
penciptaan dan tak boleh menggantikan-Nya. Ia juga menggarisbawahi agar manusia dewasa
ini “harus menjadi lebih sadar akan kewajiban dan tugasnya terhadap generasi mendatang”
(No. 37). Maka, perlulah, terutama dalam konteks pariwisata, seorang pengeksplotasi alam
yang hebat, bahwa setiap orang berkehendak untuk pengelolaan seimbang atas habitat kita,
atas apa yang menjadi rumah kita bersama, juga rumah bagi mereka yang akan datang
sesudah kita. Degradasi lingkungan hanya dapat diperlambat dengan menyebarkan budaya
perilaku yang tepat, yang memerlukan cara hidup lebih sederhana. Maka, seperti saya
ingatkan baru-baru ini, pentinglah mengajarkan kode etik yang bisa dipertanggungjawabkan
dan menyampaikan “usulan-usulan yang lebih membangun agar terjamin generasi mendatang
yang baik”. (Sambutan di the Élysée Palace, Paris, 12 September 2008).
224

Akhirnya, saya mengajak kaum muda supaya melalui lembaga Anda, Anda menjadi
pendukung dan pemenang gaya hidup yang bertujuan menghargai alam dan
mempertahankannya, dalam perspektif ekologis yang benar, seperti yang beberapa kali saya
garisbawahi pada kesempatan WYD di Sydney Juli lalu. Adalah juga tugas generasi baru
untuk memajukan pariwisata yang sehat dan suportif yang melarang konsumerisme dan
pemborosan sumber daya bumi, untuk membuat ruang bagi gerakan solidaritas dan
persahabatan, pengetahuan dan pemahamanan. Dengan demikian pariwisata bisa menjadi
sarana pendidikan istimewa dalam koeksistensi damai.

81. 29-09-2008 INTERVENSI DELEGASI TAKHTA SUCI SELAMA DEBAT UMUM


SESSI KE 63 S.U. PBB Intervention by the Holy See Delegation during the general debate
of the 63rd Session of the General Assembly of the UNO

...Tahun ini didominasi oleh sejumlah tantangan dan krisis: bencana alam dan yang dibuat
oleh manusia, gejolak ekonomi dan finansial, kenaikan harga pangan dan bahan bakar,
dampak perubahan iklim, perang dan ketegangan. Satu bidang yang membutuhkan tindakan
mendesak dari kita adalah perubahan iklim. Delegasi saya memuji Sekretaris Jenderal Ban
Kimoon atas kepemimpinannya mengenali perlunya segera mengatasi masalah ini dan kami
memuji negara-negara dan masyarakat sipil dalam membuat pengorbanan politik dan pribadi
yang diperlukan untuk menjamin masa depan yang lebih baik. Tantangan perubahan iklim
dan pelbagai solusi yang diusulkan serta dilaksanakan, membawa kita untuk menunjukkan
kesibukan dan inkonsistensi yang ada dewasa ini di bidang hukum internasional dan nasional,
yakni bahwa segala hal yang secara teknis dimungkinkan, harus juga diperbolehkan menurut
hukum

82. 26-06-2009 BENEDIKTUS XVI, ENSIKLIK CARITAS IN VERITATE 48-52 Litterae


encyclicae Caritas in Veritate 48-52 (Catatan: "Natura” di sini karena konteksnya
diterjemahkan dengan “alam”, bagaimanapun ditafsirkan.)
48. Dewasa ini subyek pengembangan terkait erat dengan kewajiban yang timbul dari relasi
kita dengan lingkungan alam. Lingkungan adalah anugerah Allah untuk setiap orang, dan
dalam penggunaannya kita mempunyai tanggung jawab terhadap kaum miskin, generasi
mendatang dan umat manusia sebagai keseluruhan. Apabila alam, termasuk manusia,
dipandang sebagai hasil kebetulan atau determinisme evolusioner, citarasa tanggung jawab
kita memudar. Dalam alam orang beriman mengenal kembali buah mengagumkan dari
225

aktivitas kreatif Allah, yang boleh kita pakai dengan tanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan kita yang wajar, material atau imaterial, sambil menaruh respek atas
keseimbangan intrinsik ciptaan. Bila pandangan ini hilang, kita akhirnya memandang alam
sebagai tabu yang tak tersentuh, atau sebaliknya, menyalahgunakannya. Kedua posisi itu tak
sesuai dengan pandangan kristiani mengenai alam sebagai buah penciptaan Allah. Alam
mengungkapkan rencana kasih dan kebenaran. Ia ada sebelum kita, dan diberikan kepada
kita oleh Allah sebagai tempat untuk hidup kita. Alam berbicara kepada kita tentang Pencipta
(bdk. Rom. 1:20) dan kasih-Nya bagi umat manusia. Ia diperuntukkan untuk “dipersatukan”
dalam Kristus pada akhir zaman (bdk. Ef. 1:9-10; Kol. 1: 19-20), sehingga itu juga
merupakan “panggilan” (115). Alam tersedia bagi kita bukan sebagai “timbunan sampah
yang berserakan” (116), melainkan sebagai anugerah Pencipta yang telah membekalinya
dengan tatanan melekat, yang memungkinkan manusia menarik daripadanya prinsip yang
diperlukannya untuk “mengusahakannya dan memeliharanya” (Kej. 2:15). Tetapi harus juga
digarisbawahi bahwa adalah bertentangan dengan pengembangan autentik untuk
menganggap alam lebih penting daripada pribadi manusia. Posisi ini menjurus ke sikap-sikap
neopaganisme atau panteisme baru – keselamatan manusia tak dapat datang dari alam saja,
yang dimengerti dalam arti naturalistik saja. Setelah penegasan ini juga perlu menolak posisi
berlawanan yang bertujuan untuk penguasaan teknis sepenuhnya atas alam, karena
lingkungan alam lebih daripada bahan mentah untuk dimanipulasi sesukanya; alam adalah
karya mengagumkan Pencipta yang mengandung “tata bahasa” yang menetapkan tujuan dan
kriteria penggunaan yang bijaksana, bukan untuk eksploitasi sembarangan. Dewasa ini
banyak kerugian dilakukan terhadap perkembangan justru sebagai akibat pemahaman yang
keliru tersebut. Merendahkan alam hanya sebagai kumpulan data kebetulan mengakibatkan
kekerasan terhadap lingkungan dan bahkan mendukung kegiatan yang kurang menghormati
kodrat manusia sendiri. Alam kita, yang terbentuk tak hanya dengan zat jasmani, melainkan
juga roh, dan karenanya, juga dibekali makna dan cita-cita transenden, juga normatif untuk
budaya. Manusia menafsirkan dan membentuk lingkungan alam dengan budaya, yang pada
gilirannya diarahkan oleh penggunaan kebebasan secara bertanggung jawab, sesuai dengan
perintah hukum moral kodrati. Karena itu proyek untuk pengembangan manusia seutuhnya
tak dapat mengabaikan generasi mendatang, melainkan harus bercirikan solidaritas dan
keadilan antargenerasi, seraya memperhitungkan aneka konteks: ekologi, hukum, ekonomi,
politik dan budaya (117).
226

49. Soal-soal yang berkaitan dengan perawatan dan pelestarian lingkungan dewasa ini harus
memperhatikan sewajarnya masalah energi. Kenyataan bahwa beberapa negara, kelompok
dan perusahaan yang kuat menimbun sumber daya energi tak terbarukan merupakan
hambatan besar bagi pengembangan di negara-negara miskin. Negara-negara ini tak
mempunyai sarana ekonomi baik untuk mendapat akses ke sumber daya energi tak terbarukan
yang ada maupun untuk membiayai penelitian demi mendapat alternatif baru. Penimbunan
sumber daya alam yang dalam banyak kasus terjadi di negara-negara miskin sendiri,
menyebabkan eksploitasi dan konflik-konflik yang sering terjadi di antara bangsa-bangsa dan
pada bangsa-bangsa. Konflik itu sering berlangsung di tanah negara-negara itu, dengan
sejumlah besar kematian, kerusakan dan kehancuran berikutnya. Komunitas internasional
mempunyai kewajiban mendesak untuk menemukan sarana institusional yang mengatur
pengusahaan sumber daya tak terbarukan, dengan melibatkan negara-negara miskin dalam
proses itu, untuk bersama merencanakan masa depan. Berkaitan dengan hal di atas, ada
kebutuhan moral yang mendesak akan solidaritas yang diperbarui, terutama dalam relasi
antara negara-negara berkembang dan negara-negara industri maju (118). Masyarakat
berteknologi lebih maju dapat dan harus mengurangi konsumsi energi domestik mereka, baik
dengan evolusi metode kerja atau dengan kepekaan ekologis yang lebih besar di antara para
warga negaranya. Harus ditambahkan bahwa dewasa ini dimungkinkan memperoleh efisiensi
energi lebih baik sekaligus mendorong riset untuk mendapat bentuk energi alternatif. Apa
yang juga diperlukan ialah redistribusi sumber daya energi ke seluruh dunia, sehingga
negara-negara yang kekurangan sumber daya itu dapat mempunyai akses untuk
memperolehnya. Nasib negara-negara itu tak dapat dibiarkan di tangan siapa pun yang
pertama mengklaim keuntungan atasnya, atau siapa pun yang mampu mengungguli
selebihnya. Maka kita berurusan dengan soalsoal besar; bila itu harus dihadapi secara tuntas,
maka setiap orang harus penuh tanggung jawab mengenali dampaknya atas generasi masa
depan, terutama pada banyak kaum muda dari bangsabangsa miskin, yang “meminta untuk
berperan aktif dalam menciptakan dunia yang lebih baik” (119).

50. Ini merupakan tanggung jawab global, karena menyangkut bukan hanya energi,
melainkan seluruh ciptaan, yang tak boleh diwariskan kepada generasi mendatang tanpa
sumber daya. Manusia secara wajar melakukan penatalayanan penuh tanggung jawab atas
alam, untuk melindungi, menikmati buahnya dan mengolahnya secara baru, dengan bantuan
teknologi canggih, sehingga dapat sepantasnya menerima dan memberi makan kepada
penduduk dunia. Di bumi ini ada tempat bagi setiap orang: di sini seluruh keluarga umat
227

manusia harus mendapatkan sumber daya untuk hidup selayaknya, dengan bantuan alam
sendiri – anugerah Allah bagi anak-anak-Nya– dan dengan kerja keras serta kre-ativitas.
Sekaligus kita harus mengakui kewajiban kita yang berat untuk mewariskan bumi kepada
generasi mendatang dalam kondisi sedemikian rupa sehingga mereka dapat selayaknya
menghuninya dan meneruskan pengolahannya. Hal ini berarti berkomitmen melakukan
keputusan bersama: “setelah dengan penuh tanggung jawab mempertimbangkan jalan yang
harus ditempuh, keputusan dimaksudkan untuk memperkuat ikatan perjanjian antara
manusia dan lingkungan, yang harus mencerminkan kasih kreatif Allah, dari mana kita
berasal dan kepada siapa kita pergi” (120). Marilah kita berharap agar komunitas
internasional dan pemerintah individual berhasil melawan cara-cara merugikan dalam
memperlakukan lingkungan. Adalah juga kewajiban otoritas yang berwenang untuk
melakukan setiap upaya agar menjamin bahwa biaya ekonomi dan sosial penggunaan sumber
daya lingkungan bersama diakui secara transparan dan ditanggung sepenuhnya oleh mereka
yang memperolehnya, dan tidak oleh bangsa lain atau generasi mendatang: perlindungan
lingkungan, sumber daya dan iklim mewajibkan semua pemimpin internasional untuk
bertindak bersama dan menunjukkan kesediaan untuk bekerja dengan penuh kesungguhan,
menghormati hukum dan memajukan solidaritas dengan wilayah paling lemah dari planet kita
(121). Satu dari tantangan terbesar yang menghadang ekonomi ialah mencapai penggunaan
paling efisien –bukan penyalahgunaan– sumber daya alam, berdasarkan kesadaran bahwa
pengertian “efisiensi” tidak bebas nilai.

