Anda di halaman 1dari 13

SGU : Pertemuan ke-4

1. 5. Bidaah-bidaah Abad I dan II.

Sejarah Gereja memperlihatkan dua hal penting, yakni selain keberhasilan dan
kesatuan, juga diperlihatkan sejarah konflik dan kekalahan dalam masa praksis hidup
menggereja dan teologi Gereja dipertaruhkan.

Kita sudah lihat komunitas Kristen berhadapan dengan budaya, sistim religius dan
politik, khususnya berhubungan dengan Sinagoga dan Yudaisme, selain berkonfrontasi
dengan kebijakan dan otoritas pemerintahan yang mendatangkan penganiayaan. Pada
perkembangan selanjutnya muncul sejumlah bidaah dalam gereja yang mempertentangkan
ajaran telogi gereja. Beberapa pokok ajaran dipertentangkan, didiskusikan dan bahkan
menjadi pokok kontrovesi dalam pengajaran yang memecah belah umat dalam beriman.
Berhadapan dengan kontrovesi ini, para Bapa Gereja memberikan kontribusi yang tidak kecil
dalam memberikan pokok-pkok ajaran yang memberikan pencerahan untuk beriman secara
benar dan baik.

Bidaah-bidaah yang muncul dalam perjalanan sejarah gereja Katolik memperlihatkan


dinamika yang hidup dalam upaya Gereja mempertahankan dan mempertanggungjawabkan
ajaran dan rumusan-rumusan imannya. Bidaah-bidaah yang muncul memperlihatkan bahwa
banyak orang terseret dalam alam pikirannya yang sempit, ketika ia berusaha untuk
mengandalkan daya nalarnya dan mengesampingkan daya ilahi dalam memahami misteri
Allah sehingga yang muncul adalah pemikiran yang ekstrim kiri atau kanan. Artinya,
terkadang Yang Ilahi hanya diterangkan dengan premis-premis logika dan intelektualistis.
Ataupun sebaliknya, hanya menekankan paham tentang dunia roh, yang bermuara pada
paham Yesus sebagai malaikat, merendahkan misteri tubuh, dll.

Kita lihat beberapa bidaah yang berkembang pada awal kekristenan ini. Bidaah
Gnostis dan trinitaris merupakan dua kontroversi yang muncul pada abad pertama dan kedua.
Yang pertama, Gnostik muncul karena kesulitan praktis, sedangkan yang kedua karena
kesulitan menjelaskan dan memahami misteri Trinitaris. Tetapi keduanya tetap bersifat
dualistis.

1.5.1. Gnostisisme

Gnotisisme (bhs Yunani, gnosis berarti, pengetahuan), merupakan sistim kepercayaan


dalam mana keselamatan bergantung sepenuhnya pada pengetahuan khusus, atau
pencerahan batin tentang Allah yang membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan
kejahatan yang merupakan ciri tata ciptaan. Asal usul ajaran ini tidak diketahui pasti, tapi
perkembangannya sudah ada pada awal kekristenan.

Perkembangan berpuncak antara tahun 130 – 180 Masehi yang berpusat di


Aleksandria, Antiokhia dan Roma. Diyakini bahwa ajaran ini bermula dari Simon Magus,
peyihir Samaria yang disinggung dalam Kis, 8:9.

“Seorang bernama Simon telah sejak dahulu melakukan sihir di kota itu dan
mentakjubkan rakyat Samaria, serta berlagak seolah-olah ia seorang yang sangat
penting. Semua orang, besar kecil, mengikuti dia dan berkata: “Orang ini adalah
kuasa Allah yang terkenal sebagai Kuasa besar”.
Dan juga namanya muncul dalam tulisan St. Yustinus Martir yang menulis bahwa Simon
telah menyusun sistim pengajaran yang terperinci yang memasukkan Kristus ke dalam
kerangka agama helenistik. Murid dari Simon yang cukup berpengaruh adalah Valentinus
(dan tokoh-tokoh lainnya: Basilides, Isidorus, Tolomeus, Erakleone, Florinus, Bardesane,
Teodotus, Markus dan Karpokrates). Ia berasal dari Aleksandria yang menjadi seorang
pemikir besar gnostik yang sangat pandai meracik pemikiran-pemikiran spekulatifnya dengan
cerita-cerita biblis serta ajaran-ajaran filsafat Plato guna menciptakan sistim keselamatan
yang komprehensif.

Ajaran ini berciri khusus yakni menjadikan kerangka pemikiran filososfis sebagai
ganti agama Kristen, sehingga diharapkan lahir agama filsafat murni, entah pemikiran agama
menjadi misteri iman, entah iman harus dapat dijelaskan dengan akal sehat. Aliran ini
berusaha mengawinkan pola pemikiran filsafat Barat dan agama ketimuran. Masalah
fundamental yang diajarkan adalah upaya menjelaskan asal usul dunia dan kejahatan di
dalam dunia dan di dalam diri manusia. Artinya ciri dasariah ajaran ini adalah dualisme
(kerajaan terang yang berasal dari Allah, yang melawan kerajaan gelap yang berasal dari
materi). Mereka mengajarkan bahwa Allah adalah misteri tiga dimensi darinya beremanasi
sekitar 30 tatanan atau Aeon dari dunia surgawi. Berbagai aeon itu mewakili gelar-gelar
ilahi dalam bentuk laki-laki dan perempuan. Yang terakhir adalah figur ibu, Sophia
(kebijaksanaan) Allah Sang Leluhur, dan pelbagai Aeon ini termasuk Sophia membentuk
universum spiritual yang disebut sebagai Kepenuhan (Pleroma). Menurut Valentinus, pada
titik tertentu di masa lampau, Sophia dirasuki hasrat luar biasa untuk memahami misteri
Allah Sang Leluhur. Hal ini mengacaukan Pleroma-kepenuhan. Hasilnya lahirlah setengah
dewa yang tidak tahu tentang universum spiritual(pleroma) itu.

Tapi Sophia ibunya, menghembuskan juga roh ke dalam mereka. Dalam situasi kacau
itu, datanglah Kristus, sebagai Aeon lain mengembalikkan mereka ke tatanan surgawi. Kristus
turun ke dunia materiil itu guna menyelamatkan mereka yang akan menerima pengetahuan
sempurna dari-Nya. Mereka yang mengikuti ajaranNya dari keterpenjaraan ciptaan materiil
itu, ketika mereka naik malalui tatanan surgawi menuju keselamatan. Dengan itu mereka
menebarkan ajaran bahwa keselamatan yang menjanjikan pembebasan dari penderitaan dan
penjara jasmani materiil atau pembebasan dari penderitaan dan penjara eksistensi jasmani
materiil. Dengan itu mereka mendapat simpatik kaum perempuan karena mengusung janji
untuk mengubah ekstensi gender dengan mengangkat kaum perempuan ke status spiritual
yang lebih tinggi seperti kaum laki-laki.

