KOMPLEKSITAS MELAHIRKAN
TEOLOGI FUNDAMENTAL
(Pertemuan 1, 2, 3)
Pengantar Ilustratif
Diceritakan dalam Kitab Bilangan bahwa sebelum
meninggalkan padang gurun Yahweh meminta Musa untuk
melakukan pengukupan atas bangsa Israel. Setelah itu Musa
mengelompokkan mereka menurut suku lalu menuntun mereka
menuju Kanaan.
Ziarah yang harus dijalani oleh Israel sesungguhnya tak pernah
luput dari bahaya. Israel sering menentang Musa. Ketidakpuasan bani
Israel terhadap Musa makin berkembang seiring bertambahnya waktu
ziarah. Dosa dan tobat terjadi silih berganti berbarengan dengan
kemarahan dan pengampunan Yahweh. Kekurangan air di Meriba
melahirkan konflik besar yang menyebabkan Musa tak bisa masuk ke
tanah terjanji (Bil 20:12). Musa hanya merindukan dan menatap
Kanaan dari kejauhan. Kanaan adalah sebuah horison dan kerinduan
bagi Musa.
Cerita berlanjut dalam Ulangan. Sebelum masuk ke tanah
terjanji, Israel harus melakukan tiga hal yaitu: mengevaluasi periode
padang gurun dan beragam cobaan; merindukan tanah terjanji dan
memiliki kenangan akan masa silam.
Ini adalah sebuah ilustrasi dalam proses melahirkan teologi
fundamental. Kita sedang berusaha keluar dari padang gurun dan
melakukan ziarah menuju tanah terjanji. Namun tapak-tapak
perjalanan ini penuh dengan saat kritis dan kesulitan serta bahaya.
Kesulitan pertama usaha untuk melupakan periode padang gurun dan
berlari menuju tanah terjanji tapi tanpa suatu persiapan adequat.
2
A. Masalah Nama
Pemikiran tentang Teologi Fundamental nampak amat ambigue
dengan berbagai makna konotasi dan denotasi. Apakah Teologi
Fundamental merupakan suatu bentuk apologi iman kristiani? Apakah
Teologi Fundamental merupakan sebuah filsafat agama atau sebuah
teologi filosofis yang independent dari iman dan teologi sistematik?
Apakah Teologi Fundamental sungguh merupakan suatu disiplin
teologis yang berbeda dari setiap sistem filsafat rational tentang
agama? Pertanyaan yang beraneka macam ini menunjukkan
perbedaan visi tentang Teologi Fundamental dan perbedaan ide ini
melahirkan keragaman nama yang dipakai untuk menyebut Teologi
Fundamental sebelum defenitif bernama Teologi Fundamental.
Nama-nama yang dikenakan kepada Teologi Fundamental itu
adalah apologetika, teologi fondasional, teologi fundamental formal,
basis pemikiran tentang iman, pengantar sebelum memasuki dogma,
teologi yang berciri filosofis dan filsafat yang berciri teologis.
Beragam nama ini menunjukkan usaha serius untuk mengenal
dan mengetahui isi Teologi Fundamental serta mendefenisikan
Teologi Fundamental.
Teologi Fundamental merupakan usaha keras Gereja Katolik
Roma dalam rangka menjelaskan dan menjadikan credible iman
kristiani (abad XIX). Pergeseran dari apologi kepada Teologi
Fundamental menunjukkan adanya suatu tendensi menuju pluralitas
dan diversitas teologi. Namun pendapat ini sebenarnya masih
diragukan kebenarannya karena Teologi Fundamental sebenarnya
sudah muncul sejak abad XVII/ XVIII. Usaha gigih bagi lahirnya
struktur dan perkembangan Teologi Fundamental datang bukan dari
Gereja Katolik Roma tetapi dari para penulis Protestan. Pergeseran
dari teologi apologetik ke Teologi Fundamental nampaknya tidak
4
1
T. TSHIBANGU, Théologie positive et théologie spéculative, Louvain 1965, 140-301.
2
C. T. ONIONS (ed), Oxford Dictionary of English Etymology, New York 1966, 699.
5
12:11; 21:14; Kis. 22:1; 24:10; 25:8, 16; 26:2, 24; 1Kor. 9:3; 2Kor.
12:19). Pemahaman yang jelas akan apologetika sebagai sebuah
pembelaan rasional terhadap iman Kristen ada di Filipi 1:7, 16; dan
khususnya 1 Petrus 3:15, sekalipun tidak ada teori khusus mengenai
apologetika yang terperinci dalam Perjanjian Baru.
Sebuah apologi dapat disampaikan melalui sebuah dokumen
tertulis, pidato, bahkan film. Para apologis mengembangkan
pembelaan-pembelaan mereka akan iman Kristen terhadap isu-isu
yang berkaitan dengan sains, sejarah, filsafat, etika, agama, budaya,
atau teologi tertentu. Singkatnya, apologia mengandung makna:
1. PEMBUKTIAN (proof). Hal ini melibatkan penyusunan dari
argumen-argumen filosofis juga ilmiah serta bukti-bukti sejarah
yang mendukung iman Kristen. Tujuan utamanya adalah untuk
membangun sebuah argumen yang positif bagi Kekristenan sebagai
sebuah sistem kepercayaan yang dapat diterima. Secara filosofis,
hal ini berarti menarik implikasi-implikasi logis dari wawasan dunia
Kristen supaya orang lain dapat memahami secara jelas dan
membandingkannya dengan wawasan-wawasan dunia alternatif.
Namun, pertanyaan berkenaan dengan kriteria mana yang tepat
untuk membuktikan kebenaran iman Kristen masih menjadi
perdebatan antara para penganut sistem-sistem apologetika Kristen
yang berbeda-beda.
2. PEMBELAAN (defense). Fungsi kedua ini paling dekat
dengan Perjanjian Baru dan kekristenan mula-mula yang
memahami apologia sebagai pembelaan terhadap iman Kristen dari
berbagai serangan dan kritikan yang diluncurkan oleh sistem
kepercayaan yang berbeda lainnya. Hal ini melibatkan (a)
klarifikasi terhadap posisi Kristen yang seringkali disalahpahami
atau keliru disajikan; (b) menjawab pertanyaan atau kritikan dari
14
9
K. FEIEREIS, Die Umprägung der natürlichen Theologie in Religionsphilosophie,
Leipzig 1965, 205-212.
10
P. EICHER, Offenbarung. Prinzip neuzeitlicher Theologie, Munich 1977, 98-150.
19
umat manusia; ketiga, ide seperti itu membuat tidak intelligible sama
sekali mukjizat kebangkitan ke dalam kemuliaan. Dikotomi antara
utusan ilahi dan Putera Bapa adalah artifisial; itu bertentangan dengan
kesaksian Yesus tentang Dirinya sendiri dan kerigma yang berkaitan
dengan diriNya.
4). Mengabaikan kondisi-kondisi manusia. Apologetik
tradisional kurang memperhatikan kondisi-kondisi yang mungkin
bagi penerimaan revelasi dan tanda-tanda oleh manusia. Karena
tuntutan obyektivitas ilmiah para apologetik mengabaikan aspek
kredibilitas. Jika obyek apologetika bukan sebuah kredibilitas abstrak
tapi kredibilitas humana dari revelasi maka apologetika tidak bisa
membatasi diri untuk mempelajari hanya in-se dari revelasi dan
tanda-tanda dari revelasi tersebut tapi “apologetika harus
menyibukkan diri dengan perhatian yang sama dalam mempelajari
kondisi-kondisi yang menentukan penerimaan yang efektif ex parte
15
subjecti.” Dkl, ada sebuah studi obyektif tentang subyektivitas
orang beriman. Jika apologetika mengabaikan subyek, “tidak lama
lagi ia terjerumus ke dalam sebuah ekstrinsecisme paling kaku.” Di
pihak lain jika apologetika meremehkan facta divina dan ‘ingin
menutup diri dalam subyek” maka masalah itu tidak bisa diselesaikan
dalam sebuah bahasa tanpa konsistensi.16 Apologetika subyektif dan
obyektif adalah dua apsek dari satu apologetik unik dan integral.
“Keputusan tentang kredibilitas’, yang didasarkan di atas
tanda-tanda, menghilangkan komponen internal dan sumber pokok
revelasi yakni Yesus Kristus. Yesus Kristus pantas untuk
direfleksikan. Apologetika itu berbicara tentang Yesus Kristus tetapi
sebenarnya apologetika itu jauh dari Yesus Kristus. Sebenarnya yang
15
N. DUNAS, “Les problèmes et le statut de l’apologétique” dalam Revue des sciences
philosophique et théologiques 43 (1959), 658.
16
A. DE BOVIS, Recherches de science religieuse dalam Bulletin d’apologétique 43
(1955), 624.
26
1.2.4. Konsensus
Semua problem di atas sebenarnya lebih merupakan sebuah
otokritik yang disampaikan oleh mereka yang memiliki tugas untuk
mengajarkan apologetika. Di antara para pengajar terdapat
kesepakatan pada level negatif dan posetif17 terhadap beberapa point
berbeda yakni:
1.2.4.1. Kesepakatan pada level negatif:
17
R. LATOURELLE, Apologétique et fondamentale, dalam Salesianum 27 (1965), 257-
261.
27
21
V. BOUBLIK, Orientamenti attuali della teologia fondamentale, dalam Correnti teolo-
giche postconcialiari, Roma 1974, 145
22
H. BOUILLARD, Logique de la foi, paris 1964, 37.
23
ID, L’expérience humaine et le point de départ de la théologie fundamentale, dalam
Concilium 6 (1965), 83-92.
31
25
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ερμηνευτική. Kata ini diambil dari
nama dewa Hermes. Dewa Hermes di dalam mitologi Yunani adalah dewa yang bertugas
mewartakan berita dari para dewa kepada manusia.
Hermeneutika Alkitab adalah suatu usaha untuk menjelaskan, menginterpretasi, dan
menerjemahkan teks-teks Alkitab. Alkitab perlu dijelaskan supaya isinya dapat dipahami oleh
umat. Melalui proses tersebut, pembaca dapat mengerti berita yang disampaikan oleh
Alkitab. Unsur penafsiran yang paling kuat adalah bahasa karena selalu berhubungan dengan
komunikasi.
Hermeneutika dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga seni. Sifat dari
hermeneutika yang pertama; ilmiah, masuk akal, dapat diuji dan dipertahankan. Selain itu dari
sudut 'seni' juga indah, harmonis, bahkan sulit didekati dari sisi ilmiah. Dalam bahasa Inggris
lazim dipakai istilah exegesis yang diadobsi dari kata Yunani, εξήγηση. Arti harafiahnya adalah
"membawa keluar", yaitu menarik sebuah pelajaran atau makna dari naskah tertentu, dalam hal ini
adalah Alkitab.[4] Berdasarkan tingkat kesulitannya, dalam komunikasi lisan bergantung dua
variabel, yaitu: a) Keterbukaan komunikasi dari seorang pembicara, pengarang, atau penyunting
dari naskah Alkitab terhadap pembaca dan pendegar Alkitab; b) Bentuk naskah dilihat dari
ekspresi tulisannya.