51. Cara manusia memperlakukan lingkungan mempengaruhi cara manusia memperlakukan


diri sendiri, demikian pula sebaliknya. Hal ini mengajak masyarakat kontemporer untuk
dengan serius meninjau kembali gaya hidupnya, yang di banyak bagian dunia, cenderung ke
arah hedonisme dan konsumerisme, lepas dari konsekuensinya yang merugikan (122). Apa
yang diperlukan ialah perubahan efektif mentalitas yang dapat menimbulkan penerimaan
gaya hidup baru “di mana pencarian kebenaran, keindahan, kebaikan dan persekutuan
dengan orang lain demi kemajuan bersama merupakan faktor-faktor yang menentukan
pemilihan konsumen, tabungan dan investasi” (123). Setiap pelanggaran solidaritas dan
persahabatan sipil merugikan lingkungan, seperti degradasi lingkungan yang pada gilirannya
merugikan relasi dalam masyarakat. Alam, terutama di zaman kita, begitu terintegrasi dalam
dinamika masyarakat dan budaya yang sekarang ini jarang merupakan variabel bebas.
Desertifikasi dan kemerosotan produktivitas di beberapa wilayah pertanian juga merupakan
akibat pemiskinan dan ketertinggalan di antara penduduknya. Biladitawarkan insentif untuk
228

pengembangan ekonomi dan budaya, alam sendiri dilindungi. Selain itu, betapa banyak
sumber daya alam dihambur-hamburkan oleh peperangan! Perdamaian di dalam dan antara
bangsa-bangsa juga akan memberikan perlindungan lebih besar kepada alam. Penimbunan
sumber daya, khususnya air, dapat menimbulkan konflik serius antara bangsa-bangsa yang
terlibat. Kesepakatan perdamaian mengenai penggunaan sumber daya dapat melindungi alam
dan sekaligus kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Gereja mengemban tanggung
jawab terhadap ciptaan dan ia harus meneguhkan tanggung jawab ini dalam ranah publik.
Dengan demikian, ia harus membela bukan hanya bumi, air dan udara sebagai anugerah
ciptaan milik setiap orang. Ia terutama harus melindungi umat manusia terhadap
penghancuran diri sendiri. Ada kebutuhan untuk apa yang dapat disebut ekologi human, yang
dipahami dengan baik. Degradasi alam berkaitan erat dengan budaya yang membentuk
koeksistensi manusia: bila “ekologi human” (124) dihormati dalam masyarakat, maka
ekologi lingkungan juga diuntungkan. Seperti keutamaan manusia saling terkait, demikian
pula pelemahan yang satu menjadi risiko bagi yang lain, demikian pula sistem ekologi
berdasarkan hormat terhadap rencana yang memengaruhi baik kesehatan masyarakat maupun
relasinya yang baik dengan alam. Untuk melindungi alam, tidak cukuplah campur tangan
dengan insentif ekonomi atau penjeraan; bahkan pendidikan yang tepat pun tak cukup. Ini
adalah langkah-langkah penting, tetapi tema yang menentukan ialah tata moral menyeluruh
dari masyarakat. Bila ada kekurangan respek terhadap hak hidup dan kematian alamiah, bila
pembuahan manusia, kehamilan dan kelahiran dibuat artifisial, bila embrio manusia
dikorbankan untuk riset, hati nurani masyarakat akhirnya menjadi kehilangan konsep ekologi
human dan, bersamaan dengan itu juga, konsep ekologi lingkungan. Adalah
kontradiktif dengan menuntut agar generasi mendatang menaruh hormat terhadap lingkungan
alam, bila sistem pendidikan dan hukum kita tidak membantu mereka menaruh respek
terhadap diri mereka sendiri. Buku alam adalah satu dan tak terpisahkan: ia mencakup tak
hanya lingkungan, melainkan juga hidup, seksualitas, perkawinan, keluarga, relasi sosial:
dengan satu kata, pengembangan manusia seutuhnya. Kewajiban kita terhadap lingkungan
terkait dengan kewajiban kita terhadap pribadi manusia, dilihat dalam dirinya sendiri dan
dalam relasi dengan pihak lain. Tak benar menekankan satu kewajiban dan melecehkan yang
lain. Di sini terletak kontradiksi berat dalam mentalitas dan praktik kita dewasa ini yang:
merendahkan pribadi manusia, mengganggu lingkungan dan merusak masyarakat.

52. Kebenaran, dan kasih yang menyatakannya, tak dapat dihasilkan, melainkan hanya dapat
diterima sebagai anugerah. Sumber asalnya bukanlah, dan tak bisa, umat manusia, melainkan
229

hanya Allah, yang sendiri adalah Kebenaran dan Kasih. Prinsip ini amat penting bagi
masyarakat dan bagi pengembangan karena keduanya tak dapat menjadi hasil manusia
semata; panggilan untuk pengembangan pada pihak perorangan dan bangsa-bangsa tidak
berdasarkan melulu pada pilihan manusiawi, melainkan merupakan bagian hakiki rencana
yang mendahului kita dan bagi kita semua merupakan tugas yang diterima secara bebas. Apa
yang mendahului kita dan membentuk kita –Kasih dan Kebenaran yang tetap ada selamanya–
menunjukkan kepada kita arti kebaikan, dan di mana letak kebahagiaan kita sejati. Kepada
kita ditunjukkan jalan menuju pengembangan sejati.……………….

[115] Yohanes Paulus II, Pesan pada Tahun Perdamaian 1990, 6: AAS 82
(1990), 150.
[116] Heraclitus of Ephesus (Ephesus, c. 535 B.C. - c. 475 B.C.), Fragment
22B124, dalam H. Diels and W. Kranz, Die Fragmente der Vorsokratiker,
Weidmann, Berlin, 1952, 6(th) ed.
[117] Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium
Ajaran Sosial Gereja, 451-487.
[118] Cf. Yohanes Paulus II, Pesan pada Tahun Perdamaian 1990, 10: loc.
cit., 152-153.
[119] Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio, 65: loc. cit., 289.
[120] Benediktus XVI, Pesan pada Tahun Perdamaian 2008,, 7: AAS 100
(2008), 41.
[121] Cf. Benediktus XVI, Amanat pada Sidang Umum PBB, New York, 18
April 2008.
[122] Cf. Yohanes Paulus II, Pesan pada Tahun Perdamaian 1990, 13: loc.
cit., 154-155.
[123] Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 36: loc. cit., 838-840.
[124] Ibid., 38: loc. cit., 840-841; Benediktus XVI, 7. Pesan pada Tahun Perdamaian 2008,
8: loc. cit., 779.

83. 26-08-2009 BENEDIKTUS XVI, AUDIENSI UMUM: MENYELAMATKAN


CIPTAAN
Benedetto XVI, Audienza Generale: La salvaguardia del creato

Saudara-saudara ytk, Kita hampir mencapai akhir Agustus, yang bagi banyak orang berarti
akhir liburan musim panas. Bila kita kembali ke aktivitas sehari-hari, bagaimana kita dapat
230

tak bersyukur kepada Allah atas anugerah berharga ciptaan yang begitu kita nikmati, tak
hanya semasa liburan! Pelbagai gejala degradasi lingkungan dan bencana alam yang sayang
sering dilaporkan dalam warta berita mengingatkan kita akan perlunya menaruh respek wajar
kepada alam, menemukan dan menghargai relasi yang benar dengan lingkungan da-lam hidup
setiap hari. Kepekaan baru terhadap topik ini yang sewajarnya menimbulkan keprihatinan
pada pihak otoritas dan opini publik yang sedang berkembang dan diungkapkan dalam makin
banyak pertemuan, juga pada taraf internasional. Bumi memang anugerah berharga dari
Pencipta yang dalam merencanakan tatanan intrinsik, telah memberi kepada kita arah yang
memandu kita sebagai wali ciptaannya. Dari kesadaran inilah Gereja mempertimbangkan hal-
hal yang menyangkut lingkungan dan pelestariannya yang terkait erat dengan pengembangan
manusia seutuhnya.

Dalam ensiklik saya terakhir, Caritas in Veritate, banyak kali saya membahas soal-soal
seperti itu, sambil mengingatkan “kebutuhan moral yang mendesak untuk pembaruan
solidaritas” (No. 49) tak hanya antar-negara, melainkan juga antar individu, karena
lingkungan alam diberikan oleh Allah kepada setiap orang, dan penggunaannya memberi
tanggung jawab pribadi terhadap umat manusia sebagai keseluruhan, dan khususnya terhadap
kaum miskin dan generasi mendatang (bdk. no.48). Mengingat tanggung jawab kita bersama
atas ciptaan (bdk. no.51), Gereja tak hanya mempunyai komitmen untuk memajukan
perlindungan tanah, air dan udara sebagai anugerah Pencipta yang diperuntukkan bagi setiap
orang, melainkan terutama melindungi umat manusia terhadap penghancuran dirinya sendiri.
“Sesungguhnya bila ‘ekologi human’ dihormati dalam masyarakat, maka ekologi lingkungan
juga diuntungkan” (ibid). Bukan-kah benar bahwa penggunaan ciptaan secara tak dapat
dipertanggungjawabkan mulai ketika Allah dipinggirkan atau bahkan disangkal?

Bila relasi antara makhluk manusia dan Pencipta berkurang, materi direduksi menjadi
kepemilikan egoistik, manusia menjadi “jalan terakhir” dan tujuan keberadaan direduksi
menjadi perlombaan untuk memiliki sebanyak mungkin. Ciptaan, materi yang disusun secara
cerdas oleh Allah, dipercayakan kepada tanggung jawab manusia, dan meskipun kita mampu
menafsirkan dan mengubahnya, kita tak dapat memandang diri sendiri sebagai penguasa
mutlak atas ciptaan. Manusia dipanggil untuk melaksanakan perwalian untuk melindunginya,
menghasilkan buah, dan mengolahnya, sambil menemukan sumber daya yang diperlukan
setiap orang untuk hidup bermartabat. Dengan bantuan alam sendiri dan dengan kerja keras
serta kreativitas, umat manusia mampu melaksanakan kewajibannya yang berat untuk
mewariskan bumi kepada generasi mendatang agar mereka juga, pada gilirannya, dapat
231

mendiaminya secara layak dan terus mengolahnya (bdk. no.50). Agar ini terjadi, adalah
hakiki untuk mengembangkan “perjanjian antara manusia dan lingkungan, yang harus
mencerminkan kasih kreatif Allah”. (Pesan Hari Perdamaian Sedunia 2008, no.7), sambil
mengakui bahwa kita semua berasal dari Allah dan bahwa kita berziarah menuju kepadaNya.
Maka betapa pentingnya bahwa komunitas internasional dan tiap-tiap pemerintah mengirim
sinyal yang tepat kepada warganya untuk secara efektif melawan pemanfaatan yang
merugikan lingkungan. Ongkos ekonomis dan sosial yang berasal dari penggunaan bersama
sumber daya ekologis harus diakui secara transparan dan dipikul oleh mereka yang
mengakibatkannya, dan tidak oleh bangsa-bangsa atau generasi mendatang. Perlindungan
lingkungan, dan penyelamatan sumber daya dan iklim, mewajibkan semua pemimpin
internasional untuk bertindak bersama seraya bersikap hormat terhadap hukum dan
memajukan solidaritas dengan wilayah dunia yang paling lemah (Bdk. Caritas in Veritate
no.50).

