Anda di halaman 1dari 222

BAB I

KOMPLEKSITAS MELAHIRKAN
TEOLOGI FUNDAMENTAL
(Pertemuan 1, 2, 3)
Pengantar Ilustratif
Diceritakan dalam Kitab Bilangan bahwa sebelum
meninggalkan padang gurun Yahweh meminta Musa untuk
melakukan pengukupan atas bangsa Israel. Setelah itu Musa
mengelompokkan mereka menurut suku lalu menuntun mereka
menuju Kanaan.
Ziarah yang harus dijalani oleh Israel sesungguhnya tak pernah
luput dari bahaya. Israel sering menentang Musa. Ketidakpuasan bani
Israel terhadap Musa makin berkembang seiring bertambahnya waktu
ziarah. Dosa dan tobat terjadi silih berganti berbarengan dengan
kemarahan dan pengampunan Yahweh. Kekurangan air di Meriba
melahirkan konflik besar yang menyebabkan Musa tak bisa masuk ke
tanah terjanji (Bil 20:12). Musa hanya merindukan dan menatap
Kanaan dari kejauhan. Kanaan adalah sebuah horison dan kerinduan
bagi Musa.
Cerita berlanjut dalam Ulangan. Sebelum masuk ke tanah
terjanji, Israel harus melakukan tiga hal yaitu: mengevaluasi periode
padang gurun dan beragam cobaan; merindukan tanah terjanji dan
memiliki kenangan akan masa silam.
Ini adalah sebuah ilustrasi dalam proses melahirkan teologi
fundamental. Kita sedang berusaha keluar dari padang gurun dan
melakukan ziarah menuju tanah terjanji. Namun tapak-tapak
perjalanan ini penuh dengan saat kritis dan kesulitan serta bahaya.
Kesulitan pertama usaha untuk melupakan periode padang gurun dan
berlari menuju tanah terjanji tapi tanpa suatu persiapan adequat.
2

1.1. Menerjang Problem Demi Memantapkan Identitas


Pengalaman awal yang harus dijalani oleh teologi fundamental
ialah “memurnikan” semua instrumen yang ia miliki (pengukupan).
Teologi fundamental sebagai sebuah disiplin dengan metode dan
tujuan khususnya harus berbesar hati menghadapi beragam kesulitan
dalam proses pembentukan identitasnya. Problematik ini
memungkinkan adanya proses pencarian jalan keluar. Bahaya dan
resiko itu patut dihadapi oleh Teologi Fundamental bila ia ingin
bertumbuh matang dan dewasa. Sejumlah “eksplorator” berjalan
hingga tiba pada tanah terjanji (temukan identitas Teologi
Fundamental). Mereka memperkenalkan Teologi Fundamental dan
misinya kepada umum.

1.1.1. Situasi Dan Sikap Apologetis


Uraian Teologi Fundamental akan bertolak dari konteks
berteologi pada saat itu yakni sikap apologetik. Konteks apologetik
(membela diri dan menyerang orang lain) ini menjadi alasan kuat bagi
para teolog untuk mencari sebuah model teologi yang bisa
menjelaskan secara baik revelasi dan iman kristiani. Jadi kontkes
langsung dari Teologi Fundamental adalah apologetika.
Teologi Fundamental membahas apa yang menjadi dasar (asas
atau prinsip) pengetahuan kita di bidang teologi, yakni wahyu dan
iman. Selain itu, teologi dasar bertugas juga untuk mempertanggung-
jawabkan iman terhadap akal-budi dan membelanya terhadap mereka
yang menolak atau menyangkalnya. Dilihat dari segi ini, maka
Teologi Dasar disebut juga APOLOGETIKA.
3

A. Masalah Nama
Pemikiran tentang Teologi Fundamental nampak amat ambigue
dengan berbagai makna konotasi dan denotasi. Apakah Teologi
Fundamental merupakan suatu bentuk apologi iman kristiani? Apakah
Teologi Fundamental merupakan sebuah filsafat agama atau sebuah
teologi filosofis yang independent dari iman dan teologi sistematik?
Apakah Teologi Fundamental sungguh merupakan suatu disiplin
teologis yang berbeda dari setiap sistem filsafat rational tentang
agama? Pertanyaan yang beraneka macam ini menunjukkan
perbedaan visi tentang Teologi Fundamental dan perbedaan ide ini
melahirkan keragaman nama yang dipakai untuk menyebut Teologi
Fundamental sebelum defenitif bernama Teologi Fundamental.
Nama-nama yang dikenakan kepada Teologi Fundamental itu
adalah apologetika, teologi fondasional, teologi fundamental formal,
basis pemikiran tentang iman, pengantar sebelum memasuki dogma,
teologi yang berciri filosofis dan filsafat yang berciri teologis.
Beragam nama ini menunjukkan usaha serius untuk mengenal
dan mengetahui isi Teologi Fundamental serta mendefenisikan
Teologi Fundamental.
Teologi Fundamental merupakan usaha keras Gereja Katolik
Roma dalam rangka menjelaskan dan menjadikan credible iman
kristiani (abad XIX). Pergeseran dari apologi kepada Teologi
Fundamental menunjukkan adanya suatu tendensi menuju pluralitas
dan diversitas teologi. Namun pendapat ini sebenarnya masih
diragukan kebenarannya karena Teologi Fundamental sebenarnya
sudah muncul sejak abad XVII/ XVIII. Usaha gigih bagi lahirnya
struktur dan perkembangan Teologi Fundamental datang bukan dari
Gereja Katolik Roma tetapi dari para penulis Protestan. Pergeseran
dari teologi apologetik ke Teologi Fundamental nampaknya tidak
4

menghantar kepada pengembangan teologi tetapi lebih merupakan


suatu usaha untuk meredusir seluruh teologi kepada suatu fondasi
archimedian/matematis.

B. Asosiasia nama dan problematikanya


Pada pemunculan pertamanya, Teologi Fundamental sebagai
suatu disiplin teologis diasosiasikan dengan Teologi Posetif. Karena
asosiasi nama itu maka langkah pertama dan tahap persiapan bagi
perkembangan Teologi Fundamental ialah Teologi Fundamental perlu
dilihat dalam relasinya dengan Teologi Positif.
= Kata positif
Usaha untuk mengasosiasikan teologi fundamental dengan
teologi positif nampaknya implausible karena ada perbedaan
mendasar antara Teologi Fundamental dan Teologi Posetif.1 Lebih
dari itu, konsep tentang Teologi Posetif itu nampaknya sangat
ambigue. Dalam diskursus harian term positif dilihat sebagai antonim
dari kata negatif. Secara etimologis, term positif berasal dari past
participle positivus yang menunjuk kepada apa yang sudah diletakkan
atau apa yang sudah diposisikan.2
=Ambiguitas istilah teologi positif
Makna historis dari term teologi positif begitu ambigue di abad
XVII di saat teologi positif masuk dalam kancah diskusi teologis.
Saat itu ada begitu banyak tafsiran terhadap Teologi Positif antara
lain Teologi Posetif itu bisa saja berarti: eksegesis, teologi
kontroversial khususnya antara Katolik dan Protestan; Teologi Posetif
bisa jua menunjuk kepada perkembangan menjanjikan dari teologi
yakni orientasi praktis pengetahuan menuju ke sebuah tujuan spesefik

1
T. TSHIBANGU, Théologie positive et théologie spéculative, Louvain 1965, 140-301.
2
C. T. ONIONS (ed), Oxford Dictionary of English Etymology, New York 1966, 699.
5

dan akhirnya Teologi Positif sebagai sebuah term kontrast kepada


Teologi Skolastik.
Teologi Positif yang dikembangkan pada abad XVII dan XVIII
berbeda dari konsep Neo-Skolastik yang berkembang pada abad XIX.
Neo-Skolastik memahami Teologi Positif dan Teologi Skolastik
bukan sebagai orientasi-orientasi intelektual kontrast tetapi sebagai
dua cabang berbeda dari suatu pengetahuan teologis yang sama: an
sit (whether it is) and quid sit (what it is); Neo-Skolastisisme
mengerti Teologi Positif sebagai cabang dari teologi yang mana
menentukan data basis bagi teologi mengingat Teologi Spekulatif
adalah cabang teologi yang mencari untuk memahami data yang
sudah ada.
Teologi Positif dalam abad XVI mewakili suatu orientasi
intelektual yang mau kembali ke basis. Teologi Positif kembali
kepada akar-akar iman, kembali ke sumber-sumber iman dengan
maksud untuk mengenal akar dan sumber iman secara lebih baik.
Teologi Positif berpaling dari spekulasi atas kepercayaan dan
mengarahkan diri kepada akar-akar iman karena Teologi Positif
memandang dialektika Skolastisisme dan Aristotelianisme bukan
sebagai pemahaman yang lebih dalam tentang esensi iman tetapi
sebagai sistem tanpa sebuah dasar yang benar. Dalam usaha mencari
akar-akar dan sumber-sumber iman kristiani Teologi Positif tak
menyelidiki hanya data atau dasar-dasar, tetapi jua berusaha memiliki
pemahaman yang lebih mendalam tentang iman. Kontrast antara dua
orientasi intelektual yang berbeda di abad XVI menunjukkan adanya
proses pencarian makna terdalam dari Teologi Fundamental dalam
relasi dengan Teologi Positif.
=Relasi antara Teologi Positif dan Teologi Fundamental
6

Pada 1700 Piere Annat mempublikasikan Apparatus ad


positivam Theologiam methodicus di mana ia menghubungkan
Teologi Posetif dan Teologi Fundamental.
Annat menegaskan bahwa Teologi Posetif disebut oleh banyak
ahli sebagai “teologi fundamental”. Sejak studi tentang kebenaran-
kebenaran iman adalah tugas Teologi Posetif, maka itu adalah sebuah
Teologi Fundamental.3
P. Annat menggunakan metafor foundation untuk menjelaskan
tugas Teologi Fundamental. Seperti sebuah rumah tak bisa kukuh
berdiri tanpa dasar atau tembok penahan, demikian halnya Teologi
Skolastik tak dapat berdiri tanpa suatu Teologi Posetif atau Teologi
Fundamental. Jika Teologi Skolastik ingin jadi solid maka ia harus
mendasarkan dirinya pada Teologi Fundamental yang punya tugas
menyelidiki dasar dan sumber iman Kristiani. Sabda Allah adalah
dasar bagi terbentuknya sebuah teologi.
Konsep Annat tentang Teologi Positif sebagai Teologi
Fundamental dapat dipahami secara lebih baik bila konsepsinya itu
ditampilkan sebagai lawan terhadap dua model Teologi Posetif
klasik: De locis theologicis (Melchior Cano, 1563) dan
Theologicorum dogmatum (Denis Petau, 1644).
Monograf dari Melchior Cano terfokus pada sepuluh sumber
teologi positif4: tujuh sumber utama yakni: Kitab Suci, Tradisi
3
Judul lengkap: Apparatus ad positivam Theologiam methodicus, in quo jam reviso,
multumque ditato, clara, brevis et expedita delineatur idea positivae et scholasticae Theologiae.
Pikiran Pierre Annat secara detail bisa dilihat dalam M. HOFMANN, Theologie, Dogma und
Dogmenentwicklung im theoogischen Werk Denis Petaus, Bern 1976, 468-470.
4
https://www.dominicanajournal.org/wp-content/files/old-journal-archive/vol16/no2/
dominicanav16n2relationhistorytheologyaccordingm.pdf : The greatest work of Melchior Cano,
and that with which name is indelibly associated is the De Locis Theologicis libri duodecim,
which is truly one of the few really epoch-making books since it may be styled the first modern
piece of apologetical writing. In it he, the first so to do, systematises and lists the source (/oci)
whence is to be drawn the ammunition for the defence of the Faith. He lists ten such' general
sources and this enumeration has been followed by all succeeding Catholic theologians and
apologists. These /oci or sources are as follows, using the order of Cano : Sacred Scripture,
Tradition, the Catholic Church, General Councils, the Roman See, the Fathers and Doctors of the
Church, the Theologians and Canonists, Natural Reason, Philosophy and History. The first seven
7

sebagai elemen konstitutif bagi revelasi, Gereja Katolik, konsili-


konsili, kepausan, Bapa-Bapa Gereja, teologi-teologi skolastik
sebagai elemen interpretatif tentang agama; tiga sumber penting: akal
budi, filsafat dan sejarah manusia; tiga hal ini menghadirkan suatu
basis valid bagi argumen teologis tetapi tidak konstitutif.
Denis Petau mengembangkan konsepsinya tentang Teologi
Positif dalam relasinya dengan metafor tentang dasar dan image dari
sebuah bangunan. Ia menunjuk kepada the fundamental articles dan
the fundamental truths sebagai dasar bagi doktrin kristiani yang
mengkarakterkan kepercayaan-kepercayaan sentral iman kristiani.
Hanya bangunan yang tanpa fondasilah yang akan runtuh, demikian
halnya Gereja akan runtuh jika kebenaran-kebenaran fondational
ditolak atau mungkin sama sekali tak eksist di dalam Gereja atau bila
eksit tapi tidak dihargai. Doktrin-doktrin fundamental yang dimaksud
adalah: monarki, trinitas, inkarnasi, infallibilitas, posisi Gereja dalam
hal kuasa.
Struktur Apparatus-nya Annat lebih dekat dengan Cano
daripada Petau. Tulisannya dibagi ke dalam tujuh seksi. Sesudah
sebuah penjelasan tentang perbedaan-perbedaan antara Teologi
Skolastik dan Teologi Positif dan sebuah analisis tentang berbagai
kualifikasi dari afermasi teologis, Annat mendiskusikan Kitab Suci,
otoritasnya dan peranan interpretasi; tradisi suci, khususnya tradisi
apostolik dan Bapa-Bapa Gereja mulai dari Klemens dari Roma
sampai dengan T. Aquinas dan Bonaventura; konsili-konsili Gereja;
dan akhirnya heresi-heresi dalam Gereja, khususnya pada permulaan
Gereja. Seksi-seksi tentang Bapa-Bapa Gereja dan konsili-konsili itu
tiga kali lebih intensif daripada seksi-seksi yang lain. Setiap seksi
mendiskusikan tidak hanya isi tetapi jua soal metodologis dan historis
he classes as proper to Theology, the last three as not proper, that is to say that strictly speaking
they do not belong to Theology but may, from time time, be employed by the theologian.
8

khususnya yang berelasi dengan fundasi iman dan Sabda. Enam


sumber dari Annat berelasi dengan tujuh sumber utama dari Cano.
Sementara itu konsepsi Annat lebih dekat pada Petau dalam
hal pemakaian metafor. Dalam penggunaan metafor Annat lebih
dekat dengan Petau. Dalam kritikannya terhadap Cano Annat tidak
mencari fondasi dalam otoritas formal dari sumber-sumber individual
tetapi dalam revelasi Allah yang ditransmisikan melalui sumber-
sumber itu. Teologi posetifnya Annat sebagai Teologi Fundamental,
ada di persimpangan antara Cano dan Petau.
Biar berdiri di persimpangan antara Teologi Positif abad XVI
dan Teologi Fundamental abad XVIII-XIX, Annat adalah orang
pertama yang memakai term Teologi Fundamental. Ia menganggap
Teologi Fundamental sebagai Teologi Positif yang mencari fondasi
bagi kebenaran-kebenaran kristen mendasar di dalam sumber-sumber
iman Kristiani. Konsepsinya memang masih terlalu jauh dari konsepsi
tentang Teologi Fundamental sebagai sebuah demonstrasi historis dan
rational tentang kebenaran iman tetapi konsepsinya masih tetap
merupakan benih pertama dalam usaha membentuk Teologi
Fundamental.
Keistimewaan konsep Annat ialah: 1) Teologi Fundamental
lebih merupakan sebuah retrospektif daripada sebagai sebuah
prospektif. Teologi Fundamental sebagai Teologi Positif lebih
merupakan aktivitas arkeologikal daripada sebagai aktivitas
konstruktif. 2) Teologi Fundamental lebih merupakan kegiatan
teologis daripada sebagai suatu kegiatan filosofis. Ia mencari dasar-
dasar iman tanpa keterlepasan dari iman, ia melakukan investigasi
fondasi-fondasi historis yang berkaitan dengan revelasi Allah. 3)
Teologi Fundamental tidak didasarkan pada otoritas dari revelasi
sebagai titik singular bagi fondasi, tetapi pada sejumlah kepercayaan
9

dasar yang mengungkapkan iman Kristiani. Karakteristik-


karakteristik ini adalah retrsopektif daripada prospektif, teologis
daripada filosofis, doktrin-doktrin dasar bagi identitas daripada
sebuah elemen fondasional formal.

1.2. Pola pikir apologetik


Untuk bisa memahami dan mengevaluasi originalitas dari suatu
periode maka perlu sekali kita memperhatikan event-event partikular
yang pernah hidup pada masa itu dan peristiwa-peristiwa itu haruslah
direlasikan ke dalam suatu horison historis yang lebih luas dalamnya
bisa lahir diskontinuitas dan kontinuitas antara masa kini dan masa
lampau.
Teologi Fundamental yang kita kenal sekarang ini lahir dari
sebuah ketidakpuasan terhadap pola pikir dan tata cara kerja
apologetika klasik. Karya-karya apologetik dituntut untuk
membaharui diri dan mengubah arah. Perubahan itu sedemikian
radikal sehingga dipandang baik kalau karya-karya apologetik
berubah nama menjadi Teologi Fundamental. Dengan kata lain image
baru dari teologi apologetik adalah Teologi Fundamental. Perubahan
nama membawa konsekuensi bagi isi, metode dan identitas.

1.2.1. Apologetika - άπολογητιχή


=Bahasa Latin
*apologare = menolak dengan cara menghina
*apologeticus = yang membela atau yang melindungi
*apologia = pidato pembelaan
=Bahasa Iggris
*apologetic = feeling or showing regret because one has done
something wrong or caused difficulty for somebody
10

*apologist = a person who defends ideas or beliefs by logical


argument
*apology = an explanation or a defence of one’s beliefs or behavior
=Bahasa Yunani
*apolog = kata ini menunjuk kepada sebuah relasi fundamental
dengan pembicaraan (legō) dan dengan alasan mengapa kata itu
diungkapkan
*secara umumum apologia adalah pembicaraan yang punya intensi
untuk menjustifikasi atau membela tingkahlaku diri sendiri atau
tingkah laku orang lain
*apologia= pembelaan terhadap keyakinan filosofis atau religius yang
sedang dianut
*apologia = accusation or defense
Istilah Apologetika secara etimologi diperoleh dari kata Yunani
Kuno apologia. Kata apologetika diambil dari kata Yunani apologia
yang awalnya dipakai sebagai sebuah pidato pembelaan. Orang-orang
di kota Athena zaman dulu mengartikannya sebagai sebuah
pembelaan dalam konteks pengadilan yang lazim digunakan untuk
prosedur peradilan. Setelah didakwa, sang terdakwa diizinkan untuk
memberikan sanggahan terhadap tuduhan apapun yang diberikan
dengan sebuah pembelaan (apologia). Contoh klasik dari sebuah
apologia adalah pembelaan Sokrates terhadap tuduhan bahwa ia
mengajarkan tentang ilah-ilah asing, yang mana pembelaan tersebut
kemudian dikisahkan ulang oleh muridnya yang paling ternama,
Plato, lewat sebuah dialog yang disebut “The Apology.”
Di dalam sistem kata Yunani Kuno resmi terdapat dua kunci
istilah yang bersifat teknis.Istilah itu adalah penuntutan menghasilkan
kategoria (κατηγορία), dan tergugat membalas dengan sebuah
apologia. Membuat sebuah apologia berarti membuat sebuah khotbah
11

yang resmi atau memberi sebuah penjelasan untuk menjawab dan


membantah tuntutan, seperti dalam hal pertahan yang ditunjukkan
oleh Socrates.
Apologetika Kristen adalah sebuah istilah di dalam teologi
Kristen yang menghadirkan sebuah dasar rasional untuk iman
Kristen.Hal ini untuk menahan iman berlawanan dengan keberatan-
keberatan dan kesalahan penggambaran yang keliru. Selain itu, untuk
menjelaskan kesalahan di dalam agama-agama lain dan pendangan-
pandangan dunia. Apologetika Kekristenan mengambil banyak bentuk
di sepanjang abad. Waktunya dimulai dari masa Paulus dari
Tarsus, Yustinus Martir, dan Ireneus. Dasar Apologetika mereka
sebagai pertahanan kekristenan melalui bukti secara sejarah
dan arkeologi, teologi, dan argumen filosofis serta investigasi ilmiah.5
Apologetika artinya pembelaan atau pembuktian. Apologetika
adalah ilmu yang mengemukakan alasan-alasan atau motif-motif
tentang credibilitas dan credentitas dari revelasi ilahi yang
diwartakan oleh Kristus dan yang dilanjutkan oleh Gereja Katolik.
Tujuan apologetika adalah menuntun kepada kredibilitas dan
credentitas dari agama kristen. Kredibilitas adalah kapasitas dari
setiap kebenaran untuk dipercayai dan dibuktikan dengan tanda-
tanda. Putusan tentang credentitas menyatakan bahwa kebenaran ini
harus dipercayai dengan sebuah iman tulus karena kredibilitasnya
telah terbukti.
Apologetika itu sendiri tidak cukup untuk melahirkan iman
karena iman adalah rahmat Allah dan mengandaikan kehendak baik.
Karena itu alasan-alasan atau motif-motif credibilitas harus
dinyatakan kepada seseorang yang memung-kinkan orang tersebut
untuk beriman.
5
https://id.wikipedia.org/wiki/Apologetika#cite_note-Website-4
12

Kepastian yang dipersembahkan oleh apologetika adalah:


kepastian metafisik: kepastian yang didasarkan pada nesesitas
metafisik atau pada esensi benar dari barang-barang; kepastian fisik:
kepastian yang didasarkan pada nesesitas fisik dari hukum-hukum
alamiah; kepastian moral: kepastian yang didasarkan pada cara-cara
yang tidak berubah di mana manusia dibiasakan untuk bertindak.
Dalam doktrin Katolik argumen-argumen apologetika harus
menghasilkan tidak saja probabilitas tetapi true certitude. Persetujuan
iman seharusnya menjadi sesuatu jenis persetujuan yang terutama.
Karenanya kehendak tidak dapat me-merintah persetujuan tersebut
tanpa persetujuan riil ini yang ada di dalam perse-tujuan dengan
revelasi ilahi.6
Apologetika atau apologetics adalah pembelaan keyakinan
Kristiani mengenai Allah, Kristus, Gereja dan tujuan hidup umat
manusia. Pembelaan ini dapat ditunjukkan kepada pemeluk agama
lain, anggota komunitas Kristiani yang lain, warga komunitas sendiri
yang ragu-ragu atau kepada orang beriman biasa yang ingin mengerti
bahwa iman mereka dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, apologetika berkaitan dengan teologi
fundamental, yaitu mengenai dasar-dasar iman Kristiani. Teologi
Apologetika banyak dipakai oleh para Bapa Gereja (abad II – abad
VIII) untuk membela iman Kristiani terhadap serangan dari pihak
bidaah pada zaman itu.
Kata “apologia” sendiri muncul sebanyak 17 kali dalam bentuk
kata benda atau kerja dalam Perjanjin Baru. Kata ini dapat
diterjemahkan sebagai “pembelaan” atau “pembenaran” dalam setiap
kasusnya. Biasanya kata tersebut dapat diartikan sebagai sebuah
pidato yang disampaikan sebagai pembelaan diri seseorang (Luk.
6
AD. TANQUEREY, A Manual of Dogmatic Theology, Desclee Comp. NY 1959, 3-6.
13

12:11; 21:14; Kis. 22:1; 24:10; 25:8, 16; 26:2, 24; 1Kor. 9:3; 2Kor.
12:19). Pemahaman yang jelas akan apologetika sebagai sebuah
pembelaan rasional terhadap iman Kristen ada di Filipi 1:7, 16; dan
khususnya 1 Petrus 3:15, sekalipun tidak ada teori khusus mengenai
apologetika yang terperinci dalam Perjanjian Baru.
Sebuah apologi dapat disampaikan melalui sebuah dokumen
tertulis, pidato, bahkan film. Para apologis mengembangkan
pembelaan-pembelaan mereka akan iman Kristen terhadap isu-isu
yang berkaitan dengan sains, sejarah, filsafat, etika, agama, budaya,
atau teologi tertentu. Singkatnya, apologia mengandung makna:
1. PEMBUKTIAN (proof). Hal ini melibatkan penyusunan dari
argumen-argumen filosofis juga ilmiah serta bukti-bukti sejarah
yang mendukung iman Kristen. Tujuan utamanya adalah untuk
membangun sebuah argumen yang positif bagi Kekristenan sebagai
sebuah sistem kepercayaan yang dapat diterima. Secara filosofis,
hal ini berarti menarik implikasi-implikasi logis dari wawasan dunia
Kristen supaya orang lain dapat memahami secara jelas dan
membandingkannya dengan wawasan-wawasan dunia alternatif.
Namun, pertanyaan berkenaan dengan kriteria mana yang tepat
untuk membuktikan kebenaran iman Kristen masih menjadi
perdebatan antara para penganut sistem-sistem apologetika Kristen
yang berbeda-beda.
2. PEMBELAAN (defense). Fungsi kedua ini paling dekat
dengan Perjanjian Baru dan kekristenan mula-mula yang
memahami apologia sebagai pembelaan terhadap iman Kristen dari
berbagai serangan dan kritikan yang diluncurkan oleh sistem
kepercayaan yang berbeda lainnya. Hal ini melibatkan (a)
klarifikasi terhadap posisi Kristen yang seringkali disalahpahami
atau keliru disajikan; (b) menjawab pertanyaan atau kritikan dari
14

kaum non-Kristen dan secara umum (c) membereskan kesulitan-


kesulitan intelektual yang menghalangi orang-orang non-percaya
untuk dapat datang kepada Kristus.
3. PENYERANGAN (offense). Fungsi berikutnya adalah
berfokus untuk menyerang atau menjawab argumen-argumen dari
non-Kristen yang dipakai untuk membela kepercayaan mereka.
Tentu saja penyerangan ini tidak dapat berdiri sendiri, sebab dengan
membuktikan bahwa sebuah agama atau filsafat non-Kristen itu
keliru tidak berarti bahwa kekristenan itu benar. Namun demikian,
hal ini merupakan fungsi yang sangat esensial dalam apologetika.
4. PERSUASI (persuasion). Hal ini tidak dimaksud untuk sekadar
meyakinkan orang lain bahwa kekristenan itu benar, tetapi
mendorong mereka untuk untuk mengaplikasikan kebenaran
tersebut dalam hidup mereka. Hal ini berfokus untuk membawa
orang-orang non-Kristen sampai pada titik komitmen mereka.
Tujuan dari seorang apologis bukan hanya untuk memenangkan
sebuah argumen intelektual, tetapi untuk mendorong orang lain
untuk mempercayakan seluruh hidup dan masa depan mereka ke
dalam genggaman tangan dari Sang Anak Allah yang telah mati
bagi mereka.

1.2.2. Tulisan-tulisan apologetik


Salah satu teolog Protestan yang membela kristianisme sebagai
agama benar karena didasarkan pada revelasi adalah Phillip de
Plessis-Mornay. Dalam Traite de la vérité de la religion chrétienne
contre les athees, epicuriens, payens, juifs, mahometans et autres
infideles (Antwerp, 1581), ia berusaha membela revelasi kristen
dengan menggunakan argumen filosofis.7
7
Dans son De la vérité de la religion chrestienne (1581), qui connut de nombreuses traductions
et rééditions, Philippe Duplessis-Mornay défend le christianisme contre répicurisme et raverroïsme
15

Usaha ini diikuti oleh Pierre Charron, seorang teolog Katolik


yang dalam apologetiknya, Les Trois Vérités (1594), berusaha
mendemonstrasikan eksistensi Allah, kebenaran Kristen dan
kebenaran Gereja Katolik Roma.  Dalam Les Trois Vérités,  Charron
berusaha membutikan bahwa ada seorang Allah dan sebuah agama
benar dan agama benar itu adalah Kristen dan Gereja benara adalah
Gereja Katolik Roma.8 Argumentasinya ini sebenarnya merupakan
jawaban kepada tulisan dari Philip de Plessis-Mornay Le Traité de
l'Eglise. In the second edition (1595), there is an elaborate reply to
criticisms of the third Vérité by a Protestant writer. Les Trois
Vérités ran through several editions.
Publiskasi yang signifikan bagi bakal Teologi Fundamental
adalah De veritate religionis dari Hugo Grotius (1622), di mana ia
berusaha membedakan apologetika dari dogmatika dan memfokuskan
tugas apologetik pada pembelaan akan kebenaran agama kristen.
Dalam apologetikanya, Grotius menolak untuk mempresentasikan
demonstrasi-demonstrasi tentang kebenaran dari doktrin-doktrin
kristen individual dan ia lebih cendrung untuk mendemonstrasikan
bahwa Yesus Kristus adalah utusan dari Allah yang menentukan
kebenaran agama. Prosedur ini dikritik oleh para teolog sezamannya.
padouan. Son traité, sorte de discours de la méthode apologétique, se fonde sur les « notions communes
» (comme l'existence d'une divinité) pour démontrer rationnellement l'identité du Dieu de la raison et du
Dieu de la foi. Semblable démarche théologique, encore valable pour la génération de l'Edit, deviendra
obsolète pour celle de la Révocation.
8
Pierre Charron (1541-1603), fils d’un libraire parisien, fit la connaissance de
Montaigne ; il « vescut fort familierement avec Messire Michel de Montaigne, chevalier de
l’ordre du Roy. Le sieur de Montaigne l’aimoit d’une affection réciproque, et avant que mourir,
par son testament, il luy permit de porter après son decez les pleines armes de sa noble famille,
parce qu’il ne laissoit aucuns enfans masles ». Mais ce n’est pas encore l’influence de Montaigne
qui apparait dans le premier traité de Charron, Les Trois Vérités, qui fut publié à Bordeaux en
1593 sous le pseudonyme de « Benoist Vaillant, Advocat de la Sainte Foi ». C’est un livre
dogmatique qui réfute le Traité de l’Eglise  ou Traité de la véritable religion chrétienne du chef
huguenot Duplessis-Mornay : ces trois vérités sont un seul Dieu, une seule religion (la
chrétienne), une seule Eglise (la catholique). Cette œuvre théologique rigoureuse, rationnelle,
attira l’attention sur lui. L’évêque de Cahors, sans le connaître, autrement que par son livre,
nomma Charron son vicaire général et chanoine théologal de son église. « On ne lit plus guère
les œuvres proprement théologiques de Pierre Charron, et c’est grand dommage, car on éviterait
les erreurs d’interprétation qu’on fait habituellement à propos de sa ‘Sagesse’ ».
16

Dalam sebuah surat kepada saudaranya, Grotius menjawab kritikan


ini dengan argumen bahwa pembelaan terhadap ajaran-ajaran
individual tentang kristianitas bukanlah tugas utama para apologetik
melainkan para dogmatik. Para apologetik punya tugas untuk mende-
monstrasikan asal-usul ilahi kristianisme, melalui demonstrasi
tentang Yesus Kristus sebagai utusan ilahi. Jika kebenaran ini
didemonstrasikan, kemudian kebenaran dogma-dogma kristen
individual lahir dari demonstrasi itu.
Apa yang Grotius kerjakan dalam bentuk outline secara retoris
dikembangkan oleh Jaques Abbadie dalam Traité de la vérité de la
religion chrétienne (1684). Abbadie mengemukakan perlunya
demonstrasi kebenaran dan perlunya agama revelasi seperti
direvelasikan dalam kontrast dengan konsep deisme dari agama
natural. Buku Abbadie ini sangat berpengaruh di abad 18 melampaui
Pensées karya B. Paschal.
Beberapa waktu kemudian Uskup Katolik, Pierre Daniel Huet
menulis sebuah apologetika, Demonstratio evangelica, di mana ia
menggunakan term dan metafor fondasi tapi bukan Teologi
Fundamental. Ia menggarisbawahi perlunya sebuah pembuktian dan
sebuah demonstrasi yang pada saat yang sama, sebuah fondasi
(fundamentum) bagi semua teologi. Walau ia mencari sebuah fondasi
menentang rationalism, argumennya memakai banyak presuposisi
rationalistik abad XIX khususnya pandangan yang disajikan oleh
Descartes dalam Discourse on Method di mana geometri menjadi
paradigma bagi metode ilmiah. Huet mengembangkan sebuah metode
geometri tentang demonstrasi bagi teologi dgn menggunakan
berbagai defenisi dan aksioma. Aksioma mencari untuk membukti-
kan kebenaran iman kristiani. Dari sini lahirlah threefold
17

demonstration (demonstrasi religius, demonstrasi kristen dan


demonstrasi katolik).
Tahun 1713 Vitus Pichler dalam Theologia Polemica-nya
berbicara tentang Teologi Fundamental Kontroversial, khususnya
tentang “kontroversi-kontroversi general dan fundamental” yang
berbicara tentang eksistensi dari sebuah agama revelasi. Revelasi
dibahas sebelum diskusi tentang Kitab Suci dan Gereja sebagai
presuposisi bagi teologi kontroversial. Pichler masih tetap terkurung
dalam bingkai rationalisme ketika ia berargumentasi menentang
deisme dengan mengatakan bahwa prinsip-prinsip akal natural cukup
untuk mendemonstrasikan nesesitas revelasi dan unisitas kepercayaan
kristiani.
Dalam evolusi historis teologis ada tiga teolog besar yang
mempengaruhi perkembangan Teologi Fundamental yakni
Houtteville, Hook dan Gazzaniga.
Pertama: Abbé Hautteville. Dalam bukunya, La religion
chrétienne provée par les fait, ia menegaskan bahwa tugas dari
seorang apologet adalah membela dan mempertahankan kebenaran
dari serangan para lawan di sekitarnya. Seorang apologet mestinya
tahu pasti fakta-fakta mana yang sesuai dengan investigasi historis
dan mana yang merupakan suatu mukjizat sebagaimana digambarkan
oleh para saksi mata saat itu dalam Kitab Suci.
Kedua, Luke-Yoseph Hooke. Dalam religionis naturalis et
revelatae, ia berbicara tentang hal-hal ini: agama alami, agama
revelasi, Gereja Kristus dan prinsip-prinsip dasar iman Katolik. Hook
mengkombinasikan dua diskusi berbeda ke dalam suatu karya
apologetik yakni apologetik kontroversial dari abad 16 dengan
focusnya kebenaran Gereja Katolik dan pembelaan terhadap revelasi
supranatural/agama yang direvelasikan dari serangan deisme. Hook
18

berbicara tentang posibilitas, utilitas dan nesesitas revelasi. Menurut


Hook mukjizat-mukjizat dan ramalan-ramalan para nabi adalah
elemen-elemen khas dari revelasi ilahi. Kekhasan-kekhasan ini
sesungguhnya mendemonstrasikan kodrat ilahi dan asal-usul ilahi
agama Kristen dan mencapai puncaknya dalam Gereja Katolik.
Ketiga, Petrus Maria Gazzaniga. Ia berpendapat bahwa
pembelaaan terhadap agama terlampau bersifat filosofis dan
akibatnya ialah revelasi semakin ditinggalkan.9 Dalam bukunya
Praelectiones theologicae, ia berpendapat bahwa kritik terhadap
revelasi meruntuhkan agama itu sendiri. Menentang rationalisme dari
deisme, ia menegaskan bahwa revelasi ilahi adalah perlu bagi
pengetahuan tentang hukum alam karena situasi kedosaan dan
kelemahan manusiawi. Revelasi perlu demi pengenalan akan
kebenaran-kebenaran dari agama natural – sebuah posisi yang kontras
dengn Huet. Tambahan pula, Gazzaniga mengajukan bahwa sejak
agama berhubungan dengan misteri, agama tidak dapat
memproduksikan suatu evidensi baik langsung maupun tak langsung
seperti yang terjadi dalam ilmu geometri. Sebaliknya, evidensi satu-
satunya adalah tak langsung melalui ramalan-ramalan dan mukjizat-
mukjizat. Demonstrasi historis menjadi sebuah demonstrasi dari
otoritas evidensi tak langsung bagi kebenaran revelasi. Selanjutnya
demonstrasi historis bukanlah makna intrinsik dari kebangkitan Yesus
atau Gereja tapi otoritas ekstrinsik dan evidensi yang bisa
diprediksikan.10

1.2.3. Demonstratio Apologetis dan Kritikannya

9
K. FEIEREIS, Die Umprägung der natürlichen Theologie in Religionsphilosophie,
Leipzig 1965, 205-212.
10
P. EICHER, Offenbarung. Prinzip neuzeitlicher Theologie, Munich 1977, 98-150.
19

Dari introduksi general yang berkaitan dengan Teologi


Manualistik, terciptalah kondisi-kondisi bagi sebuah strukturisasi
berbeda dari Teologi Fundamental yang diorganisasikan secara lebih
spesifik menurut model apologetis.
1.2.3.1. Demonstratio
Apologetica, pada akhirnya adalah karakter predominan
periode ini yang diekspresikan dalam tiga (3) demostratio tetapi
dengan suatu pekuliaritas bahwa tiga pembuktian itu menjadi
‘manual’ dan menjadi metode yang sesungguhnya bersifat defensif.
1). Religion (both natural and revealed)-Demostratio religiosa:
memperkenalkan nilai objektif agama supaya setiap orang harus
percaya.11 Pencarian akan ekspresi-ekspresi universal yang ada dalam
diri setiap orang, analisis kritis terhadap tradisi-tradisi religius
berbeda dan refleksi atas kebenaran-kebenaran natural menjadikan
bagian ini sebagai dimensi istimewa untuk membawa setiap orang
tidak saja untuk masuk ke dalam kemungkinan percaya tetapi juga
secara prinsipil menghantar masuk pada keharusan menerima rivelasi
yang diungkapkan dalam ‘agama benar’ yang memanifestasikan
karakter-karakter supranatural dan yang bisa menjawab tuntutan-
tuntutan setiap manusia. Alamat khusus dari dimonstratio religiosa
adalah ateisme–demonstartio religiosa mau menunjukkan pada
ateisme ‘De vera religione.’
2). Christ, the Divine Ambassador or religion of Christ-
Demostratio christiana: memperkenalkan nilai keselamatan dari
kristianisme dan superioritas kristianisme atas agama-agama lain.
Pembicaraannya bersifat kristologis: De Cristo legato divino dan
bertendensi menunjukkan asal-usul ilahi kristianisme. Dua problem
lahir dari demostratio christiana: * Yesus telah menjelaskan bahwa Ia
11
Sejarah apologi umum dibahas oleh A. DULLES, A History of Apologetics, London
1971; G. RUGGIERI (ed.), Enciclopedia di teologia fondamentale, I, Genova 1987, 3-400.
20

sendiri adalah utusan Allah dan * penjelasannya ini dikonfermasika


oleh tanda-tanda heran yang menjamin orang yang percaya untuk
sampai pada suatu “putusan terhadap kredibilitas.”
Diskusi ini dikembangkan melalui analisis tentang “titel-titel
kristologis” seperti Mesias, Putera Manusia dan Putera Allah. Gelar-
gelar ini menghantar pada pikiran bahwa Yesus memiliki kesadaran
dan mengenal dirinya sendiri sebagai tujuan dan kepenuhan defenitif
dari penantian. Konfirmasi terhadap pandangan ini adalah analisa
tanda-tanda zaman khususnya mujizat-mukjizat dan ramalan-ramalan
dan kebangkitan. Demonstratio christiana dialamatkan kpd agama-
agama non kristen dan mau mempengaruhi mereka untuk memilih
kristianisme sebagai yang benar dan superior.
3). The Church of Christ. The Catholic Church has been
instituted by Christ- Demostratio catholica: ditujukan kepada yang
non katolik untuk menunjukkan tidak hanya Gereja yang satu
dikehendaki oleh Kristus yakni Gereja katolik tapi juga untuk
memperoleh keselamatan adalah perlu masuk ke dalam Gereja
Katolik. Demonstratio catholica bicara tentang De vera ecclesia
berhadapan dengan gereja-gereja kristen lainnya.
Forma tradisional ketiga ini diperluas lagi dengan: 1). Via
historica, yang secara esensial diredusir kepada suatu via primatus,
yang mencoba untuk menunjukkan dengan analisis teks-teks klasik,
kontinuitas yang tak akan berakhir antara Gereja Kristus dengan
Gereja Katolik Roma. 2). Via notarum: bicara tentang empat sifat
luhur Gereja Kristus: satu, kudus, katolik dan apostolik. 3). Via
empirica: menjelaskan Gereja dalam dirinya merupakan keajaiban
ilahi yang hidup sepanjang abad sambil menantikan kepenuhan
ilahinya.12
12
S. PIÈ-NINOT, Tratado de teologia fundamental, Salamanca 1989, 312-317; 340-349.
21

Tiga demonstrasi ini membentuk struktur dan isi dari


apologetica. Metode istimewa yang dipakai adalah ‘apologetik’ – siap
menentang setiap posisi yang tak sesuai dengan yang telah dikatakan;
- membela akuisisi yang telah ditetapkan oleh teologi magisterium.
Secara esensial, teologi manualistik telah menyatu padu dengan
metode deduktif. Bahasa yang dipakai bersifat membuktikan.
Dengan ensiklik Aeterni Patris, Paus ingin memberikan suatu
equilibrio pada relasi akal dan iman. Dari sudut pandang teologis
Paus memberikan suatu ruang terbuka bagi pemahaman benar tentang
teologi. Menempatkan filsafat sbg pendahuluan yang harus ada bagi
sebuah teologi punya makna menghubungkan teologi kepada suatu
filsafat tertentu; di sini seakan-akan kita berbicara tentang philosphia
perennis walaupun ia adalah suatu elemen eksternal bagi teologi.
Iman dan akal agaknya tak pernah saling bertemu walaupun
mereka hidup di bawah satu atap. Akal berasal dari dan tiba pada
kebenaran “natural” tetapi hanya iman saja membuka jalan kepada
kebenaran-kebenaran supranatural. Otoritas, dalam setiap kasus,
berada selalu di atas akal dan ratio tak boleh berbuat lain selain
menegaskan apa yang sudah dikatakan oleh iman dengan menyangkal
untuk menjadi “akal”. Dengan argumentasi ini, nampak jelas bahwa
iman itu dikonotasikan selalu oleh suatu forma otoritatif, sedangkan
akal dikonotasikan oleh suatu voluntas untuk emansipasi. Pada
akhirnya, kita berha-dapan dengan penggunaan instrumental filosofis
dan sebuah defenisi reduktif dari teologi.
Kesimpulan yang bisa kita tarik ialah telah terjadi suatu
perbedaan besar antara masyarakat dan teologi. Sebuah teologi yang
menutup diri di balik tembok akan merasa aman namun yang jelas ia
tidak tampak bagi mata dunia dan tidak akan menggarami dunia
sedikitpun juga.
22

1.2.3.2. Kritik atas demostratio


Apa yang dikenal sebagai apologetika tradisional atau klasik
dengan tiga model pembuktian yakni demostratio religiosa,
demostratio christiana et demostratio catholica bukan merupakan
hasil dari refleksi kritis atas obyeknya, tujuannya, dan metodenya
tetapi semua itu muncul dari nesesitas historis yakni usaha melawan
protestantisme di abad XVI, ateisme praktis dan libertinisme abad
XVII, dan deisme dan ensiklopedisme di abad XVIII. Berhadapan
dengan kaum ateis dan libertinis kaum apologetik menampilkan
sebuah teodicia ketat dan menunjukkan betapa pentingnya beragama.
Berhadapan dengan Deisme (agama natural) yang menolak revelasi
historis, para apologetik menegaskan agama Kristen adalah agama
benar karena Yesus Kristus berbicara dalam nama Allah. Berhadapan
Protestantisme, para apologetik mengatakan bahwa di antara beragam
pengakuan iman kristiani, Gereja Katolik adalah satu-satunya Gereja
yang benar. Dalam hal iman, Protestantisme menekankan elemen-
elemen subyektif, khususnya karya Roh yang menyebabkan kita
bersandar pada Sabda Allah dan memberikan kita kepastian tentang
asal-usul sabda itu. Para apologetik Katolik, sebaliknya menekankan
kriteria obyektif. Kriteria-kriteria obyektif itu terutama yang berkaitan
dengan mukjizat-mukjizat dan ramalan-ramalan.13
Dari sudut pandang yang lebih langsung berkaitan dengan
Teologi Fundamental, patut dicatat bahwa studi tentang demostratio
telah menyadarkan kita bahwa apologetika mengerahkan seluruh
kekuatan demonstratifnya untuk membuat jelas tanda-tanda revelasi
tapi ini semua hanya merupakan argumentasi eksternal dalam usaha
memahami fakta dari revelasi. Revelasi dipahami sebagai suatu
13
R. LATOURELLE, “Aplogétique et fondamentale” dalam Salesianum 27 (1965), 256;
H. BOUILLARD, “La tâche actuelle de la théologie fondamentale” dalam Le Point théologique 2
(1972), 11-14; ID, “De l’apologétique à la théologie fondamentale” dalam Les Quatre Fleuves 1:
Dieu connu en Jésus-Christ, Paris 1974, 57-70
23

doktrin supranatural yang melampaui setiap usaha manusia dan hanya


bisa dikenal melalu jalan revelasi. Tiga demonstratio ini menuai
beberapa reaksi14:
1). Logika kaku, metode anakronistis. Tendensi apologetika
klasik ialah memanifestasikan kredibilitas revelasi. Niat apologetika
klasik itu baik namun niat baik untuk memanifestasikan kredibilitas
revelasi itu belum didukung oleh studi kritis. Adalah penting
menegaskan bahwa revelasi yang dipersoalkan di sini bukan revelasi
bertipe filosofis, di mana bisa diprediksikan lebih dahulu skemanya
dan polanya melainkan sebuah realitas yang secara absolut spesifik
yang datang kepada kita melalui jalan-jalan historis dan inkarnasi.
Hanya revelasi itu sendiri yang dapat mengatakan kepada kita apa itu
revelasi. Karena itu, membangun sebuah apologetika di atas sebuah
defenisi nominal yang kaku dan sempit adalah sebuah pencarian yang
beresiko yakni mengabaikan hakekat orizinal dari sebuah problem.
Yang harus diperhatikan serius ialah: setelah berbicara tentang
‘revelasi pada umumnya’ dan “tanda-tanda pada umumnya’, perlu
dipelajari secara kritis revelasi dalam diri Yesus Kristus dan tanda-
tanda efektif revelasi tersebut. Hanya ada satu revelasi sebagaimana
hanya ada satu epifani sempurna Allah yang kita pelajari dan imani
yakni Yesus Kristus. Kebutuhan mendesak seharusnya adalah
memperhatikan secara saksama revelasi Allah dalam diri Yesus
Kristus dan mempelajari semua kekayaan dan dimensi-dimensinya.
Revelasi ini adalah data fundamental dan berbasiskan data
fundamental ini orang Kristen berefleksi kritis untuk menemukan
konsistensi historis dan makna dari revelasi itu.
Apologetika mau menampilkan sebuah demonstrasi logis
ilmiah namun referensi ilmiahnya sangat minim jika bukan kosong.
14
R. LATOURELLE – R. FISICHELLA (eds), Dictionary of Fundamental Theology,
Crossroad Publ. Company, New York 1994, 324-326.
24

Demonstrasi apologetik itu berkarakter logis ‘kaku’ dan karenanya


betapa sulit hal-hal itu dikomunikasikan apalagi metodologi dari
demonstrasi-demonstrasi itu anakronistik atau tak dikenal.
2). Mengabaikan makna. Di atas problem makna ini
terartikulasi kritikan kedua yang diarahkan kepada apologetika klasik.
Berbekalkan argumentasi-argumentasi eksternal, apologetika klsik
menegaskan bahwa Yesus itu utusan Allah dan Yesus telah
mendirikan sebuah Gereja, dan kita menerima dari Gereja ini apa saja
saja yang patut dipercaya. Apologgetika klasik gagal untuk melihat
bahwa warta kristiani secara suprem adalah intelligible dan bahwa
kepenuhan maknanya sudah menjadi sebuah alasan bagi kredibilitas.
Revelasi itu believable bukan saja karena adanya tanda-tanda eksternl
tetapi juga karena revelasi itu menyatakan “siapa manusia itu” kepada
diri mereka sendiri; itulah kunci untuk memahami misteri dari pribadi
manusia itu. Karena itu impossible mengisolasikan fakta historis dan
makna revelasi.
3). Ketidakseimbangan dalam menggambarkan pribadi
Yesus. Banyak praktisi dari apologetik tradisional hanya berurusan
dengan kemesiasan Yesus. Mereka berpikir itu sudah cukup untuk
menunjukkan bahwa Yesus telah memperkenalkan diri sebagai utusan
ilahi yang berbicara dalam nama Allah sedang kesaksian-kesaksian
lain tentang Yesus yang berkaitan dengan pribadi-Nya itu termasuk
dalam urusan dogmatik. Posisi seperti ini tak pantas untuk diterima.
Alasannya: pertama, ide seperti itu mengharuskan adanya reduksi
kontinual dan tidak adil dalam gambaran tentang Yesus sebagaimana
Ia diperkenalkan dan diakui di dalam Injil yakni sebagai Kristus,
Putera Manusia dan Putra Allah; kedua, kesaksian seperti itu
memaksa seorang pewarta untuk meletakkan selanjutnya tuntutan-
tuntutan radikal berkaitan dengan penghakiman terakhir terhadap
25

umat manusia; ketiga, ide seperti itu membuat tidak intelligible sama
sekali mukjizat kebangkitan ke dalam kemuliaan. Dikotomi antara
utusan ilahi dan Putera Bapa adalah artifisial; itu bertentangan dengan
kesaksian Yesus tentang Dirinya sendiri dan kerigma yang berkaitan
dengan diriNya.
4). Mengabaikan kondisi-kondisi manusia. Apologetik
tradisional kurang memperhatikan kondisi-kondisi yang mungkin
bagi penerimaan revelasi dan tanda-tanda oleh manusia. Karena
tuntutan obyektivitas ilmiah para apologetik mengabaikan aspek
kredibilitas. Jika obyek apologetika bukan sebuah kredibilitas abstrak
tapi kredibilitas humana dari revelasi maka apologetika tidak bisa
membatasi diri untuk mempelajari hanya in-se dari revelasi dan
tanda-tanda dari revelasi tersebut tapi “apologetika harus
menyibukkan diri dengan perhatian yang sama dalam mempelajari
kondisi-kondisi yang menentukan penerimaan yang efektif ex parte
15
subjecti.” Dkl, ada sebuah studi obyektif tentang subyektivitas
orang beriman. Jika apologetika mengabaikan subyek, “tidak lama
lagi ia terjerumus ke dalam sebuah ekstrinsecisme paling kaku.” Di
pihak lain jika apologetika meremehkan facta divina dan ‘ingin
menutup diri dalam subyek” maka masalah itu tidak bisa diselesaikan
dalam sebuah bahasa tanpa konsistensi.16 Apologetika subyektif dan
obyektif adalah dua apsek dari satu apologetik unik dan integral.
“Keputusan tentang kredibilitas’, yang didasarkan di atas
tanda-tanda, menghilangkan komponen internal dan sumber pokok
revelasi yakni Yesus Kristus. Yesus Kristus pantas untuk
direfleksikan. Apologetika itu berbicara tentang Yesus Kristus tetapi
sebenarnya apologetika itu jauh dari Yesus Kristus. Sebenarnya yang
15
N. DUNAS, “Les problèmes et le statut de l’apologétique” dalam Revue des sciences
philosophique et théologiques 43 (1959), 658.
16
A. DE BOVIS, Recherches de science religieuse dalam Bulletin d’apologétique 43
(1955), 624.
26

harus ditegaskan adalah singolaritas dan unitas Yesus Kristus dalam


refleksi namun ternyata superioritas dan eksepsionalitas Yesus lebih
dijun-jung tinggi oleh apoloegtika. Image Yesus seperti yang
diciptakan oleh para apologet ternyata jauh dari gambaran Injil
tentang Yesus Kristus. Para apologet memakai Kitab Suci dalam
diskusi tetapi Kitab Suci dikutip hanya untuk membe-narkan diri dan
ide pribadi bukan dijadikan sebagi dasar berpikir.
5). Tertutup dalamnya diri sendiri. Sampai dengan abad XX
apologetika tidak henti-hentinya menyerang para musuhnya seperti
kaum Protestan, kaum deistik dan para razionalistik. Apologetika
klasik tertutup dalam dirinya sendiri. Sikap-sikap ini tidak bisa
dipertahankan lagi di era ekumenis kini. Di era ekumenis ini patut
diciptakan kondisi-kondisi yang kondusif untuk saling mendekati satu
sama lain. Daripada merumuskan diri dalam term-term oposisi, lebih
baik apologetika merumuskan diri dalam term-term posisi dan
proposisi. Dari sikap bela diri secara kaku apolo-logetika bergerak
menuju kepada eksposisi yang kritis. Permusuhan dewasa ini
sebenarnya lebih banyak ditemukan di dalam hati kaum beriman
ketimbang di dalam hati orang-orang yang tidak beriman.

1.2.4. Konsensus
Semua problem di atas sebenarnya lebih merupakan sebuah
otokritik yang disampaikan oleh mereka yang memiliki tugas untuk
mengajarkan apologetika. Di antara para pengajar terdapat
kesepakatan pada level negatif dan posetif17 terhadap beberapa point
berbeda yakni:
1.2.4.1. Kesepakatan pada level negatif:

17
R. LATOURELLE, Apologétique et fondamentale, dalam Salesianum 27 (1965), 257-
261.
27

a. apologetika bukan sebuah seni, bukan pula sebuah pastoral


demi pertobatan melainkan apologetika adalah sebuah ilmu yang
memiliki obyek, finalitas dan metodenya tersendiri;
b. apologetika bukan sebuah sistem pembelaan terhadap para
lawan;
c. apologetika bukan pula sebuah pembicaraan filosofis-
historis;
d. apologetika tidak bisa direduksikan kepada sebuah studi
tentang fakta revelasi dan semua maknanya;
e. apologetika tidak bisa membuat sebuah abstraksi dari
kondisi-kondisi yang berkaitan dengan subyektivitas humanum
dengan maksud membatasi diri hanya pada tantangan-tantangan
historis.
1.4.2.2. Kesepakatan pada level posetif:
a. diakui bahwa apologetika adalah sebuah teologi yakni
sebuah pencarian intelektual kaum beriman yang diaplikasikan
kepada studi tentang hal pertama dari seluruh realitas kristiani;
b. obyek utama dari pencarian ini adalah revelasi dalam seluruh
totalitasnya: misterinya, ketampakan historisnya, tanda-tandanya
yang dirumuskan ke dalam pembicaraan apologetik dan dogmatik;
c. apologetika adalah sebuah studi tentang credibilitas revelasi
termasuk juga studi tentang kristianisme sebagai fenomen historis dan
sebagai interpretasi atas eksistensi manusia;
d. apologetika adalah sebuah refleksi atas esensi (epistemologi)
dan metode (metodologi) teologi.
e. karakter eksitensial dari fungsi apologetika adalah pelayanan
Gereja.