Inti pokok ajaran mereka adalah:

 Dunia fisik dianggp sebagai tempat yang tidak cocok bagi manusia.
 Gagasan tentang dosa diambil dari pengertian Yahudi-Kristen.
 Gnosis merupakan jalan keluar satu-satunya dari keadaan aktual.
 Moral diganti dengan pratik religius-magis.

Hal-hal ini membuat gnosis langsung bertentangan dengan imam Kristen:

1. menyangkal misteri inkarnasi (materi itu jahat dan Kristus hanya seakan-akan
memiliki kodrat materiil seperti kita),
2. Kematian Yesus (sebab keselamatan diperoleh melalui keutamaam gnostik dan bukan
melalui korban Kristus di bukit Kalvari),
3. Kebangkitan (tak dapat ditolerir tentang jiwa yang bertubuh - tubuh adalah penjara
yang mengyengsarakan),
4. Panggilan universal (gnostik itu terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam)
5. Etika.

1.5.2. Manikheisme

Pendirinya adalah Mani, yang lahir tahun 216 di Babilon. Ibunya seorang Persia,
ayahnya seorang anggota Elkesait, sebuah kelompok baptis yang membaurkan ajaran Kristen
dan Persia. Pada usia 24 tahun ia mendapat penglihatan. Dan dari aneka penglihatan
selanjutnya, ia diyakinkan sebagai Meterai Para Nabi yang dipanggil untuk mempersatukan
semua agama di bumi ini. Mani menyebut dirinya sebagai pengganti Zoroaster, Budha dan
Yesus. Ajarannya merupakan rekompilasi dari pokok ajaran ketiga tokoh ini, dan ia mau
meletakan satu ajaran agama yang baru. Ia adalah seorang misionaris yang sangat efektif,
bahkan ia pergi sampai ke India. Ajarannya sangat tersebar luas, ke Timur hingga Cina – ke
Barat hingga Afrika, Spanyol, Italia. Bahkan dikatakan bahwa Agustinus pernah menjadi
salah seorang penganut untuk beberapa saat (373-383).

Ajarannya sangat dualistis atas struktur dunia, yang meyakinkan bahwa dunia yang
ada sekarang adalah konflik antara prinsip terang dan gelap. Kedua prinsip ini bertentangan,
dan menyata dalam semua hal materiil. Kejahatan bersifat abadi, sehingga keselamatan hanya
dapat datang melalui pemisahan total darinya.

Tujuan yang hendak dicapai adalah:

1. Mendirikan suatu agama baru, di mana semua agama yang lain harus mendasarkan
diri pada agama Mani.
2. Tidak pernah ada alkitab, tidak pernah ada buku yang diwahyukan selain buku-buku
yang telah ditulis Mani sendiri.

Inti pokok ajarannya adalah: kelahiran jiwa dalam dunia nan terang; jiwa-jiwa
suatu saat terperosok dalam tahanan tubuh (dunia materiil) dan jiwa dapat terangkat kembali
de dunia aslinya hanya dengan perantaraan gnosis. Manikisme mendesak agar: setiap
pengikutnya menjaga moralitasnya. Menyangkal kekayaan, karya pekerjaan, istrahat –
relaksasi, perang, berburu, berdagang dan bertani. Mereka harus meperlihatkan kerajinan
yang menyebarkan pengetahuan keselamatan.

Dua jenis keanggotaan Gereja: mereka yang disebut Pendengar dan Katari. Para
Pendengar dapat hidup dari bertani, beternak. Tapi mereka membatasi diri pada pelaksanaan
10 perintah manikheis: misalkan: berhala, dusta, magi, pencurian, percabulan, pembunuhan.
Sedangkan Katari: berarti orang-orang terpilih, mempunyai ciri-ciri: berkaitan dengan
mulut: tidak menghujat, menjauhkan diri dari pembicaraan bertele-tele, bersilat lidah,
makanan tidak sehat; berkaitan dengan tangan: tidak boleh menyentuh benda dari kerajaan
kegelapan, misalkan senjata, tidak membunuh binatang dan merusak tanaman, menjauhkan
diri dari kerja tangan. Berkaitan dengan hati, pantang hubungan seks, wajib berdoa untuk
kelompok pendengar supaya mereka dapat berinkarnasi dalam jiwa katari.
1.5.3 Montanisme

Montanisme merupakan gerakan kharismatik dan apokaliptis. Muncul pada


pertengahan abad ke 2. Pelopornya bernama Montanus, seorang imam. Ia mengklaim
diilhami Roh Kudus. Ia menganggap diri sebagai organ Paracletos, yang dijanjikan Yesus
untuk membaharui Gereja, sambil memaklumkan berakhirnya dunia dan perlunya
mempersiapakan diri bagi akhir zaman dengan pratik moral yang murni. Menurut mereka
penghibur menuntut perilaku yang suci. Misalnya: perkawinan dianggap bernilai rendah,
tidak menyangkal iman dan kemartiran, atau mati shahid merupakan keuntungan, berpuasa
ketat, dll.

Banyak Uskup menolak ajaran sesat ini, karena, pertama: Allah tak memberikan
pernyataan baru lagi lebih tinggi dari Alkitab. Kedua, dengan mengasingkan diri dan
menantikan Tuhan membuat orang lupa akan tugasnya di dunia ini. Dan ketiga, umat Allah
bukan umat yang sempurna, tapi berdosa karenanya membutuhkan rahmat.

Ada tiga senjata yang digunakan Gereja untuk melawan ajara-ajaran sesat ini,
yakni:

 Pertama, ditetapkannya kanon Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru;
 Kedua, adanya Pengakuan Iman Gereja yang sah; dan
 Ketiga, adanya jabatan uskup sebagai pengganti para Rasul dan Gembala Kebenaran.