Bersama kita bisa membangun pengembangan manusia seutuhnya, yang bermanfaat bagi
semua bangsa, sekarang dan kelak, pengembangan yang diilhami nilai-nilai kasih dalam
kebenaran. Agar ini terjadi, adalah hakiki bahwa pola pengembangan yang berlaku diubah
dengan menerima tanggung jawab bersama lebih besar atas ciptaan: hal ini dituntut tak hanya
oleh faktor-faktor lingkungan, melainkan juga oleh skandal kelaparan dan penderitaan
manusia.
Saudara-saudara yang terkasih, marilah kita sekarang bersyukur kepada Tuhan dan
menjadikan kata-kata kita sendiri, apa yang terdapat pada madah St. Fransiskus “Madah
semua ciptaan”: “Tuhan Mahatinggi, Mahakuasa, Mahabaik, Segala pujian bagi-Mu, segala
kemuliaan, segala hormat dan berkat. Kami memuji Engkau, bersama-sama dengan seluruh
ciptaan,” Demikian kata St. Fransiskus, kita juga ingin berdoa dan hidup dalam semangat
kata-kata itu

84. 24-09-2009 BENEDIKTUS XVI, PERNYATAAN VIDEO KEPADA PERTEMUAN


PUNCAK TENTANG PERUBAHAN IKLIM

Videostatement of Benedict XVI to the UN 2009 Summit on Climate Change


Hari ini saya ingin mengadakan refleksi tentang hubungan antara Pencipta dan diri kita
sendiri sebagai penjaga ciptaan-Nya. Dengan demikian, saya ingin memberikan dukungan
saya kepada para pemimpin pemerintah dan lembaga internasional yang akan segera bertemu
di PBB untuk mendiskusikan isu mendesak tentang perubahan iklim.
232

Bumi sesugguhnya adalah anugerah berharga Pencipta yang dalam merencanakan tatanan
intrinsiknya telah memberi kita panduan yang membantu diri kita sebagai wali ciptaan-Nya.
Tepat dari dalam kerangka itulah Gereja melihat bahwa hal-hal mengenai lingkungan dan
perlindungannya terkait erat dengan pengembangan manusia seutuhnya. Dalam ensiklik saya
baru-baru ini, Caritas in Veritate, saya mengangkat soal-soal itu dengan mengingatkan
“kebutuhan moral yang mendesak akan solidaritas yang dibarui” (No.49) tak hanya antara
negara-negara, melainkan juga antara individu-individu. Karena lingkungan alam diberikan
oleh Allah kepada setiap orang, maka penggunaannya memerlukan tanggung jawab pribadi
terhadap umat manusia sebagai keseluruhan, khususnya terhadap yang miskin dan generasi
mendatang (bdk. no.48). Maka, amat penting bahwa komunitas internasional dan pemerintah
individual mengirim sinyal yang benar kepada para warganya dan berhasil melawan cara-cara
yang merugikan dalam memperlakukan lingkungan. Ongkos ekonomis dan sosial
menggunakan sumber daya harus diakui dengan transparansi dan dipikul oleh mereka yang
mengakibatkan-nya, dan tidak oleh orang lain atau generasi mendatang. Perlindungan
lingkungan, dan penyelamatan sumber daya dan iklim, mewajibkan semua pemimpin untuk
bertindak bersama, sambil menaruh respek kepada hukum dan memajukan solidaritas dengan
wilayah paling lemah dunia ini (bdk. no.50). Bersama-sama kita bisa membangun
pengembangan manusia seutuhnya yang bermanfaat bagi semua bangsa, sekarang dan kelak,
pengembangan yang diilhami nilai kasih dalam kebenaran. Agar hal ini terjadi adalah hakiki
bahwa penerimaan model pengembangan yang ada sekarang diubah dengan tanggung jawab
bersama yang lebih besar atas ciptaan: ini diminta tak hanya oleh faktor-faktor lingkungan,
melainkan juga oleh skandal kelaparan dan penderitaan manusia…

Dengan sikap ini saya ingin mendukung semua peserta dalam konferensi tingkat tinggi PBB
untuk memasuki diskusi mereka secara konstruktif dan penuh keberanian. Kita sungguh
dipanggil untuk menjalankan penatalayanan yang bertanggung jawab atas lingkungan, untuk
menggunakan sumber daya sedemikian sehingga setiap individu dan komunitas dapat hidup
bermartabat, dan untuk mengembangkan “bahwa perjanjian antara manusia dan lingkungan,
yang harus mencerminkan kasih kreatif Allah.” (Pesan Hari Perdamaian Sedunia 2008, 7)!
Terima kasih.

85. 14-10-2009 PERNYATAAN OLEH MGR. JAMES MARVIN REINERT DARI


DEWAN KEPAUSAN UNTUK KEADILAN DAN PERDAMAIAN KEPADA KOMISI
ILMU MANUSIA DAN SOSIAL SESSI KE 35 KONFERENSI UMUM UNESCO
233

TENTANG PENDIDIKAN UNTUK MEMAJUKAN PENGEMBANGAN LESTARI,


HAM DAN LINGKUNGAN HIDUP.

Statement by Msgr. James Marvin Reinert of the Pontifical Council for Justice and Peace to
the Human and Social Sciences Commission of the 35th session of the General Conference of
UNESCO on Education to promote Sustainable Development, Human Rights and the
Environment

Pesan tahun ini akan datang pada waktu perhatian dunia terpusat pada diskusi dan negosiasi
yang akan berlangsung pada Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Kopenhagen.
Delegasi saya hanya bisa berharap agar lewat pendidikan dan pengertian, hasil Konferensi itu
akan menggerakkan dunia dalam usahanya melindungi lingkungan dan berjuang karena
perubahan iklim global.

86. 08-12-2009 BENEDIKTUS XVI, PESAN HARI PERDAMAIAN SEDUNIA KE 43,


2001: “BILA ANDA MAU MEMAJUKAN PERDAMAIAN, LINDUNGILAH
CIPTAAN”

43rd World Day of Peace: “If you want to cultivate Peace, protect creation”

1. Pada awal tahun baru ini saya ingin menyampaikan kepada semua komunitas kristiani,
para pemimpin bangsa-bangsa dan orang-orang yang berkehendak baik di seluruh dunia
dengan segenap hati harapan akan perdamaian. Untuk Hari Perdamaian Sedunia ke-43 saya
memllih semboyan: Bila Anda Mau Memajukan Perdamaian, Lindungilah Cip-taan. Hormat
terhadap ciptaan amat penting, juga karena “ciptaan adalah awal dan dasar semua karya
Allah” (1) dan perlindungannya dewasa ini hakiki untuk hidup bersama umat manusia dalam
damai. Karena kekejaman manusia terhadap manusia, ada banyak bahaya yang mengancam
perdamaian dan pengembangan manusia seutuhnya yang autentik seperti peperangan, konflik
internasional dan regional, aksi teror dan pelanggaran HAM. Tidak kalah menimbulkan
keresahan ialah
bahaya yang berasal dari pengabaian –kalau tidak bahkan penyalahgunaan– bumi dan
kekayaan alam, yang dianugerahkan Allah kepada kita. Maka umat manusia perlu membarui
dan
meneguhkan “perjanjian antara manusia dan lingkungan, yang harus menjadi cermin kasih
Allah Pencipta – Allah yang adalah asal-usul kita dan yang kita tuju” (2).
234

2. Dalam ensiklik saya Caritas in veritate saya menggarisbawahi bahwa pengembangan


manusia seutuhnya berkaitan erat dengan kewajiban yang lahir dari hubungan manusia
dengan lingkungan dan alam. Lingkungan hidup harus dimengerti sebagai anugerah Allah
kepada semua orang, dan penggunaannya membawa-serta tanggung jawab bersama bagi
seluruh umat manusia, terutama untuk kaum miskin dan generasi mendatang. Selain itu saya
juga
mengingatkan, bahwa kesadaran akan tanggung jawab terancam makin berkurang dalam hati
nurani manusia, bila alam dan terutama manusia dipandang hanya sebagai produk kebetulan
atau determinisme evolusioner. (3) Tetapi sebaliknya, bila kita melihat dalam ciptaan
anugerah Allah kepada umat manusia, kita dibantu untuk memahami panggilan dan nilai
manusia. Bersama dengan penulis mazmur kita dapat berseru penuh kekaguman: “Jika aku
melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan apakah
manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau
mengindahkannya?” (Mzm. 8:4-5). Merenungkan keindahan ciptaan mengajak kita mengakui
kasih Pencipta, Kasih yang “menggerakkan matahari dan bintangbintang selebihnya” (4).

3. Duapuluh tahun yang lalu Paus Yohanes Paulus II memilih tema “Perdamaian dengan
Allah, Pencipta, perdamaian dengan seluruh ciptaan” untuk Pesan Hari Perdamaian Sedunia
dan dengan itu mengarahkan perhatian pada relasi kita sebagai ciptaan Allah dengan segala
yang mengelilingi kita. Ia menulis: “Dewasa ini dapat disinyalir peningkatan kesadaran
bahwa perdamaian dunia juga terancam kekurangan rasa hormat terhadap alam”. Dan ia
menambahkan bahwa “kesadaran ekologis tak boleh dilemahkan, melainkan justru harus
dimajukan, agar berkembang dan menjadi matang dan diungkapkan sepantasnya dalam
program dan prakarsa konkret”(5). Para Paus pendahulu sudah menunjukkan hubungan
antara manusia dan lingkungan hidupnya. Misalnya pada 1971 pada peringatan 80 tahun
ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII. Paus Paulus VI mengemukakan bahwa “dengan
menguras alam secara sembarangan, manusia berisiko menghancurkannya dan pada
gilirannya kerusakan penyalahgunaan itu mengenai manusia sendiri”. Dan ia melanjutkan:
“tetapi bukan hanya lingkungan hidup menjadi ancaman tetap, –seperti pencemaran
lingkungan dan sampah, penyakit baru, kekuatan penghancuran total–, melainkan struktur
manusia sendiri tak lagi dalam kekuasaan manusia, sehingga menciptakan kondisi hidup
masa depan yang tak dapat ditanggungnya. Itulah masalah sosial berdimensi luas yang
mengenai seluruh umat manusia” (6).
235

4. Juga bila Gereja menghindari pernyataan mengenai pemecahan teknis yang khas, sebagai
“ahli kemanusiaan” ia berusaha sekuat tenaga mengarahkan perhatian kepada relasi antara
Pencipta, manusia dan ciptaan. Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1990 berbicara tentang
“krisis lingkungan hidup,” dan dengan menekankan bahwa itu terutama bersifat etis, ia
mengemukakan “mendesaknya kebutuhan akan solidaritas baru” (7). Seruan tersebut dewasa
ini makin mendesak, mengingat tanda-tanda meningkatnya krisis, dan tak dapat
dipertanggungjawabkan bila tak memperhatikan krisis itu secara serius. Bagaimana orang
dapat tak peduli berhadapan dengan gejala-gejala seperti perubahan iklim global,
desertifikasi, berkurangnya dan hilangnya produktivitas di wilayah pertanian yang luas,
pencemaran sungai dan air tanah (aquifer), makin berkurangnya keanekaragaman hayati,
meningkatnya bencana alam dan pembabatan hutan tropis? Bagaimana orang dapat
mengabaikan gejala meningkatnya ”pengungsi lingkungan”: orang yang karena kehancuran
lingkungan terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka– dan seringkali juga harta
miliknya– kemudian menghadapi bahaya dan masa depan yang tak pasti atas pemindahan
paksa? Bagaimana orang dapat tak berbuat apa-apa berhadapan dengan konflik aktual dan
potensial yang menyangkut akses kepada sumber daya alam? Semua soal ini mempunyai
pengaruh luas atas implementasi HAM, misalnya hak atas hidup, hak atas makanan,
kesehatan dan perkembangan.