1.2.5. Perluasan Horison


28

Setelah masa penuh kritikan atas demostratio itu, bermunculan


beragam karya dan tulisan, buku dan majalah tentang revelasi;
melimpah ruah komentar atas Dei Verbum. Fenomen ini disebut masa
perluasan/pelebaran ilmu teologis yang dimanifestasikan pada segala
level. Perluasan ini dikonkritkan dengan mengadopsi secara defenitif
term fondamental untuk menunjukkan kebaharuan wajahnya dan
identitas barunya dalam seluruh jajaran ilmu suci.
1.2.5.1. Perlusasan Konsep
Term Fundamental bukanlah sebuah tempelan pada sebuah
disiplin ilmu yang secara substansial hetrogen atau Fundamental
bukan pula sebuah nama belaka yang diletakkan di samping ilmu lain
demi alasan kemudahan. Tahun pertama studi teologi adalah
Fundamental sebab ia mempelajari dogma fundamental dalam tatanan
pengetahuan teologis. Fudemental adalah fundamen bagi semua
teologi: dogma tentang revelasi...Fundamental adalah sebuah teologi
kritis tentang Sabda Allah dalam adanya dan dalam manifestasinya,
dalam sumbernya dan sarana-sarana ekspresinya. Refleksi kritis ini
berasal dari iman dan bisa berkembang subur bila ia tinggal dan diam
dalam terang iman. Jadi Fundamental itu secara komplit adalah
teologis.18
Menurut Y. Congar (1962) Fundamental bisa dipandang
sebagai satu bagian integral dari teologi yakni sebagai salah satu dari
beragam pembicaraan partikular atau sebagai sebuah keseluruhan dari
begitu banyak pembicaraan partikular yang mengambil bagian dalam
program total teologi: tidak hanya sebuah apologetika yakni sebuah
studi tentang penerimaan dan pembelaan Sabda Allah dari pihak
manusia tetapi juga sebuah trattato kritis tentang Sabda Allah itu baik
itu menyangkut status original revelasi itu sendiri maupun
18
N. DUNAS, Les problèmes et le statut de l’apologétique, dalam Revue des sciences
philosophique et théologiques 43 (1959) 680.
29

menyangkut status tradisi dan dogmanya. Jadi Fundamental melihat


Sabda Allah dalam dua sorotan yakni sorotan apologetik dan sorotan
dogmatik. Fondamental bisa juga dipandang sebagai sebuah fungsi
defensif dan justifikatif dari teologi. Dalam kasus ini, teologi tidak
bekerja menurut totalitasnya tetapi teologi hanya melaksanakan salah
satu dari fungsinya, sejauh sang teolog mencari untuk merealisasikan
sebuah mediasi kritis antara dunia iman dan dunia manusia.19
J.P.-Torrell (1964) berpendapat bahwa Fundamental bertugas
dalam dua masa: masa pertama: dogmatik, terkandung di dalam
menerima dari Gereja pandangan-pandangan tentang revelasi, tradisi,
dogma, iman dan credibilitas dan menguraikan semunay itu secara
kritis dengan maksud untuk menghadirkan sebuah pengetahuan yang
sedapat mungkin tepat. Masa kedua: momen tipical defensif dari
teologi fundamental, saat sang teolog harus melegitimasi imannya
dari sudut pandang filosofis dan historis, di hadapan mereka yang
tidak seiman. Oleh sebab itu fundamental harus membangun sebuah
epistemologi (teologi sebagai ilmu, relasi teologi dengan iman,
dengan filosofi dan dengan ilmu-ilmu lain) dan metodologi atau studi
tentang prosedur konrit teologi.20
Mysterium Salutis vol. I (1965) mengambil judul fondamen-
fondamen dogmatik dari sejarah keselamatan. Pada bagian introduksi
dibicarakan tentang teologi fundamental. Di sini fundamental dilihat
sebagai prolegomenon bagi teologi dogmatik.
V. Boublik (1968) membedakan dalam Fundamental dua
bagian: yang satu bagian itu adalah dogmatik: berkaitan dengan
intelegensi dari revelasi sebagai prinsip dan fundamen bagi teologi;
yang lain lagi adalah apologetik: lagi-lagi tentang credibilitas revelasi
19
Y. CONGAR, La fede e la teologia, Desclée Roma 1967, 197-198.
20
J.-P. TORRELL, Chronique de thélogie fondamentale, dalam Revue thomiste 64
(1964), 100-102.
30

baik dalam momen historis, momen filosofis pun dalam momen


semiologis.21
H. Bouillard (1964) berbicara tentang makna apologetik
sebagai berikut: diskursus apologetis ini, sejauh berkaitan dengan
kaum beriman, kiranya lebih baik didefenisikan sebagai Teologi
Fundamental... Sebab sesungguhnya ia mengekspresikan fundamen
padanya teologi dogmatik dan moral harus terus menerus kembali. 22
Tahun 1965, Bouillard memakai istilah prolegomenon untuk
dogmatik sebagai sebuah studi tentang realitas-realitas primer dari
kristianisme yang membentuk fundamen teologi yakni: revelasi,
tradisi, Kitab Suci, magisterium. Teologi Fundamental dipakainya
untuk menyebut apologetika: studi tentang fundamen-fundamen
razional keputusan iman.23
C. Geffre (1969) berpendapat bahwa Fundamental itu adalah
fungsi kritis dan hermeneutik dari teologi. Sebagai fungsi kritis,
Fundamental menganalisis semua kondisi dan posibilitas hisoris dari
iman yang memungkinkan diterimanya revelasi. Dalam konteks ini
Fundamental menunjukkan bahwa iman kristiani itu reasonable dan
karena itu credible-pantas untuk dipercaya. Sebagai fungsi
hermeneutik, Fondamental mencari untuk menerima makna revelasi
bertolak dari intelegensi yang manusia miliki tentang dirinya sendiri
dan relasinya dengan dunia. Di tahun 1977 ia mendefenisikan Teologi
Fundamental sebagai studi kritis tentang fundamen-fundamen
eksistensi kristiani yakni di satu pihak tentang revelasi sejauh revelasi

21
V. BOUBLIK, Orientamenti attuali della teologia fondamentale, dalam Correnti teolo-
giche postconcialiari, Roma 1974, 145
22
H. BOUILLARD, Logique de la foi, paris 1964, 37.
23
ID, L’expérience humaine et le point de départ de la théologie fundamentale, dalam
Concilium 6 (1965), 83-92.
31

menimbulkan iman, dan di pihak lain, tentang iman sejauh iman


menerima revelasi.24
1.2.5.2. Tema Seksi: Revelasi Dan Credibilitas Revelasi
Dua tema istimewa dari Fundamental adalah revelasi dan
credibilitas revelasi.
Dalam ranah keagamaan dan teologi, revelasi adalah
pengungkapan beberapa bentuk kebenaran atau pengetahuan melalui
komunikasi dengan entitas supernatural lainnya. Dalam konteks iman
kristiania, Revelasi adalah aktus Allah sendiri, automanifestasi Allah,
autodonasi Allah sendiri dalam diri Yesus Kristus. Kristus adalah
Sabda epifanik Allah: IA tidak hanya membawa dalam dirinya
revelasi tetapi IA sendiri adalah revelasi itu. Kristus adalah subyek
dan obyek, pewahyu dan wahyu itu sendiri, pengantar, puncak dan
kepenuhan serta tanda.
Credibilitas harus merangkum banyak hal yang lebih luas,
supaya ia menjadi sebuah diskusi yang sungguh-sungguh benar.
Dalam proses perluasan ini kita bisa membedakan tiga orientasi
berbeda yakni
Yang pertama berkaitan dengan problem sejarah dan
hermeneutika. Bagi para teolog, pengetahuan yang Yesus berikan
kepada kita melalui Injil, belum menjadi sebuah jaminan pasti bahwa
kita mengetahui Allah secara tuntas. Biarpun benar bahwa Allah telah
menyatakan diriNya melalui kata-kata Yesus dan lewat seluruh
kehadiran Yesus di dunia, tetapi betapa perlunya mengetahui
bagaimana dan sejauh mana kita bisa memahami epifani Allah
sekurang-kurangnya dalam konsistensi historis Yesus Kristus?
Sekiranya kita tidak bisa menentukan relasi yang terjadi antara
sejarah dan kerygma, kejadian dan teks, maka sia-sia saja kita
24
R. RICOEUR, C. GEFRE, E. LEVINAS, E. AHULOTTE, E. CORNELIS, La Révéla-
tion, Brusselles 1977, 171.
32

melanjutkan pencarian kita akan Yesus Kristus sebab hal yang


sungguh esensial yang menjadi prinsip utama kekristenan
inaccessible. Dalam kaitan dengan Yesus Kristus, problem historis ini
sama dengan problem hermeneutik. Relasi antara kejadian dan teks
hanya bisa dipastikan melalui pencarian historis dan hermeneutik.25

25
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ερμηνευτική. Kata ini diambil dari
nama dewa Hermes. Dewa Hermes di dalam mitologi Yunani adalah dewa yang bertugas
mewartakan berita dari para dewa kepada manusia.
Hermeneutika Alkitab adalah suatu usaha untuk menjelaskan, menginterpretasi, dan
menerjemahkan teks-teks Alkitab. Alkitab perlu dijelaskan supaya isinya dapat dipahami oleh
umat. Melalui proses tersebut, pembaca dapat mengerti berita yang disampaikan oleh
Alkitab. Unsur penafsiran yang paling kuat adalah bahasa karena selalu berhubungan dengan
komunikasi.
Hermeneutika dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga seni. Sifat dari
hermeneutika yang pertama; ilmiah, masuk akal, dapat diuji dan dipertahankan. Selain itu dari
sudut 'seni' juga indah, harmonis, bahkan sulit didekati dari sisi ilmiah. Dalam bahasa Inggris
lazim dipakai istilah exegesis yang diadobsi dari kata Yunani, εξήγηση. Arti harafiahnya adalah
"membawa keluar", yaitu menarik sebuah pelajaran atau makna dari naskah tertentu, dalam hal ini
adalah Alkitab.[4] Berdasarkan tingkat kesulitannya, dalam komunikasi lisan bergantung dua
variabel, yaitu: a) Keterbukaan komunikasi dari seorang pembicara, pengarang, atau penyunting
dari naskah Alkitab terhadap pembaca dan pendegar Alkitab; b) Bentuk naskah dilihat dari
ekspresi tulisannya.
Ada beberapa metode kritik yang dipakai sebagai alat bedah dalam hermeneutika
Alkitab:
Kritik teks: Kritik Teks adalah upaya menelusuri sususan naskah Alkitab melalui membaca,
mengamati bahasa aslinya, kemungkinan-kemungkinan perubahan salinan, membandingkan
dengan bagian-bagian ayat dalam Alkitab sendiri agar memperoleh kejelasan tentang teks itu
sendiri.Bahasa-bahasa yang digunakan naskah-naskah Alkitab mulai dari penulis asli hingga di
tangan pembaca saat ini
1. Perjanjian Lama memakai bahasa Ibrani dan Aram,
2. Perjanjian Baru memakai bahasa Yunani
3. Salinan Septuaginta memakai bahasa Yunani
4. Vulgata memakai bahasa latin
Bahasa lain yang dipakai adalah Suriah, Koptik dan bahasa-bahasa setempat pada
zaman modern ini. Di mulai dari Zaman Reformasi oleh Luther ke bahasa Jerman, Calvin ke
bahasa Prancis, dan seterusnya ke negara-negara lain.Fungsi Kritik teks ini adalah untuk
mencari perbedaan-perbedaan makna dalam ayat-ayat, sebab penerjemah juga menyumbangkan
perubahan teologis dan doktrinal. Mereka melakukannya agar lebih bisa dibaca, maka ada
kemungkinan reduksi dan ekspansi teks, dengan hal ini seseorang biasanya akan mencari keaslian
makna pada teks-teks asli yang lebih sulit.Dari kritik teks ini diharapkan agar penafsir lebih teliti
dan tidak terjebak pada tafsir yang terlalu bebas pada zamannya.
Kritik sejarah: Kritik Sejarah adalah salah satu metode menafsir Alkitab dengan
melihat sejarah dari teks, baik dari teks maupun dalam teks.Sejarah dalam teks berarti mencari
petunjuk-petunjuk dengan sejarah yang teks itu sendiri tuturkan, baik tokoh-tokoh, peristiwa-
peristiwa, keadaan sosial ataupun gagasan-gagasan. Sedangkan "Sejarah dari teks" menunjuk
pada sesuatu yang tidak ada sangkutpautnya dengan apa yang teks sendiri kisahkan atau
gambarkan, yaitu "riwayat", atau sejarah teks itu sendiri: bagaimana teks itu muncul, siapa
penulisnya, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana, mengapa, di mana dan sebagainya.
Fungsinya kritik sejarah ini adalah agar penafsir mampu mencari makna dan
manariknya keluar sehingga relevan untuk zamannya, sejarah yang berbeda dengan
Alkitab. Untuk melakukan kritik "sejarah dari teks", penafsir dapat menggunakan sumber
33

Yang kedua berkaitan dengan soal antropologis. Kiranya tidak


cukup hanya menunjukkan bahwa kita bisa tiba pada Yesus dari
Nazaret melalui Injil-Injil; adalah perlu juga menunjukkan bahwa
kabar kristiani berelasi dengan manusia dan semua problem
eksistensial dan fundamental manusia. Inilah dimensi antropologis
dari kredibilitas.

selain Alkitab, misalnya tulisan-tulisan kuno yang sejamannya, atau sumber-sumber lain yang


memperjelas sejarah dari naskah itu.
Kritik tata bahasa: Kritik Tata Bahasa adalah usaha menafsir dengan menaruh
perhatian pada penentuan sususan kata dari teks, menganalisis sebuah teks melalui
bahasanya. Dengan memperhatikan susunan kata, frasa-frasa, dan kalimat-kalimat, seorang
penafsir ditolong untuk dapat kembali mencari alasan pemikiran penulis teks Alkitab. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan penggunaan kata tertentu pada zaman-zaman yang
berbeda, misalnya kata "sisa", "pertobatan", "pembenaran" belum tentu sesuai bayangan kita pada
zaman sekarang, hal ini bisa dilihat di Ensiklopedi-Ensiklopedi Alkitab.
Sarana yang lain yang bisa dipakai adalah leksikon-leksikon, kamus-kamus Alkitab,
yang akan berguna untuk memberikan informasi linguistik, filologis, dan juga informasi teologis, 
historis,  kultural, bibliografis. Ada lagi alat yang lain yaitu Konkordansi Alkitab yang berisi
daftar ayat-ayat dengan kata-kata tertentu yang akan memudahkan seseorang mencari ayat-ayat
berhubungan dengan tema tertentu.
Kritik sastra, Kritik Sastra adalah salah satu pendekatan menafsir terkait dengan
kerumitan dari naskah yang diduga dirangkai dari beberapa sumber dan dokumen. Hal ini terkait
bahwa Alkitab secara hakikat juga adalah sastra. Kritik sastra menaruh perhatian pada topik topik
khusus: struktur karangan, karakter teks, teknik-teknik gaya bahasa, pemakaian gambar-gambar,
dan simbol-simbol oleh pengarang, efek-efek dramatis dan estetis yang ditimbulkan sebuah karya
dan sebagainya. Dalam kritik sastra juga mencakup kritik retorika sehubungan akan disampaikan
dalam lisan. Ada 3 unsur dalam kritik retorik ini, yaitu Penyampai Kotbah (Yun: Ethos),
pendengar (Yun: Pathos) dan isi firman (Yun: logos).Urutan membuat kotbah sendiri ada 5 tahap:
1. Merancang kotbah dengan berpikir dari temuan-temuan dalam naskah, 2. menyusun, mengatur
unsur-unsur agar berguna secara utuh, 3. menentukan gaya, 4. menghafal 5. menyampaikan pidato
atau berkotbah.Kritik sastra ini diperlukan karena pertimbangan terdapat kritik sumber, dengan
sumber-sumber yang berbeda dalam penyalinan, diduga ada perubahan: kosakata, gaya bahasa,
kesinambungan, pernyataan sekunder dari penyatu naskah, pemahaman teologi, duplikasi atau
pengulangan bahan, sub-sub yang perlu dikelompokkan, ketidakkonsistensi dalam  kronologi.
Unsur yang cukup penting dalam kritik sastra ini adalah intonasi atau nada dari bahasa, baik nada
dalam naskah maupun nada ketika menyampaikan khotbah.
Kritik bentuk, Kritik Bentuk memberikan perhatian lebih pada usaha untuk menetapkan
dan menentukan "kedudukan dalam kehidupan" (Sitz im Leben) yang di dalamnya dulu jenis-jenis
sastra tertentu dihasilkan dibentuk dan dipakai Hal ini menyangkut jenis sastra, lingkungan sosial,
dan kelembagaannya, yang khsusnya serta latar belakang budayanya secara keseluruhan. Kritik
ini lebih mendalam, merupakan puncak dari kritik historis dan sosiologis. Contoh-contoh bentuk
yang bisa ditemukan kondisi yang menyebutkan realitas secara mendalam, perasaan yang dialami
oleh sebuah umat.[4] Misalnya kisah domba yang hilang dalam Lukas dan Matius, kisah yang
sama, ternyata didapatkan penekanan yang berbeda, yang satu tentang pertobatan, yang lain
tentang penggembalaan.
Kritik tradisi, Kritik Tradisi menaruh perhatian pada sifat tradisi-tradisi ini dan bagaimana
tradisi-tradisi itu dipakai dan disesuaikan dalam perjalanan sejarah suatu masyarakat. Hal ini akan
menolong kita untuk mengenal nila-nilai, moral, etika dalam sebuah masyarakat. Dari hal ini
diharapkan kita mampu melihat dan membandingkan tradisi dalam suatu waktu dan tradisi di
mana penafsir hidup.
34

Yang ketiga berelasi dengan tanda-tanda revelasi. Problemnya


adalah mengidentifikasikan Yesus sebagai Allah yang ada di antara
kita. Yesus adalah forma humanum, dengannya Allah menjumpai
manusia, Yesus adalah kehadiran Allah yang menyelamatkan di dunia
ini. Kehadiran itu hanya bisa diverifikasi melalui mediasi manusia
Yesus. Yesus adalah misteri yang patut diperdalam. Fundamental,
karena itu kembali kepada studi kritis dan sadar tentang tanda-tanda.
Tanda-tanda yang memungkinkan kita untuk mengenal Yesus tidak
datang dari dunia eksterior melainkan datang dari Yesus sendiri.
Yesus adalah misteri. Karena itu teologi fundamental berkewajiban
untuk mempelajari tanda-tanda revelasi itu secara kritis dan eksegetis.

1.2.6. Alamat tuju


Fundamental ingin menjadi sebuah teologi dalam dialog, tidak
hanya dengan para beriman kristiani tetapi juga dengan semua agama:
Hindusime, Buddhisme, Islamisme, Judaisme bahkan dengan ateisme.
Ketika kita berdialog orang-orang yang tak beriman, sebenarnya kita
berdialog juga dengan diri kita sendiri. Dengan latar belakang seperti
ini, refleksi yang didasarkan pada basis intelektual demi sebuah
putusan iman bukanlah sebuah permainan razional melainkan sebuah
keharusan vital.

1.2.7. Metode-metode apologetika


Para apologetik memakai beragam argumen dan metode sesuai
dengan macam-macam serangan terhadap para musuh yang mereka
hadapi.26

26
AD. TANQUEREY, A Manual of Dogmatic Theology, 6-9. Nama dan karya teolog
yang disebutkan dalam bagian metodologi apologetik ini bisa dicari dan ditemukan di dalam
Dizionario dei Teologi yang diedit oleh Luciano Pacomio dan Giuseppe Occhipinti. Kamus ini
memuat 2000 nama teolog Katolik, Ortodoks dan Protestan beserta tulisan dan isi ringkasan
tulisan mereka.
35

1.2.7.1. Metode apologetika para Bapa Gereja


Pada abad II, st. Justinus, Minucius Felix, Tertualianus,
menolak ide-ide kaum kafir yang sesat/tak masuk akal; kebenaran,
keistimewaan dan superioritas, ramalan dan pemenuhan ramalan para
nabi di dalam Kristus didemonstrasikan.
Pada abad III di sekolah Alexandria, Klemens melihat filsafat
sebagai sebuah direktif kepada Kristus. Sementara itu Origines
berusaha melawan Celsus.
Pada abad IV Lactantius dan Agustinus menemukan jalan-jalan
Divine Porvidence dalam karya De Civitate Dei.
1.2.7.2 Metode apologetika Skolastika
Dalam pertentangan dengan Averroes, st. Thomas Aquinas
menjelaskan dan membuktikan secara detail dan komplit kebenaran-
kebenaran filosofis dan teologis kepada Averroes. Dalam Summa
Theologiae Aquinas mendemonstrasikan dengan distinksi yang jelas
harmoni antara dogma dan akal budi.

1.2.7.3. Dari reformasi hingga abad XIX


Jacques-Bénigne Bossuet dalam Discours sur l’Histoire
universelle menunjukkan intervensi Allah sejak semula, kemajuan
dan kelanjutan serta perluasan kristianitas.
Pierre-Daniel Huet dalam Demostratione Evangelica
mendemonstrasikan kebenaran agama kristen melalui sebuah
demonstrasi yang mirip dengan demonstrasi more geometrico
teristimewa menunjukkan relasi antara kebenaran agama kristen
dengan realitas historis.
Blaise Paschal dalam bukunya yang tak selesai, Les Pensées,
menun-jukkan bahwa agama pada saat yang sama menampilkan
36

sebuah nobilitas dan hostilitas bagi manusia. Paschal tidak


mengabaikan argument-argument eksternal dari revelasi ilahi yakni
ramalan-ramalan dan mukjizat-mukjizat. Walau demikian Pascal
cendrung kepada pesimisme dan fideisme.
1.2.7.4. Metode yang digunakan dalam abad XIX
François-René Châteaubriand mempresentasikan dalam nada
puitis divinitas agama kristen dalam Le Géne du Christianisme:
Félicité de Lamennais me-nyerang indiferentisme yang termuat di
dalam Essai sur l’Indifférence namun dengan berbuat demikian, ia
cendrung untuk menekan peran akal budi. Ia juga menunjukkan
bahwa kristianisme karena dimensi misterisnya, merupakan agama
paling tinggi dan mulia bagi umat manusia.
Denis Frayssinous, dalam Conférences dan August Nicolas
dalam Etudes philosophiques sur le Christianisme membuktikan
kebenaran agama kristen dengan kristeria internal dan eksternal;
Balmès dalam Le Protestantisme comparé au Catholicisme dans ses
rapports avec la civilisation auropéenne menunjukkan bahwa
Katolisisme, di bawah konsiderasi sosial, adalah lebih superior
daripada Protestantisme.
Jean-Baptiste Lacordaire penuh ketelitian menjelaskan otoritas
dan kuasa doktrinal Gereja, Founder Gereja, Kristus dan
menunjukkan divinitas Kristus berdasarkan kesaksian Kristus sendiri.
Dalam penjelasannya tentang dogma lain, ia menunjukkan bahwa
semuanya berjalan sesuai dengan akal budi sehat.
Dalam karyanya Histoire de la Civilisation au V sicle, Antoine-
Frédéric Ozanam menunjukkan misi mengagumkan yang dihadirkan
oleh Gereja Katolik dalam dalam seluruh proses civilisasi khususnya
dalam bidang intelektual dan moral. Karya monumental lain
sehubungan dengan pentingnya misi Gereja Katolik bisa dibaca
37

dalam Démonstration de la religion catholique par l’antiquité des


croyances historiques, religueses et morals.
1.2.7.5. Metode partikular abad XX
Di abad XX masih juga ada penulis apologetik yang
menggunakan metode tradisional seperti Guy de Broglie: sambil
memakai kriteria internal dan eksternal, ia menambahkan argument
transendensi. Dari argumen ini ia mau menampakkan bahwa
kekristenan itu melebihi agama-agama lain dalam hal doktrin,
kekudusan Pendiri dan ada mukjizat dalam jumlah banyak. Kita patut
mengakui divinitas kristianisme.
Penulis modern lain menggunakan metode-metode baru yang
lebih efektif seperti: Léon Ollé-Laprune yang menunjukkan bahwa
kristianitas itu penting disposisinya bagi kehidupan intelektual dan
moral; dan lagi hanya dengan sincerity and goodwill kita bisa
mengerti kepastian agama kristen. Kesempurnaan dan kepenuhan
hidup tak bisa digapai tanpa agama kristen. Agama kristen bisa
memenuhi semua kerinduan natural kita. Iman kristiani itu
reasonable karena menyadarkan dan meyakinkan manusia akan
ketidakmampuannya untuk menemukan norma-norma moral
tertinggi. Di sini akal budi deduksikan lebih kepada kapabilitasnya
daripada kebenarannya karena akal budi manusia bisa melahirkan
alasan-alasan kuat bagi kredibilitas.
Ada juga apologet modern yang memakai metode imanence
seperti: M. Blendel. Ia mengatakan bahwa agama tidak bisa
diletakkan ke atas pundak manusia dari ketanpaan. Tingkahlaku
manusia tidak mencapai kesempurnaannya tanpa koperasi dengan
Infinite Being. Semenjak kita tak dapat mencapai Infinite Being
dengan kekuatan sendiri manusia membutuhkan koperasiNya. Karena
itu manusia memerlukan revelasi melalui mana Allah menyatakan
38

diriNya sendiri kepada manusia. Apabila manusia sudah menerima


penegasan ini maka revelasi secara historis telah dinyatakan.
Menurut Paus Pius X, sebuah metode tanpa argumen historis
adalah tidak cukup untuk membuktikan fakta Revelasi. Metode tanpa
argumen historis hanya akan menunjukkan sebuah necisitas moral
dari revelasi dan bukan necesitas ontologis/absolut revelasi.

1.3. Masalah razionalisme


Perkembangan teologi Gereja juga sangat dipengaruhi oleh
situasi perang yang berlangsung selama tiga puluh tahun, yaitu sejak
tahun 1648 hingga 1789 (Revolusi Perancis). Situasi politik yang
berpengaruh pada masa ini berkutat pada perjuangan untuk
mempertahankan kesatuan/keutuhan respublica christiana,
konsolidasi nasional di antara negara-negara Eropa, gerakan
reformasi protestan dan perang agama27. Seiring dengan kemajuan
dunia modern di pelbagai bidang kehidupan, terutama dalam lingkup
budaya dan agama patut diakui bahwa pada abad ini isi iman
disurutkan oleh daya rasional manusia (aliran rasionalisme:
mengutamakan ratio) akibat berkembangnya aliran iluminisme dan
sekularisasi28.
Berkenaan dengan aliran sekularisme, Grozio menjelaskan
bahwa unsur esensial yang menguat adalah usaha manusia untuk
melihat dan menjelaskan keberadaan Allah dari Sabda-Nya, dari
pewahyuan biblis, dari keyakinan iman religius dan dari otoritas
Gereja dari kaca mata manusia semata, baik dari sisi akali (ilmu,
filsafat) maupun dari sisi tindakan (moral, politik). Perubahan yang
sangat menonjol akibat adanya pergerakan aliran ini adalah lahirnya
27
Battista Mondin, Storia della Teologia, 3 a , Edizioni Studio Domenicani, Bologna
1996, hlm. 423-424
28
Ibid, 424
39

semangat humanisme dan semangat pembaharuan (rinascimento:


kelahiran baru). Penganut aliran ini memberikan kritik pedas terhadap
situasi abad pertengahan dan skolastik. Bagi mereka, situasi kelam
yang terjadi pada abad pertengahan dan skolastik merupakan produk
sejarah dan produk dunia kristiani.29
Perubahan lain yang terjadi pada zaman sekularisasi ini adalah
pemisahan antara filsafat dan teologi. Akibatnya, konsep mengenai
Allah hanya menjadi produk akali/ratio yang sama sekali berbeda
dengan konsep Allah dalam teologi wahyu30. Menurut G. Gogarten,
situasi yang terjadi pada zaman sekularisasi ini diperburuk ketika
paham antroposentrisme berkembang. Akibatnya adalah semangat
sekularisme semakin mekar pertumbuhannya di dunia ini. G.
Gogarten menilai bahwa konsep dasar antroposentrisme di zaman
modern ini tidak dimaksudkan bahwa “manusia menjadi pusat
darisegala sesuatu”, melainkan penyingkapan sikap dasar manusia
yang menolak “keberadaan Allah” (Allah itu tidak ada)31.
Dalam konsep G. Gogarten, sekularisasi merujuk pada
“kematangan manusia” yang sadar dan yakin akan kemampuan
mereka untuk mengemban tugas dan tanggung-jawab bagi diri dan
kehidupannya sendiri, serta mampu membangun dan membentuk
dunianya sendiri”. Gogarten memperlihatkan perbedaan mendalam
antara konsep sekularisasi dengan sekularisme32
= Di dalam konsep sekularisasi terungkap dua makna hakiki:
“Manusia yang berdiam di dunia dikuasai oleh hal-hal duniawi
(secolare: dunia, hal-hal duniawi). Namun keberadaan manusia di
dunia ini tidak bertentangan dan tidak pernah dipertentangkan dengan
keberadaan Allah. Manusia terbuka kepada Allah sebab hanya Dia-
29
Ibid.
30
Ibid., 424-425
31
Battista Mondin, Intrroduzione alla Teologia, 2 a ed, Massimo, Milano 1983, hlm. 88
32
Ibid.,
40

lah yang mampu memberikan “makna terakhir” tentang keberadaan


setiap manusia di dunia.
=Konsep sekularisme merujuk pada paham sekularisasi itu
sendiri sebagai kriteria kebenaran, program kehidupan, ajaran tentang
keselamatan dan ideologi yang dianut (Dunia menjadi kunci untuk
menentukan arah kehidupan).
Mengacu pada muatan permenungannya, Teologi Sekularisasi
terbagi dalam tiga bentuk hakiki33:
a. Teologi Radikal Teologi ini dikenal dengan “Teologi
Kematian Allah”. Teologi ini mengadopsi dan menjadikan dunia
sebagai kriteria absolut dari kebenaran.
b. Teologi Sekularisasi Teologi tersebut menetapkan dunia
sebagai media utama untuk menafsir dan memahami warta Kristiani.
c. Teologi Sekularitas Teologi ini mempertimbangkan dunia
(lingkungan semesta/dunia) sebagai obyek penting bagi setiap
permenungan teologis.
Ketiga bentuk teologi ini memiliki perbedaan mendasar:
a. Teologi Radikal dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip
teologi sendiri sebab obyek teologi adalah Allah sendiri.
b. Teologi Sekularisasi membentuk Teologi Fundamental yang
berporos pada dunia.
c. Teologi Sekularitas memiliki obyek khusus, yaitu dunia,
budaya, perkembangan, sejarah, praksis, dll dan berkembang menjadi
Teologi Sektorial.
Sebagai sebuah pergerakan teologi, secara komunal, Teologi
Radikal diindetikkan dengan “Teologi Kematian Allah”. Teologi ini
berkembang di Amerika serikat hingga tahun 60-an. Dalam beberapa
tahun kemudian, Teologi ini berkembang pesat, namun tidak
33
Ibid.,
41

bermakna bagi manusia modern sebab pengaruhnya cepat punah dan


terpecahpecah.
Tokoh utama teologi tersebut adalah Thomas Altizar, Wiliam
Hamilton dan Paul van Buren. Mereka memiliki titik berangkat yang
sama, yaitu dunia. Target utama mereka adalah “meniadakan Allah”
sebagai arah dan hidup manusia. Bagi mereka, dunia tidak hanya
dilihat sebagai fenomen kultural, tetapi sebagai inti dan kunci
kebenaran. Sembari menyingkapkan “kebenaran” ini, mereka
mengelaborasikan tiga perbedaan versi Teologi Radikal: Ontologi
(Altizar), Etika (Hamilton), Semantika (Van Buren).34
“Teologi Kematian Allah” merupakan sebuah fenomen yang
diwarnai kegaduhan, ibarat angin ribut, terpisah-pisah serta
menghilang dalam sekejap pengaruhnya. Satu-satunya nilai positif
yang bisa dirangkum dari pergerakan teologi tersebut adalah
“penegasannya akan misteri Allah dan karakternya yang bernuansa
religius”35.
Sebagai media penafsiran untuk mempelajari dan mendalami
inti Sabda Allah dan Sejarah Keselamatan, Teologi Sekularisasi
hanya mengikuti mode yang berkembang dan hanya terhenti pada
sekularisasi sebagai realitas historis dan budaya. Secara mendalam,
gaung sekularisasi mengakar dalam seluruh struktur komunitas kita.
Allah, agama dan Gereja secara sistematik terasing dari lingkungan
moral, pendidikan, hukum, politik dan mas-media. Oleh karena itu,
para teolog tidak bisa melakukan sesuatu yang melampaui kenyataan
itu, selainmempertimbangkan semua kenyataan ini dalam
merumuskan dan mengembangkan karya teologis mereka.36

34
B. Mondin, I Teologi della Morte di Dio, Borla, Torino 1972 (edisi 2) .
35
B. Mondin., Introduzione, hlm. 88
36
Ibid., hlm. 88-89
42

Periode historis yang membentuk konteks langsung teologi


fundamental aktual, secara praktis diidentikkann dengan teologi
skolastik yang dikenal juga dengan teologi manualistik.37
Ens Leo XIII (4.8.1879), Aeterni Patris38 bisa membantu kita
untuk mengenal apologi dalam teologi manualistik. Konteks historis
dari enseklik adalah kutukan terhadap razionalisme dan fideisme
sebagaimana tertuang dalam dokumen Vatikan I: Dei Filius. „Jika
kita memperhatikan kebrutalan zaman kini, terbaca dalam ensiklik,
dan jika dinilai secara global status dari segala sesuatu, baik publik
maupun privat bukan tanpa derita ditemukan sebab dari semua
keburukan yang ada di dekat kita dan menghancurkan kita; kejahatan-
kejahatan itu ada di dalam fakta bahwa opini-opini yang salah
terhadap realitas ilahi dan manusiawi dimasukkan ke dalam sekolah-
sekolah filosofis dan daripadanya keluar ke seluruh strata sosial dan
opini-opini keliru itu tiba dan diterima oleh sejumlah besar orang.“39
Komponen supranatural iman dan misteri-misteri iman, secara
konstant dirusakkan oleh razio. Relasi antara iman dan akal yang
menemukan sintesi organisnya dalam periode medioeval, sekali lagi
menjadi problem sentral teologi.
Menjawabi problem ini Paus berpaling kepada pikiran Thomas
Aquinas. „Dalam moment yang sama Thomas membedakan secara
sempurna iman dari akal dan selanjutnya ia menyatukan keduanya
dengan relasi persahabatan timbal balik: ia menghormati hak-hak
yang ada di dalam iman dan akal dan memelihara martabat dari
keduanya sampai titik di mana akal mencapai puncak kejayaannya
37
H. M. SCHIMIDINGER, Scholastik und Neuscholastik. Geschichte zweier Begriffe, in
E. CORETH (ed.), Christliche Philosophie im XIX und XX Jahrhundert, II, Freiburg 1988, 22-53;
J. WICKS, Teologia manualistica, in R. LATOURELLE – R. FISICHELLA, Dizionario di
teologia fundamentale, Assisi 1990, 1265-1269 (selanjutnya DTF).
38
Informasi tentang sejarah ensiklik ini bisa dibaca dalam R. AUBERT, Die Enzyklika
‘Aeterni Patris’ und die weiteren päpstlichen Stellungnahmen zur christlichen Philosophie, in E.
CORETH (ed.), Christliche Philosophie im XIX und XX Jahrhundert, I, Freiburg 1987, 310-332.
39
LEO XIII, Aeterni Patris, in AAS 12 (1879), 98.
43

yang intelegensi manusiawi tak sanggup memikirkannya; dan iman


dengan susah payah boleh berharap untuk menerima bantuan dari
akal budi yang sangat banyak jumlahnya dan sangat berpengaruh,
buah permenungan dari Thomas.“40
Filsafat, karena itu direlasikan kepada iman/teologi melalui tiga
(3) tahap istimewa yang menyentuh moment konstitutif aktus iman.
1) Filsafat mempersiapkan pikiran untuk menerima dan
merangkul revelasi. Ini menyangkut pengetahuan dan pemahaman
tentang kebenaran. Dari sini lahir praeambula fidei yakni segala
kesadaran atau pengertian menyangkut kebenaran universal yang bisa
dicapai oleh akal budi seperti immortalitas jiwa, eksistensi Allah dan
kredibilitas doktrin iman katolik.
2) Filsafat memiliki tugas lanjutan: terutama menampilkan
sebuah lucidior intellegentia dalam usaha memahami misteri-misteri
yang direvelasikan dan membela iman dari kepalsuan yang berasal
dari filosofi-filosofi yang ingin menghancurkan iman.
3) Dalam relasinya dengan teologi, filsafat memainkan sebuah
peran konstitutif: filsafat harus menjamin status epistemologis teologi
artinya „pemakaian filsafat dituntut agar supaya teologi memiliki
natura, forma dan karakteristik dari sebuah ilmu sejati.“41
Paus Leo XIII melihat filsafat sebagai ilmu yang bisa menata
hal lain dan dalam referensi kepada teologi, filsafat melakonkan suatu
peran apologetis pasti bagi apa yang direvelasikan. Teologi yang lahir
dari impostasi ini menunjukkan kekuatan intrinsik dari pikiran Th.
Aquinas yang mempresentasikan instansi akhir dari pikiran
spekulatif. Akibatnya teologi dikarekterkan secara mendasar oleh
relasinya dengan auctoritates yang menemukan kanosisasi mereka
dalam De locis theologicis.
40
LEO XIII, Aeterni Patris, in AAS 12 (1879), 109.
41
LEO XIII, Aeterni Patris, in AAS 12 (1879), 101.
44

Sumber hakiki teologi adalah Kitab Suci, Tradisi dan


Magisterium. Tapi karena ketiadaan asumsi metodologis atau
hermeneutika dalam lingkungan Kitab Suci dan Tradisi maka teologi
manualistik memusatkan interesnya secara komplet kepada
Magisterium.
Dalam teologi ini, Kitab Suci dan Tradisi secara kronologis
menempati urutan pertama, tetapi terbatas geraknya yakni hanya pada
kenyataan probatif yg diungkapkan dalam suatu kutipan panjang dan
cermat dari data-data dan teks-teks. Sentrum sesungguhnya dari
teologi manualistik adalah pemujaan atau pengagungan teologi
Magisterium bukannya menjadikan teologi magisterum sebagai
garansi bagi produksi teologi dalam kuasa carisma infallibilitas.
Sejak konsep Th. Aquinas diangkat sebagai instansi tertinggi
bagi akal, yang bisa dipakai sebagai bantuan agar kita bisa tiba pada
puncak refleksi, adalah jelas bahwa sebuah teologi yang disinggung
pada pemahaman awal ini tak bisa lagi mengambil bagi dirinya
sendiri karakteristik historisitas yang mewajibkan selain daripada
membuka mata untuk melihat refleksi dan pemahaman yang semakin
maju tentang misteri. Di sini Magisterium Gereja dilihat sebagai
referensi pasti dan aman dalam mengajarkan iman dan moral.
Teologia, lalu menjadi kumpulan teks-teks Magisterium, dan
Denzinger menjadi model normatif bagi teologi pada periode ini.
Meniadakan hermeneutika pada Kitab Suci dan teologi
manualistik, menghapuskan otoritas sejarah dalam dinamisme
intrinsiknya maka akan berkurang kemungkinan untuk ‘kritik’ lantas
teologi manualistik itu sendiri menjadi ‘kritik’ bagi ekspresi
spekulatif lain dalam kuasa tuntutan ganda tentang normativitas
teologi Magisterium dan dari insuperabilitas pikiran Aquinas.
45

BAB II
TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI “TEOLOGI”
(Pertemuan 4)

Fundamental sebagai Teologi memiliki karakter teologis dan


metodenya tersendiri, yaitu metode integrasi dinamis. Dengannya,
dapat dikatakan bahwa Teologi fundamental merupakan sebuah
disiplin teologis. Dengan kata lain Fundamental adalah sebuah
disiplin ilmu.

2.1. Karakter Fundamental sebagai teologi


Perlu disadari bahwa Fundamental termasuk dalam teologi sic
et simpliciter. Sembari menjadi sebuah disiplin yang terarah kepada
spesialisasi adalah jelas Fundamental kembali ke dalam ilmu teologis
dan bersama dengan ilmu teologis, Fundamental mengambil bagian
46

dalam isi dan metodologi teologi itu sendiri.42 Lahirnya teologi


fundamental dipandang sebagai hasil dari sebuah dinamica kemajuan
dalam aktus menstrukturisasi dirinya sendiri dan dalam keharusan
mengkorespondensikan dirinya pada berbagai tuntutan zaman.
Fundamental itu tidak lain daripada teologi dan karena motif itu
bersama dengan teologi, Fundamental mengambil bagian di dalam
dinamica intern teologi. Karena itu menegaskan bahwa ia adalah
suatu disiplin teologis, sama dengan menempatkan kembali dilema
dan natura spesifiknya di hadapan ilmu-ilmu lain.
Ini berarti penting menggarisbawahi karakter partikular yang
ada dalam teologi sebagai ‘ilmu.’ Sesuatu itu masuk dalam kategori
ilmu, ditentukan oleh obyek utamanya dan metodologi yang dipakai
dalam seluruh analisisnya serta kapasitas untuk falsificabilitas
apriori-apriori tematis. Menegaskan bahwa teologi adalah sebuah
ilmu, tidak equivalen dengan menempatkan teologi pada level yang
sama dengan disiplin atau ilmu emperis atau ilmu eksperimental
lainnya melainkan lebih dari itu menjernihkan bahwa, walau dgn
karakter paradoksalnya – karakternya ditentukan oleh kewajiban
untuk mempelajari rivelasi Allah – teologi membentuk sebuah
instrumen ilmiah yang memungkin-kan kita untuk mencapai hasil-
hasil yg secara universal bisa dikomunikasikan.43
Secara langsung bisa dikatakan bahwa obyek studi teologi
adalah event rivelasi dan iman kristiani sebagai jawaban bebas
kepada rivelasi. Seorang teolog fundamental tanpa iman akan
mengggiring proses pencariannya kepada sejarah tentang event; ia
sendiri tak akan pernah sanggup memahami makna terdalam dari
42
M. SECKLER, Teologia fondamentale: compiti e strutturazione, concetto e nomi, in
Handbuch der Fundamentaltheologie, IV Freiburg 1988, 559-375 (selanjutnya disingkat HFTh).
43
Karakter ilmiah teologi diuraikan secara lengkap oleh R. FISICHELLA, Cos’è la
teologia? In C. ROCCHETTA -R. FISICHELLA-G. POZO, La teologia tra rivelazione e storia,
Bologna 1988, 177-188; ID, Prospettive epistemologiche circa il fondamento della teologia in
Ricerche Teologiche 2 (1991), 5-20; M. SECKLER, Teologia e scienze, in DTF, 1235-1242.
47

event itu sendiri. Jika ini terjadi maka pencarian itu akan kehilangan
konotasi kepada revelasi ilahi yang ada di balik sebuah event revelasi.
Teolog Fundamental, supaya bisa menjadi seorang ‘ahli’ revelasi,
harus sanggup masuk ke dalam logika rivelatif dan sanggup masuk ke
dalamm hidup iman komunitas.
Menghubungkan diri dengan revelasi kristiani, bukan berarti
membataskan ruang gerak spekulasi dan pencarian kepada suatu
lingkup sederhana di mana ‘mungkin’ Allah mengekspresikan diri
dalam sejarah; atau juga mengabstrakkan spekulasi di dalam suatu
lingkungan religius generik untuk memverifikasi suatu pandangan
tentang transendensi. Teologi Fundamental tahu bahwa ia memiliki
misi mencari makna tepatnya event yang direvelasikan dan
mentransmisikannya kepada komunitas beriman supaya mereka
percaya dan menjadi selamat.
Mempertahankan karakter teologis dari Fundamental,
equivalen dengan menegaskan relasi antara pencarian dan obyek
pencarian. Pencarian ini tak bisa diverifikasi dan diulang secara
komplit. Ini tak sama dengan ilmu-ilmu lain yang secara komplit bisa
diverifikasi dan direpetisi. Sebaliknya, isi dari teologi diberikan
‘sekali saja untuk semua’ dalam sejarah umat manusia. Pencarian
ilmiah bisa saja terjadi pada event historis yang dipahami sebagai
event revelasi Allah. Dalam horison ini, pencarian ilmiah bisa
mengevaluasi berbagai moment dan element berbeda yang
membentuk event historis tsb: penelitian terhadap soliditas historis
melalui ilmu historis dan arkeologis berbeda, mengevaluasi makna
melalui proses hermeneutik yang memungkinkan pemahaman atas
makna real teks, konteks dan intensi penulis, membuktikan
kredibilitas kesaksian dan kebenaran serta kohenrensi dari kesaksian,
konsolidasi fakta-fakta dgn kesinam-bungan tradisi yang tidak hanya
48

memungkinkan pengetahuan atas fakta-fakta tetapi juga membentuk


suatu kunci interpretasi yg tak bisa dieliminasikan.
Prospektif baru di dalamnya dimasukkan Teologi Fundamental
ditemukan pada ajaran yang berdimensi ganda yakni dimensi
dogmatik yang menguraikan obyek studi dalam terang revelasi dan
prinsip-prinsip yang lahir dari revelasi itu; dan dimensi apologetik,
melaluinya dicari intelegenzi dari apa yang sudah dipercaya dengan
maksud untuk menambahkan putusan bebas sepenuhnya pada pilihan
iman. Obyek studi dimensi apologetik dianalisis dengan metodologi
yang membuat masuk akal isinya juga kepada dia atau mereka yang
tidak memiliki pengalaman iman yang sama atas cara sedemikian
sehingga orang bisa memahami cara itu sebagai pembawa makna.
Pengakuan akan instansi apologetik menuntun kepada
konsiderasi bahwa kurang lebih ada dua elemen yang harus menjadi
obyek langsung studi dari Fundamental yakni: pertama: perlunya
sebuah presentasi kritis terhadap aktus percaya yang kiranya sanggup
utk mengevaluasi globalitas pribadi manusia dalam mengungkapkan
dirinya sbg subyek epistemis dan subyek beriman. Ini adalah moment
di dalamnya aktus iman dipresentasikan sebagai aktus yang bebas dan
sebagai suatu pilihan personal. Kedua: perlunya sebuah presentasi
tentang obyektivitas dari isi yang diberikan melalui revelasi dan
karenanya diterima oleh subyek sebagai aktus gratis yang berasal dari
Allah. Dalam hal ini juga refleksi apologetis harus menunjukkan
penghapusan atas kurang lebih dua forma reduksionist yang berkarya
sambil berbicara atau suatu klaim eventual sturktur ontologik dari
subyek yang mendambakan revelasi, dalam kekuatan realisasi dirinya
sendiri yang tak bisa terbatalkan; atau dari suatu pasivitas subyek di
hadapan revelasi seakan-akan dimensi keterciptaannya tak memiliki
nilai apapun di hadapa transendensi Allah.
49

Kesatuan antara keduanya memungkinkan teologi fundamental


bisa menemukan kembali identitasnya yakni memberikan
argumentasi tentang iman kepada siapa saja; kepada kaum beriman
yang mencari untuk memahami, dan kepada dia yang mencari untuk
memahami supaya percaya.
Memikirkan disiplin yang begitu terstruktur, menuntut bahwa
dalam relasi dengan revelasi dan iman, teologi fundamental
mengikuti suatu metodologi yang tidak saja tahu berkomunkasi
dengan umat beriman tetapi juga tahu mengungkapkan secara
universal data-datanya yang eksplisit di luar horison iman.

2.2. Metode Fundamental sebagai teologi


Metode teologi merupakan sebuah soal. Kesulitan obyektif itu
berbareng-an dengan refleksi atas valensi epistemologis metode dan
atas determinasi-determinasi yang berpengaruh pada teologi ketika
dihadapkan dengan ilmu-ilmu lain.44 Di balik konsiderasi general,
diskusi tentang metode dikenakan bagi teologi fundamental (sebagai
disiplin teologis) sejauh metode membentuk suatu epistemologi bagi
strukturasi integral ttg bagaimana memahami iman.45

2.2.1. Problematika metode


Obyek studi dari Fundamental itu unik baik bagi refleksi
dogamtis maupun apologetis; tetapi bagi refleksi dogmatis dipakai
sebuah metode yang menyelidiki isi sedangkan bagi pikiran apologetis

44
Informasi lengkap tentang metode teologi bisa ditemukan dalam tulisan dari W.
KASPER, Die Methoden der Dogmatik, Munchen 1967; J. BEUMER, Die theologische Methode,
Freiburg 1977; B. LONERGAN, Method in Theology, London 1973.
45
R. LATOURELLE, Apologétique et fondamentale. Problème de nature et methode, in
Salesianum 28 (1965), 256-273 ; K. LEHMANN, Apologetik und Fundamentaltheologie, in
Communio 7 (1978), 289-294; D. TRACY, Plurality and Ambiguity, London 1987, 28-46 ; R.
FISICHELLA, Metodo in teologia fundamentale, in RT 1 (1990), 75-90.
50

dipakai metode pencarian. Dengan metode menyelidiki kita


sesugguhnya digerakan kepada terang revelasi yang sudah diterima
dan dipercaya sebagai Sabda Allah; dengan metode mencari diberikan
spasi kepada razio-intelek yang belum menggapai kebenaran yg
dipercaya. Antara keduanya tidak ada dikotomi kecuali karakter
komplementer.
Sejauh sebagai sebuah disiplin teologis, teologi fundamental
dimasukan ke dalam metodologi khas yang mengatur pengetahuan
tentang iman atau menurut karakter-karakter general membahas tema
auditus fidei dan intellectus fidei. Sejauh disiplin teologis tetapi
dengan dimensi apologetis, teologi fundamental membutuhkan
metode khusus yang bisa mengkualifikasikan baik isi analisis maupun
tujuan di mana ia harus dikomunikasikan.
Revelasi, sebagai event historis puncak dalam diri Yesus dari
Nazareth, dipandang sebagai keputusan bebas dan intervensi gratis
Allah dalam sejarah. Prinsip untuk kredibilitasnya tak bersifat
eksternal dalam event melainkan sesuatu yang internal dan diberikan
bersamaan dengan event itu; pribadi Yesus yang sama tak
membutuhkan kesaksian lain kecuali dari Bapa. Itu artinya obyek
pencarian utama adalah misteri Allah dalam dinamika dan logika
otorevelasinya. Event ini diberikan agar supaya manusia mengenal
misteri Allah bertolak dari kenosis Allah yang dalam misteri inkarnasi
mengambil kategori historisitas dan melalui kepengantaraan
komunitas para murid segala sesuatu yang Guru ajarkan dan lakukan
bisa terpelihara dan bisa dikomunikasikan agar generasi yang akan
datang bisa bertemu dengan Tuhan.
Menyangkut dimensi historisitas dari revelasi harus dikatakan
bahwa ia tak sama dengan suatu reduksi kepada horison historis
belaka sebagaimana yang terjadi dalam pencarian arkeologis terhadap
51

fakta buruk. Mengatakan ‚historisitas’ sesungguhnya berarti


menegaskan suatu pencapaian kesadaran historis tentang Yesus yang
telah berbicara dan mengungkapkan tentang dirinya sendiri. Ini
artinya mencari untuk memahami sejauh Yesus telah merevelasikan
misinya, perannya yang telah Ia laksanakan, kesan-kesan dan
dterminasi-deteminasi yang telah Ia tinggalkan bagi orang-orang
sezamannya, terutama keputusannya di hadapan kematiannya sendiri.
Merefleksikan tema ini berarti bergumul dengan historitas
seserorang sembari memahami bahwa historisitas ini dihadapkaan
dengan sebuah event yang memiliki seluruh karakteristik yang bisa
dipandang sebagai sebuah unicum, yang direalisasikan dalam sejarah
sekali untuk segala dan yang bisa diverifikasi berdasarkan sejarah
yang sama. Dalam terang unicitas dan singularitas yang
dimanifestasikan oleh pribadi bersangkutan dan yang tak bisa
direduksikan kepada sebuah forma super-eksaltasi (pujian selangit)
tentang subyek tunggal, didasarkan juga pada konsiderasi sekitar
finalisasi semua sejarah; Ia mengatasi horison historis sebab Ia
sanggup untuk merangkum horizon dalam globalitasnya dan
mengorientasikan sejarah agar mengatasi dimensi kontingens
imanent. Historisitas mengandung dalam dirinya pemahaman ttg
bagaiamana event ini tiba juga kepada kita: ditransmisikan dan
diantarai oleh pribadi-pribadi beriman yang menghendaki agar inti
beritanya bisa menjangkau seluruh dunia hingga menjadi suatu berita
universal.
Dari segi metodologis, dalam hal ini perlu adanya berbagai
metodologi eksegetis yang bisa menyumbangkan elemen-elemen
penting supaya elaborasi teologis setia pada makna asli spt
diinginkann oleh penulis. Di harapkan adanya berbagai analisa
linguistik tentang Kitab Suci, Patrologi, Tradisi dan Magisterium
52

untuk menjelaskan relasi antara formulasi, konteks historis kultural


dan makna paling mendalam dari kebenaran yang mau
dikomunikasikan.
Historigrafi dgn arkeologi dan berbagai ilmu hermeneutik harus
membuat penelitian supaya melalui kesaksian-kesaksian ekstern, bisa
direkonstruksi secara lebih obyektif data yang diberikan oleh berbagai
narasi yang telah ditentukan oleh tujuan-tujuan yang lebih teologis.
Singkatnya metodologi dibutuhkan untuk mempertegas prinsip
intelegensi iman.
Sebuah metodologi yang benar, tidak bisa berhenti
memperhatikan isi saja tapi harus lanjut mengelompokkan dan
mengaplikasikan aturan-aturan metodo-logis yang perlu jua untuk
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian. Metode karena itu
ditentukan jua oleh titik tuju baginya isi penelitian dialamatkan.
Teologi fundamental memiliki dua arah: ia terarah kepada
orang beriman dan terarah kepada „orang lain.“46 Bila teologi
fundamental diarahkan kepada orang beriman maka ia harus
memberikan ‚alasan-alasan’ mengapa berimana; dan bila teologi
fundamental diarahkan kepada „orang lain“ maka ia harus mem-
berikan motif-motif yang membuat ‚orang lain’ mempertimbangkan
tantangan yang berasal dari iman.
Jua Dalam horison metode, dalam terang titik tuju ini
diproyeksikan lingkungan dan instrument bagi aplikasi yang berbeda-
beda. Kaum beriman dalam terang iman harus dimampukan untuk
menyelidiki isi iman dengan kapasitas razional kritis yang datang
terutama dari aktus percaya.
Bagi ‚orang lain’ sebaliknya harus dijelaskan bahwa dalam
struktur ontologis dari subyek ‚percaya’ merupakan komponen
46
H. FREIS, Teologia Fondamentale, in Sacramentum Mundi VIII, 762-763
53

menentukan demi realisasi diri; atau dalam percaya diperkenalkan


suatu seri ‚alasan’ atau ‚tumpukan probabilitas’ yang bisa membuat
hidup ini menjadi sungguh manusiawi.