1. Menyangkut Kanon Kitab Suci, Gereja menetapkan manakah yang menurut ajarannya
yang benar. Tahun 150 M, keempat Injil diakui “kanonik”, Kisah Para rasul, Surat-
surat Paulus dan Wahyu Yohanes saja dianggap sah; dan tahun 380 ditetapkan
“kanonik” seluruh Perjanjian Baru.
2. Kedua, menyangkut Pengakuan Iman. Gereja mengadakan ringkasan iman sebagai
pedoman bagi umat. Pengakuan iman yang tertua adalah “Yesus adalah Tuhan (1Kor
12, 3). Allah adalah pencipta langit dan bumi. Semua ini menyebar dan membantu
umat dalam mengahadapi ancaman ajaran sesat.
3. Ketiga, menyangkut pewarisan jabatan para Rasul. Jabatan para Rasul dilanjutkan
oleh para Uskup sebagai pengganti para Rasul. Pergantian yang sah menjamin
penyerahan kebenaran Injil yang awalnya dimiliki para Rasul, akhiranya dilanjutkan
terus menerus dalam Gereja sepanjang masa, dalam bentuk tahbisan para uskup.
Uskup dianggp berhak dan berkuasa menjelaskan Kitab Suci secara benar kepada
jemaat. Semboyan yang terkenal: “berpeganglah pada uskupmu karena dialah yang
mengetahui kebenaran”. Pandangan ini memang sering dikecam karena
menomorduakan Kristus sebagai sumber kebenaran.

1.6. Para Apologet Pembelaan dari pihak Kristen.

Para pembela Kristen yang terpelajar dan umumnya terdidik dalam filsafat Yunani mulai
membela agama Kristen dan menjelaskan ajaran gereja dalam konteks filsafat Yunani. Sebagai
bentuk literaris, para apologet1 biasanya mempergunakan bentuk “pidato pembelaan” di depan
pengadiln atau bentuk “dialog” – dua bentuk literaris yang sangat biasa pada saat itu. Apologet
pertama adalah Quadratus, selain itu Aristides, (120 SM) terjemahan apologinya dalam bahasa
Siria. Selain itu, ada Titian, Athenagoras, Melito dari Sardes, Miltiades dan Apolinaris dari
Hierapolis.

1.6.1. St. Yustinus : Filsuf dan Martir, Bapa Apologet abad ke-2.

Istilah ”apologet” dipakai untuk pengarang-pengarang Kristiani kuno yang berusaha


membela agama baru itu terhadap tuduhan-tuduhan berat, baik dari pihak orang tak beriman
(kafir), maupun dari pihak orang Yahudi serta menyebarkan pengajaran Kristiani dengan
memakai kata-kata yang sesuai untuk peradaban zaman mereka.

Jadi para apologet mengutamakan dua hal, yang paling tepat dinamakan ”apologetik”,
yaitu membela Kristianitas yang masih baru (apologia = Yun, pembelaan) dan hal perutusan,
”misioner”, yaitu menerangkan isi iman dengan bahasa dan pengertian-pengertian yang dapat
dimengerti orang-orang zaman itu.

Yustinus lahir kurang lebih tahun 100, dekat dengan kota Sikhem Kuno di Samaria, di
Tanah Suci – Palestina, sebagai putra dari sebuah keluarga Yunani dan kemudian mengajar di
Roma, lalu meninggal sebagai martir kira-kira tahun 165 SM.

Menuju Gerbang Cahaya:

Sejak masa mudanya ia sangat suka akan filsafat. Ia berusaha mencari kebenaran dan
kebijaksanaan yang bisa menghantar manusia kepada Allah. Dalam rangka pencaharian itu, ia
berpindah dari sekolah filsafat yang satu kepada sekolah filsafat yang lain dan akhirnya tiba di
ambang iman Kristen. Seperti yang diceriterakan sendiri dalam bab-bab pertama “Dialog
dengan Tryphon”, seorang tokoh misterius, seorang kakek, yang dijumpainya di pantai laut,
mula-mula membuatnya berkecil hati dengan menunjukkan kepadanya bahwa tidak mungkin
seorang manusia memuaskan hasratnya akan hal ilahi hanya dengan mengandalkan kekuatannya
sendiri. Kemudian kakek itu menunjukkan kepadanya bahwa nabi-nabi zaman dahulu adalah
orang-orang yang harus didatangi untuk menemukan jalan kepada Allah serta ”filsafat yang
sejati”. Ketika akan pergi, kakek itu menganjurkannya supaya berdoa, agar gerbang-gerbang
cahaya dibukakan baginya.

Ia menceriterakan perjalanan filosofisnya; pertama-tama ia belajar pada seorang filsuf


Stoa, selanjutnya pada seorang Peripatetik, namun segera ia meninggalkannya dan pindah kepada
seorang filsuf dari sekolah Plato; dengan harapan akan memungkinkan dia “melihat Allah secara
langsung”.

Ceritera ini mencerminkan suatu peristiwa yang menentukan dalam kehidupan Yustinus:
Pada akhir suatu pengembaraan filosofis panjang untuk mencari kebenaran, dia akhirnya
menemukan iman Kristiani. Di Roma didirikannya suatu sekolah gratis di mana para siswa

1
Apologet – Para Apologet: adalah nama yang diberikan kepada St.Yustinus Martir (100-165), St.
Theofilus dari Antiokhia (akhir abad ke 2), Athenagoras (yang pada 177 mengemukakan apologinya kepada
Kaisar Markus Aurelius), Tatianus (wafat 160) dan para penulis Kristiani yang lain, yang membela iman mereka
terhadap sangkalan-sangkalan yang datang dari orang-orang Yahudi dan kafir. Ada beberapa, sebagai penulis
Kristiani pertama, menggunakan filsaft dengan baik, misalnya Yustinus, yang lain seperti Tatianus, tidak
menyukai filsafat Yunani. Ibid., 32-33.
diperkenalkan dengan agama baru ini, yang dipandang sebagai filsafat sejati, karena memang di
situ telah ditemukannya kebenaran, dan karena itu juga seni hidup dalam kebajikan.