5. Tak boleh dilupakan bahwa krisis lingkungan hidup tak dapat dipandang lepas dari soal
lain yang berkaitan dengannya, karena terkait erat dengan paham pengembangan dan
pandangan tentang manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia dan ciptaan lainnya.
Maka, logislah meneliti secara mendalam dan lebih jauh model pengembangan kita, serta
mempertimbangkan makna ekonomi dan tujuannya demi memperbaiki kesalahan fungsi dan
distorsi. Hal itu dituntut oleh kesehatan ekologis planet, tapi juga dituntut oleh krisis-krisis
kultural dan moral umat manusia yang gejala-gejalanya beberapa waktu tampak jelas di
mana-mana di dunia (8). Umat manusia membutuhkan pembaharuan kultural yang
mendalam; ia harus menemukan kembali nilai-nilai yang merupakan dasar kuat untuk
membangun masa depan yang lebih cerah bagi semua. Keadaan krisis yang dihadapi dewasa
ini –di bidang ekonomi, pengadaan bahan makanan, lingkungan atau masyarakat– pada
dasarnya juga merupakan krisis moral, dan semuanya itu saling berkaitan. Diperlukan
perencanaan baru untuk berjalan bersama. Terutama, dituntut cara hidup yang diwarnai
keugaharian dan solidaritas dengan peraturan dan bentuk komitmen baru, yang dengan
percaya diri dan berani mengangkat pengalaman positif dan dengan tegas menolak
236

pengalaman negatif. Hanya dengan demikian krisis dewasa ini dapat menjadi peluang untuk
pembedaan dan perencanaan baru.

6. Apakah tak benar bahwa apa yang dalam arti kosmis disebut “alam” berasal dari “rencana
kasih dan kebenaran”? Dunia “bukanlah hasil suatu keniscayaan, nasib buta atau kebetulan…
Ia berasal dari kehendak bebas Allah, yang ingin membiarkan ciptaan ambil bagian dalam
adaNya, kebijaksanaan-Nya dan kebaikanNya”(9) Kitab Kejadian pada halaman-halaman
pertamanya menunjukkan rancangan bijaksana kosmos, yang adalah buah gagasan Allah dan
yang berpuncak pada lakilaki dan perempuan yang diciptakan sebagai citra dan keserupaan
dengan Pencipta, agar mereka “mendiami bumi” dan “berkuasa atasnya” sebagai “wali yang
diangkat” oleh Allah sendiri. (bdk. Kej. 1:28). Harmoni antara Allah, umat manusia dan
ciptaan yang dilukiskan Kitab Suci dirusak oleh dosa, laki-laki dan perempuan, yang mau
menggantikan Allah dan menolak mengakui diri sebagai ciptaanNya. Konsekuensinya ialah
bahwa juga tugas “menguasai” bumi, “mengolahnya” dan “menjaganya” dirugikan dan
terjadi konflik antara manusia dan ciptaan lainnya (bdk. Kej. 3:17-19). Manusia membiarkan
diri dikuasai egoisme dan kehilangan makna perintah Allah, dan dalam hubungannya dengan
ciptaan ia berlaku seperti pemeras yang menginginkan kuasa mutlak atasnya. Makna sejati
perintah Allah awalnya ialah, seperti ditunjukkan dengan jelas oleh Kitab Kejadian, bukan
hanya pemberian otoritas, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab. Kebijaksanaan
kuno mengakui bahwa alam tidak tersedia bagi kita seperti ”tumpukan sampah yang berser-
kan”(10). Wahyu Kitab Suci memberitahu bahwa alam adalah anugerah Pencipta yang
memberinya tatanan internal agar manusia mendapatkan orientasi untuk mengolah dan
menjaganya” (bdk. Kej 2:15).(11) Segala yang ada milik Allah, yang mempercayakannya
kepada manusia, tetapi tidak untuk diperlakukan semena-mena. Bila manusia tak
melaksanakan tugasnya sebagai rekan kerja Allah, melainkan mau menggantikan
(kedudukan) Allah, ia memicu perlawanan alam, yang lebih “diperlakukan semena-mena,
daripada diurus”(12). Jadi, manusia mempunyai kewajiban, secara bertanggung jawab untuk
menguasai alam, menjaganya dan mengolahnya.(13)

7. Sayang, harus disinyalir bahwa sejumlah besar orang di pelbagai negara dan daerah bumi
tengah mengalami kesulitan yang meningkat karena kelalaian atau penolakan banyak orang,
untuk bertanggung jawab atas pemeliharaan lingkungan. Konsili Ekumenis Vatikan II
mengingatkan kita bahwa “Tuhan memperuntukkan bumi dan segala isinya untuk dipakai
oleh semua orang dan bangsa”(14) Harta benda ciptaan dengan demikian adalah milik
seluruh umat manusia. Tetapi laju eksploitasi lingkungan hidup dewasa ini membahayakan
237

tersedianya beberapa sumber daya alam tak hanya untuk generasi sekarang, melainkan
terutama untuk generasi mendatang.(15) Tidaklah sulit mengkonstatir bahwa degradasi
lingkungan seringkali adalah akibat kurangnya kebijakan resmi yang melihat jauh ke depan
atau juga karena mengejar kepentingan ekonomi picik, yang sayang berkembang menjadi
ancaman bagi ciptaan. Untuk menghadapi gejala ini, berdasarkan kenyataan bahwa “setiap
keputusan ekonomis mempunyai konsekuensi moral”(16), maka perlulah kegiatan ekonomis
memperhatikan lingkungan. Bila orang memakai sumber daya alam, haruslah orang
mengindahkan pelestariannya, dengan menganggarkan juga ongkos yang menyertainya –
yang menyangkut lingkungan dan bidang sosial– dihitung dan dinilai sebagai bagian penting
dari kegiatan ekonomi itu sendiri. Komunitas internasional dan pemerintah nasional
bertanggung jawab memberi sinyal tepat untuk secara efektif menghadapi modalitas
lingkungan yang terbukti merugikan lingkungan. Untuk melindungi lingkungan, dan menjaga
sumber daya alam dan iklim, haruslah orang di satu pihak, dengan memperhatikan juga dari
sudut hukum dan ekonomi, berbuat menurut norma-norma yang tepat, dan di lain pihak
mengindahkan solidaritas yang merupakan hak mereka yang tinggal di wilayah miskin bumi
dan generasi yang akan datang.

8. Rupanya sudah tiba waktunya untuk mencapai solidaritas tulus antargenerasi. Biaya yang
timbul dari penggunaan sumber daya lingkungan bersama tak boleh dibebankan pada
generasi mendatang: “Kita telah mewarisi dari pendahulu kita dan memperoleh kebaikan
sesama warga; maka, kita berutang budi kepada semua dan tak boleh bersikap acuh pada
mereka yang akan datang sesudah kita, untuk memperluas lingkup umat manusia. Solidaritas
yang dinyatakan semua orang, membawa bukan hanya keuntungan, melainkan juga
kewajiban. Inilah tanggung jawab yang harus diemban generasi sekarang untuk generasi
mendatang dan juga tanggung jawab dari negara-negara dan komunitas internasional“(17).
Penggunaan sumber daya alam harus sedemikian rupa sehingga keuntungan yang langsung
tidak mengandung akibat yang merugikan untuk makhluk hidup, manusia dan lainnya, masa
kini dan masa depan; agar perlindungan hak milik pribadi tidak menghambat tujuan universal
harta benda.(18), agar campur tangan manusia tidak membahayakan kesuburan tanah, demi
kesejahteraan manusia masa kini dan kelak. Di samping solidaritas tulus antargenerasi
mendesak diperlukan untuk solidaritas yang diperbarui dalam satu generasi, terutama dalam
hubungan antara negara berkembang dan negara maju: “Komunitas internasional mempunyai
tugas penting untuk menemukan cara-cara institusional untuk mengatur eksploitasi sumber
daya yang tak terbarukan dengan melibatkan negara berkembang dalam proses untuk
238

merencanakan masa depan bersama.”(19) Krisis ekologis menunjukkan mendesaknya


solidaritas yang meliputi tempat dan waktu. Sungguh perlu mengakui bahwa di antara sebab-
sebab krisis ekologis aktual, ada tanggung jawab historis negara maju. Tetapi negara kurang
berkembang, dan terutama negara agak maju tak lepas dari kewajiban untuk langkah demi
langkah mengambil tindakan yang berlaku bagi semua. Hal ini dapat lebih mudah
diwujudkan, bila kepentingan diri sendiri diperkecil pada pemberian bantuan dan penerusan
pengetahuan serta teknologi bersih.

