Anda di halaman 1dari 34

Pertemuan 8

3.4. Beberapa Catatan tentang Eklesiologi dalam abad Kedua dan Ketiga.

3.4.1. Misteri Gereja.

Gambaran Gereja pada waktu itu ditentukan oleh motif misteri. Bapa-Bapa Gereja
menekankan bahwa Gereja merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa diselidiki/diselami
seluruhnya, karena Allah sendiri mendirikan Gereja itu dan selalu hadir di dalamnya. Oleh karena itu
inti Gereja tersembunyi di dalam misteri Allah dan keselamatan-Nya. Gereja adalah kudus karena
dipanggil oleh cinta kasih Allah yang nampak dalam Yesus Kristus, karena dianugerahi oleh Allah
dengan sabda-Nya dan dengan sakramen-sakramen-Nya; singkatnya dikuduskan oleh Allah.

Ciri misteri Gereja itu sangat ditekankan oleh Konsili Vatikan II dalam Konstitusi “Lumen
Gentium”. Pasal I dari Konstitusi Dogmatis itu berjudul : “Gereja sebagai Misteri”. Gereja bukan
institusi saja, melainkan intinya adalah misteri. Gereja merupakan suatu realitas yang kompleks,
dalamnya diperpadukan unsur insani dan ilahi, dan kedua unsur itu tidak boleh dipisahkan (LG 8).
Realitas semacam ini yang bersifat misteri tidak bisa dijelaskan sehabis-habisnya, namun hanya bisa
disoroti dan diterangkan dengan pelbagai gambaran dan lambang. Karena itu eklesiologi Gereja
bahari biasanya dikemukakan dalam banyak gambaran dan symbol.

3.4.2. Gambaran-gambaran dan lambang-lambang.

Pertama-tama, gambaran dari Kitab Suci dipakai dan dihayati terus: gambaran-gambaran
seperti: Umat Allah, Tubuh Kristus, Bait Allah, Mempelai Kristus. Khususnya lambang yang terakhir
itu, yaitu Gereja sebagai “Mempelai “tanpa cacat atau kerut atau serupa itu” (bdk. Ef 5), lambang
itu diperlengkapi oleh Bapa-bapa Gereja dengan sebuah gambaran lain yaitu Gereja sebagai “Casta
meretrix” – pelacur murni”. Dengan rumusan paradox itu mereka mau menjelaskan bahwa Gereja
tidak kudus oleh karena kesalehannya sendiri, melainkan oleh karena rahmat Tuhan yang
menguduskan dan memurnikiannya. Gereja sebenarnya wanita berdosa, dia terdiri dari orang-orang
yang berdosa, tetapi dia telah kudus karena orang-orang yang berdosa itu telah dibersihkan dan
disucikaan oleh Anak Domba. Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Santo Paulus menulis:

“Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah
menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan
memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di
hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi
supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef 5:25-27).

Kalau kita berdoa dalam Credo : “Aku percaya akan Gereja yang kudus”, hal ini tidak berarti : aku
percaya akan gereja sebagai persatuan orang-orang saleh, tetapi akan Gereja sebagai persekutuan
orang-orang berdosa yang dikuduskan oleh Tuhan. Kekudusan Gereja adalah rahmat Tuhan, bukan
pahala gereja sendiri. Tentu dengan bantuan Allah haruslah orang-orang beriman memegang teguh
dan menyempurnakan kekudusan yang telah diterimanya itu, dalam cara hidup mereka (LG 40 –
baca 39-42).

Mysterium Lunae – Misteri bulan atas Gereja.

Di sampaing gambaran di atas, Bapa-bapa Gereja juga suka mengetrapkan Mysterium Lunae-
misteri bulan atas Gereja. Di dalam lambang ini jelas hubungan Gereja dengan Kristus dan juga
nasib Gereja dalam sejarahnya.

Pada tempat yang pertama dinyatakan dengan “misteri bulan” bahwa : Gereja terang bukan
karena oleh cahayanya sendiri, melainkan Karena cahaya Kristus, terang dunia. Gereja harus
memantulkan cahaya yang diberi Kristus kepadanya. Sama seperti bulan pada malam hari, demikian
pula Gereja menerangi kegelapan dunia dengan terang yang diterimanya dari Kristus. Dan sama
seperti cahaya bulan yang samar-samar, tidak seterang seperti sinar matahari, karena bulan oleh
keadaan/daya pantulannya tidak bisa memantulkan seluruh cahaya yang didapatinya dari matahari,
demikian pula Gereja hanya memantulkan sebagian dari terang Kristus. Sedangkan terang matahari/
Kristus selalu sama kuat, terang bulan berbeda-beda, ada bulan gelap dan bulan purnama, bulan
timbul dan bulan susut. Demikian juga Gereja mengalami nasib yang berbeda-beda dalam peredaran
sejarah. Ada zaman terang, waktu Gereja bersinar dalam cahaya penuh seperti bulan purnama, tetapi
ada juga zaman gelap waktu terang Gereja hampir tidak kelihatan dalam kegelapan dunia, oleh
karena dosa di dalam Gereja, terang Kristus kadang-kadang sama sekali tidak dipantulkan oleh
Gereja. Lambang bulan itu muncul sedikit dalam artikel pertama “Lumen Gentium” : “Kristus
terang bangsa-bangsa. Itulah sebabnya konsili suci ini, yang berhimpun dalam Roh Kudus, ingin
sekali menyinari semua manusia dengan terang Kristus, yang terpancar pada wajah Gereja, oleh
mewartakan Injil kepada setiap makluk”.

Gambaran Kapal.

Gereja sebagai kapal yang berlayar di atas samudera dunia ini, kapal yang dibuat dari kayu
salib atau tiang layarnya salib dan Kristus pengemudinya. Nasib Gereja seringkali diucapkan dengan
perkataan : ”Fluctuat, non mergitur”, digoyangkan tetapi tidak bisa ditenggelamkan”. Gereja terus
dalam keadaan bahaya, inilah nasibnya, tetapi tidak bisa dimusnahkan, inilah perjanjian Gereja.

Bahtera Nuh

Gambaran Gereja sebagai Bahtera Nuh mau menjelaskan bahwa Gereja memberi
keselamatan dan kedamaian di tengah-tengah air bah zaman ini dan dunia ini. Gereja sebagai
Bahtera keselamatan, dipakai sebagai ilustrasi dari perkataaan Siprianus : “Extra ecclesiam nulla
salus” – tidak ada keselamatan di luar Gereja”. Satu perkataan yang sudah menimbulkan banyak
kesulitan. Dewasa ini perkataan itu biasanya diartikan kira-kira sebagai berikut: “Extra Christum
nulla salus”. Semua orang diselamatkan oleh karena karya penyelamatan Kristus yang diteruskan
kepada dunia melalui Gereja. Tetapi ini tidak berarti, hanya orang-orang yang secara kelihatan
menjadi anggota Gereja bisa diselamatkan.
Demikianlah ajaran tentang Gereja oleh Bapa-bapa Gereja dengan berbagai symbol dan
gambaran. Mereka yakin bahwa Gereja adalah misteri yang hanya bisa diterangkan dengan banyak
gambaran. Setiap gambaran menerangkan satu aspek, tetapi tidak pernah seluruh misteri Gereja bisa
diterangkan. Sebagai kenyataan ilahi-manusiawi, Gereja adalah isi kepercayaan kita, tidak mungkin
mengerti kenyataan Gereja secara menyeluruh.

3.5. Spiritualitas

Spiritualitas kekristenan/orang-orang Kristen pada abad-abad pertama ditentukan oleh


permandian dan martirium. St. Klemens dari Aleksandria, adalah teolog pertama yang
mengemukakan ajaran tentang caranya mencapai segala kesempurnaan Kristen, mengutamakan
permandian sebagai sumber segala spiritualitas Kristen. Dengan memakai bahasa yang dipinjam dari
kultus-kultus kafir sambil tidak melupakan realitas dalam sakramen pembabtisan, ia
menggambarkan hasil dari permandian yaitu perubahan manusia secara radikal. Permandian
membawa serta pengampunan segala dosa dan membebaskan manusia dari cengkeraman roh-roh
gelap. Secara positip, permandian adalah kelahiran baru ke dalam kerajaan Bapa, memberi hidup
kekal dan menganugerahkan pengetahuan benar, pengenalan Allah (gnosis), karena Roh Kudus
dicurahkan ke dalam jiwa manusia. Karunia Roh Kudus itu adalah dasar dari segala kesempurnaan
Kristen, tetapi harus dikembangkan terus dalam kehidupan sehari-hari. “Gnosis” yang diterima
dalam permandian harus dikembangkan dan harus dipertahankan terhadap ancaman-ancaman si
jahat. Secara konkrit hidup menurut permandian berarti meneladani Kristus, karena dalam
permandian, setiap manusia dipersatukan dengan Kristus secara riil.

Ajaran ini dikembangkan lebih lanjut oleh Origenes. Dasar dari permandian adalah teologi
permandian yang mendalam. Ia suka menjelaskan kejadian dalam permandian dengan contoh-contoh
permandian dari Perjanjian Lama, yaitu umat Israel menyeberangi Laut Merah dan sungai Yordan.
Seluruh peristiwa pembebasan Israel itu diartikan sebagai contoh permandian. Israel dibebaskan dari
perbudakan di Mesir, orang yang dipermandikan dibebabskan dari kuasa setan. Seperti Israel di
perjalanannya melalui padang gurun dibimbing oleh tiang api dan awan, demikian pula orang
beriman yang sudah mati dan bangkit bersama Kristus dalam air permandian, dibimbing oleh Tuhan
Allah di jalan keselamatan. Dalam permandian orang beriman diberi pemimpin baru, Yesus Kristus.
Dahulu ia meneladani setan (imitator diaboli), sekarang dia harus meneladani Logos. Dengan
bantuan Logos dia memulai hidup rohani yang harus membawanya kepada Bapa. Permandian adalah
awal pintu menuju hidup baru, tetapi hidup baru itu harus berkembang di dalam jiwa, dan supaya
dapat berkembang, hidup baru itu harus dibaharui setiap hari, penolakan setan yang diucapkan dalam
upacara permandian, harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari, dan dapat dilaksanakan dengan
bantuan rahmat permandian.

Ia juga menjelaskan hasil dari permandian dengan gambaran suami-istri. Dalam permandian
jiwa manusia menjadi istri Kristus dan harus tinggal dengan Dia dalam kesetiaan. Dan dalam
kesetiaan akan Kristus itu semua keutamaan Kristus bisa dikembangkan, khususnya kedua sikap
yang paling dihargai dalam masa purba Gereja, yaitu cinta kasih kepada sesama manusia dan
kesediaan menjadi martir. Kasih kepada sesama berarti meneruskan kasih Bapa yang kita terima
dalam permandian, kita meneladani Bapa kalau kita mengasihi sesama. Dan Roh yang
dianugerahkan dalam permandian memberi keberanian untuk menderita sampai mati untuk Kristus.
Cita-cita untuk mengembangkan rahmat permandian dan mengikuti Kristus ini disampaikan kepada
semua orang, karena itu ia tidak jemu-jemu membicarakan misteri permandian dalam seluruh
ajarannya dan menuntut pelaksanaan misteri ini dalam hidup sehari-hari.

Siprianus juga menekankan spiritualitas permandian. Menurutnya, hidup kristiani berarti


melaksanakan renuntiatio saeculi – penolakan dunia – yang diucapkan dalam upacaara
permandian, khususnya kalau Tuhan menguji umat-Nya dalam penganiayaan. Oleh karena Bapa-
bapa Gereja yakin bahwa permandian merupakan dasar seluruh hidup kristiani, mereka lalu dengan
teliti menyiapkan para calon permandian untuk menerima sakramen itu dengan layak dan sadar.
Sedangkan spiritualitas permandian itu akan berkembang terus dalam abad keempat melalui
“katekese-katekese mistagogis1”. Spiritualitas martirium mencapai puncaknya dalam abad ketiga.

Spiritualitas Martyrium.

Matyrium dihargai sebagai cara mengikuti Yesus yang paling sempurna. Hubungan di antara
tuntutan mengikuti Yesus dan Martyrium telah dirumuskan oleh Ignatius dari Antiokhia. Ia
mengatakan: Hanya orang yang rela menderita dan mati untuk Kristus, bisa disebut murid
Kristus, karena Yesus juga rela menderita mati untuk kita. Karena itu, serigkali seorang martir
disejajarkan dengan Kristus, dialah murid Kristus yang sejati ‘yang mengikuti Anak Domba itu
kemana saja Ia pergi’ (bdk. Why 14:4). Uskup Siprianus memperingatkan umatnya saat
penganiayaan agar mereka meneladani Kristus sebagai guru kesabaran dan penderitaan dan bahwa
mereka minum darah Kristus dalam perayaan Ekaristi, sehingga menjadi sanggup menyerahkan
darahnya sendiri untuk Dia. Oleh karena itu, si martir meneladani Kristus secara istimewa, dia lalu
dipersatukan secara istimewa dengan Kristus dalam martirium. Kalau seorang Kristen disiksa,
Kristus sudah hadir di dalam dia dan menguatkannya supaya sanggup menahan segala siksaan. Oleh
karena kesatuan itu, si martir sering disebut “Kristoforos” = yang mengandung Kristus”. Dalam
kesatuan itu dia mencapai kesempurnaan, kepenuhan hidup Kristen. Orang yang mati demi imannya
melakukan karya cinta kasih sempurna, tidak ada cara yang lebih nyata untuk membuktikan cinta
kepada Kristus daripada kematian dalam pengejaran. Atas dasar spiritualitas martirium ini, di
kemudian hari dikembangkan juga pertapaan sebagai cara untuk mencapai kesempurnaan, kesatuan
dengan Kristus – tanpa kemungkinan martirium-.
1
Mystagogy – (Yun. ‘menuntut masuk ke dalam rahasia’). Pengajaran mengenai ritus dan misteri-misteri
suatu agama yang dirahasiakan. St. Sirilus dari Yerusalem (315-386) mempersiapkan para katekumen untuk
menerima babtisan pada hari Sabtu Suci dan sesudah itu memberikan pengajaran kepada mereka dengan tulisannya
yang berjudul Catecheses yang bercorak mistagogis, yang diberikan pada masa Prapaska. St. Maximus (580-662)
menyebut pemahaman mistiknya mengenai liturgy dengan istilah mistagogi. Sekarang ini istilah itu dipakai untuk
menyebut katekese itu teologi yang dilandaskan dan diarahkan untuk memperdalam pengalaman akan Allah. Ibid.,
200-201.
III.1. Kristologi sebagai kriteria ortodoksi

Abad ke empat diwarnai oleh pertentangan-pertentangan besar mengenai Trinitas dan


Kristus. Segala keluhuran dan kelemahan Gereja dapat dilihat dalam pertentangan Kristologis itu, di
mana seringkali hal-hal dogmatis dicampur dengan rupa-rupa hal yang lain, seperti politik dan
perebutan kuasa di dalam Gereja.

