Anda di halaman 1dari 20

Serba-serbi korban

di Alkitab
Jenis-jenis korban
Sistem korban di Perjanjian Lama (PL) mengikuti pola yang biasa di negeri-
negeri tetangganya, jadi bukan merupakan sesuatu yang unik atau khas Israel
kuno, namun dianggap mampu mengungkapkan iman Israel. Ada beberapa
jenis korban, yaitu:
1. Korban bakaran (“olah”): korban disembelih, dikuliti, dipotong-potong,
darahnya disiram di sekitar mezbah (altar). Kemudian korban dibakar
sampai habis, dan seluruhnya dianggap dipersembahkan bagi Yang Ilahi.
2. Korban sajian/sajenan (“minkhah”): sebenarnya termasuk olah, namun
khusus non-daging. Disertai bubuhan kemenyan. Bisa berupa tepung,
bisa juga berupa tiga macam roti tidak beragi: a. Roti biasa. b. Roti
panggang. c. Roti goreng. Lalu ada juga minkhah yang merupakan
persembahan ulu hasil, berupa bulir-bulir gandum dan emping gandum.
Jenis-jenis korban (lanjutan)
• Korban Persekutuan /Kesejahteraan (“zebakh syelamim”): korban ini dilaksanakan
dengan gembira, dan dapat dibandingkan dengan kenduren atau selametan. Ritual ini
dipahami sebagai jamuan di antara Yang Ilahi dengan manusia, dan manusia dengan
manusia. Hanya sebagian saja daging yang dipersembahkan di altar dan dibakar. Lemak
dan jeroan adalah hak Tuhan (Im. 3:16-17). Sisa daging dibagi di antara imam dan yang
punya hajat, dan keluarga serta sanak saudaranya. Korban ini masih terbagi atas tiga
jenis: korban syukur, korban sukarela dan korban nazar.
• Korban Penghapus Dosa (“khatta’th”): korban ini berkaitan dengan dosa atau
pelanggaran yang tidak disengaja. Bila yang berdosa adalah imam besar, maka dia harus
menyediakan lembu jantan. Jika pejabat, maka korbannya adalah kambing jantan. Jika
rakyat biasa, maka korbannya adalah kambing betina. Daging sebagian dibakar di altar,
sisanya dihancurkan. Mengenai apa yang dimaksudkan dengan “pelanggaran yang tidak
disengaja” agak kabur. Menurut pakar korban (Milgrom), maksudnya mungkin semua
pelanggaran etis dan ritual, yang tidak disengaja dan disengaja. Yang penting mengakui
kesalahan atau kemungkinan kesalahan. Di Bil. 15:30-31 dosa yang disengaja dianggap
penistaan terhadap Tuhan, sehingga harus dihukum mati, tetapi pengakuan kesalahan
memungkinkan kategori sengaja dialihkan menjadi tidak sengaja.
Jenis-jenis korban (lanjutan)
• Korban Penghapus Salah (“asham”): agak repot membedakan korban jenis
ini dengan korban penghapus dosa, sama seperti kita sekarang repot
membedakan antara “dosa” dan “salah”. Menurut pakar PL (de Vaux)
mungkin di zaman baheula yang jauh di sana ada bedanya, tetapi ketika
sudah menjadi ritual tetap di dalam Torah, menjadi tidak jelas. Yang
berbeda adalah aturannya: korbannya adalah domba jantan yang dinilai
berdasarkan mata uang yang berlaku di bait suci (jadi ada mata uang
“kudus”. Pada waktu itu bait suci belum ada, karena umat masih berada di
padang gurun Sinai. Jadi deskripsi mengenai asham tampaknya
diproyeksikan dari zaman bait suci ke belakang, ke Sinai). Kemudian si
pelanggar harus menambahkan 20% dari penilaian tersebut dalam bentuk
uang, yang dibayarkan kepada imam yang bertugas. Alkitab BIS memaknai
korban ini sebagai “korban ganti rugi”. Betul menurut saya.