9. Tentu saja salah satu soal mendasar yang harus dihadapi oleh komunitas internasional ialah
menemukan sumber daya energi dan pengembangan strategi bersama dan berkelanjutan
untuk memenuhi kebutuhan energi generasi kini dan kelak. Untuk itu masyarakat yang secara
teknologis lebih maju harus bersedia memajukan gaya hidup yang diresapi keugaharian
dengan mengurangi kebutuhan sendiri akan energi dan memperbaiki persyaratan
pemanfaatannya. Sekaligus perlu memajukan penelitian dan penerapan bentuk-bentuk energi
yang lebih ramah terhadap lingkungan dan “pembagian ulang sumber daya energi ke seluruh
dunia,” sehingga juga negara yang tak mempunyai sumber sendiri, mendapat akses
padanya.”(20) Maka dari itu, krisis ekologis memberikan peluang historis, untuk
mengembangkan rencana tindakan bersama, yang bertujuan mengarahkan model
pengembangan global ke arah hormat lebih besar terhadap ciptaan dan pengembangan
manusia seutuhnya, karena berorientasi pada nilai-nilai khas kasih akan sesana dalam
kebenaran. Maka saya mengharapkan penerimaan model pengembangan yang berdasar pada
sentralitas pribadi manusia, pada pengembangan kesejahteraan bersama dan partisipasi di
dalamnya, pada tanggung jawab, pada kesadaran perlunya pengubahan gaya hidup, dan pada
kearifan, keutamaan yang menunjukkan apa yang perlu dilakukan sekarang mengingat apa
yang mungkin terjadi di kemudian hari.(21)

10. Untuk mengarahkan umat manusia kepada pemeliharaan lestari lingkungan dan sumber
daya bumi, setiap orang dipanggil untuk mengerahkan kecerdasan di bidang penelitian ilmiah
dan teknologi, demikian pula penerapan penemuan yang lahir daripadanya. “Solidaritas baru”
yang diingatkan Paus Yohanes Paulus II dalam pesan Hari Perdamaian Sedunia 1990 (22),
dan “solidaritas sedunia” yang saya ingatkan dalam pesan Hari Perdamaian Sedunia 2009
(23) ternyata merupakan sikap dasar, untuk mengarahkan upaya-upaya kita melindungi
ciptaan dengan sistem pemanfaatan sumber daya bumi, yang dikoordinasikan secara lebih
baik pada taraf internasional. Hal ini terutama berlaku untuk situasi kini, di mana makin jelas
hubungan timbal-balik yang kuat antara melawan degradasi lingkungan dan memajukan
239

pengembangan manusia seutuhnya. Ini merupakan dua realitas yang tak terpisahkan karena
“pengembangan individu sepenuhnya hanya (dapat) terjadi dalam pengembangan solidaritas
umat manusia seluruhnya.”(24) Dengan begitu banyak kemungkinan ilmiah dan proses
inovatif potensial yang ada sekarang dapat diberikan solusi yang memuaskan, yang menata
hubungan antara manusia dan lingkungan secara harmonis. Misalnya perlulah memajukan
penelitian yang bermaksud mendapat modalitas yang paling efektif untuk memanfaatkan
kapasitas besar energi sinar matahari. Demikian pula perhatian perlu diberikan untuk
permasalahan air sedunia dan pendirian sistem hidrogeologis, yang amat penting untuk hidup
di bumi dan yang stabilitasnya sangat terancam oleh perubahan iklim. Demikian pula harus
dicari strategi pengembangan pertanian yang menempatkan para petani kecil dan keluarganya
di pusat. Juga perlu tindakan yang sesuai untuk mengelola hutan dan menyediakan sarana
menyingkirkan sampah dan memberlakukan sinergi antara tindakan melawan perubahan
iklim dan pengentasan kemiskinan. Untuk itu perlu tindakan nasional yang dilengkapi dengan
komitmen internasional, yang terutama membawa keuntungan jangka menengah dan jangka
panjang. Pada umumnya perlu meninggalkan logika konsumsi belaka untuk memajukan
bentuk-bentuk produksi pertanian dan industri, yang menaruh respek terhadap tatanan ciptaan
dan memperhatikan kebutuhan primer semua. Masalah ekologis dihadapi tidak hanya karena
prospek menakutkan atas degradasi lingkungan pada cakrawala. Ia terutama harus didekati
dalam pencarian solidaritas sedunia sejati yang menimba inspirasi dari nilai kasih, keadilan
dan kebaikan bersama. Selain itu saya sudah mengingatkan bahwa “Teknologi tak pernah
sekadar teknologi. Ia mengungkapkan manusia dan kerinduannya akan pengembangan, ia
adalah ungkapan ketegangan batin yang secara bertahap mendorongnya mengatasi sejumlah
keterbatasan jasmani. Maka dari itu teknologi termasuk penugasan “mengolah bumi dan
menjaganya” (bdk. Kej 2: 5) yang diberikan Allah kepada manusia, dan harus bertujuan
meneguhkan perjanjian antara manusia dan lingkungan, cermin kasih kreatif Allah”.(25)

11. Makin jelas, bahwa soal pencemaran lingkungan menyangkut perilaku setiap orang dan
gaya hidup serta pola konsumsi dan produksi yang sering tak tertahankan karena alasan
sosial, alasan perlindungan lingkungan dan bahkan karena pertimbangan ekonomis.
Diperlukan perubahan pemikiran yang mengarah pada penerapan gaya hidup baru, “di mana
pencarian kebenaran, keindahan, kebaikan dan persekutuan dengan pihak lain untuk
pertumbuhan bersama merupakan unsur-unsur yang menentukan keputusan konsumsi,
tabungan dan investasi”.(26) Diperlukan pendidikan memajukan perdamaian dengan opsi
pada tataran pribadi, keluarga, komunitas dan politik. Kita semua bertangung jawab atas
240

perlindungan dan pemeliharaan ciptaan. Tanggung jawab ini tak mengenal batas. Dalam arti
prinsip subsidiaritas penting bahwa setiap orang melibatkan diri sesuai tingkatnya, bahwa
dominasi kepentingan khusus diatasi. Tugas penyadaran dan pendidikan terutama
menyangkut pelbagai lembaga masyarakat sipil dan LSM, yang dengan tegas dan murah hati
melibatkan diri untuk menyebarluaskan tanggung jawab ekologis. Ini harus makin berakar
dalam respek terhadap “ekologi human”. Juga diingatkan tanggung jawab media di bidang
ini, yang dapat mengajukan contoh positif sebagai inspirasi. Maka komitmen bagi lingkungan
menuntut pandangan yang luas dan global tentang dunia; usaha bersama penuh tanggung
jawab untuk beralih dari cara berpikir yang berpusat pada kepentingan nasionalistis egoistis
kepada pandangan yang senantiasa memperhatikan kebutuhan semua bangsa. Kita tak dapat
tetap tak peduli terhadap apa yang terjadi di sekitar kita karena kemerosotan sebagian planet
mempengaruhi kita semua. Hubungan antara orang-orang, kelompok masyarakat dan negara,
dan juga antara manusia dan lingkungan harus diresapi oleh respek dan “kasih akan
kebenaran”. Dalam konteks yang lebih luas, amat diharapkan bahwa upaya komunitas
internasional untuk menjamin perlucutan senjata progresif dan dunia tanpa senjata nuklir
yang dengan keberadaannya saja mengancam hidup bumi dan proses pengembangan
seutuhnya generasi sekarang dan masa depan, dipraktikkan dan ditanggapi.

12. Gereja mengemban tanggung jawab atas ciptaan dan sadar bahwa ia harus
melakukannya pada tataran politik, untuk memelihara bumi, air dan udara sebagai anugerah
Allah Pencipta bagi semua dan terutama untuk melindungi manusia terhadap bahaya
penghancuran diri. Perusakan alam berkaitan erat dengan budaya yang memberi ciri khas
kepada hidup bersama; karena “bila dalam masyarakat ‘ekologi human’ mendapat respek,
juga ekologi lingkungan mendapat keuntungan”.(27) Orang tak dapat menuntut dari orang
muda untuk menaruh respek terhadap lingkungan, bila mereka dalam keluarga dan
masyarakat tak dibantu menaruh respek terhadap diri sendiri: Buku alam unik baik mengenai
lingkungan maupun etika pribadi, keluarga dan masyarakat.(28) Kewajiban terhadap
lingkungan berasal dari kewajiban terhadap pribadi dan hubungannya dengan orang lain.
Maka dari itu saya ingin mendorong pendidikan tentang kesadaran lingkungan, seperti yang
saya tulis dalam ensiklik Caritas in Veritate, yang meliputi ekologi human autentik dan
karenanya dengan keyakinan yang dibarui meneguhkan sifat tak tergugat hidup manusia pada
setiap tahap dan dalam keadaan apa pun, juga martabat manusia dan tugas mutlak keluarga,
di mana orang dididik untuk kasih akan sesama dan pemeliharaan alam.(29) Warisan
241

manusiawi masyarakat harus dipertahankan. Harta nilai-nilai ini mempunyai asal-usul dan
kerangkanya dalam hukum kodrati yang mendasari respek terhadap manusia dan ciptaan.

13. Akhirnya tak boleh dilupakan bahwa amat banyak orang menemukan ketenteraman dan
perdamaian dan merasa dibarui dan dikuatkan, bila bersentuhan dengan keindahan dan
harmoni alam. Maka ada semacam pengaruh timbal-balik: Bila kita memelihara ciptaan, kita
merasa bahwa Allah juga memelihara kita lewat ciptaan. Di lain pihak, pemahaman yang
benar tentang hubungan antara manusia dan lingkungan tidak mengakibatkan orang
memutlakkan alam atau menganggapnya lebih penting daripada manusia sendiri. Bila
magisterium Gereja mengungkapkan keheranannya terhadap pandangan lingkungan yang
diresapi ekosentrisme dan biosentrisme, hal itu dilakukannya karena pandangan itu
melenyapkan perbedaan kodrat dan nilai antara pribadi manusia dan makhluk lainnya.
Dengan itu de facto disangkal identitas dan peran lebih tinggi manusia dan didukung
pandangan egaliter “martabat” semua makhluk. Hal itu membuka panteisme baru dengan
tekanan neopagan yang menyimpulkan keselamatan manusia hanya dari alam yang dipahami
melulu naturalistis. Sebaliknya Gereja mengundang untuk membahas soal ini dengan kepala
dingin, dalam respek terhadap “tata bahasa” yang ditulis Pencipta dalam karya-Nya, dengan
menyerahkan kepada manusia peran sebagai penjaga dan pengelola ciptaan dengan penuh
tanggung jawab. Peran ini tak boleh disalahgunakan manusia, tetapi juga tak boleh
ditolaknya. Karena posisi kebalikannya, yang memutlakkan teknologi dan kekuasaan
manusia akhirnya tak hanya menjadi pukulan berat terhadap alam, melainkan juga terhadap
martabat manusia sendiri. (30)

14. Bila engkau menghendaki perdamaian, peliharalah ciptaan. Kerinduan semua orang
yang berkehendak baik akan perdamaian dipermudah, bila mereka bersama mengakui kaitan
tak terputuskan antara Allah, manusia dan seluruh ciptaan. Dalam terang wahyu ilahi dan
sesuai dengan tradisi Gereja kaum kristiani memberi sumbangan untuk itu. Mereka melihat
kosmos dan mukjizatnya dalam cahaya karya penciptaan Bapa dan karya penebusan oleh
Kristus yang dengan wafat dan kebangkitan-Nya “mendamaikan segala di surga dan di bumi”
(Kol. 1:20) dengan Allah. … Maka, melindungi alam dan lingkungan untuk membangun
dunia perdamaian, merupakan kewajiban setiap orang. Ini adalah tantangan mendesak yang
harus ditanggapi dengan komitmen yang dibarui dan dipikul semua; juga adalah peluang baik
untuk memberi kepada generasi mendatang harapan masa depan yang lebih baik bagi semua.
Hal ini hendaknya disadari para penanggung jawab bangsa-bangsa dan pada setiap tataran,
bila nasib umat manusia diperhatikan: Pemeliharaan ciptaan dan perwujudan perdamaian
242

saling terkait dengan erat! Maka saya mengundang semua orang beriman, dengan rajin
berdoa kepada Allah, Pencipta yang mahakuasa dan Bapa maharahim, agar dalam hati setiap
orang imbauan tegas ini menggema, diterima dan dihayati: Bila engkau mau memajukan
perdamaian, peliharalah ciptaan.Dari Vatikan, 8 Desember 2009

……………
[1]Katekismus Gereja Katolik, 198.
[2]Benediktus XVI, Pesan Hari Perdamaian Sedunia 2008, 7.
[3] Bdk. No.48.
[4]Dante Alighieri, The Divine Comedy, Paradiso, XXXIII, 145.
[5] Pesan Hari Perdamaian Sedunia 1990, 1.
[6] Surat Apostolik Octogesima Adveniens, 21.
[7] Pesan Hari Perdamaian Sedunia 1990, 10.
[8] Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 32.
[9] Katekismus Gereja Katolik, 295.
[10] Heraclitus of Ephesus (c. 535 – c. 475 B.C.), Fragment 22B124, in H.
Diels-W. Kranz, Die Fragmente der Vorsokratiker, Weidmann, Berlin,1952,
6th ed.
[11] Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 48.
[12] John Paul II, Encyclical Letter Centesimus Annus, 37.
[13] Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 50.
[14] Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 69.
[15] Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, 34.
[16] Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 37.
[17] Dewan Kepausan untuk keadilan dan perdamaian, Kompendium
Aajran Sosial Gereja 467; bdk. Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio,
17.
[18] Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 30-31, 43
[19] Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 49.
[20] Ibid.
[21] Bdk. St. Thomas Aquinas, S. Th., II-II, q. 49, 5.
[22] Bdk. No. 9.
[23] Bdk. No. 8.
[24] Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio, 43.
243

[25] Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 69.