3.4.1. Usaha-usaha Awal Untuk Memahami Teologi Trinitas.

Dalam Kitab Suci, kita belum menemukan suatu ajaran Trinitas, tetapi kita menemukan
pernyataan-pernyataan yang – bila dipikirkan dan direfleksikan secara lebih mendalam menurut
pelbagai implikasinya – akhirnya harus menghasilkan ajaran Trinitas itu. Misalnya terdapat formula
triadis yang menyebut ketiga pribadi ilahi satu di samping yang lain, seperti: ”Kasih karunia
Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah Bapa dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu
sekalian (2 Kor 13:13) dan ”Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” (Mat 28:19).

Formula triadis demikian digunakan juga oleh Bapa-Bapa Apostolik sesudah jaman
Perjanjian Baru. Dan sejak abad ke-2 muncul usaha-usaha untuk mendalami dan memikirkan
hubungan dari Putra dan Roh dengan Allah yang esa. Usaha-usaha awal ini diwarnai oleh
subordinatianisme: Putra dan Roh bergantung dari Bapa; Putra melaksanakan tugas
perutusan yang diberikan oleh Bapa; Roh menyelesaikan tugas Yesus Kristus itu.
Subordinatianisme ini nyata juga dalam rumusan seperti yang kita temukan dalam Doa Syukur
Agung oleh Yustinus (165): ”Hormat dan pujian bagi Bapa alam semesta melalui nama Putra
dan Roh Kudus”. Kata depan ”melalui” memperlihatkan pikiran bahwa Putra dan Roh merupakan
pengantara yang bergantung dari Bapa.

Tentu subordinatianisme ini mempunyai suatu dasar di dalam pelbagai pernyataan Perjanjian
Baru seperti Yoh 14:28, ”Bapa lebih besar daripada Aku”. Selain dalam Perjanjian Baru,
subordinatianisme ini juga mempunyai akarnya dalam filsafat Helenis. Misalnya Yustinus
berpendapat: Hanya Sang Allah, yakni Bapa, adalah subjek absolut. Ia tidak bisa tampak di dunia
karena Ia bersifat tak terbatas, tak kelihatan dan tanpa nama. Logos, sang Sabda, berasal dari (bukan
diciptakan oleh) kehendak Allah Tertinggi ini. Logos itu tampak di dunia, hal mana mungkin karena
Ia tidak memiliki kualitas setinggi Allah; Ia (logos) adalah Allah yang lebih rendah. Secara sepintas
Yustinus menyebut juga Roh Kudus yang – sama seperti Logos – berasal dari Allah.

Dengan ini jelas dapat kita lihat pengaruh pikiran Helenis di sini, di mana Allah dipikirkan
sebagai pangkal dunia yang tak terbatas dan tak bergerak. Hakikat-Nya adalah suatu kepenuhan yang
bisa dibagikan-Nya tanpa Ia kehilangan apa-apa. Dan – berbeda dengan gagasan Helenis - Ia (Allah)
berminat terhadap cipataan-Nya. Maka Ia memberikan sesuatu dari hakikat-Nya sendiri kepada Putra
dan Roh dan melalui keduanya, Ia bertindak di dalam dunia.
Bertolak dari pandangan awal ini, mulailah suatu proses pemikiran yang memakan banyak
energi untuk menjelaskan dan mengerti lebih mendalam, bagaimana sebenarnya hubungan Logos
dan Roh dengan Allah itu. Pada mulanya, segala perhatian dipusatkan pada Logos, sedangkan Roh
diperhatikan sepintas lalu saja.

3.4.1.1. Bidaah-bidaah Trinitaris.

3.4.1.1.1. Monarkhinisme2

Ada suatu kelompok atau aliran dalam kekristenan awal yang sangat prihatin, agar keesaan
Allah jangan dirugikan oleh pengakuan Kristen akan keallahan Yesus Kristus. Maka mereka
berusaha mencari jalan, bagaimana hubungan khusus Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa
membahayakan keesaan absolut Allah. Pada dasarnya mereka mengemukakan dua macam jawaban,
sehingga aliran ini bisa dibagi atas dua kelompok. Namun sebelumnya, penting mengetahui terlebih
dahulu, apa itu Monarkhianisme.

Monarkhianisme (Yun. ’dari satu prinsip’).Istilah yang berasal dari Tertullianus (160-
220) untuk menyebut keyakinan bidaah yang begitu menekankan kesatuan Allah hingga menolak
Putra ilahi sebagai yang berpribadi sendiri. Allah adalah monos = satu, atau monarkhos = dia
sendiri yang meraja. Karena yang ditekankan adalah kesatuan Allah, maka mereka mendapat
kesulitan : bagaimana dengan ke-Allah-an Kristus.

Pendukung terkenal aliran ini ialah Paulus dari Samosata, yang mengajarkan bahwa Logos,
sabda ilahi, merupakan suatu sifat atau kekuatan pada diri Allah. Kekuatan ini disamakannya dengan
kebijaksanaan (sophia) Allah dan dengan roh (pneuma) ilahi. Kekuatan ilahi ini melengkapi manusia
Yesus. Tetapi kekuatan itu tidak berdiri sendiri sebagai suatu pribadi ilahi; kekuatan ini hanya
merupakan suatu sifat ilahi. Ajaran ini ditolak oleh sebuah sinode di Antiokhia pada tahun 269.

Menurut cara menjelaskan Kristus dan karya penyelamatan-Nya, dibedakan lagi dua aliran
dalam Monarkhianisme, yakni Monarkhianisme Dinamis dan Modalis.

a. Monarkhianisme Dinamis : Dynamis = kekuatan

Menurut Monarkhianisme Dynamis, Yesus dari Nazareth merupakan seorang manusia


biasa, tetapi Allah melengkapinya dengan suatu kekuatan (dunamis) istimewa. Pelengkapan itu
terjadi pada waktu pembabtisan Yesus di sungai Yordan atau ketika Yesus ditinggikan Allah dalam
pembangkitan. Aliran yang mengajarkan bahwa pada peninggian itu, Yesus diangkat sebagai Putra
Allah – tanpa sungguh menjadi Allah – disebut Adoptianisme.

b. Monarkhianisme Modalis (kata Latin modus = cara).


2
Monarkhianism – (Yun. ‘dari satu prinsip’). Istilah yang berasal dari Tertullianus (160-220) untuk
menyebut keyakinan bidaah yang begitu menekankan kesatuan Allah hingga menolak Putra ilahi sebagai yang
berpribadi sendiri. Pengikut ajaran ini yakin bahwa Yesus adalah ilahi hanya dalam arti bahwa dynamis ( Yun.
‘kekuatan) Allah turun ke atas-Nya dan mengangkatNya. Monarkhianisme modalistis memandang Tritunggal hanya
sebagai tiga cara Allah mewujudkan diri dan bertindak. Ibid., 204.
Titik tolak dari monotheisme abstrak adalah hanya menerima satu “Persona” saja dalam
Allah. Di pihak lain, mereka juga mau mempertahankan pentingnya realitas penyelamatan dalam
Kristus. Maka mereka harus mengakui Yesus sebagai Allah. Untuk mengatasi pertentangan di
antara kedua keyakinan itu, mereka menjelaskan:

Kristus adalah penampakkan tertentu dari Allah yang satu. Bapa dan Putra adalah satu
dan sama, tidak bisa dibedakan. Karena itu mereka bisa mengatakan juga: Bapa menjadi
manusia atau Bapa menderita.

Aliran ini berpendapat, Yesus adalah suatu cara Allah menyatakan diri. Seraya mau
mempertahankan keesaan absolut Allah, aliran ini juga yakin bahwa Yesus sungguh-sungguh Allah,
karena hanya sebagai Allah, Ia bisa menyelamatkan dunia. Agar keilahian yang benar dari Yesus
tidak membahayakan keesaan absolut dari Allah, mereka mengajarkan bahwa Bapa, Putra dan Roh
Kudus, hanya merupakan nama atau cara penampakan (prosopa/prosospon = topeng) yang berbeda
dari Allah yang sama.

Dengan memberi hukum dalam Perjanjian Lama, Allah itu nampak sebagai Bapa. Dengan
menyelamatkan kita dalam inkarnasi sampai pengangkatan ke surga, Allah yang sama itu tampak
sebagai Putra dan dalam menguduskan jiwa-jiwa, Ia tampak sebagai Roh Kudus.

Maka apa yang kita namakan Bapa, Putra dan Roh Kudus merupakan semacam topeng yang
pada kesempatan tertentu digunakan Allah untuk menyatakan diri kepada kita manusia. Tetapi tiga
”nama” itu tidak menyangkut Allah dalam dirinya sendiri dan tidak berada serentak dalam diri
Allah. Mulai dengan saat inkarnasi, Allah tidak lagi Bapa dan setelah pengangkatan ke surga, Ia
tidak lagi Putra. Ketiga nama yang tampak kepada kita itu, bukan merupakan kenyataan dalam diri
Allah sendiri.

Jadi, menurut penjelasan ini, Allah tidak memperkenalkan diri seperti adanya, tetapi
menyembunyikan diri di belakang macam-macam topeng. Ia bagai bermain sandiwara dengan kita.
Oleh sebab itu, penjelasan ini ditolak oleh Gereja karena tidak sesuai dengan iman Kristen. Orang
Kristen yakin dalam iman, Allah benar memperkenalkan diri dalam wahyu seturut kenyataan-Nya, Ia
tidak bermain sandiwara dengan kita.

3.4.1.1.2. Aliran Subordinatianisme/Arianisme3

Subordinatianisme disistematisasi oleh Arius, seorang presbiter, yang lahir di Libya (±


250); belajar teologi di sekolah Lucianus Antiokhia. Ditahbiskan imam di Aleksandria. Sinode
Aleksandria (tahun 318) mengecam pandangan Arius dan para pengikutnya. Ia kemudian mencari
dukungan sahabatnya, Eusebius, uskup Nikomedia, yang mengakomodasinya dengan empati.
3
Arianism – Bidaah yang dikutuk dalam Konsili Nikea (325), dirintis oleh seorang imam dari Aleksandria
bernama Arius (250-336). Bidaah ini mengajarkan bahwa Putra Allah tidak selalu ada dan karena itu kodratnya tidak
ilahi, melainkan hanya merupakan yang pertama dari antara makluk ciptaan ( lih. DS 125-126; 130). Sampai tahun
381 bidaah ini sangat mengganggu ketentraman Gereja. Sesudah itu Arianisme terus hidup dalam bentuk yang lebih
lunak selama beberapa abad di lingkungan suku-suku Jerman. Ibid., 33-34.
Ancaman skisma yang mengguncang Gereja Yunani membuat Konstantinus memanggil konsili
Nicea, yang akan mengutuk Arius dan doktrinnya. Arius bahkan diasingkan ke Illiria. Pada tahun
335 para uskup berkumpul di sinode Tirus dan Jerusalem. Di sini diputuskan, Arius diisinkan
mengadministrasikan tahbisan imamatnya. Ketika Arius siap untuk direkonsiliasikan dengan Gereja,
tiba-tiba ia meninggal pada tahun 336.

Pandangan Arius seringkali disederhanakan menjadi teologi yang menggugat keallahan


Kristus. Berangkat dari pengandaian yang salah tentang Kitab Suci dan teologi Kristen, yang mau
mempertahankan keallahan Putra. Arius menganggap Kristus itu “allah”, sejauh “eksistensi” yang
ada pada-Nya itu dianugerahkan dan diciptakan. Kristus tidak mempunyai substansi (hakikat)
yang sama dengan substansi (hakikat) Bapa. Demikian Logos itu suatu “eksistensi” yang
diciptakan, makluk tengah yang berada di antara Allah dan kosmos (ciptaan). Roh Kudus itu
ciptaan Logos – kualitas ilahi Roh Kudus lebih kurang daripada Logos yang dibuat menjadi
“daging”.

Arius berpandangan bahwa Sabda itu tidaklah kekal, diciptakan dari ketiadaan, dalam
waktu. Dengan perkataan lain, Sabda itu diciptakan murni, dapat berubah, yakni ada
kemungkinan mendapat kesempurnaan-kesempurnaan yang baru.

Secara teoritis, Sabda tak membutuhkan bantuan khusus dari Allah, dan Sabda juga
dapat jatuh ke dalam dosa. Sabda itu ciptaan pertama, lebih utama dari semua ciptaan yang
lain. Sabda diciptakan secara bebas(jadi tidak dijadikan melalui suatu actus – tindakan – vital
yang perlu), sebagai sarana penciptaan.

Ajaran Arius dapat diringkaskan dalam sylogisme berikut ini: God has no origin; but the
Word has an origin (precisely in God); therefore, the Word is not God. Teologi Arius jatuh dalam
penyederhanaan yang nisbi: There was a time when he (the Word) was not. Tegasnya, Sabda itu
tidak kekal; atau ada waktu di mana Sabda tidak pernah ada; dan Sabda berasal dari
ketiadaan.4

4
Eddy Kristianto, OFM, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa, Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, Pustaka
Sejarah, Knisius, Yogyakarta, 2002, 68-69.
Sebelum Arius, aliran itu biasanya disebut Subordinatianisme.5 Karena menurut ajarannya
Putra lebih rendah daripada Bapa. Untuk menjelaskan Kristus, mereka memakai pikiran Yunani
tentang seorang “logos” sebagai pencipta dunia dan makhluk utama yang paling tinggi pada tangga
makhluk-makhluk yang menghubungi Tuhan dan manusia. Atas dasar pikiran ini Kristus dijelaskan
sebagai Makhluk Allah. Meskipun makhluk yang utama, pertama dan tertinggi, toh makhluk.
Karena itu, menurut Arius, logos ( Kristus) itu tidak bersifat kekal, jelas dari perkataannya: “Ada
suatu waktu, ketika logos itu belum ada”.