Ada beberapa metode kritik yang dipakai sebagai alat bedah dalam hermeneutika
Alkitab:
Kritik teks: Kritik Teks adalah upaya menelusuri sususan naskah Alkitab melalui membaca,
mengamati bahasa aslinya, kemungkinan-kemungkinan perubahan salinan, membandingkan
dengan bagian-bagian ayat dalam Alkitab sendiri agar memperoleh kejelasan tentang teks itu
sendiri.Bahasa-bahasa yang digunakan naskah-naskah Alkitab mulai dari penulis asli hingga di
tangan pembaca saat ini
1. Perjanjian Lama memakai bahasa Ibrani dan Aram,
2. Perjanjian Baru memakai bahasa Yunani
3. Salinan Septuaginta memakai bahasa Yunani
4. Vulgata memakai bahasa latin
Bahasa lain yang dipakai adalah Suriah, Koptik dan bahasa-bahasa setempat pada
zaman modern ini. Di mulai dari Zaman Reformasi oleh Luther ke bahasa Jerman, Calvin ke
bahasa Prancis, dan seterusnya ke negara-negara lain.Fungsi Kritik teks ini adalah untuk
mencari perbedaan-perbedaan makna dalam ayat-ayat, sebab penerjemah juga menyumbangkan
perubahan teologis dan doktrinal. Mereka melakukannya agar lebih bisa dibaca, maka ada
kemungkinan reduksi dan ekspansi teks, dengan hal ini seseorang biasanya akan mencari keaslian
makna pada teks-teks asli yang lebih sulit.Dari kritik teks ini diharapkan agar penafsir lebih teliti
dan tidak terjebak pada tafsir yang terlalu bebas pada zamannya.
Kritik sejarah: Kritik Sejarah adalah salah satu metode menafsir Alkitab dengan
melihat sejarah dari teks, baik dari teks maupun dalam teks.Sejarah dalam teks berarti mencari
petunjuk-petunjuk dengan sejarah yang teks itu sendiri tuturkan, baik tokoh-tokoh, peristiwa-
peristiwa, keadaan sosial ataupun gagasan-gagasan. Sedangkan "Sejarah dari teks" menunjuk
pada sesuatu yang tidak ada sangkutpautnya dengan apa yang teks sendiri kisahkan atau
gambarkan, yaitu "riwayat", atau sejarah teks itu sendiri: bagaimana teks itu muncul, siapa
penulisnya, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana, mengapa, di mana dan sebagainya.
Fungsinya kritik sejarah ini adalah agar penafsir mampu mencari makna dan
manariknya keluar sehingga relevan untuk zamannya, sejarah yang berbeda dengan
Alkitab. Untuk melakukan kritik "sejarah dari teks", penafsir dapat menggunakan sumber
33
26
AD. TANQUEREY, A Manual of Dogmatic Theology, 6-9. Nama dan karya teolog
yang disebutkan dalam bagian metodologi apologetik ini bisa dicari dan ditemukan di dalam
Dizionario dei Teologi yang diedit oleh Luciano Pacomio dan Giuseppe Occhipinti. Kamus ini
memuat 2000 nama teolog Katolik, Ortodoks dan Protestan beserta tulisan dan isi ringkasan
tulisan mereka.
35
34
B. Mondin, I Teologi della Morte di Dio, Borla, Torino 1972 (edisi 2) .
35
B. Mondin., Introduzione, hlm. 88
36
Ibid., hlm. 88-89
42
BAB II
TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI “TEOLOGI”
(Pertemuan 4)
event itu sendiri. Jika ini terjadi maka pencarian itu akan kehilangan
konotasi kepada revelasi ilahi yang ada di balik sebuah event revelasi.
Teolog Fundamental, supaya bisa menjadi seorang ‘ahli’ revelasi,
harus sanggup masuk ke dalam logika rivelatif dan sanggup masuk ke
dalamm hidup iman komunitas.
Menghubungkan diri dengan revelasi kristiani, bukan berarti
membataskan ruang gerak spekulasi dan pencarian kepada suatu
lingkup sederhana di mana ‘mungkin’ Allah mengekspresikan diri
dalam sejarah; atau juga mengabstrakkan spekulasi di dalam suatu
lingkungan religius generik untuk memverifikasi suatu pandangan
tentang transendensi. Teologi Fundamental tahu bahwa ia memiliki
misi mencari makna tepatnya event yang direvelasikan dan
mentransmisikannya kepada komunitas beriman supaya mereka
percaya dan menjadi selamat.
Mempertahankan karakter teologis dari Fundamental,
equivalen dengan menegaskan relasi antara pencarian dan obyek
pencarian. Pencarian ini tak bisa diverifikasi dan diulang secara
komplit. Ini tak sama dengan ilmu-ilmu lain yang secara komplit bisa
diverifikasi dan direpetisi. Sebaliknya, isi dari teologi diberikan
‘sekali saja untuk semua’ dalam sejarah umat manusia. Pencarian
ilmiah bisa saja terjadi pada event historis yang dipahami sebagai
event revelasi Allah. Dalam horison ini, pencarian ilmiah bisa
mengevaluasi berbagai moment dan element berbeda yang
membentuk event historis tsb: penelitian terhadap soliditas historis
melalui ilmu historis dan arkeologis berbeda, mengevaluasi makna
melalui proses hermeneutik yang memungkinkan pemahaman atas
makna real teks, konteks dan intensi penulis, membuktikan
kredibilitas kesaksian dan kebenaran serta kohenrensi dari kesaksian,
konsolidasi fakta-fakta dgn kesinam-bungan tradisi yang tidak hanya
48
44
Informasi lengkap tentang metode teologi bisa ditemukan dalam tulisan dari W.
KASPER, Die Methoden der Dogmatik, Munchen 1967; J. BEUMER, Die theologische Methode,
Freiburg 1977; B. LONERGAN, Method in Theology, London 1973.
45
R. LATOURELLE, Apologétique et fondamentale. Problème de nature et methode, in
Salesianum 28 (1965), 256-273 ; K. LEHMANN, Apologetik und Fundamentaltheologie, in
Communio 7 (1978), 289-294; D. TRACY, Plurality and Ambiguity, London 1987, 28-46 ; R.
FISICHELLA, Metodo in teologia fundamentale, in RT 1 (1990), 75-90.
50
47
E. SCHILLEBEECKX, Intelligenza della fede, Roma 1972, 117-143.
55
III
THE POINT OF DEPARTURE OF
FUNDAMENTAL THEOLOGY
(EDWIN DINIZ)
(Pertemuan 5, 6)
has been entrusted by Christ to the Church for our instruction and
salvation. The mission of the Church is to preserve, to hand over
faithfully and to defend this «depositum» against all forms of
distortion, rather than to incarnate this «depositum» according to the
needs of times.58
Since the field of this theological research has been left open
by Vatican II, many attempts have been made to identify this subject
of the «fundamental theology» and to propose new methods to be
followed.59 One can take into consideration the two main indications
given by the Vatican II for the future theology:
- God speaks to men as to friends in His overflowing love and
invites them to have communion with Him. (Dei Verbum, 2)
- Accordingly the Church has the obligation to study the signs
of time and to interpret them in the light of the Gospel (Gaudium et
Spes 4).
In this context of the affirmations of the Council one can note
clearly the importance of the theory of communication and of the
process of hermeneutics in all the efforts of research in the
fundamental theology. The new horizon of hermeneutics in the field
of theology saw many attempts with the aim of reviving the
fundamental theology, particularly under the influence of Hans-Georg
Gadamer.60
58
Regarding the differences on this point between the «Dei Filius» of Vatican I and the
«Dei Verbum» of Vatican II, cfr. H. V e r w e y e n , Gottes letztes Wort, Duesseldorf, 1991, pg.
358-367.
59
For detailed information on the mater, cfr. C. R u g g ie r i (ed.), Enciclopedia di
teologia fondamentale, vol. I, pg. XV-XXXVI. See also S. Pi£ I N in o t , op. cit., pg. 407-412.
60
H a n s - G e o r g G a d a m e r , Wahrheit und Methode, Tuebingen, 1960. Regarding
the hermeneutical aspects, cfr. also E u g e n B i s e r , Glaubensverstaendnis, Freiburg, 1975; D a
v id T r a c y , Blessed Rage for Order. The New Pluralism in Theology, New York, 1975; I d ,
The Analogical Imagination. Christian Theology and the Culture o f Pluralism, London, 1981; I
d, Plurality and Am biguity. H erm eneutics, Religion, Hope, San Francisco, 1987; F.S. F io r e n z
a , Foundational Theology. Jesus and the Church, New York, 1984.
60
3.2. Identity
Attempts can be made to limit the boundaries of the
fundamental theology in order to be able to identify it and proceed in
its progressive analysis.69 The Sacred Congregation for Catholic
Education published a document in 1976 on the theological formation
of the future priests and gave important indications for the study of
fundamental theology.70 According to this document of the
Congregation for Catholic Education, the fundamental theology is the
basis of rational process in the study of all the theological treatises
and its object of study are the fact of the Christian revelation and the
transmis sion of the same in the Church.71 If one examines closely this
document of the Sacred Congregation, one can see, that it as signs
many fields of work to the fundamental theology72 with various
done in this field of fundamental theology, in the first part of his book.
Regarding the identity of the fundamental theology, its structure and scope, its concept
and names, see, among others: M a x S e c k l e r , Fundamentaltheologie: Aufgaben. Aufbau.
Begriff und Namen, in «HFTh» Bd. 4, pg. 451-514.
69
In reference to the attempts, made to determine the identity of the fundamental
theology, cfr. among others: R e n é L a t o u r e l l e and G e r a r d O ’ C o l l in s (ed.), Problemi
e prospettive di teología fondamentale, Brescia, 1982. The theme in question has been dealt with
in the first part of the book.
70
La formazione teológica dei futuri sacerdoti, in «Enchridion Vaticanum» 5 (1974-
1976) N um bersl882-1882, Edizione Dehoniane, Bologna, 1979.
71
«Tutte le materie teologiche suppongono come base del proprio procedimento
razionale la teologia fondamentale, che ha per oggetto il fatto della rivelazione cristiana e la sua
trasmissione nella chiesa... « La formazione teologica dei futuri sacerdoti, in «Enchridion
Vaticanum», No. 1882
72
Among the various fields of work, which have to be touched by the fundamental
theology, the document makes reference to: theology of dialogue, theology of dialogue with the
historical religions (Hinduism, Buddhism, Islam), with different forms of modem atheism
(specially Marx, Freud and Nietzsche), with concrete forms of religious indifference in the
secularised society, with the needs of the faithful themselves. Cfr. No. 1884. This implies, from
the part of the fundamental theology, a vast field of information and knowledge, e. g. in relation
63
to history, language, other religions, forms of philosophy and knowledge, concrete conditions of
man. Cfr. No. 1885.
73
«Il suo (della teologia fondamentale) compito specifico resta quello di manifestare
razionalmente, con un discorso valido per i credenti e per i non credenti, come il mistero di
Cristo, presente nella chiesa, non solo illumina ma attua e completa l’esistenza umana,
superandola nel rapporto perfettivo e salvifico con Dio. « No. 1885.
64
74
Cfr. among others: M a x S e c k l e r , Fundamentaltheologie. Aufgaben und Aufbau,
Begriff und Namen, in «HFTh» IV, pg. 450-514. The author explains also the various
denominations of this subject: «Apologie», «Apologetik», «Fundamentaltheologie»,
«Fundamentale Theologie». S c h u e s s l e r F io r e n z a , Foundational Theology, pg. 247-321.
J e a n - P ie r r e T o r r e l , Nuove correnti di teologia fondamentale nel periodo postconciliare,
in «Problemi e prospettive di teologia fondamentale», ed. by R e n e L a t o u r e l l e - G e r a l d
O ’C o l - l in s , pg-23-35.
75
The word «hope» (έλπίδος) has the general meaning of Christian religion or Christian
faith and consequently it could be translated with «faith».
76
This justification or baptismal confession of faith gradually, in the course of the history
of theology, changed into a «profession», implying a defence of a collection of so many
propositions of faith. The «Dei verbum» of Vatican II gives a clear word on this, affirming in the
first chapter, that God, not only reveals truths, but above all reveals Himself. The believer not
only gives his assent with intellect and will, but he replies to this revelation with his self-
commitment in the salvific plan of God.
