Anda di halaman 1dari 8

Pertemuan 6

2.4.2.4. Konsili di Chalcedon


2.4.2.4.1. Monofisitisme Pra-Chalcedon dan “Risalah Paus Leo”

Pokok utama yang ditegaskan Konsili Efesus berhubung dengan dogma Kristologis, yaitu
Yesus Kristus, Firman dan Anak Allah yang serentak Allah dan manusia, memang hanya satu
subyek, satu “tokoh”. Itulah yang dipertahankan demi realitas keselamatan manusia. Akan tetapi,
cara Cyrillus memikirkan kesatuan itu tidaklah disahkan oleh Konsili, khususnya oleh mereka yang
menganut mazhab Antiokhia, yang beranggapan bahwa ia meleburkan kedua kodrat demi kesatuan
subyek. Mereka berkesan bahwa menurut ajaran Cyrillus itu pada Yesus Kristus hanya ada satu
kodrat, yaitu Firman Allah, yang menyerap “daging” (kemanusiaan). Dengan demikian, Kristus
bukan sungguh-sungguh manusia lagi.

Di Konstantinopel, Rahib Eutykhes (arkimandrit = kepala suatu biara dekat kota ini; ia
meninggal sekitar tahun 450) mengajarkan bahwa kodrat insani Kristus, karena kesatuannya
dengan kodrat ilahiNya, diresapkan ke dalam kodrat ilahi itu. Maka, yang tinggal ialah hanya
satu (monos) kodrat (physis) saja. Ia mengajarkan bahwa Kristus hanya sehakikat dengan Allah,
bukan dengan manusia. Para penganut monofisitisme ini memang menerima bahwa Yesus Kristus
itu juga manusia, namun mereka begitu menekankan keilahian-Nya sehingga kemanusiaan-Nya
tidak berarti apa-apa. Paling tidak secara praktis kemanusiaan itu diserap oleh keilahian, kalaupun
secara formal mereka mengakui Yesus Kristus sepenuhnya manusia.

Suatu sinode yang diketuai Batrik Konstatinopel , Flavianus, berkumpul di kota itu pada
tahun 448 untuk menyelidiki pikiran Eutykhes. Para uskup yang sebagian besar berasal dari
mazhab Antiokhia itu, menerima syahadat perdamaian yang disetujui Cyrillus. Mereka menilai
Eutyches sebagai wakil mazhab Aleksandria. Pada synode itu, Flavianus mengemukakan sebagai
ajaran ortodoks (orthodoxy = kepercayaan yang benar) rumus ini:

“Kami mengakui bahwa Yesus sesudah inkarnasi (terdiri) dari dua kodrat (ek dua physeis),
sambil menerima satu Kristus, satu Anak, dan satu Tuhan dalam satu diri (hypostasis) dan
satu pribadi (prosopon)1.

Keterangan ini jelas melawan pendekatan mazhab Aleksandria (satu kodrat/physis), dan juga
secara tegas membedakan antara istilah physis (kodrat) dengan hypostasis (diri) yang searti prosopon
(pribadi). Dan diri atau pribadi itu tidak lain daripada diri/pribadi Firman/Anak Allah pra-ada.
Dengan demikian, peristilahan akhirnya menjadi jernih (setelah lama sekali kacau dan kabur).
Setelah Eutykhes dikutuk dan dipecat oleh Sinode Konstantinopel, ia naik banding ke
beberapa sinode lainnya dan juga kepada Sri Paus. Batrik Aleksandria – Dioskoros - membela
Eutyches dan menerimanya dalam persekutuan, namun Paus Leo Agung menentang ajarannya,
yakni monofisitisme, sebagai bidaah baru. Dalam sepucuk surat dogmatis (epistula dogmatica)
kepada Flavianus, Batrik Konstantinopel itu, Sri Paus mengungkapkan dengan jelas apa yang
menurutnya ajaran Kitab Suci dan Gereja tentang inkarnasi. Ia membedakan kedua kodrat Kristus
1
Prosopon – (Yun. ‘wajah, topeng, peran’). Pada mulanya adalah topeng yang dipakai dalam pents dan
kemudian menjadi istilah yang berarti “pribadi” (persona). Beberapa Bapa Gereja berbicara mengenai tiga prosopa
Tritunggal dan satu prosopon Yesus Kristus (lih. DS 250; 302). Namun istilah yang lebih umum untuk “pribadi”
adalah hypostasis. Ibid., 266.
sambil mempertahankan kesatuan pribadi-Nya. Surat Paus Leo yang tertanggal 13 Juni 449 dan
terkenal dengan nama Tomus Leonis ( Risalah Paus Leo) ataupun Tomus ad Flavianum (Risalah
kepada Flavianus) menjadi termasyur karena pengaruhnya terhadap Konsili Chalcedon yang akan
diadakan dua tahun kemudian. Berhadapan dengan diskusi yang sulit dan panjang lebar di Gereja
kawasan Timur itu, Risalah Paus Leo merangkum secara singkat Kristologi Gereja kawasan Barat
yang tradisional. Di dalamnya termasuk bukan hanya Kristologi Tertullianus yang memang bersifat
dasariah bagi Gereja di Barat, tetapi juga pengembangannya lebih lanjut berkat usaha Hilarius (+
367), yang pada dasarnya mengikuti pola Firman-manusia (Logos–anthropos) ala perguruan
Antiokhia dan dengan demikian berhadap-hadapan dengan model Firman-daging (Logos-sarx)
yang dipakai oleh mazhab Aleksandria.