Jenis-jenis korban (lanjutan)
• Korban dupa (“qetoreth”): ada tiga jenis, yaitu membubuhkan kemenyan pada
minkhah, yang kedua kemenyan yang dibakar pada tempat tersendiri, dan biasanya
dibawa, entah dengan tongkat, dengan gantungan, atau dengan tangan (anglo), yang
ketiga membakar kemenyan langsung di atas altar emas (Kel. 30:6). Altar emas penting
sekali, sebab di situ Tuhan bertemu dengan Musa (dan penerusnya).
• Korban di Hari Raya Pendamaian (“Yom Hakipurrim”), Im. 16:1-34. Menurut Balentine,
bisa juga diterjemahkan Hari Raya Pemurnian. Ritual ini amat penting dan hanya
dilakukan sekali setahun. Yang bisa melaksanakan hanya imam besar, yang masuk ke
ruang maha kudus (“debir”) setahun sekali. Dia harus mengorbankan satu lembu jantan
untuk khatta’th dan satu kambing jantan untuk olah. Dari umat Israel dia mengambil
dua kambing jantan, satu untuk khatta’th dan satunya lagi untuk olah. Lembu di atas
dikorbankannya untuk keluarganya. Tidak jelas kambing jantan yang temannya lembu
diapakan, karena tidak disebut dalam teks. Anggap saja ikut dikorbankan bersama
lembu. Nah, dua kambing jantan dari umat ditempatkan di depan Kemah Pertemuan
(“Ohel Mo’edh”, konteksnya adalah padang gurun Sinai, ketika umat Israel belum
sampai ke Kanaan, jadi belum ada bait suci), kemudian imam besar membuang undi.
Jenis-jenis korban (lanjutan)
• Yang satu untuk Tuhan, yang satunya lagi untuk Azazel. Yang untuk Tuhan harus
dikorbankan sebagai khatta’th, sedangkan yang untuk Azazel ditumpangi tangan imam
besar, yang melambangkan dosa-dosa umat yang telah pindah ke si kambing, kemudian
si kambing diusir ke padang gurun. Kemudian dia masuk ke dalam debir membawa dupa
wangi, dan memercikkan darah lembu sebanyak 7x di di depan ‘tutup pendamaian’
(“kapporeth”). Angka 7 mewakili penciptaan dunia dalam tujuh hari. Kapporeth terdapat
di atas tabut, benda keramat yang dianggap sebagai tahta atau alas kaki Yang Ilahi.
Setelah itu dia keluar, kemudian memercikkan darah di tanduk-tanduk mezbah.
• Apa artinya “Azazel”? LXX dan V memahaminya sebagai “kambing pendamaian, dengan
memahami Azazel sebagai berasal dari kata “ez” (kambing) dan “azal” (disuruh pergi).
Dari sini muncul istilah Inggris, “scapegoat” (kambing hitam) dari “escape goat”. Tetapi
para rabbi memaknainya sebagai nama tempat (“ke Azazel”). Bisa juga nama jin atau
yang mbaureksa di padang gurun. Versi Syriac memaknainya demikian.
• Pemercikan darah melambangkan pemurnian tempat kudus dan pembersihan dosa, yang
telah diletakkan di kambing malang yang diusir pergi ke gurun. Seluruh dosa umat Israel
telah ditahirkan kembali, mereka menjadi “fitri”. Tidak salah menurut saya kalau kita
meminjam istilah ini dari saudara/i kita umat Islam, karena di Im. 16:29-31 umat
memang diperintahkan untuk berpuasa dan merendahkan diri.
Jenis-jenis korban (lanjutan)
• Korban harian (“tamid”): dapat dilihat di Kel. 29:38-46 dan Bil. 28:1-8.
Setiap pagi dan petang, satu ekor domba berumur setahun harus
dikorbankan sebagai olah. Korban ini bersifat tetap (“tamid”), artinya
sudah ada jadwal hariannya. Meskipun rutin, korban ini amat penting
secara religius, karena menjadi penjamin penyertaan Tuhan bagi
umatnya. Kalau ada tamid, kekudusan Tuhan berpindah ke umat.
Kalau tidak, maka umat berada dalam keadaan najis, dan itu bisa
menyebabkan kemurkaan Yang Ilahi. Bahkan tamid bisa dihubungkan
dengan penciptaan: kalau tamid tidak dilaksanakan, matahari tidak
terbit di timur dan tidak tenggelam di barat.
