Anda di halaman 1dari 14

TUGAS FILSAFAT HI UB

1. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT


1.1 SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU
Filsafat dan ilmu yang dikenal didunia barat dewasa ini berasal dari zaman
Yunani kuno. Adapun rentetan perkembangan sejarah ilmu dari masa ke masa,
secara garis besar melalui beberapa pemikiran filsuf ternama, yakni: Aristoteles,
Thales, Phytagoras, dan Plato1.
Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu
kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang
tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni
pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia.
Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional
itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebutnya:
1. Praktike (pengetahuan praktis)
2. Poietike (pengetahuan produktif)
3. Theoreitike (pengetahuan teoritis)
Theoritike atau pengetahuan teoritis oleh Aristoteles dibedakan pula menjadi
tiga kelompok dengan sebutan:
1. Mathematike (pengetahuan matematika)
2. Physike (pengetahuan fisika)
3. Prote philosophia (filsafat Pertama)2
Filsafat pertama adalah pengetahuan yang menelaah peradaban yang abadi,
tidak berubah, dan terpisah dari materi. Aristoteles mendefinisikannya sebagai ilmu
tentang asas-asas pertama atau yang dikenal sebagai metafisika.
Matematika, fisika, dan metafisika telah cukup berkembang pada masa hidup
Aristoteles. Sekitar dua ratus tahun sebelumnya telah lahir pemikir yang
mempelajari bidang-bidang tersebut. Seorang pemikir pertama yang dikenal
sebagai Bapak Filsafat yaitu Thales. Sebagian sarjana kemudian mengakuinya pula
sebagai ilmuawan pertama di dunia. Bangsa Yunani menyebutkan bahwa dia adalah
salah seorang dari tujuh orang arif Yunani.

1
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Hal.69
2
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2001. Hal. 91
Thales memperkembangkan filsafat alam kosmologi yang mempertanyakan
asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi dari alam semesta. Menurutnya semua
berasal dari air sebagai dasar materi kosmis. Sebagai ilmuawan ia mempelajari
magnetisme dan listrik yang merupakan pokok soal fisika. Ia juga berusaha
mengembangkan astronomi dan matematika dengan antara lain mengemukakan
pendapat bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari, menghitung
terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri. Salah satu yang
dibuktikannya ialah dalil bahwa kedua sudut alas dari suatu segitiga sama kaki
adalah sama besarnya. Dengan demikian, ia merupakan ahli matematika Yunani
yang pertama dan oleh penulis yang sekarang dinyatakan sebagai Bapak dari
penalaran deduktif.
Selanjutnya muncullah Pythagoras. Pemikir dan tokoh matematik ini
mengemukakan sebuah ajaran metafisika bahwa bilangan-bilangan merupakan
intisari semua benda serta dasar pokok dari sifat-sifat benda. Dalilnya
berbunyi,”bilangan memerintah jagad raya ini”. Menurut Pythagoras, kearifan yang
sesungguhnya itu hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Oleh karena itu, ia
tidak mau disebut sebagai orang arif sebagaimana halnya Thales, melainkan
menganggap dirinya hanya seorang philosophia yang terjemahannya secara
harafiah adalah cinta kearifan. Dengan demikian sampai sekarang secara etimologi
dan singkat sederhana filsafat masih diartikan sebagai cinta kearifan.
Pythagoras berpendapat bahwa matematika merupakan suatu sarana atau alat
bagi pengetahuan filasafati. Pendapat ini kemudian memperoleh pengukuhan dari
Plato. Ia menegaskan bahwa filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran,
sedang filsafat merupakan pencarian yang bersifat perekaan terhadap pandangan
seluruh kebenaran. Filsafat Plato disebut sebagai filsafat spekulatif.
Menurut pendapat Plato, geometri sebagai pengetahuan rasional berdasarkan
akal murni menjadi kunci kearah pengetahuan dan kebenaran filasafati serta bagi
pemahaman mengenai sifat dasar dari kenyataan terakhir. Geometri merupakan
suatu ilmu dengan akal murni membuktikan posisi-posisi abstrak mengenai halhal
yang abstrak seperti garis lurus sempurna, lingkaran sempurna atau segitiga
sempurna.
Salah satu murid plato yang paling cemerlang yang belajar di akademinya
adalah Aristoteles. Tokoh pemikir ini menyusun konsepsinya tentang pembagian
pengetahuan rasional seperti yang telah diuraikan diatas. Mengenai peranannya
dalam filsafat yang berkaitan dengan ilmu Aristoteles merupakan seorang filsuf
ilmu yang pertama. Ia menciptakan cabang pengetahuan itu dengan menganalisis
problem-problem tertentu yang timbul dalam hubungannya dengan penjelasan
Ilmiah.