Hal-hal yang ditekankan Leo Agung dalam risalahnya, yaitu:


1. Pribadi Sang Allah-manusia, pribadi Dia yang menjadi daging adalah identik dengan
pribadi Logos ilahi.
2. Di dalam satu pribadi yang dimiliki oleh Logos yang telah menjelma itu terdapat dua
kodrat, ilahi dan insani, secara selaras tetapi tidak tercampur. Sri Paus merumuskannya
demikian : “Sifat dan ciri masing-masing kodrat berpadu dalam satu pribadi itu tinggal
utuh, seraya keluhuran menerima kerendahan, kekuatan kelemahan, kebakaan kefanaan.
3. Kesatuan antara kedua kodrat itu bersifat hakiki, karena pentingnya kesatuan itu bagi
penebusan. Pengantara satu-satunya antara Allah dan manusia itu dalam arti tertentu
harus dapat mati, tetapi dalam arti tertentu pula harus tidak dapat mati. Memang,
mungkinlah mengatakan bahwa Logos mati, artinya Ia mati menurut kodrat-Nya yang
insani, tetapi bukan menurut kodrat-Nya yang ilahi.
4. Kedua kodrat Kristus mempunyai cara kerja tersendiri, walaupun yang satu selalu
bertindak dalam keselarasan dengan yang lain.
5. Ajaran tentang communicatio idiomatum2 harus dipertahankan. Ajaran ini berarti bahwa
karena kesatuan kepribadian, maka sifat-sifat atau atribut (idioma) yang dimiliki masing-
masing kodrat itu dapat ditukar. Maka, tepatlah misalnya mengatakan bahwa Anak Allah
disalibkan dan dimakamkan, atau bahwa Anak Manusia turun dari surga menurut ke-
Allah-an.

Dengan demikian Paus Leo I tegas mempertahankan unsur-unsur hakiki dalam Kristologi dan
Soteriologi, sambil menyadari betapa paradoksal misteri iman yang tampak sebagai fenomena Yesus
Kristus.

2.4.2.4.2. Konsili Chalcedon dan Perkembangan Selama Beberapa Abad sesudahnya


(Pertengahan Abad V-VII).

Kendatipun Sri Paus dapat menampung keprihatinan mazhab Aleksandria (yakni hanya ada
satu tokoh/subjek ialah Firman Allah) dan keprihatinan mazhab Antiokhia (Yesus Kristus mesti
sungguh-sungguh manusia sama seperti manusia lain dan sungguh-sungguh Allah demi keselamatan
2
Communictio Idiomatum – (Lat/Yun. ‘saling tukar milik). Pertukaran sebutan karena kesatuan keilahian
dan kemanusiaan dalam satu pribadi Putra Allah yang menjelma. Ini berarti, sebutan untuk salah satu kodrat dapat
dipakai untuk Dia, juga kalau Ia disebut dalam kaitannya dengan kodrat yang lain: mis. “Putra Allah wafat di salib”
dan “Putra Maria menciptakan dunia” (DS 251). Pemikiran seperti ini perlu dijernihkan agar kedua kodrat itu tidak
dicampuradukkan. Putra Allah sebagai yang ilahi tidak wafat di salib; demikian juga Putra Maria sebagai manusia
tidak menciptakan dunia. Ibid., 46.
manusia), namun di lain pihak Paus Leo tidak berhasil mengatasi ketegangan yang ada antara kedua
keprihatinan itu. Juga setelah diadakannya Konsili Ekumenis yang keempat di Chalcedon,
kontroversi masih terus berlangsung terus selama ratusan tahun.