2.2.2. Metode integrasi dinamis


Sejarah aktual mengenal macam-macam metode usulan para
pemikir: metode immanensi dalam tulisan M. Blondel, metode
transendental dalam proyek K. Rahner, metode psikologis dalam
usaha H. Newman atau metode korelasi menurut anjuran Paul Tillich.
Semua metode ini punya makna dan saling melengkapi dalam
literatur apologetis tentang revelasi.
Mengabsolutkan satu metodologi saja bisa menimbulkan
fragmentasi serius juga bisa menghapuskan hasil-hasil yang telah
dicapai. Kiranya adalah urgen menunjukkan jalan tepat supaya
Fundamental sebagai disiplin teologis singular yang diperluas ke dlm
suatu bacaan apologetis, bisa mencapai metodenya sendiri yang tak
mengabsolutkan suatu metodologi saja, tahu menyatukan berbagai
metodologi dalam suatu visi yang lebih homogen dan koheren dalam
kekhususannya.
Metode integrasi dinamis bisa ditampilkan sebagai suatu
posibilitas dalam solusi. Dengan metode integrasi dinamis
Fundamental sanggup mengangkat ke dalam misteri, event historis
revelasi yang diwartakan oleh komunitas.
Integrasi dinamis dalam misteri tidak menghina event historis
sejauh misteri (biarpun dalam terang dari suatu aktus kenotik) itu bisa
dikenal dalam ekspresi historis dan misteri itu tidak bisa terpisah dari
struktur historis jika ia mengarahkan diri kepada manusia sebagai
subyek yang menerima dan mengerti.
54

Dengan metode integrasi dinamis dalam bacaan teologis kita


bisa memiliki suatu visi global tentang fenomen yang menjamin
tuntutan untuk menyelamatkan transendensi Allah, razionalitas dan
libertas subyek. Dengan metode integrasi tujuan – kepada siapa
misteri dikomunikasikan (kaum beriman dan ‘orang lain’), bisa
dihormati. Kaum beriman harus sanggup untuk memberikan alasan
tepat tentang imannya kepada siapa saja: kepada setiap orang dan
kepada semua. Itu berarti Fundamental harus menemukan dirinya
dalam kondisi siap mengevaluasi subyek individual historis pada
masanya. Untuk itu adalah perlu menemukan analisis yang tahu
menjembatani makna original misteri yg direvelasikan tetapi atas cara
sedemikian sehingga bisa mempengaruhi setiap orang sehingga
misteri yang direvelasikan menemukan tempatnya dalam sejarah
personal.47
Situasi ini, dari satu sisi mewajibkan Fundamental untuk selalu
berhati-hati, di pihak lain mendorong Fundamental untuk menjadi
provokator pertanyaan supaya setiap orang menemukan kerinduan
akan Allah dan intelengensi akan misterinya.....CREDO UT
INTELLEGAM, INTELLEGO UT CREDAM

47
E. SCHILLEBEECKX, Intelligenza della fede, Roma 1972, 117-143.
55

III
THE POINT OF DEPARTURE OF
FUNDAMENTAL THEOLOGY

(EDWIN DINIZ)
(Pertemuan 5, 6)

The course of fundamental theology is still subject to


morphological changes and the various endeavours in the course of
the history of theology show, that this course still remains to be
defined, if it is to be defined at all. Attempts have been made in this
brief reflection to give a short historical glimpse on the subject and
then to decipher its identity in the context of theological studies.
Finally, without entering the field of the scope or aim of fundamental
theology, attention has been concentrated on the point of departure in
the study of fundamental theology.

3.1. Historical Glimpse


56

The expression «fundamental theology» can lead one to think


in different directions48 with various meanings, but it has certainly
nothing to do with «fundamentalism».49
The fundamental theology is engaged in giving a justification
for the faith in front of human reason and in the course of the history
of the Church, this process and movement of giving a justification
have continued up to this day.50
The Christianity, up to Constantine era,51 was engaged in
explaining the real sense of the Christian faith, in its encounter with
the «philosophical theology» of Hellenistic thought, specially that of
neo-platonism. This philosophy had invaded all the spheres of life,
including that of religious beliefs, and consequently it came in con
flict with the existing religions of the time. Such a philosophy was of
great profit to the newly bom Christianity, in its con flict with the
acknowledged state religions, because it could employ the categories
of this philosophy to prove the truth of its faith in relation to other
religions, which did not possess the truth (de vera religione).52 There
48
There are sufficient indications of literature in this field, given by M a x S e c k l e r ,
Fundamentaltheologie: Aufgaben und Aufbau, Begriff und Namen. in «Handbuch der
Fundamentaltheologie» Bd. IV, pg. 513-514. See also Pie’ i N i n o t , Tratado de Teologia
Fundamental. ‘Dar razon de la esperanza’ (I. Pe. 3, 13), Salamanca, 1989, pg. 26-54.
49
Regarding this argument of «fundamentalism» Cfr. K l a u s K ie n z l e r , Der neue
Fundamentalismus, Duesseldorf, 1 9 9 0 ; W o l f g a n g R e in e r t , Katholischer
Fundamentalismus, Regensburg, 1 9 9 1 ; C h r is t ia n J a e g g i and D a v id J . K r i e g e r ,
Fundamentalismus. Ein Phaenomen der Gegenwart, Zuerich, 1 9 9 1 . The fundamental
difference between «fundamental theology» or «apologetics» and «fundamentalism» lies in this:
«Fundamentalism» as a rule, does not go beyond the boundaries of what is obligatory within its
own group; the Christian fundamental theology or the apologetics is supposed to give justification
for the faith within the framework of reason, which, in principle, is at the disposal of all men.
50
Regarding this history of the fundamental theology cfr. K. W e r n e r , Geschichte der
apologetischen und polemischen Literatur der christlichen Theologie, Osnabrueck, 1966; A. D u l
l e s, A History o f Apologetics, London, 1971; A. M a n a r a n c h e , Les raisons de l'esperance.
Theologie fondamentale, Paris, 1979, pg. 15-75; G. R u c g ie r i (ed. ), Enciclopedia di teologia
fondamentale, vol. I, Genova, 1987. S. P ie ’ i N in o t , Tratado di teologia fundamental,
Salamanca, 1989.
51
Regarding this period of the history of the Church in relation to Christian apologetics,
cfr. L. W. B e r n a r d , Apologetik. I, Alte Kirche, in «TRE» vol. Ill, pg. 394-398. 408-411.
52
The very fact that one begins to speak of a true religion (de vera religione), shows
clearly, that there is an atmosphere of tension or conflict in relation to other religions, which are
presumably not true. Christian faith is presenting itself in the society of this period in a spirit of
competition.
57

was no clear methodological distinction between philosophy and


theology and as a result, there was the danger of philosophy getting
absorbed by theology, as soon as the social or political conflict ended
up in favour of the monopoly of one or other religion.
A real confrontation between theology and philosophy
or«profane reason» takes place in the middle ages, especially with the
translation of the works of Aristotle, from the part of Jewish and
Islamic thinkers. At this point of the history a particular mention is to
be made of Anselm of Canterbury and of Thomas Aquinas, both of
whom tried to promote a systematic justification of faith in front of
the human reason.
Not only philosophical but historical categories too were of
help to proclaim the message of Christianity; right from the beginning
the evangelist Luke and in the early period of Chritianity, Saint
Augustine with his «City of God», made attempts to give a
justification of Christian faith in an historicalway. Towards the end of
middle ages there was a new consciousness of these historical
dimensions, in relation to the reality and teachings of Jesus Christ in
the histoiy and in the Church; this context of the new historical
approach in the field of theological research, gave rise to the question
of «historical Jesus», having its consequences also in the field of the
fundamental theology.
With the arrival of illuminism the confrontation between
theology and new historiography became strong and the division of
the Church in the West aroused the question of the «true Church»; in
this context of uncertainty the apologetics developed itself as an
independent treatise, having also certain consequences in the field of
ecumenism.53
53
F. J. N ie m a n n , Jesus als Glaubensgrund in der Fundamental- théologie der
Neuzeit, Insbruck, 1983; G. H e in z , Divinam christianae religionis originen probare, Mainz,
58

Johann Sebastian von Drey, the founder of the Catholic School


of Tueringen, with his pioneer work: Apologetik54 opened a new, well
founded way of Catholic fundamental theology. Then we find
Johannes Nepomuk Ehrlich, the author of the first work, which has
the title: Fundamental-Theologie (1859- 1862).55 The neo-scholastic
thought continued to condition increasingly the uniform structure of
the Catholic apologetics or fundamental theology 56 till the ecumenical
Council, Vatican II. This neo-scholastic thought exposed theoretically
the concept of the Christian revelation, considered as «depositum» of
teachings, which was to be faithfully guarded and correctly
interpreted under the authority of the Magisterium of the Church.
Since the «supernatural revelation» could not be reached, in principle,
by human reason, it had to be communicated only by «extrinsic
means» (M. Blondel), especially by way of miracles and by
realisation of the prophecies, both as external signs of this
«supernatural revelation». The ecumenical council, Vatican II,
showed the insufficiency of this method but at the same time it left
this field of theological research open.57
According to scholastic or neo-scholastic form of thinking, the
revelation was essentially the «depositum» of divine teaching, which

1984; I d ., Fundamentaltheologie in 18. Jahrhundert? Im plikationen eines theologischen


Methodenwandels, in «ThQ» 165 (1985) 281- 294. In this regard particular attention is to be paid
to the pioneer works: H u g e n o t t e n P h il ip p e D u p l e s is- M o r n a y , Traité de l’Eglise,
1578; I d ., De la vérité de la religion chrétienne, 1 5 7 1 ; P ie r r e C h a r r o n , Le trois vérités
contre les athées, idolâtres, juifs, mahumetans, heretiques et schismatiques, 1593.
54
J o h a n n S e b a s t ia n v o n D r e y , Die Aplogetik als wissenschaftliche
Nachweisung der Goettlichkeit des Christentums in seiner Erscheinung, 3 Bde., Mainz, 1844-
1847
55
8 J o h a n n e s N e p o m u k E h r l ic h , I Theil der Fundamental-Theologie, Prag,
1859. II Theil der Fundamental-Theologie, Prag 1862.
56
Most of the theologians of the first half of this century consider Apologetics and
Fundamental Theology essentially identical. Cfr. J. S c h m it z , Die Fundamentaltheologie im
20. Jahrhundert, in «Bilanz der Theologie im 20. Jahrhundert. Prospektiven, Stroemungen,
Motive in der christlichen und nichtchristlichen Welt», Bd. II (ed. H. V o r g r im l e r - R. van der
G u c h t) Freiburg, pg. 197-245.
57
Cfr. J. R a t z i n g e r , Kommentar zu ‘Dei Verbum’, in «LThK, Ergaenzungsband,
Vat. II/2,» Freiburg, 1967, 497-528.
59

has been entrusted by Christ to the Church for our instruction and
salvation. The mission of the Church is to preserve, to hand over
faithfully and to defend this «depositum» against all forms of
distortion, rather than to incarnate this «depositum» according to the
needs of times.58
Since the field of this theological research has been left open
by Vatican II, many attempts have been made to identify this subject
of the «fundamental theology» and to propose new methods to be
followed.59 One can take into consideration the two main indications
given by the Vatican II for the future theology:
- God speaks to men as to friends in His overflowing love and
invites them to have communion with Him. (Dei Verbum, 2)
- Accordingly the Church has the obligation to study the signs
of time and to interpret them in the light of the Gospel (Gaudium et
Spes 4).
In this context of the affirmations of the Council one can note
clearly the importance of the theory of communication and of the
process of hermeneutics in all the efforts of research in the
fundamental theology. The new horizon of hermeneutics in the field
of theology saw many attempts with the aim of reviving the
fundamental theology, particularly under the influence of Hans-Georg
Gadamer.60

58
Regarding the differences on this point between the «Dei Filius» of Vatican I and the
«Dei Verbum» of Vatican II, cfr. H. V e r w e y e n , Gottes letztes Wort, Duesseldorf, 1991, pg.
358-367.
59
For detailed information on the mater, cfr. C. R u g g ie r i (ed.), Enciclopedia di
teologia fondamentale, vol. I, pg. XV-XXXVI. See also S. Pi£ I N in o t , op. cit., pg. 407-412.
60
H a n s - G e o r g G a d a m e r , Wahrheit und Methode, Tuebingen, 1960. Regarding
the hermeneutical aspects, cfr. also E u g e n B i s e r , Glaubensverstaendnis, Freiburg, 1975; D a
v id T r a c y , Blessed Rage for Order. The New Pluralism in Theology, New York, 1975; I d ,
The Analogical Imagination. Christian Theology and the Culture o f Pluralism, London, 1981; I
d, Plurality and Am biguity. H erm eneutics, Religion, Hope, San Francisco, 1987; F.S. F io r e n z
a , Foundational Theology. Jesus and the Church, New York, 1984.
60

A fundamental theology formulated in terms of hermeneutics


distinguishes itself from the traditional process, by insisting with
particular intensity on the understanding of the relation between the
subject and the «forum» before which the faith is to be justified. The
hermeneutical thinking takes into consideration the historically
conditioned situation of the «forum», before which the justification is
done. Such a hermeneutical thinking shows, that the consciousness of
faith has been handed over, not only through the «tradition» of the
Church but also through the categories of the understanding of a
given time, so that this «tradition» received acceptance in faith and
then was justified scientifically. In the background of this general
hermeneutical atmosphere, the «antipodes» of Hans-Georg Gadamer
and Juergen Habermas had a great role to play, especially when we
consider the Christian revelation in terms of language and
comunication in a well determined moment of the history. This way
of considering the revelation implied a rethinking of the categories of
thought, needed for a free communication.61
In these endeavours in the field of theology special mention is
to be made of K. Rahner, who contributed profoundly for the renewal
of the fundamental theology and his proposals received a general
acknowledgment.62 Karl Rahner saw the necessity of doing an
introductory course at the beginning of the study of Catholic
theology, in order to find a harmony between the fundamental
theology and dogmatics.63 Another figure to be mentioned in this
61
Regarding this field of communication in relation to fundamental theology, cfr. among
others: J. B. M e t z , Glaube in Geschichte und Gesellschaft. Studien zu einer praktischen
Fundamentaltheologie, Mainz, 1984; H e l m u t P e u k e r t , Wissenschaftstheorie
Handlungstheorie-Fundamentale Theologie, Frankfurt, 1978.
62
This movement of renewal led to the introduction of a «Theologischer Grundkurs» in
Germany for those who wanted to study the catholic theology.
63
K . R a h n e r , Grundkurs des Glaubens. Einfuehrung in den Begriff des
Christentums, Freiburg, 1976. A very interesting work in this field is that of W il f r ie d J o e s t
in the Protestant theology, and it can be used even by Catholic theologians with great profit:
Fundamentaltheologie. Theologische Grundlagen und Methodenprobleme, Stuttgart, 1974.
61

context is Peter Knauer, who brought to light a book on fundamental


theology,64 which takes into consideration systematically and
didactically, for the first time, the indications of Vatican II. The line
of thought of K. Rahner and P. Knauer began to put in doubt the neo-
scholastic and preconciliar method of presenting the course of
fundamental theology.65
In spite of all the attempts made to revise the course of
fundamental theology, from the point of view of method and contents,
one cannot forget completely the classical structure of the same. 66
According to the method, one follows in the study of fundamental
theology, one may presuppose or not the act of faith or religion. 67
Heinrich Fries follows the traditional «German» structure in his
dealing of the fundamental theology, but the central thought of the
first part of his work is the orientation of man towards a revelation,
which takes place in the history.68
64
P e t e r K n a u e r , Der Glaube kommt vom Hoeren. Oekumenische
Fudamentaltheologie, Wien, 1978.
65
The neo-scholastic method has left deep marks in the history of theology and even
those authors, who have written after Vatican II, find it difficult (and with reason) to forget
completely the neo-scholastic procedure in presenting the fundamental theology; e.g A l b e r t L
a n g , Fundamentaltheologie. Bd. I: Die Sendung Christi; Bd. II: Der Auftrag der Kirche,
Muenchen, 1967-1968. It is a revised edition of the work published already in 1953- 1954. A n t o
n K o l p in g , Bd. Theorie der Glaubwuerdigkeitserkenntnis der Offenbarung; Bd. Die konkret-
geschichtliche Offenbarung Gottes; Bd. I ll/1 : Die katholische Kirche als die Sachverhalterin der
Offenbarung Gottes, Muenster, 1968; 1974; 1981.
66
Among others who made such attempts we find: F. S c iiu e s s l e r F io r e n z a ,
Foundational Theology. Jesus and the Church, New York, 1984; R in o F is ic h e l l a , La
rivelazione: evento e credibilità - Saggio di teologia fondamentale, Bologna, 1985; Id., Gesù
Rivelatore. Teologia Fondamentale, Casale Monferrato, 1988; R . L a t o u r e l l e and G. O ’C o
l l in s (ed), Problemi e Prospettive di teologia fondamentale, Brescia, 1980; W . K e r n , H. J. P
o r t m e y e r , M. S e c k l e r (Ed.), Handbuch der Fundamentaltheologie, Bde. 1-4, 1985-1988;
H. F r ie s , Fundamentaltheologie, Wien, 1985; H. W a l d e n f e l s, Kontextuelle
Fundamentaltheologie, Paderborn, 1985.
67
Traditionally there were two ways of procedure in the study of the fundamental
theology; «German» and «Roman»; the former followed the process: demonstration religiosa,
demonstratio Christiana and demonstratio catholica, whereas the latter followed also the same
process but did not consider the philosophical-religious questions as belonging to the fundamental
theology. Cfr. A. L a n g , Wesen und Wahrheit der Religion, Muenchen, 1957. But W a l t e r K e
r n and others (ed), Handbuch der Fundamental-theologie, I-IV, Herder, 1985-1988, considers all
the four traditional treatises.
68
Heinric Fries , Fundamentaltheologie, Wien, 1985. The author takes into consideration
the ideas of N e w m a n , M a u r ic e B l o n d e l and K. R a h n e r , when he speaks of man as
open to revelation in the history. The structure of his fundamental theology is similar to that of
S a l v a d o r P ié i N in o t , op. cit.. This author gives an exhaustive presentation of the research
62

In front of such a variety of thoughts on fundamental theology


one has to, first of all, define the boundaries of the same,
distinguishing it from the other branches of theology and in this
context the question arises, viz. to establish the identity of the
fundamental theology.

3.2. Identity
Attempts can be made to limit the boundaries of the
fundamental theology in order to be able to identify it and proceed in
its progressive analysis.69 The Sacred Congregation for Catholic
Education published a document in 1976 on the theological formation
of the future priests and gave important indications for the study of
fundamental theology.70 According to this document of the
Congregation for Catholic Education, the fundamental theology is the
basis of rational process in the study of all the theological treatises
and its object of study are the fact of the Christian revelation and the
transmis sion of the same in the Church.71 If one examines closely this
document of the Sacred Congregation, one can see, that it as signs
many fields of work to the fundamental theology72 with various

done in this field of fundamental theology, in the first part of his book.
Regarding the identity of the fundamental theology, its structure and scope, its concept
and names, see, among others: M a x S e c k l e r , Fundamentaltheologie: Aufgaben. Aufbau.
Begriff und Namen, in «HFTh» Bd. 4, pg. 451-514.
69
In reference to the attempts, made to determine the identity of the fundamental
theology, cfr. among others: R e n é L a t o u r e l l e and G e r a r d O ’ C o l l in s (ed.), Problemi
e prospettive di teología fondamentale, Brescia, 1982. The theme in question has been dealt with
in the first part of the book.
70
La formazione teológica dei futuri sacerdoti, in «Enchridion Vaticanum» 5 (1974-
1976) N um bersl882-1882, Edizione Dehoniane, Bologna, 1979.
71
«Tutte le materie teologiche suppongono come base del proprio procedimento
razionale la teologia fondamentale, che ha per oggetto il fatto della rivelazione cristiana e la sua
trasmissione nella chiesa... « La formazione teologica dei futuri sacerdoti, in «Enchridion
Vaticanum», No. 1882
72
Among the various fields of work, which have to be touched by the fundamental
theology, the document makes reference to: theology of dialogue, theology of dialogue with the
historical religions (Hinduism, Buddhism, Islam), with different forms of modem atheism
(specially Marx, Freud and Nietzsche), with concrete forms of religious indifference in the
secularised society, with the needs of the faithful themselves. Cfr. No. 1884. This implies, from
the part of the fundamental theology, a vast field of information and knowledge, e. g. in relation
63

responsibilities, if it wants to remain faithful to its mission in this


world of pluralistic society. The task is ar duous and the field of
action is vast and complex and the danger of losing the identity is
always present. But a catholic theologian, in this variety of fields of
the fundamental theology, can challenge and remain open to any
dialogue, when he himself possesses the conviction of his position,
that the Logos, the Word, in whom he believes, remains
communicable to all, without any boundaries, and at the same time,
valid with its character of definitiveness.
According to this document of the Sacred Congregation the
specific aim of the fundamental theology consists in showing to all
men, believers and non-believers, rationally and linguistically, that
the mystery of Jesus Christ, present in the Church, illumines, realises
and brings to fulfilment the human existence, surpassing it in
perfection and salvation, due to its relation with God. 73 As one can
observe, the atten tion is concentrated upon the mystery of Christ, as
it is pre sent and effective in the Church. The «demonstratio christia-
na» and «demonstration catholica» of the classical treatise are
considered together in an interwoven manner. Moreover this mystery
of Christ is seen by the document as an answer to the existential
structure of man.
The document endeavours to preserve the continuity with the
classical themes of the fundamental theology but at the same time it
surpasses the scholastic or neo-scholastic structure of the same. But
the identification of this course remains still a complicated task and

to history, language, other religions, forms of philosophy and knowledge, concrete conditions of
man. Cfr. No. 1885.
73
«Il suo (della teologia fondamentale) compito specifico resta quello di manifestare
razionalmente, con un discorso valido per i credenti e per i non credenti, come il mistero di
Cristo, presente nella chiesa, non solo illumina ma attua e completa l’esistenza umana,
superandola nel rapporto perfettivo e salvifico con Dio. « No. 1885.
64

the opinions are not always converging.74 In this research of the


fundamental theology, one of the main points of reference remains
the words of the first letter of St. Peter:
«Alw ays be prepared to m ake defence to any one w ho calls
you to account for the hope that is in you ... « (I. Peter, 3, 15).75
The Greek text speaks of individual questioning (τωάιτουντι
ύμας) in a situation of persecution, in which such a questioning was
something normal; the words of the letter imply, that it is not so much
the defence of the faith in question, but rather it is a conscious
justification of the Christian hope, which in its turn implies the
profession of faith, with clear and definite contents. 76 The term
άτολογια in the letter of St. Peter has the meaning of faithfulness in
ones faith as Christian and in this way one distinguishes oneself
specifically from all other men by defending rationally the Logos of
the hope. Moreover it is not to be forgotten, that the words of the
letter of St. Peter are directed to all the Christians, who are not
supposed to be necessarily equipped with theological cate gories.
Consequently one can deduce, that the words of the letter are dealing
with the essential contents of the Christian hope or religion, for which
a disciple of Christ is ready to sa crifice everything; this behaviour of

74
Cfr. among others: M a x S e c k l e r , Fundamentaltheologie. Aufgaben und Aufbau,
Begriff und Namen, in «HFTh» IV, pg. 450-514. The author explains also the various
denominations of this subject: «Apologie», «Apologetik», «Fundamentaltheologie»,
«Fundamentale Theologie». S c h u e s s l e r F io r e n z a , Foundational Theology, pg. 247-321.
J e a n - P ie r r e T o r r e l , Nuove correnti di teologia fondamentale nel periodo postconciliare,
in «Problemi e prospettive di teologia fondamentale», ed. by R e n e L a t o u r e l l e - G e r a l d
O ’C o l - l in s , pg-23-35.
75
The word «hope» (έλπίδος) has the general meaning of Christian religion or Christian
faith and consequently it could be translated with «faith».
76
This justification or baptismal confession of faith gradually, in the course of the history
of theology, changed into a «profession», implying a defence of a collection of so many
propositions of faith. The «Dei verbum» of Vatican II gives a clear word on this, affirming in the
first chapter, that God, not only reveals truths, but above all reveals Himself. The believer not
only gives his assent with intellect and will, but he replies to this revelation with his self-
commitment in the salvific plan of God.
65

a Christian in the form άτολογια has the force of conviction and


renders it contagious.
The general point of identity of the fundamental theology lies
in the «Logos» justification of the Christian existence from the point
of view of fundamental sense of this existence; and such a
justification is done according to the rules valid in a theological
discipline, which follows these rules in the context of the knowledge
of faith.77 Further the identity of the fundamental theology is to be
seen in the cognitive quest, with the consequent rational
reconstruction of the truth, cons tituting the Christian existence; this
process is followed in order to justify critically the certainty of the
conscience, arising from the faith; this is done on the level of the
knowledge certainty in terms of scientific faith.78
The «forum» where the justification of the Logos of the
Christian faith is to be made, is conditioned by the circumstances, in
which a Christian finds himself. This «forum» is to be sought and
established every time anew, independently of the various historical
«forum»: persecution, juridical situation, ghetto-mentality profane
mentality, etc.. Whatever the nature of the «forum» of justification is,
the fundamental theology, in the light of faith, has to hold firmly, that
only a «conversion» of man can set in movement the dialectic
process, which leads to the freedom of the Logos in the reason and
keeps it open to receive the ultimate self-revelation of God. And since
a «conversion» is necessary to set in movement the dialectic process,
no «philosophic du jour» has better chances than the «philosophia
perennis», in relation to the «logos» ready to dispose itself to the
Word of God.

77
M a x S e c k l e r , op. cit., p g . 4 6 9
78
Ibid., , p g . 4 7 0
66

This necessary, hermeneutical, dialectical process, which


paradoxically liberates the true «logos», is already in move ment
independently from the contribution of man, because the effects of
the history of Jesus Christ, i.e. «factum christianum», are already at
work in the hearts of men.
The discovery of the true Logos is rendered still more difficult,
because even in the Christian tradition the image of the true Logos
has been manipulated and clouded, especially from the point of view
of the empirical situation of the language, by means of which this
Logos is expressed. In this empirical-language situation the ultimate
Word of God, Jesus Christ, remains open, from the point of view of
the empirical aspect, but remains final dogmatically, and as such it is
to be justified in front of human reason, which has to accept it in full
freedom. The character of definitiveness of the Logos in the
fundamental theology is not a hindrance on the way of a pluralistic
dialogue, in an atmosphere of an hermeneutical discourse; but in this
hermeneutical context it is necessary to possess a clear orientation
amidst the unavoidable relativity of the hermeneutical understanding.
It is, however, indispensable to establish the ultimate, valid criteria,
which the human thinking should have in its research of any historical
truth, in order to be able to speak of the ultimate Word of God in the
history, rationally and in a justifying manner.
As it can be observed, the realm of rationality plays an
important role in the procedure of thinking in the study of
fundamental theology, but this rationality is always at the service of
the data of revelation, without losing however its autonomy.
Employing the reason in this sense, the fundamental theology
becomes a kind of bridge between what is human and divine, natural
and supernatural, visible and invisible. Every theological research
67

therefore, should remain faithful to this orientation of the fundamental


theology, as long as theology remains a science, studied and
developed by human beings, gifted with reason.
The fundamental theology can be considered that part of the
systematic theology, which takes into consideration the fundamental
or essential truths of the Christian faith and endeavours to
communicate them with arguments to men in a given situation. In this
sense the identity of the fundamental theology remains clear and at
the same time problematic, because it is a theological discipline apart
and at the same time, its presence is felt throughout the reflective
process of the sys tematic theology.79 This fundamental theology with
its real but mobile identity has a very concrete point of departure,
which gives a correct orientation to the development of the same.

3.3. The Point of Depature


The fundamental theology with its identity has the mission of
justifying the Logos of Christian hope in the context of human reason.
To define the boundaries of such a justification is a very arduous task
due to the hermeneutical process on different levels of knowledge and
of the communication of the same. However difficult this task may
be, the point of departure of such a justification remains the Logos of
the Christian hope; this excludes, as point of departure, any profane,
pre-existing, philosophical or historical consensus. The process of
thinking in the fundamental theology cannot part from such a
consensus and thereafter proceed with its reflection on a mere
superior level, where the human reason is incapable of entering on its
own; moreover the fundamental theology cannot simply adjust the
79
Thproblem of the identitiye of te fundamental theology is discussed with objective
serenety by Max Seckler, op. cit., p g . 4 5 0 - 5 1 3 . The author examines the various possible
denominations, showing their greater or lesser relevance to the contents of the fundamental
theology.
68

Christian traditional faith to that pre-existing consensus, with the


intention of rendering it more approachable and comprehensible.
In order to find the right point of departure in the study of the
fundamental theology, one has to grasp the ultimate basis, the
sustaining foundation and the central message of Christianity and
formulate its real notion.80 After acquiring a clear and essential notion
of the message of Christianity, one has to situate its theological
contents anthropologically in the concrete context of human
existence.81
A clear notion of the essence of the Christian faith throws light
paradoxically on the real, autonomous structure of human reason and
a systematic research on the autonomy of this reason, in relation to its
openness to revelation, brings to light the liberating character of faith
in the realm of reason. The human reason liberated by faith comes to
a better understanding of its own structure, as having an orientation to
divine revelation; from this inter-relation between faith and reason
arise automatically the guidelines to present hermeneutically the
essence of Christian faith, found in the «tradition» of the Church.

a-The Tradition
The center of the Christian community was always the
Eucharistic celebration and for that reason it is to be taken seriously
in the context of the study of fundamental theology; but this
celebration is to be situated in that atmosphere of tradition, as it is
presented in the New Testament.82

80
Ma x S e c k l e r , Der Begriff der Offenbarung, in « H F T h » B d . 2 , p g . 7 5 .
81
Ibid., 77
82
The concept of tradition has been well studied, among others, by H. I. P o t t m e y e r ,
Normen, Kriterien und Strukturen der Ueberlieferung, in «HFTh» Bd. 4, pg. 124-152. The author
indicates sufficient literature on the theme.
69

The verb παραδίδόναί with its different meanings (hand over,


deliver, consign) can be considered in the New Testament context
from four points of view:
- When one hands over another man to violence. The handing
over of one man through another man. The example of such a
handing over or «tradition» we have in the betrayal of Jesus through
Judas (Mrk 3:19; Mat 10:4; Mat 26:46. There is, in this general
context, the handing over of a just man through the hands of another
man (Mk. 1,14; 6,14-29.)
- The second understanding of παραδίδόναί is that of handing
over of His own Son by God for us all (Rom. 4, 25; 8, 32)
- The third meaning of this παραδίδόναί is that of self-offering
of Himself by Christ «for us» (Eph. 5, 2) and «for the Church» (Eph.
5, 25) and «for me» (Gal. 2, 20).
- And the last meaning of the same is that of tradition or
handing over of something to another, i. e. of «factum Christianum».
All these four aspects of παραδίδόναί are present in the origins
of Christian «tradition» and the two oldest literary compositions of
the «last supper» confirm in a especial way the presence of these
aspects of «tradition».
In the passion history of Jesus Christ according to the Gospel
of Mark, the narration of the «last supper» is inseparably related to
the fact of the betrayal of Jesus Christ from the part of Judas (Mk. 3,
19: where we find the redactional deve lopment of the mentioning of
the Twelve). It is not so much the one who betrays, who is taken into
consideration, but rather the «one of the twelve», who belongs to the
group of the closest friends; the friend is betrayed, the just one is be
trayed (Mt. 14, 18-20; Ps. 41, 10). The handing over of the just one
through God Himself is seen in the background of the Old Testament
70

prophecies. The narration pays especial attention to the fact, that this
self-offering of Jesus Christ is clarified by means of relation to the
Old Testament prophecy of the Servant of God (Mt. 14, 24; Is, 53,
13) and this handing over of Jesus Christ, in the light of the Old
Testament, remains the central event of the «tradition».
In the narration of St. Paul the first two elements of
the«tradition» are interwoven and they refer to the concrete
situation;83 and all these three aspects are then intimately related to
the fourth one, i.e. «the tradition»: «For I have received from the Lord
what I also delivered to you, that the Lord Jesus on the night he was
betrayed took bread...» (I Cor. 11, 23). Paul has not in mind a simple
«handing over» of the original tradition, although he treats also of all
that had been handed over right from the beginning. The affirmation
of Paul: « I have received from the Lord...» alludes to Gal. 1, 11-12:
«..., that the gospel which was preached by me is not man’s gospel.
For I did not receive it from man, nor was I taught it, but it came
through a revelation of Jesus Christ.»
This «tradition» is to be understood in the background of an
experience of an event, which the Apostle calls the body of Christ,
present in the community, for which ‘this body’ has been handed
over. (I Cor. 11, 24). What St. Paul «hands over is not simply
tradition, but he hands over an experience of his own in the
community, where there is the «body of Christ», the presence of
Christ. In this sense St. Paul joins inseparably the christological and
ecclesial aspects in the concept of «tradition», just as it is in the

83
«... on the night when he was betrayed.» (I. Cor. 11,13) There i surely the aspect of
betrayal in this context, but in the context of Rom. 4,28, there is also the element of «being
handed over» of Jesus from the part of God. In this context of St. Paul the aspect of betrayal has a
particular character of actuality; it is not simply a reference to the past, it is rather an applicationof
the past event to the present situation.
71

«Body of Christ». Consequently the «tradition» includes all those


aspects in the christological andecclesial horizon.
The Eucharist therefore is the center of the living faith, when
its celebration is well situated in its sacramental-liturgical Sunday
event and in its context of «tradition», with all its meanings.
Considering the «tradition» with its four constitutive elements, as the
real unifying ground of the Christian revelation, one can contemplate
already the guidelines for the study of fundamental theology.
The fact of revelation, as a past event and as actual presence of
the ultimate Word of God, is to be considered indispensable in the
study of fundamental theology in the sense, that the access to this fact
or event of revelation can be found only within the boundaries of the
«tradition», understood in all its composing elements. The mystery of
Christ present and operating in the Church is approachable only in the
context of this «tradition», which explains «the handing over» of
Jesus Christ as the basis of the Church.84
The fundamental theology takes into consideration also the
perceptibility of the ultimate Word of God, because the simple
affirmation of the necessary religious dimension of man is not
sufficient to show, that man do really perceive this ultimate
revelation, taking place in the history. In the traditional structure of
the fundamental theology there was always the problem of finding a
link of the «demonstratio religiosa» with the treatises of the

84
From this point of view certain traditional positions are to be called in question. The
«demonstration Christiana» should not insist too much upon the question of «historical Jesus»,
without taking into consideration the specific character of the witness, given by the heralds of the
Word in the New Testament. Only after considering the different aspects of the «tradition», a «
justification» is to be made in front of the «historical reason». As regards «demonstratio
catholica» it is not sufficient to show simply the unbroken, formal continuity of a given church
community, with its structures, to trace back the original church, founded by Jesus Himself. The
authenticity and the authority of the Church are seen in its capacity to be transparent of the
«tradition» in any given situation of the Church. The authority should not be an obstacle on the
way of the transparency of the «tradition».
72

Revelation and Christology, including also the problem of their


communication, in the Church.

b. Final Revelation
Christianity or the Christian hope has its foundation in Jesus
Christ, who reveals himself to be the final or ultimate Word of God in
the history; God has revealed everything defi nitively in Him for the
salvation of mankind, according to the faith of the Christians, and the
fundamental theology has to justify this critically in front of the
historical and philosophical reason. But it would be imprudent from
the part of Christianity to affirm, that it is the only true religion,
excluding other religions from this right,85 because every great
religion claims to be, in fact, in its own way, the only true religion;
this attitude of possessing the truth can be extended to any ideology
or philosophy of life. Such a claim of possessing the unconditional
truth is unavoidable, at least implicitely, and consequently there is
always the real danger of living in an atmosphere of intolerance,
which can manifest itself in different forms in the society.
Since there is variety and multiplicity of position in rela tion to
the exclusive possession of truth, it is necessary to ha ve a point of
reference in this horizon of religious confessions and philosophies of
life. Such a point of reference is the explicit confession of an
historical event, caused by God Himself. Such a confession is found
only in Christianity and in Islam. Islam sees this event in the handing
over of a determined book, whereas Christianity finds this event in
the selfrevelation of God in a concrete man.

85
Cfr. in this respect, G u s t a v M e n s c h in g , Toleranz und Wahrheit in der Religion,
Heidelberg, 1955; H. W a l d e n f e l s , Das Christentum im Streit mit den Religionen um die
Wahrheit, in «HFTh», Bd. 2, pg. 241-265.
73

When such a confession in one historical event comes in


contact with the real ideological pluralism in the society, there is the
possibility of three forms of reaction: - to close oneself in fideism and
fundamentalism - to believe firmly in the definitive character of the
revelatory historical event, considering it at the same time, as
openness towards the pluralism on the level of the philosophies of life
- to make everything relative and consequently abolish fundamentally
the claim on the definitiveness.86
When the definitive character of the Christian revelation is
accepted, as the Christians do, then one has to admit, that the
fundamental theology has to bear constantly in mind this
«specificum» of the Logos of the Christian faith. At the same time the
fundamental theology has to remain faithful to its relation with the
historical and philosophical reason. It has to justify historically, that
an unique and unconditional Word of God is present in this world of
contingency, opening to man new horizons of life, according to the
salvific plan of God.

3.4. Conclusion
The point of departure in the study of fundamental theology is
of utmost importance, in order not to enter the labyrinth of opinions,
ideologies and philosophies. This point of departure is the historical
revelation of God in Jesus Christ, who is the Saviour of all men, ‘who
have access to the Father in the Holy Spirit and come to share in the
divine nature. Through this revelation, the invisible God out of the
abundance of His love speaks to men as friends and lives among
86
On the argument of relativism, c f r . among others: G . D ’C o s t a , Das Pluralismus-
Paradigma in der christlichen Sicht der Religionen, in «ThG» 30 (1987) 221-231; J. H ic k and P.
F. K n i t t e r (ed), The Myth o f Christian Uniqueness. Toward a Pluralistic Theology o f
Religions, New York, 1987; P. F. K n i t t e r , No Other Name? A Critical Survey o f Christian
Attitudes Toward the World Religions, London, 1985. These works show the way of thinking of
others and are useful for knowing the pluralism in the religious field too.
74

them, so that he may invite and take them into fellowship with
Himself.’ (Dei Verbum, 2) The revelation in Jesus Christ is to be
understood in the context of «tradition», because only in this context
there is the possibility of making the correct interpretation of the fact
of revelation. The fundamental theology has to bear constantly in
mind, that Jesus Christ is the definitive or final Word of God to
mankind; this definitiveness should lead the theology not to fall in
deism, fundamentalism or relativism but help it to remain open with
its identity, ready to enter into fruitful dialogue with all men of good
will, walking on the way of truth.
75

BAB IV

EKSISTENSI TEOLOGI FUNDAMENTAL


DI ZAMAN MODERN INI
(Pertemuan 7 dan 9)

Dari apologetika menuju ke teologi fundamental. Teologi


fundamental, tahap demi tahap berjalan menuju eksistensinya.
Teologi Fundamental mulai eksist dan mencapai klimaksnya dalam
promulgasi Dei Verbum. Teologi Fundamental sebagai ‘pendatang
baru’ coba mendalami hakekatnya, apa perannya dan tugasnya,
berdialog dengan partner-partner baru yang ada di seputarnya demi
perwujudan perannya secara tepat sasar dan benar. Semua ini
menemukan sebuah ekspresi konkrit dalam adopsi defenitif nama
“teologi fundamental” yang mana memaknai image dan identitasnya
yang baru.
Disebut 'fundamental' sejauh teologi ini menyediakan fondasi
melalui argumen-argumen filosofis dan historis. Ia adalah disiplin
tersendiri meliputi filsafat agama yang apologetik dan pembuktian
yang historis dan eksegetis.! Teologi fundamental lebih integral
terkait dengan disiplin teologis yang lain dan iman umat.
Teologi Fundamental mempelajari secara saksama misteri
revelasi. Teologi Fundamental memotivasi orang untuk beriman –
menjawab secara bebas panggilan Allah (revelasi); memotivasi
76

manusia untuk ada bagi yang lain dan menjembatani refleksi teoritis
teologi dan karya pastoral di lapangan kehidupan.

4.1. Mengembalikan keutuhan ajaran iman kristiani


Pengakuan akan eksistensi teologia fundamental bermula dari
Kons Vatikan II. Konstitusi Dei Verbum merupakan ‘magna charta’
bagi pembaharuan dan merupakan motor penggerak bagi suatu
evolusi teologis yang berkembang hingga dewasa ini. Dengan Konsili
Vatikan II, teologi menemukan kembali naturanya atau unitas ajaran
kristiani: Yesus Kristus, Sabda Allah, tujuan revelasi dan peran
Gereja Kristus di dunia ini.

4.1.1. Menemukan kembali pribadi Yesus Kristus


Periode Tridentin sampai dgn Vatikan II ditandai oleh kuatnya
evolusi eklesiosentris. Dokumen Pastor Aeternus dari Konsili
Vatikan I yang mempro-klamasikan secara dogmatis infalibilitas Paus
memahkotai movement eklesiologis ini. Ensiklik Mystici Corporis
dari Pius XII dengan segala unsur barunya untuk masa itu
menempatkan Gereja sebagai centrum dari refleksi teologis.87
Mengatakan bahwa Vatikan II menemukan kembali Yesus
Kristus berarti menyadari dan menegaskan globalitas pribadi Yesus
Kristus yang ada dalam identitasnya sebagai Revelator Bapa,
Revelasi defenitif dan Revelasi itu sendiri.
Mari kita coba mendalami sepintas Dei Verbum 4: Kristus
kepenuhan wahyu. Pada draft pertama dikatakan: Yesus Kristus
“membuktikan keilahianNya tidak saja dengan kata-kata, tetapi
menegaskan ilahiNya dengan kekudusanNya, mukjizat-mukjizat,
kenabian, dan terutama dengan kebangkitan muliaNya dari antara
87
Y. CONGAR, L’ecclésiologie de S. Augustin à l’époque moderne, Paris 1970, 413-458;
A. ANTON, El misterio de la Iglesia, Madrid 1987, 406-423.
77

orang mati.” Langkah yang sama direformulasikan dalam draft


defenitif: “Karena itu Yesus Kristus, dengan fakta kehadiran diriNya
sendiri dan dengan manifestasi diriNya sendiri, dengan kata-kata dan
dengan karya-karya, dengan tanda-tanda dan dengan mukjizat-
mukjizat dan terutama dengan wafat dan kebangkitanNya; dan
akhirnya dengan perutusan Roh kebenaran, menyelesaikan dan
menyempurnakan revelasi dan meneguhkan kesaksian ilahi.” Judul
awal nomer ini berbunyi: “Revelatio in Christo ultima et completa”
dan redaksi final memberi judul: “De Christo revelationis
consumatore”. Perubahan judul ini menunjukkan perubahan makna
teologis: revelasi bukan saja ada dalam Kristus tetapi bahwa Kristus
adalah Pewahyu sempurna itu sendiri.
Yesus Kristus dalam Dei Verbum bukanlah Yesus Kristus yang
dalam eksistensinya difragmentasikan dalam momen berbeda-beda
seakan-akan terpisah dari kehidupan trinitaris melainkan Yesus
Kristus yang dalam eksistensi historis-nya sadar tentang adaNya
sebagai utusan Bapa. Di sini Yesus Kristus memperca-yakan diri
secara bebas dalam ketaatan kepada BapaNya sebagai forma dari
eksistensiNya sendiri.88

4.1.2. Menemukan kembali Kitab Suci


Kata st Hironimus: ‘ignoran pada Kitab Suci adalah juga
ignoran terhadap Kristus.’ Konsili Vatikan II menemukan kembali
peran Kitab Suci sebagai ‘jiwa’ bagi refleksi intelektual tentang
misteri revelasi (DV 24). Refleksi teologis tak saja didasarkan pada
philosophia perennis tapi pencarian itu harus didasarkan pada dan

88
H. U. VON BALTHASAR, Teodrammatica III, L’uomo in Cristo, Milano 1983, 141-
242; ID, Teodrammatica IV, L’azione, Milano 1986, 303-392; ID, Teodrammatica V, L’ultimo
atto, Milano 1986, 211-316.
78

bertolak dari intellegensi Sabda Allah dan daripadanya diperoleh data


bagi Tradisi dan pikiran umat beriman.
“Penemuan kembali” unitas ajaran kristiani oleh Vatikan II,
menunjukkan adanya tapak-tapak baru melalui mana kita berjalan
hingga tiba pada suatu identitas baru dari teologi fundamental yang
berkaitan dengan tugas-tugasnya.
Dokumen la formazione teologica dei futuri sacerdoti- formasi
teologis bagi para calon imam (22 feb 1976) yang dikeluarkan oleh
Kongregasi Pendidikan Katolik menandai secara resmi masuknya
‘teologi fundamental’ ke dalam dokumen-dokumen Magisterium.
Untuk pertama kalinya teologi fundamental mendapatkan statusnya,
isi utamanya, pekuliaritasnya dan finalitasnya dalam seluruh
organigram disiplin teologis. Secara langsung dikatakan bahwa
teologi fundamental memiliki sebagai ‘propriumnya’ studi tentang
event revelasi dan transmisinya ke dalam Gereja. Karena itu teologi
fundamental diperkenalkan sebagai disiplin dasar yang menghantar
kepada disiplin teologis lain.89 Teologi fundamental memiliki dua
fungsi: dalam lingkungan eklesial ia berfungsi mena-rik orang kepada
pengakuan iman ; dan sebaliknya dalam horison yang lebih luas,
teologi fundamental dipandang sebagai ‘locus dialogicus’ dengan
agama-agama lain dan dengan forma yang berbeda-beda dari ateisme
spekulatif dan praktis.
Dokumen ini memperkenalkan draft pertama Teologi
Fundamental; yang tahap demi tahap disempurnakan supaya cocok
dengan isinya. Adalah perlu dicatat bahwa dokumen ini lahir 10 tahun

89
Teologi fundamental dipelajari sebagai disiplin introduktif kepada dogma dan bahkan
sebagai persiapan, refleksi dan pengembangan aktus iman, dalam konteks tuntutan akal budi dan
sebagai refleksi atas relasi antar iman, kultur-kultur dan agama-agama besar. Ini membantu kita
untuk berpikir tentang Fundamental karena menjadi dasar dan ‘pendahuluan’ bagi teologi atau
misteri Kristus.
79

kemudian dari Dei Verbum dan dari Optatam totius yang memang
berbeda judul tetapi berkaitan dengan disiplin kita.
Sebelum Vatikan II Teologi Skolastik mengidentikkan tout
court Teologi Fundamental dengan apologetika beserta metode
defensifnya. Tujuan pastoral yang digelar Yohanes XXIII dalam
konsili sungguh bertentangan dengan spirit teologi manualistik.
Kategori dialog Gereja-dunia, Gereja-ilmu pengetahuan mendapatkan
tempatnya dalam dokumen-dokumen resmi magisterium, hasil dari
suatu mentalitas baru yang semakin mempengaruhi bapa-bapa konisli.
Elemen-elemen ini memperlihatkan pada kita bahwa Vatikan
II biarpun telah dengan segala daya uapaya menempatkan kembali
sentralitas revelasi bagi teologi, tapi ia tak dapat menunjukkan secara
eksplisit maksud-maksudnya kepada Teologi Fundamental tanpa
salah pengertian. Kelalaian justru terdapat di dalam dilema itu, yang
boleh jadi menyatukan berbagai jenis teologi yakni memahami
pentingnya tema-tema utama dari apologetika tapi tak bisa menunjuk
secara langsung tentang apologi itu sendiri.
Beberapa contoh kiranya bisa menggambarkan secara jelas
situasi ini. Dokumen tentang liturgi, Sacrosantum concilium 9 secara
ekplisit menegaskan: «Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan
Gereja karena sebelum manusia dapat menghampiri Liturgi, perlulah
mereka dipanggil kepada iman dan tobat.» Adalah jelas di sini bahwa
kesadaran akan iman dan tugas evangelisasi harus menjadi elemen-
elemen dasar di atasnya bisa dibangun suatu aksi otentik liturgis. Dan
SC 16 mengatakan «dosen-dosen disiplin ilmiah lain terutama dosen
teologi dogmatik, Kitab Suci, teologi spiritual dan pastoral harus
mengulas misteri Kristus dan sejarah keselamatan.»
Contoh lain diambil dari dekrit Optatam totius tentang formasi
bagi para imam. Imam harus dididik supaya tahu mewartakan secara
80

sadar ‘Sabda Allah yg direvelasikan (OT 4); dan bahwa para


seminarist harus «belajar mengakarkan diri di dalam iman» (OT 8)
dan bahwa sedini mungkin dalam studi, mereka bisa memhami iman
sebagai «fundamen dan jiwa dari seluruh hidup mereka (OT 14).
Biarpun Kons Vat II menyebutkan secara eksplisit dalam OT 16
tentang berbagai disiplin ilmu teologis spt studi Kitab Suci, teologi
dogmatik, patrologi, Sejarah Gereja, teologi moral, Hukum Kanonik,
Liturgi, namun Konsili tak berhasil memasukkan baik teologi
fundamental maupun apologetika. Maksudnya «supaya para
smeinaris menimba ajaran katolik dari wahyu ilahi dengan cermat,
menja-jaginya secara mendalam, menjadikannya santapan kehidupan
rohaniahnya dan mampu mewartakan, menjelaskan dan
melindunginya dalam pelayanan imam.»

4.1.3. Menemukan kembali tujuan dari revelasi


Untuk waktu yang lama teologi fundamental melupakan tujuan
revelasi. Dalam kelupaan itu teologi fundamental hanya berfungsi
menunjukkan kesalahan dan menyerang orang lain.90 Oleh Vatikan II
teologi menemukan kembali tujuan revelasi. Subjek yang dituju
rivelasi dan objek ultim rivelasi adalah keselamatan manusia. Hal ini
diungkapkan secara sempurna dalam DV 1 bahwa rivelasi
dimaksudkan ‘supaya semua manusia bisa datang kepada Bapa dan
berpartisipasi dalam natura ilahinya.’ Ketaatan iman adalah jawab
tepat kepada rivelasi Allah.

4.1.4. Menemukan kembali Gereja ‘pelayan’ Sabda


Dalam horizon ini Gereja tidak lagi dilihat sebagai sentrum
melainkan sebagai mediasi dari Revelasi. Hidup sebuah komunitas
90
R. FISICHELLA, Teologia fondamentale: destinatario, dalam Dizionario di Teologia
Foondamentale, Assisi 1990, 1258-1263.
81

terikat erat dengan hidup Guru yang secara setia mewartakan


keselamatan. Dalam terang visi ini Gereja dipandang ‘sebagai tanda
dan sarana kesatuan intim dengan Allah dan kesatuan di antara umat
manusia’ (LG 1). Kristus ‘Lumen Gentium’ memancarkan cahayaNya
kepada Gereja supaya Gereja mewartakan Sabda ke seluruh dunia.
Gereja sebagai ‘tubuh mistik’ memberikan spasi luas kepada
ide yang lebih ekspresif yakni ‘misteri’ dan ‘umat Allah’. Gereja itu
‘suatu realitas kompleks.’Gereja sebagai ‘realitas kompleks’ meminta
pertobatan terus menerus. Gereja itu ‘kudus tetapi selalu butuh
purifikasi” (LG 8), Gereja juga butuh bantuan dari manusia dewasa
ini supaya ia mampu menunaikan tugas pewartaannya (GS 44)
kepada dunia modern secara lebih tepat sasar. Salah satu tugasnya
ialah menunaikan dengan gembira dialog dengan agama-agama lain
dan tak menolak apa yang benar dalam agama-agama lain (NA 2) dan
berusaha mewujudkan kesatuan dan karitas (NA 1).

4.2. Menjawab masalah-masalah eksistensial zaman modern


Revelasi sebagai satu kebenaran yang dikomunikasikan Allah
kepada manusia beriman masih diterima banyak orang kristen tetapi
juga tak kurang pertanyaan tentang revelasi

4.2.1. Masalah-masalah modern


Ada cukup banyak pertanyaan terhadap keabsahan revelasi.
Philosophical agnosticism, lingusitic analysis, modern epistemology,
empirical psychology, biblical criticism, the history of christian
doctrine and comparative religion91- semua bidang kritis ini
mempertanyakan dan meragukan validnya revelasi itu.
4.2.1.1. Modernitas

91
A. DULLES, Models of Revelation, Gill and Macmillan, New York 1983, 6-8.
82

Tak begitu mudah mendefenisikan konsep “modernitas”. Dari


satu sisi, konsepa ‘modernitas’ menunjukkan suatu event historis
yang dimulai dengan penemuan benua Amerika oleh Kristoforus
Columbus (1492) dan diikuti penemuan-penemuan besar oleh Galileo
dan Newton dan berpuncak pada revolusi Perancis 1789. Dari pihak
lain, modernitas itu adalah juga suatu forma pikiran, sebuah kultur
yang menjadi jiwa dari berbagai situasi hidup sosial dan personal
yang saling bertabrakan dalam aliran humanisme, renaisanse dan
yang menemui titik mulia dalam filsafat Descartes, Kant, Hegel dan
illuminisme pada umumnya yang bermuara pada visi Nietzche.
Semua dimensi ini tak saja menyentuh dimensi sosial dan kultural
tetapi juga mempengaruhi horison teologi.
Sejak abad XIX, kemajuan dunia sangat mengagumkan.
Kemajuan teknologis menjadi kriteria bagi modernitas. Modernitas
lahir sebagai suatu model berpikir, gaya hidup dan mentalitas yang
memiliki pekuliaritas tersendiri: hegemoni dari effesiensi yang mana
melemahkan unsur kualitas, supremasi struktur atas isi dan image atas
pikiran, promosi razionalitas dan aktivisme untuk mengenyahkan
refleksi dan meditasi, valorisasi dari konsensus publik sebagai kriteria
bagi kebenaran tuntutan dari suatu kebenaran obyektif.92
Modernitas, bisa dimaksudkan sebagai lanjutan dan kemajuan
yang dicapai karena suatu kesadaran kritis yang dicapai oleh jiwa
manusia dalam usaha membebaskan diri dari perhambaan masa lalu
dan membukakan diri bagi penemuan baru dan kebenaran razional
yang dibangun oleh jiwa. Dalam konteks ini bisa dipahami bahwa
jalan semakin terbuka bagi “ketidakber-gunaan hipotesi Allah” yang
dimulai oleh Feuerbach dan diakhiri oleh Marx. Manusia, menjadi
sentrum dari seluruh refleksi kosmos. Satu-satunya ukuran yg terang
92
N. PROVANCHER, Modernità, dalam DTF, 814-815.
83

benderang dalam setiap refleksi adalah cogito. “Io” yang ragu,


bahkan meragukan realitas naturalnya adalah “io” yang bebas dan
karena itu ia sendiri adalah suatu “io” personal; sebuah subyek yang
ada dalam dirinya sendiri, karena pikirannya dan bukan karena
realitas naturalnya. Jika Descartes memulai sebuah proses yang
memisahkan filsafat dari teologi, Kant malah memisahkan filsafat
dari science. Jika yang pertama menyangkal bahwa teologi bisa
menjadi sebuah science, yang kedua menambahkan bahwa science
tak bisa menjadi metafisika. Dengan Hegel pikiran filosofis mencapai
klimaksnya. Terbangun di atas suatu perkembangan otonom, pikiran
dan sejarahnya sendiri, pengetahuan razional menjadi iklusif bagi
semua; sentralitas warta kristiani dan perkembangan historis-nya,
diserap oleh pikiran total yang menyatukan semua dalam sebuah
sintesis superior.
Parabol modernitas mencapai puncaknya dalam diri Nietzsche.
Ide utamanya adalah “kebenaran obyektif” baik sebagai forma pikiran
maupun sebagai forma aksi. Ide Nietzsche merupakan klimaks dari
sebuah antimetafisik: “mencari kebenaran demi kebenaran adalah
superfisial! dan lagi: “sebahagian besar dari event-event yang lebih
aktual seperti “Allah mati” dan tak perlu perca-ya lagi pada iman
kristiani, sudah mulai merasuki pikiran orang Eropa.
Menurut Heidegger, modernitas lahir dari kapasitasnya untuk
Entscheidung, aktus dari putusan subyektif yang meninggalkan suatu
image bagi dunia. Aktus kebebasan yang manusia hayati yakni
“keterlepasan dari obligatorietas kebenaran revelasi kristiani dan dari
doktrin Gereja, menurut visi dari suatu legis-lasi otonom dan
autosufisien.”93 Dibebaskan dari “kepastian akan keselamatan yang
didasarkan pada revelasi” dunia menghidupi “forma kebebasan demi
93
M. HEIDEGGER, L’epoca dell’immagine del mondo, in Sentieri interrotti, Firenze
1968, 94.
84

suatu kepastian dalam mana manusia percaya akan intensi benar sbg
suatu kepastian dari pengetahuannya.”94
Selanjutnya kita bicara tentang post-modernita. Dunia antik
dikarakterkan oleh sebuah “otolimitasi yang meniadakan infinitas dan
kaotik”, civiltas medio-eval ditandai oleh prioritas dari elemen ilahi
sebagi normatif bagi ordo kosmik, modernitas ditandai oleh
imposibilitas untuk menentukan “tempat bagi eksistensi manusia.”
Kultur baru melalui manusia mencoba untuk mengkonstrusikan eksis-
tensi sebagai karyanya...yang tak membutuhkan fondamen lain di luar
dirinya dan tidak mentolerir adanya norma lain yang mengatasi
dirinya sendiri.95
4.2.1.2. Keraguan terhadap validitas revelasi
*Philosophical agnosticism. Agnostisisme filosofis meragukan
kapasitas manusia untuk mengenal esensi dari suatu realitas. Allah
memang ada tapi tak bisa habis dipahami akalbudi. Akibatnya bahwa
semua statemen tentang Allah dan karyaNya sesunggunya hampa
nilai kognitif. Revelasi itu sendiri dipandang sebagai sebuah mitos
atau metafor yang tak bisa dikatakan secara literer.
*Linguistic analysis. Analisis linguistik menegaskan lagi apa
yang baru saja dikatakan oleh agnostisisme filosofis. Analisis
lingusitik memfokuskan perhatiannya pada karakter paradoksal dan
simbolik dari Sabda Allah. Para filsuf analitik mempertanyakan
apakah bahasa tentang yang ilahi memiliki isi kognitif defenitif
seperti yang dikatakan oleh doktrin-doktrin klasik tentang revelasi.
*Modern epistemology. Penyelidikan terhadap genesis of
knowledge cenderung meremehkan distinksi yang tampak jelas antara
apa yang direvelasikan dan pengetahuan yang dicapai. Ide bahwa
intelecctus humanum bisa secara pasif menerima informasi karena
94
M. HEIDEGGER, L’epoca dell’immagine del mondo, 97.
95
R. GUARDINI, La fine dell’epoca moderna, Brescia 1950, 48-49.
85

adanya model transfusi dari divinum intellectus secara luas ditolak.