65
77
M a x S e c k l e r , op. cit., p g . 4 6 9
78
Ibid., , p g . 4 7 0
66
a-The Tradition
The center of the Christian community was always the
Eucharistic celebration and for that reason it is to be taken seriously
in the context of the study of fundamental theology; but this
celebration is to be situated in that atmosphere of tradition, as it is
presented in the New Testament.82
80
Ma x S e c k l e r , Der Begriff der Offenbarung, in « H F T h » B d . 2 , p g . 7 5 .
81
Ibid., 77
82
The concept of tradition has been well studied, among others, by H. I. P o t t m e y e r ,
Normen, Kriterien und Strukturen der Ueberlieferung, in «HFTh» Bd. 4, pg. 124-152. The author
indicates sufficient literature on the theme.
69
prophecies. The narration pays especial attention to the fact, that this
self-offering of Jesus Christ is clarified by means of relation to the
Old Testament prophecy of the Servant of God (Mt. 14, 24; Is, 53,
13) and this handing over of Jesus Christ, in the light of the Old
Testament, remains the central event of the «tradition».
In the narration of St. Paul the first two elements of
the«tradition» are interwoven and they refer to the concrete
situation;83 and all these three aspects are then intimately related to
the fourth one, i.e. «the tradition»: «For I have received from the Lord
what I also delivered to you, that the Lord Jesus on the night he was
betrayed took bread...» (I Cor. 11, 23). Paul has not in mind a simple
«handing over» of the original tradition, although he treats also of all
that had been handed over right from the beginning. The affirmation
of Paul: « I have received from the Lord...» alludes to Gal. 1, 11-12:
«..., that the gospel which was preached by me is not man’s gospel.
For I did not receive it from man, nor was I taught it, but it came
through a revelation of Jesus Christ.»
This «tradition» is to be understood in the background of an
experience of an event, which the Apostle calls the body of Christ,
present in the community, for which ‘this body’ has been handed
over. (I Cor. 11, 24). What St. Paul «hands over is not simply
tradition, but he hands over an experience of his own in the
community, where there is the «body of Christ», the presence of
Christ. In this sense St. Paul joins inseparably the christological and
ecclesial aspects in the concept of «tradition», just as it is in the
83
«... on the night when he was betrayed.» (I. Cor. 11,13) There i surely the aspect of
betrayal in this context, but in the context of Rom. 4,28, there is also the element of «being
handed over» of Jesus from the part of God. In this context of St. Paul the aspect of betrayal has a
particular character of actuality; it is not simply a reference to the past, it is rather an applicationof
the past event to the present situation.
71
84
From this point of view certain traditional positions are to be called in question. The
«demonstration Christiana» should not insist too much upon the question of «historical Jesus»,
without taking into consideration the specific character of the witness, given by the heralds of the
Word in the New Testament. Only after considering the different aspects of the «tradition», a «
justification» is to be made in front of the «historical reason». As regards «demonstratio
catholica» it is not sufficient to show simply the unbroken, formal continuity of a given church
community, with its structures, to trace back the original church, founded by Jesus Himself. The
authenticity and the authority of the Church are seen in its capacity to be transparent of the
«tradition» in any given situation of the Church. The authority should not be an obstacle on the
way of the transparency of the «tradition».
72
b. Final Revelation
Christianity or the Christian hope has its foundation in Jesus
Christ, who reveals himself to be the final or ultimate Word of God in
the history; God has revealed everything defi nitively in Him for the
salvation of mankind, according to the faith of the Christians, and the
fundamental theology has to justify this critically in front of the
historical and philosophical reason. But it would be imprudent from
the part of Christianity to affirm, that it is the only true religion,
excluding other religions from this right,85 because every great
religion claims to be, in fact, in its own way, the only true religion;
this attitude of possessing the truth can be extended to any ideology
or philosophy of life. Such a claim of possessing the unconditional
truth is unavoidable, at least implicitely, and consequently there is
always the real danger of living in an atmosphere of intolerance,
which can manifest itself in different forms in the society.
Since there is variety and multiplicity of position in rela tion to
the exclusive possession of truth, it is necessary to ha ve a point of
reference in this horizon of religious confessions and philosophies of
life. Such a point of reference is the explicit confession of an
historical event, caused by God Himself. Such a confession is found
only in Christianity and in Islam. Islam sees this event in the handing
over of a determined book, whereas Christianity finds this event in
the selfrevelation of God in a concrete man.
85
Cfr. in this respect, G u s t a v M e n s c h in g , Toleranz und Wahrheit in der Religion,
Heidelberg, 1955; H. W a l d e n f e l s , Das Christentum im Streit mit den Religionen um die
Wahrheit, in «HFTh», Bd. 2, pg. 241-265.
73
3.4. Conclusion
The point of departure in the study of fundamental theology is
of utmost importance, in order not to enter the labyrinth of opinions,
ideologies and philosophies. This point of departure is the historical
revelation of God in Jesus Christ, who is the Saviour of all men, ‘who
have access to the Father in the Holy Spirit and come to share in the
divine nature. Through this revelation, the invisible God out of the
abundance of His love speaks to men as friends and lives among
86
On the argument of relativism, c f r . among others: G . D ’C o s t a , Das Pluralismus-
Paradigma in der christlichen Sicht der Religionen, in «ThG» 30 (1987) 221-231; J. H ic k and P.
F. K n i t t e r (ed), The Myth o f Christian Uniqueness. Toward a Pluralistic Theology o f
Religions, New York, 1987; P. F. K n i t t e r , No Other Name? A Critical Survey o f Christian
Attitudes Toward the World Religions, London, 1985. These works show the way of thinking of
others and are useful for knowing the pluralism in the religious field too.
74
them, so that he may invite and take them into fellowship with
Himself.’ (Dei Verbum, 2) The revelation in Jesus Christ is to be
understood in the context of «tradition», because only in this context
there is the possibility of making the correct interpretation of the fact
of revelation. The fundamental theology has to bear constantly in
mind, that Jesus Christ is the definitive or final Word of God to
mankind; this definitiveness should lead the theology not to fall in
deism, fundamentalism or relativism but help it to remain open with
its identity, ready to enter into fruitful dialogue with all men of good
will, walking on the way of truth.
75
BAB IV
manusia untuk ada bagi yang lain dan menjembatani refleksi teoritis
teologi dan karya pastoral di lapangan kehidupan.
88
H. U. VON BALTHASAR, Teodrammatica III, L’uomo in Cristo, Milano 1983, 141-
242; ID, Teodrammatica IV, L’azione, Milano 1986, 303-392; ID, Teodrammatica V, L’ultimo
atto, Milano 1986, 211-316.
78
89
Teologi fundamental dipelajari sebagai disiplin introduktif kepada dogma dan bahkan
sebagai persiapan, refleksi dan pengembangan aktus iman, dalam konteks tuntutan akal budi dan
sebagai refleksi atas relasi antar iman, kultur-kultur dan agama-agama besar. Ini membantu kita
untuk berpikir tentang Fundamental karena menjadi dasar dan ‘pendahuluan’ bagi teologi atau
misteri Kristus.
79
kemudian dari Dei Verbum dan dari Optatam totius yang memang
berbeda judul tetapi berkaitan dengan disiplin kita.
Sebelum Vatikan II Teologi Skolastik mengidentikkan tout
court Teologi Fundamental dengan apologetika beserta metode
defensifnya. Tujuan pastoral yang digelar Yohanes XXIII dalam
konsili sungguh bertentangan dengan spirit teologi manualistik.
Kategori dialog Gereja-dunia, Gereja-ilmu pengetahuan mendapatkan
tempatnya dalam dokumen-dokumen resmi magisterium, hasil dari
suatu mentalitas baru yang semakin mempengaruhi bapa-bapa konisli.
Elemen-elemen ini memperlihatkan pada kita bahwa Vatikan
II biarpun telah dengan segala daya uapaya menempatkan kembali
sentralitas revelasi bagi teologi, tapi ia tak dapat menunjukkan secara
eksplisit maksud-maksudnya kepada Teologi Fundamental tanpa
salah pengertian. Kelalaian justru terdapat di dalam dilema itu, yang
boleh jadi menyatukan berbagai jenis teologi yakni memahami
pentingnya tema-tema utama dari apologetika tapi tak bisa menunjuk
secara langsung tentang apologi itu sendiri.
Beberapa contoh kiranya bisa menggambarkan secara jelas
situasi ini. Dokumen tentang liturgi, Sacrosantum concilium 9 secara
ekplisit menegaskan: «Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan
Gereja karena sebelum manusia dapat menghampiri Liturgi, perlulah
mereka dipanggil kepada iman dan tobat.» Adalah jelas di sini bahwa
kesadaran akan iman dan tugas evangelisasi harus menjadi elemen-
elemen dasar di atasnya bisa dibangun suatu aksi otentik liturgis. Dan
SC 16 mengatakan «dosen-dosen disiplin ilmiah lain terutama dosen
teologi dogmatik, Kitab Suci, teologi spiritual dan pastoral harus
mengulas misteri Kristus dan sejarah keselamatan.»
Contoh lain diambil dari dekrit Optatam totius tentang formasi
bagi para imam. Imam harus dididik supaya tahu mewartakan secara
80
91
A. DULLES, Models of Revelation, Gill and Macmillan, New York 1983, 6-8.
82
suatu kepastian dalam mana manusia percaya akan intensi benar sbg
suatu kepastian dari pengetahuannya.”94
Selanjutnya kita bicara tentang post-modernita. Dunia antik
dikarakterkan oleh sebuah “otolimitasi yang meniadakan infinitas dan
kaotik”, civiltas medio-eval ditandai oleh prioritas dari elemen ilahi
sebagi normatif bagi ordo kosmik, modernitas ditandai oleh
imposibilitas untuk menentukan “tempat bagi eksistensi manusia.”
Kultur baru melalui manusia mencoba untuk mengkonstrusikan eksis-
tensi sebagai karyanya...yang tak membutuhkan fondamen lain di luar
dirinya dan tidak mentolerir adanya norma lain yang mengatasi
dirinya sendiri.95
4.2.1.2. Keraguan terhadap validitas revelasi
*Philosophical agnosticism. Agnostisisme filosofis meragukan
kapasitas manusia untuk mengenal esensi dari suatu realitas. Allah
memang ada tapi tak bisa habis dipahami akalbudi. Akibatnya bahwa
semua statemen tentang Allah dan karyaNya sesunggunya hampa
nilai kognitif. Revelasi itu sendiri dipandang sebagai sebuah mitos
atau metafor yang tak bisa dikatakan secara literer.
*Linguistic analysis. Analisis linguistik menegaskan lagi apa
yang baru saja dikatakan oleh agnostisisme filosofis. Analisis
lingusitik memfokuskan perhatiannya pada karakter paradoksal dan
simbolik dari Sabda Allah. Para filsuf analitik mempertanyakan
apakah bahasa tentang yang ilahi memiliki isi kognitif defenitif
seperti yang dikatakan oleh doktrin-doktrin klasik tentang revelasi.
*Modern epistemology. Penyelidikan terhadap genesis of
knowledge cenderung meremehkan distinksi yang tampak jelas antara
apa yang direvelasikan dan pengetahuan yang dicapai. Ide bahwa
intelecctus humanum bisa secara pasif menerima informasi karena
94
M. HEIDEGGER, L’epoca dell’immagine del mondo, 97.
95
R. GUARDINI, La fine dell’epoca moderna, Brescia 1950, 48-49.
85
96
J. ALFARO, Fides in terminologia biblica, in Gregoriana 42 (1961), 463-505; ID,
Fede, in Sacramentum Mundi III, 729-750; J. RATZINGER, Theologische Principienlehre,
München 1982, 15-87.