Spiritualisasi Korban
• Di samping melaksanakan ritual korban, di Israel kuno juga ada paham-
paham yang melengkapi ritual ini. Di Mzm. 40 dan 51, doa dan motivasi
seseorang menjadi penting sekali. Biarpun ritual korban dilakukan dengan
benar, kalau tidak ada motivasi. Tuhan tidak berkenan. Di Yes. 1:10-17, Mik.
6:6-8, Hos. 6:6 terdapat kritikan terhadap umat, yang rajin beribadah
dengan mempersembahkan korban, namun berperi laku tidak adil
terhadap sesama. Amos 5:21-27 dan Yer. 7:21-28 bahkan bersikap kritis
terhadap korban. Mungkin ada aliran ekstrim di Israel kuno, yang tidak sreg
dengan ibadah di bait suci Yerusalem, dan ingin kembali ke zaman
pengembaraan, sebelum ada ritual korban. Jadi zaman itu dianggap zaman
ideal, zaman emas. Paham ekstrim ini tidak diterima secara luas di Israel
kuno, namun telah memicu pemahaman berupa spiritualisasi korban.
Spiritualisasi Korban (lanjutan).
• Di Yes. 40-55 yang biasanya disebut “Deutero Yesaya” terdapat
perikop-perikop yang biasanya disebut sebagai “syair-syair Hamba
Tuhan” (Yes. 42:1-9; Yes. 49:1-7; Yes. 50:4-11; dan Yes. 52:13-53:12).
Dalam perspektif Perjanjian Baru (PB) Hamba Tuhan adalah Yesus,
yang menggenapi ayat-ayat ini, karena ayat-ayat ini dipahami sebagai
meramalkan Yesus. Tetapi di PL sendiri, Hamba Tuhan menunjukkan
tokoh individual atau kolektif yang rela mengorbankan dirinya untuk
kemaslahatan atau keselamatan semua. Bahkan di Yes. 53:10 sang
Hamba disebut asham. Dalam hal ini kita melihat spiritualisasi korban,
artinya dari binatang yang dikorbankan, orang berpindah kepada
manusianya, yang rela mengorbankan diri.
Spiritualisasi korban (lanjutan)
• Spiritualisasi korban ini menolong umat Yahudi menghadapi kenyataan
kehancuran bait suci Yerusalem di tahun 70M. Mereka bertahan dalam
ibadah yang menekankan perenungan Torah di sinagoge-sinagoge. Di masa
bait suci masih berdiri pun sinagoge sudah ada juga.
• Faktor lain yang mendorong spiritualisasi korban, atau mewakili
spiritualisasi korban, adalah perkembangan pemahaman mengenai makna
pengorbanan Ishak di Kej. 22, di masa pasca PL. Di tradisi-tradisi di luar PL
(di Targum-Targum Palestina), Ishak bukan nyaris dikorbankan oleh
Abraham, melainkan dikorbankan sebagai korban bakaran oleh Abraham.
Dalam tradisi ini tokoh Abraham agak terpinggirkan, sedangkan tokoh Ishak
dimuliakan dan patut diteladani. Tradisi ini disebut aqedah, yang berarti
“mengikat” (band. Kej 22:9).
Spiritualisasi Korban (lanjutan)
• Apakah di PB ada bayangan atau jejak aqedah? Menurut Daly, ada! Di Ibr. 11:17-20
disebutkan bahwa Abraham mengorbankan Ishak, bukan nyaris mengorbankan Ishak. Di
Yak. 2:21, Abraham dibenarkan karena perbuatannya, yaitu mengorbankan Ishak. Roma
8:32 bahasanya mirip Kej. 22:16 versi LXX yang menggunakan kata “paredooken”, yang
berarti “menyerahkan”. Begitu juga Gal. 1:4; 2:20; Ef. 5:2, 25; Titus 2:4 dan Tim. 2:6.
Menurut Daly, ayat-ayat ini adalah “certain references” mengenai aqedah, di samping
ayat-ayat lain yang bisa menjadi “probable references” misalnya Yoh. 3:16.