Selanjutnya ia memencilkan diri dan tinggal menyendiri. Suatu ketika ia berjalan di


pantai laut sedang memikirkan kemungkinan melihat Allah, pada kesempatan itu dia bertemu
dengan seorang nenek yang membebaskannya dari ilusinya. Nenek itu menunjukkan kepadanya,
bahwa jiwa manusiawi tidak bisa mencapai Allah dengan daya upayanya sendiri. Hanya gama
Kristen yang didirikan oleh Logos2 sendiri merupakan filsafat yang benar, yang bisa
menyempurnakan segala bagian kebenaran yang terdapat dalam filsafat-filsafaat lain. Yustinus
kemuadian dibaptis menjadi penganut Kristus Yesus, namun dia tetap tinggal sebagai seorang
filsuf, yang mendapat filsafat satu-satunya yang benar dalam agama Kristen. Setelah
perjalanannya melalui pelbagai sekolah filsafat, maka ia adalah orang yang tepat sekali untuk
tugas berat membela agama Kristen terhadap serangan filsafat Yunani. Ia membuka sebuah
sekolah filsafat Kristen di Roma, dan mengajar filsafat Kristus di sana. Ia lebih terkenal dari
seorang filsuf yang bernama Krescens, yang kemudian mengadukannya dan ia dihukum mati
bersama enam muridnya. Kira-kira tahun 165 ia menjadi martir. Ia yang mau meyakinkan orang-
orang Yahudi dan kafir dengan membuktikan bahaw iman Kristen merupakan kebenran satu-
satunya, akhirnya menyaksikan iman itu dengan darahnya sendiri.

Ia rupanya menulis cukup banyak namun kita hanya mengenal tiga buku: “Apologi” dan
satu buku yang berjudul “Dialog dengan orang Yahudi Tryphon”. Dalam ajarannya Yustinus
mau membuktikan bahwa agama Kristen tidak merusakkan filsafat (seperti dianggap Kelsos),
tetapi meyempurnakannya. Untuk itu, ia mengembangkan ajarannya tentang “logoi
spermatikoi”, berdasarkan ajaran tentang “logos” dalam filsafat Yunani dan Injil Yohanes.
Menurutnya, kita dapat mengenal Allah semesta alam hanya melalui Sabda-Nya, melalui logos.
Dialah jembatan antara Bapa dengan dunia. Melalui Dia, Allah menciptakan dunia, bertindak
dalam dunia dan menerangi semua orang yang mencari Allah dengan hati ikhlas. Setiap
kebenaran yang diketahui oleh filsuf-filsuf dan sastrawan-sastrawan kafir adalah cahaya dari
terang logos, adalah satu bagian kecil dari logos (logos spermatikos). Maka pada setiap filsafat
ada sebagian dari kebenaran logos; namun dalam agama Kristen ada kepenuhan kebenaran
karena logos, hikmat, Sabda Allah sendiri, tinggal di dalam umat Kristen dan menerangi mereka,
supaya dengan itu mereka dapat mengenal Allah menurut hakekatnya.

Dari antara karya-karyanya, hanya ada dua, Apologia dan Dialog dengan Tryphon
si orang Ibrani, yang masih ada. Di atas segala-galanyanya, Yustinus berusaha untuk
menerangkan rencana ilahi, penciptaan dan penyelamatan, yang dilaksanakan dalam Yesus
Kristus. Logos berarti Sabda kekal, Akal budi kekal, Akal budi pencipta.

Setiap orang, sebagai makhluk yang berakal budi, mendapat bagian dalam Logos. Ia
membawa suatu ”benih Logos” di dalam dirinya, dan dapat menangkap percikan-percikan dari
kebenaran. Dengan demikian, Logos yang sama, yang telah mewahyukan diri kepada orang-

2
Logos – (Yun. ‘sabda, pesan, wacana). Dalam filsafat Yunani, logos adalah sebab yang merasuki dan
menguasai kosmos. Tulisan-tulisan kebijaksanaan PL berbicara mengenai Logos sebagai kebijaksanaan, yang
dinyatakan oleh Allah dengan menciptakan dunia, yang dipribadikan (Ams 8:1-36; Keb 7:22-30: 9:1-2). Philo,
ahli filsafat Yahudi (20 SM-50M), mengaitkan filsafat Yunani dengan tulisan-tulisan kebijksanaan PL untuk
menjelaskan Logos sebagai rencana ilahi yang berkarya dalam ciptaan. Dalam pemikiran Yohanes, Logos
adalah Sabda Ilahi yang preeksistens. Dalam Dia segala sesuatu diciptakan dan Ia menjadi daging dan tinggal di
antara kita (Yoh 1:1-14; 1 Yoh 1:1-2; Why 19:11-16). Ciri “verbal” gelar kristologis ini menunjukkan
bagaimana perwahyuan Allah mencapai puncaknya dengan penjelmaan Logos menjadi daging dalam sejarah.
Sesudah Nicea, gelar “Logos” dan “Putra Allah” digunakan untuk menyebut pribadi kedua Tritunggal. Ibid.,
182.
orang Ibrani dengan gambaran tokoh nabi dan Hukum lama, menyatakan diri juga, sebagian,
dalam filsafat Yunani seperti dalam ”benih-benih kebenaran”.

Pada zaman sekarang, demikian kesimpulan Yustinus, karena Kristianitas adalah


pernyataan pribadi dari Logos secara keseluruhan dalam sejarah, dapat disimpulkan bahwa
”segala sesuatu yang benar yang pernah dikatakan oleh siapapun juga adalah milik kita, orang-
orang Kristiani”.

Dengan cara ini, meskipun Yustinus memperdebatkan kontradiksi-kontradiksi filsafat


Yunani, dengan tegas ia mengarahkan setiap kebenaran filosofis kepada Logos dengan
memberikan alasan-alasan untuk ”hak luar biasa” agama Kristiani atas kebenaran dan
universalitas. Perjanjian Lama mengarah kepada Kristus, sama seperti lambang menuntun kepada
kebenaran yang dilambangkan, dan Filsafat Yunani sudah memandang kepada Kristus serta Injil,
sama seperti suatu bagian condong mempersatukan diri dengan keseluruhan.

Dan dia mengatakan bahwa kedua kenyataan ini, Perjanjian Lama dan Filsafat Yunani,
adalah dua jalan yang mengantar kepada Kristus, sang Logos. Itulah sebabnya filsafat Yunani
tak dapat dipertentangkan dengan kebenaran Injil, dan orang-orang Kristiani dapat menimba dari
padanya dengan kepercayaan seperti dari milik mereka sendiri.

Memilih Kebenaran.

Secara keseluruhan, tokoh dan karya Yustinus menandai pilihan tegas Gereja awali untuk
filsafat, untuk akal budi, bukan sebagai agama yang dianut orang-orang kafir. Memang umat
Kristiani awal menolak dengan berani setiap kompromi dengan kekafiran. Mereka
memandangnya sebagai penyembahan berhala, walaupun dengan alasan itu mereka dituduh
sebagai ”tak beriman” dan ”ateis”.