[26] Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 36.
[27] Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 51.
[28] Bdk. ibid., 15, 51.
[29] Bdk. ibid., 28, 51, 61; Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus,38, 39.
[30] Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, 70.

87. 17-12-2009 PERNYATAAN OLEH Y.M. MGR CELESTINO MIGLIORE DI


DEPAN PADA SIDANG PLENO TINGKAT ATAS KONFERENSI PBB TENTANG
PERUBAHAN IKLIM
Statement by H.E.Msgr.Celestino Migliore before the Plenary of the High-level Segment of
the United Nations Conference on Climate Change

Bapak Ketua,

Konferensi ini mengulangi betapa lama diperlukan waktu untuk menciptakan kemauan politik
yang jelas dan teguh untuk menerima tindakan bersama yang mengikat dan anggaran yang
sesuai untuk mitigasi efektif dan adaptasi untuk perubahan iklim yang terus berlangsung.
Apakah kemauan politis ini lamban terbentuk karena kompleksitas soal yang saling berkaitan
yang harus kita tangani? Apakah itu terutama soal benturan kepentingan nasional? Ataukah
ada kesulitan menerjemahkan ke dalam angka-angka, prinsip yang diperlukan sekarang untuk
tanggung jawab bersama dan berbedabeda? Ataukah masih ada dominasi kebijakan energi
mengenai pemeliharaan lingkungan? Tentulah ada sedikit dari segala hal itu. Tetapi harus
dicatat betapa banyak pertimbangan yang dikembangkan selama proses ini bersatu pada
aspek sentral: perlunya refleksi baru dan lebih dalam tentang ekonomi dan prosesnya serta
suatu revisi mendalam dan jauh ke depan dari model pengembangan, untuk memperbaiki
kesalahan dan distorsi. Hal ini dituntut oleh kesehatan ekologis planet dan terutama menjadi
tanggapan mendesak atas krisis kultural dan moral, yang gejalanya telah lama terlihat jelas di
seluruh dunia. Dengan realisme, kepercayaan dan harapan kita harus mengemban tanggung
jawab baru yang memanggil kita ke panggung dunia yang membutuhkan pembaruan kultural
mendalam dan penemuan kembali nilai-nilai fundamental untuk membangun masa depan
yang lebih baik. Krisis moral yang sedang dialami umat manusia, di bidang ekonomi, nutrisi,
lingkungan atau sosial, –semuanya saling berkaitan– mewajibkan kita untuk merencanakan
244

kembali jalan kita, untuk menciptakan pedoman baru dan menemukan bentuk baru
keterlibatan. Dengan demikian krisis ini menjadi peluang penegasan dan pemikiran baru.

88. 01-01-2010 BENEDIKTUS XVI, HOMILI

Omelia del Santo Padre Benedetto XVI

... Pesan saya untuk Hari Perdamaian Sedunia ke-43 ”Bila Anda mau memajukan
perdamaian, lindungilah ciptaan” cocok dengan perspektif Wajah Allah dan wajah manusia.
Kita dapat mengatakan bahwa manusia mampu menaruh respek kepada ciptaan sejauh ia
mempunyai citarasa penuh atas kehidupan; kalau tidak, ia condong melecehkan diri sendiri
dan segala yang mengelilinginya, tak mempunyai hormat terhadap lingkungan di mana ia
hidup dan tiada respek terhadap ciptaan. Mereka yang dapat mengenali dalam kosmos
refleksi wajah Pencipta yang tak kelihatan, cenderung mempunyai kasih lebih besar terhadap
ciptaan dan kepekaan lebih besar terhadap nilai simbolis….

Perpsektif “wajah” secara khusus mengajak kita untuk merefleksikan apa yang saya sebut
“ekologi human,” juga dalam Pesan saya ini. Sesungguhnya ada hubungan erat antara respek
terhadap manusia dan perlindungan ciptaan. “Kewajiban kita terhadap lingkungan mengalir
dari kewajiban kita terhadap pribadi manusia, baik individual maupun dalam relasi dengan
sesama” (n. 12). Bila pribadi manusia merosot, lingkungan di mana ia hidup menjadi buruk;
bila budaya, mungkin tak teoretis, tetapi praktis condong kepada nihilisme, alam harus
menanggung akibatnya. Karena ada pengaruh timbal balik antara wajah manusia dan “wajah
lingkungan”. ”Bila dalam masyarakat “ekologi human” dihormati, maka juga lingkungan
mendapat keuntungan” (ibid; bdk.Caritas in veritate 51). Maka dari itu saya mengimbau
kembali, agar ditanamkan dalam pendidikan, yang diusulkan sebagai tujuan, selain
pengetahuan ilmiah dan teknis, juga “tanggung jawab ekologis” yang lebih luas dan lebih
mendalam, berdasarkan hormat terhadap manusia dan hak serta kewajibannya. Hanya dengan
demikian komitmen terhadap lingkungan sungguh menjadi pendidikan dalam perdamaian dan
dalam membangun perdamaian.

89. 11-01-2010 PAUS BENEDIKTUS XVI, AMANAT KEPADA


KORPS DIPLOMATIK YANG TERAKREDITASI PADA TAKHTA SUCI PADA
KESEMPATAN TRADISI UCAPAN SELAMAT TAHUN BARU
245

Pope Benedict XVI, address to the members of the Diplomatic Corps for the traditional
Exchange of New Year Greetings

... Pada hari ini saya ingin menekankan bahwa cara berpikir yang sama juga membahayakan
ciptaan. Setiap orang dari kita mungkin dapat menceritakan contoh kerugian yang
diakibatkan mentalitas itu terhadap lingkungan sedunia. Saya ingin memberi suatu contoh
dari sejarah Eropa. Duapuluh tahun lalu, sesudah jatuhnya tembok Berlin dan rontoknya
rezim materialistis dan ateistis, yang selama beberapa dasawarsa menguasai sebagian benua
ini, orang tak dapat menaksir kerugian besar yang diakibatkan sistem ekonomi yang tak
memperhatikan kebenaran tentang manusia; bukan hanya martabat dan kebebasan manusia
dan bangsa-bangsa, melainkan juga alam terkena: pencemaran tanah, air dan udara.
Pengingkaran akan Allah merusak kebebasan pribadi manusia, juga menghancurkan ciptaan.
Perlindungan ciptaan bukan terutama tanggapan akan kebutuhan estetis, melainkan lebih
pada kebutuhan moral, sejauh alam mengungkapkan rencana kasih dan kebenaran yang
mendahului kita dan yang datang dari Allah. Karena itu saya ikut makin prihatin akan
resistensi ekonomis dan politis melawan perjuangan mengatasi degradasi lingkungan.
Masalah ini menjadi jelas baru-baru ini selama sesi XV Konferensi Negara-negara partisipan
dalam Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen 7-18
Desember tahun yang lalu….

Bagaimanapun, tepatlah bila kepedulian dan komitmen untuk lingkungan harus ditempatkan
dalam kerangka yang lebih luas dari tantangan- tantangan yang saat ini dihadapi umat
manusia. Bila kita ingin membangun perdamaian sejati, bagaimana mungkin kita dapat
memisahkan, atau bahkan mengasingkan, perlindungan terhadap lingkungan dan
perlindungan terhadap hidup manusia, termasuk hidup janin? Dalam rasa hormat manusia
terhadap diri sendiri ditunjukkan rasa tanggung jawab atas ciptaan... Saya ingin menekankan
lagi bahwa perlindungan ciptaan menuntut pengelolaan tepat atas sumber daya alam berbagai
negara, dan terutama, negara yang secara ekonomis kurang beruntung... Perlindungan ciptaan
juga mengandung tantangan lain yang hanya dapat dipenuhi oleh solidaritas internasional...
Namun, selain solidaritas, ia menuntut kerukunan dan stabilitas antarnegara...

90. 17-05-2010 DEWAN KEPAUSAN DIALOG ANTARAGAMA PESAN KEPADA


KAUM BUDDHIS UNTUK HARI RAYA WAISAK/HAMMATSURI 2010 PC Inter-
religious Dialogue, Message to Buddhists for the Feast of Vesach/Hammatsuri 2010
246

2. Marilah peluang ini kita ambil untuk bersama-sama merefleksikan tema dengan relevansi
khusus dewasa ini, yakni krisis lingkungan yang telah mengakibatkan kesulitan besar dan
penderitaan di seluruh dunia. Upaya komunitas kita untuk melibatkan diri dalam dialog
antaragama telah menghasilkan kesadaran baru akan pentingnya secara sosial dan spiritual
tradisi agama kita masing-masing di bidang ini. Kita mengakui bahwa kita bersama-sama
menghargai nilai-nilai seperti hormat terhadap kodrat segala yang ada, kontemplasi,
kerendahan hati, kesederhanaan, welas asih, dan kemurahan hati. Nilai-nilai ini merupakan
sumbangan bagi hidup tanpa kekerasan, keseimbangan dan kepuasan dengan kecukupan.

3. Paus Benediktus XVI telah mengatakan bahwa “pelbagai gejala kemerosotan lingkungan
dan bencana alam mengingatkan kita keperluan mendesak untuk bersikap hormat terhadap
alam seperti seharusnya, dan menemukan kembali serta menghargai relasi yang benar
terhadap lingkungan dalam hidup sehari-hari (Audiensi Umum, 16 Agustus 2009). Gereja
Katolik memandang perlindungan lingkungan terkait erat dengan soal pengembangan
manusia seutuhnya; dan ia melibatkan diri tak hanya untuk memajukan perlindungan tanah,
air, dan udara sebagai anugerah yang diperuntukkan bagi setiap orang, melainkan juga
mengajak orang lain untuk bergabung dalam upaya melindungi umat manusia terhadap
penghancuran diri sendiri. Tanggung jawab kita untuk melindungi alam sebenarnya
bersumber pada hormat kita timbalbalik dan hukum yang tertulis dalam hati semua orang.
Maka dari itu, bila ekologi human dihormati dalam masyarakat, juga ekologi alam
diuntungkan (bdk. ensiklik Caritas in veritate, n. 51).