• Jadi di PB, Ishak dimaknai sebagai mati mengorbankan diri. Berbeda dengan di PL, di
mana Ishak nyaris dikorbankan, tetapi tidak mati. Mahasiswa-mahasiswa saya suka
bertanya: bagaimana kalau Ishak dikorbankan? Berarti tidak ada keturunannya dong,
padahal Ishak adalah nenek moyang Israel. Ya bukan masalah kata tradisi, karena Ishak
sudah berkeluarga ketika dia diajak bapaknya ke bukit Moria. Ishak yang mati
mengorbankan diri memang lebih cocok menjadi tipologi bagi Yesus, yang juga mati
mengorbankan diri.
Spiritualisasi Korban (lanjutan)
• Tradisi aqedah dan tradisi Hamba Tuhan, keduanya mewarnai
pemahaman gereja perdana atau PB mengenai pengorbanan Kristus.
Tetapi memang ada juga tradisi-tradisi lain yang ikut “bermain”, yaitu
tradisi domba Paskah, dan tradisi yang berada di belakang surat
Ibrani. Tetapi kita dapat menyimpulkan bahwa di PB ada benang
merah yang meneruskan pemahaman korban di PL, namun melalui
spiritualisasi korban, yang bukan baru terjadi di zaman PB, melainkan
sudah di zaman PL juga.
Kristus sebagai Korban
• Dalam episode Perjamuan Malam di ketiga Injil Sinoptik, Yesus digambarkan sebagai
korban yang rela (juga oleh Paulus di I Kor. 11:17-34, yang perumusannya diikuti oleh
gereja di mana saya menjadi anggota, yaitu GPIB). Tetapi kita perlu sadar, bahwa metafor
korban di PL tidak langsung diterapkan ke Yesus, oleh karena Yesus sendiri menggunakan
makanan sehari-hari, yaitu roti dan anggur sebagai mewakili diriNya. Tampaknya yang
dijadikan pedoman bukan ritual korban, melainkan ritual makan bersama Yahudi yang
mengenangkan Keluaran dari Mesir (namanya “Seder”), yang memang ada menyebut
mengenai domba yang dikorbankan. Di situ pun ada perbedaan penafsiran di kemudian
hari: ada yang menafsirkannya benar-benar demikian, ada yang menafsirkannya sebagai
kehadiran bersama dari Yesus dan makanan, ada pula yang melihat roti dan anggur
sebagai perlambang dari tubuh dan darah Kristus. Semua bisa diusut dari teks. Yang
penting adalah bahwa pengorbanan Kristus membawa pendamaian (atonement).
Kristus sebagai Korban (lanjutan)
• Meskipun semua menunjuk pada Yesus sebagai korban yang rela, ada perbedaan
tekanan juga: ada yang lebih mengutamakan roti yang mewakili tubuh Kristus,
sedangkan ada yang mengutamakan anggur yang mewakili darah Kristus. Paulus
di atas malah tidak menunjuk kepada anggur, melainkan kepada cawannya.
Meskipun tidak langsung lagi merujuk ke ritual korban apabila berbicara
mengenai Yesus Kristus, bahasa yang dipergunakan masih tetap bahasa korban.
Di Injil Yohanes, yang satu generasi lebih kemudian daripada ketiga Injil Sinoptik,
bahasa korban tetap kuat, bahkan di Yoh. 1:29, 35, istilah “anak domba Allah”
berasal dari teks Hamba Tuhan yang mengorbankan diri di Yes. 53, namun dalam
bahasa Aram, yaitu “talya” (Ibr: “taleh”). Talya berarti ya domba, ya Hamba!
Kristus sebagai Korban (lanjutan)
• Surat Ibrani memberi kesan meneruskan tradisi kultus PL, karena memberi
keterangan-keterangan terperinci mengenai ritual korban PL. Tetapi sebenarnya
penulis surat Ibrani menganut pandangan spiritualitas korban yang radikal: Kristus
yang adalah domba yang dikorbankan, sekaligus adalah Imam Besarnya. Maka
ritual korban, khususnya hari raya Pendamaian (Yom Kippur) sudah tidak berlaku,
bahkan seluruh bangunan agama Yahudi , termasuk imamatnya, kalah dari
imamat Yesus, yang lebih awal daripada imamat Harun (yaitu imamat
Melkisedek). Kita dapat mengatakan bahwa penulis surat Ibrani menganut paham
supersesionistik: agama Kristen telah menggantikan agama Yahudi sebagai agama
yang benar. Maka tidak mengherankan bahwa banyak orang Kristen menafsirkan
ayat-ayat mengenai korban atau pun hari raya Pendamaian dari perspektif surat
Ibrani, dan itu sering berarti berhenti membaca bagian awal kitab Imamat dan
ayat-ayat lain mengenai ritual korban! Dari sudut pemahaman masa kini
mengenai kemajemukan agama, barangkali kita bisa mencoba memahami ritual
korban PL dari teksnya sendiri, dan tidak lagi melalui surat Ibrani.