Sebagai produk dari seorang pemikir, pengetahuan manusia dalam
arti tertentu harus “digapai” dan harus menjadi subyek untuk kondisi
dan limitasi manusia. Realisasi ini membawa pertanyaan empatik
menentang otoritas ilahi yang biasanya dikenakan kepada revelasi.
*Empirical psychology. Psikologi empiris menghancurkan
setiap naive confidence di mana semua visi dan audisi, dapat
dipercaya sebagai yang datang dari atas. Situasi ekstatik terjadi
karena kekuatan hypnotis atau karena opium. Halusinasi-halusinasi
volunter sering kali menjadi gejala-gejala dari situasi patologis razio
manusia. Beberapa penulis dan pemikir menduga bahwa revelasi di
abad razional ini sesungguhnya adalah sebuah nothing. Revelasi
cuma sebuah ekspresi dari mentalitas primitif di mana subconscious
or trans-marginal regions dari psike dengan mudah diaktifkan
ketimbang adanya secara normal.
*Biblical criticism. Kritisisme biblis mengekspose kesulitan
memberikan atribut partikular kepada the divine agency. Menurut
para ekseget modern, nabi-nabi dan para rasul memformulasikan dan
mengekspresikan ide-ide pribadi dengan bantuan tools konseptual dan
lingusitik yang available dengan tempat dan waktu. Kata-kata
ramalan seperti “God says....” dipakai untuk memperluas kesadaran
dan membentuk sebuah konvensi kesusastraan (messenger form).
Usaha membuktikan revelasi berdasarkan mukjizat-mukjizat biblis
dan ramalan-ramalan sebenarnya sudah tidak relevan lagi saat ini
karena intervensi-intervensi ilahi seperti itu secara historis unreliable.
*The history of Christian doctrine. Sejarah doktrin kristen
menunjukkan bahwa banyak opini di masa lalu adalah sesat. Misalnya
mempertahankan ide biblis bahwa matahari-lah yang mengelilingi
bumi padahal yang benar ialah bahwa bumi-lah yang berotasi
86

mengelilingi matahari (teori Copernicus). Dewasa ini Kitab Suci tak


lagi dipakai sebagai sumber bagi informasi ilmiah dan ilmu
penegtahuan kecuali beberapa pemikir fundamentalis. Ajaran-ajaran
resmi Gereja seperti perkandungan perawan, inkarnasi dan paskah
bisa saja termasuk dalam mitos dan legenda. Sungguh ini sebuah
pertanyaan besar.
*Comparative religion. Comparative religion menuntut
kristianitas untuk merelasikan dirinya dengan agama-agama lain.
Apakah kekristenan adalah satu-satunya kebenaran? Jika kekristenan
bukanlah satu-satunya kebenaran melainkan salah satu agama di
antara banyak maka terbuka jalan bagi dialog antar agama bahkan
dialog dengan ideologi sekular.

4.2.2. Peran Teologi Fundamental di zaman modern


Dalam konteks dunia kontemporer dan dlm hidup Gereja,
apakah tersedia ruang intervensi untuk teologi fundamental?
Pertanyaan retoris ini akan terjawab ketika kita merefleksikan
beberapa situasi partikular yang hidup dalam Gereja.

4.2.2.1. Memotivasi manusia untuk beriman.


Sejak Vatikan II tumbuh dalam jumlah banyak studi-studi yang
ingin menemukan kembali makna biblis dari konsep tentang iman dan
isinya yang lebih cocok dengan instansi-instansi kontemporer. 96
Hanya saja movement ini tak didukung oleh motivasi-motivasi handal
yang bisa dipercayai. Motivasi itu berasal dari konfrontasi langsung
org beriman pada Kitab Suci walau tiada kesanggupan menjelaskan
alasan dari ‚kembali ke belakang’ dan biarpun tiada alasan untuk

96
J. ALFARO, Fides in terminologia biblica, in Gregoriana 42 (1961), 463-505; ID,
Fede, in Sacramentum Mundi III, 729-750; J. RATZINGER, Theologische Principienlehre,
München 1982, 15-87.
87

memotivasi kepercayaannya sebagai orang kristen. Tanpa


memberikan perhatian kepada ini semua, orang bisa saja digiring ke
arah fideisme yang selalu menghantui keseimbangan iman.
Sebuah tugas urgen dari teologi fundamental adalah berusaha
untuk menemukan kembali suatu refleksi teologis yang tahu dan
sanggup memotivasi betapa perlunya beriman sebagai sebuah
jawaban personal kepada revelasi.
Iman, dalam prospektif Dei Verbum adalah „ketaatan
dengannya manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya
kepada Allah, sambil mempersembahkan ketaatan akal budi dan
kehendak sepenuhnya kepada Allah Pewahyu“ (DV 5). Intelek dan
kehendak sinonim dengan globalitas individu yang harus dipandang
sebagai anugerah total Allah.
Revelasi adalah komunikasi diri Allah kepada manusia agar
manusia mengambil bagian dalam kehidupan trinitaris (DV 6).
Karena itu adalah perlu adanya pemahaman pasti terhadap isi dari
percaya. Hanya dengan itu pilihan yang bermotivasi dan bertujuan
menjadi suatu pilihan yang sungguh bebas.
Fundamental, dalam horison ini, harus menunjukkan iman
terutama sebagai suatu forma pengetahuan melalui mana kaum
beriman masuk ke dalam relasi dengan obyek revelasi. Fundamental
perlu menjelaskan bahwa ‚memahami iman’ itu suatu ‚memahami’
yang sesungguhnya bersifat manusiawi, karena bisa direalisasikan
baik dengan ‚kebenaran’ maupun dengan ‚kebebasan.’ Karena itu
dengan aktus percaya tak terjadi ‚sacrificium intellectus’ atau
menjauhkan diri dari aktus berpikir sebaliknya menjadi daya dorong
bagi suatu forma riil pengetahuan yang dimiliki dan dihayati oleh
manusia sebagai aktus yang menentukan eksistensi dan pantas untuk
menghantar manusia kembali kepada sentrum dirinya sendiri.
88

Tema justifikasi terhadap aktus percaya adalah hal urgen bila


kita perhatikan beberapa fenomen penggugat iman seperti lahirnya
sekte-sekte baru yang sangat digemari oleh generasi muda dan
realitas pluralisme agama-agama.

4.2.2.2. Menampilkan makna terdalam eksistensi manusia


Provokasi seputar makna dari eksistensi manusia,97 lahir dari
konteks sosio-kultural yg diwarnai oleh mentalitas indiferen.98
Eksistensi manusia dalam terang misteri Kristus pun menjadi suatu
problem aktual yang perlu digumuli.
Indiferensi bukanlah suatu dari sekian banyak ungkapan dunia
kontemporer tetapi sebaliknya boleh jadi suatu ungkapan yang
mewarnai gerak-gerik zaman kita kini. Hal ini simulai dgn hilangnya
makna partisipasi dalam kehidupan sakramental, dilanjutkan dengan
adanya dicotomi dalam praksis moral dan berkembang hingga pada
memeluk ateisme.
Di hadapan drama ini, karena subjek dipaksa untuk hanya
hidup dalam sikap apatis, maka adalah perlu dihadirkan tema teologis
seputar makna. Makna adalah apa yang menemani hidup personal
karena, pada akhirnya, dituntut suatu pemahaman ttg alasan mendasar
mengapa harus hidup dan mengapa harus mati bila masih ada hidup
selanjutnya.
Teologi fundamental bisa menjawab pertanyaan ini, karena ia
memper-sembahkan refleksi razional kritis atas makna dari rivelasi
itu sendiri: cinta trinitaris Allah yang cuma-cuma dan bebas

97
R. FISICHELLA, Credibilità, in DTF, 220-230; ID, Teologia fondamentale: destina-
tario, in DTF, 1258-1263; R. LATOURELLE, Ricerca e dono di senso, in DTF, 1127-1131; K.
RAHNER, Il problema umano del senso di fronte al mistero assoluto di Dio, in Nuovi Saggi VII
(1981), 133-154; ID, La questione del senso come questione di Dio, in Nuovi Saggi IX (1983),
272-287; ID, Gesù Cristo, senso della vita, in Nuovi Saggi IX )1983), 288-303; G. RUGGIERI,
Sapienza e storia, Milano 1971, 14-40; ID, la compagnia della feda, Torino 1980, 31-59.
98
A. CHARRON, Indifferenza religiosa, in DTF, 593-603.
89

dicurahkan ke atas kematian untuk menghancurkan kematian itu


sendiri. Makna menjadi - suatu kesadaran dari sebuah essere – per-
altro hanya karena ia dicintai; suatu pemberian total dan penerimaan
komplit hanya karena yang lain ada dan mencintai. Tentang ini
dihadapkanlah suatu kebaruan kristiani yang adalah pewartaan akan
kebangkitan, yakni hidup demi cinta yg melampaui batas kematian.
Berhadapan dgn tema ini adalah penting menegaskan peran revelasi
kristiani sebagai fundamen bagi iman.

4.2.2.3. Menjembatani teologi dan karya pastoral


Sering kita temukan adanya ‘keterpisahan’ antara teologi dan
aksi pastoral. Agar supaya keduanya bisa hidup menurut keunikannya
dalam jantung pertumbuhan komunitas kristiani, maka perlu adanya
refleksi komplementaris.
Seorang teolog dan sebuah teologi yang ketiadaan referensi
pastoral kiranya ia tak berakar dalam historisitas iman dan
kekurangan konsili-konsili yang termasuk dalam konkritisasi dari
hidup sehari-hari. Intelegensi dari misteri yang direvelasikan, dalam
kasus ini, bisa juga ketiadaan konteks epokal dan cultural yang
termasuk dalam humanitas dan yang tak bisa dikorbankan demi suatu
speculasi atas prinsip-prinsip utama.
Adalah sama halnya juga bagi pastoral. Sebuah pastoral yang
tak berbasis teologis akan menjadi steril dan tidak efesien bagi iman.
Bahaya pastoral yang tak berbasis teologis ialah memberikan
kepuasan sesaat tetapi tidak meng-hadirkan suatu pengabdian riil
kepada iman. Sebuah program pastoral tak bisa dibatasi hanya pada
soal urgensi momental namun terutama ia harus memper-siapkan
secara matang dan reflektif masa depan supaya ia bisa aktif di
hadapan provokasi-provokasi zaman.
90

Sebuah liturgi, katekese dan karya karitatif yang hampa basis


teologis, akan gampang terseret ke dalam magi, gnosis dan filantropi.
Teologi tak boleh masuk dalam konflik dengan ekspresi-ekspresi
iman sebab baik teologi maupun ekspresi-ekspresi iman sama isinya
tapi berhadapan dgn ekspresi-ekspresi iman itu teologi memiliki tugas
untuk menambahkan intelegensi kritis tentang misteri supaya aktus
percaya personal bisa jadi otentik, bebas dan bertanggung jawab.

4.3. Merumuskan identitas teologi fundamental


Betapa tidak gampang mendefenisikan identitas teologi
fundamental. Kadang-kadang, di hadapan pertanyaan: “apa itu teologi
fundamental” seorang ahli teologi merasa perlu mencari sebuah
jawaban yang bisa menghubungkan secara koheren artikulasi-
artikulasi yg berbeda-beda tentang teologi fundamental.
Mengatakan bahwa teologi fundamental mempelajari “event
revelasi dan kredibilitasnya” membantu kita untuk merangkul dua
pilar dasar namun mening-galkan dlm kekaburan dimensi
epistemologis yang termasuk dalam Fundamental.
Mendefenisikan teologi fundamental sebagai disiplin
pengetahuan berhadapan dengan pengetahuan lain berarti
menggarisbawahi karakter ilmiah, hermeneutik dan metodis dari ilmu
ini tanpa mengatakan apa-apa sehubungan dengan makna revelatif.
Memberikan ciri Fundamental sebagai introduksi kepada
misteri Kristus, sama dengan menegaskan aspek-aspek yang
membentuk prospektif dialog dan batas, tapi tak mempermudah
pengetahuan tentang karakter utamanya sebagai disiplin teologis.
Secara posetif, suatu identifikasi yang dinamis tentang
Fundamental, bisa menyisipkan ke dalam dirinya problematik-
problematik teologis yang lahir dari karakter historis teologi dan dari
91

konfrontasinya dengan situasi-situasi kultural berbeda-beda yang


mempengaruhinya atau yang dipengaruhi olehnya. Dalam arti ini,
tema-tema berbeda-beda yang umumnya disebut Grenzfragen
(problems - frontier), menemukan spasi analisis teologis dalam
keseluruhan Fundamental. Dari sini adalah mungkin bagi kita untuk
melihat suatu dinamika konstan melalui pencarian teologis. Pencarian
teologis ini bertanya secara permanen tentang isi dari ‘problems –
frontier’ dalam terang perolehan-perolehan baru dari pengetahuan
universal dan tahu menghadirkan pd manusia di segala zaman,
kekayaan revelasi kristiani yang tak terbatas.
Secara negatif, suatu identifikasi yang kabur tentang
Fundamental nampaknya bisa menciptakan suatu kekacauan terhadap
kolokasi ke dalam keseluruhan ilmu teologis dan konotasi
‘teologisnya.’ Ini membantu kita untuk mengerti mengapa kadang-
kadang ada kesimpang-siuran teologi fundamental dengan macam-
macam teodice atau dengan sebuah filsafat agama.
Kiranya bisa dikatakan bahwa teologi fundamental bicara
tentang ‘mengapa beriman dan iman menuntut komunikasi. Iman
yang dikomunikasi-kan harus didasarkan pada kebenaran yang
dihayati dan bukan pada polemik.

4.4. Fundamental Theology: Dynamics of Christian Life and


Identity, New Impulses for Fundamental Theology (František
Štěch, Th.D).

Fundamental theology „is not only evidently dependant and


living on the edge of empirical sciences and theology, but it is also
enormously sensitive to changes of cultural environment and new
ways of thinking” (Karel Říha).
92

4.4.1. Polarization Between Fundamentalism and


Foundationalism
Karl Říha correctly indicated the nature of fundamental
theology developed in the Church as a tool to balance extreme
epistemological polarizations between fundamentalism and
foundationalism.
These positions were found in the Church as well as in the
whole of society a longtime ago, and each era deals with them in its
own way. A continual rebirth of classic apolotgetics into fundamental
theology at the trun of 19th and 20th century was characterised by
attempts to balance both these tendencies. On one side there is
fundamentalism, asserting that recognition of first principles (and also
their meanings) is determined by conviction (faith).
Foundationalism, on theother side, wants to discover
recognition of first principles based on certaingiven epistemological facts
that are found through a continuous structuralization of knowledge. In other
words, while fundamentalism knows because things are this way,
foundationalism comes to its knowledge through so-called
“regressive argumentation”, asking for the first causes of all things.
Such a philosophical method has been well known from the time of
the Aristotle. In a theological perspective, fundamentalism usually takes the
form of irrationalism or fideism, while foundationalist positions often
present themselves as a kind of theological rationalism.

4.4.2. Existence of Fundamental Theology


Against  fundamentalism, fundamental theology traditionally
plays up an exercise of reason that reflects upon the foundations of
the Church and its doctrine. Against the positivistic rationalism of
93

foundationalism, fundamental theology emphasizes faith as not being


a result of affirming doctrinal prepositions, but is rather a
consequence of an effort of thewhole personality based on experience
to a great extent.99
Today, we can see is plays of fundamentalism and
foundationalism not only within the Church or Christianity but in
society as a whole. And I would dare to assume that this is the case
not only in Europe. With its long experience of fighting
various extremes, I believe fundamental theology can help to find a
via media  not only within the Church but can also raise its voice
towards society as a whole.
  Already in 1985, Heinrich Fries wrote in the introduction to his
Fundamental Theology: “It is no longer enough merely to
proclaim or solemnly assert the Christian faith. One has to lay out
its grounds in the face of the over whelming power of the
contemporary experience of world and existence and of the
challenges which accompany this experience. It is a massive task, but
also a great opportunity.” (Fries 1996, 5).
A few decades later, it is still a task for fundamental
theologians to seek to provide Christian theology with good
reflections on its foundations. Moreover, Christian
fundamental theology not only supports believers by investigating
the grounds of their own faith but also seeks to engage with those
outside Christian circles. Is it possible to construct fundamental
theology by giving special respect to current conditions in the world,

99
This was already perceived by J. Henry Newman: “I do but say that it is
antecedent probability that gives meaning to those arguments from facts which are commonly
called theEvidences of Revelation; that, whereas mere probability proves nothing, mere facts
persuade noone; that probability is to fact, as the soul to the body; that mere presumptions may
have noforce, but that mere facts have no warmth. A mutilated and defective evidence suffices for
persua-sion where the heart is alive; but dead evidences, however perfect, can but create a dead
faith”(Newman 1909, 200)
94

described by many intellectuals (e.g. Zygmunt Bauman) as plural,


ever-changing, and fluid?
Living in an age of uncertainty (Bauman 2007, 26) puts high
pressure on contemporary people as they once again ask questions
about the meaning of life. Risk, loneliness, uncertainty and even
fear are surely real experiences forcitizens of the global world; a
civilization of fear and enjoyment shapes patterns of public life.
The well-known American writer George Blecher
characterizes contemporary society when he speaks about “shared
isolation” taking place especially in big cities like New York. Similar
visions of future society may also be found in the writings of
Michel Houellbeeckx, Cormac McCarthy and many others.
In this context Christianity offers something quite different.
Christianity offers shared communion against shared isolation, which
certainly creates a different public space that is shaped not by fear and
isolation but by community and love. Maybe it sounds too idealistic,
but I am convinced that Christianity and its theology may and will
contribute to public debates about the future of mankind. In this
context it seems that we are approaching nothing less than the
question of Christian identity. Who are we in this world as
Christians? Is it possible to build in such a world an appropriate
and genuine religious identity? How can theology help believers
to do this?
The inspiring American theologian Robert Schreiter interprets
a mutually interconnected globalized world as a new context for
theology today (Haight 2001, 238). Theology is always contextual in
particular sense of the word, which means it is local, but it “must also
have a universalizing function, by which is meant an ability to speak
beyond its own boundaries” (Schreiter 1997, 4). Schreiter adds that it
95

is important to say that universalizing does not mean totalizing.


Having in mind Schreiter’s conviction, the basic interconnection
between revelation, faith and the church will be shown in this article
to be the inner dynamics in the Christian life with the ability to
construct a vivid religious identity and thus a relevant framework for
fundamental theology. This theological discipline will support Christians in
creating and establishing a firm religious identity, and also help them to swim in
“melting”structures of this world. As Schreiter would probably say, to show
them how to live their Christianity between the global and the local. Therefore I
will argue later for a Christian religious identity that has its true roots in Christ,
understands the basics and principles of Christianity, is able to lift itself over the
formal differences among denominations (sense of ecumenism) and creates a
genuine Christian culture   (balanced between orthodoxy and
orthopraxis) that is present as a strong voice in the public sphere. To have a
Christian identity meansto understand the world as Christian, but fundamentally,
and not fundamentalistically.
Such an account of fundamental theology supports what is
today called public theology, though it is not a new concept: “now,
with privatization of Christian faith, public theology emerged in
theological discourse” (Kim 2011, viii).Kim further asserts: “an
urgent need for Christian theology to be actively engaged in
conversation on public issues with the understanding that it can offer
complementary or supplementary approaches, and even alternative
solutions,  to the very complex issues facing society today” (Kim
2011, 3). Such conviction springs out of what Jürgen Moltmann states
in his widely cited book God for a Secular Society: “There is no
Christian identity without public relevance, andno public relevance
without theology’s Christian identity” (Moltmann 1999, 5). Public theology is
concerned with the public relevance of Christianity today and it arose as a
96

theological response to the privatization of faith in a global era.It


emphasizes the collective salvation of humankind instead of focusing
on per-sonal salvation. Public theology seeks paths from theoretical theology to
practical theology for the everyday life of believers in their communities at
large. It is awarethat theology today is only one voice among
others and does not have any ambitions to convert people to
Christianity, but it wants to promote Christian ideas, beliefs and
perspectives on various issues with broad public relevance
(e.g.creation, various social and ethical issues, ecology, etc.). From
the missiological point of view, it seems to me to be a new strategy
moving the emphasis from“to convert” towards “inspire to convert”
(Storrar 2011, 23-43). William Storrarfurther considers Christian identity
to be a building block for public theology.The question of “how we
understand Christian identity is central to doing publictheology in a global
era” (van Aarde 2008, 1215).
Therefore, in line with proponents of public theology, in the
first part of my article I opt for a dynamic concept of Christian
identity, which may be compared with a dynamic theological concept
of conversion. Later I will stress a dynamic interconnection
between revelation, faith and the church as I am convinced that
they create a framework for each search for identity by all Christians
living their lives within a history of salvation. As this article comes
towardsits close, I will attempt to show how fundamental theology may serve
the church and society in their search for true humanity in the
contemporary world.

4.4.3. The dynamic nature of Christian identity 


It is very hard, if not impossible to define identity in the broad
field of thehumanities. Different definitions are provided from the
97

fields of psychology,sociology and religious science, as well as theology


(Muchová 2011, 11). Whereaspsychology generally regards identity as a
matter of an utterly intimate core ofthe human being, sociology often
thinks the opposite (Giddens 2000, 550).Generally, we may find together
three different identity types: personal identity,social identity and collective
identity (Snow, Oselin, Corrigall-Brown 2005,390-393). People accept
or reject various identities from these types during theirlives. A complex identity
is created and shaped not only through social processesand interactions, but
it also depends on the social reality of the society in whichpeople live.
When it comes to philosophy, identity means not only similarity,but
sameness. The philosophical principle of identity is the “basic
principle of objective thinking and its object” (Říha 2002, 99); it
defines the intelligibility of finite being, its definability and
recognizability. If the principle of identity isto be valid, we must also
validate the intelligibility of finite beings. This is,according to Říha,
the task of metaphysics. However, in this article I do notwant to pick
up a particular theory of identity or definition and build on it.I assume
that when we reflect on religious identity, a combination of
variousdefinitions of identity would be of most benefit. In each case,
identity is not astable item but rather a continuous process of
constructing, de-constructing andre-constructing our own complex
identities.
“Who am I?” and “who are we?” Questions of identity
are predominantly anthropological questions. When we focus
specifically on religious identity, wemay re-ask them as follows: What
does it mean to be religious today? What doesit mean to be Christian
today? What does it mean to belong to a particular
denomination today? Here it is not only people that come into the
picture butGod also – Deus absconditus in the first question and the
98

personal Deus revelatus in the last two questions. Therefore


anthropological questions of identity in areligious perspective become
theo-anthropic. “Who am I?” is not only a question for each person to
answer any more. In a religious perspective, God also hassomething to say
about the “Who am I?” question. The specific location of reli-gious identity
results from both the human and the divine. What does it mean?
“Man becomes aware of the sacred, because it manifests itself,
shows itself, assomething wholly different from the profane” (Eliade
1987, 11). Mircea Eliade describes general phenomena of the sacred
very well and also the profane as its opposite. “The sacred (divine) is
wholly different from the profane (das ganzandere, as R. Otto would
put it), but they both are fundamentally interconnected because the
divine reveals and humans react on such revelation (hierophany) by
faith” (Muchová, Štěch 2012, 60). Eliade further thinks that thesacred
“ontologically founds the world” (Eliade 1987, 21). Divine activity is
therefore essential for the world and religious people consider such
revelation asits very axis ( axis mundi ). The perfection, immortality
and infinity of God stand in opposition to the imperfection, mortality
and finality of people. “The experience of one’s own imperfection
and finality leads into the conviction thatsomewhere out of the human
sphere, there are some ideal prototypes or even sources of all imperfect
realities. Imperfection belongs to the human sphere;perfection is a
domain of the sacred. Human life comes into being within theconstant
tension between the immanent human and transcendentally
divine. Awareness of one’s own finality and limitedness
confronts human beings with the gut feeling of the infinite and
limitless. Many people then give these feelingsa religious garb. They
stop being gut feelings for them, but become a certaintyof faith
through the experience of revelation. Such assurance, about
99

thingshoped for, leads religious people to the confessional


community, where they come to associate themselves more or less
with its identity” (Muchová, Štěch2012, 60-61). Following the three
questions of religious identity proposed above, I think that a complex
religious identity consists of three religious sub-identities:

4.4.3.1. General religious sub-identity
  At this stage it is the recognition of the sacred that brings
people to a conviction that some kind of transcendence exists. It is a
general resonance between the human and divine, between revelation
and its receivers. The world-perspectiveof people who have this general
religious sub-identity is changed and the relationbetween the human and
divine becomes its framework. We may say, as Ricoeurperhaps would
do, that at this stage of religious identity, people are able to reacha second
naivety (Noble 2010, 81; Štěch 2011, 52), but they are not able to
takea step forward towards other stages of religious identity, which
for various rea-sons are neglected in their religious identity. They are
not yet able to name thedivine in their lives. Often they just say: “There is
something” (Halík 2004, 88).

4.4.3.2. Particular religious sub-identity


Some people are not happy with the fluid, uncertain, something
divine  and they want to search for its name. They want something more
concrete than just a feeling for the divine. Unclear religious ideas stop being just
uncertain feelings,but become a certainty of faith through the experience of
revelation, which mayalso be a shared experience. This certainty of faith receives its proper
expressionusually within a certain community of faith. The process of religious
socializationstarts and people deepen their personal as well as social religious
identity. ForChristians, God has a name and thus it is possible to establish
100

a personal relation-ship with God. Moreover, God so loved creation that


God became a man.The Word became flesh and the transcendental God revealed
himself fully in JesusChrist. But there is still a distance between accepting Christ
and concrete doctri-nal assent (entering a particular denomination). Here I recall
the great witness of Avery Cardinal Dulles on this matter (Dulles 1996,
47-50). At this stage we mayalso find people whose attitude to religion is
called by Grace Davie “believing without belonging” (Davie 1990, 455-
469). Their number is growing with growing individualization and they
generally reject particular religious affiliations.

4.4.3.3. Singular religious sub-identity
I do not know why or how, but I believe that God exists.
Christianity is myoption since I believe that God is the Triune one,
and has been revealed mostfully in Jesus Christ. How best to respond
to such an experience of revelation?  What  is  the  most  appropriate 
way  to  live  my  Christianity?  May be similar questions lead
people to search for a denomination. A good church back-
ground enables believers to feel at home in their Christianity. The
recognition of God, who has a name, leads some religious people to a
confessional community, where they come to associate  themselves
more or less with its identity.This sub-identity is a characteristic of
concrete churches, although it differs from church to church. An
experience of the divine is usually very strong and so it calls to be
shared with other people.
 It is beyond doubt that true Christianity cannot live only in its
specific personal dimension. It always has its collec-tive dimension.
Revelation itself has a strong social character in Christianity  (Štěch
2011, 207) and because of this Christian faith, and consequently of
the whole Christianity, can not only be personal but is also a
101

communal affair (Kasper 1994, 62). Moreover, we should not


forget when speaking about theChurch that there are always two
dimensions present: horizontal (communiowith other people) and
vertical (communio with the Triune one) (Machula2000, 33).
Therefore a particular religious sub-identity finds its place again
between the human and the divine.
I am convinced that a balanced Christian identity pays equal
attention to ageneral religious awareness, a particular Christian
foundation, as well as a par-ticular denominational foundation. This
may develop into a firm religious iden-tity which is able to handle the
liquidity of the contemporary world and at thesame time allows one
to feel at home in one’s own religious denomination.It is obvious that
there will most probably be a certain difference between peo-ple
raised in particular religious traditions, and converts.
I have the experience that at least in the Roman Catholic
Church we often discover the emphasis is mostly on the third level of
religious identity, and I am convinced this is not enough (Muchová,
Štěch 2012, 70-71). Believers are often able to say very precisely why
they are Catholics and why it is necessary to receive the sacraments,
but when asked why they are Christians (what is their relationship
with Jesus Christ?), or why they believe in God (what is their concept
of transcendence?), their answers are rather vague. But the same may
be said about others who would fit into the category of implicit
religion (Bailey 2001). They usually say that they are Christians, but
they cannot identify with any particular Church for various reasons.
These reasons are very often based on prejudices and
misunderstandings rather than on personal experience or critical study
(Hamplová 2008, 23).
102

Nevertheless, I think fundamental theology may contribute towards


acquiring a balanced religious identity by reminding people about the
three dimensions of their complex religious identity. At the same time
weshould understand why we believe in transcendence, why we
regard the transcendence as Christian, and why we are Catholics (or
why we prefer some otherChristian denomination). Building a strong
confessional identity is basically not bad, but without paying enough
attention to general religiousness (recognitionof revelation) and particular
religiousness (revelation recognized as Christian) we will run the risk of
fundamentalism and the exclusion of everything that doesnot fit into
our singular religiousness. The same is true when we neglect
thecommunal dimension of the Church. In such a case we risk the
individualization and privatization of religion, which stands in
opposition to the nature of Chris-tian revelation, faith and the Church,
since all these phenomena are understood from the perspective of
Christian theology as relational.
Such a balanced and cultivated religious identity enables
people to keep their religious identity (to feel at home in their
Church) and at the same time to handle better the fluid reality of the
contemporary world. Being a Christian is not a static process and the
three-fold religious identity proposed above is notat all static. All
three dimensions are interconnected, they overlap each otherand there
is always a different mixture of all three dimensions in each moment
of the individual as well as the communal search for religious
identity. Christian religious identity is therefore not static, but fluid
and yet it can remain strong and offer us a secure base in the roaring
surf of the contemporary world.This ambiguity is characteristic of Christian
religious identity if it takes seriously that it is on its way to God’s
103

kingdom, which is already present (Luke 17:21) but not yet fully
realised (John 18:36; Mark 1:15; Luke 10:9).
I would like to make one last comparison in order to better
describe what Imean by the plural and yet secure concept of a three-
fold religious identity.  Again Cardinal Avery Dulles, discussing
the importance of fundamental theology for conversion, reminds us
that “(…) conversion is a dynamic process demanded at every stage
of the Christian life, and that fundamental theology is therefore of
existential import to all believers” (Dulles 1995, 54-54). With Dulles,
I too would stress that conversion is a modus operandi  in the search
for Christian religious identity, which is not set up once and forever
(e.g. byprimary conversion or baptism), but it is rather a life-long
process of practisingthe inner dynamics of Christian religious life in
the space between the humanand divine.

4.4.4. The inner dynamics of religious life


History, society and geography together create a play ground,
where religious identity acts as a dynamic concept. Religious identity
gives an inner dynamic to the religious life as such. Religious identity
is constructed from answers to the basic set of religious questions:
what (who) is revelation? who am I in relationto revelation? what is
faith? who am I in relation to my faith concept and praxis? what is Church?
who am I in relation to Church? These questions are surely
fundamental and all of them have a lot to do with religious identity
and conse-quently also with religious life. If we have a quick look at
recent books on fundamental theology, we find that revelation, faith
and the church are keyterms (O’Collins 2001, 22; Fries 1996, 389;
Bulst 1965, 12; Dulles 1969, 10). Although we may see certain
links between the above mentioned terms in these books, their authors
104

usually treat them separately. But it is a mutual interconnection of these


terms that may be of great benefit when we want to establish the ground for
contemporary fundamental theology. The way people practisetheir
beliefs is deeply rooted in the theoretical concepts of the Church, faith and
revelation that they have in mind, since they are also part of their
religious identities.
Let us now look more specifically at the Christian concepts of
revelation, faith and the church. They are not static terms, rather they
are dynamicby nature of their content. So we can speak about the
dynamics of revelation,faith and the church. All these dynamics show
us how the life and world-viewof Christian believers are placed
between the human and divine. “Fundamental theology, I would
suggest, must ask not only how we get to God but how Godcomes to
us. It must maintain a theological as well as an anthropological
focus”(Dulles 1995, 56-57).

4.4.4.1. The dynamics of revelation


Re-velare (lat.) means “to remove a veil” (Dulles 1969, 9), and
the semantics ofthis word points towards the dynamic charge of the
term itself. After the veil isremoved, we see something that we had not seen
before. It is the reality of divinerevelation, the mysterious, intimate self-
disclosure of the divine to the human being on the one hand (from
above) and on the other hand the mysterious, utterly human, inner
experience of the divine (from below), and both at thesame time.
Most of the Christian denominations would probably agree
thatrevelation requires faith as an appropriate response. Despite
that, revelation alsomeans an awakening of reason, which is, together
with faith, working towards the evidence for the existence of the
divine and one’s own relationship with it.Therefore, the dynamics of
105

revelation takes place within a mysterious encounter between the


human and the divine. Revelation as a free divine activity is an
objective category, but it is also a very subjective category of the
recognition ofrevelation in human experience that decides whether
the free offer of divine grace will be accepted. The mysterious
interplay between the human and divineis what sets Christian
revelation up as a dynamic concept that happens both globally and
locally, on a personal as well as a communal level every day, while
being firmly grounded in the history of salvation in the event of Jesus
Christ,the peak of revelation and the revealer at once and for ever.
„Revelation is thefirst fact, the first mystery, and the first category of
Christianity” (Latourelle1966, 14). René Latourelle speaks of
Christian revelation as being the static reference point  in history, but
at the same time he does not forget to present its dynamic nature.
Above all, Christian revelation is a mystery that is not fully graspable,
and it is dynamic since the Spirit flows wherever it wants. It was the
First Vatican Council that differentiated between “ascending” and
“descending”ways of recognizing God (God’s revelation) in the first
paragraph of its doctrinalconstitutionDei Filius , (Latourelle 1966, 259). Later in
Dei Verbum, the Second Vatican Council’s document on revelation, we
discover a dynamic interplay between the human and divine, when
investigating revelation as their meeting point.100 For the purpose of
100
“In His goodness and wisdom God chose to reveal Himself and to make known to us thehid den
purpose of His will (see Eph. 1:9) by which through Christ, the Word made flesh, man mightin the Holy Spirit
have access to the Father and come to share in the divine nature (see Eph. 2:18;2 Peter 1:4).
Through this revelation, therefore, the invisible God (see Col. 1:15; 1 Tim. 1:17)out of the
abundance of His love speaks to men as friends (see Ex. 33:11; John 15:14-15) andlives among
them (see Bar. 3:38), so that He may invite and take them into fellowship with Himself. This
plan of revelation is realized by deeds and words having an inner unity: the
deedswrought by God in the history of salvation manifest and confirm the
teaching and realities signi-fied by the words, while the words proclaim the deeds
and clarify the mystery contained in them.By this revelation then, the deepest
truth about God and the salvation of man shines out for oursake in Christ, who is
both the mediator and the fullness of all revelation.” (DV 2)
106

public fundamental theology, I would opt for a broad definition of Christian


revelation as, for instance, Avery Dulles offers in hisfamous book
Models of Revelation: “Revelation is God’s free action wherebyhe
communicates saving truth to created minds, especially through Jesus
Christas accepted by the apostolic Church and attested by the bible
and by the con-tinuing community of believers” (Dulles 1992, 117).

4.4.4.2. The dynamics of faith


The previously presented dynamic of revelation is closely
related to that of faith,of course. However, this dynamic involves not
only faith but also reason as integral parts of each human mind. “It is
faith which stirs reason to movebeyond all isolation and willingly to
run risks so that it may attain whatever is beautiful, good and true.
Faith thus becomes the convinced and convincing advocate of reason.”
(Fides et Ratio 56). For those who believe, faith and reason are involved in a
common search for God’s face. In this respect, faith is a human
matter(from below – ascending). But faith also involves God, at least
in a Christian perspective. Christians believe that faith is not only a
human response but it is also a gracious gift from God (from above –
descending).
Because of its nature, faith cannot simply be a requirement or
demand of ahuman longing for God, even when God is desired. Such
desire must not bethe desire of a spoiled child screaming until it gets
what it wants, but rather anobedient desire ( potentia oboedientialis) as
Karl Rahner would put it, in the sense Dei Verbum understands it:
“‘The obedience of faith’ (Rom. 13:26; see 1:5;2 Cor. 10:5-6) ‘is to
be given to God who reveals, an obedience by which mancommits his
whole self freely to God, offering the full submission of intellectand
will to God who reveals,’ and freely assenting to the truth revealed by
107

Him.To make this act of faith, the grace of God and the interior help
of the HolySpirit must precede and assist, moving the heart and
turning it to God, openingthe eyes of the mind and giving ‘joy and
ease to everyone in assenting to thetruth and believing it.’ To bring
about an ever deeper understanding of revela-tion the same Holy
Spirit constantly brings faith to completion by His gifts.”(DV 5)But
obedient desire describes faith mostly from below. To describe it
from above, we may use another Rahnerian term supernatural
existential   (übernatür-liches Existential), which speaks about
divinely-given dispositions of humanbeings that enable them to
accept divine revelation. Fundamental theology should always
reflect on both characteristics of faith, since it is truly something t h a t
happens between the human and the divine (Knauer
2 0 0 0 , 7 9- 9 0 ) . I am convinced that every presentation of faith
in the public sphere shouldbe done from this perspective of
an intimate relationship between God and mankind.

4.4.4.3. The dynamics of the Church


In searching for God’s face (who is the one revealed?)
one meets other seekersand shares their experiences. Some of
them, of course, have very similar expe-riences and it is with
these that we usually come to share the dynamics offaith. In
such sharing our personal recognition of God and its
expression inour personal response of faith meets its
communal dimension. It is not my  faith any more, but our 
faith. Personal religious identity takes on its socialdimension
as well. Groups of believers and worshippers are formed and
insti-tutionalized. The Church is born. In the Christian
perspective, the Church isan ordinary human society,
108

organized like an association of bee-keepers or amotorcycle


club (from below – ascending), but also it has its sacramental
character where it is described as the m y s t i c a l b o d y o f
C h r i s t , or communiosanctorum (from above – descending). 101
In line with the dynamics of revelationand faith, we may see
that the dynamics of the Church also happens betweenthe
human and divine.
 At this point I would like to mention briefly that we may find a
notherdynamic within this category. It is the dynamic of exploring
spirituality, where confessional belonging (which church environment
do I fit in? which one suitsme the best?) and doctrinal assent (which
set of doctrinal pronunciations tunesbest with my personal
conviction?) play a role. I would call it a process of tun-ing a personal
and communal spirituality, rather than the dynamics of the Church,
which is something more complex and broader in terms of the
relation of the Church to its God. 
We have seen that the dynamics of revelation, faith and the
church are placeswhere we may realize that divine-human affairs are
taking place (Štěch 2011,343). When we put all three dynamics
together, we see that they create a certain dynamic of religious life.
Revelation (once recognized) makes us believe, and faith brings us
into the community (the Church). The religious community shares
this faith and so faith stops being only a private response to God’s
revelation. There is naturally a tension between personal and
communal faith. Ideally, personal faith is enriched by its sharing

101
I am aware that this is the Catholic approach towards the Church. The Son is the sacramentof
the Father and the Church is a sacrament of the Son (De Lubac 1958, 29). The Second Vati-can
Council was very much in favour of this concept as well (Cf. LG 1, LG 9, 48; SC 26; AG 5; GS
42). The sacramentality of the Church is certainly a disputable question, but I believemany
denominations may agree that the Church, which is not only a matter of the people in it,but is also
a matter of their God. The Church may be also sacred when it embodies and treasuresthe meeting
of the human with divine
109

with others in the community, and is enabled to bloom, flourish and


grow. Such faith is reflected upon again, rediscovered, reshaped and
even reformed. This dynamism calls believers toreflect again and
again upon revelation – revelation may be re-discovered,
rethought, people can understand more of the content and meaning of
revelation. This is a rather idealised formulation which only has an
illustrative purpose. Of course, we do not have only healthy and ideal
religious communities, they may also be (and unluckily they
sometimes are) sectarian, violent, abusive,etc. Faith can flourish, but
is can also decline, become perverted and people can even lose it
completely. The same is true of revelation and the church too. Just as we may
recognise revelation in our life, it can also be driven out ordenied.
Sometimes we are certain of God, but sometimes we cannot see God
at all.102 As we can enter the church, so we can also leave it.103
Such a religious dynamic is at work at various levels, of course,
as we can see from the first part of this article where we investigated
the three elements of Christian religious identity. In order to develop
these thoughts a bit further, wemay state that on the general religious
level, revelation, faith and the church do not have any particular content.
At a general level, it is a revelation of something believed, where the
community is the broad mass of all spiritual seekers  who can
not yet name the divine in their lives. Of course, this religious
dynamicwill gain a different quality when we name the divine as the
Christian one.Christians see the peak of revelation in Jesus Christ. It
is with Christ that faith receives its specific Christian content. Becoming
Christian usually means searching for a domination– a coherent singular expression of

102
E.g. the “dark night” of st. John of the Cross
103
Leaving the church does not have to be a bad thing. Actually it is a sign of a healthy
com-munity when members have the right and freedom to enter and leave. The freedom of
conversionis one of the freedoms all churches have to maintain and ensure for their believers.
110

one’s own religious-ness. The same religious dynamic is also valid for each
denominational expressionof Christianity and will vary accordingly.
This whole perspective that we have followed until now would not be
complete without its last dimension, which is time. The dynamics of revelation,
faith and the church (in its personal as well as its communal dimension) happens
in history. History is taken by Christians not as a Godless flow of time, but rather
as an existential framework of all being, which is full of God, as the
history of salvation (Heils-geschichte ). From this perspective, we may
find the religious dynamics of Christian life in each moment of history
going from creation to its eschatological fulfilment. I would like to
show this by following five (paradigmatic) examples:
1. At the time of creation, it was the very creation of the creator
that may becalled revelation. Faith was the relationship of the first
people as individualsto their creator (the faith of Adam and Eve). The
community of faith wasthe partnership of Adam and Eve.
2. At thetime of the chosen nation, God revealed himself in his
mighty wordsand deeds. God revealed his will to his chosen nation
through the fore-fathers of Israel. The Israelites accepted this message
and tried to under-stand it in faith because they were people who
wanted to walk the paths ofGod (Ps 25).
3. At the level of the new covenant time, it was Jesus himself
who was the reve-lation and at the same time the revealer. Faith was
that of individuals whomet Jesus in his life, and it was the community
of his disciples who repre-sented the religious community.
4. In contemporary time, it is the revelation of God in Jesus
Christ that is expe-rienced in the encounter of the individual with
Christianity. It is individualswho express belief in the Christian triune
God. And it is the Church that isthe concrete form of the believing
community.
111

5. Finally in eschatological  time we may find the revelation of


the eschatologicalChrist (second coming), the faith of human
individuals in its eschatologicalexcitation (the faith radically opened
by hope for salvation), and the collec-tive faith of the eschatological
community of believers. “We may understand this eschatological time as
the moment between the darkness of the last judgment and the light of the
new creation – announced as God’s kingdom,which is Christ himself 
(Christus Totus), (Cf. 1 Cor. 15:28)” (Štěch 2011,347).
Christian life happens within the spectrum of the human and divine.
Recognizing revelation, responding in faith and assembling to unite and worship
the Lord in the Church together makes an inner dynamic of the
Christian life.Such a life for each human being has its own indispensable
place in history, because the life of each person is related to the
supernatural and the divine recognized in Jesus Christ. From the Christian
point of view, it is really important not to miss this Christological grounding of
Christian life. The dynamics described above cannot move an inch
without being moved by Jesus Christ himself, at the same time fully God
and fully man. Therefore we may say thatat the centre of Christianity is nothing
other than mystery: the paschal mystery (mysterium paschale), the mystery
of Jesus Christ. I think this is one of thecentral themes of Fundamental
Theology, the academic discipline that drivesour attention towards the
mystery of Sunday morning – the mystery of the empty grave.

4.5. Rethinking Christian identity in front of the empty


grave - towards a public fundamental theology?
“Who do you say I am?” The question Jesus asked his disciples
has not only anexplicit content. The answer not only says who Jesus
is, but also who it is whoanswers. In the narrative of Mark and
Matthew, it is Peter who replied:“You are the Christ” (Mark
112

8:29) or “You are the Christ, the Son of the living God.” (Matthew
16:16). Various theologians agree that Peter’s answer is the first
Christological statement, but it is anticipatory since the light of Easter
had still to come and transpose the belief of the disciples into
Christological faith after the experience of his death and resurrection
(Dupuis 1994, 1). “And who do you say that I am now?” This may be
a question raised by revelation of there surrected one. This question
comes not only to surprised disciples on the wayto Emmaus, but to all
disciples of all the ages to come after the resurrection. The empty
grave in Jerusalem is the place where Fundamental Theology
meditates on the fascinating mystery of the incarnation and
resurrection of JesusChrist, the mystery of the meeting of the human
with the divine. The empty grave is a strong and central Christian
symbol. Prof.Tomáš Halík spoke of an interesting contrast between
the empty grave of Jesus and the mausoleum of Lenin: while the
second is a monument to death, fear anddestruction, the first by
contrast is a monument to life and renewed creation. Again, questions
of identity are implied by the reality of the empty grave in 
Jerusalem.  What  do  you  choose?  Who are you?  Who  do  you 
say  that  I am? But nowadays it is often stated that one can have no
firm identity at all; thereis just a flow. I believe that the concept of the
three-fold religious identity aswell as my observations on the inner
dynamics of Christian religious life presented in this article may help
us to swim better in the sea of this world.
Moreover, I am convinced that re-thinking fundamental
theology before the empty grave may lead us towards its
contemporary renewal, which is what Gerald O’Collins calls for in
his recent book Rethinking Fundamental Theology  (O’Collins 2011,
113

vii). How can fundamental theology contribute towards building


Christian religious identity in the contemporary world?
Karel Skalický, the Czech fundamental theologian offers three
paradigms for defining contemporary Christian identity in his most
recent account of Christian identity (Skalický 2014): a) there is a
paradigm of God´’s self-communication (Rahner), b) a paradigm of
the first and second creation (Skalický, Boublík) and c) a practically-
oriented paradigm of following Christ (Küng). I think all three
paradigms are indicated by the symbol of the empty grave and their
combinationmay be of great benefit for those who want to search for
Christian identitytoday. The first approach towards Christian identity
sees the Christian as being able to accept a God who freely
communicates himself in the concrete, historical event of Jesus
Christ, in the lives of Christians, and finally in the eschatological
future of the Kingdom of God. However, Skalický favours the second
approach, which defines Christian identity within the bipolarity of the
first and second creation. “Such bipolarity is significant even within
the nature of Christian identity. The Christian is a human being like
anyone else, but still the newand last Adam, the Risen one, who
anoints each person with his Spirit, lives inhim or her. By the power
of this anointing each Christian is born twice: bodily from his or her
parents and spiritually from the resurrected humanity of Christ,
through the anointing of the Holy Spirit. From a theological point of view,
suchan identity in not homogeneous, but heterogeneous (…)”
(Skalický 2014,17-18). A gradual transformation of the first
creation into the second is possible only through the praxis of
following Christ. This third aspect is emphasized in the third of the
above mentioned paradigms. However, true Christian identitycannot
114

be established only by following the crucified Jesus, an approach that


must be balanced by a thorough theology of resurrection.
It is obvious that questions of Christian identity are relevant for
individuals as well  as  for  the  community  of   believers.  At  the 
same  time,  I  am convinced that we may approach the questions
from a broader perspective as being rele-vant also for those who
believe differently and for those who do not believe atall. Generalized
questions of identity are equally relevant for secular as well as
religious people. We all want to know who we are and where we are
going, whether we have a goal in life or what the meaning is of all
that we do. Fundamental Theology is, of course, predominantly
focused on helping Christians to answer their identity questions, but I
am convinced that it can also contrib-ute to the search throughout
society for human ideals and to the process of creating and
constructing a general human identity. It can approach the abso-lute
horizon of humanity and explicate it for all who search for it out of
feeling the necessity to realize their own humanity. The famous
Czech thinker, dissident, and former president Václav Havel wrote in
Bory prison in 1982:“(…) man took the world, then he de facto lost it;
he subjugated it, then hedestroyed it (…). The deepest roots of this
tragic development are obvious Ithink: a crisis of the absolute horizon
of experience, which grew out of thevery spiritual structure of our
civilization, which is continually deepened by it,and leads towards the
loss of the sense of the integrity of existence, the mutual inter-
connection of beings, and of their independence. Mysterious
meaningfulness drains out of the phenomena of the world, which are
neither mysteriousnor meaningful any more, while everything is
turned into ‘mereness’ – and  what is most  important:  a crisis  of
the absolute horizon of experience leadsnaturally towards a crisis of
115

the personal responsibility of man towards the  world  and  for  the
world – that means towards  himself  and  for  himself.  And  where
such responsibility is lacking as a meaningful basis of the relationship
of man towards his surroundings, his identity inevitably vanishes as
his unmistakable place in the world, which is given by this
relationship” (Havel 1989,349).
Fundamental theology, taking account of developments in
public theology, can attempt to show how people can regain the world.
Havel’s experience of the absolute horizon of humanity is called an
experience of the divine (at the levelof general religiousness), with
transcendence. In other words, it is a transcendental experience of
faith, which also shows courage towards the fullness of themeaning
of life. The fundamental theologian goes further and offers a
moreconcrete vision of the absolute horizon of our humanity. A
vision that we maynot only experience, but we may also discover a
personal relationship with it,because above all this vision is of a
person. This is something fundamental the-ology may offer not only to
Christians but to all people of the world who searchfor its mysterious
meaningfulness. If humanity is the measure of the truthfulnessof the world-
picture, I am convinced that fundamental theology has much tosay,
because it offers a Christian perspective on humanity, where through
Christ,with him and in him, everyone can discover the true nature and
meaning oftheir own existence. And those who do not are also
welcome to join a dialogueand common quest for a better humanity.
Is it not the time to think about public fundamental theology?

Literature
B.AILEY , E. I., 2001. Implicit Religion in Contemporary Society. Leuven,
Peeters.B
 AUMAN, Z., 2007. Liquid Times: Living in the Age of Uncertainty. Cambridge:
PolityPress.
116

BULST, W., 1965. Revelation. New York, Sheed & Ward.


DAVIE, G., 1990, Believing without Belonging: Is this the future religion in
Britain? In
Social Compass 37/4, 455-469.
DE  LUBAC, H., 1958.Catholicism. A Study of Dogma in Relation to the
Corporate Destiny of Mankind. New York, Sheed & Ward INC.
DULLES, A., 1969. Revelation Theology. A History. New York, Herder &
Herder.
DULLES, A., 1992. Models of Revelation. Maryknoll, New York, Orbis Books.
DULLES, A., 1995. The Craft of Theology: From Symbol to System. New York,
Crossroad.
DULLES, A.,
1996. A Testimonial to Grace and Reflections on a  Theological  Journey.50
th anniversary edition, Kansas City, Sheed & Ward.
DUPUIS, J., 1994. Who do You say I am? Maryknoll, New York, Orbis Books.
ELIADE, M., 1987.The Sacred and the Profane. The Nature of Religion.
Orlando, Harcourt.
FRIES, H., 1996. Fundamental Theology . Washington, The Catholic University of America
Press.
GIDDENS, A., 2000.Sociologie . Praha, Argo.
HAIGHT, R., 2001. Dynamics of Theology . Maryknoll, New York, Orbis Books.
KIM, S., 2011.Theology in the Public Sphere: Public Theology as a Catalyst for
Open Debate . London, SCM Press.
L ATOURELLE, R., 1966.Theology of Revelation. Staten Island, New York,
Alba House –a division of St. Paul Publications.
MOLTMANN, J., 1999.God for a Secular Society: The Public Relevance of
Theology. London, SCM Press.
MUCHOVÁ  ,L.;Štěch,F.,2012.SustainableYouthMinistry–betweenHumanandDivine,In Journal
of Youth and Theology  , 1-2/2012, vol. 10, 59-72.
NEWMAN, J. H., 1909.Fifteen Sermons Preached Before the University of
Oxford  Between  A.D. 1826 and 1843. London, New York, Bombay and Calcutta,
Longmans, Greenand Co.
NOBLE, I., 2010.Tracking God. An Ecumenical Fundamental Theology. Eugene,
Oregon,  Wipf & Stock.
SCHREITER, R., 1997.The New Catholicity: Theology between the Global and
the Local. Maryknoll, New York, Orbis Books.
O’COLLINS, G., 2001.Fundamental Theology . Eugene, Wipf and Stock
Publishers.
O’COLLINS, G., 2011.Rethinking Fundamental Theology. Oxford, Oxford
University Press
117

BAB V

TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI “FUNDAMENTAL”
(Pertemuan 10, 11, 12)

Tak mudah untuk mengatakan bahwa Teologi fundamental


merupakan sebuah disiplin teologis. Karena itu muncul sebuah
ketidakpastian berkaitan dengan beragam pemahaman tentang
identitas teologi fundamental. Keraguan ini makin menjadi-jadi jika
kita memikirkan kenyataan bahwa Fundamental, dari naturanya,
dipanggil untuk menyelidiki revelasi dan kredibilitasnya.
Karenanya adalah penting menegaskan karakter teologis dari
Fundamental bertolak terutama dari isinya dan metodologi yang
dipakai.
Dalm bab III kita telah melihat karakter teologis – karakter
ilmiah dari Fundamental sebagai teologi dan metodologi dari
Fundamental sebagai teologi. Teologi Fundamental, dalam horison
ini, mencari untuk mengungkapkan alasan dari adanya, tepatnya
sebagai yang ‚fundamental’ bagi seluruh teologi. Jika tujuan dari bab
terdahulu adalah menunjukkan bahwa karena isinya dan metodenya,
Teologi Fundamental lahir dari kebutuhan evolutif ilmu teologis yang
perlu menyesuaikan diri dengan dinamika kemajuan; tujuan bab ini
sebaliknya adalah menjelaskan bahwa sebuah disiplin seperti Teologi
Fundamental itu perlu bagi teologi karena berelasi secara kritis
dengan event revelatif , ia adalah fundamen dan sentrum dari teologi.
Revelasi, menurut Dei Verbum dideskripsikan bukan hanya
dalam aspek obyektifnya sebagai doktrin dan pesan tetapi juga
sebagai sebuah aksi dari Allah: manifestasi diri Allah sendiri dan
118

pemberian diri Allah dalam diri Yesus Kristus. Kristus adalah Sabda
epifanik Allah: Ia adalah revelasi.
Revelasi adalah komunikasi diri Allah kepada manusia telah
dimulai sejak zaman Perjanjian Lama, mencapai puncaknya dalam
Perjanjian Baru, direfleksi lagi oleh para bapa Gereja, para pemikir
dari dunia Skolastik dan Konsili.
Pada bagian ini kita akan berbicara tentang mengapa
Fundamental itu fundamental dalam seluruh teologi. Fundamental itu
fundamental karena relasi kritis dengan event revelasi. Revelasi
adalah basis dan centrum dari teologi. Teologi Fundamamental itu
fundamental karena bisa menyusun dan menguraikan sebuah teologi
tentang revelasi dari revelasi itu sendiri. Jadi teologi Fundamental itu
adalah teologi dan fundamental sekaligus.