Secara khusus dan lebih-lebih dalam Aplogia-nya yang pertama, Yustinus mengkritik
dengan keras agama kafir serta mitos-mitosnya, yang ia pandang sebagai kesesatan dari jalan
kebenaran.

Sebaliknya, filsafat merupakan bidang yang menguntungkan, di mana kekafiran,


Yudaisme dan Kristianitas dapat bertemu, khusunya dalam hal mengkritik agama kafir serta
mitos-mitos yang palsu. ”Filsafat kami...”, dengan kata inilah seorang apologet lain, Uskup
Melito dari Sardis, yang sezaman dengan Yustinus mendefinisikan agama baru itu dengan cara
yang seeksplisit mungkin.

Dalam kenyataannya, agama kafir tidak mengikuti Logos, tetapi berpegang pada mitos,
walaupun filsafat Yunani mengakui bahwa mitologi sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran.
Maka dari itu, kemunduran agama kafir tak terelakan. Itulah akibat logis dari pemisahan antara
kebenaran yang nyata dan agama, yang hanya merupakan kumpulan upacara, kebiasaan dan adat-
istiadat buatan sendiri.

Yustinus dan juga para apologet lainnya yang bersama dia menegaskan dengan teguh
pendirian yang ditentukan iman Kristiani untuk berpihak pada Allah para filsuf, melawan allah-
allah palsu agama kafir.
Itu berarti memilih kebenaran melawan mitos-mitos tradisional. Beberapa puluh tahun
sesudah Yustinus, pilihan Kristiani yang sama dirumuskan oleh Tertullianus dengan suatu
kalimat singkat padat yang sekarang pun masih berlaku penuh: Dominus noster Jesus Christus
veritatem se, non consuetudinem cognominavit – Kristus telah menegaskan bahwa Dia adalah
kebenaran, bukan kebiasaan.

Pada zaman kita seperti ini yang banyak diwarnai semangat relativisme ketika berbicara
tentang nilai-nilai dan agama, nasehat kakek yang bertemu Yustinus Filsuf di pantai laut,
”Berdoalah semoga di atas segala-galanya gerbang cahaya dibukakan bagimu; sebab hal-
hal ini tak dapat ditangkap atau dimengerti oleh seorangpun, selain mereka yang oleh
Allah serta Kristus telah diberi anugerah untuk mengertinya”.

Inilah secara singkat ajaran filsafat Santu Yustinus tentang hubungan filsafat Yunani
dengan agama Kristen. Dengan ini Yustinus membuka pintu bagi agama Kristen untuk suatu
pembicaraan yang lebih dalam dengan kebudayaan Hellenisme. Dalam tulisan-tulisan Yustinus
kita mendapat berita berharga tentang liturgi, terutama perihal permandian, ekaristi, dalam abad
kedua.

Dari para apologet, kita belajar tentang keberanian untuk membela iman kita. Ketika
iman Kristen diserang dengan hebat, mereka tidak segan-segan membela iman itu terhadap
kaiser-kaiser Romawi – beberapa apologi ditujukan langsung kepada Kaiser – dan terhadap
seluruh kebudayaan Romawi. Untuk itu mereka mencoba menjelaskan ajaran Kristen dengan
filsafat Hellenisme.

1.6.2. Ireneus dari Lyon : menekankan successio apostolica.

Pada tahun 177 SM, umat Kristen di Lyon (kira-kira 1000 orang) mengalami pengejaran,
termasuk uskupnya yang berusia 90 tahun dan dibunuh. Pengganti uskup itu adalah seorang
imam bernama Ireneus – yang kelak menjadi teolog terbaik di abad kedua. Ia adalah orang Asia,
berasal dari Frigia, tempat ia masih bergaul dengan uskup Polycarpus (Uskup di Smirna, +
155/156) seorang murid St. Yohanes. Dengan demikian, Ireneus mempunyai hubungan baik
dengan zaman para rasul, dan dia sangat menghargai ajaran para rasul; satu hal yang sangat
penting untuk perjuangnnya melawan gnosis. Baginya, “traditio apostolica” adalah sesuatu
yang hidup, adalah pengalaman pribadi. Dia masih ingat baik St.Polycarpus dan ceriteranya
tentang St.Yohanes dan ajarannya. Kesaksian St.Yohanes tentang “apa yang telah ada sejak
semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami
saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami”, seperti yang kita baca dalam surat
pertama St.Yohanes, masih didengar oleh Ireneus dari mulut murid Yohanes sendiri. Dan ia
menulis ajaran itu ke dalam hatinya. Ia sangat menghormati dan menghargai ajaran dan kesaksian
para rasul dan pengganti-penggantinya, sebab itu dia menolak dengan gigih ajaran-ajaran baru
yang dikemuukakan oleh gnosis.

Ia dilahirkan kira-kira pada tahun 140. Tidak diketahui alasan mengapa ia tinggalkan Asia
Kecil. Rupanya ia singgah di Roma, karena dia mengenal situasi di Roma dengan baik. Akhirnya
ia tiba di Lyon – tempat ia ditahbiskan menjadi imam. Ketika umat Lyon ditimpa pengejaran, ia
berada di Roma sebagai utusan dari Lyon; dan ia kemudian dipilih sebagai uskup ketika uskup
tua telah meninggal.

Sebagai uskup di Lyon, Ireneus bekerja terutama dalam dua bidang: dengan rajin ia
mewartakan injil kepada orang Galilea, khususnya di pedusunan; di pihak lain, ia menulis
banyak untuk membela kemurnian iman katolik terhadap bidaah gnosis. Ia meninggal pada
permulaan abad ketiga. Oleh Hieronimus, ia digelari Martir, namun ia tidak memberitahukan
kapan ia dibunuh dan bagaimana cara kematiannya.

Ireneus dididik dengan baik dalam filsafat/kebudayaan Hellenisme, tetapi pada umumnya
ia memakai pikiran para filsuf kafir dengan hati-hati, karena ia memandang filsafat ini sebagai
dasar gnosis yang ditolaknya. Yang penting dan berharga dalam matanya hanya pengetahuan
yang ditimbanya dari kitab suci dan tradisi gereja. Ia juga mempelajari buku-buku gnosis dengan
baik dan dapat menentang mereka dan menyingkapkan kelemahan serta kesalahan mereka. Dari
buku-bukunya, kita hanya mengenal dua buah, yang satu berjudul : “Melawan bidaah-bidaah”
(Adversus hereses), dan yang lainnya : “Penjelasan Pewartaan Apostolik” (Epideixis tou
apostolikou kerygmatos).