87
97
R. FISICHELLA, Credibilità, in DTF, 220-230; ID, Teologia fondamentale: destina-
tario, in DTF, 1258-1263; R. LATOURELLE, Ricerca e dono di senso, in DTF, 1127-1131; K.
RAHNER, Il problema umano del senso di fronte al mistero assoluto di Dio, in Nuovi Saggi VII
(1981), 133-154; ID, La questione del senso come questione di Dio, in Nuovi Saggi IX (1983),
272-287; ID, Gesù Cristo, senso della vita, in Nuovi Saggi IX )1983), 288-303; G. RUGGIERI,
Sapienza e storia, Milano 1971, 14-40; ID, la compagnia della feda, Torino 1980, 31-59.
98
A. CHARRON, Indifferenza religiosa, in DTF, 593-603.
89
99
This was already perceived by J. Henry Newman: “I do but say that it is
antecedent probability that gives meaning to those arguments from facts which are commonly
called theEvidences of Revelation; that, whereas mere probability proves nothing, mere facts
persuade noone; that probability is to fact, as the soul to the body; that mere presumptions may
have noforce, but that mere facts have no warmth. A mutilated and defective evidence suffices for
persua-sion where the heart is alive; but dead evidences, however perfect, can but create a dead
faith”(Newman 1909, 200)
94
4.4.3.1. General religious sub-identity
At this stage it is the recognition of the sacred that brings
people to a conviction that some kind of transcendence exists. It is a
general resonance between the human and divine, between revelation
and its receivers. The world-perspectiveof people who have this general
religious sub-identity is changed and the relationbetween the human and
divine becomes its framework. We may say, as Ricoeurperhaps would
do, that at this stage of religious identity, people are able to reacha second
naivety (Noble 2010, 81; Štěch 2011, 52), but they are not able to
takea step forward towards other stages of religious identity, which
for various rea-sons are neglected in their religious identity. They are
not yet able to name thedivine in their lives. Often they just say: “There is
something” (Halík 2004, 88).
4.4.3.3. Singular religious sub-identity
I do not know why or how, but I believe that God exists.
Christianity is myoption since I believe that God is the Triune one,
and has been revealed mostfully in Jesus Christ. How best to respond
to such an experience of revelation? What is the most appropriate
way to live my Christianity? May be similar questions lead
people to search for a denomination. A good church back-
ground enables believers to feel at home in their Christianity. The
recognition of God, who has a name, leads some religious people to a
confessional community, where they come to associate themselves
more or less with its identity.This sub-identity is a characteristic of
concrete churches, although it differs from church to church. An
experience of the divine is usually very strong and so it calls to be
shared with other people.
It is beyond doubt that true Christianity cannot live only in its
specific personal dimension. It always has its collec-tive dimension.
Revelation itself has a strong social character in Christianity (Štěch
2011, 207) and because of this Christian faith, and consequently of
the whole Christianity, can not only be personal but is also a
101
kingdom, which is already present (Luke 17:21) but not yet fully
realised (John 18:36; Mark 1:15; Luke 10:9).
I would like to make one last comparison in order to better
describe what Imean by the plural and yet secure concept of a three-
fold religious identity. Again Cardinal Avery Dulles, discussing
the importance of fundamental theology for conversion, reminds us
that “(…) conversion is a dynamic process demanded at every stage
of the Christian life, and that fundamental theology is therefore of
existential import to all believers” (Dulles 1995, 54-54). With Dulles,
I too would stress that conversion is a modus operandi in the search
for Christian religious identity, which is not set up once and forever
(e.g. byprimary conversion or baptism), but it is rather a life-long
process of practisingthe inner dynamics of Christian religious life in
the space between the humanand divine.
Him.To make this act of faith, the grace of God and the interior help
of the HolySpirit must precede and assist, moving the heart and
turning it to God, openingthe eyes of the mind and giving ‘joy and
ease to everyone in assenting to thetruth and believing it.’ To bring
about an ever deeper understanding of revela-tion the same Holy
Spirit constantly brings faith to completion by His gifts.”(DV 5)But
obedient desire describes faith mostly from below. To describe it
from above, we may use another Rahnerian term supernatural
existential (übernatür-liches Existential), which speaks about
divinely-given dispositions of humanbeings that enable them to
accept divine revelation. Fundamental theology should always
reflect on both characteristics of faith, since it is truly something t h a t
happens between the human and the divine (Knauer
2 0 0 0 , 7 9- 9 0 ) . I am convinced that every presentation of faith
in the public sphere shouldbe done from this perspective of
an intimate relationship between God and mankind.
101
I am aware that this is the Catholic approach towards the Church. The Son is the sacramentof
the Father and the Church is a sacrament of the Son (De Lubac 1958, 29). The Second Vati-can
Council was very much in favour of this concept as well (Cf. LG 1, LG 9, 48; SC 26; AG 5; GS
42). The sacramentality of the Church is certainly a disputable question, but I believemany
denominations may agree that the Church, which is not only a matter of the people in it,but is also
a matter of their God. The Church may be also sacred when it embodies and treasuresthe meeting
of the human with divine
109
102
E.g. the “dark night” of st. John of the Cross
103
Leaving the church does not have to be a bad thing. Actually it is a sign of a healthy
com-munity when members have the right and freedom to enter and leave. The freedom of
conversionis one of the freedoms all churches have to maintain and ensure for their believers.
110
one’s own religious-ness. The same religious dynamic is also valid for each
denominational expressionof Christianity and will vary accordingly.
This whole perspective that we have followed until now would not be
complete without its last dimension, which is time. The dynamics of revelation,
faith and the church (in its personal as well as its communal dimension) happens
in history. History is taken by Christians not as a Godless flow of time, but rather
as an existential framework of all being, which is full of God, as the
history of salvation (Heils-geschichte ). From this perspective, we may
find the religious dynamics of Christian life in each moment of history
going from creation to its eschatological fulfilment. I would like to
show this by following five (paradigmatic) examples:
1. At the time of creation, it was the very creation of the creator
that may becalled revelation. Faith was the relationship of the first
people as individualsto their creator (the faith of Adam and Eve). The
community of faith wasthe partnership of Adam and Eve.
2. At thetime of the chosen nation, God revealed himself in his
mighty wordsand deeds. God revealed his will to his chosen nation
through the fore-fathers of Israel. The Israelites accepted this message
and tried to under-stand it in faith because they were people who
wanted to walk the paths ofGod (Ps 25).
3. At the level of the new covenant time, it was Jesus himself
who was the reve-lation and at the same time the revealer. Faith was
that of individuals whomet Jesus in his life, and it was the community
of his disciples who repre-sented the religious community.
4. In contemporary time, it is the revelation of God in Jesus
Christ that is expe-rienced in the encounter of the individual with
Christianity. It is individualswho express belief in the Christian triune
God. And it is the Church that isthe concrete form of the believing
community.
111
8:29) or “You are the Christ, the Son of the living God.” (Matthew
16:16). Various theologians agree that Peter’s answer is the first
Christological statement, but it is anticipatory since the light of Easter
had still to come and transpose the belief of the disciples into
Christological faith after the experience of his death and resurrection
(Dupuis 1994, 1). “And who do you say that I am now?” This may be
a question raised by revelation of there surrected one. This question
comes not only to surprised disciples on the wayto Emmaus, but to all
disciples of all the ages to come after the resurrection. The empty
grave in Jerusalem is the place where Fundamental Theology
meditates on the fascinating mystery of the incarnation and
resurrection of JesusChrist, the mystery of the meeting of the human
with the divine. The empty grave is a strong and central Christian
symbol. Prof.Tomáš Halík spoke of an interesting contrast between
the empty grave of Jesus and the mausoleum of Lenin: while the
second is a monument to death, fear anddestruction, the first by
contrast is a monument to life and renewed creation. Again, questions
of identity are implied by the reality of the empty grave in
Jerusalem. What do you choose? Who are you? Who do you
say that I am? But nowadays it is often stated that one can have no
firm identity at all; thereis just a flow. I believe that the concept of the
three-fold religious identity aswell as my observations on the inner
dynamics of Christian religious life presented in this article may help
us to swim better in the sea of this world.
Moreover, I am convinced that re-thinking fundamental
theology before the empty grave may lead us towards its
contemporary renewal, which is what Gerald O’Collins calls for in
his recent book Rethinking Fundamental Theology (O’Collins 2011,
113
the personal responsibility of man towards the world and for the
world – that means towards himself and for himself. And where
such responsibility is lacking as a meaningful basis of the relationship
of man towards his surroundings, his identity inevitably vanishes as
his unmistakable place in the world, which is given by this
relationship” (Havel 1989,349).
Fundamental theology, taking account of developments in
public theology, can attempt to show how people can regain the world.
Havel’s experience of the absolute horizon of humanity is called an
experience of the divine (at the levelof general religiousness), with
transcendence. In other words, it is a transcendental experience of
faith, which also shows courage towards the fullness of themeaning
of life. The fundamental theologian goes further and offers a
moreconcrete vision of the absolute horizon of our humanity. A
vision that we maynot only experience, but we may also discover a
personal relationship with it,because above all this vision is of a
person. This is something fundamental the-ology may offer not only to
Christians but to all people of the world who searchfor its mysterious
meaningfulness. If humanity is the measure of the truthfulnessof the world-
picture, I am convinced that fundamental theology has much tosay,
because it offers a Christian perspective on humanity, where through
Christ,with him and in him, everyone can discover the true nature and
meaning oftheir own existence. And those who do not are also
welcome to join a dialogueand common quest for a better humanity.
Is it not the time to think about public fundamental theology?
Literature
B.AILEY , E. I., 2001. Implicit Religion in Contemporary Society. Leuven,
Peeters.B
AUMAN, Z., 2007. Liquid Times: Living in the Age of Uncertainty. Cambridge:
PolityPress.
116
BAB V
TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI “FUNDAMENTAL”
(Pertemuan 10, 11, 12)
pemberian diri Allah dalam diri Yesus Kristus. Kristus adalah Sabda
epifanik Allah: Ia adalah revelasi.
Revelasi adalah komunikasi diri Allah kepada manusia telah
dimulai sejak zaman Perjanjian Lama, mencapai puncaknya dalam
Perjanjian Baru, direfleksi lagi oleh para bapa Gereja, para pemikir
dari dunia Skolastik dan Konsili.
Pada bagian ini kita akan berbicara tentang mengapa
Fundamental itu fundamental dalam seluruh teologi. Fundamental itu
fundamental karena relasi kritis dengan event revelasi. Revelasi
adalah basis dan centrum dari teologi. Teologi Fundamamental itu
fundamental karena bisa menyusun dan menguraikan sebuah teologi
tentang revelasi dari revelasi itu sendiri. Jadi teologi Fundamental itu
adalah teologi dan fundamental sekaligus.
teologi pada umumnya. Sejauh revelasi dan iman adalah dasar bagi
aktivitas berteologi maka epistemologi teologi disebut juga Teologi
Dasar – Teologi Fundamental.104
Revelatio et fides itu bersama-sama merupakan komunikasi
pribadi dan persatuan personal antara Allah dan manusia (DV 2-6).
Supaya dapat diimani, wahyu ilahi atau magnalia Dei harus
dikomunikasikan kepada manusia dan komunikasi itu terjadi dalam
event-event historis. Tata pelaksanaan wahyu ilahi itu disebut
ekonomi keselamatan.105
104
N. SYUKUR DISTER, Teologi Sistematik 1, Yogyakarta 2004, 35-36.
105
K. RAHNER, Concise Theological Dictionary, Freiburg/London 1965, 144.
106
Sembari menjelaskan tema trinitaris, Th. Aquinas dalam STh I, 33, 1 mendefenisikan
“fundamen” sbb: “Hoc nomen principium nihil aliud significat quam id a quo aliquid procedit;
omne enim a quo aliquid procedit, quocumque modo, dicimus esse principium”
120
107
H. U. Von BALTHASAR, Gloria.Un’ estetica teologica, I, Milan 1987, 397-491.
121
sebagai sesuatu yang datang dari luar dan menjumpai diri kita.