5.1. Teologi Fundamental dan Revelasi


Revelasi adalah hal pertama dan dasariah yang harus
dibicarakan dalam diskusi teologis. Teologi fundamental,
dikualifikasikan sebagai ‚fundamen’ karena ia menguraikan hal
pertama tersebut yang disebut revelasi. Teologi Fundamental adalah
sebuah teologi revelasi dari revelasi itu sendiri.

5.1.1. Teologi Fundamental = Prolegomena Teologi


Pro (tempat pertama, tempat awal, permulaan), legomai
(dikatakan). Pro-legomena artinya hal-hal pertama yang harus
dikatakan dalam teologi. Prolegomena disebut juga Epistemologi
Teologi yang membahas prinsip-prinsip pengetahuan teologi. Teologi
itu ilmu iman, maka caranya untuk memperoleh pengetahuan bukan
hanya melalui sensus, ratio dan intellectus melainkan juga melalui
revelatio et fides. Revelatio et fides merupakan dasar bagi konstruksi
119

teologi pada umumnya. Sejauh revelasi dan iman adalah dasar bagi
aktivitas berteologi maka epistemologi teologi disebut juga Teologi
Dasar – Teologi Fundamental.104
Revelatio et fides itu bersama-sama merupakan komunikasi
pribadi dan persatuan personal antara Allah dan manusia (DV 2-6).
Supaya dapat diimani, wahyu ilahi atau magnalia Dei harus
dikomunikasikan kepada manusia dan komunikasi itu terjadi dalam
event-event historis. Tata pelaksanaan wahyu ilahi itu disebut
ekonomi keselamatan.105

5.1.2. Teologi Fundamental, Teologi Revelasi dari Revelasi


Peralihan dari sebuah “teologi dari dogma” kepada “teologi
dari revelasi” bukan hanya suatu pertanyaan tentang nama tetapi
sesuatu yang penting untuk ditelusuri. Kurang lebih ada tiga “prinsip”
yang mengalir dari prospektif ini.
Menegaskan bahwa revlasi adalah “fundamen” bagi teologi
sama dengan mengeksplisitkan relasi yang tercipta antara fundamen
dan realitas di atasnya teologi dibangun. “Fundamen” bukan suatu
konsep tetapi sebuah prinsip. Fundamen adalah “id a quo aliquid
procedit.”106 Fundamen adalah prinsip darinya sesuatu berasal
termasuk mengakui bahwa teologi berasal secara konstitutif dari
revelasi dan kepada revelasi ia harus menghubungkan dirinya demi
setiap forma real dari pengetahuan spesefiknya yang mau disejajarkan
dengan “fundamen” itu. Lebih eksplisit lagi, revelasi menghadirkan
bagi teologi suatu fundamen dinamis. Mengatakan bahwa revelasi
adalah “fundamen” bagi teologi sama artinya dengan meletakkan

104
N. SYUKUR DISTER, Teologi Sistematik 1, Yogyakarta 2004, 35-36.
105
K. RAHNER, Concise Theological Dictionary, Freiburg/London 1965, 144.
106
Sembari menjelaskan tema trinitaris, Th. Aquinas dalam STh I, 33, 1 mendefenisikan
“fundamen” sbb: “Hoc nomen principium nihil aliud significat quam id a quo aliquid procedit;
omne enim a quo aliquid procedit, quocumque modo, dicimus esse principium”
120

refleksi historis dari revelasi sebagai prinsip formal dan causalnya:


masa lalu, masa kini dan masa akan datang. Mengatakan bahwa
revelasi itu “fundamen” bagi teologi berarti menemukan kembali
komponen pre-refleksif dan pre-teorik dari revelasi yang membantu
manusia untuk memikirkan revelasi sebagai sebuah “novum” yang
diberikan kepada umat manusia.
Revelasi sebagai “fundamen” dianggap sebagai suatu evidenza;
evidenza tidak bisa dicapai bertolak dari dirinya sendiri, sebab asal-
usulnya ada dalam dirinya sendiri yang penuh arti dan makna yang
memperkenalkan dirinya sendiri sebagai sebuah novum yang tak
pernah dikenal sebelumnya. Evidenza ini, dalam pengetahuan
teologis, dipandang diterima melalui pengetahuan akan iman yang
bisa mengeksplisitkannya tetapi tak mendemonstrasikannya.107

5.1.3. Historisitas Yesus Kristus dari Nazareth.


Pengetahuan manusiawi adalah sebuah mengenal dan
mengetahui historisitas sesuatu atau seseorang. Bahasa mengisinkan
temporalitas menjadi ‘sejarah.’ Historistas bukan saja kondisi bagi
pengetahuan melainkan kondisi bagi realisasi diri sebab melalui
dimensi historis seseorang merealisasikan dirinya sendiri lewat aktus-
aktus yang menentukan pengetahuan personal.
Berbicara tentang historisitas Yesus berbarti berbicara tentang
kesadaran personal Yesus melalui mana Ia memperkenalkan dan
mengenal/memahami DiriNya dan hidupNya sendiri. Melalui
historisitas Yesus Kristus kita jua berusaha melihat globalitas dari
DiriNya. PewartaanNya datang kepada kita jua melalui tingkah
lakuNya. Elemen yang mengkarakterkan ‘sejarah’-Nya, dilihat dan

107
H. U. Von BALTHASAR, Gloria.Un’ estetica teologica, I, Milan 1987, 397-491.
121

ditemukan dalam kesadaran untuk memberi makna kepada kematian


yang ada di depan mataNya dalam horison dari sebuah kekerasan.
Dalam kematian di salib kita berjumpa dengan dimensi paling
dalam: tidak saja dari kesadaran Yesus tentang DiriNya sendiri
berhadapan dengan hidupNya tetapi jua dan terutama berhadapan
dengan sabda suprem yang Allah ucapkan atas makna dari
manifestasi DiriNya sendiri.
Dalam event ini dan dalam interpretasi yang kita terima dari
Yesus, setiap orang bisa tahu jelas bahwa Ia berada di hadapan suatu
fakta suprem melalui mana seorang manusia memberikan makna
kepada hidupnya sendiri. Bisa saja ini menjadi kriteria bagi
normativitas hidup bagi suatu subyek yang lain. Bila kemudian iman
melihat di dalam subyek yang lain itu Allah yang menyerahkan diri
kepada kematian dan bahwa dalam kematian Allah merevelasikan
makna dari eksistensi trinitarian, maka iman berada di depan unicitas
dan irrepitibilitas absolut untuk mana event historis ini membawa
dalam dirinya harapan utk menjadi kunci resolutif bagi teka-teki
tentang sejarah personal dan universal.108

5.1.4. Isi dan Pemahaman, Novitas radikal dari Revelasi


Konsekuensi dari prinsip di atas adalah novitas radikal dari
revelasi. Jika kita tak ingin terperosok masuk dalam dikotomi teologis
sebelum Vatikan II, kita perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa
revelasi dalam dirinya sendiri bukan saja automanifestasi personal
Allah melainkan pada saat yang adalah isi obyektif yang
dipersembahkan kepada umat beriman. Revelasi dipresentasikan
sebagai sesuatu yang secara absolut baru; karena itu revelasi tidak ada
dalam diri kita, tidak berasal dari diri kita tetapi bisa dimengerti
108
R. FISICHELLA, Credibilità, dalam DTF, 224-227; ID, Senso della rivelazione, dlm
DTF, 1124-1125; W. KERN, Mistero pasquale: sofferenza e morte, dlm DTF, 786-800.
122

sebagai sesuatu yang datang dari luar dan menjumpai diri kita.
Posibilitas pengetahuan ditentukan oleh aktus kenotik yang dilakukan
oleh Allah dalam merevelasikan diri.
Kebaruan revelasi, dieksplisitkan kurang lebih dalam dua hal
ini: isi dan pemahaman. Sehubungan dengan isi, patut dicatat
terutama komunikasi Allah dengan manusia. Allah memilih Israel
sebagai suatu bangsa dengannya Ia berbicara. Komunikasi diri Allah
kepada manusia bermakna soteriologis artinya untuk menyelamatkan
manusia itu sendiri. Novitasnya ialah tak seorangpun sanggup
merealisasikan keselamatan dalam dirinya sendiri kecuali diberikan
oleh Allah. Pemahaman berkaitan dengan bahasa yang dipakai untuk
mengekpresikan iman dan merefleksikan iman. Bahasa yang
mengungkapkan iman mendahului setiap refleksi teologis sebab
bahasa adalah hal yang meletakkan dalam kenyataan refleksi itu
sendiri. Bahasa iman mengekspresikan hidup Yesus Kristus melalui
pewartaan. Yesus Kristua adalah kepenuhan dari janji dan ekspresi
defenitif revelasi Allah.

5.2. Revelasi
Dengan Sabda Allah menciptakan Langit dan Bumi serta segala
isinya (Kej 1:1-2:7). Langit dan bumi ini menjadi residensi untuk
semua makluk tercipta.
Untuk mengenal DiriNya sebagai Creator segala sesuatu, IA
mengutus FirmanNya: Sabda menjadi Manusia dan diam di antara
kita. Sabda itu yang memberitahukan siapa itu Allah kepada manusia
(Yoh 1:1-5.14.18).
Kekristenan tidak dibasiskan di atas moralisme atau filsafat
spekulatif melainkan kekristenan adalah a revealed faith. Revelasi
123

dibedakan antara general revelation (in creation) and  special


revelation (in the Bible).

5.2.1. Revelasi Umum dan Revelasi Khusus


Wahyu umum dan wahyu khusus itu merupakan dua cara
Allah mengungkapkan diri-Nya kepada manusia. Wahyu umum
merujuk pada kebenaran-kebenaran umum tentang Allah, yang
diketahui melalui penciptaan alam semesta. Wahyu khusus merujuk
pada kebenaran yang lebih spesifik tentang Allah, yang diketahui
melalui cara supranatural: Sabda Menjadi Manusia – Yesus Kristus.
Mazmur 19:2-5 menyatakan, “Langit menceritakan kemuliaan
Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari
meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan
pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata,
suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke
seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.”
Roma 1:20, “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya,
yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak
kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga
mereka tidak dapat berdalih.”
Sama dengan Mazmur 19, Roma 1:20 menyatakan bahwa
kuasa kekal dan natur keilahian Allah dapat “dilihat dengan jelas” dan
“dimengerti” dari apa yang diciptakan-Nya, dan tidak ada alasan bagi
manusia untuk menolak fakta ini. Keberadaan dan kuasa Allah dapat
dilihat dengan jelas melalui alam semesta. Keteraturan, kerumitan,
dan keajaiban ciptaan berbicara mengenai Pencipta yang berkuasa
dan mulia.
Dengan menjadikan langit dan bumi beserta segala isinya 
(makrokosmos), dan terutama dengan menciptakan manusia 
124

(mikrokosmos), Allah memperkenalkan diri kepada kita sebagai


Pencipta semesta alam. Dengan demikian, Ia menyatakan bahwa Ia
“mewahyukan” bahwa Dialah Khalik kita dan bahwa kita ini (beserta
segala ciptaan lainnya) adalah makhluk-Nya. Pewahyuan diri Allah
melalui karya-Nya sebagai Pencipta itu disebut wahyu umum/ wahyu
alamiah/ wahyu kodrati, karena yang menjadi sarana pewahyuan ini
ialah alam kodrat yang umum yang terdapat di seluruh dunia. Dengan
alam kodrat, dimaksudkan baik semesta alam raya maupun kodrat
manusia yang berakal budi.
Mungkin definisi yang tepat untuk wahyu umum adalah,
“penyataan Allah kepada semua orang, di segala zaman, dan di semua
tempat, yang menyatakan bahwa Allah ada dan bahwa Dia berakal
budi, berkuasa dan transenden.”
It is the psalmist who sings "The Heavens declare the glory of God; and
the  firmament shows his handiwork. Day  unto  day  utters  speech,  and night 
unto  night shows knowledge.  There is no speech  nor  language  where  their  
voice  is  not  heard." Men   have  known  these   things  for generations.  They
have gloried in the glory of a God who manifests himself in his wondrous work.
No speech nor language is spoken; it is not in the words of Greek or Hebrew  or
German or English;  yet every  day speaks and every night  shows  knowledge
The apostle adds in a later day,  "the invisible  things  of him  from  the  creation 
of the world are clearly seen, being understood by  the  things  that  are  made, 
even his eternal power and godhead; so that they are without excuse."  Psalmist
and apostle declare what no man can deny: that there is a God who can be known
through his works, and when we refuse to see him there we are without excuse.
Such  knowledge  of  God  forced  on  us  by  the  world  around  us  has 
been  recognize and accepted by believers  in  every  generation.   In  some
fashion  it is the approach of Plato, as he moves level upon level  to  his supreme 
Idea, an idea which, according to Plato's thinking, necessarily has moral qualities
which can be defined as an Ideal.  In some fashion it is the approach of Aristotle, 
as his system  carries  us  from  utter  matter  to  perfect  form  or  from  the 
inanimate  world to the high reaches  of  the  Unmoved  Mover.  More 
specifically, in the Christian tradition, men have discovered in  the  world  around
them "proofs" for God, reasons for faith, necessities for believing, and, at least 
in the direction of their thinking, they have been forced toward some knowledge 
of God. Arguments  for  the  existence  of God,  and  in  support  of  the  nature 
of God, are very old ones.  They have  been  subjected  to  much  criticism  and,
therefore, to considerable refinement in the history of thought. In  spite  of  such
criticism,  however,  they  keep  cropping  up  in  one  form  or  another,  one
argument,  or  one  way  of stating  the argument,  appealing  to  one  generation 
125

more  than to another; but none of the arguments ever quite disappears.   That


these  arguments keep reviving is probably  a reason  for their fundamental 
strength;  men feel under some duress to define what they  know  must  be  true
about God from the evidence of the external world.
Keeping in mind that these arguments say something about God's attribute
s as well as giving reasons  for  His  existence,  we  are  justified  in  using  them
as  supports in natural theology for our knowledge  of  God. In  general,  the
arguments  move under at least four titles: the cosmological, the  teleological,  the
anthropological,  and  the  ontological.    These  arguments  all  allow somewhat 
the  same  scheme,  namely  that an  effect  must  have  a  cause  equal  to  or
greater  than the effect  itself.   In  the general  scheme of things  you cannot  get
something from nothing and, surely, one can observe a great deal of something in
the  world  of nature;  the question  is,therefore:  what is "the source,  the 
support,   and the end" of all these things about us?  What is the  explanation  of 
their  existence?
The easiest argument is the  cosmological.  It  argues  from  the 
existence  of the Cosmos, the universe,  what  C.S. Lewis  calls  "the  whole
show."  Man  does not need to be either clever or subtle merely  to wonder  about 
the  world  around him.  How can one account for all these things he sees
and experiences the
birds, the rocks, the trees, and the stars in their courses?  This  first argument  in 
"natural"  theology  finds  us  unable  to escape  the  belief  that back  of  all 
this Cosmos there  is  something  or someone  equal to bringing  into  existence
(by what method we need not argue  here)  the universe  within us,  around  us,
and above us.
The  teleological   argument  is more  reflective  regarding  the universe.   
Here, our interest is focused on  design  and  purpose,  as  we  discover  the
amazing intricacy with which all things are interlocked as  if  united  in some
grand  mutual interdependency, some basic design.   These  interlocked designs
and  purposes  point  to  a designer,  some  intelligence  with  creative 
purpose.  There are no isolated  data,  there is no  item  so small  that  it 
is not somehow interrelated with every possible other  thing. Nothing  ever  "just 
happens."  You can never really say of anything that "it doesn't really  matter."   
Butler in his  Analogy,  Paley in his  Evidences, and in these latter days F.R.
Tennant in  Philosophical Theology  found  this  argument  from  design  almost 
conclusive for the existence and the nature of God. In his master work,  Nature, 
Man  and God, William Temple sets himself to examine the world of nature, 
only  to discover  that nature  includes  man and  that  nature  and  man  together 
point us to God.   
In some such  fashion  the anthropological  argument  grows  out  of  the
teleological argument, for  nothing  points  more  clearly  to intelligence  and
design than the fact of man himself, man who is able  to understand  the design 
and  to appreciate the designer.   But beyond this is man as person.   Man  as a 
person has what we call personality. Will anyone seriously argue that personality
can arise from some impersonal source?  Will anyone seriously support accidens
or material  or  both as sufficient  to account for all the wonders  in man?  Since 
man  is so creative himself, was the ground  of his existence uncreative? Thus 
the argument runs.We cannot get something  from  nothing;  we have  something 
personal in man; we cannot believe that this personal  end product  comes from
impersonal sources.
126

The  ontological argument points to perfection, or more exactly, to the ide
a of perfection, which we find inescapable in  our ways of thought.   To  use 
our  thinking  about God as an example, how is it possible  for us  to talk  about 
the  perfections of God without some idea of perfection as a point of reference?
Yet we are  imperfect  ourselves;  we think  imperfectly;  we are surrounded  by 
a  world of imperfections. Since, once again, we cannot get something from
nothing  and since assuredly we have  ideas  of perfection  which  cannot  be
accounted for in the immediacies of our surroundings, the  conclusion  suggests 
itself  that this idea of perfection must come directly from the perfect source, 
namely,  from God Himself. It would  appear from  this brief  treatment  that  we 
have  at least four reasons for believing in God. (Some  add  the moral 
argument,  that is,  the inescapable sense of "oughtness" common to all men,
Kant's categorical  imperative.   We  believe  that  the moral  argument,  which
we have  not here expanded, can find a natural  place 
in the anthropological argument). These tell us some very definite  things about 
God's nature:  He is mighty  enough  to account for the universe itself; He is
intelligent enough to satisfy its design; He  is
personal enough to account for man as person; and He is  the  ground of  all our
understanding  and perfection.   If we add  creativity  and  morality  as necessary 
to man as person,  we may presume  to have found  as  necessary  a  God who  is
almighty, intelligent,  personal,  creative,  moral,  and  perfect. We  are  not  far
from the kingdom!
From this a priori approach it it interesting to note that we are talking
again about a  reality  at the  source  of  things,  showing attributes of truth,
reason, and morality.  We are being pressed to the conclusion  again,  namely,
that  in what  is  called  natural theology there are strong reasons for knowing 
that there is a God  and knowing something of his attributes.   But, "can a man by
searching find out God?" Only is this possible when God is pleased to
reveal himself and to answer  finally  and  authoritatively  man's  deepest
questions.  This is not natural revelation but special  revelation. This is  the Bible 
record of  God's  mighty  acts  and  his authoritative word about the  revelatory 
acts  and  about  himself.   This is  the  climax and  fulfillment  of  God's  word
to us in the Living Word, even Jesus  Christ. Natural  revelation  gives  us
direction and confidence in our search for God; God's  special revelation gives  us
final  authority and  assurance  regarding  his own nature  and his  will for man.
As Calvin  suggests,  in the Bible  we have  the "divine spectacles" which  bring
the truths  of natural  theology  into  focus.109 

Sedangkan Wahyu khusus atau wahyu adikodrati itu


berelasi dengan bagaimana Allah memilih menyatakan diri-Nya
melalui cara-cara ajaib. Wahyu khusus mencakup penampakan fisik
Allah, mimpi, penglihatan-penglihatan, Firman Allah yang tertulis,
dan yang paling penting – melalui Yesus Kristus.

109
The Knowledge of God: General adn Specail Revelation by Addison H. Leitch:
Hhttp://www.rediscoveringthebible.org/GenSpeRevelation.pdf
127

Alkitab mencatat Allah berkali-kali menampakkan diri dalam


wujud fisik (beberapa contoh antara lain Kejadian 3:8; 18:1; Keluaran
3:1-4; 34:5-7). Kedua, Alkitab mencatat Allah berbicara kepada
manusia melalui mimpi (Kejadian 28:12; 37:5; 1 Raja-Raja 3:5;
Daniel 2) dan penglihatan-penglihatan (Kejadian 15:1; Yehezkiel 8:3-
4; Daniel 7; 2 Korintus 12:1-7).
Yang paling penting dalam pengungkapan diri Allah ialah
Firman-Nya, yang merupakan wujud wahyu khusus. Wujud wahyu
khusus yang paling utama itu adalah Pribadi Yesus Kristus. Allah
menjadi manusia (Yohanes 1:1, 14). Ibrani 1:1-3 memberi ringkasan
yang paling bagus, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali
dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan
perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara
kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, … Ia adalah cahaya
kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”
Allah telah menjadi manusia, dalam Pribadi Yesus Kristus,
untuk menjadi sama dengan kita, menjadi teladan kita, mengajar kita,
mengungkapkan diri-Nya kepada kita, dan yang paling penting, untuk
menyediakan keselamatan kepada kita dengan merendahkan diri-Nya
mati di salib (Filipi 2:6-8). Yesus Kristus itu “wahyu khusus” Allah
yang paling utama.
Wahyu adikodrati ini melebihi wahyu kodrati, karena baik
fakta maupun isi wahyu khusus itu tidak dapat ditangkap dengan
“kemampuan kodrati akal budi”, tetapi hanya dengan budi yang
diterangi oleh iman. Yang menjadi sarana pewahyuan khusus ini ialah
terutama peristiwa-peristiwa sejarah yang dialami oleh umat Israel
sejak panggilan Abraham sampai dengan peristiwa Yesus. Wahyu
khusus yang memuncak dalam diri Yesus itu mencapai kepenuhannya
dalam kebangkitan Yesus dari alam maut, lalu diteruskan oleh Kristus
128

Mulia dengan mengutus Roh-Nya kepada orang-orang yang percaya


kepada-Nya, yakni Gereja, umat Allah yang baru, “Israel baru”.
Special revelation: God’s self-disclosure in redemptive history and in the
interpretive word of Scripture whereby He makes Himself and His truth known at
specific times and to specific people. God cannot be known redemptively except
as He reveals Himself to us. Jesus is the culmination of God's self-disclosure to
man and since Jesus cannot be separated from His word, the Scriptures are the
ultimate form of divine revelation from God to us, for without them, we would
know nothing certain about Jesus or any of the Divine Persons of the Holy
Trinity.
'Their voice has gone out to all the earth, and their words to the ends of
the world'" (Rom. 10:18).
"The heavens proclaim his righteousness, and all the peoples see his
glory." (Psalm 97:6)
"In the past God spoke to our forefathers through the prophets at many
times and in various ways, but in these last days He has spoken to us by His Son"
(Hebrews 1:1-2)

Apakah Wahyu Umum dan Wahyu Khusus itu saling berelasi?


Antara creazione dan redenzione ada relasi yang erat. Allah Pencipta
yang menjadikan langit dan bumi adalah Allah yang sama dengan
Allah Penyelamat. Karya penciptaan dirangkul oleh rencana
penyelamatan, sebab Allah pertama-tama mau menyelamatkan
manusia, dan oleh karena itulah diciptakan-Nya dunia kodrati.

5.2.2. Revelasi Dalam Rumusan Konsili


129

Konsili Trente (1545- 1563)110 menghadapi gerakan


Reformasi  yang berpendapat bahwa wahyu sampai kepada kita
sekarang hanya melalui Kitab Suci saja (sola scriptura). Melawan
pendapat Reformasi ini, Konsili Trente menegaskan bahwa wahyu
diteruskan bukan hanya melalui Alkitab, melainkan  juga melalui
tradisi lisan. Dalam hal ini Konsili Trente tidak membahas tentang
hakikat wahyu, tetapi cara wahyu itu diteruskan.
Semangat sola scriptura ("kitab suci saja") yang disuarakan
oleh para reformis Protestan secara tidak langsung menggugat aspek
"tradisi" yang sangat menonjol dalam Gereja Katolik. Menanggapi
gugatan ini, Konsili Trente mengeluarkan rumusan yang secara tegas
menekankan pentingnya relasi antara Kitab Suci dan tradisi dengan
menyatakan bahwa:111
110
Carles V, Kaisar Kekaisaran Romawi Suci menyokong diadakannya sebuah konsili,
namun para Paus pada umumnya enggan melakukannya. Francis I  dari  Prancis juga
menyebabkan berbagai kesulitan untuk mengadakan hal ini. Konsili ini pada mulanya
ditangguhkan dan kadang-kadang ditunda oleh karena penentangan dari pihak para paus dan
pemberontakan melawan sang kaisar. Paus Paulus III akhirnya memerintahkan diadakannya
konsili pada tahun 1537 di Mantua, yang dihalang-halangi oleh Prancis, dan pada tahun 1538
di Vicenza, yang tidak mendapatkan dukungan dari sang kaisar. Pertemuan di Trent pada tahun
1542 akhirnya membuahkan hasil pada tahun 1545, dan konsili ini bertemu selama tiga periode:
tahun 1545-1547, 1551-1552, dan 1562-1563, dengan penundaan pertama akibat sebuah epidemi
penyakit di Trento dan yang kedua akibat pemberontakan melawan sang kaisar dan penentangan
pribadi Paus Paulus IV
Konsili Trente Tahun 1545-1547: Konsili ini adalah reaksi awal gereja katolik (secara
ekumenis) terhadap gerakan reformasi. Para Paus pada periode ini memperlihatkan sikap
penolakan terhadap acakan Paus untuk melaksanakan konsili ini. Ada ketakutan bahwa para Paus
akan disudutkan dalam konsili ini. Di bawah desakan Paulus III, konsili ini akhirnya dilaksanakan
pada tanggal 13 Desember 1545. Konsili ini dihadiri oleh 25 orang Uskup, 5 pemimpin umum
tarekat religius, dan tidak ada seorang pun dari kalangan Protestan.[2]
Konsili Trente Tahun 1551-1552:Salah satu peristiwa menarik dalam konsili ini adalah
penolakan para konsiliaris terhadap intervensi Karel V. Campur tangan Karel V dinilai akan
menghambat perbincangan dokrtrinal yang akan dirumuskan untuk melawan para pengikut
Protestan.
Konsili Trente tahun 1562-1563: Konsili ketiga ini menjadi usaha terakhir untuk
mengadakan rekonsiliasi antara katolik dan Protestan. Usaha ini sendiri gagal sehingga protestan
dan katolik terus berkonflik. Konsili ini bahkan ada di bawah ancaman perang dari pihak
protestan. Karel V yang sedianya menjamin keaman konsili ditangkap oleh pihak protestan.
Situasi ini membuat para Paus yang sedang bersidang menghentikan konsili dan meninggalkan
Trento.
Konsili Trento adalah perwujudan cita-cita gerakan Kontra-Reformasi yang paling
mengagumkan. Setelah itu, gereja katolik membutuhkan waktu 300 tahun lagi
mengadakan Konsili Ekumenis berikutnya.
111
David L. Baker, Satu Alkitab Dua Perjanjian: Suatu Studi tentang Hubungan
Teologis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996).
40-41
130

"Kebenaran dan kaidah ini terkandung di dalam kitab-


kitab yang tertulis serta tradisi yang tidak tertulis...
[Konsili] menerima dan menghargai semua Kitab
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dengan
kesetiaan dan kehormatan yang sama...bersama-sama
dengan semua tradisi tersebut."
Konsili Vatikan I (1869- 1870)112 menghadapi gerakan 
modernisme  yang berusaha mengintegrasikan hasil ilmu pengetahuan
modern ke dalam iman, tetapi dalam praktek sering cenderung
mengorbankan iman demi ilmu pengetahuan. Kebenaran iman yang
112
Konsili Vatikan I dihimpunkan oleh Paus Pius IX melalui bula kepausan Aeterni
Patris pada 29 Juni 1868. Sidang Pertama dilaksanakan di Basilika Santo Petrus pada 8
Desember 1869. Konsili ini merupakan konsili oikumenis kedua puluh bagi Gereja Katolik Roma,
yang dihadiri hampir 800 pimpinan gereja.
Tujuan utama Paus menghimpunkan Konsili ini adalah untuk memperoleh konfirmasi
akan sikap yang telah ditetapkannya dalam Syllabus Errorum (1864), yang mengutuk serangkaian
aliran rasionalisme, liberalisme, dan materialisme.
Tujuan Konsili ini selain pengutukan itu, adalah untuk mendefinisikan doktrin mengenai
gereja. Selama tiga Sidang, terlaksana diskusi dan persetujuan akan hanya dua konstitusi: Dei
Filius (Konstitusi Dogmatis mengenai Iman Katolik, berisikan di antaranya iman Katolik
bahwa Alkitab diinpirasikan oleh Allah) dan Pastor Aeternus (Konstitusi Dogmatik Pertama
Gereja mengenai Kristus, menguraikan tentang keutamaan dan infalibilitas Uskup Roma ketika
sedang memberikan dogma).
Definisi infalibilitas paus bukanlah merupakan agenda orisinil untuk didiskusikan (Pius
IX merasa bahwa tidak pantas baginya untuk memasukkan topik tersebut dalam agenda), tetapi
segera ditambahkan setelah konsili dimulai. Hal ini menjadi kontroversial, bukan karena banyak
yang tidak percaya bahwa Paus tidak bisa salah, tetapi karena kebanyakan merasa bahwa doktrin
tersebut tidak seharusnya dijadikan sebagai dogma resmi. John Henry Newman, sebagai contoh,
menyatakan bahwa definisi formal seperti itu dapat menyebabkan banyak orang akan
meninggalkan imannya. Beberapa khawatir bahwa hal ini akan mendorong kecurigaan baru
bahwa orang Katolik memiliki kesetiaan ganda. Pandangan ini disampaikan oleh dua pertiga
Uskup Amerika Serikat dan banyak dari Prancis dan Jerman.
Sebanyak 60 anggota Konsili kemudian bersikap absen dengan meninggalkan Roma sehari
sebelum pemungutan suara. Uskup Agung Antonio Maria Claret (di kemudian hari dikanonisasi),
seorang dari pengadilan kerajaan Spanyol dan pendiri dari Misionaris Putra-Putra Hati Maria
Imakulata (Misionaris Claretian), dengan keras mengutuk "penghujatan dan bidah yang
diucapkan di atas lantai dalam Konsili ini," dan merupakan salah satu pembela terkuat dari isu
infalibilitas paus dan keutamaan Tahta Suci Roma. Dia adalah satu-satunya anggota Konsili yang
dikanonisasi menjadi Santo (dibeatifikasi pada 1934 dan dikanonisasi oleh Paus Pius
XII pada 1950). Kemudian ia meninggal di biara Cistercian di Fontroide, Prancis, pada 24
Oktober 1870. Diskusi dan persetujuan mengenai konstitusi tersebut memunculkan kontroversi
serius yang membawa kepada pengunduran diri dari mereka yang di kemudian hari dikenal
sebagai Gereja Katolik Lama.
Pecahnya perang Prancis-Prussia terjadi di tengah-tengah masa Konsili,
menyebabkannya ditunda akibat jatuhnya Roma, dan Konsili ini akhirnya tidak pernah
dilanjutkan. Konsili ini secara resmi tidak pernah ditutup sampai berpuluh tahun berikutnya, dan
secara resmi ditutup pada waktu persiapan Konsili Vatikan Kedua. Hasil dari Konsili Vatikan
Pertama ini menunjukkan kemenangan gerakan Ultramontanisme yang mendukung pemerintahan
sentral Vatikan bagi Gereja Katolik. Peningkatan kesadaran akan identitas diri sebagai kaum
Katolik Roma pun bermunculan di seluruh dunia, seiring dengan meningkatnya jumlah lapangan
pekerjaan di kehidupan religius dan kepastoran, bersama-sama dengan aktivitas politik pro-
Katolik yang jelas di masing-masing negara.
131

tidak dapat dimengerti dengan akal budi insani sering ditolak oleh
kaum modernis. Melawan modernisme ini, Konsili Vatikan I
menyatakan bahwa juga kebenaran iman yang tidak dapat dipahami
dengan cahaya kodrati akal budi manusia harus diterima oleh orang
beriman, sebab diwahyukan oleh Allah yang tidak dapat sesat atau
pun menyesatkan. Dalam hal ini, Konsili Vatikan I juga tidak
bertanya apakah wahyu itu sebenarnya, tetapi hanya menanyakan
hubungan antara wahyu dan akal budi. Konsili Vatikan I tidak
memandang wahyu secara menyeluruh, tetapi hanya memandangnya
dari sudut pengetahuan saja.
Berbeda dengan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I, Konsili
Vatikan II memandangnya Wahyu secara keseluruhan sembari
menegaskan makna dan hakekat Wahyu itu.

Dei Verbum 2: Hakekat wahyu


Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya
dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef1:9); berkat rahasia itu manusia
dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh
Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18 ; 2Ptr1:4). Maka dengan
wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan
cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel33:11 ;
Yoh15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar3:38), untuk mengundang
mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka
didalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan
yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam
sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-
kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan
karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Tetapi
melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan
keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menandai
pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu
Dei Verbum 3: Persiapan wahyu ilahi
Allah, yang menciptakan segala sesuatu melalui sabda-Nya (lih. Yoh 1:3), serta
melestarikannya, dalam makhluk-makhluk senantiasa memberikan kesaksian
tentang diri-Nya kepada manusia (lih. Rom1:19-20). Lagi pula karena Ia
bermaksud membuka jalan menuju keselamatan di sorga, Ia sejak awal mula
telah menampakkan Diri kepada manusia pertama. Setelah mereka jatuh, dengan
menjanjikan penebusan Ia mengangkat mereka untuk mengharapkan keselamatan
(lih. Kej3:15). Tiada putus-putusnya Ia memelihara umat manusia, untuk
132

mengurniakan hidup kekal kepada semua, yang mencari keselamatan dan


bertekun melakukan apa yang baik (lih. Rom2:6-7). Adapun pada saat yang
ditentukan Ia memanggil Abraham untuk menjadikannya bangsa yang besar (lih.
Kej12:2). Sesudah para Bapa bangsa Ia membina bangsa itu dengan perantaraan
Musa serta para Nabi, supaya mereka mengakui Diri-Nya sebagai satu-satunya
Allah yang hidup dan benar, bapa Penyelenggara dan hakim yang adil, dan
supaya mereka mendambakan Penebus yang dijanjikan. Dengan demikian
berabad-abad lamanya Ia menyiapkan jalan bagi Injil.
Dei Verbum 4: Kristus kepenuhan wahyu
Setelah berulang kali dan dengan berbagai cara Allah bersabda dengan
perantaraan para Nabi, “akhirnya pada zaman sekarang Ia bersabda kepada kita
dalam Putera” (Ibr1:1-2). Sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni sabda kekal,
yang menyinari semua orang, supaya tinggal ditengah umat manusia dan
menceritakan kepada mereka hidup Allah yang terdalam (lih. Yoh1:1-18).
Maka Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia
kepada manusia”, “menyampaikan sabda Allah” (Yoh3:34), dan menyelesaikan
karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh5:36 ;
Yoh17:4). Oleh karena itu Dia – barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga
(lih. Yoh14:9) – dengan segenap kehadiran dan penampilan-Nya, dengan sabda
maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizatnya, namun
terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut,
akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, menyelesaikan wahyu dengan
memenuhinya, dan meneguhkan dengan kesaksian ilahi, bahwa Allah menyertai
kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan dosa serta maut, dan untuk
membangkitkan kita bagi hidup kekal.
Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah
akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang
baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-
Nya (lih. 1Tim6:14 dan Tit2:13).
Dei Verbum 5: Menerima wahyu dan iman
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan
iman” (Rom16:26 ; lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan
bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan
“kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang
mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu
yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan
rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh
Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka
mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui
dan mempercayai kebenaran”. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan
wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-
kurnia-Nya.
Dei Verbum 6: Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan
Dengan wahyu ilahi Allah telah mau menampakkan dan membuka diri-Nya
sendiri serta keputusan kehendak-Nya yang abadi tentang keselamatan manusia,
133

yakni “untuk mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama sekali
melampaui daya tangkap akalbudi insani”
Konsili suci mengakui bahwa “Allah, awal dan tujuan segalan sesuatu, dapat
diketahui dengan pasti dengan kodrati nalar manusia dari apa yang diciptakan”
(lih. Rom1:20). Tetapi Konsili mengajarkan juga bahwa berkat wahyu Allah
itulah “segala, yang dalam hal-hal ilahi sebetulnya tidak mustahil diketahui oleh
akalbudi manusia, dalam keadaan umat manusia sekarang dapat diketahui oleh
semua dengan mudah, dengan kepastian yang teguh dan tanpa tercampuri
kekeliruan mana pun juga”
Wahyu bukan sesuatu yang teoritis melainkan sesuatu yang
faktual yakni Allah menyatakan Diri kepada manusia dalam dan
melalui Yesus Kristus (bdk. Ef 1 : 9; bdk. Ef 2 : 18; 2 Ptr 1 : 4).
Wahyu itu adalah suatu fakta, karena ada komunikasi pribadi antara
Allah dan manusia, Allah memperkenalkan diri-Nya sendiri dan
rencana penyelamatan-Nya kepada manusia, Allah menganugerahkan
DiriNya kepada manusia. 
Jawaban manusia kepada Allah yang berbicara kepadanya
adalah iman atau penyerahan diri secara personal dan total kepada
Allah. Dengan demikian, Konsili menekankan aspek relasi personal
antara Allah dan manusia.

5.2.3. Misteri Revelasi


Jika kita berkonsultasi pada beragam ensiklopedi kita akan
menemukan defenisi tentang revelasi yang kurang lebih sama.
Revelasi didefenisikan sebagai ‘komunikasi kebenaran religius dari
Allah kepada manusia, secara personal atau dengan perantaraan
malaikat’ yang telah dimulai dalam Perjanjian Lama dan berpuncak
dalam Perjanjian Baru.

5.2.3.1. Mengetahui Yang Tidak Dapat Diketahui


Teologi adalah God-talk yakni berpikir atau berkata tentang
Allah, demikianlah judul salah buku dari teolog Skotlandia, John
134

Macquarrie.113 Teologi, kata René Latourelle, adalah pengetahuan


tentang Allah atau pengetahuan yang menjadikan Allah sebagai
obyeknya.114 Akan tetapi soalnya ialah bahwa Allah tidak akan pernah
menjadi sebuah benda atau sebuah obyek sebagaimana kata Stanley
Jedida Samartha: „Allah tak pernah akan menjadi obyek pengetahuan
manusia. Allah senantiasa menjadi subyek abadi“.115 Allah itu selalu
subyek dan Allah selalu merupakan Misteri. Ronaldo Muños
menegaskan bahwa kita tidak dapat menjadikan Allah sebagai sebuah
‚obyek‘ dalam arti ilmiah yakni meletakkan Allah di depan mata kita,
mengukur dan menghitung Allah, mengkaji kontur-konturnya,
memahaminya secara tuntas dan menyimpulkannya secara
intelektual.116
Ketidakterperian radikal Allah dirumuskan Gregorius dari
Nyssa (sekitar 335-394) sebagai berikut: „Allah adalah batu karang
yang licin, terjal dan curam, di mana akalbudi tak dapat menemukan
tempat peristirahatan yang aman untuk mendapat pegangan atau
mengangkat diri ke atas. Apapun daya upaya kita, akal budi kita tidak
bisa mendekatiNya“.117 Nampaknya pengetahuan tentang Allah itu
sebuah kemustahilan bahkan sebuah penipuan bila ada yang
mengatakan bahwa ia tahu sedikit tentang Allah. Itulah sebabnya
Agustinus, Uskup Hippo di Afrika Utara (354-430) mengatakan
bahwa „jika Anda telah mengerti tuntas, maka itu bukan Allah. Jika
Anda mampu memahami, maka Anda mengerti sesuatu yang lain
alih-alih Allah. Jika Anda mampu memahami bahkan hanya sebagian
113
J. MACQUARRIE, God-talk: An Examination of the Language and Logos of Theology,
SCM Press, London 1967. Judul buku yang mirip dibuat jua oleh teolog Feminin ROSEMARY
RADFORD RUETHER, Sexism and God-talk Toward a Feminist Theology, Beacon Press,
Boston 1993
114
R. LATOURELLE, Theology, Science of Salvation, Alba House, New York 1969, 3
115
S. J. SAMARTHA, “The Asian Context: Source and Trends” dalam R.S.
SUGIRTHARAJAH (Ed), Voices from the Margin: Interpreting the Bible in the Third World,
Orbis Books, Maryknoll, New York 1991, 48
116
R. MUÑOS, The God of Christians, Orbis Books, Maryknoll, New York 1990, 4
117
Ibadat Harian, Bacaan Ofisi untuk hari Kamis dalam Minggu XII Masa Biasa
135

kecil saja, maka Anda telah menipu diri dengan pikiran Anda
sendiri“.118 Dan teolog Barat lain, Isidorus dari Sevilla (wafat 636)
menulis bahwa „Allah dikenal secara benar hanya jika kita
menyangkal bahwa Allah dapat diketahui dengan sempurna“.119
Abad pertengahan Thomas Aquinas coba berusaha
memecahkan kebuntuan tentang mengetahui apa yang tidak dapat
diketahui melalui via negasi. Dalam kasus Allah, „kita tidak bisa tahu
apakah Allah itu kecuali apa yang bukan Allah dan karena itu kita
tidak memiliki sarana untuk membedah Allah kecuali bagaimana
Allah tidak/bukan“.120 Jadi pengetahuan kita tentang Allah selalu
menggunakan via „analogia“121 artinya bahasa tentang Allah bisa
mengungkapkan seperti apakah sesungguhnya Allah namun tidak
pernah secara tuntas mengungkapkan seperti apakah Allah itu.
Bahkan Thomas Aquinas mengatakan bahwa bahasa kita mengatakan
lebih banyak tentang yang bukan Allah daripada tentang seperti
apakah Allah itu.122 Menjelang akhir hidupnya, ketika Thomas
Aquinas sedang merayakan Misa, ia mendapat penampakan Kristus
dan sejak saat itu, ia tidak mau menulis lagi. Thomas Aquinas
membagikan pengalaman rohaninya dengan Sang Misteri sebagai
berikut: „Saya tidak bisa terus (menulis) lagi.... semua yang sudah
saya tulis terlihat seperti jerami belaka dibandingkan dengan apa yang
saya lihat dan apa yang diwahyukan kepada saya“.123
Mistikus besar Jerman, Meister Eckhart (1260-13290)
berbicara tentang pentingnya „mencutikan Allah demi kepentingan
118
AGUSTINUS, Sermo LII, bab VI, 16, PL 38, col. 360
119
Dikutip oleh JAROSLAV PELIKAN dalam bukunya The Christian Tradition: A History
of the Development of Doctrin, vol. 3, University of Chicago Press, Chicago 1971-1989, 20
120
T. AQUINO, Summa Theologiae, part I, q. 3, a. 3
121
T. AQUINO, Summa Theologiae, part I, q. 3, a. 10
122
D. BURREL. “Aquinas: Articulating Transcendence” dalam Excercises in Religious
Understanding, University of Notre Dame, Notre Dame 1974, 132-133
123
J. A. WEISHEIPL, Friar Thomas d’Aquino, Doubleday, New York 1974, 321-322; T. F.
O’MEARA, Thomas Aquinas: Theologian, University of Notre Dame Press, Notre Dame 1997,
31.
136

Allah dan demi pengetahuan benar tentang Allah“.124 Sekitar tahun


1401-1464, Nikolaus dari Cusa berbicara tentang pengetahuan terbaik
dan terbenar tentang Allah adalah docta ignorantia yakni ketidak-
tahuan terpelajar. Makna dari docta ignorantia ialah kita belajar
tentang Allah untuk mengakui ketidaktahuan kita tentang Allah yang
begitu melampaui segala pemikiran kita.... tentang Trinitas yang
melampaui segala penjumlahan dan penomoran, tentang
kesempurnaan ilahi yang melampaui segala yang terbaik dan terbenar
sepanjang masa.125
Blaise Paschal (1623-1662) menulis bahwa „sebuah agama
yang tidak menegaskan bahwa Allah itu tersembunyi bukan agama
yang benar“. 126 Dua abad kemudian Soren Kierkegaard (1813-1855)
menegaskan bahwa antara Allah dan manusia terdapat perbedaan
kualitatif yang tidak terbatas. Pikiran ini sangat mempengaruhi Karl
Barth sampai Barth mengatakan bahwa para malaikat akan tersenyum
dan tertawa lucu ketika membaca teologinya.127
Rekan sezaman Barth, Paul Tillich (1886-1965) dengan nada
sangat hati-hati berkata bahwa „seseorang hanya bisa berbicara
tentang Allah yng ultim dalam bahasa yang pada saat yang sama
menolak kemungkinan untuk berbicara tentang yang ultim itu“.128
Martin Buber (1878-1965) dalam bukunya I and Thou menulis:
„Allah, Kehadiran yang abadi, tidak mengizinkan diriNya untuk
dipegang. Celakalah orang yang begitu rakus sehingga ia berpikir
bahwa ia memegang dan memiliki Allah“.129

124
J. CAMPBELL – B. MOYERS, The Power of Myth, Doubleday, New York 1988, 49
125
D. L. EDWARDS, Christianity: The First Two Thousand Years, Orbis Books,
Maryknoll, New York 1997, 261
126
S. McMARTY, Partners in the Divine Dance of Our 3-Personal God, Illumination
Books, New York 1996, 20
127
E. BUSCH, Karl Barth: His Life from Letters and Autobiographical Texts, Fortress
Press, Philadelphia, 1976, 116
128
P. TILLICH, Dynamics of Faith, Harper Torchbooks, New York 1958, 61
129
M. BUBER, I and Thou, Charles Schribner’s Sons, New York 1958, 160
137

5.2.3.2. Bisa Mengetahui Sang Misteri


Pengetahuan terdalam tentang Allah ialah mengetahui bahwa
kita tidak pernah dapat tahu total. „Tidak ada kekurangan ruang
sedikitpun bagi seorang yang berlari menuju Tuhan...makin
mendekati garis finis, titik finis semakin menjauh di sana.... orang
yang naik ke hadirat Tuhan tidak pernah ada titik perhentian,
berangkat dari awal ke awal, dengan awal yang tidak pernah
berakhir“130
Teologi negatif (apofatik) Kristen bukan bahwa kita tidak
mengenal sama sekali Allah melainkan bahwa kita mengetahui Allah
sebagai Sang Misteri Mutlak. Hilarius dari Poitiers merumuskan
pengetahuan manusia akan Sang Misteri Mutlak itu sebagai berikut:
„quod ignoro iam teneo“ - Saya memiliki Realitas itu walaupun saya
tidak memahamiNya.131
Bagaimana caranya kita memahami Misteri Mutlak ini? Gabriel
Marcel, filsuf eksistensialis Katolik Perancis ini menganjurkan
kepada kita langkah awal ini: memahami lebih dahulu relasi antar
problem dan misteri. Problem itu adalah sesuatu yang tidak diketahui
namun entah bagaimana pada akhirnya melalui kecerdasan manusia
atau kebetulan belaka kita dapat mengetahuinya dan
menyelesaikannya. Problem, kata G. Marcel: „sesuatu yang menimpa
saya, sesuatu yang saya hadapi dan sesuatu yang bisa saya kepung
dan sesuatu yang bisa dikurangi atau diatasi“. Sedangkan misteri
adalah sesuatu yang diketahui namun sama sekali tidak mungkin
untuk ditemukan, dipecahkan dan dikendalikan. Misteri, kata Marcel,
adalah „sesuatu di mana kita terlibat di dalamnya“.132 Pemecahan
masalah itu nampak seperti pindah dari gelap ke dalam terang
130
Dikutip dalam Y. CONGAR, I Believe in the Holy Spirit, vol. 1, Crossroad, New York
1997, 77
131
Y. CONGAR, I Believe in the Holy Spirit, vol. 3, 213
132
G. MARCEL, Being and Having, Harper Torchbooks, New York 1965, 117
138

sementara mengetahui misteri itu seumpama dibutakan oleh cahaya


dan semarak cahaya itu menyembunyikan misteri itu. Dunia ini
dipenuhi semarak kemuliaan Allah atau dunia ini dipenuhi dengan
rahmat Allah.

5.2.3.3. Subyektivitas dan obyektivitas


Irenius (teolog kelahiran Suriah, abad ketiga – 130-200)
mengatakan bahwa „Allah memanggil bangsa Israel untuk bergerak
menuju yang primer melalui apa yang sekunder“. 133 Kehadiran Allah
begitu nyata dalam kehidupan manusia tatkala Allah menyatakan
subyektivitasNya melalui obyektivitas (peristiwa-peristiwa konkrit).
Jadi pola wahyu itu adalah yang finite menyatakan yang infinite, yang
terbatas menyatakan yang tak terbatas, yang obyektif mengungkapkan
yang subyektif, yang biasa menguakkan misteri.

5.3. Tahapan Mengenal Sumber Revelasi


Pada hakekatnya revelasi merupakan inisiatif bebas Allah
penuh cinta dengannya Allah berkehendak menjalin sebuah relasi
interpersonal dengan manusia. Allah ingin membangun sebuah
struktur dialog dengan manusia. Relasi interpersonal itu bisa disebut
juga salutis colloquium.
Karya ini hanya satu saja namun terdiri dari beberapa tingkat
dan tahap yakni: 1) kreasi natural; 2) Sabda yang ditujukan kepada
umat Allah lalu berinkarnasi; 3) revelasi sempurna Allah dalam
kerajaan surgawi (eskatologis).
Ada tiga aspek yang menunjukkan kehadiran Allah dalam
ciptaanNya: kehadiran yang maha luas dengan kausalitanya; rahmat,
saat Allah memberikan diri secara personal sebagai obyek
133
Ide IRENIUS dari Lyons ini ha dalam Ibadat Harian, Bacaan Ofisi untuk hari Rabu
dalam pekan Prapaska II
139

pengetahuan dan cinta namun masih jauh; kemuliaan tiada akhir.