Ireneus menyangkal otoritas guru-guru dan pemimpin umat gnosis. Mereka tidak
mengajar kebenaran yang diwariskan di dalam gereja sejak permulaan, melainkan ciptaan
pikiran-pikiran mereka sendiri. Dan terhadap mereka, ia menekankan “successio apostolica”
sebagai otoritas satu-satunya, dan tradisi gereja sebagai kebenaran yang bisa menyelamatkan
manusia.

Terhadap ajaran Marcion, ia menekankan kesatuan rencana penyelamatan Allah. Langkah demi
langkah Allah yang satu dan sama membebaskan umat manusia dari kekuasaan dosa dan maut.
Dalam diri Kristus Allah memenuhi dan menyempurnakan penyelamatan yang sudah dimulaiNya
dalam perjanjian lama.

Ireneus adalah pribadi yang simpatik, ia tidak pernah mau menyinggung atau
menaklukkan lawannya, tetapi ia selalu berusha untuk merebut hati lawannya dan menariknya
kembali kepada iman yang benar. Dengan teguh ia menolak bidaah, tetapi dengan penuh cinta
kasih dia mencoba mengambil hati orang yang berbidaah dan memulangkannya kepada gereja,
bundanya.

Menunjukkan Salahnya Bidaah.

Di atas segala-galanya, Ireneus adalah seorang tokoh iman dan seorang gembala. Sebagai
gembala yang baik, ia mempunyai kebijaksanaan, kekayaan pengajaran dan juga semangat
misioner. Sebagai pengarang, tujuannya rangkap: membela pengajaran yang benar terhadap
serangan-serangan para bidaah dan menguraikan kebenaran iman dengan jelas.

Dua karyanya yang masih sesuai dengan tujuan rangkap itu adalah lima buku The
Detection and overthrow of the False Gnosis (Penemuan dan Penghancuran Gnosis yang palsu)
dan Demonstration of the Apostolic Teaching (Uraian tentang Ajaran para Rasul) yang dapat
dipandang sebagai “Katekismus Pengajaran Kristiani” tertua.

Gereja abad kedua terancam oleh apa yang dinamakan Gnosis, suatu pengajaran yang
mengatakan iman yang diajarkan oleh Gereja hanya simbolis saja, untuk kebutuhan orang-orang
sederhana yang tidak mampu menangkap hal-hal sulit. Sementara itu para anggota mereka, para
intelektual – mereka sering disebut Gnostic - mengklaim diri mengerti apa yang ada di balik
simbol-simbol itu. Dengan demikian mereka membentuk suatu Kristianitas yang bergaya elit dan
intelektualis. Kristianitas intelektualis ini makin lama makin terpecah-belah menjadi beberapa
aliran dengan pandangan yang sering aneh dan berlebihan, tapi menarik juga bagi banyak orang.
Dualisme adalah prinsip umum dari aliran ini. Oleh dualisme itu, iman akan Allah yang
satu, Bapa semua orang, Pencipta dan Penyelamat dunia dan manusia, disangkal. Untuk
menerangkan adanya hal-hal jahat di dunia, mereka mengakui adanya suatu prinsip negatif di
samping Allah yang baik. Prinsip negatif itulah yang diandaikan telah membuat barang-barang
jasmani, materi.

Dengan berakar kuat dalam pengajaran Kitab Suci tentang penciptaan, Ireneus
membuktikan salahnya dualisme serta pesimisme Gnostic yang menurunkan nilai kenyataan-
kenyataan jasmani. Ia menetapkan dengan tidak ragu-ragu kesucian barang-barang jasmani,
daging, tak kurang daripada roh. Tetapi karyanya meliputi jauh lebih banyak daripada hanya
menunjukkan salahnya bidaah. Malah dapat dikatakan bahwa ia tampil sebagai teolog besar
pertama Gereja, dialah pencipta teologi sistematis. Dia sendiri memang berbicara tentang
sistem teologi yaitu kaitan logis seluruh iman. Pokok pengajarannya ialah tentang syahadat
dan cara meneruskannya.

Bagi Ireneus, “syahadat iman” secara praktis sama dengan Syahadat para Rasul, dan
itulah yang memberi kita kunci untuk menafsirkan Injil, untuk menafsirkan Syahadat dalam
terang Injil. Syahadat para Rasul, yang merupakan semacam sintesis dari Injil, menolong kita
untuk mengerti apakah yang mau dikatakan, dan bagaimana kita harus membaca Injil sendiri.

Keunggulan Apostolik Gereja.

Dalam kenyataannya, Injil yang diwartakan Ireneus adalah Ijil yang telah ia terima dari
Polycarpus, Uskup Smyrna, dan Injil Polycarpus berasal dari Rasul Yohanes (Polycarpus adalah
murid Rasul Yohanes).

Maka pengajaran yang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang ditemukan oleh kaum
intelek serta melampaui iman Gereja yang sederhana. Iman yang sesungguhnya adalah apa yang
diajarkan oleh para Uskup, yang telah menerimanya melalui suatu rentetan tak terputus mulai
dari para Rasul. Mereka tidak pernah mengajarkan sesuatu selain iman sederhana ini, yang
sekaligus merupakan kedalaman sejati dari wahyu ilahi. Maka kata Ireneus, tidak ada pengajaran
rahasia di belakang Syahadat Gereja yang umum. Tidak ada Kristianitas yang lebih unggul untuk
kaum intelek.

Iman yang diakui Gereja secara publik adalah iman yang umum bagi semua orang. Hanya
iman itulah yang apostolik, yang berasal dari para Rasul, berarti dari Yesus dan dari Allah. Untuk
menganut iman yang secara publik diteruskan oleh para Rasul kepada pengganti-pengganti
mereka itu, umat Kristiani harus mematuhi apa yang dikatakan oleh para Uskup dan harus
memberi perhatian khusus pada pengajaran Gereja Roma, yang sangat unggul dan amat kuno.
Oleh kekunoan itu, Gereja mempunyai sifat apostolik tertinggi; dan memang Gereja itu berasal
dari sokoguru-sokoguru Kolegium Apostolik, yaitu Petrus dan Paulus.