2.4.2.4.2.1. Dari Sinode “Penyamun” di Efesus (Tahun 449) sampai Konsili Chalcedon (Tahun
451).

Setelah Euthyches dikutuk dan diberhentikan oleh sinode di Konstntinopel pada tahun 448, ia
sendiri bersama Batrik Dioskoros dari Aleksandria berhasil membujuk Kaisar Theodosius II supaya
mengumpulkan suatu konsili di Efesus. Pada bulan Agustus tahun 449 konsili itu didakan, dengan
Dioskoros sebagai ketuanya. Tekanan terhadap para uskup yang hadir luar biasa besarnya, tanpa
diberi kesempatan bersuara. Eutyches direhabilitasi dengan alasan bahwa ajarannya tepat. Batrik
Flavianus dipecat dan dianiaya, demikian pula Theodoretus – Uskup Kyrus. Syahadat perdamaian
tahun 433 dicabut. Ajaran bahwa pada Yesus Kristus sesudah inkarnasi terdapat dua kodrat itu
dinyatakan bidaah. Para utusan Paus dari Roma tidak diberi kesempatan mengemukakan apa yang
diajarkan Uskup Roma itu (yaitu epistula dogmatica). Sinode yang oleh Paus Leo I disebut Sinode
“Penyamun” Efesus (Latrocinium Efesianum) ini jelas memenangkan perkara Eutyches, yang
berarti : pikiran mazhab Aleksandria. Santo Leo Agung langsung bertindak dengan mengadakan
sinode di Roma pada bulan September tahun yang sama, di mana akta Sinode “Penyamun” itu secara
resmi ditolak. Sinode ini meminta Kaisar Theodosius II untuk mengumpulkan konsili ekumenis di
Italia, namun Kaisar yang memihak pada kelompok Dioskoros-Eutyches tidak mengabulkan
permintaan itu.

Setelah meninggalnya Theodosius II, maka diadakanlah Konsili di Chalcedon/Kalkedon


dengan ketuanya Kaisar Marcianus dan dihadiri oleh 600 uskup – hampir semua dari kawasan Timur
dan beberapa utusan Sri Paus. Pada Konsili ini, semua keputusan Konsili Penyamun dicabut,
Flavianus direhabilitasi, pengikutnya dipecat, syahadat konsili Nicea dibacakan; kedua surat
Cyrillus kepada Nestorius (Konsili Efesus) dibacakan juga; demikian pula surat Paus Leo Agung
kepada Flavianus tentang masalah Eutyches. Setelah Tomus Leonis dibacakan, para bapa konsili
berseru : “Petrus telah berbicara melalui mulut Leo”

2.4.2.4.2.2. Syahadat Konsili Chalcedon.

Syahadat/kredo yang dipromulgasikan oleh Konsili Chalcedon itu meminjam peristilahan


Sto. Leo Agung untuk membantah bidaah Nestorius di satu pihak dan bidaah Eutyches di lain pihak.
Sekaligus syahadat ini dimaksudkan sebagai syntesis antara mazhab Antiokhia dan mazhab
Aleksandria berhubung dengan misteri Sabda yang telah menjelma. Bagian pertama kredo
Chalcedon menyangkut kesatuan pribadi, sedangkan bagian kedua itu mengenai dua kodrat dalam
Sang Kristus.

Adapun teksnya sebagai berikut:


“Maka dengan mengikuti para leluhur suci, kami sekalian sehati sepikir mengajar bahwa
mengakui Sang Putra dan Tuhan kita Yesus Kristus sebagai satu dan sama:

1. yang sama sempurna dalam keilahian dan yang sama sempurna dalam kemanusiaan,
2. yang sama sungguh Allah dan sungguh manusia terdiri dari jiwa yang berakal dan tubuh,
3. menurut keilahian sehakikat dengan Bapa dan yang sama sehakikat dengan kita menurut
keinsanian,
4. dalam segalanya sama dengan kita, tetapi tanpa dosa (bdk. Ibr 4:15)
5. menurut keilahian dilahirkan dari Bapa sebelum segala abad, tetapi menurut kemanusiaan
pada hari-hari akhir itu yang sama dilahirkan dari perawan Maria, Bunda Allah, demi
untuk kita dan demi untuk keselamatan kita.