Posibilitas pengetahuan ditentukan oleh aktus kenotik yang dilakukan
oleh Allah dalam merevelasikan diri.
Kebaruan revelasi, dieksplisitkan kurang lebih dalam dua hal
ini: isi dan pemahaman. Sehubungan dengan isi, patut dicatat
terutama komunikasi Allah dengan manusia. Allah memilih Israel
sebagai suatu bangsa dengannya Ia berbicara. Komunikasi diri Allah
kepada manusia bermakna soteriologis artinya untuk menyelamatkan
manusia itu sendiri. Novitasnya ialah tak seorangpun sanggup
merealisasikan keselamatan dalam dirinya sendiri kecuali diberikan
oleh Allah. Pemahaman berkaitan dengan bahasa yang dipakai untuk
mengekpresikan iman dan merefleksikan iman. Bahasa yang
mengungkapkan iman mendahului setiap refleksi teologis sebab
bahasa adalah hal yang meletakkan dalam kenyataan refleksi itu
sendiri. Bahasa iman mengekspresikan hidup Yesus Kristus melalui
pewartaan. Yesus Kristua adalah kepenuhan dari janji dan ekspresi
defenitif revelasi Allah.
5.2. Revelasi
Dengan Sabda Allah menciptakan Langit dan Bumi serta segala
isinya (Kej 1:1-2:7). Langit dan bumi ini menjadi residensi untuk
semua makluk tercipta.
Untuk mengenal DiriNya sebagai Creator segala sesuatu, IA
mengutus FirmanNya: Sabda menjadi Manusia dan diam di antara
kita. Sabda itu yang memberitahukan siapa itu Allah kepada manusia
(Yoh 1:1-5.14.18).
Kekristenan tidak dibasiskan di atas moralisme atau filsafat
spekulatif melainkan kekristenan adalah a revealed faith. Revelasi
123
The ontological argument points to perfection, or more exactly, to the ide
a of perfection, which we find inescapable in our ways of thought. To use
our thinking about God as an example, how is it possible for us to talk about
the perfections of God without some idea of perfection as a point of reference?
Yet we are imperfect ourselves; we think imperfectly; we are surrounded by
a world of imperfections. Since, once again, we cannot get something from
nothing and since assuredly we have ideas of perfection which cannot be
accounted for in the immediacies of our surroundings, the conclusion suggests
itself that this idea of perfection must come directly from the perfect source,
namely, from God Himself. It would appear from this brief treatment that we
have at least four reasons for believing in God. (Some add the moral
argument, that is, the inescapable sense of "oughtness" common to all men,
Kant's categorical imperative. We believe that the moral argument, which
we have not here expanded, can find a natural place
in the anthropological argument). These tell us some very definite things about
God's nature: He is mighty enough to account for the universe itself; He is
intelligent enough to satisfy its design; He is
personal enough to account for man as person; and He is the ground of all our
understanding and perfection. If we add creativity and morality as necessary
to man as person, we may presume to have found as necessary a God who is
almighty, intelligent, personal, creative, moral, and perfect. We are not far
from the kingdom!
From this a priori approach it it interesting to note that we are talking
again about a reality at the source of things, showing attributes of truth,
reason, and morality. We are being pressed to the conclusion again, namely,
that in what is called natural theology there are strong reasons for knowing
that there is a God and knowing something of his attributes. But, "can a man by
searching find out God?" Only is this possible when God is pleased to
reveal himself and to answer finally and authoritatively man's deepest
questions. This is not natural revelation but special revelation. This is the Bible
record of God's mighty acts and his authoritative word about the revelatory
acts and about himself. This is the climax and fulfillment of God's word
to us in the Living Word, even Jesus Christ. Natural revelation gives us
direction and confidence in our search for God; God's special revelation gives us
final authority and assurance regarding his own nature and his will for man.
As Calvin suggests, in the Bible we have the "divine spectacles" which bring
the truths of natural theology into focus.109
109
The Knowledge of God: General adn Specail Revelation by Addison H. Leitch:
Hhttp://www.rediscoveringthebible.org/GenSpeRevelation.pdf
127
tidak dapat dimengerti dengan akal budi insani sering ditolak oleh
kaum modernis. Melawan modernisme ini, Konsili Vatikan I
menyatakan bahwa juga kebenaran iman yang tidak dapat dipahami
dengan cahaya kodrati akal budi manusia harus diterima oleh orang
beriman, sebab diwahyukan oleh Allah yang tidak dapat sesat atau
pun menyesatkan. Dalam hal ini, Konsili Vatikan I juga tidak
bertanya apakah wahyu itu sebenarnya, tetapi hanya menanyakan
hubungan antara wahyu dan akal budi. Konsili Vatikan I tidak
memandang wahyu secara menyeluruh, tetapi hanya memandangnya
dari sudut pengetahuan saja.
Berbeda dengan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I, Konsili
Vatikan II memandangnya Wahyu secara keseluruhan sembari
menegaskan makna dan hakekat Wahyu itu.
yakni “untuk mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama sekali
melampaui daya tangkap akalbudi insani”
Konsili suci mengakui bahwa “Allah, awal dan tujuan segalan sesuatu, dapat
diketahui dengan pasti dengan kodrati nalar manusia dari apa yang diciptakan”
(lih. Rom1:20). Tetapi Konsili mengajarkan juga bahwa berkat wahyu Allah
itulah “segala, yang dalam hal-hal ilahi sebetulnya tidak mustahil diketahui oleh
akalbudi manusia, dalam keadaan umat manusia sekarang dapat diketahui oleh
semua dengan mudah, dengan kepastian yang teguh dan tanpa tercampuri
kekeliruan mana pun juga”
Wahyu bukan sesuatu yang teoritis melainkan sesuatu yang
faktual yakni Allah menyatakan Diri kepada manusia dalam dan
melalui Yesus Kristus (bdk. Ef 1 : 9; bdk. Ef 2 : 18; 2 Ptr 1 : 4).
Wahyu itu adalah suatu fakta, karena ada komunikasi pribadi antara
Allah dan manusia, Allah memperkenalkan diri-Nya sendiri dan
rencana penyelamatan-Nya kepada manusia, Allah menganugerahkan
DiriNya kepada manusia.
Jawaban manusia kepada Allah yang berbicara kepadanya
adalah iman atau penyerahan diri secara personal dan total kepada
Allah. Dengan demikian, Konsili menekankan aspek relasi personal
antara Allah dan manusia.
kecil saja, maka Anda telah menipu diri dengan pikiran Anda
sendiri“.118 Dan teolog Barat lain, Isidorus dari Sevilla (wafat 636)
menulis bahwa „Allah dikenal secara benar hanya jika kita
menyangkal bahwa Allah dapat diketahui dengan sempurna“.119
Abad pertengahan Thomas Aquinas coba berusaha
memecahkan kebuntuan tentang mengetahui apa yang tidak dapat
diketahui melalui via negasi. Dalam kasus Allah, „kita tidak bisa tahu
apakah Allah itu kecuali apa yang bukan Allah dan karena itu kita
tidak memiliki sarana untuk membedah Allah kecuali bagaimana
Allah tidak/bukan“.120 Jadi pengetahuan kita tentang Allah selalu
menggunakan via „analogia“121 artinya bahasa tentang Allah bisa
mengungkapkan seperti apakah sesungguhnya Allah namun tidak
pernah secara tuntas mengungkapkan seperti apakah Allah itu.
Bahkan Thomas Aquinas mengatakan bahwa bahasa kita mengatakan
lebih banyak tentang yang bukan Allah daripada tentang seperti
apakah Allah itu.122 Menjelang akhir hidupnya, ketika Thomas
Aquinas sedang merayakan Misa, ia mendapat penampakan Kristus
dan sejak saat itu, ia tidak mau menulis lagi. Thomas Aquinas
membagikan pengalaman rohaninya dengan Sang Misteri sebagai
berikut: „Saya tidak bisa terus (menulis) lagi.... semua yang sudah
saya tulis terlihat seperti jerami belaka dibandingkan dengan apa yang
saya lihat dan apa yang diwahyukan kepada saya“.123
Mistikus besar Jerman, Meister Eckhart (1260-13290)
berbicara tentang pentingnya „mencutikan Allah demi kepentingan
118
AGUSTINUS, Sermo LII, bab VI, 16, PL 38, col. 360
119
Dikutip oleh JAROSLAV PELIKAN dalam bukunya The Christian Tradition: A History
of the Development of Doctrin, vol. 3, University of Chicago Press, Chicago 1971-1989, 20
120
T. AQUINO, Summa Theologiae, part I, q. 3, a. 3
121
T. AQUINO, Summa Theologiae, part I, q. 3, a. 10
122
D. BURREL. “Aquinas: Articulating Transcendence” dalam Excercises in Religious
Understanding, University of Notre Dame, Notre Dame 1974, 132-133
123
J. A. WEISHEIPL, Friar Thomas d’Aquino, Doubleday, New York 1974, 321-322; T. F.
O’MEARA, Thomas Aquinas: Theologian, University of Notre Dame Press, Notre Dame 1997,
31.
136
124
J. CAMPBELL – B. MOYERS, The Power of Myth, Doubleday, New York 1988, 49
125
D. L. EDWARDS, Christianity: The First Two Thousand Years, Orbis Books,
Maryknoll, New York 1997, 261
126
S. McMARTY, Partners in the Divine Dance of Our 3-Personal God, Illumination
Books, New York 1996, 20
127
E. BUSCH, Karl Barth: His Life from Letters and Autobiographical Texts, Fortress
Press, Philadelphia, 1976, 116
128
P. TILLICH, Dynamics of Faith, Harper Torchbooks, New York 1958, 61
129
M. BUBER, I and Thou, Charles Schribner’s Sons, New York 1958, 160
137
berlanjut akan Sabda. Melalui Kitab Suci kita mengenal Allah seperti
Allah kehendaki dalam membuat dirinya dikenal.
Dalam Putera. Pada akhirnya Allah berbicara dengan
perantaraan Putera-Nya. Dalam diri Yesus Kristus tidak saja semua
revelasi disatukan melainkan dalam diri Yesus Kristus revelasi Allah
sungguh sempurna. Yesus memenuhi secara sempurna semua fungsi
profetis: Yesus Kristus tidak menyatakan suatu elemen dari rencana
Allah atau makna dari sebuah pemberitaan melainkan Yesus Kristus
menyatakan suatu relasi iman absolut dan sebuah misteri agung.
Relasi perjanjian itu tidak menjadi sempurna jika Allah sendiri tidak
merealisasikannya. Kesempurnaan perjanjian tidak lain tidak bukan
adalah comunio kekal dengan Allah – divinisasi manusia.
=Langsung
Kitab Suci mewartakan sebuah revelasi eskatologis yang tidak
lagi meru-pakan manifestasi kata-kata melainkan revelasi final dari
realitas dalamnya kita menegaskan eksistensi dengan iman (Ibr 11:1).
Kitab Suci berbicara tentang revelasi Yesus Kristus dan
kemuliaanNya. Kemuliaan Allah ini dinyatakan dalam kita dan atas
semua ciptaan yang menantikan dengan rindu revelasi final ini.