Semua Gereja harus selaras dengan Gereja Roma, dan mengakui di dalamnya dimensi
Tradisi para Rasul yang sungguh merupakan satu-satunya dimensi iman Gereja yang umum.
Dengan alasan-alasan yang sudah disebut secara singkat di atas, Ireneus menyatakan bahwa
dasar-dasar yang dipakai sebagai alasan oleh para intelektual gnostik itu salah.

Mereka tak mempunyai suatu kebenaran apa pun yang lebih luhur daripada kebenaran
iman biasa, sebab apa yang mereka katakan tidak berasal dari dari para Rasul, tetapi merupakan
penemuan mereka sendiri. Kedua, kasih karunia dan keselamatan bukanlah hak istimewa serta
monopoli beberapa orang saja, tetapi tersedia bagi semua orang berkat pewartaan para pengganti
Rasul-rasul, dan khususnya Uskup Roma.

Ada tiga pokok yang ingin dijelaskan Ireneus berkaitan dengan pandangan asli dari
Tradisi para Rasul, yakni:

Pertama: Tradisi para Rasul adalah “publik”, bukan pribadi atau rahasia. Bagi Ireneus,
tak ada kesangsian sedikit pun bahwa intisari iman yang diteruskan oleh Gereja adalah apa yang
telah diterima dari para Rasul dan dari Yesus Putra Allah. Tidak ada pengajaran apa pun selain
ini. Maka dari itu, kalau orang mau mengetahui pengajaran yang benar, cukuplah mengenal
“Tradisi yang datang dari para Rasul dan iman yang telah diwartakan kepada manusia”: yaitu
tradisi dan iman “yang telah sampai kepada kita melalui suksesi para Uskup” (Adversus
Haereses, 3,3,3-4). Karena itu suksesi para Uskup, yaitu prinsip personal, sesuai dengan Tradisi
para Rasul, yaitu prinsip doktrinal.

Kedua: Tradisi para Rasul adalah “unik”. Sedangkan dalam kenyataannya, Gnostisisme
terbagi dalam banyak sekte. Tradisi Gereja adalah unik dalam isi pokoknya. Justru itulah yang
oleh Ireneus disebut regula fidei atau regula veritatis : dan dengan demikian, karena Gereja
adalah unik, Tradisi Gereja menciptakan kesatuan melintasi bangsa-bangsa, melintasi peradaban
yang berbeda-beda, melintasi bangsa-bangsa yang berbeda-beda. Tradisi Gereja merupakan isi
yang dimiliki bersama sebagai kebenaran, betapapun bahasa dan peradaban berbeda-beda.

Suatu ungkapan amat berharga dari Ireneus ditemukan dalam bukunya Adversus Haereses
: “Gereja, walaupun tersebar di seluruh dunia menerima dengan cermat [iman para Rasul]
seakan-akan hanya mendiami satu rumah. Demikian pula Gereja percaya akan kebenaran-
kebenaran ini (doktrin) seperti memiliki satu jiwa dan satu hati; Gereja mewartakan kebenaran-
kebenaran ini dalam kesatuan, mengajarkannya dan meneruskannya seakan-akan dengan satu
mulut saja. Bahasa di dunia berbeda-beda, tetapi kekuasaan tradisi adalah satu dan sama. Sudah
pada saat itu, berarti dalam tahun 200, orang dapat melihat universalitas Gereja, kekatolikannya,
serta daya kebenaran untuk mempersatukan kenyataan-kenyataan yang berbeda-beda dalam
kebenaran umum yang telah diwahyukan Kristus kepada kita.

Ketiga: Tradisi para Rasul adalah “pneumatik”, menurut istilah Yunani dan dipakai
Ireneus, sebab dengan bahasa itu bukunya ditulis. “Pneumatik” berarti rohani, dituntun oleh Roh
Kudus. Dalam bahasa Yunani, roh disebut ”pneuma”. Yang dimasudkan ialah bahwa
“transmisi”, penerusan kebenaran dipercayakan bukan kepada kemampuan manusia yang sedikit
banyak terpelajar, melainkan kepada Roh Allah, yang menjamin kesetiaan kepada transmisi
iman.

Demikianlah “hidup” Gereja, yang selalu menyegarkan dan mempermuda Gereja,


menjadikannya subur dengan aneka kharisma.

Gereja dan Roh, bagi Ireneus, tak terpisahkan satu sama lain. Seperti kita baca dalam
buku ketiga Adversus Haereses (Melawan Bidaah-bidaah), “iman itu telah kita terima dari
Gereja dan kita pelihara: iman itu, oleh karya Roh Allah, adalah hal yang dipercayakan kepada
kita (depositum), yang dijaga dalam suatu bejana berharga, selalu menjadi muda lagi, dan
mempermudah juga bejana yang memuatnya... Di mana Gereja ada, di situ Roh Allah, dan di
mana Roh Allah ada, di sana ada Gereja serta segala kasih karunia”.
Tradisi bukanlah Tradisionalisme

Seperti dapat dilihat, Ireneus tidak hanya menetapkan konsep Tradisi. Tradisi menurut dia
adalah Kebiasaan yang tak terputus-putus. Tradisi bukanlah tradisionalisme, sebab Tradisi selalu
dihidupkan dari dalam oleh Roh Kudus yang membuatnya hidup secara baru, yang membuatnya
ditafsirkan dan dimengerti dalam vitalitas Gereja.

Dengan berpegang pada pengajarannya, Gereja harus meneruskan imannya sedemikian


rupa sehingga iman itu kelihatan sebagaimana mestinya, yaitu “publik”, “unik”, “pneumatik”,
“rohani”. Dengan berpangkal dari masing-masing ciri khas ini, orang dapat membuat satu
diskresi yang subur berhubungan dengan transmisi (penerusan) iman secara autentik bagi Gereja
pada saat sekarang ini.

Lebih umum dalam pengajaran Ireneus, martabat manusia, raga dan jiwa, didasarkan kuat
dalam penciptaan oleh Allah dalam citra Kristus dan dalam karya pengudusan Roh yang tetap
berlangsung.

1.7. Rangkuman:

Beberapa langkah gereja muda yang penting sampai tahun 200:

1). Soal pertama yang muncul: rasul-rasul mati, orang-orang baru harus mengambil over
pimpinan gereja tanpa otoritas rasul-rasul sebagai saksi-saksi kebangkitan. Orang-orang baru itu
berusha mempertahankan dan mengokohkan warisan para rasul. Dalam fase yang pertama itu,
terutama organisasi gereja dibentuk. Episkopat monarkis didirikan dimana-mana. Kesatun dan
solidaritas di antara umat-umat agak ditekankan, dan dilaksanakan dengan saling mengunjungi
dan menasihati.