Pemahaman korban di masa pasca Alkitab
• Di masa pasca Alkitab, pemahaman orang lebih dipusatkan pada
atonement (pendamaian) daripada korban itu sendiri. Namun demikian
bahasa korban tetap dipakai, dan pembicaraan mengenai atonement dapat
dikatakan terjadi dalam kerangka tema korban.
• Ada tiga pemahaman mengenai atonement: yang pertama adalah
Satisfactio yang biasanya dihubungkan dengan Anselmus. Dosa
menyebabkan kehormatan Allah ternoda. Manusia bertanggung-jawab
untuk pemulihannya, namun manusia tidak mungkin bisa, karena berdosa.
Maka Allah sendiri turun tangan, memulihkan kehormatanNya, dengan
sendiri dengan mengutus anak Allah, yaitu Yesus Kristus, yang menanggung
dosa dunia dengan mati di kayu salib. Di Indonesia, biasanya pemahaman
pertama ini yang dianut, bahkan dianggap sebagai satu-satunya
pemahaman mengenai atonement, dan langsung “Alkitabiah”.
Pemahaman korban pasca Alkitab (lanjutan)
• Pemahaman yang kedua adalah Moral Influence atau Keteladanan, yang dihubungkan dengan
Abelardus. Kristus tidak mati dalam rangka menebus dosa manusia, melainkan dalam rangka
mewujudkan kasih Allah. Anak Allah menjadi manusia, dan sebagai guru dan teladan
manusia, Ia setia sampai mati di kayu salib. Keteladanan Yesus ini menyebabkan manusia
bertobat, dari tidak mengasihi menjadi mengasihi. Jadi perubahan tidak terjadi dalam diri
Allah, melainkan dalam diri manusia.
• Pemahaman ketiga disebut Pemahaman Klasik (atau “Christus Victor” oleh Aulen). Menurut
dia, pemahaman ini sudah lama, mendahului yang lain-lain, maka disebut klasik. Dalam
paham ini kedatangan Kristus (Inkarnasi) menjadi satu dengan Pendamaian, sebagai tindakan
Allah terhadap dunia, yang dikuasai oleh Iblis. Ada konflik antara kuasa kebaikan dan kuasa
kejahatan. Perang dimenangkan oleh Kristus yang “menipu” Iblis, yaitu dengan menjadi
lemah, mati di kayu salib. Kristus sebagai “umpan” bagi Setan sebagai “ikan” yang makan
umpan itu.
• Dalam buku “Korban dan Pendamaian”, saya memperlihatkan bahwa pola di pemahaman
kedua bisa ditelusuri dari keteladanan Ishak di PL dan Yesus di PB, dan bisa dilihat di agama
Islam dan agama Buddha serta Konghucu. Sedangkan pola di pemahaman ketiga, bisa
ditelusuri dari tema konflik Yesus dan Iblis di PB, dan bisa dilihat dalam agama lokal atau suku
di Indonesia. Kesamaan ini bisa menjadi dasar dialog antar agama.
Penutup: Korban tidak identik dengan
kambing hitam dalam PL
• Juga dalam buku “Korban dan Pendamaian” saya menyoroti pemahaman
Rene Girard mengenai agama dan kekerasan, yang menghubungkan
kekerasan dengan tema korban, dan tema korban dengan proses yang ia
namakan pengkambinghitaman. Menurut Girard semua korban sama
dengan pengkambinghitaman, kecuali proses penyaliban Yesus di Injil-Injil,
yang ia sebutkan sebagai penelanjangan ritual korban yang dianggap suci,
sebagai suatu tindakan kekerasan yang sistematis terhadap mereka yang
dikambinghitamkan. Pandangan Girard mengenai hubungan agama dan
kekerasan patut kita pertimbangkan, namun dalam penelitian saya
terhadap ritual hari raya Pendamaian di Im. 16:1-34, teori Girard tidak bisa
dipertahankan. Kambing yang dijadikan “kambing hitam”, tidak
dikorbankan, melainkan diusir pergi ke padang gurun. Juga ada masalah
dengan penerjemahan kata Azazel, seperti sudah saya perlihatkan di atas.