4. Baik orang Kristiani maupun Buddhis mempunyai hormat mendalam terhadap hidup
manusia. Maka dari itu adalah krusial bahwa kita mendorong upaya-upaya untuk
menciptakan citarasa tanggung jawab ekologis, seraya sekaligus meneguhkan keyakinan kita
bersama tentang kesucian hidup pada setiap tahap dan dalam setiap kondisi, martabat pribadi
manusia dan misi khusus keluarga, di mana orang belajar mencintai sesama dan bersikap
hormat terhadap alam.

5. Semoga kita bersama memajukan relasi sehat antara manusia dan lingkungan. Dengan
memajukan upaya kita mengembangkan kesadaran ekologis untuk ketentraman dan
koeksistensi damai, kita dapat memberi kesaksian mengenai gaya hidup penuh hormat yang
mendapat arti tidak dalam menambah kepemilikan, melainkan dengan menjadi lebih baik.
Dengan berbagi keyakinan dan komitmen tradisi agama kita, kita dapat memberi sumbangan
untuk kesejahteraan dunia kita.
247

Teman-teman Buddhis, sekali lagi perkenankan kami mengungkapkan salam tulus kami dan
mengucapkan kepada Anda sekalian: Selamat Hari Raya Waisak.

91. 24-06-2010 DK PASTORAL MIGRAN, WISATA LESTARI UNTUK


MELINDUNGI KEANEKARAGAMAN HAYATI

PC for Pastoral Care of Migrants & Itinerant People, A Sustainable tourism for the
Protection of Biodiversity

Dengan tema “Pariwisata dan Keanekaragaman Hayati” yang diusulkan World Tourism
Organization. Hari Pariwisata Sedunia berharap memberikan kontribusinya kepada
“International Year for Biological Diversity” 2010 yang dicanangkan Sidang Umum PBB.
Pencanangan ini lahir dari keprihatinan mendalam atas implikasi sosial, ekonomi, lingkungan
dan kultural dari hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk dampak negatif atas
pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), dan menekankan perlunya mengambil
tindakan konkret untuk membalikkannya”.(1)

Keanekaragaman hayati mengacu kepada kekayaan besar makhluk yang hidup di bumi, dan
juga keseimbangan delikat interdependensi dan interaksi yang ada di antara mereka dan
lingkungan fisik yang menjadi rumah dan persyaratan mereka. Keanekaragaman hayati
diterjemahkan kedalam pelbagai ekosistem, yang contoh-contohnya dapat ditemukan di
hutanhutan, dataran rendah berair, savana, rimba, padang gurun, terumbu karang, gunung,
laut dan zona kutub.

Ada tiga bahaya berat dan mengancam yang harus diatasi: perubahan iklim, desertifikasi dan
hilangnya keanekaragaman hayati. Hal yang ter-akhir ini pada tahun-tahun akhir ini
meningkat secara tak terkirakan. Studi baru menyatakan bahwa pada tataran dunia 22 %
binatang menyusui, 31% amfibi, 13,6 % kehidupan burung dan 27% terumbu karang
terancam atau dalam bahaya kepunahan. Ada banyak bidang kegiatan manusia yang
berkontribusi besar bagi perubahan ini, dan satu daripadanya pastilah pariwisata, yang
termasuk kegiatan yang mengalami pertumbuhan besar dan cepat. Dalam hal ini kita dapat
melihat statistik yang diberikan World Tourism Organization. Pada tahun 1995 ada 534 juta
perjalanan wisata internasional dan pada tahun 2000 ada 682 juta. Menurut laporan organisasi
“Tourism 2020 Vision” diperkirakan akan ada 1.006 milyar untuk tahun 2010 dan mencapai
1.561 milyar pada tahun 2020, pada tingkat pertumbuhan ra-ta-rata 4,1% per tahun.(3) Pada
statistik pariwisata internasional ini dapat ditambahkan angka pariwisata internal yang lebih
248

penting. Segala hal ini menunjukkan pertumbuhan kuat dalam sektor ekonomi, yang
mengakibatkan beberapa dampak besar pada pemeliharaan dan penggunaan lestari
keanekaragaman hayati, dan bahaya susulan dari perubahannya menjadi dampak lingkungan
yang serius –terutama berkaitan dengan konsumsi berlebihan sumber daya yang terbatas
(seperti air minum dan lahan) dan sejumlah besar pencemaran dan residu, yang melebihi
jumlah yang bisa ditanggung oleh suatu daerah tertentu. Situasi ini diperburuk dengan fakta
bahwa permintaan wisatawan lebih pada destinasi alam, yang tertarik pada keindahannya,
dan membawa dampak besar pada penduduk yang dikunjungi, pada ekonomi mereka, pada
warisan budaya mereka dan pada lingkungan mereka. Hal ini terutama dapat menjadi unsur
yang merugikan atau, sebaliknya, menjadi sumbangan berarti untuk pemeliharaan warisan.
Maka, pariwisata merupakan paradoks. Di satu pihak ia muncul dan tumbuh berkat daya tarik
situs alam atau budaya, di lain pihak pariwisata itu bisa merugikan, bahkan merusak. Maka,
tempat pariwisata yang rusak bisa berakhir dengan penolakan karena kehilangan daya
tariknya. Karena semua hal itu, harus dikatakan bahwa pariwisata tak dapat membebaskan
diri dari tanggung jawab membela keanekaragaman hayati. Sebaliknya, pariwisata harus
mengambil peran aktif. Perkembangan ekonomi harus disertai pinsip kelestarian dan respek
bagi keragaman hayati... Sebagaimana yang ditunjukkan Paus Benediktus XVI dalam
ensikliknya Caritas in Veritate: “dalam alam, umat beriman mengakui hasil mengagumkan
dari karya penciptaan Allah, yang dapat kita gunakan secara bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita yang legitim, materi atau yang lainnya, seraya
menghormati keseimbangan intrinsik ciptaan,”(8) dan yang penggunaanya menunjukkan
pada kita “tanggung jawab kepada kaum miskin, kepada generasi mendatang dan kepada
umat manusia seluruhnya.”(9). Oleh karena itu, pariwisata harus menaruh respek terhadap
lingkungan, untuk mencari keselarasan sempurna dengan ciptaan, dan dengan demikian
menjamin kelestarian sumber daya yang diperlukannya dan tidak menyebabkan perubahan
ekologis yang tak terpulihkan.………

1 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolution A/RES/61/203 yang diambil oleh Sidang Umum,


20 Desember 2006.
3 Bdk. http://www.unwto.org/facts/eng/vision.htm
8 Paus Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate, n.48, loc. cit., p. 684.
9 Ibid.

92. 29-08-2010 BENEDIKTUS, SESUDAH ANGELUS


249

Benedetto XVI , Dopo Angelus

Pada 1 September mendatang di Italia dirayakan ‘la Giornata per la salvaguardia del creato’
(“Hari Pemeliharaan Ciptaan”) yang dianjurkan Konferensi Para Uskup Italia. Hari ini telah
menjadi tradisi yang juga bermakna dari sudut ekumenis. Pada tahun ini kita diingatkan
bahwa perdamaian tak mungkin ada tanpa respek terhadap lingkungan. Kita berkewajiban
mewariskan kepada generasi baru bumi dalam keadaan sedemikian rupa, sehingga mereka
dapat mendiaminya sesuai dengan martabat manusia dan terus memeliharanya. Semoga
Tuhan menyertai kita dalam tugas ini.

93. 16-09-2010 PERNYATAAN TAKHTA SUCI PADA SESSI XV BIASA DEWAN


HAM TENTANG AKSES KEPADA, DAN PASOKAN, AIR MINUM AMAN DAN
PELAYANAN SANITASI

Statement by the Holy See at the 15th Ordinary Session of the Human Rights Council on
acces to, and delivery of, safe drinking water and sanitation services

...Tetapi dewasa ini tak mungkin berbicara tentang ”kebaikan bersama”, atau respek terhadap
HAM tanpa memperhitungkan hak atas hidup da-lam lingkungan yang sehat. Air adalah aset
sosial, ekonomis dan lingkungan yang manajemennya harus berdasarkan tanggung jawab
sosial, mentalitas perilaku ekologis dan solidaritas dalam negara-negara dan secara global.
Martabat dan kesejahteraan pribadi manusia haruslah merupakan titik temu semua tema yang
menyangkut pengembangan, lingkungan hidup, dan air. Oleh karena itu, akses kepada air
harus tersedia bagi semua orang masa kini dan mendatang karena tanpa itu orang tak bisa
menjadi pelaku perkembangan mereka sendiri...

94. 30-09-2010 BENEDIKTUS XVI ADHORTASI APOSTOLIK VERBUM DOMINI


108
Benedictus XVI, Adh. Apost. Verbum Domini 108

Pewartaan Sabda Allah dan perlindungan ciptaan

108. Keterlibatan dalam dunia, sebagaimana yang diminta Sabda ilahi, mendesak kita untuk
memandang dengan mata baru seluruh kosmos yang diciptakan Allah dan sudah mengandung
jejak Sabda, yang menyebabkan segala terjadi (bdk. Yoh. 1:2). Karena sebagai orang beriman
dan pewarta Injil kita juga mengemban tanggung jawab atas ciptaan. Karena wahyu juga
250

memaklumkan kepada kita rencana Allah untuk kosmos, kita juga diajak mengecam sikap
salah, bila manusia tak mengakuinya sebagai pantulan Pencipta, melainkan memandangnya
hanya sebagai bahan mentah yang dapat dimanipulasi sesukanya. Bila demikian manusia
kekurangan kerendahan hati yang hakiki yang memungkinkannya mengakui ciptaan sebagai
anugerah Allah yang harus diterima dan dipakai menurut rencana-Nya. Kesombongan
manusia yang hidup sedemikian rupa “seolah-olah tiada Allah”, sebaliknya mengakibatkan
eksploitasi dan perusakan alam karena ia tak melihat karya sabda penciptaan di dalamnya.
Dalam kerangka teologis ini saya mau mengangkat pernyataan para Bapa Sinode, yang
mengingatkan kita bahwa “penerimaan sabda Allah yang disaksikan dalam Kitab Suci dan
tradisi hidup Gereja menimbulkan cara baru dalam memandang sesuatu dan memajukan
ekologi sejati, yang akarnya terdalam terletak dalam ketaatan iman… (dan juga)
mengembangkan kepekaan teologis baru terhadap kebaikan segala hal yang diciptakan dalam
Kristus” (352). Manusia harus dididik lagi untuk mengagumi dan mengakui keindahan sejati
yang tampak dalam ciptaan. (353). ……………………
[352] Propositio 54.
[353] Bdk. Benediktus XVI, Seruan Apostolik Pasca Sinodal Sacramentum Caritatis (22
Februari 2007), 92: AAS 99 (2007), 176-177.

95. 15-10-2010 PESAN PAUS BENEDIKTUS XVI KEPADA BP. JACQUES DIOUF,
DIRJEN FAO PADA KESEMPATAN HARI PANGAN SEDUNIA 2010

Message of Benedict XVI to Mr.Jacques Diouf, Director General of FAO on the occasion of
World Food Day 2010.