Oleh pengaruh besar Arius timbullah perselisihan hebat, hingga Kaisar Konstantinus
mengundang uskup-uskup untuk konsili pertama di Nicea (Konsili Ekumenis Pertama), pada tahun
3256. Pada konsili itu, subordinatianisme/arianisme dihukum dan ditolak dengan jelas.
5
Subordinationism – Memberikan kedudukan yang lebih rendah kepada Putra dalam hubungan-Nya
dengan Bapa, demikian juga kepada Roh Kudus dalam hubungannya dengan Bapa dan Putra. Ketika ajaran
mengenai Tritunggal belum dirumuskan dan para ahli teologi berusaha untuk mempertahankan monarkhi Bapa
(Yun. ‘[Bapa] sebagai satu-satunya prinsip’ ), kecendrungan untuk memahami Putra dan Roh sebagai utusan yang
lebih rendah daripada Bapa (yang secara mutlak transenden) tampak dalam diri St. Yustinus Martir (100-165),
Tatianus (meninggal sekitar 160), St. Ireneus dari Lyon (130-200), St.Klemens dari Aleksaandria (150-215), dan
lebih-lebih Origenes (185-254). Dengan menolak bahwa Putra sungguh-sungguh dan sepenuhnya ilahi menurut
hakikatnya, Arius (185-254) mengekstremkan subordinationisme dan menjadikannya bidaah. Subordinatianisme
ditolak pada tahun 325 oleh Konsili Nikea I (lih. DS 125-126). Para penganut Pneumatomachianisme ( Yun.
‘merendahkan Roh Kudus’ ) juga meyakini subordinationisme yang serupa ( dengan menyatakan bahwa Roh
diciptakan oleh Putra) maka Konsili Konstantinopel I (381) mengajarkan bahwa Roh Kudus sama dengan
keagungan – dan pantas dihormati dengan penghormatan yang sama – dengan Bapa dan Putra (lih. DS 150). Ibid.,
306-307.
6
Konsili Nicea merupakan Konsili Ekumenis I, yang diprakarsai oleh Kaisar Konstantinus Agung (+ 337)
di Nicea (sekarang Iznik – Turki) untuk menanggapi bidaah Arianisme yg mengancam kesatuan Gereja dan
kekaiseran Roma. Arius seorang imam Aleksandria mengajarkan habwa “Kristus hanyalah yang utama dari antara
ciptaan Allah, bukan sepenuhnya dan seutuhnya ilahi. Sebagai tanggapan terhadap ajaran ini konsili mengajarkan
bahwa Kristus adalah ‘Putra Tunggal’ Bapa dan homoousious (Yun. ‘sehakikat’) dengan Bapa. (lih. DS 125-130).
Konsili juga mengakui kedudukan Aleksandria, Antiokhia dan Roma sebagai patriarkat dan mewajibkan semua
menerima tanggal Paskah menurut perhitungan Aleksandria. Bintang yang muncul pada Konsili adalah St.
Athanasius, yang kemudian menjadi uskup Aleksandria (+373) yang datang sebaga diakon agung menyertai
uskupnya, Aleksander dari Aleksandria. Ibd., 160.

Catatan: PATRIARKAT: (Yun: ‘bapak yang memimpin, bapa bangsa’). Nama yang diberikan kepada Abraham,
Ishak, Yakub dan keduabelas anak Yakub, dan Daud (Kej 12-50; Kis 2:29; 7:8-9; Ibr. 7:4). Sejak abad ke 6, gelar ini
diberikan kepada uskup Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem. Para Patriarkat ini
menjalankan kekuasaan yang luas, misalnya menunjuk uskup untuk keuskupan yang besar dan mengadili perkara
banding yang membutuhkan yurisdiksi mereka. Konsili Nicea(Nikea)I tahun 325, mengakui peranan Roma seperti
ini dan mengakui juga Aleksandria berada di atas Antiokhia. Konsili Konstantinopel I (380) memberikan kepada
Konstantinopel “keunggulan kehormatan sesudah Roma, karena (Konstantinopel) adalah Roma kedua” (kanon 3).
Oleh Konsili Kalsedon (451) dalam kanon ke 28 (yang tidak pernah disetujui oleh Paus Leo I) ketetapan ini
diperluas dan Konstantinopel dijadikan kedua sesudah Roma dalam hal yurisdiksi. Konsiliu Konstantinopel IV (869-
870) yang oleh Gereja Katolik diterima sebagai konsili ekumenis ke-8 mengakui keunggulan Roma dan membuat
urutan kedudukan sebagai berikut: Roma,Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem (yang diakui
sebagai patriarkat dalam Konsili Kalsedon). Konsili Lateran IV (1215) dan Konsili Florence (1438-1445)
mengulangi daftar patriarkat dengan urutan yang sama (DS 811; 1307-1308). Mengenai Gereja-gereja Timur yang
berada dalam kesatuan dengan Roma, Konsili Vatikan II mengakui tradisi, hak, privilege, dan yurisdiksi mereka
(OE 7-10). Konsili menyatakan bahwa, kalau perlu, konsili ekumenis atau paus dapat mendirikan patriarkat baru
(OE 11). Usul tersebut diajukan oleh banyak ahli teologi demi persatuan antara Gereja-gereja sejenis dan Roma.
Vatikan II juga mengemukakan pemikiran umum menuju persatuan kembali dengan Gerejha-gereja Timur yang
terpisah dari Roma (UR 13-18) di antaranya “yang terpenting adalah Gereja-gereja Patriarkal” (UR 14). Ibid. 233.
“Berdasarkan syahadat babtisan yang dipakai oleh gereja Caesarea, dan yang disampaikan oleh
uskupnya Eusebius, maka dirumuskanlah Syahadat Nicea yang rumusnya menggugurkan setiap
macam subordinationisme Putra terhadap Bapa. Putra itu, demikian ditegaskan,

‘dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah
benar, Ia dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa’.

Teks syahadat Nicea berbunyi:

“Kami percaya akan satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala sesuatu yang
kelihatan dan tak kelihatan. Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, lahir dari Bapa, lahir
tunggal, yaitu dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah
benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-
Nya, baik yang di surga maupun di bumi, Ia turun untuk kita dan keselamatan kita, dan Ia
menjadi daging dan menjadi manusia, wafat kesengsaraan dan bangkit pada hari yang ketiga,
naik ke surga dan akan datang untuk mengadili orang hidup dan orang mati. Dan akan Roh
Kudus.”

Dalam sebuah catatan tambahan dalil-dalil terpenting dari Arius secara tegas dikutuk.
Syahadat disetujui oleh Konsili pada tanggal 19 Juni 325. Hanya dua uskup menolak
menandatanganinya. Bersama dengan Arius mereka dikeluarkan dari lingkungan Gereja dan
dikucilkan. Menolak Arius dan para pengikutnya, Konsili membuat penetapan yang berbunyi:

“mereka yang mengatakan, ada suatu waktu, ketika Putra Allah belum ada; dan Ia
belum berada, sebelum Ia diperanakkan; dan Ia dijadikan dari ketiadaan atau dari substansi
atau hakekat lain, atau Putera Allah dapat berubah, mereka dikucilkan oleh Gereja Katolik
dan apostolik”.

Kaisar mempermaklumkan Syahadat ini sebagai sebuah undang-undang kerajaan” (H. Jedin,
Sejarah Konsili, hal. 17). Akan tetapi dengan Konsili Nicea pertentangan dengan Arianisme belum
selesai, dalam perselisihan selanjutnya Athanasius, seorang diakon turut serta pada Konsili Nicea
memainkan peranan yang penting.

Versi Bahasa Yunani Kredo Nicea (Konsili Ekumenis I).

Πιστεύομεν εἰς ἕνα Θεόν, Πατέρα, Παντοκράτορα, ποιητὴν οὐρανοῦ καὶ γῆς,
ὁρατῶν τε πάντων καὶ ἀοράτων.

Καὶ εἰς ἕνα Κύριον Ἰησοῦν Χριστόν, τὸν Υἱὸν τοῦ Θεοῦ τὸν μονογενῆ, τὸν ἐκ
τοῦ Πατρὸς γεννηθέντα πρὸ πάντων τῶν αἰώνων· φῶς ἐκ φωτός, Θεὸν ἀληθινὸν
ἐκ Θεοῦ ἀληθινοῦ, γεννηθέντα οὐ ποιηθέντα, ὁμοούσιον τῷ Πατρί, δι' οὗ τὰ
πάντα ἐγένετο.
Τὸν δι' ἡμᾶς τοὺς ἀνθρώπους καὶ διὰ τὴν ἡμετέραν σωτηρίαν κατελθόντα ἐκ τῶν
οὐρανῶν καὶ σαρκωθέντα ἐκ Πνεύματος Ἁγίου καὶ Μαρίας τῆς Παρθένου καὶ
ἐνανθρωπήσαντα.

Σταυρωθέντα τε ὑπὲρ ἡμῶν ἐπὶ Ποντίου Πιλάτου, καὶ παθόντα καὶ ταφέντα.

Καὶ ἀναστάντα τῇ τρίτῃ ἡμέρα κατὰ τὰς Γραφάς.

Καὶ ἀνελθόντα εἰς τοὺς οὐρανοὺς καὶ καθεζόμενον ἐκ δεξιῶν τοῦ Πατρός.

Καὶ πάλιν ἐρχόμενον μετὰ δόξης κρῖναι ζῶντας καὶ νεκρούς, οὗ τῆς βασιλείας οὐκ
ἔσται τέλος.

Καὶ εἰς τὸ Πνεῦμα τὸ Ἅγιον, τὸ κύριον, τὸ ζωοποιόν, τὸ ἐκ τοῦ Πατρὸς


ἐκπορευόμενον, τὸ σὺν Πατρὶ καὶ Υἱῷ συμπροσκυνούμενον καὶ συνδοξαζόμενον,
τὸ λαλῆσαν διὰ τῶν προφητῶν.

Εἰς μίαν, Ἁγίαν, Καθολικὴν καὶ Ἀποστολικὴν Ἐκκλησίαν.

Ὁμολογῶ ἓν βάπτισμα εἰς ἄφεσιν ἁμαρτιῶν.

Προσδοκῶ ἀνάστασιν νεκρῶν.

Καὶ ζωὴν τοῦ μέλλοντος αἰῶνος.

Ἀμήν.

Versi Panjang dalam bahasa Latin

Credo in unum Deum, Patrem Omnipotentem


factorem caeli et terrae, visibilium omnium et invisibilium.
Et in unum Dominum Iesum Christum, Filium Dei Unigenitum,
Et ex Patre natum ante omnia saecula. Deum de Deo, lumen de lumine,
Deum verum de Deo vero. Genitum, non factum, Consubstantialem Patri
per quem omnia facta sunt.
Qui propter nos homines et propter nostram salutem descendit de caelis.
Et incarnatus est de Spiritu Sancto
ex Maria virgine et homo factus est.
Crucifixus etiam pro nobis sub Pontio Pilato,
passus et sepultus est.
Et resurrexit tertia die secundum Scripturas.
et ascendit in caelum, sedet ad dexteram Patris.
Et iterum venturus est cum gloria, iudicare vivos et mortuos,
cuius regni non erit finis.
Et in Spiritum Sanctum, Dominum et vivificantem,
qui ex Patre (Filioque)* procedit.
Qui cum Patre et Filio simul adoratur et conglorificatur:
qui locutus est per prophetas.
Et unam, sanctam, catholicam et apostolicam Ecclesiam.
Confiteor unum baptisma in remissionem peccatorum.
Et expecto resurrectionem mortuorum,
et vitam venturi saeculi. Amen.

Versi Bahasa Indonesia menurut Gereja Katolik dan Protestan

Versi Katolik Versi Protestan

Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang Maha Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang
Kuasa Maha Kuasa

Pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu Pencipta langit dan bumi, segala sesuatu yang
yang kelihatan dan tak kelihatan. kelihatan dan yang tidak kelihatan.

Dan akan Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak
yang Tunggal, Allah yang Tunggal,

Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala
dari Allah, terang dari terang. zaman. Allah dari Allah, terang dari terang.

Allah yang sejati dari Allah yang sejati,


Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan,
diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat dengan
bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa
Sang Bapa,

yang dengan perantaraan-Nya, segala sesuatu


segala sesuatu dijadikan olehnya.
dibuat;

Ia turun dari sorga untuk kita manusia, dan yang telah turun dari sorga untuk kita manusia,
untuk keselamatan kita. dan untuk keselamatan kita,

dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dan menjadi daging oleh Roh Kudus
dari anak dara Maria, dan menjadi manusia.

yang disalibkan bagi kita di


Ia pun disalibkan untuk kita
bawah pemerintahan Pontius
waktu Pontius Pilatus
Pilatus,

Ia wafat kesengsaraan dan


menderita dan dikuburkan;
dimakamkan.

Pada hari ketiga Ia bangkit, yang bangkit pada hari ketiga,


menurut Kitab Suci. sesuai dengan isi Kitab-kitab,

Ia naik ke sorga, duduk di sisi dan naik ke sorga; yang duduk


kanan Bapa di sebelah kanan Sang Bapa

dan akan datang kembali


Ia akan kembali dengan mulia,
dengan kemuliaan untuk
mengadili orang yang hidup
menghakimi orang yang hidup
dan yang mati;
dan yang mati;

yang Kerajaan-Nya takkan


KerajaanNya takkan berakhir.
berakhir.

Aku percaya kepada Roh


Aku percaya akan Roh Kudus,
Kudus, yang menjadi Tuhan
Ia Tuhan yang menghidupkan;
dan yang menghidupkan

Ia berasal dari Bapa (dan yang keluar dari Sang Bapa dan
Putra)¹ (Sang Anak)¹,

yang bersama-sama dengan


Yang serta Bapa dan Putra,
Sang Bapa dan Sang Anak
disembah dan dimuliakan.
disembah dan dimuliakan,

Ia bersabda dengan yang telah berfirman dengan


perantaraan para nabi perantaraan para nabi.

Aku percaya akan Gereja


Aku percaya satu Gereja yang
yang satu, kudus, katolik² dan
kudus dan am² dan rasuli.
apostolik.
Aku mengakui satu
Aku mengaku satu baptisan
pembaptisan akan
untuk pengampunan dosa.
penghapusan dosa.

Aku menantikan kebangkitan Aku menantikan kebangkitan


orang mati, orang mati

dan kehidupan di akhirat. dan kehidupan di zaman yang


Amin. akan datang. Amin.

¹ Gereja Barat menambahkan filioque (Putra atau Sang Anak) ke dalam Kredo Nicea

² Katolik di sini berarti semesta, am, dan universal.

3.4.2. Perkembangan ajaran mengenai Kristus sampai Konsili Calcedon7.

Ajaran Kristen tentang Yesus Kristus dirumuskan dalam dogma-dogma konsili-konsili bahari
di Nicea, Efesus, Calcedon dan Konstantinopel. Hingga kini hampir semua gereja Kristen
mengulangi formula itu : satu persona, dua natura, sebagai rumusan tepat dari ajarannya tentang
Yesus Kristus.