1.2 RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU

Terdapat tiga tiang penyangga sebagai komponen utama dalam ruang lingkup
filsafat ilmu, yakni: ontologi, epistemologi dan aksiologi3. Adapun secara pengertian
dapat dilihat dalam penjelasan berikut:

1.2.1 Ontologi
Ontologi, secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, yakni on yang
bermakna ‘sungguh-sungguh ada’ serta logos yang berarti ‘ilmu’, sehingga
secara harfiah Ontologi dapat dimaknai sebagai teori yang membahas
mengenai keberadaan. Terdapat banyak filsuf yang mencoba menjabarkan
mengenai apa yang dimaksud dengan Ontologi, salah satunya adalah Rudolf
Goclenius yang dimana pada tahun 1636, ia memperkenalkan istilah
Ontologi kepada pubik untuk pertama kalinya. Dalam penjelasannya,
Ontologi dimaknai sebagai teori yang membahas mengenai hakikat yang
bersifat metafisika .
Seiring berjalannya waktu, terdapat penjabaran dari filsuf lainnya yang
mecoba mengembangkan penjabaran awal mengenai Ontologi tersebut,
salah satunya adalah Christian Wolf, dimana pada tahun 1679 – 1754 M, ia
melakukan pembilahan konsep metafisika pada istilah Ontologi menjadi dua
bagian4, yakni:
a. Metafisika Umum
Metafisika Umum merupakan cabang filsafat yang membicarakan
prinsip paling dasar atau terdalam darisegala sesuatu yang ada.
Metafisika Umum sebagai disiplin ilmu merupakan istilah lain dari
ontologi.

3
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007. Hal.69
4
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2001. Hal. 91
b. Metafisika Khusus
Metafisika Khusus sebagai pendalaman dari Ontologi kembali dibagi
menjadi tiga, yaitu Kosmologi yang membicarakan mengenai hal-hal
yang berkenaan dengan alamsemesta, Psikologi yang merupakan bidang
yang berfokus membicarakan mengenai jiwa manusia, serta Teologi
membicarakan hal-hal yang bersinggungan dengan aspek ketuhanan.
Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa Ontologi
merupakan teori mengenai keberadaan, atau ilmu tentang wujud, yang
berbicara mengenai hakikat dari keberadaan5.

1.2.2 Epistemologi

Epistemologi, atau yang dikenal dengan istilah Teori Pengetahuan


(Theory of Knoledge) adalah teori yang lebih banyak berfokus pada hal
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, sumber pengetahuan dan
bagaimana cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut6.

Secara harfiah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni Episteme


yang berarti ‘pengetahuan’ dan Logos yang berarti ‘Perkataan/ Pikiran/
Ilmu’. Secara garis besar, Epistemologis dapat dipahami sebagai salah satu
cabang filsafat yang menelaah mengenai asal, sifat, metode serta bahasan
pengetahuan manusia. Selain itu, Epistemologis sebagai teori pengetahuan,
juga dapat dimaknai sebagai teori yang membahas secara mendalam segala
bentuk proses usaha untuk memperoleh pengetahuan; dimana pengetahuan
tersebut didapat dan bagaimana metode yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan tersebut.

Epistemologi pertama kali muncul pada tahun 1854 melalui penjabaran


yang dikemukakan oleh filsuf bernama JF. Ferrier. Adapun Epistemolgi itu
sendiri dibagi kedalam beberapa aliran, yakni:

5
Ibid.1
6
Musa Syari, Filsafat Islam Kajian (Ontologis, Pistemologis, Aksiologis, Historis dan Perspektif),Yogyakarta:
RSFI, 1992. Hal. 28
a. Empirisme
Berasal dari bahasa Yunani, Empierikos yang berarti ‘pengalaman’.
Dikemukakan pertama kali oleh John Locke pada tahun 1632 – 1704,
dimana ia percaya bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya.
b. Rasionalisme
Aliran ini mempercayai bahwa manusia memperoleh pengetahuan
mealui kegiatan akal yang dimilikinya dalam menangkap objek. Pertama
kali dikemukakan oleh Rene Descrates pada tahun 1596 – 1650 yang
yakin bahwa akal adalah dasar kepastian dari sebuah ilmu pengetahuan.
c. Positivisme
Tokoh dalam aliran ini adalah August Compte pada tahun 1798 – 1857
yang percaya bahwa manusia memperoleh pengetahuan berdasarkan
indera yang dimilikinya kemudian dipertajam dengan eksperimen yang
dilakukan manusia tersebut sebagai alat bantu (bukti empiris). Aliran ini
disebut juga sebagai aliran penyempurnaan dari Empirisme dan
Rasionalisme.
d. Intuisionisme
Tokoh dalam aliran ini adalah Henri Bergson pada tahun 1859 – 1941,
yang mengamini bahwa intuisi adalah cara manusia memperoleh
pengetahuan, karena intuisi lah yang menyempurnakan terbatasnya
indera yang dimiliki oleh manusia dan akal yang hanya bisa berfokus
pada beberapa objek tertentu saja.
e. Kritisme
Tokoh dalam aliran ini adalah Immanuel Kant pada tahun 1724 – 1804.
Aliran ini mengakui bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal
(rasionalisme) namun ada juga pengetahuan yang timbul dari
pengalaman (empirisme) sehingga hal tersebut perlu ditelaah melalui
metode berpikir yang lebih mendalam, disebut dengan metode kritis.
f. Idealisme
Aliran ini diambil dari kata idea, yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Dikemukakan pertama kali oleh Plato pada filsafat modern, dimana teori
ini percaya bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahamidalam kaitan
dengan jiwa dan roh7.