Ketiganya mengandaikan inisiatif Allah; ketiganya berelasi satu
dengan yang lain: yang terakhir mendukung yang kedua, lalu yang
terakhir dan yang kedua mendukung yang pertama. Semua ini
merupakan rencana unik Allah bagi manusia ciptaanNya (Rm 8:29-
30; Ef 1:4-5; 2Tim 1:9-11).
=Melalui natura
Teks prinsipil yang berbicara tentang pernyataan diri Allah
melalui natura atau ciptaan adalah Kebij 13:1; Rom 1:19-21
(φανεροũυ); Kis 17:24-29; teks lain adalah: Mazm 19:2; Yes 40:26;
1Kor 1:21. Paulus tak menghubungkan kesaksian atau komunikasi
Allah ini dengan rencana manusia melainkan kepada aktus dan
inisiatif Allah, dan pada level ini kita bicara tentang aksi penciptaan.
Jika revelasi ini harus direlasikan ulang kepada Kristus maka kita
akan menemukan bahwa Kristus adalah Kebijaksanaan Tak
Tercipta.134 Kehadiran Logos dalam dunia tercipta membuat dunia ini
menjadi sebuah dunia intelligible, logis, iconik, dan signifikan. Segala
sesuatu bisa memiliki kata bernilai tentang Allah, karena memang
segaka sesuatu berasal dari Sabda: „Allah bersabda maka semuanya
terjadi.“ Jika manusia tak memiliki terang Sabda ini dalam Dia maka
manusia tak mampu menerima ajaran baik yang berasal dari master
interior maupun yang datangnya dari Yesus Kristus. 135 Manusia yang
adalah gambaran Allah memiliki juga dalam dirinya terang intelektual
yang memungkinkan dia untuk melindungi nilai ini: tidak saja sebuah
‚teologi natural’ yang mengenal eksistensi Allah dan beragam atribut
esensial Allah tetapi juga dunia ‚poetic’: liturgi memakai sejumlah
besar karya seni puitis setelah memurnikannya, dalam perayaan
misteri keselamatan, dalam kultusnya yang ‚logis’ dan spiritual.
134
Y. CONGAR, la Tradizione e le tradizioni, Roma 1961, 220-229.
135
P. LACORDAIRE, Jésus-Christ, Paris 1960, 117-123.
140

Berhadapan dengan fideisme dan razionalisme, magisterium


menegaskan bahwa kapasitas natural inteligensi manusia bisa
mengenal Allah dengan bertolak dari realitas tercipta.136
Namun pengetahuan ini ada batasnya: alam semesta pada saat
yang sama menyatakan dan menyembunyikan Allah sekaligus. Alam
ciptaan hanya menghadirkan sebuah titik mula dari sebuah ‚jalan’
bagi investigasi atau pencarian; bertolak dari hal-hal tercipta, manusia
bisa tiba pada pengetahuan tentang eksistensi Allah. Namun
pengetahuan tentang eksistensi Allah atau teologi bukanlah sebuah
konklusi dari sebuah pengetahuan kosmologis.
Pengetahuan akan Allah berdasarkan realitas tercipta ada
bahayanya. Paulus berpendapat bahwa pengetahuan yang satu ini
didestinasikan kepada keti-daksusksesan karena manusia bisa
menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan hal-hal
tercipta yang fana (Rom 1:18.21-25; 1Kor 1:21); pengetahu-an ini
sulit untuk dijangkau oleh sejumlah besar manusia.
=Melalui Sabda
Para Nabi. Sebuah inisiatif baru: tidak lagi „pada prinsip’ dunia
melainkan dalam sejarah. Tidak lagi dalam cara komunal dan
indistingtif sebagaimana dalam natura, melainkan dalam cara
personal dan partikolar. Kini komunikasi diri Allah tidak lagi melalui
alam melainkan melalui SabdaNya: „Yahweh bersabda kepada
Abraham“ (Kej 12:1). Inilah permulaan dari „dispensatio temporalis“
dan ekonomi historis Sabda Allah, yang dikatakan dan ditulis.
Allahlah yang pertama-tama berbicara kepada bapa-bapa kita
dan kepada para nabi berulangkali dan dalam berbagai cara (Ibr 1:1).
Sabda telah mendatangi umatNya, Kebijaksanaan telah berumah di
Israel. Perjanjian Lama dan Baru sesungguhnya merupakan kesaksian
136
Dei Verbum 6
141

berlanjut akan Sabda. Melalui Kitab Suci kita mengenal Allah seperti
Allah kehendaki dalam membuat dirinya dikenal.
Dalam Putera. Pada akhirnya Allah berbicara dengan
perantaraan Putera-Nya. Dalam diri Yesus Kristus tidak saja semua
revelasi disatukan melainkan dalam diri Yesus Kristus revelasi Allah
sungguh sempurna. Yesus memenuhi secara sempurna semua fungsi
profetis: Yesus Kristus tidak menyatakan suatu elemen dari rencana
Allah atau makna dari sebuah pemberitaan melainkan Yesus Kristus
menyatakan suatu relasi iman absolut dan sebuah misteri agung.
Relasi perjanjian itu tidak menjadi sempurna jika Allah sendiri tidak
merealisasikannya. Kesempurnaan perjanjian tidak lain tidak bukan
adalah comunio kekal dengan Allah – divinisasi manusia.
=Langsung
Kitab Suci mewartakan sebuah revelasi eskatologis yang tidak
lagi meru-pakan manifestasi kata-kata melainkan revelasi final dari
realitas dalamnya kita menegaskan eksistensi dengan iman (Ibr 11:1).
Kitab Suci berbicara tentang revelasi Yesus Kristus dan
kemuliaanNya. Kemuliaan Allah ini dinyatakan dalam kita dan atas
semua ciptaan yang menantikan dengan rindu revelasi final ini.
Di waktu final-eskatologis, tiada lagi term-term tentang
‚revelasi’ – yang ada hanyalah ‚epignosis’ atau pengetahuan
sempurna (1Kor 13:12) dan „visione beata“ – sebuah pengetahuan
langsung dari wajah ke wajah – tiada lagi mediasi.
Revelasi alami berelasi dengan cahaya inteligensi; revelasi
yang dinyatakan melalui sabda para nabi dan rasul yang dilanjutkan
Gereja berelasi dengan cahaya iman; revelasi eskatologis berkaitan
dengan cahaya kemuliaan.
Dalam diri subyek yang dipanggil kepada iman, ada ‚suatu
spirit revelasi’ yang berelasi dengan revelasi obyektif. Karya Allah
142

membangkitkan kapasitas dalam diri manusia untuk memahami dan


membuat aktual Sabda dalam hidup nyata. Jadi revelasi adalah
kelanjutan dan perluasan sejarah Sabda: Yesus adalah Dia yang
sanggup secara sempurna untuk menyatakan kehendak Allah kepada
siapa saja yang dikehendaki.
Allah bebas memanifestasikan diri kepada pribadi-pribadi
tertentu. Kini dia yang mengatakan persona, mengatakan
responsabilitas dan dalam apa yang adalah ‚responsible’ ada
‚jawaban’. Sejarah tepatnya adalah waktu yang diberi-kan kepada
manusia untuk menerima Sabda. Bertobat dan masuk dalam rencana
Allah dan bekerjasama denganNya demi penyelamatan umat manusia.
Hukum fundamental yang memungkinkan terjadinya komunikasi diri
Allah kepada orang tertentu adalah relasi personal dengan Allah.
Komunikasi diri Allah itu meminta iman teguh. Iman itu menyatakan
diri manusia kepada Sabda. Kecintaan manusia pada Sabda adalah
sebuah ketaatan dan sebuah keluhuran.

5.4. Istilah-Istilah Pokok Untuk Term Revelasi


Allah sebagai Allah dalam diriNya sendiri, pada kedalaman
siapa itu Allah, dalam misteri Allah, hanya dapat dikenal melalui
pemberian diri dan pernyataan diri atau pewahyuan diri dan ini
merupakan hadiah gratis atau pemberian cuma-cuma dari Allah.
Mengetahui Allah sebagai Allah benar-benar merupakan rahmat.
Allah selalu mengambil langkah pertama menuju Allah atau Allah
yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk menyatakan Diri
kepada manusia. Pernyataan Diri Allah kepada manusia itulah
Revelasi – Wahyu.
Revelasi: Term revelasi (Ibrani: gālāh; Yunani: apokalyptein;
Latin: revelare; Jerman: offenbaren; Perancis: révélation; Italia:
143

rivelazione; Spanyol: revelación; Inggris: revelation). Term


offenbaren sesungguhnya bukanlah sebuah term religius. Offenbaren
tidak memiliki makna khusus bila dibandingkan dengan term
revelare dan apokalyptein.137
Namun dalam kenyataan offenbaren mengungkapkan dalam
lingkungan Jerman apa yang dalam bahasa Romanik (Italia, Spanyol,
Perancis) atau dalam bahasa Inggris berhubungan dengan term Latin
dan Yunani: pembukaan sebuah selubung atau penyingkapan atau
„ketidak-tertutupan.“ Namun di mana sesuatu itu dibuka atau
disingkapkan di sana selalu ada misteri yang tersembunyi.
Revelasi adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin
yang berangkat ‚mengangkat selubung‘, memiliki pengertian umum
yakni memperkenalkan kebenaran tertentu kepada orang lain. Dalam
arti aktif, revelasi adalah kegiatan olehnya seseorang menyingkapkan
satu kebenaran esensial kepada orang lain; dalam arti obyektif,
revelasi adalah kebenaran substansial yang diungkapkan kepada
manusia. Ketika para teolog menggunakan kata revelasi ini, mereka
selalu memaksudkan sebuah pernyataan ilahi: manifestasi kebenaran
ilahi oleh Allah kepada manusia atau manifestasi diri Allah dan
kehendak Allah kepada manusia atau komunikasi diri terdalam Allah
sendiri kepada manusia melalui alam, sabda dan pada akhirnya
melalui Yesus Kristus.138
Menurut Aidan Nichols, revelasi itu pada tempat pertama dan
utama itu adalah perihal presensi/kehadiran dan relasi pribadi yang
terjadi antar Allah dan manusia melalui Yesus Kristus.139

137
offen, offenbar, offenbaren, offenbarung, dalam J. E W. GRIMM, Deutsches Wörte-
rbuch, vol 13, München 1984, 1171-1178; J. RITTER et altri, Historisches Wörterbuch der
Philosophie, vol VI Basel 1971, 1105.
138
G. van NOORT, Dogmatic Theology, vol. 1, The True Religion, Newman Press,
Westminster 1955, 34-35
139
A. NICHOLS, The Shape of Catholic Theology: An Introduction to Its Sources,
Principles and History, Liturgical Press, Collegevill 1991, 273
144

Dābhār : Kata dābhār (Ibr) berarti kata/sabda, kata/sabda yang


dtulis dan juga sebua event serta perbuatan dalam sejarah. Term ini
berasal dari term debîr yang artinya ada di belakang (debîr Kenisah –
bagian posterior Kenisah – Yang Kudus dari segala yang kudus).
Lebih lanjut term itu berarti sesuatu yang tersembunyi, yang siap
untuk didorong ke depan. Dalam bahasa YunanI: λόγoς – sabda atau
sesuatu yang dikatakan atau suatu fakta yang diwartakan (Luk 1:37).
Term dābhār mengandung arti: ada power yang tersembunyi di
dalam Allah, sebuah energi yang siap untuk memanifestasikan dirinya
secara dahsyat. Energi itu mengungkapkan diri baik melalui kata
yang diekspresikan – kata yang ditulis maupun melalui perbuatan
seperti dikatakan dalam DV 2: „...perbuatan memperlihatkan dan
meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan
dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya-karya dan
menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya.“
Jelas bahwa sabda perlu untuk membahasakan makna dari
beragam fakta tetapi juga fakta-fakta memiliki dalam diri mereka
sendiri sebuah nilai orizinal tentang revelasi: salib Kristus, sebagai
contoh, menyatakan kepada kita pada saat yang sama penghakiman
dan pengampunan-belaskasih Allah. Sabda Allah senantiasa aktif
penuh daya dinamis. Sabda itu elemen pelahir sejarah keselamatan:
sabda adalah aktus melalui mana Allah mewartakan kepada manusia
kehendakNya atau Pribadinya.
Allah menciptakan dunia dan segala isinya dengan bersabda.
Kepada manusia Allah mengkomunikasikan diriNya dan
kehendakNya sendiri. Komunikasi Allah itu melahirkan sebuah
sejarah suci dan Allah memanggil sekelompok manusia untuk
berbicara atas namaNya tentang sejarah suci itu. Kepada orang-orang
yang dipanggil itu Allah memberikan roh dan fakultas ekspresif,
145

sebuah formula valid tentang pikiran dan kehendak Allah sendiri.


Allah diwartakan oleh manusia melalui kata yang dikatakan dan
tanda-tanda yang mengungkapkan isi dari sebuah pikiran.140
Allah membangkitkan tanda-tanda ini dalam fakultas mental
dari mereka yang „bicara“ tentang pikiran dan kehendakNya. Karena
alasan ini kita akan menemukan bahwa kata-sabda Allah menjadi
dominan atas kata-kata manusia, tiada lagi afermasi yang bersifat
manusiawi belaka melainkan yang ada adalah sebuah forma
manusiawi yang menerjemahkan pikiran Allah, kebenaran dari segala
kebenaran yang ada Kebenaran Pertama, tak tercipta, yakni
Kebenaran yang adalah kebenaran untuk dirinya sendiri.
Sedangkan ekspresi „Sabda Allah“ bermakna ganda yakni: 1)
Sabda Tak Tercipta yakni aktus Allah yang berbicara, aktus yang
adalah Allah sendiri, SabdaNya; 2) sebuah realitas tercipta,
kepadanya, Allah mempercayakan sebuah tanda atau sebuah
manisfestasi tentang diriNya dan pikiranNya sendiri baik pada saat
sabda itu diwartakan maupun pada sabda itu ditulis.
Kebenaran Tak Tercipta dimanifestasikan dalam tanda atau
ekspresi tercipta yang kita terima dan kita hormati. Ekspresi-ekspresi
itu adalah kata-kata dan gerak-gerak para nabi, kata-kata Kristus dan
kata-kata para rasul. Ekpresi-ekspresi itu membentuk sacra doctrina
yang diabadikan di dalam Kitab Suci. Ajaran ini: *disampaikan dan
diwartakan kepada kita, dalam arti sejatinya, dalam cara otentik dan
normatif, melalui organisme ekklesial yang juga berasal dari
Kebenaran Pertama dan organisme eklesial itu meneruskan misi

140
St. T. AQUINAS, Quaestiones disputate de Veritate, q. 18, a.3: “Est etiam quaedam
locutio...interior, qua loquitur (Deus) nobis per inspirationem internam. Dicitur autem ipsa
interior inspiratio locutio quaedam ad similitudinem exterioris locutionis: sicut enim in exteriori
locutione proferimus ad ipsum audientem non ipsam rem quam notificare cupimus, sed signum
illius rei, scilicet vocem significativam: ita Deus interius inspirando nen exhibet essentiam suam
ad videndum, sed aliquod suae essentiae signum, quod est aliquis spiritualis similitudo suae
sapentiae.”
146

kerasulan itu. Dalam aktusnya yang suprem, Gereja ini dirahmati


supaya infallible; *ajaran ini dijelaskan oleh para ahli Kitab Suci dan
para teolog Katolik. Otoritas mereka berasal @dari keyaknian bahwa
mereka diutus oleh Allah untuk mengajar dan menulis makna benar
Sabda Allah pada umat Allah; @dari persetujuan yang diberikan oleh
magisterium. Mereka diberi wewenang mengajar dan hanya
mengajarkan hal benar yang berdasarkan pada Kitab Suci.

4.5. Revelasi – Bahasa - Perumpaan


Allah berbicara dalam cara yang manusiawi. Supaya bisa bicara
kepada manusia Allah mengenakan pada diriNya sejarah hidup
seorang manusia. Dengan itu Allah bisa menyampaikan pikiranNya
melalui bahasa dan perumpamaan.
=Bahasa Ibrani → Yunani
Keterpilihan bangsa Israel mengandung dalam dirinya jua
keterpilihan sebuah bahasa, instrumen ekspresi dari sebuah kareakter
tertentu, kategori spesifik pikiran. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa
Kebijaksanaan Allah memilih untuk berdiam di Israel. Benar bahwa
satu bagian dari Perjanjian Lama dan totalitas Perjanjian Baru ditulis
dalam bahasa Yunani, tetapi studi paling valid tidak enggan untuk
menunjukkan bahwa para penulis Perjanjian Baru yang terinspirasi,
adalah orang-orang Ibrani karena asal dan formasi, merekalah yang
membawa ke dalam bahasa Yunani ide-ide biblis. Kalau para penulis
Kitab Suci adalah orang-orang Ibrani yang terinspirasi maka sudah
hampir pasti bahwa Sabda Allah – pernyataan diri Allah itu
dibabahasakan dengan gaya Ibrani dan berstruktur semitis. Jadi
bahasa semitik menjadi instrumen revelasi artinya kita mendengar,
menerima dan mengenal Allah melalui sebuah bahasa.
147

Dibawanya ide-ide yang khas biblis ke dalam dunia Yunani


menunjukkan dimensi transendental wahyu dan dimensi universalitas
revelasi (keselamatan diperuntukkan bagi semua umat manusia)

=Perumpamaan
Kata Origines dan Dionisius, sebuah ekspresi yang penuh
dengan gambaran melahirkan sejenis pengkianatan spiritual. Walau
demikian image bisa dipakai sarana bantu bagi manusia dalam usaha
memahami Sabda, menarik manusia masuk ke dalam relasi personal
dengan Allah.
Perjanjian Lama, Injil dan Paulus sangat banyak memakai
gambaran dalam kaitan dengan revelasi. Beragam artikel penting
yang ber-katian dengan iman dinyatakan dalam gambaran: Kristus
Penyelamat digambarkan sebagai Domba Allah, Gereja digambarkan
sebagai kebun anggur, tubuh, dan bangunan. Gambaran-gambaran itu
merupakan velum yang menyembunyikan: circumvelatur atau
occullatio. Kitab Suci pada saat yang sama adalah spiritual dan
korporal, kaya akan makna yang intelligible dan konkrit.

=Mata - telinga
Barangsiapa berteleinga hendak ia mendengar dan barangsiapa
punya mata hendaklah ia melihat. Mata (hati) untuk melihat apa yang
tidak terlihat oleh mata kepala. Telinga (hati) untuk mendengar dan
terus mendengarkan Sabda hingga mendengarkan apa yang tidak
dikatakan dengan suara.
Beragam penyingkapan, penampakan diri dan manifestasi
Allah tidak dicari hanya dalam lingkungan transendental, spiritual
melainkan dicari dalam lingkungan yang kelihatan. Tentu hal ini
butuh studi yang serius hingga tiba pada pembedaan yang jelas antara
148

yang sensus externus dan sensus internus serta spiritualis. Namun


harus tetap disadari bahwa revelasi itu juga memiliki dalam dirinya
dimensi metatemporal dan metaspasial.
Dalam realitas ada dua „sensus“ yang memainkan peranan
penting dalam presepsi tentang yang ilahi: mata dan telinga; melihat
dan mendengar dan akhirnya pengalaman akan yang terang atau
iluminasi. Term melihat, mendengar dan iluminasi menjadi bagian
dari revelasi.

5.6. Karakterk Revelasi


=Misteri
Wahyu itu misteri, karena merupakan tindakan Allah sendiri,
yaitu suatu aktivitas transenden yang berisikan kehendak atau rencana
Allah untuk menyelamatkan manusia. “Menyelamatkan” di sini
berarti menganugerahkan kepada manusia kebahagiaan yang penuh
dan kekal.  
=Historis
Tindakan Allah yang bebas, kekal dan transenden mempunyai
efek temporal, artinya wahyu juga bersifat sejarah. Rencana Allah
untuk menyelamatkan umat manusia diwujudkan dalam rupa “turun
tangan” Allah dalam sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa sejarah serta
penafsiran peristiwa itu Allah mewahyukan diri dengan
melaksanakan rencana penyelamatan-Nya. Istilah teologi untuk segi
pelaksanaan wahyu ilaha “ekonomi keselamatan”.
=Rasional
Supaya manusia dapat menanggapi rencana penyelamatan
Tuhan dan menerimanya secara bebas dengan tahu dan mau, maka ia
harus mengenal rencana itu. Oleh karena itu, terdapat juga segi
pengetahuan pada wahyu. Melalui pengetahuan para Nabi, petunjuk
149

dan janji Kristus, pewartaan para Rasul, dan seterusnya, Allah


menyatakan rencana keselamatan kepada umat manusia. Allah
sebagai Roh Kebenaran mengarahkan diri kepada manusia sebagai
makhluk berbudi yang dapat mengerti.
=Personal
Wahyu berupa pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari
Pribadi Allah sebagai subyek yang menyampaikan pengetahuan itu.
Apa yang akhirnya mau dicapai dengan wahyu justrulah pertemuan
intersuyektif antara  Allah Pewahyu yang membuka diri-Nya kepada
manusia, dan orang beriman yang menanggapi pewahyuan diri Allah
itu dengan menyerahkan dirinya kepada Allah. Aspek inilah yang
paling ditekankan oleh Konsili Vatikan II, karena mengungkapkan
hakikat wahyu dengan paling jelas.

5.7. Revelasi Di Dalam Kitab Suci


Jika kita berkonsultasi pada beragam ensiklopedi teologis,
kurang lebih kita akan menemukan rumusan revelasi sbb: revelasi
adalah „komunikasi kebenaran religius yang Allah lakukan terhadap
manusia, secara personal atau dengan perantaraan seorang malaikat.“
Kontekstualisasi dan evolusi dari penggunaan semantik dari
kata-kata tak pernah mengada-ada dalam teologi. Menarik ketika
bicara tantang ‚revelasi’ dikemukakan juga relasi antara konsep
mental dan realitas yang diekspresikan dalam term. Sangat jarang kita
menemukan evolusi dari term teknis revelasi hingga abad XIV. Kita
akan coba menyelidiki evolusi term revelasi mulai dari Perjanjian
Lama, Perjanjian Baru, Patristik, Skolastik, Trente, Vatikan I dan
Vatikan II.
150

5.7.1. Revelasi Dalam Perjanjian Lama


Perjanjian Lama tidak memiliki suatu istilah teknis untuk
revelasi. Biarpun demikian ide tentang Allah yang membuat diriNya
dikenal, dilihat atau ditemui oleh intervensi spesial di dalam sejarah
adalah hal yang biasa dan sudah dikenal sejak awal. Kata-kata yang
dipakai untuk mengekspresikan ide tentang Allah dalam Perjanjian
Lama adalah: ra’ah = melihat; yada = mengetahui; galah =
menemukan. Dalam bentuk pasif nir’ah = ia telah dilihat, ia membuat
dirinya dilihat (menampakan diri) – Kej 12:7; 17:1; 48:3; Kel 16;
noda = ia telah dikenal, ia telah membuat dirinya dikenal (Kel 6:3)
dan diakui. Singkatnya mau dikatakan bahwa Allah memberitahukan
apa yang manusia tidak tahu; Ia mengungkapkan apa yang tidak
terungkap (bdk Ul 29:28). Intervensi ini sesungguhnya tergantung
pada pilihan bebas Allah. Allah secara bebas memilih manusia utk
mengkomu-nikasikan diriNya, Allah bersabda-Allah berbicara dan
manusia mendengarkan dengan iman dan ketaatan. Allah tidak
berbicara kepada massa manusia, tetapi pertama-tama Ia memilih satu
bangsa, dan melalui bangsa pilihan itu, Ia akan melanjutkan
SabdaNya kepada bangsa lain.141

5.7.1.1. Revelasi diungkapkan dalam forma yang berbeda


Dalam Perjanjian Lama, revelasi dikomunikasikan dalam cara
yang berbeda-beda. Revelasi yang diekspresikan dalam forma yang
berbeda-beda itu dikomunikasikan sebagai pengalaman yang tidak
bertujuan untuk membuktikan eksistensi Allah, melainkan untuk
memanifestasikan kehadirannya dan karya luhurnya serta
mengindikasikan apa yang Allah lakukan, apa yang Ia inginkan dan

141
R. LATOURELLE, Theology of Revelation, New York 1966, 21.
151

siapa Dia. Allah memanifestasikan kehendakNya melalui Sabda dan


peristiwa; Sabda dan peristiwa agung menuntut ‘penglihatan’ dan
‘pendengaran.’
Telinga/pendengaran memiliki makna luhur dlm kaitan dengan
presepsi tentang Allah. Mata dan melihat pun punya makna dalam
pembicaraan tentang Allah (Kel 24:9; Ul 34:10 – melihat Allah).
=Sabda
Perjanjian Lama membaca event revelasi dalam terang
intervensi bebas dan penuh daya dari Allah. Eskpresi istimewa untuk
mengungkapkan intervensi bebas itu ialah Sabda Yahweh. Sabda
Allah itu ide favorit yang lazim dipakai untuk menyatakan
komunikasi ilahi ini. Bagi manusia biblis biar bisa ‘melihat’ atau
‘memandang’ Yahwe namun yang terpenting adalah ‘mendengarkan’
Allah. Hal ini bisa dibuktikan secara kuantitatif menurut LXX: term
òráô (melihat) dipakai sebanyak 520x sedangkan àkoúô (mendengar)
dipakai sebanyak 1080x.
Bagi Israel relasi dengan Yahwe dijalin melalui kategori kata
(dengar) sedangkan bagi orang Yunani komponen dominan adalah
melihat. Jika orang Yunani adalah bangsa ‘mata’ maka orang Ibrani
adlh bangsa ‘telinga’ – ‘melihat Yahwe’ bagi mereka memiliki selalu
makna metaforis.142
Manusia rindu untuk melihat Allah karena penglihatan adalah
cara yang paling komplit dari presepsi (Kej 32:31- Penuel artinya
penglihatan akan Allah – memandang Allah dari wajah ke wajah).
Ketakmungkinan melihat Allah sesuangguhnya mau mengungkapkan
adanya jarak yang tak terjembatani antara Allah dan manusia.
Sebuah konsep tentang penampakan Allah bagi orang Ibrani
adalah suatu realitas yang tak lazim karena manusia tak sanggup
142
W. MICHAELIS, “óράω” in GLNT VIII, 923-940
152

memandang wajah Allah. Yang umum terjadi di lingkungan Ibrani


ialah “mendengar suara Allah (1 Sam 3:1-21 dan Yes 6:1-7). Agama
PL adalah agama “sabda” namun sebelum mendengarkan “kata”
betapa perlunya sikap “selentium dan mendengar”.143
Allah dinyatakan sebagai seseorang daripadanya sabda bisa
didengarkan. Pada sentrum kultus Israel ada ‘Shema Israel’ –
Dengarlah, Israel (Ul 6:4), dalamnya mengandung pengakuan akan
Allah yang esa beserta kemuliaanNya, yang dikomunikasikan dalam
tetragram (YHWH) kepada Moses dalam semak belukar yang
terbakar (Kel 3:14).
Dalam kasus yang dialami oleh Musa, penulis suci merasa
perlu menegaskan bahwa Yahwe lewat di depan Musa dengan
menunjukkan hanya bahu-bahuNya saja “sebab Engkau tidak tahan
memandang wajahKu sebab tidak ada orang yang memandang Aku,
dapat hidup” (Kel 33:20; Yes 6:5). Kesimpulan bahwa Moses
berbicara dengan Yahwe “dari wajah ke wajah” seperti seorang
sahabat berbicara dengan sahabatnya sebenarnya mengandung suatu
interese apologetik untuk menjelaskan relasi konfidensial Moses
dengan Yahweh.
Semua peristiwa teofani kelihatan selalu tunduk kepada Sabda.
Pewahyuan melalui penglihatan berarti juga revelasi melalui Sabda.
Karena itu yang terpenting ialah bukan kenyataan melihat melainkan
kesediaan mendengarkan Sabda Allah. Melalui Sabda, Allah
memperkenalkan kepada manusia pengetahuan akan diriNya yang
paling dalam. Sabda Allah di dalam Perjanjian Lama, mengarahkan,
menginspirasikan sejarah yang dimulai dengan Sabda yang Allah
sabdakan pada saat penciptaan dan berakhir dengan Sabda menjadi
daging dalam Kristus.144
143
R. FISICHELLA, Silenzio, dalam DTF, 1138-1145.
144
R. LATOURELLE, Theology of Revelation, 21-22.
153

Di sini nabi-nabi adalah spokesman Allah, pengungkap


kehendak Allah kepada umat (Bil 15:31; Ul 5:5; 2 Sam 12:9; Yes
50:4) dan pewarta Sabda yang mampu mengubah (Yes 49:1; Yer
5:14; Hos 6:5). ‘Manifestasi Allah’ dalam PL menunjukkan:
komunikasi kehendak Allah yang bersifat kontinue sebagaimana
tertuang dalam hukum Taurat (Mzm 147:19) dan pernyataan
kemuliaan Allah (Mzm 19:2) akhirnya pernyataan diri Allah sebagai
yang adil dan berbelaskasih (Kel 19:4; Ul 4:34).145

=Kemuliaan/kbd
Kemuliaan menunjukkan kehadiran Allah yang nampak atas
cara yg kelihatan. Kemuliaan diungkapkan dalam term kabod – kbd
(ibrani –menjadi berat: menjadikan berat dan penting), doxa (yunani),
gloria (Latin). Kemuliaan Allah menjadi pengalaman akan terang,
api, kilat-guntur dan panas menggigit.
Kemuliaan Allah dinyatakan dalam ketegangan antara ruang
tak terbatas dan ruang terbatas seperti antara yang universal dan
partikular. Dari satu pihak kemuliaan Allah memenuhi segala ruang,
langit dan bumi dan manusia penuh kemuliaanNya. Dari pihak lain
kemuliaan dinyatakan pada tempat tertentu dan terbatas seperti di
Sinai (Kel 24:16) dan dari sini kemuliaan Allah menemani Israel
dalam bentuk awan sepanjang ziarah melintas padang gurun.
Manifestasi kemuliaan Allah dan pewartaan Sabda berelasi secara
erat dlm kehidupan Israel.
=Nama
Relasi antara kemuliaan Allah dan Sabda Allah menghantar
kita kepada titik berangkat, sejauh kita mengakui bahwa Allah
tampak dan berbicara pada saat yang sama kepada umat Israel. Isi dari
145
M. SEYBOLD et alii (eds), Die Offenbarung: Von der Schrift bis zum Ausgang der
Scholastik, Freiburg 1971, 3-12; N. S. DISTER, Teologi Sistematik I, Yogyakarta 2004, 42.
154

revelasi Allah sesungguhnya dalam Perjanjian Lama ditunjukkan oleh


nama ‘YHWH’146 dalam Kel 3:14. YHWH adalah ‘Allah dari
bapamu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub (Kel 3:6).
YHWH adalah Allah yang hidup dan kekal. Menurut Werner H.
Schmidt mengungkapkan makna pengkomunikasian nama YHWH
sebagai berikut: “autorevelasi Allah dalam sabdanya membedakan
secara substansial konsep Perjanjian Lama tentang Allah.
Autorevelasi merangkul secara partikular perbedaan antara Allah dan
manusia: Allah bicara, manusia mendengar. Semenjak Allah dikenal
dgn namanya, manusia bisa memanggil namanya. Kepada
autopresentasi, yang bisa mengingatkan kembali suatu revelasi
terdahulu, Allah mengingat janji dengan manusia. Para nabi, yang
menantikan revelasi defenitif, mereka menjanjikan di masa
mendatang pengetahuan “bahwa saya adalah JHWH.”147
Studi Kitab Suci menjelaskan term YHWH dengan berbagai
frase seperti ‘ego eimi ho on’ atau ‘Saya akan ada seperti dia yang
akan ada’ (G. von Rad), atau ‘Saya adalah (akan adalah) dia yang
akan ada’ (W. Pannenberg) atau ‘Saya akan ada (dengan engkau’
(W. H. Schmidt). Setiap ide yang dikemukankan di sini berbicara

146
Nama-nama Allah yang ditulis dalam bentuk tunggal Ibr.:  Allah: El;  Elah;  Eloah;
Elohim, Yahweh; Yun. Theos. Tuhan: Ibr.: Adon;  Adonai; Yun.: Kurios -Kristus; Mahatinggi:
Ibr.: Elyon; bahasa Aramik: Illai; Yun.: Hupsistos; Mahakuasa Ibr: Shaddai; Yun: Pantokrator;
Yang berdaulat: Yun.: Despotes
Nama-nama Allah yang ditulis dalam bentuk rangkap dengan gelar/sebutan.
Allah Israel ialah Allah: Ibr.: El Elohe Yisrael. Allah Semesta Alam: Ibr.: Elohim Sabaoth.
Allah Yang Mahakuasa: Ibr.: El Shaddai; Yun.: Theos Pantokrator. Allah Yang Mahatinggi:
Ibr.: El Elyon, Elohim Elyon; Aram.: Elah Ilaai; Yun.: Hupsistos Theos. ALLAH Tuhan / yang
Berdaulat: Ibr.: Yahweh Adonai. Tuhan Allah: Ibr.: Yah, Yahweh (TUHAN ALLAH);
Ibr.: Yahweh Elohim (TUHAN Allah); Yun.: Kurios Theos (Tuhan Allah); TUHAN Semesta
Alam: Ibr.: Yahweh Sabaoth; Yun.: Kurios Sabaoth. TUHAN Allah Semesta Alam:
Ibr.: Yahweh Elohim Sabaoth;  Adonai Yahweh Sabaoth. Tuhan, TUHAN Semesta Alam:
Ibr.: Adon Yahweh Sabaoth; Adonai Yahweh Sabaoth. Tuhan Yang Mahakuasa: Yun.: Kurios
Pantokrator. Tuhan Allah Yang Mahakuasa: Yun.: Kurios Theos Pantokrator TUHAN Allah
Yang Mahatinggi: Ibr.: Yahweh El Elyon.TUHAN Yang Maha- tinggi: Ibr.: Yahweh
Elyon.Tuhan ALLAH / yang Berdaulat: Ibr.: Adonai Yahweh. Yang Mahakuasa, TUHAN
Allah: Ibr.: El, Elohim, Yahweh
147
W. H. SCHMIDT, Alttestamentlicher Glaube in seiner Geschichte, Neukirchen 1990,
63-64. Katekismus Gereja Katolik, no 203-20
155

tentang sebuah afermasi yang menempatkan Allah dalam relasi dgn


manusia dan menjadikan kehadiranNya efesien dalam kehidupan
manusia.
LIHAT KATEKISMUS GEREJA KATOLIK NO 203-214

5.7.1.2. Tipe revelasi dalam Perjanjian Lama


W. Pannenberg menampilkan 5 tipe revelasi148 yakni: 1)
pengalaman intuitif, mimpi, mendengarkan Allah, semua ini
diinterpretasikan sebagai inspirasi dari Allah. 2) pengalaman general
ini ditemani oleh suatu ‘vision’ akan Allah seperti pengalaman
profetis akan panggilan. 3) komunikasi nama Allah kepada Musa. 4)
rivelasi kehendak Allah di Sinai. 5) penjelasan profetis. Khususnya 2,
3 dan 5, Allah bukan saja aktor utama melainkan isi rivelasi.
Herbert Haag meletakkan aksent lebih kepada mediasi dan
ruang rivelasi: 1) penampakan Allah (teofani bagi seorang individu,
penglihatan dan mimpi bagi orang-orang terpilih, ‘gloria’ bagi umat
manusia. 2) Sabda Allah. 3) aksi Allah dalam sejarah. 4). Rivelasi
dalam penciptaan.149

5.7.1.3. Teori tentang revelasi dalam Perjanjian Lama.


Ada tiga teori yg kiranya hampir sama dlm merumuskan
revelasi. Term revelasi sangat sering dihubungkan dengan term
apokalyptein dan revelare. Namun jika kita bicara ttg kenyataan
bahwa Allah atau divinitas ‘ditampakkan’ dan ‘ditunjukkan’ maka
term ini lebih dekat kepada term Yunani epiphanein.

=Epifani.

148
W. PANNENBERG, Systematische Teologie, vol. I, Göttingen 1988, 255-257.
149
H. HAAG, Bibel-Lexikon, Einsiedeln 1982, 1245-1247.
156

Dengan aksentuasi pada konsep epinfanik revelasi,150 konsep


biblis revelasi dimasukkan lagi ke dlm visi general tentang sejarah
agama-agama, dlmnya ‘revelasi’ tidak lain daripada manifestasi Allah
yang hidup dlm beragam cara dan dalam cara-cara itu Allah
menampakkan diri dan terutama memperkenalkan kehendaknya,
menunjukkan jalan yang menyejukkan dan menyelamatkan.151

=Apokaplipsis
‘Revelasi’ Allah secara esensial adalah suatu event
eskatologis, yang bisa diverifikasi pada ‘hari Tuhan’ – pada hari
penghakiman terakhir. ‘Hari Tuhan’ itu menyangkut segala sesuatu.
‘Hari Tuhan’ adalah hari penghakim seluruh dunia dan pada saat yang
sama adalah akhir dunia. Konsekuensinya ‘hari Tuhan’ akan dialami
juga sebagai suatu katastrofe. ‘Hari Tuhan’ dalam term J. Moltmann
‘historisasi kosmos dalam eskatologi apokaliptik.’152 Dalam konteks
ini apokaliptik dikatakan sebagai ‘ibu dari teologi kristiani.’153
Singkat kata ide apokalipsis menampilkan suatu dialetika antara
‘Deus absconditus et Deus revelatus.’

=Kebijaksanaan Allah
Dalam kaitan dengan kebijaksanaan sebagai ciptaan pertama
Allah (Kebij 8:22-31), kita bisa mengatakan: “Ia sudah ada sejak awal
internasional, universal dan dihubungkan dengan ciptaan. Patrimoni
dari tradisinya mengandung spekulasi tentang relasi antara pikiran-
pikiran Allah, sabda yang mewujudkan ciptaan, ordo interior dunia
150
M. SECKLER, Der Begriff der Offenbarung, in W. KERN et alii (edd.), Handbuch
der Fundamental-theologie, vol. II, Freiburg 1985-1989, 62-63.
151
J. MOLTMANN, Theologie der Hoffnung, München 1985, 85-91.
152
ID, Theologie der Hoffnung, 120-124.
153
E. Käsemann, Die Anfänge christlicher Theologie, in Zeitschrift für katholische
Theologie 59 (1960), 162-185; R. BULTMANN, Ist die Apokalyptik die Mutter Theologie? In W.
ELTESTER – F. H. KETTLER, Apophoreta, Berlin 1964, 64-69; J. B. METZ, Glaube in
Geschichte und Gesellschaft, Mainz 1992, 165-174.
157

tercipta, hukum-hukum yang manusia bisa peroleh dari ciptaan dan


perbuatan mereka yang harus mengikuti hukum-hukum itu.”154
Kebijaksanaan Allah diharmonisasikan dengan auto-intellengsi
bangsa terpilih. Harmonisasi ini terjadi di dalam Israel karena
kenyataan bahwa Israel dipilih dan dipandang sebagai bangsa
perjanjian. Keterpilihan dan perjanjian ini merupakan jembatan bagi
seluruh aksi sapensial Allah, karena fakta bahwa kebijaksanaan telah
menjadikan Israel sebagai tempat diamnya (Sirakh 24:23-34).

5.7.1.4. Pengalaman akan revelasi dalam Perjanjian Lama.


Untuk pembagian tahap-tahap revelasi dalam Perjanjian Lama,
kita akan mengikuti pembagian yang dibuat oleh Rene Latourele:155

=Revelasi kepada Abraham.


Abraham adalah tokoh pertama yang menerima rivelasi Allah
(Kej 12:1-7). Panggilannya itu datang tiba-tiba (Kej 15:1). Revelasi
terjadi dalam suatu dialog dan dalam dialog itu masa depan
disingkapkan. Dalam revelasi ini perhatian difokuskan pada Sabda,
yang datang secara cuma-cuma sebab Allah dalam kerahimannya mau
memanggil dan memilih suatu bangsa khusus menjadi terang bagi
bangsa-bangsa lain. Allah hendak membangun suatu era baru dalam
sejarah umat manusia. Di hadapan Sabda dan panggilan Allah,
Abraham menjawab dengan iman dan ketaatan. Konsekuensinya
Abraham akan menjadi “bapa semua orang beriman.”
Dalam revelasi ini Allah wahyukan diriNya sendiri melalui
perbuatanNya dalam sejarah. AksiNya berbentuk janji dan

154
N. LOHFINK, Zur Aussage des Alten testament über “Offenbarung” in G.
OBERHAMMER, Offenbarung, geistige Realität des Menschen, Wien 1974, 135-136.
155
R. LATOURELE, Theology of Revelation, New York 1966, 21-24; ID, Revelation
dalam Dictionary of Fundamental Theology, 907-911.
158

pemenuhan janji. Yang dipentingkan bukanlah “pengetahuan akan


Allah” melainkan iman yang taat (Rm 4:1ss; Gal 3:6ss; Yoh 8:33).
Revelasi kepada Abraham dikembangkan dalam beberapa
tahap berikut: a) panggilan Abraham yang bermula dari inisiatif
bebas Allah (Kej 12:1-4)156 disusul dengan janji (Kej 12:2-3; 15:1-7),
pengukuhan janji (Kej 15:8-21; 17:1-11) dan percobaan atas kesetiaan
Abraham (Kej 22:1-18).

=Revelasi kepada Moses


Dalam pengalaman religius Moses, tampak beberapa hal serupa
dengan Abraham, tapi punya dimensi dan makna baru.
Panggilan Moses dan misinya (Kel 3:1-15; 6:2-8)
sesungguhnya berasal dari inisiatif bebas Allah yang keluar dari
selensium, datang dan bertemu dengan bangsa yang menderita (Kel
3:7-8). Dalam pertemuan ini, Moses menutup wajah-nya, sebagai
tanda hormat dan kesadaran akan superioritas tak terbatas Allah di
hadapan manusia serta penegasan atas transendensi ilahi Allah.157
Perlu ditegaskan bahwa panggilan Moses itu diarahkan kepada
keselamatan sebuah bangsa biarpun itu adalah panggilan untuk
seorang manusia biasa – panggilan dari seseorang untuk semua yakni
kehadiran dan aksi kepengantaraan, sebagai model konstan dari
rivelasi yang menyelamatkan. Moses berbeda dengan Abraham dalam
hal keraguan menerima misi yang diajukan Allah kepadanya (Kel

156
E. JACOB, Théologie de l’Ancient Testament, Paris 1968, 163-170. Ia mengatakan
bahwa ‘pemilihan dlm PL adlh suatu realitas sentral ; adlh suatu aktus inizial melalui mana Jahwe
masuk ke dlm relasi dgn umat ; pemilih-an adlh realitas permanen yg menjamin relasi. Setiap
intervensi Allah dalam sejarah Israel adalah suatu pemilihan : baik sebuah tempat utk
memanifestasikan secara lebih partikular kehadiranNya maupun suatu bangsa untuk
merealisasikan rencana-rencanaNya, pun memilih seorang manusia untuk menjadi utusanNya ;
Allah PL adalah Dia yang sambil mem-bentangkan kekuasaan universal, Ia menyatakannya
melalui disposisi bebas.
157
J. PLASTARAS, Il Dio dell’Esodo. La teologia dei racconti dell’Esodo, Torino 1977,
51-52.
159

3:11.13; 4:1-10.13-14), keraguan yang bakal hadir juga dalam diri


Yeremia dan Yonas.
Dalam manifestasi ini Allah menyatakan namaNya, suatu fakta
bermakna karena nama tidak hanya menunjukkan realitas terdalam
Allah melainkan juga ‘kehadiranNya di tengah-tengah umat’ dengan
kuasa yang membebaskan. Nama Allah itu YHWH. JHWH
didefenisikan sebagai ‘dia yang ada’ dekat; ‘dia yang ada’ setia. Dia
adalah penyelamat umat, karena hanya Dia yang punya kuasa untuk
membebaskan dan hadir di antara Israel sebagai yang menuntun,
sebagai tuan sejarah dari segala hal tercipta dan semua bangsa.
Pembebasan (Kel 7-15). Tuhan memanifestasikan adaNya dan
menegas-kan kebenaran namaNya, sambil melakukan karya-karya
agung, yang membebas-kan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Inti
sejarah keselamtan dalam PL adalah Allah yg omnipotent dan hanya
Dia saja adalah Tuhan dan Allah benar. ‘Tuhan meraja sejak kekal
dan untuk selamanya.’ Dari sini lahir monoteisme biblis. Iman bgs
Israel tak didasarkan pd sebuah pengetahuan yg telah ada tentang
nama Allah tapi iman Israel lahir dari dan didasarkan di atas
intervensi permanen Allah, di mana setiap resistensi dan potensi
manusiawi tak berarti apa-apa.
Perjanjian (Kel 19:3-8 = janji; Kel 24:4-8 = konklusi). Di sini
diekspresikan nilai spiritual perjanjian: Allah menyatakan keagungan
dan kekuasaan, sebuah kerinduan untuk mengkomunikasikan diri
kepada umat: ‚Saya telah mem-buat kamu datang kepada saya.’ Dari
pihak Israel dituntut sikap mendengarkan suara Tuhan dan kesetiaan
pada perjanjian, pengakuan akan keagungan Allah.
Pencobaan. Umat israel perlu mempercayakan seluruh hidup
kepada sabda Allah, yang sesungguhnya membawa kpd keselamatan.
160

Kesetiaan pada Sabda Allah ini mengalami cobaan. Abraham setia


dalam pencobaan sedangkan umat Israel jatuh dalam pencobaan.
Pencobaan di padang gurun bisa diklasifikasi sbb: *pencobaan
roti (kel 16:2-6) dan air (Kel 17:2-6). Israel memberontak dan Allah
menjawab dengan mukjizat: manna dari surga dan air dari wadas.
Manna dan air menjadi tanda efektif keselamatan dalam PB: roti
kehidupan (Yoh 6) dan air pembersih dan penyelamat (1 Kor 10:4). 158
*Pencobaan idolatri- Israel menyembah lembu emas (Kel 32:1-6). Ini
adalah suatu perbuatan yang melanggar pengakuan akan YHWH
sebagai Allah benar dan satu-satunya bagi Israel. *Pencobaan untuk
tak mengakui Moses sebagai utusan Allah. Karena itu ada usaha
untuk menentang Moses: benarkan Allah berbicara melalui Moses
dan tidak melalui kita? (Bil 12:2), ‘baiklah kita angkat seorang
pemimpin, lalu kembali ke Mesir’ (Bil 14:4) dst.

Revelasi kepada para nabi


Nabi-nabi dalam pemahaman Perjanjian Lama melingkupi
semua yang menerima komunikasi ilahi, mendapatkan rivelasi
melalui mimpi dan mengkomunikasikan kepada orang lain rencana-
rencana Allah yang tersembunyi. Nabi-nabi adalah jurubicara Tuhan
yang meramalkan apa yang akan terjadi. Mereka secara istimewa
adalah perantara-perantara Sabda (bdk Kel 20:8). Misalnya dalam
Yes 6 dikisahkan tentang penglihatannya, meliputi pembersihan bibir
najis. Yeremia berbicara tentang pilihan Tuhan yang bebas atas
dirinya (Yer 1:5). Yeremia memainkan peranan yang penting dlm
teologi revelasi, sebab ia mencoba untuk membentuk kriteria untuk
158
Pencobaan ini bisa diparalelkan dgn pencobaan messianik Yesus (Mat 4:2-4).
‘Sebagaimana selama eksodus pertama Allah memanggil Israel ‘putra sulungnya’ (Kel 4:22) dan
telah menuntun dia ke padang untuk mencobainya, demikian, pada saat baptisan, Allah
memanggil Yesus ‘PuteraNya yang berkenan’ dan kemudian dengan perantaraan Roh, menuntun
Putera ke padang untuk dicobai… IA menang atas pencobaan di mana Israel pertama mengalami
kegagalan.
161

membedakan Sabda Allah yang autentik. Kriteria-kriteria ini antara


lain: pemenuhan sabda-sabda Nabi (bdk Yer 28:9; 32:6-8), kesetiaan
kepada Yahweh dan tradisi religius (bdk Yer 23:13-32) dan sering ttg
suatu kesaksian heroik diberikan oleh nabi sendiri dalam menjalankan
panggilan kenabiannya (bdk Yer 1:4-6; 26:12-15).
Dalam konteks revelasi ini dapat dikatakan bahwa: 1) nabi-nabi
mengenal Yahweh sebab Ia telah berbicara kepada mereka dan
mempercayakan sabda-Nya kepada mereka; 2) nabi-nabi dipanggil
untuk memiliki suatu relasi intim dengan Allah; 3) mereka dipanggil
untuk mengenal rahasia-rahasia Allah (Bil 24:16-17) dan rencanaNya
(Amos 3:7) agar dapat menafsirkannya kepada orang lain.
Adalah pengalaman fundamental mereka bahwa Sabda Yahweh
di dalam diri mereka (Yer 5:13). Mereka sadar bhw Sabda ini bukan
berasal mereka melainkan dari Allah. Mereka berfungsi sebagai
mulut Yahweh (Yer 15:9) dan mereka adalah manusia sabda (Yer
18:18). Mereka hidup di antara manusia sebagai yang diberi kuas
untuk berbicara tentang Allah.

5.7.1.5. Isi dan karakter Revelasi dalam Perjanjian Lama.


*Isi. Isi dari Revelasi Perjanjian Lama adalah: pewahyuan
tentang diri Allah dan rencana-Nya untuk keselamatan umat manusia.
Ia mewahyukan diriNya sebagai Allah yang hidup dan personal,
penuh kuasa, Tuhan atas kosmos dan yang menuntut ketaatan utuh
kepadaNya. Nabi-nabi dalam waktu mengenal sedikit demi sedikit
sifat-sifat Allah: maha-adil (keadilan- Amos), maha-cinta (cintaNya
tiada batas dan penuh kecemburuan – Hosea), maha-tinggi (transcen-
den – Yesaya), mahakudus (kekudusan – Yesaya), dst.
Selain itu, keselamatan adalah aspek lain dari pewahyuan di
dalam PL. Perjanjian Lama dikaitkan dengan rencana ilahi yang
162

tersembunyi dan terus diwahyukan secara bertahap hingga pada akhir


zaman-kepenuhan waktu-saat keselamatan defenitif.
*Karakteristik Revelasi Perjanjian Lama. Wahyu dalam PL
memiliki beberapa karakteristik: 1) Wahyu itu bersifat personal,
karena Wahyu bukan manifestasi dari sesuatu melainkan seseorang.
Yahweh adlh subyek dan sekaligus obyek dari Wahyu ilahi: sebagai
Allah yang mewahyukan dan Allah yang diwahyukan, Allah yang
memperkenalkan diriNya dan membiarkan diriNya dikenal. Dengan
mewahyukan diriNya Allah masuka dalam dunia manusia dan
menjalin suatu relasi personal dengan manusia. Ia membuat suatu
perjanjian dengan manusia dan mengundang manusia untuk masuk ke
dalam suatu koinonia. 2) Wahyu biblis berasal dari inisiatif bebas
ilahi. Allah yang pertama berinisiatif utk memperkenalkan diriNya
kepada manusia. Allah sendiri yang karena kebebasanNya telah
memilih bangsa Israel dan membangun perjanjian denganNya.
Yahweh adalah cinta dan kebebasan absolut. 3) Yang menjadi primasi
dalam Wahyu adalah Sabda, sehingga agama dalam Perjanjian Lama
adalah agama mendengarkan Sabda. Sabda menuntut iman. 4) Semua
Wahyu ditujukan kepada harapan akan keselamatan eskatologis.

5.7.2. Revelasi dalam Perjanjian Baru


Wahyu Allah menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus: “Setelah
pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara
berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,
maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan
perantaraan AnakNya” (Ibr 1:1). Kristus adalah puncak dan
kepenuhan wahyu Allah. Di dalam dan melaluiNya Allah mengenal
segala sesuatu dan mengekspresikan diriNya secara utuh, mengambil
163

daging dan bahasa manusia. Yesus Kristus menjadi Injil agar


memanggil manusia kepada kehidupan sempurna.

5.7.2.1. Revelasi Dalam Tradisi Sinoptik


Wahyu dalam PB adalah wahyu dalam dan oleh Yesus Kristus,
Anak Allah. Wahyu PB itu bersifat unik karena *Yesuslah satu-
satunya pembawa wahyu dalam arti yang sempurna: mengenal Bapa
dan menyatakanNya (Yoh 1:18); *karena Yesus (diri, sabda,
karyaNya, seluruh “peristiwa Yesus”) merupakan satu-satunya
“obyek” wahyu: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat
Bapa.. Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:9-11).
Dalam Injil Sinoptik tidak terdapat suatu Teologi Wahyu yang
sistematis yang mengemukakan perbuatan dan perkataan yang
bersifat wahyu itu sebab sebagai kesaksian iman angkatan pasca-
Paskah yang pertama dan kedua, Injil Sinoptik merupakan endapan
tertulis dari pewartaan yang hidup dan bukan refleksi sistematis.
Menurut kesaksian murid-murid yg beriman, Allah telah menawarkan
keselamatan melalui dan dalam Yesus dari Nazareth. Dlm Injil
Sinoptik tawaran keselamatan itu diungkapkan sebagai penyingkapan
dari apa “yang tersembunyi”.
Term-term yang dipakai untuk mengekspresikan tindakan
pewahyuan adalah: keryssein (berkotbah), euangelithein (menginjili),
didaskein (mengajar), apokalyptein (mewahyukan). Term yang sangat
dominan dalam Injil sinoptik adalah keryssein dan didaskein – Kristus
yang mewartakan dan mengajar. Mateus dan Lukas sering memakai
term-term itu bersamaan dalam satu kalimat (Mat 4:23; Luk 20:1).
Markus mempergunakan term-term itu secara ekuivalen: Yesus
mengajar (Mrk 1:23) atau mewartakan di sinagoga (Mrk 1:38.39), Ia
mengajar di kampung-kampung (Mrk 6:6). Demikian halnya dengan
164

Lukas: Yesus mengajar atau mewartakan Kabar Baik di kenisah (Luk


19:47; 20:1), mengajar di desa dan kota (Luk 13:22; 23:5).
Yesus mewartakan Injil. Kerajaan Allah dan pertobatan sbg
jalan utk masuk ke dalam Kerajaan Allah (bdk Mat 4:17; Mrk 1:14-
15). Ia mengidentikkan Kerajaan Allah dgn diriNya: “Hari ini” adalah
waktu rahmat yg diwartakan oleh para nabi telah dekat (Luk 4:21).
“Hari ini” disertai dgn “Inilah saya, Guru yang mengajar dengan
otoritas. AjaranNya baru, kekuasaanNya tak terbandingkan (Mat
7:29), suatu kekuasaan yang ditempatkan pada level Allah:
“Sungguh” – “Saya berkata kepadamu” (Mat 5:22.28.32). Ia adalah
nabi yang akan datang di akhir zaman (mrk 6:14; 8:28; Mat 21:11).
Yesus adalah rabbi yang mengajar (bdk Mrk 9:5; 11:21;
14:45; Mat. 23:7). Tapi saat Yesus berbicara tentang diriNya sendiri,
Ia tidak menggunakan titel nabi karena sebagai pewahyu Ia lebih
besar dari nabi-nabi (Mat 12:40; Mrk 9:2-10; Mat 17:1-13; Luk 7:18-
23; 9:28-36). AjaranNya sering bersifat situ-asional: menjawab
pertanyaan para murid. Ia menunjukkan prinsip-prinsip moral yang
baru: semangat kemiskinan, kerendahan hati dan cintakasih. Kepada
para murid Ia memberikan instruksi sistematis. Ia menjelaskan makna
perumpamaan-perumpamaan (bdk Mat 13:10-12; Luk 8:9-10). Ajaran
Yesus memiliki karakter yang unik: Ia mengajar dgn wibawa (bdk
Mrk 1:22; 11:28; Luk 4:31-32; Mat 7:28-29). Ia bukan sekedar
seorang rabbi tapi Ia adalah Tuan (bdk Mat 23:10).
Yesus berkotbah dan mengajar tetapi selalu dalam konteks
menjadi Putera Bapa (Mat 7:21; 10:32-33; 11:25-27): tak seorangpun
mengenal Putera selain Bapa dan tidak seorangpun mengenal Bapa
selain Putera. Dalam kualitas sebagai Putera, Yesus memiliki
pengetahuan sempurna tentang Bapa. Term “mengenal” (Luk:
gignoskein; Mat: epigignoskein) mengeskpresikan suatu pengenalan
165

yang paling mendalam menyangkut hakekat. Bapa dan Putera saling


mengenal secara mendalam. Kristus yang adalah Putera adalah
pewahyu Bapa yang paling sempurna. Bapa juga mewahyukan
misteri dari pribadi Kristus kepada “yang kecil” yang menyadari
kekecilannya di hadapan Allah namun revelasi ini juga adalah suatu
anugerah Allah, suatu cahaya interior yang diberikan Bapa kepada
mereka. Proklamasi kerajaan Allah seperti halnya revelasi Putera
Allah, dilaksanakan melalui “Sabda dan perbuatan”, perumpamaan
dan mukjizat menurut prinsip ekonomi inkarnasional.
Kotbah dan pengajaran penuh wibawa dari Yesus meminta
iman. Iman adalah jawaban manusia yang tepat terhadap Kabar Baik
yang diwartakan (bdk Mat 13:23) yakni menerima Sabda Allah dalam
iman dan hidup sesuai dengan Sabda tersebut (bdk Mrk 4:20; Mat
7:24-27; Luk 6:47-49).
Namun bagi banyak orang Sabda Allah adalah skandal (bdk
Mrk 4:15-19). Orang-orang Nazareth menolak Yesus karena
SabdaNya yang menakjubkan (Mrk 6:3). Sabda Yesus membawa
ancaman bagi orang-orang kaya (Mrk 10:23-27). Sabda Allah yang
diwartakan menuntut manusia untuk mengambil sikap: selamat atau
hukuman. Warta kerajaan Allah menuntut pertobatan radikal (bdk
Mrk 1:15; Mat 3:2; 4:17).
Jadi dalam tradisi sinoptik Kristus adalah Dia yang mewartakan
Kerajaan Allah dan Dia sendiri adalah wujud nyata Kerajaan Allah.
Kristus pewahyu dan pewarta Kabar Gembira Kerajaan Allah dan
mengajarkan Sabda Allah dengan wibawa. Isi wahyu adalah
keselamatan.