7
28 Konsili Kalsedon adalah konsili ekumenis yang keempat, diadakan pada tahun 451 di kota yang
sekarang bernama Kadi-Köy ( Turki ). Konsili ini diadakan untuk menanggapi bidaah monofisit yang dipelopori
oleh Eutyches (378-454). Ia dengan hebat menolak pendapat orang-orang yang memisahkan kedua kodrat Kristus.
Penolakan ini membawanya ke dalam kesalahan yang sebaliknya, yaitu memandang Kristus hanya mempunyai satu
kodrat, yaitu kodrat ilahi; atau kodrat ketiga yang muncul dari kedua kodrat-Nya, dan merupakan satu-satunya
kodrat yang tinggal sesudah inkarnasi. Bidaah ini dikutuk pada tahun 448 dalam sinode yang diadakan di
Konstantinopel. Tetapi pada tahun berikutnya Eutyches dipulihkan kembali namanya dalam sinode di Efesus (449)
yang diadakan oleh Kaisar Theodosius II (401-450). Paus Leo I (440-461) menyebut sinode Efesus suatu
latrocinium (penyamun), karena sinode itu dilakukan dengan kekerasan dan tidak memakai prosedur kanonik
sehingga hak Paus untuk mengadili dirampas. Ketika Theodosius II jatuh dari kuda dan mati, Kaisar Marcianus
dengan persetujuan paus mengadakan konsili di Kalsedon. Konsili ini menghimpun sekitar 500-600 uskup, semua
dari Timur, kecuali tiga utusan paus dan dua uskup dari Afrika. Para bapa Konsili mengutuk Eutyches, demikian
juga Dioscorus, Patriark Aleksandria yang semula adalah pelindungnya. Dioscorus sendiri diturunkan karena berani
mengucilkan Paus Leo I. Konsili menegaskan bahwa Kristus adalah satu pribadi dalam dua kodrat, ilahi dan
manusiawi. Dinyatakan bahwa “…. Yang satu dan sama Tuhan, Kristus, Anak Tunggal, ( harus ) diakui dalam dua
kodrat, tak tercampur, tak berubah, tak terbagi, tak terpisah, dengan sama sekali tidak dihilangkan perbedaan kodrat-
kodrat karena pemersatuan, tetapi sebaliknya ciri khas kodrat masing-masing tetap aman, dan ( kedua kodrat itu )
bergabung dalam satu pribadi ( DS 300-302 ). Di samping itu konsili ini mengeluarkan 27 kanon mengenai hal-hal
disipliner. Yerusalem menjadi patriarkhat yang kelima, tetapi Paus Leo menolak untuk menerima kanon yang kedua
puluh delapan yang memberikan kepada Konstantinopel ( “Roma Baru” ) kekuasaan yurisdiksi yang luas, yang
hanya lebih kecil daripada Roma saja. Conf., Gerald O’Collins., Op. Cit., 155.
Ajaran tentang Yesus Kristus sudah terdapat dalam Kitab Suci dan berkembang terus dalam
abad-abad pertama. Teolog-teolog seperti Yustinus dari Roma, Ireneus dari Lyon, Klemens dari
Alexandria dan Origenes juga membentangkan ajaran tentang Kristus.

Namun persoalan baru menjadi sangat ruwet dalam abad ke-empat. Soal Trinitas mendapat
perhatian utama dalam abad ke empat, di samping itu pertanyaan tentang Kristus telah muncul :
Bagaimana caranya mengerti kesatuan Allah dan manusia di dalam diri Yesus Kristus?. Atau,
”Bagaimana mungkin bahwa Dia yang dalam syahadat Nicea dan Konstantinopel disebut ”Allah
benar dari Allah benar” itu sekaligus merupakan manusia, menaklukkan diri kepada kondisi hidup
insani dan tampil dalam rupa insani?”.

Persoalan Kristologis mulai muncul berhubungan dengan Arianisme. Ajaran kaum Arian
tentang kesatuan Allah-manusia di dalam Yesus dapat dirangkumkan sebagai berikut:

1. Dalam inkarnasi Logos hanya mengenakan “daging”/tubuh seorang manusia, bukan


jiwa manusiawi. Jiwa diganti oleh Logos. Dalam bahasa Yunani daging disebut Sarx.
Sebab itu Kristologi ini seringkali dinamakan Kristologi – Logos – Sarx.
2. Kesatuan antara Logos dan daging dimengerti sama seperti kesatuan antara badan dan
jiwa, sehingga dalam Logos yang menjadi daging sebenarnya terdapat hanya satu
kodrat, kodrat Logos. Sebab itu ajaran Arianisme mempunyai inti monophysitis8
(monos = satu, physis = kodrat).

Konsili Nicea yang hanya terikat dengan persoalan Trinitas, belum memperhatikan
Kristologi – Logos – Sarx sebagai ajaran yang berbahaya. Tidak lama kemudian beberapa ahli
teologi telah melihat bahaya ajaran itu dan menekankan : Kristus juga mempunyai jiwa
manusiawi. Situasi mulai berubah dengan munculnya ajaran Apollinarius dari Laodikea.

3.4.2.1. Apollinarius9. :Mencacatkan kemanusiaan Yesus.


8
Monofisitisme (Yun. ‘satu kodrat’ ). Bidaah yang tidak mau menerima ajaran Konsili Kalsedon (415 )
bahw dalam Kristus ada “dua kodrat dalam satu pribadi” (DS 300-303 ). Bidaah ini memisahkan diri dari patriarkat
Konstantinopel meski tidak dengan jelas membela bentuk monofisitisme dalam arti sepenuhnya, yaitu yang
menyatakan bahwa peristiwa penjelmaan berarti peleburan (fusi ) kodrat keilahian dan kemanusiaan Kristus menjadi
“kodrat” ketiga, atau penyerapan (absorpsi ) kodrat manusiawi ke dalam kodrat ilahi seperti titik air ke dalam laut.
Perbedaan pendapat mengenai ajaran Konsili Kalsedon dalam kadar tertentu tampaknya seputar persoalan istilah
( terminology ). Yang termasuk penganut bidaah ini antara lain Timotius Aerulus ( + 477) yang menjadi Patriark
Monofisit di Aleksandria, dan Petrus (+ 488 ) yang menjadi Patriark Antiokhia. Akhirnya, Gereja-gereja monofisit
diorganisasi oleh Severus dari Antiokhia (465-538) yang diturunkan dari jabatan sebagai Patriark Antiokhia pada
tahun 518. Gereja-gereja monofisit ini sekarang pada umumnya disebut Ortodoks Oriental. Ibid., 206.

9
Lahir di Laodikia sekitar tahun 310. Karena bersama St. Athanasius memperjuangkan kredo Nikaia/Nicea
dengan gigih, ia diekskomunikasi oleh Gregorius, Uskup Laodikia yang menganut Arianisme. Kira-kira pada tahun
361 Apolinaris menjadi Uskup komunitas Nikaia/Nicea di Laodikia sampai akhir hidupnya. Ia seorang guru
berbakat yang menggabungkan erudisi klasik dengan kemampuan retorika, sehingga malah St. Hieronimus terdapat
Ia adalah seorang uskup dari Laodikea dan seorang pembela ajaran dari Konsili Nicea. Ia
mengemukakan sebuah ajaran dalam Kristologi yang hampir sama dengan Arianisme. Dia juga
menyangkal adanya jiwa manusiawi di dalam Kristus.

Menurutnya:

(1). Kristus mempunyai tubuh manusiawi, tetapi nous/jiwa sama dengan Logos. Adanya
jiwa manusiawi di samping Logos tidak mungkin menurutnya karena dua “wujud” (entia)
yang utuh, dan yang mempunyai prinsip hidup dan kehendak masing-masing tidak
pernah bisa membentuk satu makluk yang hidup.

(2). Andaikata Yesus mempunyai jiwa dan kebebasan seorang manusia, maka
keselamatan kita tidak terjamin, karena jiwa manusia bisa dipengaruhi oleh yang jahat.
Maka kalau Yesus mempunyai kebebasan manusiawi, karya keselamatan diancam oleh
ketidak-pastian.

Kesalahan Apollinarius yang paling mendasar ialah dicacatkannya kemanusiaan Yesus.


Mengikuti Plato, ia menyatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh ( soma ), jiwa ( psyche ), dan roh
( nous ).

Yang kedua dari tiga unsur ini, yaitu jiwa, diartikan sebagai jiwa irasional ( psyche alogike )
ataupun animal (hewani) dan sebagai asas kehidupan, sedangkan unsur ketiga, yaitu roh atau
pikiran, sebagai jiwa rasional ( psyche logike ) dan sebagai asas yang mengontrol serta menentukan.

Nah menurutnya, dalam Kristus terdapat tubuh insani dan jiwa irasional, kedua unsur
yang pertama tadi, tetapi bukan unsur ketiga, yakni jiwa rasional atau roh insani. Unsur ketiga itu
tempatnya diambil oleh Logos ilahi. Dengan kata lain, dalam pandangannya inkarnasi Sang Logos
harus diartikan bukan secara luas, yakni sebagai penjelmaan Sabda menjadi manusia, melainkan
secara harafiah : Logos hanya mengambil daging saja, hanya suatu tubuh yang dijiwai oleh psyche
alogike. Akan tetapi, jiwa insani yang rasional itu tidak ada pada Yesus. Jiwa rasional atau roh itu
diganti oleh Sabda Allah. Maka, tentang Yesus Kristus tak dapat dikatakan bahwa Ia melakukan
kegiatan intelektual manusiawi.

Ajaran Apollinaris tidak diterima oleh Gereja karena ajaran ini menyangkal keutuhan
kodrat insani Yesus. Kalau Yesus tidak mempunyai jiwa rohani yang insani, Ia bukan sungguh-
sungguh manusia. Pandangan Apollinaris bertolak belakang dengan teks-teks Kitab Suci yang
berkata bahwa ada hal yang tidak diketahui Yesus ( Mrk 13:32 : … dan Anak pun tidak, hanya Bapa
di surga), bahwa Yesus menangis dengan terharu (Yoh 11:35. 38), mempunyai rasa humor ( Yoh
8:7), dan mengalami kesedihan campur ketakutan di kebun Zaitun ( Mat 26:37-38 ) : semuanya itu
bukanlah tindakan tubuh yang berjiwa animal saja, melainkan ciri-ciri kemanusiaan yang sungguh-
di antara para muridnya di Antiokhia pada tahun 374. Bahu-membahu bersama Athanasius dan Basilius Agung ia
memerangi Arianisme, sampai ia sendiri akhirnya dihukum sebagai seorang bidaah karena berat sebelah dalam
menekankan Ketuhann Kristus sehingga mengabaikan kemanusiaan-Nya. Conf. foot note pada Dr. Nico Syukur
Dister, OFM., Op. Cit., 200.
sungguh. Karena itu, ia berpendapat: Demi kepastian keselamatan, kemanusiaan utuh dari Yesus
harus dikorbankan. Akan tetapi ajaran ini ditolak dan dihukum oleh Gereja, justru demi
penyelamatan. Kalau Logos tidak menjadi manusia yang utuh, penyelamatan manusia seutuhnya
tidak mungkin.

3.4.2.2. Theodorus dari Mopsuestia.

Posisi melawan dari Apollinarius dapat dijelaskan dengan menggambarkan sedikit ajaran dari
Theodorus. Ia dengan jelas membedakan dua kodrat di dalam Kristus. Dalam perbuatan dan
perkataan Tuhan, dia menarik garis batas yang tajam di antara yang ilahi dan yang manusiawi. Dan
perbedaan itu tidak ditegaskan untuk menghargai yang mausiawi di dalam Kristus dan menekankan
pentingnya dari yang manusiawi, tetapi perbedaan itu ditekankan untuk mempertahankan kemurnian
dari yang ilahi. Kodrat ilahi tidak boleh dicemarkan, dirugikan oleh kodrat manusiawi. Dalam
komentarnya tentang Injil Yohanes umpamanya, Theodorus selalu memperhatikan secara khusus
perkataan dan mukjizat Yesus yang menunjukkan kehadiran Allah.

Manusia hanya diperhatikan sejauh sifat-sifatnya yang luar biasa mengarah kepada Allah,
yang diam di dalam manusia itu dan bekerja melaluinya. Karena itu Theodorus seringkali berbicara
tentang Allah yang tinggal di dalam manusia yang disebut “bait Allah” atau “Allah yang menerima
dan manusia yang diterima”. Manusia bisa dibedakan dari Logos sebagai “yang lain”, sedangkan
Apollinarius selalu menekankan dia adalah “satu dan sama”. Yesus bukan manusia biasa, karena
Allah/Logos tinggal di dalam Dia, tetapi Dia manusia utuh, terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa manusia
tidak boleh disangkal, karena justru jiwa ( nous ) sebagai tempat kebebasan adalah tempat dosa dan
justru di dalam jiwa, setan dan dosa harus dikalahkan.

Dalam argumen ini bergema sedikit sebuah dalil yang cukup penting dalam Kristologi
Yunani : “quod non est assumptum, non est redemptum” (apa yang tidak diangkat, tidak
diselamatkan). Dalil ini rupanya dirumuskan pertama kali oleh Athnasius.

Kita dapat melihat di sini bahwa teologi Trinitas dan Kristologi selalu berdasarkan faktum
penyelamatan. Inilah pengalaman Gereja, bahwa kita diselamatkan dan berdasarkan pengalaman itu
teologi mencoba memikirkan dan menjelaskan sejauh mungkin rahasia-rahasia penyelamatan itu.
Namun selalu ditekankan, setiap spekulasi salah, kalau realitas penyelamatan tidak dipertahankan
lagi.

Kini jelas, ada dua posisi dasar dalam pertentangan Kristologis.

Apollinarius menekankan kesatuan Kristus, tetapi keutuhan manusia dikurbankan.


Theodorus sebaliknya, membedakan dengan jelas yang ilahi dan yang manusiawi di dalam
Kristus. Karena itu ia mengalami kesulitan: bagaimana caranya menjelaskan kesatuan di dalam
Kristus. Kristologi – Logos – Sarx,10 yang didukung oleh mazhab Alexandria, melawan
Kristologi – Logos – Anthropos (manusia) yang didukung oleh mazhab Antiokhia. Di sini,
11

Kristologi dipertajam oleh persaingan kedua mazhab tersebut.

Catatan tambahan mengenai Madzab Antiokhia dan Alexandria.

Kristologi Akhir Abad IV dan Selama Abad V adalah : “Yesus Kristus Sungguh
Manusia, Sungguh Allah”12. Pada abad V, kedua perguruan tersohor, Antiokhia13 dan
Aleksandria14, tidak hanya menampung pemikiran kristologis dari abad-abad sebelumnya,
10
Kristologi Logos-Sarx – (Yun. ‘Sabda – Daging’ ). Kristologi dari atas, yang khas dalam pemikiran
Origenes (185-254) dan St. Sirillus dari Aleksandria, yang memusatkan perhatian pada Logos yang preeksistens,
yang turun ke dunia. Pada umumnya sekolah Aleksandria dengan baik mempertahankan keilahian yang sejati dan
kesatuan Kristus sebagai subjek yang bertindak. Bagi aliran ini tantangan yang paling besar adalah menunjukkan
kemanusiaan Kristus yang sejati dan menjawab pertanyaan : “Bagaimana Sabda Allah yang abadi bertindak secara
sungguh-sungguh manusiawi sepenuhnya?”. Conf., Gerald O’Collins., Op. Cit., 171.