Di waktu final-eskatologis, tiada lagi term-term tentang
‚revelasi’ – yang ada hanyalah ‚epignosis’ atau pengetahuan
sempurna (1Kor 13:12) dan „visione beata“ – sebuah pengetahuan
langsung dari wajah ke wajah – tiada lagi mediasi.
Revelasi alami berelasi dengan cahaya inteligensi; revelasi
yang dinyatakan melalui sabda para nabi dan rasul yang dilanjutkan
Gereja berelasi dengan cahaya iman; revelasi eskatologis berkaitan
dengan cahaya kemuliaan.
Dalam diri subyek yang dipanggil kepada iman, ada ‚suatu
spirit revelasi’ yang berelasi dengan revelasi obyektif. Karya Allah
142
137
offen, offenbar, offenbaren, offenbarung, dalam J. E W. GRIMM, Deutsches Wörte-
rbuch, vol 13, München 1984, 1171-1178; J. RITTER et altri, Historisches Wörterbuch der
Philosophie, vol VI Basel 1971, 1105.
138
G. van NOORT, Dogmatic Theology, vol. 1, The True Religion, Newman Press,
Westminster 1955, 34-35
139
A. NICHOLS, The Shape of Catholic Theology: An Introduction to Its Sources,
Principles and History, Liturgical Press, Collegevill 1991, 273
144
140
St. T. AQUINAS, Quaestiones disputate de Veritate, q. 18, a.3: “Est etiam quaedam
locutio...interior, qua loquitur (Deus) nobis per inspirationem internam. Dicitur autem ipsa
interior inspiratio locutio quaedam ad similitudinem exterioris locutionis: sicut enim in exteriori
locutione proferimus ad ipsum audientem non ipsam rem quam notificare cupimus, sed signum
illius rei, scilicet vocem significativam: ita Deus interius inspirando nen exhibet essentiam suam
ad videndum, sed aliquod suae essentiae signum, quod est aliquis spiritualis similitudo suae
sapentiae.”
146
=Perumpamaan
Kata Origines dan Dionisius, sebuah ekspresi yang penuh
dengan gambaran melahirkan sejenis pengkianatan spiritual. Walau
demikian image bisa dipakai sarana bantu bagi manusia dalam usaha
memahami Sabda, menarik manusia masuk ke dalam relasi personal
dengan Allah.
Perjanjian Lama, Injil dan Paulus sangat banyak memakai
gambaran dalam kaitan dengan revelasi. Beragam artikel penting
yang ber-katian dengan iman dinyatakan dalam gambaran: Kristus
Penyelamat digambarkan sebagai Domba Allah, Gereja digambarkan
sebagai kebun anggur, tubuh, dan bangunan. Gambaran-gambaran itu
merupakan velum yang menyembunyikan: circumvelatur atau
occullatio. Kitab Suci pada saat yang sama adalah spiritual dan
korporal, kaya akan makna yang intelligible dan konkrit.
=Mata - telinga
Barangsiapa berteleinga hendak ia mendengar dan barangsiapa
punya mata hendaklah ia melihat. Mata (hati) untuk melihat apa yang
tidak terlihat oleh mata kepala. Telinga (hati) untuk mendengar dan
terus mendengarkan Sabda hingga mendengarkan apa yang tidak
dikatakan dengan suara.
Beragam penyingkapan, penampakan diri dan manifestasi
Allah tidak dicari hanya dalam lingkungan transendental, spiritual
melainkan dicari dalam lingkungan yang kelihatan. Tentu hal ini
butuh studi yang serius hingga tiba pada pembedaan yang jelas antara
148
141
R. LATOURELLE, Theology of Revelation, New York 1966, 21.
151
=Kemuliaan/kbd
Kemuliaan menunjukkan kehadiran Allah yang nampak atas
cara yg kelihatan. Kemuliaan diungkapkan dalam term kabod – kbd
(ibrani –menjadi berat: menjadikan berat dan penting), doxa (yunani),
gloria (Latin). Kemuliaan Allah menjadi pengalaman akan terang,
api, kilat-guntur dan panas menggigit.
Kemuliaan Allah dinyatakan dalam ketegangan antara ruang
tak terbatas dan ruang terbatas seperti antara yang universal dan
partikular. Dari satu pihak kemuliaan Allah memenuhi segala ruang,
langit dan bumi dan manusia penuh kemuliaanNya. Dari pihak lain
kemuliaan dinyatakan pada tempat tertentu dan terbatas seperti di
Sinai (Kel 24:16) dan dari sini kemuliaan Allah menemani Israel
dalam bentuk awan sepanjang ziarah melintas padang gurun.
Manifestasi kemuliaan Allah dan pewartaan Sabda berelasi secara
erat dlm kehidupan Israel.
=Nama
Relasi antara kemuliaan Allah dan Sabda Allah menghantar
kita kepada titik berangkat, sejauh kita mengakui bahwa Allah
tampak dan berbicara pada saat yang sama kepada umat Israel. Isi dari
145
M. SEYBOLD et alii (eds), Die Offenbarung: Von der Schrift bis zum Ausgang der
Scholastik, Freiburg 1971, 3-12; N. S. DISTER, Teologi Sistematik I, Yogyakarta 2004, 42.
154
146
Nama-nama Allah yang ditulis dalam bentuk tunggal Ibr.: Allah: El; Elah; Eloah;
Elohim, Yahweh; Yun. Theos. Tuhan: Ibr.: Adon; Adonai; Yun.: Kurios -Kristus; Mahatinggi:
Ibr.: Elyon; bahasa Aramik: Illai; Yun.: Hupsistos; Mahakuasa Ibr: Shaddai; Yun: Pantokrator;
Yang berdaulat: Yun.: Despotes
Nama-nama Allah yang ditulis dalam bentuk rangkap dengan gelar/sebutan.
Allah Israel ialah Allah: Ibr.: El Elohe Yisrael. Allah Semesta Alam: Ibr.: Elohim Sabaoth.
Allah Yang Mahakuasa: Ibr.: El Shaddai; Yun.: Theos Pantokrator. Allah Yang Mahatinggi:
Ibr.: El Elyon, Elohim Elyon; Aram.: Elah Ilaai; Yun.: Hupsistos Theos. ALLAH Tuhan / yang
Berdaulat: Ibr.: Yahweh Adonai. Tuhan Allah: Ibr.: Yah, Yahweh (TUHAN ALLAH);
Ibr.: Yahweh Elohim (TUHAN Allah); Yun.: Kurios Theos (Tuhan Allah); TUHAN Semesta
Alam: Ibr.: Yahweh Sabaoth; Yun.: Kurios Sabaoth. TUHAN Allah Semesta Alam:
Ibr.: Yahweh Elohim Sabaoth; Adonai Yahweh Sabaoth. Tuhan, TUHAN Semesta Alam:
Ibr.: Adon Yahweh Sabaoth; Adonai Yahweh Sabaoth. Tuhan Yang Mahakuasa: Yun.: Kurios
Pantokrator. Tuhan Allah Yang Mahakuasa: Yun.: Kurios Theos Pantokrator TUHAN Allah
Yang Mahatinggi: Ibr.: Yahweh El Elyon.TUHAN Yang Maha- tinggi: Ibr.: Yahweh
Elyon.Tuhan ALLAH / yang Berdaulat: Ibr.: Adonai Yahweh. Yang Mahakuasa, TUHAN
Allah: Ibr.: El, Elohim, Yahweh
147
W. H. SCHMIDT, Alttestamentlicher Glaube in seiner Geschichte, Neukirchen 1990,
63-64. Katekismus Gereja Katolik, no 203-20
155
=Epifani.
148
W. PANNENBERG, Systematische Teologie, vol. I, Göttingen 1988, 255-257.
149
H. HAAG, Bibel-Lexikon, Einsiedeln 1982, 1245-1247.
156
=Apokaplipsis
‘Revelasi’ Allah secara esensial adalah suatu event
eskatologis, yang bisa diverifikasi pada ‘hari Tuhan’ – pada hari
penghakiman terakhir. ‘Hari Tuhan’ itu menyangkut segala sesuatu.
‘Hari Tuhan’ adalah hari penghakim seluruh dunia dan pada saat yang
sama adalah akhir dunia. Konsekuensinya ‘hari Tuhan’ akan dialami
juga sebagai suatu katastrofe. ‘Hari Tuhan’ dalam term J. Moltmann
‘historisasi kosmos dalam eskatologi apokaliptik.’152 Dalam konteks
ini apokaliptik dikatakan sebagai ‘ibu dari teologi kristiani.’153
Singkat kata ide apokalipsis menampilkan suatu dialetika antara
‘Deus absconditus et Deus revelatus.’
=Kebijaksanaan Allah
Dalam kaitan dengan kebijaksanaan sebagai ciptaan pertama
Allah (Kebij 8:22-31), kita bisa mengatakan: “Ia sudah ada sejak awal
internasional, universal dan dihubungkan dengan ciptaan. Patrimoni
dari tradisinya mengandung spekulasi tentang relasi antara pikiran-
pikiran Allah, sabda yang mewujudkan ciptaan, ordo interior dunia
150
M. SECKLER, Der Begriff der Offenbarung, in W. KERN et alii (edd.), Handbuch
der Fundamental-theologie, vol. II, Freiburg 1985-1989, 62-63.
151
J. MOLTMANN, Theologie der Hoffnung, München 1985, 85-91.
152
ID, Theologie der Hoffnung, 120-124.
153
E. Käsemann, Die Anfänge christlicher Theologie, in Zeitschrift für katholische
Theologie 59 (1960), 162-185; R. BULTMANN, Ist die Apokalyptik die Mutter Theologie? In W.
ELTESTER – F. H. KETTLER, Apophoreta, Berlin 1964, 64-69; J. B. METZ, Glaube in
Geschichte und Gesellschaft, Mainz 1992, 165-174.
157
154
N. LOHFINK, Zur Aussage des Alten testament über “Offenbarung” in G.
OBERHAMMER, Offenbarung, geistige Realität des Menschen, Wien 1974, 135-136.
155
R. LATOURELE, Theology of Revelation, New York 1966, 21-24; ID, Revelation
dalam Dictionary of Fundamental Theology, 907-911.
158
156
E. JACOB, Théologie de l’Ancient Testament, Paris 1968, 163-170. Ia mengatakan
bahwa ‘pemilihan dlm PL adlh suatu realitas sentral ; adlh suatu aktus inizial melalui mana Jahwe
masuk ke dlm relasi dgn umat ; pemilih-an adlh realitas permanen yg menjamin relasi. Setiap
intervensi Allah dalam sejarah Israel adalah suatu pemilihan : baik sebuah tempat utk
memanifestasikan secara lebih partikular kehadiranNya maupun suatu bangsa untuk
merealisasikan rencana-rencanaNya, pun memilih seorang manusia untuk menjadi utusanNya ;
Allah PL adalah Dia yang sambil mem-bentangkan kekuasaan universal, Ia menyatakannya
melalui disposisi bebas.
157
J. PLASTARAS, Il Dio dell’Esodo. La teologia dei racconti dell’Esodo, Torino 1977,
51-52.
159
kekuasaan ilahi. Karena itu sebab dan pelaku revelasi adalah Bapa
dan Roh Kudus.
Kristus adalah juga Allah yang direvelasikan. Allah benar yang
mewartakan dan memberi kesaksian tentang dirinya sendiri, karena Ia
adalah Allah seperti Bapa. Kristus adalah Allah yang berbicara dan
Allah yang diwartakan; pelaku revelasi dan isi revelasi itu sendiri,
karena Ia memiliki kesatuan ada dengan Allah; Ia adalah Dia yang
memperkenalkan misteri dan Dia sendiri misteri in persona.