5.7.2.2. Revelasi dalam Kisah Para Rasul


166

Dlm kesinambungan dengan tradisi sinoptik, Kis Ras


menghadirkan para rasul sebagai “saksi-saksi Yesus” – orang-orang
yang mewartakan kabar gembira dan mengajarkan apa yang telah
mereka terima dari Guru. Dia-marturesthai (menyaksikan), keryssein
to euangelion (memproklamasikan Injil), didaskein (mengajar) adalah
tugas dan peranan pokok para Rasul.159
Memberikan kesaksian adalah tugas utama yg diberikan kepada
para rasul (Kis 1:8; 2:32; 3:15; 5:32; 10:39.41; 13:31). Para Rasul
memiliki tiga karakteristik: a) dipilih oleh Allah (Kis 10:41; 1:26); b).
Mereka sendiri telah disatukan dengan Kristus selama hidup
publikNya dan sesudah kebangkitanNya; c). Para Rasul adalah
utusan. Mereka adalah saksi pertama dan utama kebangkitanNya (Kis
1:22; 2:32; 3:13-16; 4:2.33; 5:30-31; 10:39-41.42; 13:31), tapi jua
dalam arti luas meliputi seluruh karyaNya (Kis 1:21) dari permandian
hingga kebangkitanNya dan seluruh karya yang melingkupi
penderitaan dan kebangkitanNya.
Seperti Kristus, para Rasul mewartakan kabar gembira
keselamatan (kis 2:14; 8:5.35; 9:20; 18:31). Pewartaan para Rasul
diberikan dalam kekuatan Roh yang memenuhi mereka dengan
keberanian dan Roh itu berkarya di dalam hati mereka yang
mendengarkan mereka dan dengan demikian membuat Sabda Allah
meresap dlm hati dan diterima dengan iman (Kis 16: 14).
Obyek dari kesaksian dan pewartaan mereka adalah mengajak
pendengar untuk mendengarkan dan menerima Kristus dan SabdaNya
(Kis 5:42; 8:5. 35; 9:20; 18:5). Dengan kata lain, para Rasul
mewartakan, mengajar dan bersaksi kepada Kabar Gembira tentang
keselamatan melalui Kristus yang telah bangkit dari kematian (Kis
2:32; 3:15; 5:30; 10:41; 13:31).
159
R. LATOURELLE, Theology of Revelation, 52-59
167

5.7.2.3. Revelasi dalam tulisan-tulisan Paulus


Term-term yang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu yang
semula tak dikenal dan kini menjadi dikenal adalah apokalyptein,
phaneroun, photizein dan gnorizein. Kata-kata seperti di atas dipakai
untuk memmbahasakan “misteri –Injil” yang merupakan inti
pemikiran Paulus tentang wahyu. Misteri yang semula tersembunyi,
kemudian diwahyukan, dibuka, dikotbakan dan diperkenalkan agar
membangkitkan iman. Misteri mengungkapkan pemahaman dasar
Paulus tentang wahyu sebagaimana terdapat dalam surat-suratnya.
Soteriologi Paulus dapat diringkaskan dengan kata “misteri.” Hal ini
nampak dalam teks-teks berikut:
*1 Kor 2: 6-10: misteri didefenisikan sebagai rencana
keselamatan yang telah dibawa kepada kepenuhan di dalam Kristus
tetapi dihadirkan sebagai “kebijaksanaan” yang memiliki sebagai
obyek adalah berkat yang Allah maksudkan untuk mereka yang
terpilih dan yang dapat dimengerti hanya oleh mereka yang dipenuhi
Roh kudus karena kebijaksanaan memiliki sumbernya di dalam Roh
Allah.
*Kol 1: 26: misteri yang sebelumnya tersembunyi, kini
diungkapkan dan mencapai kepenuhannya. Menurut Paulus Kristus
adalah kepenuhan dari sejarah (pleroma ton kairon). Misteri menjadi
suatu peristiwa historis, dengan tujuan untuk partisipasi orang kafir
dalam berkat keselamatan (Rm 16: 26; Ef 1:9-10). Misteri
didefenisikan sebagai unifikasi semua di dalam diri Yesus Kristus
baik yang di surga maupun yang di bumi (rekapitulasi).
Misteri yang Paulus maksudkan dapat dikategorikan pada
tingkat yang berbeda-beda:
168

☺pertama: misteri pada tingkat intensi yakni rencana Allah


yang tersembunyi di dalam Allah sejak keabadian;
☺kedua: misteri pada tingkat realisasi melalui dan di dalam
Kristus (misteri Kristus) yakni Allah mengangkat Kristus sebagai
Pusat dari suatu ekonomi baru dan membuatNya melalui penderitaan
dan kebangkitan sebagai satu-satunya sumber keselamatan bagi orang
kafir dan Yahudi dan kepala dari semua;
☺ketiga: misteri pada tingkat personal (misteri sabda dan
misteri iman atau jawaban iman kepada panggilan Allah);
☺keempat: misteri pada tingkat ekstensional dalam
kemanusiaan (misteri Gereja). Jadi misteri adalah rencana ilahi yang
komplet: inkarnasi, penebusan dan kemuliaan (bdk Ef 3: 8). Sekali
misteri ini diwahyukan kepada orang pilihan lalu kepada semua (Ef 3:
5; Kol 1: 25-26).
Paulus menyebut “misteri” dan “Injil” sebagai term-term yang
ekuivalen (Rm 16: 25; Ef 1: 9-13; 3: 5-6). Keduanya menyangkut satu
realitas yakni rencana keselamatan tetapi setiapnya memandang
rencana ini dari sudut yang berbeda. Dari satu pihak misteri itu
tersembunyi namun di lain pihak Kabar Gembira (Injil), misteri yang
tersembunyi itu diwartakan, diproklmasikan dan diungkapkan. Obyek
dari misteri dan Injil berdimensi ganda: soteriologis: seluruh rencana
keselamatan direalisasikan di dalam Kristus dan Kristus adalah
komunikasi sempurna cinta ilahi (Ef 1:1-10) dan eskatologis:
kemuliaan yang dijanjikan (Kol 1: 28; 1 Kor 2:7; Ef 1: 18). Misteri
yang diperkenalkan kepada manusia melalui pewartaan Injil menjadi
rencana keselamatan. Selain term Injil Paulus juga memakai kata
“Sabda” ( Kol 1: 25; 1 Tes 1: 6) atau “Sabda Allah” ( 1 Tes 2: 13;
Rom 9: 6) atau “Sabda Kristus” (Rom 10: 17).
169

Karena misteri adalah persatuan antara orang kafir dan Yahudi


di dalam Kristus, Gereja menjadi konkritisasi dari ekonomi ilahi.
Rencana keselamatan tidak hanya diwahyukan, lalu diproklamasikan
melalui Injil melainkan juga dibuat menjadi realitas di dalam Tubuh
Kristus (Ef 4:3). Seperti Kristus yang adalah misteri Allah,
demikianpun Gereja adalah misteri Kristus yang kelihatan.

5.7.2.4. Revelasi dalam Yohanes.


Term-term yang dipakai Yohanes untuk berbicara tentang
dimensi “conoscitiva” dan “veritativa” adalah logos, doxa, aletheia,
legein dan martyrein. Dalam Yohanes, Kristus adalah Logos yang
ada bersama dengan Bapa dan Kristus itu adalah revelasi personal
dari Bapa (bdk Yoh 1:1-18). Yesus sendiri menegaskan secara publik
bahwa Ia mengenal Bapa dan selalu ada dalam kontak dengan Bapa,
Ia melihat dan mendengarkan Bapa dan tak ada satu orang pun bisa
seperti itu (bdk Yoh 3:11ss; 6:46; 7: 28ss; 8: 55; 10: 15; 17: 25).
Yesus Kristus adalah jalan, kebenaran dan kehidupan (Yoh 14:6),
Yesus adalah kebenaran (Yoh 8:32; 14:6; 18:38).
Jadi: Kristus adalah Allah yang diwahyukan dan yang
mewahyukan. Misteri Kristus sejauh manusia dan Allah,
mengungkapkan secara sempurna kehadiran Allah di antara manusia.
Inkarnasi menandakan event revelatif sempurna dan perjumpaan
sejati Allah dengan manusia dan manusia dengan Allah. Dalam
Kristus menyatu secara misteri kemanusiaan manusia dan keilahian
Allah.
Kristus adalah Allah pewahyu sebab Sabda, dari dirinya sendiri
sejak kekal adalah ekspresi hidup dan komplet Bapa, dan Sabda itu
eksist bersamaan dengan natura Bapa yang memiliki kekayaan dan
170

kekuasaan ilahi. Karena itu sebab dan pelaku revelasi adalah Bapa
dan Roh Kudus.
Kristus adalah juga Allah yang direvelasikan. Allah benar yang
mewartakan dan memberi kesaksian tentang dirinya sendiri, karena Ia
adalah Allah seperti Bapa. Kristus adalah Allah yang berbicara dan
Allah yang diwartakan; pelaku revelasi dan isi revelasi itu sendiri,
karena Ia memiliki kesatuan ada dengan Allah; Ia adalah Dia yang
memperkenalkan misteri dan Dia sendiri misteri in persona.
Kristus adalah juga tanda dari revelasi baik dalam kekuatan
kemanusiaan-nya sebagai realitas yang nampak dalam terkandung ada
dari Verbum maupun dalam aksi, gestikulasi dan mukjizat-mukjizat
yang dilaksanakan sejauh semua ini mengungkapkan dalam cara
manusiawi essere dan agire ilahi; baik dalam konsiderasi nilai
sakramental dari inkarnasi, sejauh kemanusiaan dari Kristus tidak saja
memaknai kehadiran Allah tetapi mengkomunikasikan dan mentran-
misikan rahmat dan hidup ilahi. Inkarnasi adalah tanda tanda tampak
dan efesien dari keselamatan. Dengan demikian Yesus Kristus adalah
sungguh tanda ultim dan sempurna sebab Ia sendiri diidentikkan
dengan tanda dan menjadikan segala sesuatu satu dengan tanda.
Yesus Kristus adalah saksi otentik dari kebenaran yang
diwartakan baik dalam sublimitas dan otoritas ajaranNya yang
mengatasi segala hukum; baik karena kehendakNya, karena kuasa
karya-karyaNya; karena cinta dan generositas dari semua
gestikulasinya; karena kemuliaan Allah yang bersinar dalam diriNya
dan karena kesetaraan dengan Bapa.
Kristus adalah jawaban sempurna dari manusia kepada sabda
dan auto-komunikasi diri Allah. Kristus sejauh manusia, Ia adalah
jawaban manusiawi sempurna kepada cinta Allah. Ia membawa
171

manusia kepada kesatuan dengan Allah dan membuat manusia


berpartisipasi dalam keilahian.
Kematian dan kebangkitan Kristus. Makna universal
kematian Yesus yaitu nabi yang mati sebagai saksi dan lebih dari itu
Putera pengampun. Yesus adalah manusia sejati dan nabi yang
mencintai keadilan ilahi; Dia adalah Mesias yang menolak kekuasaan
dan menerima kemiskinan; membayar dengan hidup-Nya sendiri
warta tentang kebenaran yang berlawanan dengan setiap harapan
mesianik palsu.
Kematian Kristus adalah juga manifestasi tak terbatas
kebijaksanaan Bapa yang mengtasi setiap logika manusiawi dan
manifestasi ketaatan sempurna Putera kepada kehendak Bapa.
Kematian Kristus bukanlah konklusi dari karyanya dan sabdanya
karena ada kebangkitan. KebangkitanNya itu menandaskan kemaha-
kuasaan Allah. Kemuliaan Allah dinyatakan dalam kebangkitan,
kemuliaan Allah adalah kuasa tak tertandingi dari kebaikanNya.
Dimensi Trinitaris revelasi. Revelasi adalah pernyataan
sempurna dari ada Trinitaris. Kristus adalah “kepenuhan” karena
mengungkapkan misteri Bapa dalam kuasa Roh Kudus. Kata DV 2:
“Manusia dengan perantaraan Kristus, Sabda yang menjadi daging,
naik kepada Bapa dalam Roh Kudus.”

5.7.3. Revelasi Menurut Teologi Patristik


Bagi para bapa apostolik160 yang hidup dan berkarya
pascarasuli, dari akhir abad I hingga pertengahan abad II, paham
wahyu mempunyai ciri kosmik-universalistik. Harmoni semesta alam
berlaku sebagai pernyataan hukum Allah dan peraturan etis bagi
160
Yang tergolong bapa apostolik dalam arti yang ketat adalah Klemens dari Roma, Igna-
tius dari Antiokhia, Polykarpus dari Smyrna, dan Papias dari Hierapolis, tetapi dalam arti luas jua
pengarang Surat Barnabas, penulis Didakhe, penulis Pastor (Hermas), penulis Kisah Kemartiran
Polykarpos dan penulis Surat kepada Diognetus.
172

hidup manusia. Peranan Kristus ialah menjadi Perantara suatu


pendidikan penyelamatan yang menyeluruh, yang telah dimulai dalam
PL tetapi sekarang dalam inkarnasi melahirkan pengetahuan (gnosis)
yang lebih mendalam. Dalam Surat kepada umat di Magnesia, santo
Ignatius dari Antiokhia menulis “bahwa ada satu Allah yang telah
mewahyukan diri melalui Yesus Kristus, PuteraNya, yang merupakan
SabdaNya; dengan Sabda itu Allah keluar dari keheninganNya”. 161
Bagi para bapa apostolik, wahyu terutama berarti pemerintahan Allah
yang universal yang sudah menjadi nyata dalam komsos dan
peristiwa Kristus. Bapa-Bapa Gereja memandang wahyu sebagai
realitas. Mereka kurang menonjolkan amanat biblis-eskatologis
tentang Allah yang dalam kerahimanNya berpaling kepada manusia.
Problemnya adalah soal inkulturasi: bagaimana wahyu dalam
iman kristiani itu dibahasakan atau dimasukan ke dalam kultur atau
filsafat Yunani. Teologi patristik secara kontekstual dikaitkan dengan
konsep-konsep filosofis yang berkembang pada saat itu (zaman
patristik). Umumnya teologi mereka masih sangat dipengaruhi oleh
Kitab Suci dan masihdalam kontak dengan saksi-saksi mata pertama.
Pokok-pokok pikiran mereka adalah sebagai berikut:

5.7.3.1. Dua Perjanjian: Kesatuan dan perkembangan


Terhadap orang Yahudi yang hanya mementingkan revelasi
profetis dan menyangkal Yesus sbg kepenuhan wahyu Perjanjian
Lama, Bapa-Bapa Gereja mengajarkan bahwa Yesus adalah
pemenuhan ramalan-ramalan para nabi: Yesus adalah Mesias. Dan
terhadap Marcion yang mempertentangkan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, Irenius, Klemens dari Alexandria dan Origines
menekankan kontinuitas dari kedua Perjanjian itu. Bagi mereka:
161
Lihat Bacaan Ofisi Ibadat Harian, seri no. 11, hal 175 (hari Senina, pekan biasa ke-
16), Yogyakarta 1982.
173

adalah Allah yang sama adalah pengarang dari semua wahyu melalui
SabdaNya atau LogosNya. Ciptaan, teofani, hukum dan nabi-nabi
serta inkarnasi adalah tahap-tahap dari satu manifestasi berlanjut
Allah dalam perjalanan sejarah. Mereka menandaskan adanya
perkembangan dari satu kepada yang lain. Namun mereka
perkembangan itu dari sudut yang berbeda:
*Yustinus: dalam Perjanjian Lama terjadi manifestasi partial
dan gelap dari Logos dan baru menjadi total dan terang dalam
Perjanjian baru.
*Irenius: Perjanjian Lama merupakan persiapan, masa
pedagogi dan saat janji bagi inkarnasi, yang baru terpenuhi dalam
Perjanjian baru.
*Klemens dari Alexandria: Perjanjian Lama berisi ramalan-
ramalan yang bersifat enigmas dan misteri. Perjanjian Baru adalah
pemenuhan dan kejelasan ramalan-ramalan.
*Origenes: dalam Perjanjian Lama misteri diperkenalkan dan
dalam Per-janjian Baru misteri terpenuhi.

5.7.3.2. Teologi Logos: titik temu dua kultur


Mewartakan Sabda kepada kaum kafir berarti mempertemukan
kekristenan dan kebudayaan lain, dengan filsafat dan pola pikira lain
(Yunani). Supaya Sabda bisa dimengerti dan diterima maka para
pewarta harus mengambil dan menggunakan filsafat mereka,
khususnya Platonisme dan Stoisisme. Menurut filsafat-filsafat ini
Allah tidak campur tangan dalam sejarah umat manusia.
*Yustinus: Untuk menghubungkan transendensi Allah dan
pewahyuan diriNya di dalam sejarah, Yustinus menarik perhatian
manusia kepada fungsi mediator Yesus Kristus. Yesus historis identik
dengan Logos. Sabda Allah yang nampak pertama pada Moses
174

identik dengan Sabda yang daging demi keselamatn umat manusia.


Yustinus memahami revelasi sebagai proses soteriologis tetapi ia
memberikan kepada kristus-Logos suatu tujuan dan makna universal.
Ia menyebut Kristus Logos: “Logos spermatikos.” Sebelum Kristus
Logos sesungguhnya telah ada “spermata tou Logou” – benih-benih
Sabda ini adalah bagian-bagian dari bentuk pengetahuan inferior dan
partial, dan hanya Kristus, Logos inkarnatif dapat membawanya
kepada kesempurnaan.
*Klemens dari Alexandria: Ia mendasarkan teologinya pada
Logos yang menyelamatkan dan mewahyukan. Ia memberikan
prioritas pada pengetahuan akan Allah. Logos adalah sumber terang
dan keselamatan dan wahyu adalah gnosis kristiani. Bagi Klemens:
wajah Bapa adalah Logos, melalui Logos Allah dibawa keluar dari
ketersembunyianNya dan diwahyukan. Sebagai terang dari Bapa,
Logos mewahyukan segala sesuatu yang ada di dunia, segala sesuatu
yang memapukan manusia untuk mengerti dirinya sendiri dan
mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Lantas Logos itu adalah
satu-satunya Guru kita. Sekarang Logos-Guru yang mengajarkan
kepada kita bagaimana menjadi anak-anak Allah. Dialah yang
menyatukan hukum, nabi-nabi dan Injil. Pengetahuan atau gnosis
yang benar hanya ada di dalam agama kristen. Sumber pengetahuan
adalah Allah yang menghantar manusia kepada keselamatan dan
keselamatan itu tak terpisahkan dari Kristus.
*Origenes: Menurutnya Logos adalah gambaran Allah yangs
setia: “Di dalam Sabda, yang adalah Allah dan gambaran Allah yang
tak kelihatan, kita melihat Bapa yang melahirkanNya.” Wahyu terjadi
karena, Sabda menjadi daging dan tinggal di antara manusia. Logos
adalah mediator dari wahyu yang di-mulai dari ciptaan dan maju
175

menuju kepada hukum-hukum, kepada nabi-nabi dan akhirnya Injil.


Wahyu mencapai puncaknya dalam inkarnasi Logos.

5.7.3.3. Ekonomi keselamatan dan pedagogi wahyu


Refleksi patristik selalau ditempatkan dalam sejarah
keselamatan. Menghadapi gnostisisme yang mempertentangkan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Irenius menekankan kesatuan
sejarah keselamatan. Konsekuensinya, tema wahyu dihubungkan
dengan Sabda Allah yang adalah pencipta dan penebus. Adalah satu
Allah yang membawa kepada pemenuhan melalui SabdaNya.
Terhadap gnostisisme yang membedakan Kristus dari Yesus secara
daging, Irenius mengajukan tema ekonomi keselamatan dan
menempatkan inkarnasi sebagai point vokal dari ekonomi ini yang
memiliki awalnya dalam Perjanjian Lama dan akhirnya mencapai
kepenuhannya dalam Kristus – Perjanjian baru. Inilah yang menjadi
unsur baru dalam kekristenan: bukan Allah baru melainkan
manifestasi baru dari Allah dalam yesus Kristus. Inkarnasi adalah
teofani Sabda Allah. Kalau demikian, Perjanjian Lama adalah waktu
perjanjian dan Perjanjian Baru adalah saat pemenuhan janji.
Singkatnya, Bapa-Bapa Gereja umumnya menekankan “aspek
ekonomis dari wahyu” yakni wahyu dilihat sebagai rencana bijaksana
Allah tentang kesela-matan yang telah Allah rancang sendiri sejak
kekal dan secara bertahap dan dalam kesadaran diwujudkan dalam
sejarah manusia melalui jalan-jalan yang telah Ia tentukan,
menyiapkan manusia, mendidiknya, membawanya pada kematangan
di dalam diri Yesus Kristus sendiri. Irenius, Klemens dari Alexadria
dan Origenes mengembangkan tesis tentang pedagogi Allah: Allah
mendidik manusia untuk menerima kepenuhan anugerah-anugerah
ilahi di dalam Yesus Kristus. Para bapa Gereja ini menandaskan
176

bahwa wahyu mencapai kulminasi-nya di dalam Kristus, Sabda Allah,


Logos yang berinkarnasi. Kristus adalah pewahyu sempurna Bapa.

5.7.3.4. Tempat Kristus dalam sejarah keselamatan


Bapa-Bapa Gereja melihat Kristus sebagai kulminasi sejarah
keselamatan. Kristus meringkas semua bentuk inkarnasi supaya Allah
dan rencanaNya dikenal.
*Ignatius dari Antiokia: seluruh wahyu dan seluruh
keselamatan hanya ditemukan di dalam Kristus. “Hanya satu Allah
saja dan Ia telah mewahyukan diriNya di dalam Kristus, yanga dalah
Sabda yang datang dari kesunyian.” Semua manifestasi dalam
Perjanjian Lama terarah kepada manifestasi di dalam inkarnasi.
Hanya Kristus saja adalah penyelamat dan pewahyu.
*Irenius: seluruh revelasi sebagai suatu keterarahan kepada
inkarnasi Putera. Putera adalah manifestasi hidup Bapa. Wahyu
adalah epifani dari Bapa melalu Sabda yang berinkarnasi. Kristus
adalah manifestasi kelihatan dari Bapa yang tak kelihatan.
*Athanasius: ada dua aspek di dalam manifestasi Sabda melalui
inkarnasi: manifestasi Kristus sebagai persona divina dan komunikasi
ajaran keselamatan oleh Kristus. Inkarnasi memungkinkan Kristus
untuk memperkenalkan doktrin keselamatan kepada manusia dan
mengundang manusia untuk mempercayainya.

5.7.3.5. Dua dimensi wahyu


Bapa-Bapa Gereja menekankan bahwa aksi eksterior Kristus
yang berbicara, mengajar dan berkotbah berkoresponden dengan aksi
interior, iluminasi, pengurapan dan kesaksian. Pada waktu yang sama,
ketika Gereja mewartakan Kabar Gembira, Roh bekerja di dalam diri
pendengar untuk membantu mereka mengasimilasi sabda yang
177

mereka dengar dan membuatnya berbuah di dalam diri mereka. Sabda


Kristus bukanlah kata-kata manusia tetapi memiliki dua dimensi
yakni eksterior dan interior karena rahmat yang menemani dan
menjiwa kata-kataNya. St. Agustinus mengembangkan ajaran ini
dalam mengomentari Yoh 6:44: “tak seorangpun datang kepadaKu
kecuali ditarik oleh BapaKu.” Datang kepada Bapa berarti percaya.
Kristus berbicara tetapi Bapa yang memungkinkan manusia untuk
menerima Yesus Kristus. Menerima Sabda Allah, kata Agustinus,
tidak sekedar mendengar secara lahiriah dengan “telinga tubuh”
melainkan mendengarnya dengan “telinga hati.” Agustinus
menegaskan bahwa Sabda yang didengarkan secara lahiriah-yang
dialamatkan secara personal kepada tidak berarti jika Roh Kristus
tidak bergiat di dalam diri kita.

5.7.3.6. Kemisterian Allah dan pengetahuan akan Allah


Pada abad IV lahir sebuah ajaran sesat yg berasal dari
Eunomius di mana ia mengajarkan bahwa esensi ilahi sekali
diwahyukan tak lagi menjadi misterius.
Menjawab heresi ini, Bapa-Bapa Gereja Kapadokia
menandaskan iman mereka bahwa Allah tak dapat dipahami
sepenuhnya juga setelah Ia mewahyukan diriNya: Ia adalah kegelapan
yg misterius yag kedalamanNya tak dapat dipa-hami oleh akal budi
manusia manapun juga, termasuk Moses, Daud dan Paulus. Essensi
Allah tetap misteri. Apa yg kita kenal dari kedalaman tersembunyi
Allah hanya dari Yesus Kristus. Hanya Kristus sendiri yg mampu
menembus ketebalan kegelapan itu. Gregorius dari Nyssa
menegaskan bahwa iman kita datang dari Yesus Kristus yg adalah
Sabda Allah, Terang, Kehidupan dan Kebenaran.
178

Sedangkan Yohanes Krisostomus menekankan bahwa sesudah


Allah mewahyukan diriNya tetap tinggal tak kelihatan dan tak
terpahami. Allah selalu tinggal di dalam kedalaman dan kegelapan.
Kita hanya mengenal di dalam Kristus dan Roh Kudus.

5.7.4. Revelasi menurut teologi Skolastik


Zaman skolastik ditandai dengan lahirnya sekolah-sekolah
filosfosi-teolo-gia di bawah pengaruh dari intuisi anselmiana tentang
fides quaerens intellectum, yang menjadi elemen orizinal makna
terdalam dari sebuah “ordo” yang sedang hidup di era medioeval.
Atmosfir yang berhembus pada periode ini adalah suatu kepercayaan
abadi dan suatu “penerimaan pasti dan gembira terhadap revelasi.”
Suatu relasi harmonis antara integrasi dan superamentum,
menghubungkan revelasi dan akal. Konsepsi tentang sebuah “ordine”
adalah hal yang membantu untuk mengatasi event-event konfliktual
dan untuk melihat suatu konjungsi permanen dari event-event
tersebut: yang dibicarkan di sini adalah revelasi dan akal, iman dan
pengetahuan, razio dan otoritas pengalaman dan tradisi. Dkl kita
bicara tentang sebuah kooperasi continue demi pengabdian kepada
keteraturan kosmos dan sejarah yang dikehendaki oleh Allah.
Menurut teologi skolastik revelasi adalah “terang bagi akal”
yang membe-rikan suatu “iluminasi pasti”, demikian Bonaventura.
Thomas Aquinas mengata-kan bahwa revelasi itu adalah “karya
keselamatan”. Wahyu ditujukan kepada keselamatan manusia.
Penyelamat manusia adalah Allah sendiri.
Revelasi itu memiliki komponen gnosiologis melalui mana,
Allah memberikan kepada umat beriman segala kebenaran penting
dan perlu demi realisasi keselamatan itu. Kebenaran yang
diwayhukan atau revelatum menjadi dasar pengetahuan tentang Allah.
179

Bagi skolastik revelasi adalah sebuah keseluruhan dari doktrin yang


menghantar kepada keselamatan jika diketahui. Revelasi dibataskan
pada komponen gnoselogis dari sejarah keselamatan. Hal ini berbeda
dengan periode biblis dan patristik yang berpikir bahwa “revelasi”
dan “kesalamatan” pada hakekatnya adalah sinonim: Allah yang
membuat diriNya dikenal adalah Allah yang menyelamatkan.
Thomas Aquinas melihat wahyu sebagai sebuah peristiwa
historis. Ia me-mandang wahyu sebagai suatu tindakan hirarkis yang
ditandai dengan keberhasil-an, kemajuan dan penggandaan bentuk
serta makna komunikasi.
Ada hal menarik bagi Aquinas yakni “revelasi profetik”melalui
mana Thomas mencari untuk memasukkan ke dalam horison
“psikologis” aksi supranatural dari Allah dalam merevelasikan
diriNya.162 Tidak ada banyak ruang dalam teologi Thomas Aquinas
bagi konsep tentang revelasi yang dipahami sebagai suatu
keseluruhan dari kebenaran yang direvelasikan. Thomas tidak bicara
tentang kebenaran sebagai revelasi tetapi terlebih sebagai “sacra
dottrina”; yakni ajaran-ajaran yang terkandung dalam Kitab Suci dan
diinterpretasikan oleh iman Gereja dan yang ada karena revelasi.
Bagi Thomas Aquinas revelasi lebih tinggi dari pengetahuan
karena revelasi berasal dari satu forma divina; tapi karena setiap
pengetahuan harus menyimpulkan dirinya dlm putusan demikian jua
hal bagi pengetahuan tentang revelasi. Putusan diungkpakan dan
dijernihkan oleh persetujuan iman yg dlm rahmat diberikan kpd
revelasi. Kita menemukan di sini sebuah movement ganda: sesuatu yg
turun dari Allah yang mengkomunikasikan pengetahuannya –

162
Summa Theologiae II, II.
180

kebenaran dan sesuatu yang naik menuju Allah yang berhubungan


dengan iman umat beriman.163

5.7.5. Revelasi menurut Trente dan post Trente


Konsili Trente tidak berbicara tentang revelasi secara konkrit.
Problem yang dibicarakan Trente adalah sarana-sarana dan sumber-
sumber revelasi. Teks utama yang menjadi referensi adalah
Proemium kepad Decretum de libris sacris et traditionibus
recipiendis di mana ditemukan term “evangelium” untuk menun-
jukkan globalitas pribadi kristus yang ditransmisikan tida hanya
melalui Kitab Suci tetapi juga melalui ajaran-ajaran yang secara
dinamis dan progresif ditrans-misikan oleh iman umat Allah.
Periode post tridentino ditandai oleh adanya separasi dalam
kristianitas, separasi iman dari negara sebagaimana terungkap dalam
slogan “cuius regio eius et religio. Intuisi tomistik dalamnya
preambule fidei “walaupun termasuk dalam ordo metafisik dan
ciptaan, yang diperoleh melalui pengalaman iman dan diintegrasikan
ke dalam kesatuan pengetahuan tentang iman” tidak bisa sanggup lagi
menjamin keharmonisan relasi iman dan akal.
Karena iman telah membagi kekristenan, kesatuan nampaknya
hanya bisa diperoleh lewat akal sehingga lingkup interese mulai
berubah dari iman kepada akal. Akal keluar dari bingkai relasinya
dengan iman untuk masuk ke dalam relasi dengan “agama” yang
dimengerti sebaga tuntutan natural manusia. Dengan menentang
“agama dogmatik” atau “agama revelasi” berarti saat bagi “agama
natural” mulai berperan.

163
STh I, 1; II-II, 1-7, 171-174; Contra Gentes L, III, 154; de Veritate 12; cfr. A.
PATFOORT, Tommaso d’Aquino. Introduzione a una teologia, Torino 1988, 9-11; V. WHITE,
Le concept de révélation chez st. Thomas, in “Année theologique” (1950), 1-17; 109-132.
181

Refleksi teologis ditemukan dalam suatu “kewajiban” untuk


berefleksi seputar dimensi ganda dari aksi: dari satu pihak refleksi
tentang problem-problem yang ditimbulkan oleh Reformasi; dan di
lain pihak refleksi tentang filsafat dan otoritas akal budi manusia.
Refleksi teologis membantu kita untuk menjunjung tinggi revelasi
sebagai “manifestasi obyek” dari kebenaran Allah. Pandangan ini
berkonsekuensi ganda dalam teologi yakni pertama-tama lupa
berpikir tentang revelasi dalam makna gandanya yaitu: revelasi
sebagai karya Allah bagi manusia dalam isi revelatif dan revelasi
sebagai “illuminasi intern” yang membangkitkan dalam diri manusia
posibilitas untuk mengakui dan mengenal revelasi dan
menghormatinya. Yang kedua, obyektivasi dari isi yang direvelasikn
sebagai ekspresi dari kebenaran ilahi bisa diterima melalui “signa
revelationis.”

5.7.6. Revelasi menurut Konsili Vatikan I


Sejarah berjalan terus hingga pada Vatikan I dan afermasi
dogmatis tenta-ng revelasi seperti tertuang dalam konstitusi dogmatis
Dei Filius bab II. Bab II ini berjudul “Tentang Wahyu”: “Bunda
Gereja Kudus itu juga mengakui dan meng-ajarkan bahwa awal dan
tujuan segala sesuatu, dapat diketahui dengan pasti dengan terang
kodrati nalar manusia dari apa yang diciptakan; sebab apa yang tak
tampak dari padaNya, dapat tampak kepada pikiran dari karyaNya
sejak dunia diciptakan (Rm 1:20); tetapi (Konsili mengajarkan) juga
bahwa telah berkenan kepada kebijaksanaan dan kebaikanNya untuk
juga dengan cara lain, yakni dengn cara adikodrati, mewahyukan
kepada umat manusia diriNya sendiri serta kepu-tusan-keputusan
kehendakNya yang abadi,s ebagaimana dikatakan Rasul, ‘setelah
pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara
182

berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,


maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan
perantaraanNya’ (Ibr 1:1-2)”.164
“Adalah sebuah Gereja dalam pencarian akan apa yang sudah
diaugurasi Vatikan I.”165 Ekspresi ini saja yang bisa menampakkan
konteks yang menandai formulasi dari revelasi dalam Dei Filius.
Saat ini kuasa temporal Gereja dilawan bahkan fundamen dari
eksistensinya yakni revelasi sopranatural yang menghadirkan seorang
Allah pencipta dan penyelamat dalam suatu eksistensi personal pun
ditantang habis-habisan.166
Veritas et auctoritas, mensintesikan dan menjelaskan
pemahaman awal terhadap revelasi yang diformulasikan oleh Vatikan
I.167 Dei Filius memperkenalkan secara essensial suatu visi
gnoseologis dan noetik dari revelasi. Tujuan prinsipilnya seperti
tercantum dalam bab II Dei Filius adalah memasukkan suatu konotasi
“supranatural” atau “alia via” menentang setiap forma “posetivistis”
yang mungkin tentang revelasi terutama suatu pengetahuan natural
tentang Allah.168 Revelasi adalah benar karena sopranatural dan
mengatasi yang natural dan tidak ditentukan oleh regula-regula
manusiawi.
Supaya revelasi itu supranatural, ia keluar dari control dan
otonomi razio. Kebenaran dari isi revelasi adalah “non propter
intrinsecam rerum veritatem naturali rationis lumine” (lawan

164
DS 3004
165
M. CHAPPIN, Vaticano I, dalam DTF, 1431.
166
M. CHAPPIN, Vaticano I, dalam DTF, 1431.
167
R. AUBERT, Le problème de l’actes de foi , Louvain 1945, 131-222; H.
BOUILLARD, Le concept de Révélation de Vatican I à Vatican II, in AA. VV., Révélation de
Dieu et language des hommes, Paris 1972, 5-50; P. HEICHER, Offenbarung, München 1977,
118-150.
168
DS 3004.
183

Hermes) tetapi dalam kuasa “auctoritas ipsius Dei revelantis qui nec
falli nec fallere potest”.169
Menurut prospektif ini, revelasi ditampilkan dalam konsep
yang secara praktis bersifat “doktrinal”. Revelasi adalah suatu
keseluruhan dari misteri yang mengatasi akal budi manusia tetapi akal
budi manusia tahu menerimanya. Keha-diran dari “signa” dipandang
sebagai sebuah percobaan ekstrensik dalam formu-lasi dari
kredibilitas dan “auctoritas Dei revelantis” yang membatasi ruang
gerak relasi personal dengan Allah dalam jawaban iman.
Dei Filius menghadapi problem revelasi tidak bertolak dari
revelasi tetapi bertolak dari suatu provokasi ekstern yakni
“razionalisme.” Revelasi menjadi obyek dari formulasi dogmatis
magisterium Gereja. Revelasi lalu dimengerti dalam horison veritatif.
Kebenaran pasti dan absolut yang memungkinkan orang beriman
masuk dalam relasi partisipatif pada kebaikan-kebaikan ilahi dalam
hal ini: “mengatasi inteligensi manusia”.170

5.7.7. Revelasi menurut Konsili Vatikan II


Beberapa pokok refleksi yang perlu menjadi perhatian utama
dari Konsili Vatikan II dalam berbicara tentang revelasi adalah:
dimensi kristosentrisme dari revelasi, historisitas revelasi dan
sakramentalitas revelasi.
Dimensi kristosentrisme revelasi171 menggarisbawahi Kristus
sebagai tokoh sentral revelasi. Kristus adlh Revelator dan Revelasi
sekaligus dan identik.
Dimensi historis revelasi menggarisbawhi masuknya Yesus
Kristus ke dalam sejarah hidup manusia: menjadi manusia,
169
DS 3008-3026-3029.
170
DS 3005.
171
T. CITRINI, La rivelazione centro della teologia fundamentale, dalam R.
FISICHELLA (ed), Gesù Rivelatore, Milano 1988, 85-99.
184

mengenakan tubuh manusiawi, memakai bahasa manusiawi – Ia sama


dengan manusia dalam segala hal kecuali dosa. Inilah Kenosis yang
artinya menerima “temporalitas” sebagai kategori yang harus ada
demi realisasi dirinya di antara manusia. Dimensi historis ini mengan-
dung di dalam dirinya tiga kategori gnoseologik kontemporer yakni
1) reakuisisi prinsip inkarnasi yang membawa dalam dirinya
beberapa konsekuensi teologis: komponen humanisasi Allah
dalamnya apa saja yang diangkat diselamatkan; penggunaan sebuah
bahasa dan sebuah kultur manusia oleh Allah dan sekaligus mengatasi
kultur partikular yang bersangkutan supaya bisa membuka diri kepada
universalitas172; komunikasi kepada umat manusia melalui manusia
tentang suatu makna hidup bahwa itu terealisir jika dekat pada Yesus
atau makna hidup akan hilang jika jauh dari Yesus. 2) konsep
ekonomi revelasi: fungsi “preparatoria” atau “prefigurativa” dari
revelasi Perjanjian Lama dan harapan akan eschaton sebagai moment
puncak dalamnya seluruh ciptaan melalui Kristus akan diserahkan
kembali ke dalam tangan Bapa. 3) dimensi dgnnya Yesus dari
Nazaret memahami secara progresif misinya: ketaatan kepada Bapa
hingga “menyerahkan diri” kepada kematian sebagai aktus suprem
dalam merevelasikan cinta Bapa.
Dimensi sakramentalitas revelasi: menunjukkan aspek misteri
revelasi. Revelasi lahir dari aksi bebas Allah yang memutuskan untuk
memasukkan diri-Nya ke dalam sejarah. Revelasi itu disampaikan
dengan “gestis verbisque” yang terpenuh dalam diri Yesus Kristus,
Sabda yang menjadi manusia, di dalam Roh Kudus menemukan jalan
kepada Bapa dan mengambil bagian dalam kodrat ilahi (DV 2) tetapi
pada saat yang sama, revelasi adalah misteri yang menuntut
pemahaman benar tentang nilai revelatif itu. Revelasi disampaikan
172
H. U. Von BALTHASAR, Le implicanze del Verbo, in Verbum Caro, Saggi Teologici
I, Brescia 1968, 55-79.
185

oleh Yesus dari Nazareth tetapi supaya menjadi sempurna harus tiba
pada misteri Allah. Jadi ada dimensi “kristosentrik” revelasi tetapi
terbuka kepada dimensi “teocentrik” sebagai isi ultim dan defenitif.
Proses wahyu sungguh berpusat pada Allah: Allah memulai, Allah
merea-lisasikannya dan Allah pula adalah tujuannya. Proses wahyu
tidak menyampaikan sesuatu, melainkan menyatakan diri Allah
sendiri dengan tujuan ‘masuk dalam orbit Bapa.’

BAB VI

IMAN:
JAWABAN BEBAS DAN AKTIF MANUSIA
KEPADA SAPAAN ALLAH
(Pertemuan 13, 14, 15)

Jawaban yang pantas untuk panggilan atau revelasi diri Allah


ialah iman. Iman adalah ikatan personal manusia dengan Allah dan
persetujuan bebas terha-dap segala kebenaran yang diwahyukan oleh
186

Allah. Dalam iman akal budi dan kehendak manusia bekerjasama


dengan rahmat ilahi. Iman itu sesuatu yang spiri-tual dan razional.
Melalui wahyuNya, Allah yang tak kelihatan dari kelimpahan
cintaNya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabatNya dan bergaul
dengan mereka, mengundang mereka ke delam persekutuan dengan
diriNya dan menyambut mereka di dalam kerajaan Allah (DV 2).
Allah sebagai pewahyu mengharapkan tanggapan posetif dari
manusia atas apa yang diwahyukan. Tanggapan posetif itu berupa
penyerahan diri secara bebas kepada Allah. Jawaban pantas untuk
undangan Allah ialah iman. Menyerahkan diri seutuhnya kepada
Allah dan mengamini secara absolut apa yang Allah katakan sebagai
benar dan tepat, itulah iman. Iman adalah jawaban atas Sabda yang
diwahyukan oleh Allah. Iman adalah itu suatu anugerah Allah, suatu
kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh Allah kepada manusia
yang beragama. Rahmat itu ada mendahului iman. Supaya orang
dapat percaya diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta
menolong, pun bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati
dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi dan
menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan
mempercayai kebenaran itu (bdk DS 3008).

6. 1. Iman
Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah dan
sekaligus, tidak terpisahkan dari itu, persetujuan secara bebas
terhadap segala kebenaran yang diwahyuhkan Allah. Sebagai ikatan
pribadi manusia dengan Allah, iman Kristen berbeda dengan
kepercayaan yang diberikan kepada seorang manusia. Menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah, dan mengimani secara absolute apa
187

yang Ia katakan adalah tepat dan benar.173 Iman adalah suatu anugerah
Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh-Nya. “Supaya
orang dapat percaya seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang
mendahului serta menolong, pun bantuan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan hati dan membalikannya kepada Allah, membuka
mata budi, dan menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam
menyetujui dan mempercayai kebenaran itu”.174
Orang yang memperkenalkan diri tentu saja mengharapkan
jawaban atau tanggapan yang positif dari pihak yang disapanya. Maka
Tuhan sebagai pewahyu yang menyatakan diri kepada manusia,
tentunya berharap agar manusia dengan senang dan penuh syukur
menerima pewahyuan diri Allah itu dengan menjawabnya dengan
penyerahan diri pula kepada Allah pewahyu.175 Iman adalah sikap
kristiani yang mendasar dalam kehidupan kaum beriman, sebagai
jawaban penuh kepercayaan terhadap sabda yang diwahyukan oleh
Allah.176 Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman ini, yang
merupakan awal keselamatan manusia, adalah kebajikan adikodrati
dengan kita, yang didorong dan dibantu oleh rahmat Allah dan
percaya kepada sesuatu yang diwahyukan oleh Allah sebagai benar,
bukan karena kebenaran intrinsiknya yang dapat dimengerti oleh akal
budi, melainkan karena kuasa Allah sendiri yang mewahtuhkannya,
dan yang tidak dapat ditipu ataupun menipu.
Melalui wahyu-Nya, “Allah yang tidak kelihatan dari
kelimpahan cinta-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-
Nya dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke
dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di
173
P. Herman Embuiru, SVD (Penerj.) Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, Ende
1995, art. 150 (selanjutnya disingkat KGK).
174
Dei Verbum (selanjutnya disingkat DV) art. 5.
175
Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Pengantar Teologi, Kanisius,Yogyakarta, 1991, 127.
176
Avery Dulles, SJ, Model of Relevation, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh
Georg Kirchberger SVD, Model-Model Wahyu, Nusa Indah, Ende 1994, 14.
188

dalamnya (DV 2). Jawaban yang pantas untuk undangan itu ialah
iman”.177 Melalui iman manusia menaklukkan seluruh pikiran dan
kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya, manusia
menyetujui Allah yang mewahyuhkan Diri. Kitab Suci menamakan
jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyuhkan Diri itu
“Ketaatan Iman”.178
Menurut DS 3008, hanya dengan bantuan rahmat dan
pertolongan Roh Kudus manusia mampu percaya. Walaupun
demikian, iman adalah suatu kegiatan manusiawi yang sebenar-
benarnya. Percaya pada Allah dan menerima kebenearan-kebenaeran
yang diwahyuhkan oleh-Nya, tak bertentangan baik dengan
kebebasan maupun pikiran manusia. Dalam hubungan antar manusia
pun tidak bertentangan dengan martabat kita, kalau kita percaya apa
yang orang lain katakan kepada kita mengenai diri mereka sendiri dan
mengenai maksudnya, dan memberi kepercayaan kepada
perjanjiannya (umpamanya kalau seorang pria dan wanita kawin) dan
dengan demikian masuk dalam persekutuan dengan mereka. Maka
dari itu, sama sekali tidak berlawanan dengan martabat kita, “dalam
iman memberikan kepada Allah yang mewahyukan diri, ketaatan
pikiran dan kehendak secara utuh” dan dengan demikian masuk ke
dalam persekutuan yang mesra dengan-Nya.
Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama
dengan rahmat ilahi: “iman adalah suatu kegiatan akal budi yang
menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan
oleh Allah dengan perantaraan rahmat” Aquinas., 5. th. 2-2, 2, 9).179
Awal iman kristiani, menurut Yohanes terletak dalam
pewahyuan oleh Yesus Kristus. Pewahyuan sama dengan kebenaran.
177
KGK, art. 142.
178
KGK, art. 143.
179
KGK, art. 155.
189

Awal dalam waktu maupun awal dalam kehadiran ataupun keabadian


ialah Sang Sabda. Awal dalam sejarah adalah pewahyuan Yesus
Kristus yang menjelma sedangkan awal ahkiki bagi orang Kristen
ialah firman dalam persatuan dengan Allah. Dalam Yohanes 22:13
ditegaskan prinsip ini “aku adalah alfa dan omega, yang pertama
dan terakhir”. 180 Firman adalah awal, prinsip Kristen, dan iman kita.
Sedangkan manusia sekarang ini mendefenisikan iman adalah
suatu pengakuan batin akan hubungan antara Allah dan manusia.181
Mereka yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah dan
menjelma menjadi manusia cenderung mengungkapkan akan
pengalaman batin. Iman yang sesuai dengan cara agama Kristen.
Tetapi warisan Kristen inilah yang sering dirasakan manusia modern
dengan buta iman yang rabun dan ini sangat tidak menyenangkan.

6.2. Iman menurut Kitab Suci


Untuk mencari tahu arti dan peran iman dalam Kitab Suci, kita
tidak bertolak dari kata dan istilah tertentu yang dalam bahasa modern
diterjemahkan dengan iman, tetapi dari pertanyaan, bagaimana Kitab
Suci mengerti sikap manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.182
Untuk itu ada dua pendekatan guna menjawabi pertanyaan tersebut:
pertama, menyelidiki gagasan iman menurut beberapa tradisi teologis
dalam Kitab Suci; kedua, dengan melihat beberapa tokoh biblis
penting dalam sikap mereka terhadap Tuhan.

6.2.1. Iman Dalam Perjanjian Lama

180
Guido Tisera, SVD, Firman Telah Menjadi Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1992), 17
181
John Powel, S.J, Beriman Untuk Hidup Beriman Untuk Mati, Kanisius,, Yogyakarta
1991, 55.
182
Georg Kirchberger, Teologi Iman Perspektif Kristen, Ledalero, Maumere 2002, 10
190

Iman adalah hal radikal pertama yang harus ada untuk


persekutuan dengan Allah dalam cinta. Iman adalah suatu pertemuan
pribadi anata manusia dan Allah dalam cinta yang berlimpah.183
Dalam Perjanjian Lama yang memainkan peran penting unutk
mengerti sikap manusia terhadap Allah itu adalah kata “aman”,
merupakan suatu istilah formal yang menyatakan bahwa suatu
subyek dalam realita sunguh sesuai dengan ciri-ciri khas yang
seharusnya ada pada dia.184 Kalau kata aman (dalam bentuk hifil
he’emin) dipakai unutk manusia, maka itu berarti manusia melihat
dan mengakui sikap Allah yang setia, yang dapat diandalkan dalam
hubungan yang sudah ditetapkan-Nya dengan manusia. Iman dari
pihak manusia bisa berarti secara konkret bahwa manusia memuji
karya agung Allah, atau mentaati firman dan penetapan dan
menantikan pemenuhan janji. He’emin dari pihak manusia berarti
mengakui Allah sebagai Allah, menempuh jalan yang ditetapkan-
Nya, suatu sikap yang sungguh menyangkut seluruh hidup dan segala
tenaga manusia.
Kata aman/he’emin ini diterjemahkan LXX (Septuaginta)
dengan pisteuein yang artinya percaya. Istilah ini digunakan dalam
Perjanjian Lama untuk membedakan konteks iman dalam teks Ibrani.
Dalam tradisi Yunani, terjemahan Ibrani yang dipakai adalah kata
amen (dipakai dalam sejarah liturgi kristen purba), mengandung arti
firman, sesuatu yang dipercayai; yang memberikan janji. Iman
“Amen”, artinya menyatakan “Ya” kepada Allah dan mengakui-Nya
sebagai sumber kekuatan (Pengakuan Israel: Allah perisaiku dan
bentengku). Teks-teks Perjanjian Lama yang berbicara tentang iman,
seperti: Yes. 7:9 “Jika kamu tidak percaya sungguh, kamu tidak teguh
183
Karl H. Peschke, Christian Ethics Moral Theology in the Lighat of Vatican II, 2,
Theological Publication, Bangalore 1996, 28.
184
Georg Kirchberger, Loc. Cit.
191

berdiri”. Iman sebagai kepercayaan dan komitmen kepda Allah; Yes.


28:16 “Aku percaya, sekalipun aku berkata: aku ini sangat tertindas”;
Kej. 15:6 “... Abraham percaya pada Allah dan Allah
memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran”. Abraham ditetapkan
oleh Allah sebagai tokoh iman bagi bangsanya. 185 Jadi dalam
Perjanjian Lama yang paling vokal disoroti adalah iman seperti iman
Abraham, iman yang sejati. Kekuatan Abraham terletak pada
imannya akan Yahwe, Allah dan Tuhannya. Ciri iman dalam
Perjanjian Lama adalah konsekuensinya sangat besar, bahwa yang
menyatakan dirinya sebagai hamba Yahwe ia harus setia kepada-Nya.
“Jika setia, maka berkat; dan jika tidak setia, maka kutuk”. Hal ini
punya kaitan dengan isi perjanjian Allah dengan umat-Nya Israel.
Sikap iman menyangkut seluruh hidup dalam dimensinya, itu
berarti mendasarkan seluruh hidup kita pada Yahwe yang dapat
diandalkan. Sikap iman mempunyai harapan dalam situasi krisis,
kemalangan dan ketidakkeselamatan. Misalnya dalam pembuangan,
manusia yang mau mendasarkan hidupnya kepada Yahwe itu,
menantikan dan mengharapkan uluran tangan Tuhan untuk merubah
situasi dan menciptakan keselamatan.
Cinta kepada Allah menuntut segenap eksistensi manusia dan
harus menyata dalam perbuatan dalam menaati petunjuk Allah (bdk.
Ul. 6:4-5). Dalam Perjanjian Lama ketiga kebijakan utama itu (iman,
harapan dan kasih) tidak dibedakan menurut daya atau bagian dalam
diri manusia tetapi oleh situasi konkret dalamnya manusia itu
menghayati hubungannya dengan Tuhan dan selalu melibatkan
segenap eksistensi dan segala daya manusia. Sejauh Allah itu
sungguh Allah dan dalam keilahian-Nya merupakan dasar yang dapat
diandalkan manusia, sikap manusia terhadap Allah itu adalah IMAN.
185
B. S. Mardiarmadja, Beriman Dengan Tanggung Jawab, Kanisius. Yogyakarta 1985),
138.
192

Sejauh Allah itu adalah Allah yang tersembunyi dan manusia dalam
pengalaman konkretnya seakan-akan tidak mengalami Allah sebagai
dasar, tetapi dalam sikap “namun” tetap mendasarkan diri dalam
Tuhan yang dialami sebagai jauh, dan menantikan perubahan
pengalaman itu, sikap manusia itu adalah HARAPAN. Sejauh Allah
mendekati manusia dalam keintiman yang sebenarnya tidak bisa
diharapkan dari Allah terhadap ciptaan-Nya, manusia digugah dalam
inti pribadinya untuk mengikuti Allah yang sedemikian dekat, dan
sikap itu disebut CINTA.186
Iman dalam Perjanjian Lama digambarkan dari berbagai
pengalaman sepanjang sejarah, di mana orang Israel mempersiapkan
diri untuk menerima Mesias yang datang untuk menyelamatkan
dunia. Persiapan ini berlangsung bukan hanya melalui pengalaman
yang menyenangkan tapi juga melalui pengalaman pahit. 187
Pengalaman inilah yang membuat orang Israel dapat memahami
bahwa Tuhan itu Penyayang dan Pengasih yang menginginkan damai
sejahtera bagi umat-Nya.. pertama-tama iman dalam Perjanjian Lama
adalah mendengarkan Sabda Allah.188 Oleh karena itu, beriman berarti
taat dan patuh kepada perintah Allah. Dalam paham Perjanjian Lama
Iman berarti kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah. Dalam
iman Perjanjian Lama, iman berarti menaruh percaya pada Janji
Allah.

6.2.2. Iman Dalam Perjanjian Baru


Dalam diri Maria, iman Perjanjian Lama memuncak menjadi
hamba Tuhan yang total (Luk. 1:38), menjadi kepercayaan seorang
wanita yang kepadanya Allah telah melakukan perbuatan besar,
186
Georg Kirchberger, Ibid. 12.
187
Dr. Niko Syukur Dister, OFM. Op. Cit. 110
188
Ibid. 69
193

karena Allah itu setia pada janji-Nya (Luk. 1:46-55). Allahnya Yesus
bukan Allah baru, melainkan Allahnya janji-janji perjanjian pertama
sedemikian rupa sehingga iman manusia Yesus akan Allah, Bapa-
Nya, hanya dapat dipahami dengan dilatarbelakangi oleh horisan
pewartaan Kerajaan yang akan datang. Dalam diri Yesus,
pemerintahan Allah yang oleh para nabi dahulu dinubuatkan sebagai
akan datang. Dalam umat Israel, iman terikat pada refleksi tentang
sejarah, tetapi dalam Perjanjian Kedua iamn dikaitkan pada sejarah
sendiri sejauh sejarah itu dipadatkan dalam riwayat hidup Yesus,
terutama pada wafat dan kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya dalam
Perjanjian Baru ajaran tentang Allah berpautan erat dengan
Kristologi.
Injil Sinoptik menampilkan Yesus mewartakan kabar gembira
Kerajaan Allah yang di ambang pintu. Orang diajaknya supaya
bertobat dan percaya kepada Injil (Mrk. 1:5). Tindakan percaya
dalam Injil Sinoptik mempunyai arti sebagai berikut. Pertama,
mendengar pada apa yang diwartakan (Mrk. 4:9). Kedua, mengerti
atau memahami apa yang didengar itu (bdk. 13:19), maksudnya
menerima pewartaan Sabda secara positif dan melaksanakannya
dalam hidup harian (Mrk. 4:20; Luk. 8:21; 11:28). Ketiga, bertobat
yang merupakan unsur hakiki dari iman kepercayaan (Mat. 1:15; bdk.
4:17), berbalik kepada Allah secara lahir batin, secara total dengan
segenap pribadinya.
Dalam Kisah Para Rasul (kisah tentang awal pewartaan Injil),
iman dilukiskan sebagai sikap batin yang menyeluruh, artinya sikap
itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan manusia kepada
diri Yesus seluruhnya. Maka menurut Kisah Para Rasul iman yang
diyakini sebagai anugerah itu merupakan sikap taat dan melekat
194

kepada Yesus Kristus secara total dan mutlak (bdk. Kis. 3:16; 9:42;
11:17; 16:31).
Dalam surat-surat Santo Paulus memberikan kesempatan
kepad manusia untuk percaya kepada-Nya atau tidak. Dengan percaya
kita mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus, yang baik
rencana maupun pelaksanaan penyelamatan manusia yang
dilangsungkan Allah dalam penjelmaan, hidup, wafat dan
kebangkitan Yesus Kristus (bdk. 1 Kor. 1:17-2:4; Flp. 2:5-11).
“Mengenal” misteri Allah berarti dikaruniai untuk bergaul dengan
Allah secara akrab dari hati ke hati sehingga ada persekutuan pikiran
dan kehendak antara manusia beriman dengan Allah yang diimaninya
itu (Flp. 3:7-11).