11
Kristologi Logos-Anthropos (Yun. ‘Sabda-Manusia’ ). Kristologi “dari bawah”, yang khas dalam
pemikiran Theodorus dari Mopsuestia (350-428) dan sekolah Antiokhia, yang mau mempertahankan kemanusiaan
Yesus Kristus sepenuhnya. Karena pemandangan ini mulai dengan Yesus mempunyai dua kodrat (kodrat manusiawi
dan ilahi) yang kesatuannya dipikirkan secara dangkal, muncullah pertanyaan: “bagaimana keilahian dan
kemnanusiaan Kristus berada dalam satu diri yang bertindak?”. Kristologi mereka dapat sesat kalau mengabaikan
kesatuan real Kristus dan berakhir dengan adanya dua subjek yaitu Sabda dan manusia Yesus. Ibid., 170-171.
12
Dr. Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika I, Kanisius Yogyakarta, 2004, 203-205.
13
Dr. Fl. Hasto Rosariyanto, SJ., “Pengantar”, yang diberikan pada “Kala Yesus Jadi Tuhan, Pergulatan
untuk Menegaskan Kekristenan pada Masa Akhir Romawi”, Karya Richard E. Rubenstein., PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2006, 17-19.. Antiokhia., Di dalam kekaiseran Romawi, Antiokhia adalah kota terbesar ketiga setelah
Roma dan Aleksndria. Kota ini didirikan oleh salah satu jenderal dari Aleksander Agung, Seleucus I. Karena
letaknya yang strategis – berada di titik temu antara Asia Kecil, Syria, dan Palestina – Antiokhia dengan cepat
berkembang menjadi kota dagang yang penting, pusat budaya dan politik. Pada 54 SM, dibawah kekuasaan Romwi,
kota ini menjadi ibukota dan markas besar militer Syria. Di bawah Julius Caesar, Tiberius, dan Herodes diperluas
dan dilengkapi dengan bangunan-bangunan baru. Pada awal abad pertama sebelum kelahiran Yesus, tercatat
kehadiran komunitas Yahudi dengan jumlah yang besar. Mereka diijinkan untuk hidup seturut adapt dan kebiasaan
nenek moyang mereka. Dan, hal ini menarik sejumlah orang non-Yahudi untuk memeluk cara hidup Yudaisme.
Pada umumnya, penduduk kota ini memiliki keterbukaan pada hal-hal keagamaan.
“Di Antiokhia-lah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” Frasa ini dikutip dari buku
suci orang Kristen, Kisah Para Rasul. Ungkapan ini mengandung kekayaan isi. Pertama: pernyataan ini merupakan
pemadatan dari perjalanan panjang bagaimana kekristenan yang pada mulanya dipandang sebagai salah satu sekte
agama Yahudi itu telah menjadi sebuah agama baru, agama Kristen. Kedua: penamaan itu terjadi di Antiokhia,
sebuah kota di luar Palestina. “Murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen”, artinya Yesus Kristus itu
menjadi pokok dan sumber iman mereka. Oleh para murid-Nya, Yesus Kristus itu diakui sebagai Mesias, dan justru
pengakuan ini yang oleh para pemuka Yahudi dituduh sebagai bentuk hujatan yang berakhir pada penyaliban.
Bahwa di Antiokhia, di luar wilayah Palestina, para murid Yesus itu disebut Kristen memperlihatkan peristiwa yang
lain lagi. Yesus itu orang Yahudi, para murid-Nya juga orang Yahudi. Namun, karena keteguhan iman mereka akan
Yesus, mereka dianiaya, mereka diusir, mereka harus melarikan diri keluar Palestina dan justru bukan di Palestina
gerakan itu akhirnya mendapat nama: Kristen, Christianoi. Entah apa pun latar belakang pemberian nama itu, yang
jelas mereka mulai dibedakan dari sekte Yahudi dan diakui keberadaannya.

14
Aleksandria., Rubenstein memberikan ilustrasi besar tentang kota ini. Di kota inilah awal munculnya
Arianisme. Aleksandria juga kota di mana Athanasius, lawan utama Arius, menjadi uskup. Sebagaimana Antiokhia
di Syria, Aleksandria di Mesir merupakan kota besar yang memiliki warga Yahudi dalam jumlah yang cukup
tetapi juga mencanangkan kedua konsep Kristologi yang sebagai dua paham mendasar akan
bertanding satu sama lain dalam kontroversi kristologis. Kedua konsep kristologis yang
berbeda-beda ini bersangkut-paut dengan apa yang umumnya menjadi cirikhas teologi
madzab itu masing-masing. Bengt Haegglund menggambarkan arah teologi dan konsep
kristologis dari kedua mazab yang berbeda itu sebagai berikut:

Perguruan Antiokhia, yang terkenal karena metode ilmiah yang mereka pakai dalam
menyelidiki Kitab Suci (termasuk metode kritik sastra), terarah kepada apa yang bersifat historis.
Menolak alegori dan menaruh tekanan pada keberadaan Yesus sebagai Manusia di bumi ini, pada
perkembangan serta historisitas-Nya.

Berhubung dengan Kristologi, penganut mazab Antiokhia mau menjaga agar baik yang ilahi
maupun yang insani-historis pada Yesus Kristus diperhatikan. Kesatuan dari kedua sifat ini
dilukiskan sebagai kesatuan moral, kesatuan kehendak. Sekaligus terdapat kesatuan subyektif pada
kaum beriman, karena yang mereka sembah bukanlah dua Kristus, melainkan satu. Akan tetapi,
secara substansi terdapat dua hypostaseis atau kodrat (istilah ini masih dipakai secara campur baur).
Bahaya Kristologi ini ialah kesatuan pribadi Yesus Kristus kurang diperhatikan karena Dia yang
lahir dari Allah itu lain dari dia yang lahir dari Maria. Kesan perlu dihindari seakan-akan ada dua
tokoh, dua “subjek” atau “pelaku”, yang kesatuannya hanya terletak dalam seia sekata, sehati sejiwa.
Berhubung dengan dasar Alkitabiahnya, mazhab ini memikirkan misteri inkarnasi lebih menurut
pola Filipi 2:7 ( Logos “mengambil rupa seorang hamba”, menjadi “sama dengan manusia” )
daripada menurut model Yoh 1:14.

Sebaliknya dalam perguruan Aleksandria, inkarnasi lebih dipikirkan menurut pola Yoh
1:14 ( Logos itu “telah menjadi manusia =harafiah : daging”) daripada menurut pola Flp 2:7.
Dibandingkan dengan kaum Antiokhia, mazhab Aleksandria pun lebih dipengaruhi oleh pemikiran
Yunani yang filosofis dan terarah kepada apa yang melampaui pancaindra, kepada kenyataan rohani
dan ilahi. Pemikiran tersebut secara prinsip mempertentangkan yang ilahi dengan yang insani. Di
kalangan Aleksandria unsur ilahi dalam Kristus begitu ditekankan sehingga unsur insani condong
diabaikan.

Penjelmaan dilukiskan sebagai perubahan Ketuhanan ke dalam kodrat manusiawi. Akan


tetapi, karena Allah demi hakikat-Nya tak dapat berubah maka penjelmaan tadi hanya dapat
berlangsung begitu rupa sehingga kodrat insani diubah menjadi kodrat ilahi. Dengan kata lain,
kesatuan dari Ketuhanan dan kemanusiaan Yesus tidak hanya terletak dalam bertindak dan
signifikan. Kota diaspora, kantong Yahudi di luar wilayah Palestina. Pentingnya kota ini bagi orang Yahudi sudah
tercatat, bahkan sebelum tarikh masehi. Di Aleksandria inilah Kitab Suci orang Yahudi diterjemahkan ke dalam
bahasa Yunani. Mengapa? Di satu pihak orang Yahudi itu tidak terpisahkan dari Kitab Taurat. Mereka adalah
bangsa yang hidupnya dipandu oleh Buku Suci mereka. Di pihak lain, generasi baru orang-orang Yahudi di diaspora
tidak lagi menguasai bahasa Ibrani, bahasa Kitab Suci mereka. Mereka hanya mengenal bahasa Yunani. Sedangkan
untuk agama Kristen, Aleksandria juga merupakan kota penting karena dari sanalah muncul tokoh-tokoh besar, para
pemikir teologi. Ibid., 19.
berkehendak, tetapi juga dalam substansi itu sendiri. Terdapat kesatuan kodrat atau substansi.
Bahaya di sini ialah ciri khas kodrat manusiawi kurang diperhatikan.

3.4.2.3. Sirillus melawan Nestorius : Gelar Theotokos = Bunda Allah kepada Bunda Maria.

Perselisihan antara Cyrillus dan Nestorius mengakibatkan diadakannya Konsili Efesus pada
tahun 431. Akan tetapi, keputusan konsili ekumenis ini dinilai mazhab Antiokhia sebagai terlalu
memihak pada pandangan Cyrillus. Sebaliknya, “syahadat perdamaian” yang kemudian diterima
oleh Cyrillus dicap oleh tokoh-tokoh mazhab Aleksandria yang lain sebagai pengkhianatan terhadap
Efesus dan terlalu menyetujui ajaran Nestorius. Oleh karena itu, 20 tahun kemudian diadakan lagi
suatu konsili ekumenis, dan kali ini di Kalcedon. Namun demikian, syahadat Kalcedon pun belum
juga mengakhiri kontroversi kristologis, yang ternyata berlangsung terus sampai jauh masuk abad
VII.

Perselisihan antara Cyrillus dan Nestorius berkisar pd gelar “Bunda Allah” (Theotokos)
untuk Maria. Surat menyurat mengenai masalah kristologis antara kedua batrik yang bersaingan,
Cyrillus dari Aleksandria dan Nestorius dari Konstantinopel, tidak mengahasilkan kesepakatan.
Maka, keduanya naik banding kepada Uskup Roma, Paus Celestinus I. Suatu sinode15 di Roma
pada tahun 430 menyatakan Nestorius tersesat dan membenarkan teologi Cyrillus.

Tahun 428 Nestorius diangkat menjadi uskup di Konstantinopel. Problem yang


dihadapinya adalah adanya perselisihan di antara umatnya berkaitan dengan gelar “Bunda Allah –
(Theotokos) – untuk Maria. Ia mencoba menyelami, apakah Maria harus disebut “bunda Allah” atau
“bunda manusia” (Anthropotokos). Ia mengemukakan kesulitan mengenai gelar “bunda Allah”
sebagai berikut:

Gelar itu bisa disalah-artikan menurut pengertian “bunda-bunda dewa” dalam agama kafir,
seolah-olah Kristus sebagai Allah menurut ke-Allah-annya lahir dari Maria. Maria
seharusnya tidak memakai gelar itu, karena “Maria tidak mengandung ke-Allah-an …,
melainkan seorang manusia, alat untuk ke-Allah-an. Dan Roh Kudus bukan menciptakan
Logos – Allah dari perawan. .., melainkan membangun sebuah kenisah untuk-Nya”. Karena
itu ia menganjurkan gelar “bunda Kristus” (Kristotokos), karena Kristus menyebut kesatuan
dari Allah dan manusia. Nestorius gagal mendamaikan umatnya. Para rahib dan banyak
awam melawannya dan mempertahankan gelar Theotokos yang telah dipakai para teolog dan
terkenal dalam tradisi gereja. Mereka lalu mengadukannya kepada uskup Cyrillus dari
Aleksandria dan Selestinus di Roma.

Cyrillus menuntut Nestorius (lewat surat-menyurat) untuk menyebut Maria Theotokos.


Polemik ini berlanjut dengan pengiriman utusan dan laporan ke Roma kepada Paus Celestinus I.
Dalam laporan itu, Cyrillus menuduh Nestorius menggambarkan Yesus sebagai manusia biasa saja.

15
Synod – (Yun. ‘dewan’ ). Himpunan para uskup dan yang lain yang berkumpul untuk memutuskan hal-
hal yang berkaitan dengan ajaran dan kehidupan Gereja. Istilah ini dipakai untuk semua pertemuan resmi, dari
tingkat dioses/keuskupan sampai tingkat konsili ekumenis (CD 36-38). Ibid., 298
Karena itu ajaran Nestorius dihukum dalam suatu sinode di Roma tahun 430. Sri Paus menugaskan
Cyrillus menyampaikan keputusan ini kepada Nestorius. Cyrillus menyusun 12 anatema terhadap
bidaah baru ini yang ditambahkannya pada surat Paus, dan ia mengancam Nestorius dengan
pemberhentian dan ekskomunikasi kalau uskup Konstantinopel itu dalam jangka waktu 10 hari tidak
menarik kembali kesalahannya.

Oleh karena Nestorius menolak, maka Kaisar Theodosius II, dengan dukungan Valentinianus
III yang berkuasa di kawasan Barat, dan atas persetujuan Paus Celestinus, diadakanlah Konsili di
Efesus16 pada tahun 431 tepat pada hari raya Pentekosta, tanggal 7 Juni. Pada kesempatan itu, gelar
Theotokos diakui secara meriah.

Hingga saat ini (sampai konsili Efesus), dengan pelbagai cara, kebenaran diancam, bahwa Putra
Allah sunguh-sungguh adalah subjek dari hidup manusiawi Yesus.

 Para Arian : mempergunakan kesatuan subjek untuk menyangkal ke-Allah-an Putra.


 Apolinarius : menekankan juga kesatuan, tetapi merusakkan keutuhan kemanusiaan
 Aliran Mazhab Antiokhia, yang mau mengatasi kedua bahaya itu, menekankan perbedaan-
perbedaan begitu kuat sampai mengaburkan kesatuan dari Kristus,
 Sirillus belum melihat kepentingan untuk memikirkan perbedaan di antara kodrat manusiawi
dan ilahi dalam Allah-manusia secara lebih mendalam, dan dia kurang memperhatikan
realitas penuh dari kemanusiaan Yesus.

3.4.3. Symbolum reunionis / Syahadat Perdamaian dari tahun 433

Ketika diadakan Konsili Efesus, Yohanes, Batrik Antiokhia, bersama para uskupnya belum
tiba, dan juga para utusan Sri Paus belum ada. Kendati sekitar 60 peserta (termasuk Nestorius)
mengajukan protes dan kuasa, Kaisar pun tidak menyetujui dimulainya persidangan, namun Cyrillus
sebagai kuasa Paus memaksa konsili dibuka. Maka pada sesi pertama (tanggal 22 Juni) yang diketuai
Cyrillus selaku kuasa Uskup Roma, Nestorius diberhentikan sebagai uskup Konstantinopel dan
diekskomunikasi (kalau tidak menarik ajarannya).