Kristus adalah juga tanda dari revelasi baik dalam kekuatan
kemanusiaan-nya sebagai realitas yang nampak dalam terkandung ada
dari Verbum maupun dalam aksi, gestikulasi dan mukjizat-mukjizat
yang dilaksanakan sejauh semua ini mengungkapkan dalam cara
manusiawi essere dan agire ilahi; baik dalam konsiderasi nilai
sakramental dari inkarnasi, sejauh kemanusiaan dari Kristus tidak saja
memaknai kehadiran Allah tetapi mengkomunikasikan dan mentran-
misikan rahmat dan hidup ilahi. Inkarnasi adalah tanda tanda tampak
dan efesien dari keselamatan. Dengan demikian Yesus Kristus adalah
sungguh tanda ultim dan sempurna sebab Ia sendiri diidentikkan
dengan tanda dan menjadikan segala sesuatu satu dengan tanda.
Yesus Kristus adalah saksi otentik dari kebenaran yang
diwartakan baik dalam sublimitas dan otoritas ajaranNya yang
mengatasi segala hukum; baik karena kehendakNya, karena kuasa
karya-karyaNya; karena cinta dan generositas dari semua
gestikulasinya; karena kemuliaan Allah yang bersinar dalam diriNya
dan karena kesetaraan dengan Bapa.
Kristus adalah jawaban sempurna dari manusia kepada sabda
dan auto-komunikasi diri Allah. Kristus sejauh manusia, Ia adalah
jawaban manusiawi sempurna kepada cinta Allah. Ia membawa
171
adalah Allah yang sama adalah pengarang dari semua wahyu melalui
SabdaNya atau LogosNya. Ciptaan, teofani, hukum dan nabi-nabi
serta inkarnasi adalah tahap-tahap dari satu manifestasi berlanjut
Allah dalam perjalanan sejarah. Mereka menandaskan adanya
perkembangan dari satu kepada yang lain. Namun mereka
perkembangan itu dari sudut yang berbeda:
*Yustinus: dalam Perjanjian Lama terjadi manifestasi partial
dan gelap dari Logos dan baru menjadi total dan terang dalam
Perjanjian baru.
*Irenius: Perjanjian Lama merupakan persiapan, masa
pedagogi dan saat janji bagi inkarnasi, yang baru terpenuhi dalam
Perjanjian baru.
*Klemens dari Alexandria: Perjanjian Lama berisi ramalan-
ramalan yang bersifat enigmas dan misteri. Perjanjian Baru adalah
pemenuhan dan kejelasan ramalan-ramalan.
*Origenes: dalam Perjanjian Lama misteri diperkenalkan dan
dalam Per-janjian Baru misteri terpenuhi.
162
Summa Theologiae II, II.
180
163
STh I, 1; II-II, 1-7, 171-174; Contra Gentes L, III, 154; de Veritate 12; cfr. A.
PATFOORT, Tommaso d’Aquino. Introduzione a una teologia, Torino 1988, 9-11; V. WHITE,
Le concept de révélation chez st. Thomas, in “Année theologique” (1950), 1-17; 109-132.
181
164
DS 3004
165
M. CHAPPIN, Vaticano I, dalam DTF, 1431.
166
M. CHAPPIN, Vaticano I, dalam DTF, 1431.
167
R. AUBERT, Le problème de l’actes de foi , Louvain 1945, 131-222; H.
BOUILLARD, Le concept de Révélation de Vatican I à Vatican II, in AA. VV., Révélation de
Dieu et language des hommes, Paris 1972, 5-50; P. HEICHER, Offenbarung, München 1977,
118-150.
168
DS 3004.
183
Hermes) tetapi dalam kuasa “auctoritas ipsius Dei revelantis qui nec
falli nec fallere potest”.169
Menurut prospektif ini, revelasi ditampilkan dalam konsep
yang secara praktis bersifat “doktrinal”. Revelasi adalah suatu
keseluruhan dari misteri yang mengatasi akal budi manusia tetapi akal
budi manusia tahu menerimanya. Keha-diran dari “signa” dipandang
sebagai sebuah percobaan ekstrensik dalam formu-lasi dari
kredibilitas dan “auctoritas Dei revelantis” yang membatasi ruang
gerak relasi personal dengan Allah dalam jawaban iman.
Dei Filius menghadapi problem revelasi tidak bertolak dari
revelasi tetapi bertolak dari suatu provokasi ekstern yakni
“razionalisme.” Revelasi menjadi obyek dari formulasi dogmatis
magisterium Gereja. Revelasi lalu dimengerti dalam horison veritatif.
Kebenaran pasti dan absolut yang memungkinkan orang beriman
masuk dalam relasi partisipatif pada kebaikan-kebaikan ilahi dalam
hal ini: “mengatasi inteligensi manusia”.170
oleh Yesus dari Nazareth tetapi supaya menjadi sempurna harus tiba
pada misteri Allah. Jadi ada dimensi “kristosentrik” revelasi tetapi
terbuka kepada dimensi “teocentrik” sebagai isi ultim dan defenitif.
Proses wahyu sungguh berpusat pada Allah: Allah memulai, Allah
merea-lisasikannya dan Allah pula adalah tujuannya. Proses wahyu
tidak menyampaikan sesuatu, melainkan menyatakan diri Allah
sendiri dengan tujuan ‘masuk dalam orbit Bapa.’
BAB VI
IMAN:
JAWABAN BEBAS DAN AKTIF MANUSIA
KEPADA SAPAAN ALLAH
(Pertemuan 13, 14, 15)
6. 1. Iman
Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah dan
sekaligus, tidak terpisahkan dari itu, persetujuan secara bebas
terhadap segala kebenaran yang diwahyuhkan Allah. Sebagai ikatan
pribadi manusia dengan Allah, iman Kristen berbeda dengan
kepercayaan yang diberikan kepada seorang manusia. Menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah, dan mengimani secara absolute apa
187
yang Ia katakan adalah tepat dan benar.173 Iman adalah suatu anugerah
Allah, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh-Nya. “Supaya
orang dapat percaya seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang
mendahului serta menolong, pun bantuan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan hati dan membalikannya kepada Allah, membuka
mata budi, dan menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam
menyetujui dan mempercayai kebenaran itu”.174
Orang yang memperkenalkan diri tentu saja mengharapkan
jawaban atau tanggapan yang positif dari pihak yang disapanya. Maka
Tuhan sebagai pewahyu yang menyatakan diri kepada manusia,
tentunya berharap agar manusia dengan senang dan penuh syukur
menerima pewahyuan diri Allah itu dengan menjawabnya dengan
penyerahan diri pula kepada Allah pewahyu.175 Iman adalah sikap
kristiani yang mendasar dalam kehidupan kaum beriman, sebagai
jawaban penuh kepercayaan terhadap sabda yang diwahyukan oleh
Allah.176 Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman ini, yang
merupakan awal keselamatan manusia, adalah kebajikan adikodrati
dengan kita, yang didorong dan dibantu oleh rahmat Allah dan
percaya kepada sesuatu yang diwahyukan oleh Allah sebagai benar,
bukan karena kebenaran intrinsiknya yang dapat dimengerti oleh akal
budi, melainkan karena kuasa Allah sendiri yang mewahtuhkannya,
dan yang tidak dapat ditipu ataupun menipu.
Melalui wahyu-Nya, “Allah yang tidak kelihatan dari
kelimpahan cinta-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-
Nya dan bergaul dengan mereka, untuk mengundang mereka ke
dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di
173
P. Herman Embuiru, SVD (Penerj.) Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, Ende
1995, art. 150 (selanjutnya disingkat KGK).
174
Dei Verbum (selanjutnya disingkat DV) art. 5.
175
Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Pengantar Teologi, Kanisius,Yogyakarta, 1991, 127.
176
Avery Dulles, SJ, Model of Relevation, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh
Georg Kirchberger SVD, Model-Model Wahyu, Nusa Indah, Ende 1994, 14.
188
dalamnya (DV 2). Jawaban yang pantas untuk undangan itu ialah
iman”.177 Melalui iman manusia menaklukkan seluruh pikiran dan
kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya, manusia
menyetujui Allah yang mewahyuhkan Diri. Kitab Suci menamakan
jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyuhkan Diri itu
“Ketaatan Iman”.178
Menurut DS 3008, hanya dengan bantuan rahmat dan
pertolongan Roh Kudus manusia mampu percaya. Walaupun
demikian, iman adalah suatu kegiatan manusiawi yang sebenar-
benarnya. Percaya pada Allah dan menerima kebenearan-kebenaeran
yang diwahyuhkan oleh-Nya, tak bertentangan baik dengan
kebebasan maupun pikiran manusia. Dalam hubungan antar manusia
pun tidak bertentangan dengan martabat kita, kalau kita percaya apa
yang orang lain katakan kepada kita mengenai diri mereka sendiri dan
mengenai maksudnya, dan memberi kepercayaan kepada
perjanjiannya (umpamanya kalau seorang pria dan wanita kawin) dan
dengan demikian masuk dalam persekutuan dengan mereka. Maka
dari itu, sama sekali tidak berlawanan dengan martabat kita, “dalam
iman memberikan kepada Allah yang mewahyukan diri, ketaatan
pikiran dan kehendak secara utuh” dan dengan demikian masuk ke
dalam persekutuan yang mesra dengan-Nya.
Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama
dengan rahmat ilahi: “iman adalah suatu kegiatan akal budi yang
menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan
oleh Allah dengan perantaraan rahmat” Aquinas., 5. th. 2-2, 2, 9).179
Awal iman kristiani, menurut Yohanes terletak dalam
pewahyuan oleh Yesus Kristus. Pewahyuan sama dengan kebenaran.
177
KGK, art. 142.
178
KGK, art. 143.
179
KGK, art. 155.
189
180
Guido Tisera, SVD, Firman Telah Menjadi Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1992), 17
181
John Powel, S.J, Beriman Untuk Hidup Beriman Untuk Mati, Kanisius,, Yogyakarta
1991, 55.
182
Georg Kirchberger, Teologi Iman Perspektif Kristen, Ledalero, Maumere 2002, 10
190
Sejauh Allah itu adalah Allah yang tersembunyi dan manusia dalam
pengalaman konkretnya seakan-akan tidak mengalami Allah sebagai
dasar, tetapi dalam sikap “namun” tetap mendasarkan diri dalam
Tuhan yang dialami sebagai jauh, dan menantikan perubahan
pengalaman itu, sikap manusia itu adalah HARAPAN. Sejauh Allah
mendekati manusia dalam keintiman yang sebenarnya tidak bisa
diharapkan dari Allah terhadap ciptaan-Nya, manusia digugah dalam
inti pribadinya untuk mengikuti Allah yang sedemikian dekat, dan
sikap itu disebut CINTA.186
Iman dalam Perjanjian Lama digambarkan dari berbagai
pengalaman sepanjang sejarah, di mana orang Israel mempersiapkan
diri untuk menerima Mesias yang datang untuk menyelamatkan
dunia. Persiapan ini berlangsung bukan hanya melalui pengalaman
yang menyenangkan tapi juga melalui pengalaman pahit. 187
Pengalaman inilah yang membuat orang Israel dapat memahami
bahwa Tuhan itu Penyayang dan Pengasih yang menginginkan damai
sejahtera bagi umat-Nya.. pertama-tama iman dalam Perjanjian Lama
adalah mendengarkan Sabda Allah.188 Oleh karena itu, beriman berarti
taat dan patuh kepada perintah Allah. Dalam paham Perjanjian Lama
Iman berarti kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah. Dalam
iman Perjanjian Lama, iman berarti menaruh percaya pada Janji
Allah.
karena Allah itu setia pada janji-Nya (Luk. 1:46-55). Allahnya Yesus
bukan Allah baru, melainkan Allahnya janji-janji perjanjian pertama
sedemikian rupa sehingga iman manusia Yesus akan Allah, Bapa-
Nya, hanya dapat dipahami dengan dilatarbelakangi oleh horisan
pewartaan Kerajaan yang akan datang. Dalam diri Yesus,
pemerintahan Allah yang oleh para nabi dahulu dinubuatkan sebagai
akan datang. Dalam umat Israel, iman terikat pada refleksi tentang
sejarah, tetapi dalam Perjanjian Kedua iamn dikaitkan pada sejarah
sendiri sejauh sejarah itu dipadatkan dalam riwayat hidup Yesus,
terutama pada wafat dan kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya dalam
Perjanjian Baru ajaran tentang Allah berpautan erat dengan
Kristologi.