Kami mengajar bahwa Tuhan Yesus Kristus yang satu dan sama, Putra yang tunggal itu,
harus diakui
6. dalam dua kodrat (en duo physein), tak tercampur (asygkhytos), tak berubah (atreptos),
tak terbagi (adiairetos) , tak terpisah (akhoristos),
7. dengan sama sekali tidak dihilangkan perbedaan kodrat-kodrat karena pemersatuan,
8. tetapi sebaliknya ciri-corak khas masing-masing kodrat tetap aman, dan kedua kodrat itu
bergabung dalam satu pribadi (prosopon) dan satu diri (hypostasis),
9. tidak terbagi ataupun terpisah menjadi dua pribadi (prosopa),
10. melainkan yang satu dan sama Anak Tunggal, Allah –Logos, Tuhan Yesus Kristus,
Sebagaimana para nabi dahulu dan Yesus Kristus sendiri mengajar kita tentang itu dan
syahadat para moyang menyampaikannya kepada kita”.
Rumusan ini meminjam pikiran-pikiran dan rumusan-rumusan dari pelbagai pihak,

 Nomor 1-4 diambil over (dengan sedikit perubahan) dari symbolum reunionis yang disusun
oleh Theodoret dari Kyros – seorang teolog golongan Antiokhia-; namun dengan menaruh
“satu dan sama” di depan, seluruh bagian mendapat tekanan baru, lebih sesuai dengan ajaran
Aleksandria.
 Nomor 6 – dalam dua kodrat, adalah formula dari Leo Agung dan sangat sesuai dengan
Anthiokia. “Tanpa percampuran” dan “Tanpa perubahan”, dua istilah yang sudah dipakai
oleh Tertullianus dan yang berarti bahwa yang ilahi dan yang manusiawi tetap dipertahankan
menurut kodratnya masing-masing, sekarang sudah diakui secara umum oleh semua pihak.
“Tanpa pemisahan dan tanpa pembagian” melawan adoptianisme. Ke-Allah-an dan
kemanusiaan hanya bisa dibedakan tidak boleh dipisahkan dalam Kristus.
 No 7 – “perbedaan dari kodrat-kodrat tidak dihapuskan oleh persatuan” adalah formula dari
surat kedua Syrillus kepada Nestorius. Bagian kedua dari kalimat ini “ciri khas dari masing-
masing kodrat dipertahankan” sudah terdapat dalam tulisan Tertullianus tetapi juga dari
Syrillus dan Leo. Dari Tertullianus dan tradisi Latin berasal juga “satu persona” (8).
 Aliran Antiokhia sudah selalu memakai “prosopon” tetapi dengan menghubungkan prosopon
itu dengan hypostasis ditegaskan: “pribadi” mendapat arti seperti di dalam teologi Trinitaris,
artinya Logos sendiri, Putra tunggal dan kekal adalah subjek dari peristiwa penyelamatan
(10).

Berhadapan dengan diskusi yang tidak berkesudahan mengenai hubungan antara keilahian
dan keinsanian Yesus Kristus, syahadat Chalcedon memberi kesaksian tentang iman Kristini :
“Yesus hanya satu pribadi, satu subjek atau tokoh saja, dan Ia pun sekaligus Allah dan
manusia”. Dengan merumuskan syahadat ini, Konsili tidak menyingkirkan pertanyaan spekulatif
tetapi mengarahkannya. Hanya dalam arah ini tiap-tiap usaha untuk berbicara secara tepat tentang
Ketuhanan dan kemanusiaan Yesus Kristus harus berlangsung.
2.4.3. Sengketa Rahmat dan Dosa

Memasuki abad V dan VI Gereja masih bergelut dengan disput/sengketa teologis yang
terbagi dalam dua wilayah bagian Gereja Timur dan Gereja wilayah Barat. Di wilayah Timur
memperdebatkan masalah-masalah yang berkenaan dengan Trinitas dan Kristologis, di wilayah
Barat berdebat soal antropologi teologis dan soteriologi Kristen. Muncul klaim saling
mempesalahkan antara Gereja wilayah Timur dan Barat. Dikatakan bahwa, Barat sebagai pihak
yang tidak dekat dengan arahan hidup praktis, melainkan pada pembicaraan spekulatif.