Pendamaian atau Perdamaian?
• Dalam buku “Korban dan Pendamaian”, saya membedakan di antara
“Pendamaian” dan “Perdamaian”. Memang repot sih, karena dalam bahasa
Indonesia, nggak ada kata “Pendamaian”. Tetapi di PB kedua makna ini
berbeda. Pendamaian adalah Hilaskomai atau Hilasmos, sedangkan
Perdamaian atau Rekonsiliasi adalah Katallage. Rasul Paulus menggunakan
kedua kata dalam makna berbeda. Namun tidak berarti kedua paham ini
tidak bisa dihubungkan. Andreas Yewangoe, teolog senior Indonesia dalam
sebuah buku yang berjudul “Pendamaian”, berhasil menghubungkan
hilaskomai dengan kattalage, dan menerjemahkan kata yang terakhir ini
sebagai rekonsiliasi. Dia kemudian berbicara mengenai rekonsiliasi
hubungan sosial-ekonomi, rekonsiliasi hubungan antar agama, bahkan
rekonsiliasi dengan alam semesta! Padahal bukunya berasal dari tahun
1982, ketika orang teologi masih cuek dengan ekologi. Maka judul buku
Yewangoe sebaiknya bukan “Pendamaian”, tetapi “Pendamaian dan
Perdamaian”.
Hubungannya dengan Idul Adha?
• Kemarin hari raya Idul Adha, ketika saudara/i kita umat Islam merayakan korban nabi Ibrahim. Tentu
tindakan nabi Ibrahim ini penuh makna, tetapi sebaiknya bukan saya yang menjelaskannya. Saya hanya
mencoba ambil bagian dalam diskusi teolog muda Wahyu Satrio Wibowo dengan teolog senior Andreas
Yewangoe yang sudah saya sebut di atas, mengenai apakah korban Yesus relevan untuk konteks Islam
di Indonesia. Maklumlah, judul disertasi Wahyu adalah Jesus as Kurban. Menurut Yewangoe, hal ini
tergantung bagaimana korban dimaknai dalam agama Islam. Seperti diketahui, dalam kisah nabi
Ibrahim, yang dikurbankan adalah putranya Ismail. Perkara siapa yang dikorbankan merupakan hal
yang sensitif di kedua agama, jadi pertanyaan Wahyu agak sulit dijawabnya. Tetapi apakah kisah
aqedah Yahudi (pengorbanan Ishak) tidak bisa menjadi dasar bersama dalam pengertian korban?
Apakah nama Ishak atau Ismail begitu menentukan? Di Surah 37:102-109 nama dari sang putra tidak
disebutkan, hanya Surah 2:125 yang menyebut nama Ismail. Kita juga telah melihat di atas bahwa
paham di PB mengenai pengorbanan Ishak berbeda dari teks PL di Kej. 22 yang mengemukakan bahwa
Ishak nyaris dikorbankan, bukan dikorbankan.
• Jadi menurut saya, perkara nama tidak perlu menjadi batu sandungan. Bagi umat Islam, sang anak
adalah Ismail, sedangkan bagi umat Yahudi dan Kristiani, sang anak adalah Ishak. Yang mempersatukan
kita adalah iman Abraham yang begitu kuat mengandalkan Allah, dan kerelaan sang anak seperti di
Surah 37 untuk menjadi korban, atau dalam surat Ibrani, kerelaan Ishak, yang dijadikan tipologi untuk
pengorbanan Kristus. Pemahaman mengenai korban Ishak di PB dan tulisan-tulisan pasca PL dapat
menjadi jembatan yang menghubungkan kisah Abraham dan Ishak menurut tradisi Kristiani dan kisah
nabi Ibrahim dan Ismail menurut tradisi Islam.

Anda mungkin juga menyukai