Empat hari kemudian tibalah Batrik Yohanes dari Antiokhia bersama para uskupnya. Maka
dimulailah pembicaraan yang panjang antara Cyrillus dengan para wakil mazhab Antiokhia yang
lebih moderat daripada Nestorius, khususnya Batrik Yohanes dari Antiokhia, Andreas – Uskup
Samosata, dan terutama Theodoretus – Uskup Kirus. Masing-masing berusaha menghilangkan salah
16
(penguasa wilayah Timur) untuk menyelesaikan perselisihan yang disulut oleh Nestorius (meninggal th. 451),
yaitu Patriark Konstantinopel yang menyatakan keberatan terhadap gelar Theotokos (Yun. ‘Bunda Allah’ ) bagi
Maria. Tanpa menunggu utusan-utusan paus atau uskup-uskup Siria yang diketuai Yohanes, Patriark Antiokhia
(meninggal th 441), St. Sirilus dari Aleksandria (+ 444) pada tanggal 22 Juni 431 membuka Konsili yang mengutuk
ajaran Nestorius dan mengucilkannya. Efesus tidak menghasilkan rumusan dogmatis baru, tetapi lebih-lebih
menyatakan bahwa surat kedua Santo Konsili Efesus adalah Konsili Ekumenis III. Konsili ini diadakan oleh
Theodosius II (408-450) – Sirilus kepada Nestorius sejalan dengan iman yang diajarkan oleh Nikea/Nicea (325)
( lih. DS 250-268). Dengan menyatakan Maria adalah Bunda Allah, konsili mengakui Yesus Kristus sebagai pribadi
yang ilahi yang “satu dan sama”. Ajaran Kristologi ini mempersiapkan jalan bagi rumusan Kalsedon (451). Kanon
kedelapan Konsili Efesus mengakui Gereja Siprus sebagai Gereja yang mempunyai kepala sendiri. Ibid., 153.
paham pada pihak lawan dengan menjelaskan maksud mereka yang sebenarnya. Maka pada tahun
433 dicapai kesepakatan sebagai berikut: Pernyataan Konsili Efesus diterima, tetapi maksud Konsili
dijelaskan melalui syahadat yang pada tahun 431 sudah disusun oleh Theodoretus. Syahadat ini
berbau mazhab Antiokhia dan memakai peristilahan mereka tetapi apa yang diperjuangkan oleh
Cyrillus pun tercantum di dalamnya: kesatuan subjek pada Yesus Kristus dan gelar “Bunda Allah”
bagi santa Perawan Maria.

Bunyi Syahadat/Symbolum Perdamaian/reunionis itu adalah sebagai berikut:

“Kita mengakui Tuhan kita Yesus Kristus, Putra tunggal Allah, utuh sebagai manusia,
dengan jiwa riil dan dengan badan, menurut ke-Allah-annya lahir dari Bapa sebelum
awal masa dan menurut kemanusiaannya pada hari-hari terakhir lahir dari Perawan
Maria yang sama, sehakikat dengan Bapa menurut ke-Allah-an dan sehakikat dengan
kita menurut kemanusiaan, karena terjadilah persatuan dari dua kodrat dan oleh
karena itu kita mengakui : satu Kristus, satu Putra, satu Tuhan. Menurut perpaduan
tanpa percampuran itu,kita mengakui santa Perawan bunda Allah, karena Allah sang
Sabda, menjadi daging dan menjadi manusia dan sejak dari saat pertama Ia
dikandung, Dia sendiri mempersatukan dengan diriNya kenisah yang diterimanya dari
dia (Maria)”.

Setelah pembicaraan yang cukup sulit, Cyrillus menyetujui Symbolum reunionis itu, namun
keputusan dari kedua pimpinan itu tidak diterima oleh semua penganutnya dan di sinilah terletak asal
dari Nestorianisme17 dan Monophysitisme sebagai bidaah.

Dalam perkembangan selanjutnya, Cyrillus harus membela diri terhadap dua pihak, yakni dia
terus menyerang Nestorius dan ajarannya, tetapi juga harus membela diri terhadp pengaduan bahwa
dia mengkhianati Konsili Efesus( dengan menerima symbolum reunionis). Di samping itu ia tidak
mempunyai terminology yang jelas, karena di satu pihak ia membenarkan pemakaian formula
tentang “dua kodrat dari Sabda yang menjadi daging”. Ketidakpastian ini memaksanya untuk
berpikir lebih dalam lagi. Semua diskusi yang ada mengabaikan latar belakang soteriologis, maka
Cyrillus harus merenungkan aspek ini.

Dalam rangka menjelaskan bahwa formulanya tentang satu kodrat sesuai dengan symbolum
reunionis, ia mengajar:

17
Bidaah yang dikutuk pda tahun 431 dalam Konsili Efesus karena mengajarkan bahwa dalam Kristus ada
dua pribadi yang berbeda, manusiwi dan ilahi. Bidaah ini dianggap dipelopori oleh Nestorius (+ 451) seorang rahib
dari Antiokhia yang menjadi Patriark Konstantinopel (428-431). Sebenarnya harus dibedakan antara Nestorianisme
sebagai bidaah yang dikutuk di Efesus (431) dan pandangan Nestorius sendiri, yang ortodoksinya masih tetap
diperdebatkan sampai sekarang tetapi yang tampaknya bermaksud untuk tetap bersikap ortodoks. Nestorius melawan
gelar Maria sebagai Theotokos – Bunda Allah – rupanya karena takut bahwa gelar itu mengancam kepenuhan dan
keberadaan keilahian dan kemanusiaan Kristus. Ia sendiri rela untuk menerima gelar itu, kalau dimengerti secara
benar. Ibid., 215-216.
Inkarnasi tidak berarti peralihan kodrat manusiawi ke dalam kodrat ilahi, melainkan homo-
ousia Kristus dengan kita tetap dipertahankan. Ia memakai istilah-istilah yang kemudian
dipakai oleh Chalcedon : “Kedua kodrat bertemu dalam sebuah perpaduan yang tidak dapat
dipisahkan, tanpa percampuran dan tanpa perubahan, sehingga masing-masing kodrat tinggal
dalam cirinya yang asasi”. Keyakinan ini memaksanya untuk mengubah satu pikiran tentang
“Pengallahan” (yang diambilnya dari Athanasius) melalui penerimaan (logos
memperallahkan kodrat manusiawi dalam aktus penerimaan).

Kini Cyrillus mengakui bahwa Yesus dalam hidup duniawi ini menerima semua kelemahan
seorang manusia sesudah dosa Adam. Logos mengenakan daging lemah, tetapi mengalahkan
kelemahan itu itu dengan kekudusan-Nya dan sebab itu “daging” Yesus menjadi daging yang
menghidupkan melalui kebangkitan. Dengan ini, pengalaman-pengalaman manusiawi, seluruh hidup
manusiawi, dari Yesus dihargai secara baru. Cyrillus melihat suatu ketegangan di antara kemauan
manusiawi dan ilahi dalam kegelisahan Yesus di Getsemani sebelum Ia ditangkap. Oleh karena Dia
Putra, maka Ia mengalahkan kesulitan itu, dalam ketaatan, dengan demikian di dalam Dia justru
kodrat manusiawi yang lemah dikuatkan dan dipulihkan. Allah manusia adalah manusia yang benar
dengan segala kelemahan saudara-saudaranya, tetapi menanggung kelemahan itu dalam ketaatan
yang tak berdosa karena kekuatan Putra.

3.4.4. Konsili di Chalcedon

3.4.4.1. Monofisitisme Pra-Chalcedon dan “Risalah Paus Leo”

Pokok utama yang ditegaskan Konsili Efesus berhubung dengan dogma Kristologis, yaitu
Yesus Kristus, Firman dan Anak Allah yang serentak Allah dan manusia, memang hanya satu
subyek, satu “tokoh”. Itulah yang dipertahankan demi realitas keselamatan manusia. Akan tetapi,
cara Cyrillus memikirkan kesatuan itu tidaklah disahkan oleh Konsili, khususnya oleh mereka yang
menganut mazhab Antiokhia, yang beranggapan bahwa ia meleburkan kedua kodrat demi kesatuan
subyek. Mereka berkesan bahwa menurut ajaran Cyrillus itu pada Yesus Kristus hanya ada satu
kodrat, yaitu Firman Allah, yang menyerap “daging” (kemanusiaan). Dengan demikian, Kristus
bukan sungguh-sungguh manusia lagi.

Di Konstantinopel, Rahib Eutykhes (arkimandrit = kepala suatu biara dekat kota ini; ia
meninggal sekitar tahun 450) mengajarkan bahwa kodrat insani Kristus, karena kesatuannya
dengan kodrat ilahiNya, diresapkan ke dalam kodrat ilahi itu. Maka, yang tinggal ialah hanya
satu (monos) kodrat (physis) saja. Ia mengajarkan bahwa Kristus hanya sehakikat dengan Allah,
bukan dengan manusia. Para penganut monofisitisme ini memang menerima bahwa Yesus Kristus
itu juga manusia, namun mereka begitu menekankan keilahian-Nya sehingga kemanusiaan-Nya
tidak berarti apa-apa. Paling tidak secara praktis kemanusiaan itu diserap oleh keilahian, kalaupun
secara formal mereka mengakui Yesus Kristus sepenuhnya manusia.

Suatu sinode yang diketuai Batrik Konstatinopel , Flavianus, berkumpul di kota itu pada
tahun 448 untuk menyelidiki pikiran Eutykhes. Para uskup yang sebagian besar berasal dari
mazhab Antiokhia itu, menerima syahadat perdamaian yang disetujui Cyrillus. Mereka menilai
Eutyches sebagai wakil mazhab Aleksandria. Pada synode itu, Flavianus mengemukakan sebagai
ajaran ortodoks (orthodoxy = kepercayaan yang benar) rumus ini:

“Kami mengakui bahwa Yesus sesudah inkarnasi (terdiri) dari dua kodrat (ek dua physeis),
sambil menerima satu Kristus, satu Anak, dan satu Tuhan dalam satu diri (hypostasis) dan
satu pribadi (prosopon)18.

Keterangan ini jelas melawan pendekatan mazhab Aleksandria (satu kodrat/physis), dan juga
secara tegas membedakan antara istilah physis (kodrat) dengan hypostasis (diri) yang searti prosopon
(pribadi). Dan diri atau pribadi itu tidak lain daripada diri/pribadi Firman/Anak Allah pra-ada.
Dengan demikian, peristilahan akhirnya menjadi jernih (setelah lama sekali kacau dan kabur).

Setelah Eutykhes dikutuk dan dipecat oleh Sinode Konstantinopel, ia naik banding ke
beberapa sinode lainnya dan juga kepada Sri Paus. Batrik Aleksandria – Dioskoros - membela
Eutyches dan menerimanya dalam persekutuan, namun Paus Leo Agung menentang ajarannya,
yakni monofisitisme, sebagai bidaah baru. Dalam sepucuk surat dogmatis (epistula dogmatica)
kepada Flavianus, Batrik Konstantinopel itu, Sri Paus mengungkapkan dengan jelas apa yang
menurutnya ajaran Kitab Suci dan Gereja tentang inkarnasi. Ia membedakan kedua kodrat Kristus
sambil mempertahankan kesatuan pribadi-Nya. Surat Paus Leo yang tertanggal 13 Juni 449 dan
terkenal dengan nama Tomus Leonis ( Risalah Paus Leo) ataupun Tomus ad Flavianum (Risalah
kepada Flavianus) menjadi termasyur karena pengaruhnya terhadap Konsili Chalcedon yang akan
diadakan dua tahun kemudian. Berhadapan dengan diskusi yang sulit dan panjang lebar di Gereja
kawasan Timur itu, Risalah Paus Leo merangkum secara singkat Kristologi Gereja kawasan Barat
yang tradisional. Di dalamnya termasuk bukan hanya Kristologi Tertullianus yang memang bersifat
dasariah bagi Gereja di Barat, tetapi juga pengembangannya lebih lanjut berkat usaha Hilarius (+
367), yang pada dasarnya mengikuti pola Firman-manusia (Logos–anthropos) ala perguruan
Antiokhia dan dengan demikian berhadap-hadapan dengan model Firman-daging (Logos-sarx)
yang dipakai oleh mazhab Aleksandria.

Hal-hal yang ditekankan Leo Agung dalam risalahnya, yaitu:

1. Pribadi Sang Allah-manusia, pribadi Dia yang menjadi daging adalah identik dengan
pribadi Logos ilahi.
2. Di dalam satu pribadi yang dimiliki oleh Logos yang telah menjelma itu terdapat dua
kodrat, ilahi dan insani, secara selaras tetapi tidak tercampur. Sri Paus merumuskannya
demikian : “Sifat dan ciri masing-masing kodrat berpadu dalam satu pribadi itu tinggal
utuh, seraya keluhuran menerima kerendahan, kekuatan kelemahan, kebakaan kefanaan.
3. Kesatuan antara kedua kodrat itu bersifat hakiki, karena pentingnya kesatuan itu bagi
penebusan. Pengantara satu-satunya antara Allah dan manusia itu dalam arti tertentu
18
Prosopon – (Yun. ‘wajah, topeng, peran’). Pada mulanya adalah topeng yang dipakai dalam pents dan
kemudian menjadi istilah yang berarti “pribadi” (persona). Beberapa Bapa Gereja berbicara mengenai tiga prosopa
Tritunggal dan satu prosopon Yesus Kristus (lih. DS 250; 302). Namun istilah yang lebih umum untuk “pribadi”
adalah hypostasis. Ibid., 266.
harus dapat mati, tetapi dalam arti tertentu pula harus tidak dapat mati. Memang,
mungkinlah mengatakan bahwa Logos mati, artinya Ia mati menurut kodrat-Nya yang
insani, tetapi bukan menurut kodrat-Nya yang ilahi.
4. Kedua kodrat Kristus mempunyai cara kerja tersendiri, walaupun yang satu selalu
bertindak dalam keselarasan dengan yang lain.
5. Ajaran tentang communicatio idiomatum19 harus dipertahankan. Ajaran ini berarti bahwa
karena kesatuan kepribadian, maka sifat-sifat atau atribut (idioma) yang dimiliki masing-
masing kodrat itu dapat ditukar. Maka, tepatlah misalnya mengatakan bahwa Anak Allah
disalibkan dan dimakamkan, atau bahwa Anak Manusia turun dari surga menurut ke-
Allah-an.

Dengan demikian Paus Leo I tegas mempertahankan unsur-unsur hakiki dalam Kristologi dan
Soteriologi, sambil menyadari betapa paradoksal misteri iman yang tampak sebagai fenomena Yesus
Kristus.

3.4.4.2. Konsili Chalcedon dan Perkembangan Selama Beberapa Abad sesudahnya


(Pertengahan Abad V-VII).

Kendatipun Sri Paus dapat menampung keprihatinan mazhab Aleksandria (yakni hanya ada
satu tokoh/subjek ialah Firman Allah) dan keprihatinan mazhab Antiokhia (Yesus Kristus mesti
sungguh-sungguh manusia sama seperti manusia lain dan sungguh-sungguh Allah demi keselamatan
manusia), namun di lain pihak Paus Leo tidak berhasil mengatasi ketegangan yang ada antara kedua
keprihatinan itu. Juga setelah diadakannya Konsili Ekumenis yang keempat di Chalcedon,
kontroversi masih terus berlangsung terus selama ratusan tahun.