Injil Sinoptik menampilkan Yesus mewartakan kabar gembira
Kerajaan Allah yang di ambang pintu. Orang diajaknya supaya
bertobat dan percaya kepada Injil (Mrk. 1:5). Tindakan percaya
dalam Injil Sinoptik mempunyai arti sebagai berikut. Pertama,
mendengar pada apa yang diwartakan (Mrk. 4:9). Kedua, mengerti
atau memahami apa yang didengar itu (bdk. 13:19), maksudnya
menerima pewartaan Sabda secara positif dan melaksanakannya
dalam hidup harian (Mrk. 4:20; Luk. 8:21; 11:28). Ketiga, bertobat
yang merupakan unsur hakiki dari iman kepercayaan (Mat. 1:15; bdk.
4:17), berbalik kepada Allah secara lahir batin, secara total dengan
segenap pribadinya.
Dalam Kisah Para Rasul (kisah tentang awal pewartaan Injil),
iman dilukiskan sebagai sikap batin yang menyeluruh, artinya sikap
itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan manusia kepada
diri Yesus seluruhnya. Maka menurut Kisah Para Rasul iman yang
diyakini sebagai anugerah itu merupakan sikap taat dan melekat
194
kepada Yesus Kristus secara total dan mutlak (bdk. Kis. 3:16; 9:42;
11:17; 16:31).
Dalam surat-surat Santo Paulus memberikan kesempatan
kepad manusia untuk percaya kepada-Nya atau tidak. Dengan percaya
kita mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus, yang baik
rencana maupun pelaksanaan penyelamatan manusia yang
dilangsungkan Allah dalam penjelmaan, hidup, wafat dan
kebangkitan Yesus Kristus (bdk. 1 Kor. 1:17-2:4; Flp. 2:5-11).
“Mengenal” misteri Allah berarti dikaruniai untuk bergaul dengan
Allah secara akrab dari hati ke hati sehingga ada persekutuan pikiran
dan kehendak antara manusia beriman dengan Allah yang diimaninya
itu (Flp. 3:7-11).
6.2.2.1. Pisteuein
Dalam Perjanjian Baru kata pisteuein artinya percaya, sering
kali berarti percaya kepada Sabda Allah, mengakui Sabda Allah.
Iman diarahkan kepada apa yang ditulis di dalam Torah dan buku
para nabi (Kis. 24:14; Luk. 24:25); begitu juga orang mengimani
kata-kata Yesus (menurut Injil Yohanes) karena Ia diutus Allah dan
mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38; 3:34).
Mengimani perkataan itu berarti menaatinya secara eksistensial
dan sungguh-sungguh hidup menurutnya, sebagaimana jelas dalam
Ibrani 11. juga Paulus menekankan sifat ketaatan dalam iman. Iman
sebagai kepercayaan itu berarti juga mengandalkan daya Allah untuk
mengadakan mujizat (Ibr. 11:17-19). Begitu juga dalam injil-injil
sinoptik, iman seringkali berarti orang percaya akan daya Yesus
untuk mengadakan mujizat dan dalam iman atau kepercayaan itu
mereka disembuhkan. Sesudah peristiwa kebangkitan itu, orang
percaya akan daya rasul untuk mengadakan mujizat (Kis. 14:9-10),
195
juga akan daya mengadakan mujizat yang dimiliki setiap orang dalam
berdoa (Mrk. 11:22-23; Luk. 17:6; bdk. 1 Kor. 13:2).
Perjanjian Baru juga melihat hubungan erat dan harapan iman
akan janji-janji Allah sekaligus merupakan harapan. Iman kristiani
sering mengandung sikap “namun”, kita berpegang pada janji Allah,
meskipun kenyataan di sekitar kita tidak mendukungnya. Iman kita
juga terentang dalam harapan akan suatu kenyataan yang belum dapat
dilihat dan dipegang. Iman harus bertahan dalam kesetiaan, karena
kesetiaanpun merupakan satu unsur dalam iman (1 Tes 1:4).
Dalam Perjanjian Baru yang menjadi kekhasan iman kristen
adalah Yesus Kristus sebagai Tuhan yang telah wafat dan bangkit,
dengan kata lain orang kristen mengimani karya keselamatan yang
dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus. Dengan itu mereka mengaku
yang benar dan menerima karya keselamatan-Nya demi diri mereka.
Iman merupakan jawaban positif atas pewartaan tentang Yesus
Kristus sebagai Tuhan (Kurios) dan tentang karya penyelamatan yang
dikerjakan Allah dalam diri Yesus Kristus. Iman berhubungan erat
dengan pewartaan misioner gereja dan berarti seorang yang
sebelumnya tidak mengenal Yesus serta Allah benar yang
mengutusnya, mendengar pewartaan misioner tentang Yesus Kritus
itu, menerima pewartaan itu yaitu mengimaninya dan bertobat. Iman
berdasarkan pewartaan itu (Fides ex Auditus) menciptakan atau
memungkinkan suatu relasi personal dengan Kristus itu sendiri.
Dalam iman orang menerima sakramen permandian serta sakramen-
sakramen lain dan menjadi anggota tubuh Kristus sendiri, memasuki
suatu relasi yang sangat intim dan intensif dengan Kristus.189
6.2.2.2. Paulus190
189
Georg Kirchberger, Op. Cit. 13
190
Ibid. 15
196
6.2.2.3. Yohanes
Dalam surat Yohanes terdapat satu kali (1 Yoh 5:4) Yohanes
menggunakan kata benda “iman” tetapi kata kerja “percaya” sangat
sering digunakannya, baik dengan kata depan “eis” (akan) maupun
dengan dativus, keduanya dalam arti sama, sehingga percaya akan
Yesus yang mewartakan dan percaya Yesus yang diwartakan,
disatukan oleh Yohanes. Yang percaya memperoleh keselamatan. Hal
ini dinyatakan melalui berbagai rumusan: orang beriman memiliki
hidup (11:25), ia sudah beralih dari kematian ke pada kehidupan, ia
tidak dihukum (5:24) dan sebagainya. Dalam pernyataan ini
terkandung arti, bahwa hanya iman yang memperoleh keselamatan
199
191
Georg Kirchberger, Ibid. 24
192
Antonius Atosokhi Gea, Noor Racmat, Antonia Panca Yuni Wulansari, Relasi
Dengan Tuhan, PT Elex Mediakomputindo, Jakarta 2004, 64.
200
193
Dr. C. Groenen, OFM dan Stefen Leks, Percakapan Tentang Alkitab, Kanisius,
Yogyakarta 1995, 7-8
194
Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari, Op. Cit.. 65
195
Georg Kirchberger, Op. Cit. 24
201
197
Georg Kirchberger, Op. Cit. 35
207
suatu tindakan akal budi yang menyetujui kebenaran ilahi oleh karena
perintah kehendak yang digerakkan Allah melalui rahmat).
Dalam teologi skolastik, tindakan kehendak yang efektif itu
umumnya disebut caritas, cinta kasih. Maka Thomas mengatakan:
supaya iman menjadi suatu actus meritorium, iman itu harus
dibarengi cinta. Cinta iotu disebut forma fidei, sehingga teologi
skolastik berbicara mengenai fides caritate firmata. Iman yang
dibentuk cinta itu merupakan iman yang membenarkan.
Luther menekankan bahwa pembenaran itu dihadiahkan oleh
Allah kepada manusia. Menurut Luther manusia diselamatkan oleh
iman, bukan oleh perbuatan. Di sini Luther mau meninjolkan, bahwa
Allah sendiri membenarkan secara gratis, tanpa menuntut pahala
manusia terlebih dahulu. Allah bertindak aktif di dalam pembenaran,
sedangkan manusia harus tingal pasif, karena manusia tidak bisa
menyelamatkan diri, kita diselamatkan sola fide, hanya karena iman
akan Allah yang berkarya dalam Yesus Kristus untuk kita.
Luther mengeritik, bahwwa dalam prakter Gereja dan dalam
teologi tentang iman, iman dan perbuatan dicampuradukan dan
karena itu Injil tentang pembenaran yang diberikan Allah secara
gratis karena Yesus Kristus telah ditinggalkan dan dihianati. Luther
menolak fides caritate formata dan menegaskan sola fide. Karena,
kalau iman baru membenarkan bila dibarengi dengan cinta, maka
perbuatan manusia (ialah cinta) yang menyelamatkan dan perbuatan
manusia itu menyingkirkan jasa Yesus Kristus.
Luther harus menolak formula skolastik itu, karena ia
menafsirkan dengan mengerti caritas sebagai usaha untuk mencintai
sesama dan melakukan karya amal. Sedangkan dalam teologi
skolastik, formula fides caritate formata mau mengatakan: Allah
yang mengundang dan menggerakkan manusia untuk bertobat, tidak
208
202
R. SCHNACKENBURG, (ed. Italia), Il Vangelo di Giovanni, I, Brescia 1973, 698.
203
R. SCHNACKENBURG, Il Vangelo di Giovanni, I, 707
204
Cf. I. DE LA POTTERIE, οϊδα et μνόσκω les deux modes de la connaissance dans le
quatrème évangile, in “Biblica” 40 (1959), 709-7225.
205
Cf. R. SCHNACKENBURG, Il Vangelo di Giovanni I, 707
217
bersama dengan Kristus kita percaya bahwa kita akan hidup juga
dengan Dia karena kita tahu (èίdotes) bahwa Kristus sesudah bangkit
dari antara orang mati, tidak mati lagi”; 2 Kor 5:1: “Kami tahu
(òidamen).....”; 2 Kor 4:14: “Kami tahu (èίdotes) bahwa Ia yang telah
membang-kitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga”.
Jadi menurut Kitab Suci “percaya” itu sesungguhnya sudah
merupakan sebuah forma istimewa dari pengetahuan. Percaya itu
mengandung dalam dirinya ‘mengakui’ – ‘menerima’ – ‘melihat’ –
‘mendengar’. Di sini inteligensi, kehendak, pengenalan diri sendiri
dan keputusan bebas dilibatkan secara aktif.
206
Cf. C. GEFFRÉ, La question de la vérité dans la théologie contemporaine, in AA.
VV., La théologie à l’épreuve de la vérité, Paris 1984, 281-291.
207
Cf. P. RESWEBER, Délacements récentes de la problématique de la vérité e leurs
incidences en thélogie in La théologie à l’épreuve de la vérité, 121-141.
208
Cf. H. U. v. BALTHASAR, Teologica I, La verità del mondo, Milano 1987, 42-43.
220
even inkarnasi. Kebenaran ini ada kaitan dengan masa depan yakni
realisasi sempurna Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus
Kristus.209
209
Cf. A. MILANO, Aletheia. La concentrazione cristologica della verità, in Filosofia e
teologia 4(1990), 13-45; G. COLOMBO, L ragione teologica, in L’evidenza e la fede, Milano
1988, 7-17.
221
KONKLUSI
1. Kesimpulan Tekstual (Berdasarkan Tulisan)
keempat segi yang sama terdapat juga pada iman kepercayaan, yang