Untuk menegakkan tingkat ketahanan pangan dalam waktu singkat, harus diusahakan
pembiayaan yang memungkinkan pertanian mengaktifkan kembali proses produksi,
kendatipun memburuknya kondisi iklim dan lingkungan. Harus dikatakan bahwa kondisi ini
mempunyai dampak negatif atas penduduk pedesaan, yang mempunyai sistem penanaman
dan pola kerja, terutama di daerah yang sudah tertimpa kekurangan pangan...

96. 18-11-2011 AMANAT PAUS BENEDIKTUS XVI DI PARLEMEN JERMAN


Ansprache von Papst Benedikt im Berliner Reichstag

Pentingnya ekologi dewasa ini tak disangkal. Kita harus mendengarkan bahasa alam dan
menanggapinya. Saya ingin menggarisbawahi satu butir, yang menurut pendapat saya
diabaikan. Ada juga ekologi manusia. Juga manusia mempunyai kodrat, yang harus
251

dihormatinya dan tak dapat diperlakukan sesuka hatinya. Manusia bukan hanya kebebasan
bagi dirinya. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. Ia adalah roh dan kehendak, tetapi ia
juga kodrat, dan kehendaknya benar, bila ia memperhatikannya, mendengarkannya, dan
menerima dirinya seperti adanya, sebagai orang yang tidak membuat dirinya sendiri. Justru
dengan demikian dan hanya demikian kebebasan manusiawi sejati diwujudkan.

97. 18-11-2011 AMANAT PAUS BENEDIKTUS XVI KEPADA PARA MAHASISWA


PESERTA PERTEMUAN YANG DISELENGGARAKAN FONDASI “SORELLA
NATURA”

Discorso del Santo Padre Benedetto XVI agli Studenti partecipanti all’incontro promosso
dalla fondazione ‘Sorella Natura’

... Juga hari ini dipilih untuk memperingati pencanangan St. Fansiskus Assisi menjadi
Pelindung Ekologi oleh Pendahulu kami Yohanes Paulus II pada tahun 1979. Anda semua
tahu bahwa St. Fransiskus juga merupakan Pelindung Italia… Maka bila Pelindung Italia juga
Pelindung Ekologi, saya dapat mengerti bahwa kaum muda Italia mempunyai kepekaan
terhadap “saudari alam” dan secara konkret melibatkan diri untuk melindunginya.

Teman-teman yang terkasih, Gereja, dengan penghargaan terhadap riset dan penemuan ilmiah
penting, senantiasa mengingatkan Anda untuk menghormati jejak Pencipta dalam segala
ciptaan, sehingga identitas manusiawi sejati dan mendalam dapat dipahami dengan lebih
baik. Jika dihayati dengan baik, rasa hormat ini juga membantu kaum muda untuk
menemukan talenta dan bakat mereka dan kemudian akan selalu berusaha menghormati
lingkungan. Hari ini lebih daripada sebelumnya, semakin jelas bahwa hormat terhadap
lingkungan berarti mengakui nilai pribadi manusia dan kesuciannya pada setiap tahap
kehidupan dan setiap situasi. Hormat terhadap manusia dan alam adalah satu, tetapi keduanya
dapat tumbuh dan memiliki ukuran yang benar jika kita menghargai dalam manusia dan alam,
Pencipta dan ciptaan-Nya.

Anak-anakku yang terkasih, saya percaya bahwa kalian akan menemukan teman-teman,
“pemelihara hidup dan ciptaan” yang nyata. Sesungguhnya, masa depan yang baik untuk
umat manusia hanya tercipta bila semua orang dididik menuju gaya hidup yang lebih
bertanggung jawab terhadap ciptaan. Saya ingin menekankan pentingnya kata “diciptakan”
karena pohon kehidupan yang indah dan besar bukan akibat dari evolusi buta dan irasional,
252

melainkan merupakan perkembangan yang mencerminkan kehendak kreatif Pencipta dan


keindahan serta kebaikan-Nya.

98. 09-01-2012 BENEDIKTUS XVI KEPADA PARA ANGGO-TA KORPS


DIPLOMATIK YANG TERAKREDITASI PADA TAKHTA SUCI UNTUK
PERTUKARAN TRADI-SIONAL SELAMAT TAHUN BARU

Benedict XVI, To the Members if the Diplomatic Corps accredited to the Holy See for the
traditional exchange of New Year greetings

Akhirnya saya ingin menggarisbawahi bahwa pendidikan yang benar dapat mendukung
hormat terhadap ciptaan. Kita tak dapat melupakan bencana alam berat yang menghantam
pelbagai daerah Asia Tenggara pada tahun 2011, dan bencana ekologis seperti pembangkit
nuklir Fukushima di Jepang. Perlindungan lingkungan hidup, sinergi antara perjuangan
mengentaskan kemiskinan dan perjuangan melawan perubahan iklim merupakan bidang
penting bagi pengembangan manusia seutuhnya. Maka dari itu saya mengharapkan, bahwa
berdasarkan sidang XVII konferensi para pihak Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim yang
baru saja berakhir di Durban, komunitas internasional akan mempersiapkan Konferensi PBB
tentang Pengembangan Lestari (“Rio + 20”) sebagai suatu “keluarga bangsa-bangsa” yang
autentik, maka juga dengan citarasa mendalam akan solidaritas dan tanggung jawab atas
generasi dewasa ini dan masa depan.

99. 27-01-2012 AMANAT PAUS BENEDIKTUS XVI KEPADA PARA PESERTA


SIDANG PARIPURNA KONGREGASI AJARAN IMAN
Discorso dell Santo Padre Benedetto XVI al Partecipanti alla Plenaria della Congregazione
per la Dottrina della Fede
Tradisi ini membantu kita, memahami bahasa Pencipta dalam ciptaan-Nya. Bila kita
membela nilai-nilai mendasar dari tradisi besar Gereja, kita membela manusia, kita membela
ciptaan...

100. Maret 2012 DEWAN KEPAUSAN KEADILAN & PERDAMAIAN,


MEMBERIKAN PEMECAHAN EFEKTIF. AIR, UNSUR HAKIKI KEHIDUPAN
PC Justice and Peace, Instaurer des solutions efficace. l’Eau, un element essential pour la
vie.

I. Kontribusi Gereja katolik untuk debat internasional Pada kesempatan Forum Air Sedunia
tahun 2003, 2006, dan 2009, Takhta Suci telah mengadakan beberapa refleksi. Berdasarkan
253

kompetensinya – terutama dalam tata moral– ia menyoroti beberapa argumen mengenai air,
dengan menekankan lagi pentingnya memperbaiki perlindungan dan pemakaian air di
tingkat global.

1. Kyoto 2003 Bagi Takhta Suci Forum Kyoto merupakan peluang untuk menyusun
dokumen: Air, Unsur Hakiki untuk Hidup, yang menyoroti kenyataan bahwa air merupakan
faktor bersama dalam tiga pilar pengembangan lestari: ekonomi, sosial dan lingkungan...
Dokumen ini menegaskan 3 kebaikan air: barang sosial, berkaitan dengan kesehatan,
makanan sekaligus konflik; barang ekonomi, air penting untuk menghasilkan barang dan
energi, namun tak dapat dianggap sebagai barang komersial karena air adalah nilai hakiki
untuk hidup dan anugerah Allah. Harta lingkungan, dalam arti ia terkait dengan kelestarian
lingkungan dan bencana alam.

101. 19-11-2011 PAUS BENEDIKTUS XVI, ADHORTASI APOSTOLIK “AFRICAE


MUNUS” 80 Benedict XVI, Apost.Exhortation “Africae munus” 80

III. Visi Afrika tentang Hidup


B. Menghormati ciptaan dan ekosistem

80. Orang-orang bisnis, pemerintah, kelompok finansial melibatkan diri dalam program
penghisapan yang mencemari Lingkungan Hidup dan mengakibatkan desertifikasi tak
terperikan. Kerusakan besar dilakukan kepada alam dan hutan, flora dan fauna, pelbagai
spesies terancam punah. Segala hal itu mengancam seluruh ekosistem dan dengan demikian
juga kelangsungan hidup umat manusia (125). Saya menyerukan kepada Gereja di Afrika
untuk mendukung para pemimpin politik agar melindungi nilai-nilai yang begitu mendasar
seperti bumi dan air, bagi hidup manusia di masa kini dan masa depan (126) dan bagi
perdamaian bangsa-bangsa.
................
[125] Bdk. Propositio 22.
[126] Bdk. Propositio 30.

102. 05-06-2013 PAUS FRANSISKUS, AUDIENSI UMUM


Pope Francis, General Audience, Saint Peter's Square

Tetapi “menanam dan memelihara” mencakup tidak hanya hubungan antara kita dan
lingkungan, antara manusia dan ciptaan, itu juga meliputi relasi manusiawi. Paus telah
menyampaikan tentang ekologi human, yang terkait erat dengan ekologi lingkungan. Kita
254

sedang hidup di masa krisis: kita melihat ini dalam lingkungan, tetapi terutama kita
melihatnya pada umat manusia. Pribadi manusia sedang dalam bahaya: hal ini pasti, inilah
pentingnya ekologi manusia! Dan ini sungguh bahaya serius karena akar masalah tidaklah
dangkal, tetapi sungguh mendalam: ini bukan hanya masalah ekonomi, melainkan
menyangkut etika dan antropologi. Gereja telah menekankan hal ini berulang kali, dan
banyak yang mengatakan, ya, ini benar, ini benar..tetapi sistem terus berlangsung seperti
sebelumnya, karena itu dikuasai oleh dinamika ekonomi dan keuangan yang kurang etika.

Manusia tidak berkuasa, uanglah yang berkuasa, uang menguasai. Allah Bapa kita tidak
memberikan tugas memelihara bumi untuk uang, tetapi untuk kita, pria dan perempuan: kita
mengemban tugas ini! Namun sebaliknya, manusia dikorbankan demi berhala keuntungan
dan konsumsi: inilah “budaya sampah.” “Budaya sampah” ini cenderung menjadi mentalitas
umum yang menulari setiap orang. Hidup manusia, pribadi manusia tak lagi dipandang
sebagai nilai primer yang harus dihormati dan dilindungi, terutama mereka yang miskin atau
cacat, jika belum berguna –seperti bayi yang belum lahir –atau tak lagi dibutuhkan– seperti
orang tua. Budaya sampah ini telah membuat kita tidak peka untuk memboroskan dan
membuang sisa makanan, yang merupakan hal yang sangat buruk, terutama ketika di setiap
bagian dunia banyak orang dan keluarga menderita kelaparan dan gizi buruk...
Konsumerisme telah membuat kita terbiasa dengan sisa dan limbah makanan harian, yang
nilainya, jauh melebihi parameter ekonomis belaka, membuat kita tak mampu lagi
memberikan nilai yang adil. Namun kita harus ingat bahwa membuang makanan seperti
halnya mencuri dari meja orang miskin, orang yang kelaparan! Saya mendorong setiap orang
untuk merefleksikan masalah sisa dan sampah makanan untuk mengidentifikasi cara dan
pendekatan yang, dengan secara serius menangani isu ini, menjadi sarana solidaritas dan
berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Maka, saya mengimbau semua orang
berkomitmen serius untuk menghormati dan merawat ciptaan, untuk memperhatikan setiap
orang, untuk melawan budaya menyampah dan membuang-buang, serta memajukan budaya
solidaritas dan perjumpaan.

Terima kasih-------***ooo***------

Anda mungkin juga menyukai