3.4.4.2.1. Dari Sinode “Penyamun” di Efesus (Tahun 449) sampai Konsili Chalcedon (Tahun
451).

Setelah Euthyches dikutuk dan diberhentikan oleh sinode di Konstntinopel pada tahun 448, ia
sendiri bersama Batrik Dioskoros dari Aleksandria berhasil membujuk Kaisar Theodosius II supaya
mengumpulkan suatu konsili di Efesus. Pada bulan Agustus tahun 449 konsili itu didakan, dengan
Dioskoros sebagai ketuanya. Tekanan terhadap para uskup yang hadir luar biasa besarnya, tanpa
diberi kesempatan bersuara. Eutyches direhabilitasi dengan alasan bahwa ajarannya tepat. Batrik
Flavianus dipecat dan dianiaya, demikian pula Theodoretus – Uskup Kyrus. Syahadat perdamaian
tahun 433 dicabut. Ajaran bahwa pada Yesus Kristus sesudah inkarnasi terdapat dua kodrat itu
dinyatakan bidaah. Para utusan Paus dari Roma tidak diberi kesempatan mengemukakan apa yang
19
Communictio Idiomatum – (Lat/Yun. ‘saling tukar milik). Pertukaran sebutan karena kesatuan keilahian
dan kemanusiaan dalam satu pribadi Putra Allah yang menjelma. Ini berarti, sebutan untuk salah satu kodrat dapat
dipakai untuk Dia, juga kalau Ia disebut dalam kaitannya dengan kodrat yang lain: mis. “Putra Allah wafat di salib”
dan “Putra Maria menciptakan dunia” (DS 251). Pemikiran seperti ini perlu dijernihkan agar kedua kodrat itu tidak
dicampuradukkan. Putra Allah sebagai yang ilahi tidak wafat di salib; demikian juga Putra Maria sebagai manusia
tidak menciptakan dunia. Ibid., 46.
diajarkan Uskup Roma itu (yaitu epistula dogmatica). Sinode yang oleh Paus Leo I disebut Sinode
“Penyamun” Efesus (Latrocinium Efesianum) ini jelas memenangkan perkara Eutyches, yang
berarti : pikiran mazhab Aleksandria. Santo Leo Agung langsung bertindak dengan mengadakan
sinode di Roma pada bulan September tahun yang sama, di mana akta Sinode “Penyamun” itu secara
resmi ditolak. Sinode ini meminta Kaisar Theodosius II untuk mengumpulkan konsili ekumenis di
Italia, namun Kaisar yang memihak pada kelompok Dioskoros-Eutyches tidak mengabulkan
permintaan itu.

Setelah meninggalnya Theodosius II, maka diadakanlah Konsili di Chalcedon/Kalkedon


dengan ketuanya Kaisar Marcianus dan dihadiri oleh 600 uskup – hampir semua dari kawasan Timur
dan beberapa utusan Sri Paus. Pada Konsili ini, semua keputusan Konsili Penyamun dicabut,
Flavianus direhabilitasi, pengikutnya dipecat, syahadat konsili Nicea dibacakan; kedua surat
Cyrillus kepada Nestorius (Konsili Efesus) dibacakan juga; demikian pula surat Paus Leo Agung
kepada Flavianus tentang masalah Eutyches. Setelah Tomus Leonis dibacakan, para bapa konsili
berseru : “Petrus telah berbicara melalui mulut Leo”

3.4.4.2.2. Syahadat Konsili Chalcedon.

Syahadat/kredo yang dipromulgasikan oleh Konsili Chalcedon itu meminjam peristilahan


Sto. Leo Agung untuk membantah bidaah Nestorius di satu pihak dan bidaah Eutyches di lain pihak.
Sekaligus syahadat ini dimaksudkan sebagai syntesis antara mazhab Antiokhia dan mazhab
Aleksandria berhubung dengan misteri Sabda yang telah menjelma. Bagian pertama kredo
Chalcedon menyangkut kesatuan pribadi, sedangkan bagian kedua itu mengenai dua kodrat dalam
Sang Kristus.

Adapun teksnya sebagai berikut:

“Maka dengan mengikuti para leluhur suci, kami sekalian sehati sepikir mengajar bahwa
mengakui Sang Putra dan Tuhan kita Yesus Kristus sebagai satu dan sama:

1. yang sama sempurna dalam keilahian dan yang sama sempurna dalam kemanusiaan,
2. yang sama sungguh Allah dan sungguh manusia terdiri dari jiwa yang berakal dan tubuh,
3. menurut keilahian sehakikat dengan Bapa dan yang sama sehakikat dengan kita menurut
keinsanian,
4. dalam segalanya sama dengan kita, tetapi tanpa dosa (bdk. Ibr 4:15)
5. menurut keilahian dilahirkan dari Bapa sebelum segala abad, tetapi menurut kemanusiaan
pada hari-hari akhir itu yang sama dilahirkan dari perawan Maria, Bunda Allah, demi
untuk kita dan demi untuk keselamatan kita.
Kami mengajar bahwa Tuhan Yesus Kristus yang satu dan sama, Putra yang tunggal itu,
harus diakui

6. dalam dua kodrat (en duo physein), tak tercampur (asygkhytos), tak berubah (atreptos),
tak terbagi (adiairetos) , tak terpisah (akhoristos),

7. dengan sama sekali tidak dihilangkan perbedaan kodrat-kodrat karena pemersatuan,

8. tetapi sebaliknya ciri-corak khas masing-masing kodrat tetap aman, dan kedua kodrat itu
bergabung dalam satu pribadi (prosopon) dan satu diri (hypostasis),

9. tidak terbagi ataupun terpisah menjadi dua pribadi (prosopa),

10. melainkan yang satu dan sama Anak Tunggal, Allah –Logos, Tuhan Yesus Kristus,

Sebagaimana para nabi dahulu dan Yesus Kristus sendiri mengajar kita tentang itu dan
syahadat para moyang menyampaikannya kepada kita”.

Rumusan ini meminjam pikiran-pikiran dan rumusan-rumusan dari pelbagai pihak,

 Nomor 1-4 diambil over (dengan sedikit perubahan) dari symbolum reunionis yang disusun
oleh Theodoret dari Kyros – seorang teolog golongan Antiokhia-; namun dengan menaruh
“satu dan sama” di depan, seluruh bagian mendapat tekanan baru, lebih sesuai dengan ajaran
Aleksandria.
 Nomor 6 – dalam dua kodrat, adalah formula dari Leo Agung dan sangat sesuai dengan
Anthiokia. “Tanpa percampuran” dan “Tanpa perubahan”, dua istilah yang sudah dipakai
oleh Tertullianus dan yang berarti bahwa yang ilahi dan yang manusiawi tetap dipertahankan
menurut kodratnya masing-masing, sekarang sudah diakui secara umum oleh semua pihak.
“Tanpa pemisahan dan tanpa pembagian” melawan adoptianisme. Ke-Allah-an dan
kemanusiaan hanya bisa dibedakan tidak boleh dipisahkan dalam Kristus.
 No 7 – “perbedaan dari kodrat-kodrat tidak dihapuskan oleh persatuan” adalah formula dari
surat kedua Syrillus kepada Nestorius. Bagian kedua dari kalimat ini “ciri khas dari masing-
masing kodrat dipertahankan” sudah terdapat dalam tulisan Tertullianus tetapi juga dari
Syrillus dan Leo. Dari Tertullianus dan tradisi Latin berasal juga “satu persona” (8).
 Aliran Antiokhia sudah selalu memakai “prosopon” tetapi dengan menghubungkan prosopon
itu dengan hypostasis ditegaskan: “pribadi” mendapat arti seperti di dalam teologi Trinitaris,
artinya Logos sendiri, Putra tunggal dan kekal adalah subjek dari peristiwa penyelamatan
(10).

Berhadapan dengan diskusi yang tidak berkesudahan mengenai hubungan antara keilahian
dan keinsanian Yesus Kristus, syahadat Chalcedon memberi kesaksian tentang iman Kristini :
“Yesus hanya satu pribadi, satu subjek atau tokoh saja, dan Ia pun sekaligus Allah dan
manusia”. Dengan merumuskan syahadat ini, Konsili tidak menyingkirkan pertanyaan spekulatif
tetapi mengarahkannya. Hanya dalam arah ini tiap-tiap usaha untuk berbicara secara tepat tentang
Ketuhanan dan kemanusiaan Yesus Kristus harus berlangsung.

3.5. Donatisme, Gnostisisme

3.5.1. Donatisme

Donatisme merupakan skisma yang muncul sekitar tahun 311, berkaitan dengan
pentahbisan Cecilianus dari Kartago, oleh Uskup (Felix dari Aptunga) yang dituduh sebagai
pengkhianat selama masa penganiayaan oleh Kaisar Diokletianus. Uskup-uskup yang tidak
setuju memilih Mayorinus yang kemudian digantikan oleh Donatus. Dari nama inilah berasal
istilah donatisme. Para pengikut aliran donatisme menolak keabsahan sakramen yang dilayani
oleh pelayan-pelayan yang tidak pantas, dan menuntut pembabtisan kembali orang-orang
Kristiani yang telah jatuh lagi dalam dosa. St. Agustinus dari Hippo (354-430) dengan keras
melawan aliran donatisme. Suatu konferensi yang diadakan di Kartago pada tahun 411
melemahkan mereka dan akhirnya aliran ini menghilang ketika orang-orang Sarasen
menghancurkan GerejaAfrika Utara.

3.5.2.Gnosis/Gnostisisme.

Tema dasar gnosis itu dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana caranya mencapai
pengetahuan dan pengertian yang benar, yang bisa menyingkapkan rahasia dunia dan bagaimana
memahami unsur yang jahat di dalamnya, terlebih rahasia eksistensi manusia”. Dengan demikian,
persoalan gnosis adalah pengalaman manusia yang mengalami diri sebagai orang berdosa,
dipengaruhi oleh suatu kuasa jahat yang gelap dan dalam situasi begini manusia merindukan
kebebasan dari kuasa jahat itu yang kekutannya demikian hebat di dunia. Gnosis berusaha untuk
menjelaskan keadaan malang dari manusia itu dengan bertolak dari suatu Kosmologi dualistis.

Dunia dibagi dua; “ada suatu dunia roh, tempat tinggal Allah tertinggi dan sempurna”, dan
ada “dunia materi ini yang tidak sempurna”, karena dibuat oleh salah satu roh rendah, malah
menurut beberapa aliran, oleh suatu Allah yang jahat. Manusia berada dalam dunia materi ini tetapi
dia tidak sama sekali dari dunia materi. Manusia itu terdiri dari dua bagian (jiwa/roh dan badan
/materi). Oleh karena suatu nasib yang gelap dan rahasia, unsur-unsur roh dari dunia atas dibuang ke
dalam dunia materi, dan di dalam badan, seperti di dalam penjara. Dan unsur rohani di dalam
manusia secara kabur mendambakan persatuan dengan Allah tertinggi, mau pulang ke dunia roh,
tempat asalnya. Akan tetapi karena terkurung di dalam badan/materi roh tidak sungguh-sungguh
mengerti keadaannya yang sebenarnya dan keadaan dari dunia; hanya ada suatu kerinduan yang
kabur dan oleh karena itu ia merasa tidak senang.

Biasanya menurut aliran-aliran gnosis itu, ada suatu wahyu atau pemberitahun dari dunia atas
atau utusan yang dikirim oleh Allah tertinggi, atau buku-buku wahyu yang diturunkan dari surga.
Dan wahyu itu menjelaskan keadaan dunia dan manusia seperti digambarkan di atas. Kalau manusia
menerima wahyu itu dan mempelajari ajarannya maka ia mencapai pengetahuan yang sejati, gnosis,
dan bisa pulang; jiwanya dibebaskan atau membebaskan diri dari belenggu badan dan pulang ke
dunia terang, tempat tinggal Allah sempurna. Inilah ajran dasar gnosis. Banyak unsur dari agama
Asia Kecil dan filsafat Hellenisme yang tercampur dan tergabung di dalamnya.

Ketika sinkretisme (campuran) gnosis itu berkembang sepenuhnya, agama Kristen masuk ke
dalam dunia Hellenisme, dan mendapat perhatian besar di dalam suasana sinkretistis itu. Ada ajaran
baru tentang penebus dan pembebas manusia sebagai seorang pemberi wahyu/penerangan baru.
Cukup cepat Krstus dimasukkan ke dalam alam pikiran gnosis. Menurut ajaran gnosis Kristus diutus
oleh Allah tertinggi untuk memberitahukan kepada manusia bahwa dia berasal dari dunia terang itu
dan bisa pulang ke sana. Kristus sesungguhnya tidak menjadi manusia, dia hanya mempunyai sebuah
tubuh semu. Suatu inkarnasi yang sesungguhnya tidak dapat diterima oleh gnosis, karena bagaimana
utusan dari dunia roh itu bisa mengenakan daging yang hina itu, yang pada hakikatnya jahat dan
sumber segala kejahatan. Kalau dia menjadi daging, dia justru tenggelam dalam materi yang berdosa
dan tidak bisa lagi menyampaikan pengetahuan tentang kedaan sebenarnya dari dunia, karena dia
sendiri dibelenggu oleh badan – materi dan pengetahuan tentang dunia atas itu tidak jelas lagi. Roh
dan materi bermusuhan, berlawanan, menurut ajaran ini. Sebab itu manusia tidak diselamatkan
dalam daging melainkan dari daging; daging materi harus ditinggalkan.

Gerakan gnosis itu cukup berhasil dan dari umat Kristen ada yang menganutnya. Hal yang
perlu diketahui bahwa pada saat itu ajaran Kristen belum dirumuskan secara tepat dan jelas, selain
itu tulisan-tulisan Kitab Suci belum selesai dikumpulkan dan belum mendapat statusnya sebagai
Kitab Suci, apalagi ajaran gnosis sangat sesuai dengan alam pikiran Yunani. Gnosis itu sendiri
berbicara tentang Kristus dan berbicara atas suatu cara yang sangat menarik untuk orang-orang
Hellenis, di mana kerinduan mereka betul dikabulkan dan pertanyaan mereka dijawab. Di sini
nampak ada satu pewartaan Yesus Kristus dalam pakaian kebudayaan Hellenis, tetapi gagal karena
mereka menyesuaikan Kristus dengan suatu kebudayaan manusiawi dan bukan sebaliknya, yang
seharusnya dibuat yaitu menyesuaikan kebudayaan itu dengan kenyataan Yesus Kristus;
penyelamatan dalam diri Kristus seperti terjadi sebenarnya. Karena itu suatu akomodasi yang gagal
yang mengkhianati Kristus dan menjadi bidaah.