Dalam situasi seperti ini muncullah Pelagius (350-425) seorang Biarawan Inggris yang
pindah ke Roma. Ia seorang yang berkemauan keras, otodidak di bidang teologi, berpengetahuan
luas tapi tidak toleran terhadap kemunafikan. Ia berpandangan bahwa menjadi Kristen berarti
mengikuti Kristus dalam segala-galanya; meninggalkan kekayaan, melaksanakan tarak secara
sempurna. Pada hari penghakiman tidak bakal ada belas kasih bagi para pendosa dan orang-
orang yang tidak benar. Mereka akan dibakar di dalam api kekal. Ia memuji kehendak bebas
sebagai penopang ciptaan yang paling utama. Artinya kehendak bebas dilihat sebagai suatu
kemampuan untuk memilih antara yang baik dan yang buruk. Ia menekankan kebebasan insani
terhadap kebaikan yang dipilih oleh keutamaam melalui kodratnya sebagi pemberian Allah. Ia
tidak berminat pada ajaran mengenai dosa asal. Dosa Adam tak menghilangkan kebebasan
manusia.

Inti ajaran Pelagius adalah bahwa manusia dapat berprakarsa dan melakukan langkah-
langkah dasariah demi keselamatan melalui usaha-usahanya.

1. Kehendak manusia itu semata-mata bebas, tidak tergantung pada sesuatu pun, dan tugas
manusia adalah menghindari dosa. Artinya, manusia mampu untuk mencapai keselamatan
dengan kekuatan sendiri.
2). Allah itu adil. Dia tidak membantu seseorang lebih banyak daripada yang manusia dapat.
Dari pemikiran ini ia menyimpulkan bahwa: Pertama, untuk melaksanankan perintah Allah
manusia tidak membutuhkan bantuan ilahi. Manusia tak memerlukan rahmat kodrati. Kemudian,
dosa asal tidak memperlemah manusia dan manusia sekarang dalam kondisi sama dengan
kondisi ketika Adam diciptakan. Tuhan tidak adil kalau menimpakan kesalahan pada orang yang
tidak melakukan kesalahan. Artinya ia menolak adanya dosa asal. Penebusan menurutnya, hanya
terjadi melalui contoh-contoh yang baik, yang telah diberikan Tuhan Yesus ketika masih hidup.
Ia meremehkan ampuhnya sakramen-sakramen gereja dan perlunya doa-doa bagi orang Kristen.
Akhirnya, baptis mutlak perlu bagi orang dewasa. Tanpa baptis bayi yang mati dapat masuk
kedalam kehidupan kekal.

Ajaran ini lalu dikecam oleh St. Agustinus. Inti ajaran St. Agustinus adalah: manusia
mutlak perlu rahmat Allah. Kerapùhan manusia desebabkan oleh dosa asal. Rahmat-Nya
ditawarkan secara cuma-cuma. Allah berkehendak menyelamatkan semua orang, tetapi rahmat-
Nya dianugerahkan pada orang-orang terpilih. Bayi mati sebelum dipermandikan akan dikenai
hukuman meski sangat ringan. Konkupensi itu buruk pada dirinya sendiri. Manusia akan
dimasukan kedalam neraka, jika tidak ditebus dengan darah Kristus.
2.4.4. Hidup Sakramental dan Moral

Kita lihat sepintas bagaimana perkembagan kehidupan sakramental dan kehidupan moral.
Pada mulanya (awal generasi pertama) baptis dilaksanakan segera setelah pertobatan (Cfr. Kis 8:
26-40). Pada abad II – III baptis dilaksanakan baik terhadap bayi yang baru lahir maupun prang
dewasa. Tapi pada abad IV ada pratik untuk memperlamabat atau menunda usia baptisan, yakni
hingga usia dewasa. Pembatisan hanya dibuat dua kali dalam setahun, yakni pada malam paska
dan malam pentekosta. Dan ritus yang diadministrasikan oleh uskup dan biasanya disatukan
dengan krisma dan ekaristi. Sedangkan perayaan Ekaristi pada mulanya dilaksanankan pada
senja karena disatukan dengan santap malam (agape). Akan tetapi awal abad II agape dipisahkan
dari perayaan Ekaristi.