6.2.2.1. Pisteuein
Dalam Perjanjian Baru kata pisteuein artinya percaya, sering
kali berarti percaya kepada Sabda Allah, mengakui Sabda Allah.
Iman diarahkan kepada apa yang ditulis di dalam Torah dan buku
para nabi (Kis. 24:14; Luk. 24:25); begitu juga orang mengimani
kata-kata Yesus (menurut Injil Yohanes) karena Ia diutus Allah dan
mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38; 3:34).
Mengimani perkataan itu berarti menaatinya secara eksistensial
dan sungguh-sungguh hidup menurutnya, sebagaimana jelas dalam
Ibrani 11. juga Paulus menekankan sifat ketaatan dalam iman. Iman
sebagai kepercayaan itu berarti juga mengandalkan daya Allah untuk
mengadakan mujizat (Ibr. 11:17-19). Begitu juga dalam injil-injil
sinoptik, iman seringkali berarti orang percaya akan daya Yesus
untuk mengadakan mujizat dan dalam iman atau kepercayaan itu
mereka disembuhkan. Sesudah peristiwa kebangkitan itu, orang
percaya akan daya rasul untuk mengadakan mujizat (Kis. 14:9-10),
195

juga akan daya mengadakan mujizat yang dimiliki setiap orang dalam
berdoa (Mrk. 11:22-23; Luk. 17:6; bdk. 1 Kor. 13:2).
Perjanjian Baru juga melihat hubungan erat dan harapan iman
akan janji-janji Allah sekaligus merupakan harapan. Iman kristiani
sering mengandung sikap “namun”, kita berpegang pada janji Allah,
meskipun kenyataan di sekitar kita tidak mendukungnya. Iman kita
juga terentang dalam harapan akan suatu kenyataan yang belum dapat
dilihat dan dipegang. Iman harus bertahan dalam kesetiaan, karena
kesetiaanpun merupakan satu unsur dalam iman (1 Tes 1:4).
Dalam Perjanjian Baru yang menjadi kekhasan iman kristen
adalah Yesus Kristus sebagai Tuhan yang telah wafat dan bangkit,
dengan kata lain orang kristen mengimani karya keselamatan yang
dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus. Dengan itu mereka mengaku
yang benar dan menerima karya keselamatan-Nya demi diri mereka.
Iman merupakan jawaban positif atas pewartaan tentang Yesus
Kristus sebagai Tuhan (Kurios) dan tentang karya penyelamatan yang
dikerjakan Allah dalam diri Yesus Kristus. Iman berhubungan erat
dengan pewartaan misioner gereja dan berarti seorang yang
sebelumnya tidak mengenal Yesus serta Allah benar yang
mengutusnya, mendengar pewartaan misioner tentang Yesus Kritus
itu, menerima pewartaan itu yaitu mengimaninya dan bertobat. Iman
berdasarkan pewartaan itu (Fides ex Auditus) menciptakan atau
memungkinkan suatu relasi personal dengan Kristus itu sendiri.
Dalam iman orang menerima sakramen permandian serta sakramen-
sakramen lain dan menjadi anggota tubuh Kristus sendiri, memasuki
suatu relasi yang sangat intim dan intensif dengan Kristus.189

6.2.2.2. Paulus190
189
Georg Kirchberger, Op. Cit. 13
190
Ibid. 15
196

Selain sebagai ketaatan, iman bisa digambarkan sebagai


keputusan untuk menerima dan melaksanakan warta Injil. Iman yang
diterima dalam ketaatan berdasarkan sebuah keputusan akan
membentuk suatu keyakinan yang sungguh mendasari seluruh hidup
orang beriman. Dengan demikian isi iman adalah: iman akan Yesus
Kristus yang wafat dan bangkit. Yesus Kristus adalah Dia memberi
orientasi baru bagi hidup orang beriman.
Iman yang merupakan rahmat Allah, tidak bisa diperoleh
manusia dengan daya sendiri, melainkan harus dikerjakan Roh Allah
dalam hati manusia. Bila kita mulai percaya, Allah sudah lebih dahulu
memulai proses iman itu dan Dia jugalah yang menyelesaikannya.
Sebelum kita mengenal Allah, kita sudah dikenal oleh Allah. Seperti
kata St. Alfonsus de Ligouri: “Kita dikenal oleh orang tua dan sanak
saudara kita ketika kita dilahirkan, tetapi Allah telah mengenal kita
sejak dalam kandungan ibu”. Iman harus dinyatakan di muka umum,
harus diakui, dan harus mewarnai seluruh hidup orang beriman.
Seluruh hidup orang beriman harus menjadi suatu pernyataan iman,
sehingga semua orang (termasuk yang belum mengenal) dapat
mengenal Yesus Kristus.
Iman adalah suatu konsekuensi atau resiko dalam arti ganda.
Iman itu sebuah resiko karena pengakuan akan iman itu bisa
menyebabbkan derita bagi orang beriman; iman itu suatu resiko juga
karena iman itu hanya berdasarkan janji dari pihak Allah, kita belum
memiliki jaminan pasti bahwa apa yang dijanjikan Allah dalam
kebangkitan Yesus Kristus sungguh akan menjadi kenyataan dalam
kehidupan kita juga. Sebab itu iman berarti kita mendasarkan seluruh
hidup kita atas suatu janji dari pihak Allah, kita mengharapkan bahwa
janji itu akan dipenuhi, tetapi kita belum memiliki jaminan yang pasti.
197

Karena iman belum merupakan suatu kepastian, maka orang


percaya adalah orang yang berpengharapan. Harapan merupakan
pelaksanaan tepat dari iman dalam kondisi zaman ini. Orang beriman
masih menantikan penyelesaian yang sempurna dalam Kerajaan Allah
kelak. “Kita diselamatkan dalam harapan. tetapi harapan yang sudah
dipenuhi bukanlah lagi harapan. bagaimana orang masih akan
mengaharap apa yang sudah dipenuhi ? Jika kita mengaharapkan apa
yang kita lihat, maka kita akan menantikannya dengan sabar” (Rom
8:24-25). Orang beriman menanti dalam harapan.
“Pembenaran hanya karena iman” inilah tema teologi Paulus
berhubungan dengan iman. Dengan bertitik tolak dari istilah
“dikaiosune” (keadilan atau kebenaran) merupakan satu istilah
sentral dalam soteriologi Paulus. Dikaiosune itu ada pda diri Allah
sebagai dikaiosune Allah dan manusia dimasukkan ke dalam
dikaiosune Allah itu sedemikian, sehingga manusia menjadi adil atau
benar. Allah bertindaka dalam diri Yesus Kristus demi keadilan dan
kebenaran manusia dalam peristiwa salib, dan melalui karya keadilan
Allah itu, manusia sekaligus dihakimi dan dibenarkan. Ini berarti
bahwa di dalam tindakan yang sama Allah memperlihatkan kesalahan
manusia dan menerima manusia yang bersyarat itu sebagai anak yang
dicintai. Maka karya Allah menyebabkan manusia sungguh menjadi
sungguh benar, menjai anak angkat Allah. Keadilan Allah sungguh
menghasilkan keadilan manusia. Sebab itu keadilan Allah merupakan
gagasan soteriologis, manusia diselamtakan berkat keadilan Allah.
Kebenaran mengenai dikaiosune Allah yang membenarkan manusia
dirumuskan Paulus secara polemis dalam pertentangan dengan
hukum sebagai jalan keselamatan.
Kamu tahu bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan
oleh karena melakukan Hukum Taurat, tetapi hanya
198

karena iman dalam Kristus Yesus, supaya kami


dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan
karena melakukan Hukum Taurat. Sebab tidak
seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan
Hukum Taurat (Gal 2:16).
Sebab itu, Paulus mewartakan “kebenaran Allah karena
iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya” (Roma
3:22) dan merumuskan dengan tegas: “kami yakin bahwa manusia
dibenarkan karena iman dan bukan karena ia melakukan Hukum
Taurat” (Roma 3:28). Dalam ajaran St. Paulus hukum mengandung
tuntutan-tuntutan Allah dan kehendak Allah yang nyata dalam hukum
harus dilaksanakan oleh manusia. Tuntutan hukum ialah keadilan
(dikaiosune), perbuatan dan sikap yang adil. Sebab itu, hukum disebut
juga hukum keadilan (Roma 9:31), atau mengenai keadilan bisa
dikatakan bahwa itu terjadi dalam hukum (Flp 3:6)

6.2.2.3. Yohanes
Dalam surat Yohanes terdapat satu kali (1 Yoh 5:4) Yohanes
menggunakan kata benda “iman” tetapi kata kerja “percaya” sangat
sering digunakannya, baik dengan kata depan “eis” (akan) maupun
dengan dativus, keduanya dalam arti sama, sehingga percaya akan
Yesus yang mewartakan dan percaya Yesus yang diwartakan,
disatukan oleh Yohanes. Yang percaya memperoleh keselamatan. Hal
ini dinyatakan melalui berbagai rumusan: orang beriman memiliki
hidup (11:25), ia sudah beralih dari kematian ke pada kehidupan, ia
tidak dihukum (5:24) dan sebagainya. Dalam pernyataan ini
terkandung arti, bahwa hanya iman yang memperoleh keselamatan
199

(bdk 8:24). Yohanes memperjuangkan pengertian yang benar


mengenai keselamtan itu sendiri. Keselamtan itu umumnya disebut
“hidup” (dengan kata Yunani zoe). Yohanes mau memperlihatkan,
bahwa apa yang disebut hidup oleh dunia, sebenarnya bukan hidup,
hanya merupakan suatu hidup semu.
Dunia berada dalam keadaan dusta, dan karena Yesus
menyatakan kebenaran, maka dunia tidak percaya (8:45-46).
Perkataan Yesus bersifat gelap bagi dunia dan baru menjadi jelas bagi
orang yang percaya yang meninggalkan cara berpikiran cara menilai
dari dunia (10:6;16:25-29). Maka iman menuntut agar orang
meninggalkan “dunia”. Dalam iman manusia harus beralih kepada
yang kelihatan (20:29). 191
Iman dipahami sebagai berada di dalam hati, dan tidak ada
seorangpun yang tahu kecuali oleh Tuhan sendiri. Bisa jadi seseorang
yang perkataan yang tidak baik, jorok, tidak sopan, tetapi hatinya
baik. Begitu pula orang yang perbuatan dan prilaku yang tidak baik
bisa jadi hatinya tetap baik192 Ini memperlihatkan bahwa perbuatan itu
tidak berpengaruh terhadap hati dan sebaliknya, keadaan hati tidak
berpengaruh terhadap perbuatan, karena masing-masingnya tidak ada
sumbangan sama sekali.
Akan tetapi secara terminologis kata “iman”berarti juga
kesatuan, keselarasan dan keserasian antara kata hati, ucapan dan
perbuatan. Di sini iman dimaksudkan sebagai sikap hati, dan bukan
hanya sebagai keyakinan dalam hati. Dengan sikap hati itu manusia
mempercayakan dirinya dengan sebulat-bulatnya kepada Tuhan,
mengandalkan Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Dalam arti ini iman

191
Georg Kirchberger, Ibid. 24
192
Antonius Atosokhi Gea, Noor Racmat, Antonia Panca Yuni Wulansari, Relasi
Dengan Tuhan, PT Elex Mediakomputindo, Jakarta 2004, 64.
200

searti dengan penyerahan diri.193 Dengan penyerahan dimaksud


seluruh hidupnya (hati, ucapan dan perbuatan) sesuai dengan
bimbingan imannya.
Dalam relasi manusia dengan Tuhan dapat dikatakan bahwa
iman merupakan jawaban manusia atas pewahyuan Allah. Secara
umum agama-agama mengakui bahwa Allah telah mewahyuhkan
diriNya kepada manusia. Justru karena telah mewahyuhkan diri-
Nyalah, maka Tuhan dari tidak dikenal menjadi dikenal dan dapat
disembah oleh manusia.194 Karenanya pewahyuan Allah tentang diri-
Nya dan cinta kasihNya kepada manusia perlu dijawab atau
ditanggapi oleh manusia. Tanggapan atau jawaban ini merupakan
ungkapan cinta dari manusia kepada Tuhan yang telah lebih dahulu
mencintai kita.
Iman tidak dapat dilihat pertama-tama sebagai hasil usaha
manusia, melainkan inisiatif dari Allah sendiri. Wahyu yang
disampaikan kepada manusia membuka dan menggerakkan hati
manusia untuk menerimanya, mengakui dan mengimaninya. Dalam
iman orang meninggalkan dunia dusta, meninggalkan ukuran dan cara
menilai yang lama.195 Maka iman meresapi seluruh hidup
sebagaimana jelas dalam ajaran Yesus untuk “tinggal”. Orang
beriman harus tinggal di dalam Yesus atau di dalam firman-Nya (1
Yoh. 8:32). Iman mengahasilkan pengetahuan tentang kebenaran dan
sebaliknya. Iman membawa kepad pengetahuan dan pengetahuan
yang sudah diperoleh mengahantar lebih dalam ke dalam iman (1
Yoh. 16:30; 17:8).

193
Dr. C. Groenen, OFM dan Stefen Leks, Percakapan Tentang Alkitab, Kanisius,
Yogyakarta 1995, 7-8
194
Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari, Op. Cit.. 65
195
Georg Kirchberger, Op. Cit. 24
201

6.3. Iman menurut Patristik196


Iman menurut patristik berarti bersatu erat dengan Kristus
secara peneumatis. Orang berakal budi layak percaya bahwa Yesus
Kristus adalah Sabda Allah sendiri yang menjadi penuntun kepada
hidup kekal.
6.3.1. Para Bapa Apostolik
Ada dua pandangan pemahaman para Bapa Apstolik (90-165)
tentang iman. Yang pertama, mereka menekankan sikap taat kepada
hukum Ilahi sehingga terdapat nuansa etis yang kuat. Hubunngan
dengan Kristus terungkap bukan hanya dalam pandangan bahwa
Dialah pemberi hukum, melainkan juga bersatunya orang beriman
dengan Kristus secara personal-pneumatis. Yang kedua, iman terarah
kepada kebahagiaan eskatologis: iman dan harapan bersatu padu.
Orang mendapat pelajaran iman untuk memperoleh gnôsis yang
dalam tradisi St. Paulus diartikan sebagai penyampaian rahasia
eskatologis.

6.3.2. Para Apologet Yunani


Para apologet Yunani menghadapkan iman kristiani pada
budaya Hellenis yang sezamannya, lalu berusaha mempertanggung-
jawabkan iman kristiani di hadapan budaya Hellenis. Para apoleget
mengambil alih pandangan filsafat Yunani bahwa Allah demi kodrat-
Nya tidak berubah-ubah. Sehingga sulitlah bagi mereka untuk
memahami secara teologis tindakan Allah dalam sejarah.
Jasa para apologet yang berurat berakar dalam Tradisai Yunani,
adalah berhasil menemukan bagi Allah alkitabiah yang bertindak itu
Zat yang berhakekat. Sejak itu setiap pernyataan tentang “Nan Ilahi”
berada dalam sistem koordinat karena di satu pihak pemikiran Yunani
196
Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, Op. Cit. 79
202

bersifat epifani (baginya apa yang adi-duniawi dan transenden itu


menjadi tampak), dan di pihak lain pengharapan alkitabiah
berdasarkan tindakan dan janji Allah yang membuktikan diri sebagai
yang terpercaya. Jasa para apologet juga menunjukan bahwa
selayaknya manusia sebagai makluk berbudi itu percaya akan wahyu
biblis tentang kebangkitan badan, nubuat para nabi, dan kedudukan
serta peranan Kristus sebagai Sabda Allah.

6.3.3. Paham Iman dalam Pustaka Anti Bidaah Ireneus dan


Tertullianus
Ireneus dari Lyon (Paroan kedua dari abad II) mengembangkan
iman dalam konfrontasi dengan gnosis yang heterodoks. Dalam
pengetahuan akan Allah dan paham iman kepercayaan, gnotisisme
mengemukakan ajarannya dengan semau-maunya. Sehingga Ireneus
melawan ajaran ini dengan mengembangkan pandangannya tentang
tradisi kegerejaan sebagai kriteria untuk iman kepercayan. Secara
apologetis, Ireneus berhasil mengembangkan ajaran tentang ekonomi
keselamatan dalam dua arah yakni menyusun teologi logos Pewahyu
dan mendasarkan iman pada wahyu Allah dalam sejarah. Iman akan
Allah dan Kristus dijadikan postulan untuk menerangkan sejarah
dunia. Ireneus mengakui bahwa sejarah keselamatan merupakan
conditio sine qua non bagi pewarta kristiani. Dalam ajaran tentang
ekonomi keselamatan, para apologetis dan antignosis melengkapkan
ajaran tentang pengetahuan akan Allah berdasarkan alam ciptaan.
Menurut Ireneus, kosmoteologi ini bukanlah teodisea mandiri
yang menghantar dari bawah ke atas, melainkan selalu bertolak dari
wahyu biblis. Ireneus mengaitkan iman Kristiani dengan wahyu
alkitabiah yang nampak dalam tiga hal berikut: pertama, iman
kepercayaan diartikan sebagai mengikuti Kristus, meneyrahkan diri
203

kepada-Nya. Kedua, iman Abraham sebagai contoh dalam karya


Ireneus. Dan yang ketiga, tindakan logos sebgaai pewahyu
merupakan theologoumenon yang terpenting.
Tertulianus (160-220) merupakan apologet Afrika yang
terkenal. Menurutnya secara adikodrati ada dua hal pendasaran iman:
pertama, ajaran tentang “pedoman iman” (regula fidei), yakni
syahadat yang merumuskan isi iman kristiani secara singkat-padat
berdasarkan alkitabiah sebagaimana ditafsirkan oleh Tradisi. Kedua,
ajaran tentang karya Roh Kudus yang bersifat mengilhami dan
menggerakkan dalam Gereja. Tertulianus juga berpendapat bahwa
ada dua jalan kodrati untuk sampai kepada iman: kosmoteologi dan
kesaksian jiwa. Pengetahuan kodrati akan Allah hanya dapat
mencapai kepenuhannya berkat iman kepercayaan dalam arti ketat
yang terarah kepada tindakan Allah dalam sejarah keselamatan,
terutama dalam Yesus Kristus.

6.3.4.. Paham iman menurut teologi Klemens dan Origenes


Menurut Klemens dari Alexandria (140/150-216) percaya
berarti mendengar pada logos, dimana logos itu dipandang sebagai
lanjutan dari dabar YHWH dalam sejarah keselamatan. Allah dikenal
bukan dikenal oleh pembuktian ilmu pengetahuan, melainkan oleh
rahmat sabdanya yang Pewahyu. Klemens menyatakan bahwa sifata
hakiki iman kepercayaan adalah keputusan bebas, praduga (yang
berakar pada kodrat manusia), dan persetujuan. Iman terarah kepada
gnosis. Pengenalan akan Allah merupakan sifat memandang atau
menatap nan Ilahi. Tatapan (theôria) ini, dimungkin karena logos
204

telah menjelma menjadi manusia sehingga disamping kedengaran


juga kelihatan.
Menurut Origenes (254), iman kepercayaan adalah sabda Kitab
Suci yang menyapa kita dalam melawan gnostis anatara PL dan PB.
Origenes menegaskan bahwa daba Allah PL sama dengan logos PB,
dan Sabda Allah alkitabiah ini pun dipersatukannya dengan logos
Hellenis. Dengan meyakini sosok logos sebagaimana berurat berakar
dalam dinamika dari kedua perjanjian ini, maka Origenes meyakini
sifat logos sebagai penyerah. Dalam hal ini logos sebagai yang turun
dari surga yang dapat dimakan sama artinya dengan karunia yang
diberikan kepad kita untuk menatapnya. Contoh peristiwa di gunung
Tabor, dimana Petrus, Yakobus dan Yohanes, memandang Yesus
dalam kemuliaan-Nya. Dari contoh ini Origenes mau mengatakan
kepada kita bahwa di dunia ini pun kita sudah dapat memandang
Tuhan dalam doksa, dalam kemuliaan-Nya, apabila iman kepercayaan
dialami dan ditingkatkan sampai pada taraf penglihatan mistik.
Origenes memandang iman sebagai sumber iman kepercayaan
adalah satu-satunya adalah Kitab Suci yang menyapa kita. Klemens
dari Alexandria iman berarti mendengar kepada logos dimana logos
itu dipandang sebagai lanjutan dari dabar YHWH dalam sejarah
keselamatan. Paham iman Agustinus ditentukan oleh hubungan
dengan kewibahan (auctoritas) di satu pihak dan tatapan Allah
ataupun Kristus (visio dei christi).
6.3.5. Iman menurut Tiga Pujangga besar dari Kappadokia
Tiga pujangga besar gereja dari Kappadokia ialah Basilius
Agung, Gregorius Agung dari Naziane, Gregorius Agung dari Nyssa.
Mereka bermaksud mentransposisikan iman Kristiani ke dalam alam
pikiran Yunani, sehingga ajaran rohani mereka secara seimbang
bersesuaian dengan dasar iman yakni sabda pewartaan. Penekanan
205

bukan logos, tetapi Kristus-eikôn, gambar Allah Bapa. Kemudian


diarahkan kepada kontemplasi dan mistik. Namun mistik kristiani di
satu pihak berkaitan erat dengan misteri (sakramen babtis dan
ekaristi), namun di lain pihak sama derajatnya dengan mistik filosofi.
Gregorius dari Nyssa mengembangkan teologi eikôn, teologi
gambar untuk menjelaskan Kristologi dan antropologi teologi.
Manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 1:26-27). Bagi
Gregorius, dengan mengenal diri sendiri manusia dimungkinkan
untuk mengenal Allah, sebab saat diciptakan, Allah menempatkan ciri
corak-Nya dalam batin manusia. Dengan mengenal gambar saja kita
akan mengenal Dia yang digambarkan. Jiwa manusia juga dapat
memandang Allah. Manusia tidak bisa menatap logos secara langsung
tetapi harus cermin jiwa.
Menurut St. Agustinus hati manusia adalah oragan pengenalan
akan Allah. Hati yang dimurnikan melalui askesis, iman kepercayaan
dan cinta kasih itu dapat mengenal Allah. Paham iman ditentukan
oleh kewibawaan (Auctoritas) dan dengan tatapan Allah atau Kristus
(Fisio Dei [Christi]). Auctoritas merupakan kesatuan dari alkitab dan
gereja sebagai pedoman iman (regula Fidei) dipadatkan dalam
syahadat. Dalam Mat. 7:7, bagi Agustinus, jiwa kristiani diajak untuk
maju dari iman kerpercayaan kepada tatapan (yang kontemplatif).
Program teologi “percaya untuk mengerti” (Creedo ut Intellegam)
menjadi program yang dari auctoritas menuju illuminatio
(penerangan batin oleh Roh Kudus), sehingga secara intuisi manusia
dapat memandang Allah yang transenden. Dari komponen iman di
atas, Agustinus membuat distingsi “Sabda lahir” dan “Sabda batin”
untuk menjelaskan illuminasi apada waktu membaca alkitab. Mula-
mula Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, para Nabi dan para Rasul
harus dimengerti sebagai “Sabda lahir”, namun ketika dipelajari dan
206

ditafsirkan akan ditemukan maknanya yang terdalam dan


tersembunyi, itulah “Sabda batin” bagi mereka yang mengerti dengan
baik Sabda itu. Hal ini didorong oleh cinta kasih.

6.4. Iman menurut Thomas Aquinas dan Martin Luther 197


Iman menurut Thomas Aquinas adalah asentire primae
veritati (menyetujui kebenaran pertama) maka jelas bahwa baginya
iman mempunyai suatu aksen intelektual, merupakan suatu tindakan
yang dilakukan intelek manusia. Sehingga bagi Thomas iman
merupakan suatu persetujuan akal budi manusia kepad kebenaran
pertama / ilahi. Tetapi tindakan intelek saja tidak cukup, akal budi
harus digerakkan oleh kehendak supaya ia setuju. Dengan demikian,
oleh adanya unsur kehendak dalam aktus iman, maka kebebasan iman
terjamin. Unsur intellectus dan voluntas harus bergabung dalam aktus
iman, ini bisa kita lihat dalam penjelasannya tentang definisi iman
sebagai cum assensione cogitare (mempertimbangkan dengan
persetujuan) yang diambilnya dari Agustinus. Mengenai definisi itu
Thomas mengatakan: It ideo assensus hic accipitur pro actu
intellectus secundum quod a voluntate determinatur ad unum (maka
dalam definisi ini persetujuan dimengerti sebagai tindakan akal budi,
sejauh akal budi didorong untuk itu oleh kehendak).
Bagi Thomas, suatu aktus manusia hanya bisa berkenan pada
Allah, bisa merupakan actus neritorius, kalau aktus itu berasal dari
kehendak bebas yang digerakkan oleh rahmat Allah, maka iman yang
membenarkan harus merupakan aktus semacam itu: Ipsum autem
credere est actus intellectus assentientis veritati divinae ex imperio
voluntatis a Deo motae per gratiam (Ada pun percaya merupakan

197
Georg Kirchberger, Op. Cit. 35
207

suatu tindakan akal budi yang menyetujui kebenaran ilahi oleh karena
perintah kehendak yang digerakkan Allah melalui rahmat).
Dalam teologi skolastik, tindakan kehendak yang efektif itu
umumnya disebut caritas, cinta kasih. Maka Thomas mengatakan:
supaya iman menjadi suatu actus meritorium, iman itu harus
dibarengi cinta. Cinta iotu disebut forma fidei, sehingga teologi
skolastik berbicara mengenai fides caritate firmata. Iman yang
dibentuk cinta itu merupakan iman yang membenarkan.
Luther menekankan bahwa pembenaran itu dihadiahkan oleh
Allah kepada manusia. Menurut Luther manusia diselamatkan oleh
iman, bukan oleh perbuatan. Di sini Luther mau meninjolkan, bahwa
Allah sendiri membenarkan secara gratis, tanpa menuntut pahala
manusia terlebih dahulu. Allah bertindak aktif di dalam pembenaran,
sedangkan manusia harus tingal pasif, karena manusia tidak bisa
menyelamatkan diri, kita diselamatkan sola fide, hanya karena iman
akan Allah yang berkarya dalam Yesus Kristus untuk kita.
Luther mengeritik, bahwwa dalam prakter Gereja dan dalam
teologi tentang iman, iman dan perbuatan dicampuradukan dan
karena itu Injil tentang pembenaran yang diberikan Allah secara
gratis karena Yesus Kristus telah ditinggalkan dan dihianati. Luther
menolak fides caritate formata dan menegaskan sola fide. Karena,
kalau iman baru membenarkan bila dibarengi dengan cinta, maka
perbuatan manusia (ialah cinta) yang menyelamatkan dan perbuatan
manusia itu menyingkirkan jasa Yesus Kristus.
Luther harus menolak formula skolastik itu, karena ia
menafsirkan dengan mengerti caritas sebagai usaha untuk mencintai
sesama dan melakukan karya amal. Sedangkan dalam teologi
skolastik, formula fides caritate formata mau mengatakan: Allah
yang mengundang dan menggerakkan manusia untuk bertobat, tidak
208

hanya menggerakkan akal budi, tetapi juga kehendak manusia.


Dengan kata lain pertobatan dan pembenaran menyangkut mansia
seutuhnya. Di sini Luther tidak mengerti konteks dan arti yang
sebenarnya dari forma fides caritate formata. Ia mengerti cinta
sebagai karya manusia, sehingga ia harus menolak formula tadi
sebagai suatu penjelasan tentang iman yang pembenaran yang
mengaburkan sifat hadiah dari pembenaran dan menjadikan
pembenaran suatu hasil perbuatan manusia.
Luther mengerti iman sebagai suatu sikap eksistensial yang
menyangkut seluruh manusia dan tenaganya. Menurutnya, iman dalah
manusia menerima pengadilan dan pembenaran Allah atas dirinya dan
melindungi di dalam belas kasih Allah yang nyata dalam Yesus
Kristus. Maka jelas, bahwa atas dasar pengertian demikiann tentang
iman, formula sols fide sama luas artinya seperti fides caritate
formata dalam teologi skolastik.

6.5. Pembenaran dan Iman menurut Konsili Trente


Dekrit tentang pembenaran yang disahkan oleh Konsisli Trente
pada 13 Januari 1547, dimaksudkan sebagai penolakan posisi
reformasi dan sekalgus sebagai penjelasan tentang pembenaran dan
peran iman di dalamnya. Trente menegaskan, bahwa pembenaran
sungguh-sungguh merupakan karya Allah demi keselamatan manusia.
Tetapi konsili tidak menerima kesimpulan bahwa manusia sama
sekali pasif dan tidak turut serta dalam proses pembenaran, karena
pembenaran itu dikerjakan oleh Allah. Konsili Trente berpendapat,
bahwa manusia juga terlibat secara aktif, karena ia menerima hadia
dari Allah secara bebas, yang bisa juga menolaknya.
Persiapan dalam diri manusia yang dikerjakan Allah dan yang
perlu demi pembenaran, digambarkan Konsili Trente sebagai berikut:
209

Orang dewasa disiapkan bagi kebenaran/keadilan itu atas


cara: Dengan dibangkitkan dan dibantu oleh rahmat
ilahi, mereka menerima iman dari pendengaran (bdk Rm
10:17) dan dengan demikian mereka secara bebas
diangkat kepada Allah, sambil percaya sebagai benar apa
yang diwahyukan dan dijanjikan Allah, terutama bahwa
orang berdosa dibenarkan oleh rahmat Allah karena
penebusan dalam Kristus Yesus (Rm 3:24). Selanjutnya,
kalau mereka mengerti bahwa mereka berdosa dan
merasa digoyahkan oleh rasa ketakutan sehat terhadap
keadilan Allah, mereka akan mengingat belas kasih
Allah dan akan didorong kepada harapan penuh
kepercayan bahwa Allah akan mengasihani mereka demi
Kristus. Dengan ini, mereka akan mulai mencintai Dia
sebagai sumber segala keadilan dan melawan dosa
dengan rasa benci dan jijik, artinya dalam pertobatan
yang dilakukan sebelum permandian; akhirnya mereka
berniat menerima pembabtisan, melalui suatu hidup baru
dan mentati perintah-perintah Ilahi (ND 1930).

Tentang iman, Konsili kurang lebih kembali kepada teologi


skolastik yang agak kuat mengerti iman sebagai persetujuan intelek
kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Iman itu perlu
dengan pembenaran namun iman itu tak cukup, pembenaran tak
terjadi sola fide, melainkan iman harus dilengkapi denghan harapan
dan cinta. Dalam bab 7 dari dekrit itu:
Iman tanpa harapan dan cinta tidak mempersatukan
manusia secara sempurna dengan Kristus dan tidak
membuat orang menjadi anggota hidup pada tubuh-Nya.
210

Karena benar apa yang ditulis: Iman tanpa perbuatan


adalah mati (Yak. 2:17) dan tak berguna, dan bagi orang-
orang yang berada dalam Kristus Yesus hal bersunat atau
tidak bersunat tidak mempunyai arti, hanya iman yang
bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Inilah iman yang seturut
tradisi apostolik diminta oleh para calon babtis dari
Gereja sebelum mereka menerima sakramen baptisan,
jika mereka meminta iman yang memberikan hidup
abadi, karena hidup abadi tidak bisa diberikan oleh iman
tanpa harapan dan kasih (ND 1934).

Dalam bab 8, Konsili menegaskan bahwa iman sungguh


bersifat fundamental, supaya mansia dibenarkan dan bahwa
kebenaran itu bersifat gratis, tidak menuntut jasa apapun dari
manusia, sehingga jelas bahwa harapan dan kasih tidak ditafsirkan
sebagai perbuatan manusia, yang harus dilakukan manusia dahulu
supaya Allah berkenan untuk membenarkan mereka.
Sang rasul mengatakan bahwa manusia dibenarkan oleh
iman dan dengan cuma-cuma (Rm. 3:22.24). Kata-kata
ini harus dimengerti secara tepat sebagaimana
dipertahankan dan dijelaskan oleh Gereja Katolik dengan
sebulat hati. Mereka mengatakan: Kita dibenarkan oleh
iman, karena iman merupakan awal keselamatan bagi
manusia, dasar dan akar setiap pembenaran; tanpa iman
tak seorangpun bisa berkenan kepada Allah (Ibr. 11:6)
dan masuk kedalam persekutuan putera-puteraNya.
Mereka mengatakan: Dibenarkan dengan Cuma-Cuma
karena tida sesuatupun yang mendahului pembenaran-
entah iman, entah perbuatan-memperoleh rahmat
211

pembenaran. Karena ia diberikan sebagai rahmat, maka


ia tidak diberikan berdasarkan perbuatan, kalau tidak
demikian, maka sebagaimana dikatakan oleh rasul yang
sama: Rahmat bukan rahmat lagi (Rm. 11:16; ND 1935).

6.6. Iman Dalam Konsili Vatikan I198


Iman dalam Vatikan I lebih menekankan suatu hubungan antara
iman dan akal budi. Tetapi di satu pihak terdapat suatu penyimpangan
rasionalisme yang secara eksklusif memperhatikan akal dan kodrat
sambil mengesampingkan iman yang adikodrati. Rasionalisme adalah
kebenaran yang dapat dipertanggungjawab-kan oleh akal budi dapat
menangkapnya sebagai benar.
Ajaran Konsili Vatikan I dapat dikupas disekitar butir-butir
berikut
 Kewajiban: Iman sebagai kewajiban, kita wajib percaya kepada
Allah yang mewahyukan diri-Nya sebagai pencipta dan Tuhan.
Dasar kewajiban itu terletak dari kenyatan bahwa manusia
sepenuhnya bergantung kepada Allah.
 Kepatuhan akal budi dan kehendak: Konsili Vatikan I
menekankan bahwa baik akal budi maupun kehendak manusia
ikut memainkan peranan dalam iman kepercayaan kepada
Allah, patuh kepada-Nya dengan tahu dan mau.
Orang beriman harus atas dasar Allah dan Gereja, menerima
199
sebagai nbenar ajaran-ajaran yang kebenarannya tidak dapat.
Konsili Vatikan II berusaha menemukan suatu jalan yang menghargai
peran akal budi manusia tetapi juga memperlihatkan perlunya wahyu
atas alamia yang harus diterima dalam iman.200
198
Dr. Niko Syukur Diester, Pengantar Teologi, Op. Cit. 136
199
George Kirchberger. Op. Cit. 46
200
Ibid. 45
212

Mengingat situasi teologi yang dihadapi oleh Konsili Vatikan I,


maka dapatlah dimengerti kalau Konsili Vatikan I hanya
mengarahkan ajarannya kepada segi atau sudut tertentu dari iman,
yaitu segi yang disalahpahamkan baik oleh rasionalisme maupun oleh
fideisme (dan tradisionalisme). Konsili menitikberatkan satu segi saja
dan tidak memberikan uraian yang menyeluruh tentang iman
kepercayaan.
Konsili memandang iman dari segi intelektual, segi
“pengetahuan”, dan membahas hubungan antara iman dengan akal
budi. Konsili Vatikan I memandang iman sebagai penerimaan
kebenaran-kebenaran oleh akal budi manusia sedemikian rupa
sehingga kebenaran itu diterima berdasarkan pemberitahuan dari
pihak Allah yang mewahyukan kebenaran tersebut.
 Melawan rasionalisme, Konsili mengajarkan bahwa apa yang
diwahyukan Allah itu kita imani sebagai benar, “bukan karena
kebenarannya yang intrinsic itu dilihat dengan terang kodrati akal-
budi, melainkan karena wibawa Allah sendiri yang mewahyukannya”,
dan bahwa iman yang menyelamatkan itu tidak mungkin tanpa
“penerangan” dan ilham Roh Kudus.
 Melawan fideisme dan tradisionalisme, Konsili mengajarkan
bahwa “ketaatan iman” itu harus “selaras dengan akal-budi” dan
bahwa itulah sebabnya Allah menyediakan bermacam-macam tanda,
khususnya mukjizat dan nubuat, yang memungkinkan kita mengakui
bahwa wahyu berasal dari Allah.
 Terdapat beberapa point penting dari ajaran Konsili Vatikan I
tentang Iman, yaitu :
  Iman sebagai kewajiban. Kita wajib percaya kepada Allah yang
mewahyukan diri sebagai Pencipta dan Tuhan. Dasar kewajiban itu
213

terletak dalam kenyataan bahwa manusia sepenuhnya bergantung


pada Allah.
  Akal budi dan kehendak ikut memainkan peranan dalam iman
kepercayaan. Peranan itu terutama dilihat sebagai kepatuhan.
  Yang mendoron manusia untuk menerima kebenaran iman ialah
wewenang Allah yang berbicara. Wewenang itulah yang oleh Konsili
disebut sebagai “motivasi iman”.
  Iman itu adalah anugerah Allah dan tindakan manusia. Sebagai
anugerah Allah, iman merupakan suatu “keutamaan teologis” atau
“kebajikan adikodrati”. Iman juga merupakan tindakan manusia yang
menjadi aktif berkat daya Roh Kudus.

6.7. Iman Dalam Konsili Vatikan II


Iman adalah sebagai tindakan penyerahan pribadi manusia
seluruhnya kepada Allah secara bebas. Istilah alkitabiah “ketaatan
iman” (Rm. 16:26), diartikan oleh Konsili Vatikan II secara persnal
sebagai jawaban bebas dari pihak manusia dan dengan demikian
menanggapi anugerah wahyu dari pihak Allah.
Obyek iman adalah Allah sendiri sebagai pewahyu bukan
kebenaran-kebenaran. Jadi yang pertama-tama yang dipercayai ialah
Allah yang berbicara, Allah yang mewahyukan. Pribadi Allah yang
pertama-tama diimani manusia dalam sikap penyerahan diri yang
total kepada Dia.
Iman sebagai pertemuan personal dengan Allah. Itu merupakan
anugerah Allah kepada manusia “supaya iman itu ada” perlu uluran
tangan dan bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin dalam Roh.
Konsili Vatikan II melengkapi ajaran Konsili Vatikan I dengan
mengembangkan pandangan yang lebih menyeluruh. Konsili Vatikan
214

II mendekati wahyu dan iman sebagai komunikasi pribadi dan


persatuan personal antara Allah dan manusia. Wahyu dipandang
sebagai penganugerahan diri Allah kepada manusia. 
Iman dilihat sebagai penyerahan diri kepada Allah. Iman adalah
tindakan bebas manusia yang menjawab kepada Allah. Jawaban itu
melibatkan seluruh pribadi manusia, dan bukan hanya akal budi dan
kehendak.
Ada beberapa point penting dari ajaran Konsili Vatikan II
tentang iman :
  Iman merupakan penyerahan diri kepada Pribadi Allah secara
bebas. Istilah alkitab “ketaatan iman” (Rm 16 : 26) diartikan oleh
Konsili Vatikan II secara personal sebagai jawaban bebas dari pihak
manusia yang dengan demikian menanggapi anugerah wahyu dari
pihak Allah.
  Obyek yang diimani bukan pertama-tama kebenaran-kebenaran,
melainkan terutama Allah sendiri sebagai pewahyu. Baru pada tempat
kedua, diimani pula kebenaran-kebenaran yang diwahyukan oleh
Allah.
  Iman sebagai pertemuan personal dengan Allah adalah anugerah
kepada manusia. “Supaya iman itu ada”, perlu uluran tangan dan
bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin Roh Kudus.
  Roh Kudus memiliki 3 peranan, yaitu (1) Roh memegang peranan
dalam penyerahan bebas kepada Allah, sebab Roh Kudus itu
“menggerakkan hati” ; (2) Roh juga berperanan dalam penyetujuan
intelektual yang bebas dengan wahyu Allah, sebab Roh itu “membuka
mata budi”; (3) Roh memberi kepuasan dan kegembiraan dalam
menyetujui dan mengimani kebenaran, sebab Roh itu “memberi
kenikmatan”.

6.8. Iman Sebagai Pengetahuan


Teologi Fundamental yang mempelajari event revelasi dan
kredibilitas revelasi, ditampilkan juga sebagai sebuah disiplin ilmu
yang mempunyai struktur epistemologisnya tersendiri. Itu artinya
Teologi Fundamental harus menegaskan forma-forma, isi dan
metodologi agar supaya ia dipandang sebagai penegtahuan ilmiah
tentang iman. Tugas pertama Teologi fundamental ialah menunjukkan
bahwa ada sebuah forma pengetahuan yang diekspresikan melalui
“percaya.” Iman, karena itu tidak bisa menjadi sebuah ‘sacrificium
215

intellectus’ melainkan iman adalah forma pengetahuan itu sendiri


yang ada dalam diri persona dalam mengeksplisitkan diri dan
merealisasikan diri.
6.8.1. Kitab Suci
“Percaya akan/kepada” dan “percaya dalam” Allah sejajar
dengan “tahu” karya-karya historis Allah. Ekspresi “tahu bahwa
YHWH adalah Allah” (Yes 43:10) bisa dipandang sebagai pengakuan
iman akan Allah. Bagi manusia PL percaya-tahu meminta sikap
‘mempercayakan diri’ dan ‘taat’ kepada dia yang dipercaya dan
diketahui. Betapa tidak mungkin meredusir iman biblis hanya kepada
salah satu komponen saja; karenanya dimensi ‘mengetahui’ tidak bisa
dihapuskan dari iman. Sebaliknya, justru karena karya YHHW
diketahui secara konkrit maka sabdaNya dipercaya.201
Injil Sinoptik, sembari menjelaskan sentralitas persona Yesus
Kristus, menunjukkan bahwa pertemuan pribadi dengan Yesus
adalah sumber pengetahuan tentang eksistensi personalNya. Untuk
mengetahui Allah dan percaya akan Dia, Dia yang diutus oleh harus
diketahu dan dipercaya.. Kepada Dia perlu serah diri bagaikan
seorang bayi dimana seorang bayi bisa tahu lebih banyak melalui
jalan intuitif daripada spekulasi intelektual (Mat 18:1-6).
Dalam Yohanes tema tentang iman adalah sebuah kategori
fondamental dalam Injil dan teologinya. Visi tentang relasi antara
percaya – tahu, baginya me-rupakan suatu hal yang penting. Tentang
Nikodemus yang “skeptik”, Yesus me-ngajarkan bahwa perlu
“dilahirkan kembali dari atas” – suatu cara berada di ha-dapan Yesus
Kristus, harus berada secara berbeda karena hanya dia “yang datang
dari atas adalah di atas segala-galanya” – sebaliknya yang datang dari
bawah – dunia ini termasuk dalam dunia ini dan berbicara dalam
201
Cf. J. ALFARO, Rivelazione e fede, in Cristologia e antropologia, Assisi 1973, 225-
227.
216

kata-kata dunia ini (Yoh 3:31). Yohanes ketika berbicara tentang


percaya, sebenarnya ia menegaskan bahwa iman telah disisipkan ke
dalam ‘karya publik Yesus di bumi ini dan telah dibuat eksplisit
dalam perjumpaan” dengan Yesus Kristus.202
Percaya dan tahu saling berelasi satu sama lain dan kadang bisa
dipakai bergantian; maknanya berbeda-beda bagi dia yang mengikuti
teori gnosiologis modern. Term ghinóskein menunjukkan sebuah
‘iman yang lebih jelas (Yoh 6:69; 10:38; 14:20) namun tidak dalam
arti terang benderang intelektual’203 melainkan dalam arti
pengetahuan tentang iman itu sendiri yang terbuka kepada kebaruan.
Forma pengetahuan ini yang menciptakan communio. Ide ini
membantu kita untuk mengerti penggunaan term ‘mengetahui’ dalam
diskursus tentang perpisahan (Yoh 14:17); sesungguhnya percaya
kepada SabdaNya dan karyaNya bisa menghantar orang untuk tahu
dan akui Yesus sebagai rivelator dan karena itu juga orang bisa
masuk ke dalam relasi cinta denganNya.204
Iman, dengan kata lain, menghantar kepada sebuah
pengetahuan dan inte-ligensi, iman menghantar kepada sebuah
communio yang makin akrab dengan pribadi yang begitu dikenal
hingga kepada cinta. Pada saat yang sama, justru karena pengetahuan
ini direalisasikan dalam terang iman maka ia diproteksi dari segala
misunderstanding mitis dan gnostis.205
Dalam teologi Paulus, tema percaya-beriman mengungkapkan
dimensi soteriologis yang berpusat pada misteri keselamatan: derita,
kematian, salib dan kebangkitan Tuhan. Iman mendefenisikan ada
kristiani dan identitas personal. Iman adalah sebuah realitas dinamis

202
R. SCHNACKENBURG, (ed. Italia), Il Vangelo di Giovanni, I, Brescia 1973, 698.
203
R. SCHNACKENBURG, Il Vangelo di Giovanni, I, 707
204
Cf. I. DE LA POTTERIE, οϊδα et μνόσκω les deux modes de la connaissance dans le
quatrème évangile, in “Biblica” 40 (1959), 709-7225.
205
Cf. R. SCHNACKENBURG, Il Vangelo di Giovanni I, 707
217

yang bermula dengan menerima baptisan supaya dijustifikasi.


Justifikasi demi keselamatn merupakan sebuah proses yang harus
membawa dia yang percaya kepada sebuah asimilasi total dengan
Tuhan; proses ini berlangsung sepanjang hidup. Iman memiliki
dimensi universal tanpa kecuali: “Sebab kamu semua adalah anak-
anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus” (Gal 3:26). Iman itu
adalah keterbukaan total untuk menerima Injil yang diwartakan oleh
utusan Tuhan. Pewartaan Injil adalah perlu demi kese-lamatan, bukan
hanya pada level kerigmatis yang tertutup dalam dirinya sendiri tetapi
juga pada level misioner yang menjangkau semua bangsa. Subyek
iman adalah komunitas umat beriman. Komunitas umat beriman
adalah Gereja yang percaya dan mengekspresikan imannya ini dalam
berbagai aksi nyata, kesaksian hidup, perayaan liturgis: mazmur,
nyanyian, pengakuan iman.
Semua ini bergantung pada pendengaran: fides ex auditu (Rm
10:17); iman bergantung dari pewartaan rasul dan pewartaan
didasarkan pada Sabda Tuhan Yesus: iman bergantung dari pewartaan
dan pewartaan pada gilirannya direalisasikan karena Sabda. Iman
berelasi dengan mendengar. Term ibrani “shema” diterjemahkan ke
dalam bahasa Yunani dengan dua makna berbe-da yakni: ýpakoύein
(taat) dan άkoύein (mendengar). Ketaatan itu keharusan iman dan
membangun iman, itu bergantung dari mendengar dan sebaliknya
mendengar menghantar kepada ketaatan. Singkat kata iman menurut
Paulus dipusatkan dalam formulasi kristologis yang mensintesikan
misteri paska: penderitaan-wafat dan kebangkitan Tuhan. Jadi ktia
wartakan apa yang kita percaya (1 Kor 15:19).
“Percaya-tahu” dan “percaya-berserah diri” menjadi term
berpasangan yang selalu diulang oleh Paulus. Manusia, sanggup
mengenal dirinya sendiri jika percaya: Rm 6:8-9: “Jika kita mati
218

bersama dengan Kristus kita percaya bahwa kita akan hidup juga
dengan Dia karena kita tahu (èίdotes) bahwa Kristus sesudah bangkit
dari antara orang mati, tidak mati lagi”; 2 Kor 5:1: “Kami tahu
(òidamen).....”; 2 Kor 4:14: “Kami tahu (èίdotes) bahwa Ia yang telah
membang-kitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga”.
Jadi menurut Kitab Suci “percaya” itu sesungguhnya sudah
merupakan sebuah forma istimewa dari pengetahuan. Percaya itu
mengandung dalam dirinya ‘mengakui’ – ‘menerima’ – ‘melihat’ –
‘mendengar’. Di sini inteligensi, kehendak, pengenalan diri sendiri
dan keputusan bebas dilibatkan secara aktif.

6.8.2. Konsekuensi teologis


Refelski teologis, mesti menunjukkan bahwa dengan ‘percaya’,
persona berpartisipasi pada pengungkapan diri melalui aktivitas yang
bermakna. Dengan percaya manusia masuk dalam relasi tidak saja
dengan dirinya sendiri melainkan juga masuk dalam relasi dengan
kebenaran itu sendiri.
Dua tema penting secara implisit terkandung di dalam konsep
tentang iman sebagai sebuah pengetahuan: relasi dengan kebenaran
(berkaitan dengan obyektivitas pengetahuan tentang iman) dan
kebebasan (berelasi dengan pilihan personal). Kebenaran dan
kebebasan menentukan pengetahuan personal, sejauh kebenaran dan
kebebasan menuntun manusia untuk mencari identitasnya dan
merealisasikan eksistensi atau identitiasnya itu. Menjadi ‘persona’
berarti masuk ke dalam sebuah relasionalitas dengan yang riil/ dengan
‘yang lain’ di mana setiap orang dalam kebenaran merealisasikan
dirinya sendiri melalui ekspresi yang penuh dengan kebebasan.
6.8.2.1. Iman dan kebenaran
219

Patut diingat bahwa dalam relasi dengan ‘kebenaran’ muncul


dua ide yang saling bertentangan: ide Yunani dan Kristen.206 Baik
Yunani maupun Kristen kebenaran ada dalam ada itu sendiri atau ada
dalam manifestasi diri dari ada itu; tapi bagi orang Yunani, revelasi
dari ada tidak sama arti dengan pandangan kristen. Dari sini muncul
problem besar yang melahirkan perbedaan besar pula: makna
kebenaran akan berbeda cara menyatakan diri dari ada.
Dalam dunia Yunani kebenaran itu berakar dalam ada sehingga
kebenaran itu meminta supaya ada itu harus ada; makna kebenaran
menurut pandangan Yunani ialah pengalaman akan keilahian dan
kesempurnaan. Di hadapan konsep ini, manusia Yunani dibawa untuk
berkonfrontasi dengan kebenaran hanya di dalam kontemplasi.207
Visi Kristen memahami kebenaran sebagai manifestasi dan
revelasi Allah dalam sebuah event historis yang membawa dalam
dirinya karakter kepenuhan final. Paham biblis tentang ‘aletheia’ tak
menunjukkan hanya manifestasi tetapi lebih dari itu mengekspresikan
‘kesetiaan’ YHWH kepada janji-janjiNya. Jadi Allah yang
menyatakan diri, Dia itu juga yang menuntun sejarah dalam direksi
eskatologis menuju sebuah jumpa defenitif dengan Dia.208
Masuknya kebenaran dalam waktu-sejarah, menunjukkan
adanya relasi dengan gerakan yang khas temporal: masa lalu-masa
kini-masa akan datang. Dalam prospektif temporal itu, kita bisa
paham bahwa pernyataan diri Allah itu bersifat dialektik: “Deus
revelatus et Deus nasconditus”. Masa lalu, adalah aktus penciptaan
(ekspresi pertama revelasi) yang menunjukkan kebaikan Allah.
Karena itu ada kebenaran masa kini yang bagi umat beriman adalah

206
Cf. C. GEFFRÉ, La question de la vérité dans la théologie contemporaine, in AA.
VV., La théologie à l’épreuve de la vérité, Paris 1984, 281-291.
207
Cf. P. RESWEBER, Délacements récentes de la problématique de la vérité e leurs
incidences en thélogie in La théologie à l’épreuve de la vérité, 121-141.
208
Cf. H. U. v. BALTHASAR, Teologica I, La verità del mondo, Milano 1987, 42-43.
220

even inkarnasi. Kebenaran ini ada kaitan dengan masa depan yakni
realisasi sempurna Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus
Kristus.209

6.8.2.2. Iman dan kebebasan


Kebebasan diekspresikan sebagai forma dari keputusan
personal dari dia yang berhubungan dengan kebenaran revelasi.
Dalam horison ini, harus disadari bahwa ada beragam forma
pengetahuan dan salah satunya adalah discernimen. Discernimen
adalah sebuah forma pengetahuan melalui mana orang sampai pada
keputusan praktis, keputusan praktis yang bisa menghubungkan
pilihan personal dangan kebenaran ideal dari ada itu sendiri.
Ketika relasi ditempatkan antara kebenaran revelasi dan
kebebasan orang beriman, muncul suatu dimensi praktis dan etis dari
hidup kita. Sejak kebenaran diekpresikan dan direvelasikan oleh
Allah sebagai hasil dari putusan bebasNya yang tertinggi untuk
masuk ke dalam waktu dan sejarah dengan rencana kesela-matan
maka kebebasan Allah ini harus dan dapat diketahui hanya melalui
suatu kebebasan lain. Berhadapan dengan pernyataan diri Allah yang
bebas ini orang beriman diminta pula untuk mengambil keputusan
bebas: menerima atau menolak pernyataan diri Allah itu. Putusan
bebas untuk menerima revelasi itu mestinya buah dari sebuah ‘iman’
Jadi kebebasan, terkandung di dalam menerima untuk mengakui
ketergantungan pada kebenaran yang direvelasikan.

209
Cf. A. MILANO, Aletheia. La concentrazione cristologica della verità, in Filosofia e
teologia 4(1990), 13-45; G. COLOMBO, L ragione teologica, in L’evidenza e la fede, Milano
1988, 7-17.
221

KONKLUSI
1. Kesimpulan Tekstual (Berdasarkan Tulisan)

Teologi fundamental dipanggil untuk mempelajari event

revelasi dan menunjukkan kredibilitasnya pada dunia dewasa ini.

Teologi fundamental harus menemukan alasan-alasan tepat untuk

membuat lebih intelligible event revelasi: teologi fundamental patut

mengenal seluk beluk siarah hidup manusia menuju revelasi dan

teologi fundamental harus menjadi pembawa makna hakiki revelasi

kepada umat manusia pada zamannya.

Tugas utama teologi fundamental ialah membuat bermakna

aktus beriman. Teologi fundamental mesti menyampaikan alasan

sedemikian rupa sehingga Injil bisa dipercaya dan dengan percaya


222

keselamatan bisa didapatkan. Teologi fundamental menyampaikan

argumen-argumen brilian seputar makna eksistensial manusia. Dalam

aktus ketaatan kepada Allah, teologi fundamental mesti menjelaskan

kebenaran Allah yang diekspresikan dalam sebuah cinta yang tahu

menerima kematian di salib.

Tugas kedua teologi fundamental ialah menjelaskan kekhasan

revelasi kristiani dan keabsahan keselamatan dalam Yesus Kristus.

Kristosentrisme sejati merupakan pendahuluan kepada teosentrisme.

Unisitas Kristus membawa dalam dirinya formal riil universalitas.

Tugas ketiga teologi fundamental ialah mengevaluasi secara

kritis sikap indiferent terhadap hidup religius.

2. Kesimpulan Relasional (Wahyu dan Iman)

Wahyu dan iman merupakan kenyataan korelatif, maka

keempat segi yang sama terdapat juga pada iman kepercayaan, yang

dapat diuraikan sebagai berikut :

Sebagaimana wahyu, yaitu :                                 begitulah pula iman, yakni :


1.            peristiwa sejarah                                                1. iman historis
2.            tindakan Allah yang transenden                        2.  partisipasi dalam misteri Allah
3.            perintah Allah dalam teladan Kristus                3. mengikuti teladan Yesus Kristus
4.            ajaran suci                                                          4. menerima ajaran sebagai benar

Anda mungkin juga menyukai