2). Serangan literaris dari filsafat Hellenis.


Sebagai kesulitan kedua yang dihadapi gereja muda, kita sebut serangan literaris dari filsafat
Hellenis. Ditantang oleh serangan itu, gereja mulai menempuh suatu jalan yang serba baru. Ia
memulai memikirkan ajarannya dengan daya upaya filsafat Hellenisme. Sebagai wakil para
apologet kita membicarakan Yustinus dari Roma. Ia membuka sebuah sekolah filsafat di Roma
untuk mengajar “filsafat Yesus Kristus” sebagai kebenaran sempurna. Dia mempergunakan
ajaran tentang “logoi spermatikoi” untuk menjelaskan, bahwa di dalam setiap filsafat ada satu
atau beberapa bagian dari kebenaran, tetapi di dalam agama Kristen terkandung kebenaran
sempurna, karena dia diterangkan dan diajarkan oleh logos-Kristus sendiri.

3). Ancaman dari gnosis. Inilah kesulitan ketiga dalam abad pertama dan kedua. Kesalahan
yang paling besar dalam gnosis: Dia mengajar adanya dua Allah, Allah yang tertinggi dan baik,
dan Allah rendah yang menciptakan alam semesta/materi. Manusia adalah paduan jiwa-badan.
Jiwa berasal dari Allah tertinggi, oleh nasib gelap jiwa terbuang ke dalam materi. Kalau dia
mengenal asalnya, dia bisa pulang kepada Allah tertinggi. Dengan ini ada dualisme dalam
ajaran gnosis: Allah yang baik menciptakan roh-roh dan jiwa manusia. Allah yang rendah
menciptakan materi dan badan manusia. Menurut ajaran benar gereja, Allah yang satu dan baik
menciptakan segala sesuatu dan kejahatan memasuki dunia oleh karena dosa manusia yang tidak
mau mentaati Allah penciptanya.

Kesalahan yang kedua, yang berdasarkan dualisme itu, yaitu Kristus sesungguhnya tidak
menjadi manusia, karena roh, utusan Allah tertinggi, tidak bisa mengenakan materi, daging.
Tetapi dengan ini agama Kristen kehilangan dasarnya, yaitu penebusan riil dan nyata berdasarkan
kelahiran, wafat dan kebangkitan Yesus dari Nazareth yang sekaligus Putra Allah.

1.8. Hasil kegiatan Misioner Gereja sampai Tahun 200.

Di Palestina, tempat kelahiran agama Kristen, sejak permulaan kegiatan missioner sulit
sekali. Akan tetapi antara tahun 74, setelah perang antara orang-orang Yahudi melawan
penjajahan Romawi; dan tahun 132 SM waktu pemberontakan “Bar Kokhba”, umat Kristen
berkembang cukup pesat di Palestina, dan cukup banyak orang Yahudi menjadi Kristen. Namun
sesudah pemberontakan tersebut dalam tahun 132 umat tersebut dicerai-beraikan ke mana-mana
dan tidak bisa dikumpulkan lagi karena sesudah pemberontakan tersebut bangsa Yahudi dilarang
masuk ke dalam kota Yerusalem. Karena itu tidak ada lagi pusat untuk umat; umat Kristen yang
terdiri dari bangsa-bangsa lain di Yeruslem tidak mendapat pengaruh besar. Pengruh yang paling
besar dicapai di Antiokhia, pusat misi yang pertama dari gereja muda itu; dan umat Antiokhia
menjadi terkenal di antara umat Kristen kala itu karena uskupnya Ignatius.

Dari pusat misi ini, St.Paulus diutus oleh umat Antiokhia untuk karya misinya (Kis 13).
Hasil terbaik yang dicapai gereja saat itu ialah di Asia Kecil. Di sini Paulus meletakkan dasar
yang baik dan umat muda melanjutkan pewartaan Paulus dan menghasilkan umat-uma baru di
kota dan pedusunan. Umat Efesus adalah umat yang paling terhormat saat itu di Asia kecil; juga
ke tujuh umat di Asia Kecil, yang disebutkan dalam wahyu Yohanes. Ireneus yang telah kita
kenal, berasal dari Asia Kecil dan di Smyrna ia bertemu dengan Polycarpus seorang murid
St.Yohanes. Umat Kristen yang didirikan St.Paulus di Yunani-Makedonia, kurang berhasil
daripada Asia Kecil, tetapi umat di Korintus menonjol dengan hidup Kristennya yang
mengagumkan (kita tahu, apologet pertama berasal dari Athena).

Di sebelah barat umat di Roma menjadi umat yang paling berpengaruh, dihormati
secara khusus oleh semua umat dan seringkali uskup-uskup lain meminta nasihat dari uskup dan
umat di Roma. Roma sudah dipandang sebagai jaminan ajaran Kristen yang benar (Ingat
surat pertama Klemens sebagai surat umat Roma kepada umat Korintus, 1.1.2.). Di Roma,
Yustinus membuka sebuah sekolah filsafat untuk mengajar ajaran Kristen kepada orang-orang
terpelajar, namun kebanyakan anggota umat Roma adalah pendatang dari seluruh kerajaan
Romawi, bukan orang Roma asli. Pusat lain di sebelah barat bertumbuh di Afrika Utara,
khususnya di Kartago. Di sini gereja mencapai hasil yang kira-kira sebaik seperti di Siria dan
Asia Kecil. Dalam tahun 220 uskup Kartago dapat mengumpulkan 70 uskup untuk satu sinode.
Ini berarti umat Kristen di wilayah itu sudah cukup besar. Oleh pedagang-pedagang dari Asia
Kecil, agama Kristen dibawa ke Gallia.

Kita juga sudah mengenal umat di Lyon dengan uskupnya Ireneus. Ia juga memulai
karya misi di sekitar Lyon, di antara orang-orang Gallia asli. Ia juga menyebut dalam bukunya
umat-umat Kristen di Germania, di dalam kota-kota Romawi di sana seperti Köln, Mainz dan
Trier. Semuanya ini menjadi dasar yang baik untuk perkembangan selanjutnya dalam abad
ketiga.

Anda mungkin juga menyukai