Perkembangan doktrin ekaristi perkembang secara gradual. Hanya ada penekanan yang
berbeda di beberapa wilayah. Pada awalnya, ekaristi hanya ada pada setiap hari Minggu. Pada
abad ke tiga ekaristi juga dirayakan pada hari-hari puasa. Meski ada beberapa teolog, misalnya
Siprianus yang berbicara tentang ekaristi harian. Hipolitus memperkenalkan doa-doa kanonik
(yang hampir sama dengan Doa Syukur Agung Pertama). Perayaannya juga selain lebih lama
dari yang dewasa ini, juga lebih ditekankan kemuliaan. Beberapa doa dirumuskan dengan baku;
belum dikenal piranti liturgis seperti lilin, pendupaan dan musik. Sementara itu pemimpin
upacara juga mengenakan pakaian sipil. Artinya saat itu belum dikenal stola, kasula, amix, dll.

Demikian juga berkembang tentang tatalaksana liturgi perkawinan Kristen meski belum
ditetapkan secara baku. Orang kristen sadar bahwa mereka menikah di hadapan Kristus. Sering
kali pasangan nikah memohon berkat pada uskup setempat. Sedangkan perihal Moral Kristen,
Agama Kristen sudah menawarkan prinsip-prinsip yang adakalanya berlawanan dengan sesuatu
yang hidup dalam masyarakat. Salah satu persoalan adalah masalah halal tidaknya bekerjasama
dalam pelbagai profesi. Dengan demikian banyak teolog, misalkan Tertulianus, Hipolitus, juga
Origenes yang mengecam sikap orang yang menerima tugas dan pekerjaan sipil dan wajib
militer. Tetapi pada akhir abad II ada banyak orang kristen yang menjalankan dinas militer dan
bekerja sebagai pegawai. Dalam hubungan dengan amal dipandang sebagai karya lumrah Gereja
sejak semula. Kisah Para Rasul mengisahkan karya amal jemaat kristen Perdana. Karya amal
juga diterapkan kepada orang-orang bukan kristen. Misalkan mereka mengumpulkan derma dari
pelbagai komunitas untuk membantu orang miskin. Donasi-donasi pribadi, harta benda para
rohaniwan ditangani oleh Gereja. Kekayaan Gereja yang bertambah banyak ini juga diakibatkan
oleh berlakunya Edikt Milan.

2.5. Kegiatan Misioner Gereja Abad IV

Ada sejumlah motip yang mendorong kaum kafir untuk menjadi kristen. Di antaranya
adalah sikap oportunistik yang muncul otomatis karena dukungan atas kekristenan oleh Kaisar,
sehingga banyak yang agamanya – imanya cuma bersifat lahiriah saja. Kedua, orang menjadi
kristen karena paksaan, bukan karena keyakinan. Orang mengakui dirinya sebagai kristen, karena
adanya bantuan dari pihak pemerintah. Motip-motip di atas inilah untuk sebagian menjadian
dasar bagi usaha kekristenan penduduk kakaiseran.
Tahun 325 M, gereja di Mesir sudah berkembang sehingga pada masa ini sudah ada
sekitar 90 keuskupan. Di Palestina, inisiatip kaisar Konstantinus untuk mendirikan gereja di
sana, ikut mengembangkan agama kristen. Ini disusul dengan pendirian biara, tempat berdoa,
semua ini menarik para peziarah. Dalam Konsili Nicea, ada 18 biara yang diwakili. Kekristenan
pun sudah menyebar sampai di Syria, terutama di kota Antiokia dan sekitarnya. Hal ini
dibuktikan dengan adanya berbagai gereja di berbagai kota. Pada Konsili Kalsedon, ada sekitar
130 uskup yang hadir, termasuk sejumlah wakil biara. Di Siprus dan Italia kekristenan sudah
berkembang. Dalam Konsili Nicea, Cyprus diwakili oleh tiga uskup, dan Prancis mengalami hal
yang sama. Pada sinode di Arles Prancis, diwakili 16 uskup. Kegiatan misioner mengalami
perkembangan terutama karena adanya kemerdekaan beragama yang diberikan oleh
Konstantinus.