Menurut ajaran Kristen (sebagai perbandingan dengan gnosis), satu Allah yang sama
menciptakan segala sesuatu yang ada (Roh dan materi) oleh firman-Nya. “Segala sesutu dijadikan
oleh-Nya (Frman Allah) dan tanpa Dia tidak ada sesuatu pun yang telah jadi dari segala yang telah
dijadikan” (Yoh 1,3). Yang jahat ada di dalam dunia karena manusia dalam kebebasannya tidak taat
kepada pencipta-Nya tetapi memberontak dan mau “berdikari”, tidak bergantung kepada
penciptanya. Sebab itu manusia harus diselamatkan dari kuasa dosa itu oleh Allah sendiri.
Penyelamatan itu sendiri terjadi karena Firman (Putera) Allah yang menjadi manusia benar dan
sebagai manusia benar dalam ketaatan-Nya Ia memulihkan hubungan dengan Bapa yang telah
diputuskan oleh manusia dalam ketidaktaatannya.
3.1. Ajaran-ajaran bidaah.

Sekalipun Gereja terdiri dari orang-orang berdosa dan orang-orang Kudus (Mat 5:13-16 ;
7:15-23 ; 10:1-4 ; 13:1-9,24-50 ; 26:69-75 ; Mrk 3:19 ; Luk 22:54-62 ; Yoh 6:70 ; Yoh 18:2-4),
Allah berjanji bahwa alam maut tidak akan menguasainya (Mat 16:18) dan Allah berjanji bahwa
Dia akan menjaganya dari kesesatan (Yoh 16:13 ; 1 Tim 3:15). Allah memang teguh memegang
janjiNya. Sampai sekarang Gereja Katolik tetap konsisten pada ajaran-ajaran Kristus yang
disampaikan melalui Gereja.

Allah menganugerahkan Magisterium yang terdiri dari Paus bersama Uskup-uskup yang
bersatu dengan Paus bagi Gereja Katolik. Paus adalah suksesor / pengganti St. Petrus, sedangkan
Uskup-uskup adalah suksesor Para Rasul.

Berikut ini adalah daftar dan penjelasan singkat bidaah-bidaah yang berusaha menguasai
Gereja tetapi gagal.

Docetisme (abad ke-1): Bidaah ini menolak kodrat manusia dari Yesus Kristus.

Gnostisisme (abad ke-1): Bidaah ini adalah percampuran antara Kekristenan, agama-agama
timur dan filsafat Yunani. Menurut bidaah ini, pengetahuan keselamatan hanya diperuntukkan
bagi yang terpilih saja. Semua materi adalah iblis dan spirit adalah baik. Perkawinan ditolak
karena menghasilkan materi, yaitu anak-anak.

Gnostisisme Basilides (abad ke-2): Bidaah ini mengajarkan:


a) Hanya beberapa orang yang boleh memiliki pengetahuan (gnosis) yang diperlukan untuk
keselamatan.  b) Hanya jiwa saja yang ditebus, sedangkan tubuh tetap korup. c) Penolakan
bahwa Yesus yang disalib dan hanya menekankan bahwa Yesus satu-satunya yang diutus oleh
Bapa.

Gnostisisme Valentinus (abad ke-2): Bidaah ini mengajarkan bahwa aeon Kristus sendiri
bersatu dengan manusia Kristus untuk membawa pengetahuan rahasia bagi yang terpilih, kaum
Gnostik. Pengetahuan rahasia ini digunakan saat pembebasan jiwa dari tubuh sehingga jiwa
dapat memasuki alam spiritual setelah kematian.

Gnostisisme Ptolomeus (abad ke-2): Bidaah ini mengajarkan bahwa Hukum-hukum Perjanjian
Lama adalah produk dari Demiurgos (Pencipta dunia) yang bukan merupakan Allah tertinggi
ataupun Iblis. Demiurgos tidak sempurna seperti Allah Tertinggi (Supreme God) bukan juga
pencipta kesesatan seperti Iblis.  Demiurgos ini diketahui sebagai pencipta dunia, pencipta materi
yang memerangkap jiwa di dalam tubuh.

Marcionisme (abad ke-2): Bidaah ini menolak validitas / keabsahan Perjanjian Lama.

Montanisme (abad ke-2): Bidaah ini percaya akan kerajaan 1000 tahun (Millenarianisme) dan
mengajarkan bahwa dosa berat (mortal sin) tidak dapat diampuni. Banyak dari kaum montanis
menolak menikah karena kepercayaan akan imminent return of Christ.
Modalisme (abad ke-2): Bidaah ini mengajarkan bahwa Bapa, Putera, dan Roh Kudus
sederhananya adalah cara kehadiran dari 1 Pribadi Ilahi. Dengan kata lain, bidaah ini
mengajarkan bahwa Allah itu Satu dan hanya memiliki Satu Pribadi sedangkan Bapa, Putera dan
Roh Kudus adalah cara kehadiran dari Allah yang satu itu.. Tentang Pengajaran Gereja Katolik
mengenai Tritunggal dapat ditemukan di dalam Katekismus Gereja Katolik

Monarkianisme (abad ke-2): Bidaah ini mengajarkan bahwa Yesus sesungguhnya adalah
manusia saja yang pada suatu ketika (yaitu saat pembabtisan-Nya di Sungai Yordan) menerima
daya ilahi (divine power)

Subordinasionisme (abad ke-2): Bidaah ini memandang Yesus sebagai yang tidak setara (not
co-equal) dengan Bapa.

Sabelianisme (abad ke-3): Bidaah ini menolak pembedaan antara Pribadi Bapa dengan Pribadi
Putera.

Patripassionisme (abad ke-3): Bidaah ini mengajarkan bahwa adalah Bapa, dengan kedok
Putera, yang sesungguhnya menderita dan disalibkan.

Novasianisme (abad ke-3): Bidaah ini menyatakan bahwa pendosa berat tidak dapat diterima
kembali ke dalam Gereja Katolik.

Manikeisme (abad ke-3): Bidaah ini mengajarkan adanya 2 sumber abadi yang setara yang
hadir sebelum dunia tercipta; Yang baik dan yang jahat, satu spirit dan satu materi, satu cahaya
dan satu kegelapan.

Arianisme (abad ke-4): Bidaah ini menolak keilahian Yesus Kristus dan Tritunggal Mahakudus.
Arianisme ini dipandang sebagai bidaah terbesar yang pernah dihadapi Gereja Katolik. Tidak
seperti Protestantisme yang muncul di Gereja Barat, Arianisme muncul baik di Gereja di Barat
maupun Gereja di Timur dalam berbagai bentuk seperti Semi-Arianisme, Eunomianisme dan
sebagainya.
Pneumatomakisme / Pembunuh Roh Kudus (Abad ke-4): Bidaah ini menolak keilahian Roh
Kudus dan dengan demikian juga menolak Tritunggal Mahakudus.

Eunomianisme (Abad ke-4): Bidaah ini adalah bentuk radikal dari Arianisme yang menolak
keilahian Yesus Kristus dan Roh Kudus.

Donatisme (abad ke-4): Donatisme mengajarkan bahwa pendosa berat (mortal sinner) tidak
dapat diterima kembali ke dalam Gereja Katolik dan sakramen yang diberikan oleh kaum
tertahbis yang berada dalam keadaan berdosa berat merupakan sakramen yang tidak sah.

Priskilianisme (abad ke-4): Bidaah ini merupakan percampuran Manikeisme, Docetisme, dan
Modalisme. Bidaah ini menolak preeksistensi Allah Putera sebelum segala abad dan menolak
kemanusiaan Allah Putera.
Monofisitisme (abad ke-5): Bidaah ini mengajarkan bahwa Kristus hanya memiliki satu kodrat
yaitu yang Ilahi saja. Menurut bidaah ini, kodrat manusia Yesus telah diserap hingga hilang oleh
kodrat Ilahi-Nya.

Nestorianisme (abad ke-5): Bidaah ini mengajarkan bahwa Pribadi manusia Yesus dan Pribadi
Allah Putera adalah dua pribadi yang berbeda yang bersatu di dalam Yesus Kristus. Dengan kata
lain, bidaah ini mengajarkan bahwa Yesus memiliki dua Pribadi dengan dua kodrat. Sedangkan
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Yesus Kristus  adalah satu Pribadi dengan dua kodrat, Allah
dan Manusia. Bidaah ini juga menolak gelar Bunda Allah terhadap Bunda Maria. Bidaah ini
mengajarkan bahwa Maria hanya melahirkan manusia Yesus sebagai Temple of God the Son,
sedangkan Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria melahirkan Yesus bukan sebagai
Temple of God the Son melainkan  adalah sungguh-sungguh Allah yang mengambil kodrat
manusia (ber-inkarnasi) tanpa kehilangan kodrat Ilahi-Nya. Dengan kata lain, Gereja Katolik
mengajarkan bahwa Bunda Maria melahirkan Yesus yang adalah sungguh-sungguh Allah
sungguh-sungguh manusia, bukan sekadar Temple of God the Son. Bidaah Nestorianisme adalah
serangan terhadap ajaran Gereja Katolik akan Inkarnasi Sang Allah Putera.

Pelagianisme (abad ke-5): Bidaah ini menolak eksistensi dosa asal (original sin). Bidaah ini
juga mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan keselamatan dengan perbuatan-perbuatan
tanpa rahmat atau Gereja.

Tradusianisme (abad ke-5): Bidaah ini memandang jiwa manusia tidak diciptakan oleh Allah
secara langsung melainkan berasal dari orang tuanya dengan cara yang sama seperti tubuh
manusia.

Monotelitisme (abad ke-7): Bidaah ini mengajarkan bahwa Yesus hanya memiliki satu
kehendak yaitu kehendak Ilahi saja, sedangkan kehendak manusianya tidak ada.

Paulisianisme (abad ke-7): Bidaah ini menolak eksistensi hierarki Gereja, sakramen Babtis,
sakramen Ekaristi dan sakramen Perkawinan. Bidaah ini juga menolak Perjanjian Lama dan
beberapa bagian Perjanjian Baru.

Ikonoklasme (abad ke-8 dan ke-9): Bidaah ini menolak penggunaan ikon-ikon dan mengatakan
penggunaan ikon tersebut sebagai penyembahan berhala.

Albigensianisme (abad ke-11): Bidaah ini menolak otoritas Gereja, sakramen-sakramen Gereja
dan kuasa pemerintah sipil untuk menghukum kriminil-kriminil. Bidaah ini memandang materi
sebagai yang jahat. Bidaah ini juga mengajarkan bunuh diri sebagai cara terbaik untuk
membebaskan diri dari tubuh yang jahat.

Katarianisme (abad ke-11): Bidaah ini menolak pembabtisan dan perkawinan. Mereka
memandang tubuh dan materi sebagai yang jahat.

Waldesianisme (abad ke-11): Bidaah ini mempertanyakan sejumlah sakramen-sakramen


Gereja. Mereka menolak validitas sakramen-sakramen yang diberikan oleh pelayan sakramen
yang tidak layak. Bidaah ini juga menolak api penyucian dan devosi kepada orang-orang Kudus.
Lollardisme (abad ke-14): Bidaah ini menolak dogma Transubstansiasi (Perubahan Substansi)
dengan mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam Ekarisi adalah kehadiran spiritual bukan
kehadiran nyata. Sedangkan Gereja Katolik dengan tegas mengajarkan bahwa kehadiran Yesus
dalam Ekaristi adalah Kehadiran Nyata, substansi roti dan anggur berubah menjadi sungguh-
sungguh Tubuh dan Darah Kristus ketika konsekrasi. Bidaah ini juga menolak peran Imam
sebagai perantara sekunder (secondary mediator) kepada Kristus.

Hussitisme (abad ke-15): Hussitisme menolak Sakramen Pertobatan, Komuni satu rupa dan
penghukuman terhadap pelecehan indulgensi.

Protestantisme (abad ke-16): Protestantisme memiliki banyak denominasi sehingga sulit


mendeskripsikan keseluruhan sistem kepercayaan mereka secara akurat. Sebagai contoh ada
denominasi Protestan yang menerima ajaran mengenai Tritunggal Mahakudus, ada juga yang
tidak menerima seperti denominasi Oneness Pentecostal. Lalu, mayoritas denominasi Protestan
menerima ajaran akan keilahian Kristus, tetapi ada denominasi Protestan yang menolaknya
seperti Christaldelphian. Oleh karena itu, pada bagian ini hanya diterangkan kepercayaan-
kepercayaan essensial (essential beliefs) dari Protestantisme pada masa Reformasi Protestan.

1). Pembenaran oleh iman saja, Sola Fide.


2). Kitab Suci adalah satu-satunya aturan Iman, Sola Scriptura.
3). Dosa asal merusak sepenuhnya kodrat manusia.
4. Hanya Pembabtisan dan Perjamuan Kudus yang merupakan sakramen.
5). Penolakan terhadap Dogma Transubstansiasi.
6). Paus dan Uskup-uskup tidak dibutuhkan.
7).Penolakan terhadap sebagian peran Bunda Maria dalam Gereja.
8). Penolakan terhadap indulgensi.

Gallikanisme (abad ke-17): Bidaah ini mengajarkan bahwa gereja lokal adalah otonom dan
tidak bertanggung jawab terhadap Paus.

Jansenisme (abad ke-17): Bidaah ini mengajarkan bahwa manusia tidak memiliki kehendak
bebas, bahwa Kristus tidak mati untuk semua orang, kemanusiaan Kristus terlalu ditekankan dan
hanya yang paling kudus yang boleh menerima Ekaristi.

Febronianisme (abad ke-18): Bidaah ini mengajarkan bahwa negara, dengan dibimbing oleh
Kitab Suci dan ketaatan terhadap konsili-konsili ekumenis, berhak menentukan keputusan-
keputusan Gereja. Paus tidak dapat ikut campur dalam urusan negara.

Amerikanisme (abad ke-19): Bidaah ini mengajarkan bahwa ada kompatibilitas unik antara
Katolisisme dan nilai-nilai Amerikan. Bidaah ini mengajarkan juga bahwa Amerika Serikat
memiliki peran penting dalam membimbing Gereja Universal ke dalam era modern dan secara
khusus ke dalam berbagai isu-isu sosial kontemporer.

Modernisme (abad ke-20): Modernisme dalam bentuk ekstrim menolak keilahian Kristus,
kesucian Kitab Suci, dan kekudusan Gereja. Bidaah ini juga mengajarkan bahwa doktrin-doktrin
iman dapat berubah seturut perkembangan zaman, dengan kata lain menolak karunia pengajaran-
pengajaran tidak dapat sesat yang dianugerahkan Kristus kepada Gereja.

Kekristenan Sekuler (abad ke-20 dan ke-21): Kekristenan Sekuler (Secular Christianity)
berhubungan dengan Modernisme dan merupakan sebuah hasil dari Modernisme. Bidaah ini
berusaha mencetak dan mengubah Kekristenan berdasarkan kebudayaan modern dan nilai-nilai
sekuler.

____________________________

Anda mungkin juga menyukai