Kegiatan misioner dilakukan oleh umat setempat dan oleh agen-agen pastoral, termasuk
kegiatan misioner spontan yang dilakukan oleh para biarawan terutama di Timur kekaiseran. Tak
ada kesatuan metode, pewartaan disesuaikan dengan situasi antaranya lewat kotbah, diskusi dan
debat dengan orang-orang kafir. Banyak orang kafir menjadi kristen karena dipengaruhi oleh
tulisan-tulisan apologet kristen, dimana politeisme diserang. Tak kecil peran kaisar dalam
penyebaran iman. Kaisar sering melarang korban dan ibadat kaum kafir, dan memerintahkan
untuk menghancurkan tempat pemujaan dan kuil-kuil mereka. Jadi kekristenan lewat keuatan
fisik, berupa hukuman mati dan siksaan, perampasan hal milik kaum kafir, masih dipratekkan.

2.6. Klerus dalam Gereja.

Sejak awal abad ke IV, ada keyakinan umum bahwa dalam gereja perlu ada kaum klerus
yang menjalankan tugas khusus untuk melayani umat beriman. Paus Innocentius sejak abad IV
membagikan klerus atas dua kelompok yang dicirikan oleh tahbisan tinggi dan tahbisan rendah.
Yang pertama adalah Uskup, imam dan diakon, sedangkan yang kedua adalah subdiakon, akolit
dan lektor. Pada awal abad ke empat, klerus dalam pelbagai tingkat melanjutkan hidupo
keluarganya yang telah dijalaninya, sebelum ditahbiskan, kecuali memang ada yang memilih
hidup membujang – tidak kawin. Menurut Clemens dari Antikhia alasan untuk tak menikah ialah
adanya kesediaan yang lebih besar untuk melayani umat sama seperti St. Paulus.

Dalam gereja Timur, terdapat pratek bahwa klerus yang menikah melepaskan istrinya,
tapi Konsili Nicea tak menghendaki hal ini. Begitu pun Kanon Hipolitus dan kanon Para Rasul
melarang uskup, imam dan diakon untuk menceraikan istrinya hanya demi kemurnian. Cuma
pada jaman kaisar Yustinianus terdapat larangan terhadap pria yang beristri dan anak untuk
ditahbisakan menjadi uskup. Alasanya ialah perhatian terhadap anak-anak menghalangi tugasnya
atau pun ada godaan untuk memperkayai keturunanya. Peraturan definitif bagi gereja Timur
muncul dari Konsili Quinisext tahun 692 yang menuntut seorang uskup untuk memisahkan diri
dari istrinya. Sedangkan para imam dan diakon tetap menjalankan hidup pernikahannya, kecuali
dimana pada hari-hari mereka dimana mereka merayakan liturgi. Di gereja Barat terutama sejak
akhir abad IV, klerus dengan tahbisan tinggi diwajibkan untuk melepaskan istrinya, sesudah
tahbisan kewajiban ini untuk pertama kali dinyatakan dalam sinode Elvira di Spanyo tahun 300-
303. Lalu ditegaskan lagi dalam konsili Illiberi di Spanyol tahun 303 – 306. Uskup, imam dan
diakon dilarang untuk menikah dan mereka diwajibkan untuk memisahkan diri dari istrinya dan
tak boleh mendaptkan anak.

Dokumen Roma pertama tentang hidup selibat klerus adalah surat Paus Damasus I (366
384) kepada para uskup Prancis. Dalam dokumen itu diyantakan bahwa uskup atau imam yang
mengkotbahkan penyangkalan diri kepada orang lain harus sendiri memberi contoh dan tak boleh
menghargai bapak biologis lebih dari pada bapak rohani. Sama seperti Kristus dan Paulus, para
klerus diwajibkan untuk hidup selibat dan murni, karena mereka harus siap sedia setiap saat
untuk melayani umat. Paus Siriacus (384-398) dalam salah satu suratnya kepada Himerius, uskup
Prancis menekankan hal yang sama. Kewajiban untuk hidup selibat ini ditekankan dalam
belbagai sinode misalnya sinode Katargo tahun 390 dan dua sinode di Toledo, Spanyol tahun
400. Perlawanan terhadap peraturan ini dihukum dengan pemecatan dari jabatan. Alasan dan
motif yang diberikan ialah kesediaan untuk mewartakan injil serta contoh hidup imam sendiri
yang mengkotbahkan penyangkalan diri dan keperawanan kepada orang lain harus sendiri
menghayati hidup yang sama dan akhirnya klerus harus mencontohi hidup Kristus sendiri.
Dengan demikian sejak abad IV M. Kewajiban ini terus dipraktekkan oleh gereja di pelbagai
keuskupan.

Anda mungkin juga menyukai