1.2.3 Aksiologi
Secara harfiah aksiologi berasal dari bahasa Yunani yakni axios yang
berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Secara garis besar aksiologi
merupakan cabang filsafat yang membahas mengenai bagaimana manusia
menggunakan ilmu yang dimilikinya8. Sebagai sebuah disiplin ilmu,
Aksiologi dibagi menjadi tiga bagian, yakni: moral conduct (tindakan
moral), esthetic expression (ekspresi keindahan) dan sosio political life
(kehidupan sosial politik). Aksiologi juga dapat dipahami sebagai teori yang
mempelajari mengenai nilai yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai9.

2. FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA


Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang
pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Filsafat ilmu merupakan telaah secara
filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu.
Filsafat sendiri termasuk ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya,
karena itu titik tolak untuk memahami dan mengerti filsafat adalah meninjau dari segi
etimologi dan terminologi. Tinjauan secara etimologi dan terminologi adalah
membahas pengertian secara bahasa dan istilah, atau kata dari segi asal usul dan
pendapat dari kata itu. Akan tetapi sebelum membahas masalah pengertian filsafat ilmu
akan lebih baiknya kita mengetahui pengertian dari filsafat dan ilmu.
Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’. Kata
philosopia terdiri atas kata philein yang berarti cinta dan sophia yang berarti
kebijaksanaan, sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Kata
filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (496-582 SM). Secara terminologi
pengertian filsafat menurut para ahli sangatlah beragam , beberapa diantaranya :

7
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Hal. 133 – 141.
8
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Hal. 106
9
Ibid.2
a. Plato (477 SM-347 SM), seorang filsuf Yunani dan merupakan murid
Socrates. Plato mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang
segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
b. Aristoteles (381 SM-322 SM), murid Plato yang juga seorang filsuf Yunani,
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran dan di
dalamnya terkandung ilmu-ilmu, seperti metafisika, logika, etika, ekonomi,
politik dan estetika.
c. Marcus Tulius Cicero (106 SM-43 SM), seorang politikus dan ahli pidato
Romawi, merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang
maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
d. Al-Farabi (870-950 M), seorang filsuf Islam, mengatakan bahwa filsafat
adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud, yang bertujuan menyelidiki
hakikat yang sebenarnya.
Kata ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alima, ya’lamu, ilman
dengan wazan fa’ila, yaf’alu yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam
bahasa Inggris, ilmu disebut science, dalam bahasa latin scientiascire serta dalam
bahasa Yunani adalah episteme. Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran
manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ilmu adalah hasil pengetahuan
manusia. Tujuan utama kegiatan keilmuan adalah mencari pengetahuan yang bersifat
umum dalam bentuk teori, hukum, kaidah, asas dan sebagainya. Untuk bisa
menghargai ilmu sebagaimana mestinya, sesungguhnya kita harus mengerti apakah
hakikat ilmu itu sebenarnya.
Filsafat dan ilmu itu sendiri mempunyai persamaan-persamaan , yaitu sebagai
berikut :
 Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya dalam menyelidiki objek
selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.
 Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan yang ada antara
kejadian-kejadian yang dialami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
 Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang
bergandengan.
 Keduanya mempunyai metode dan sistem.
 Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan keseluruhan
timbul dari hasrat manusia, akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Akan tetapi, filsafat dan ilmu juga mempunyai perbedaan-perbedaan , yaitu sebagai
berikut :
 Objek material filsafat bersifat universal, sedangkan objek material ilmu
bersifat khusus dan empiris.
 Objek formal filsafat bersifat non-fragmentaris, sedangkan objek formal ilmu
bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif.
 Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya
spekulasi, kritis dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah melalui riset lewat
pendekatan trial and error.
 Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada
pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat menguraikan secara
logis yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
 Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, mutlak dan mendalam sampai
mendasar, sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu
mendalam, lebih dekat dan sekunder.
Pengertian filsafat ilmu dapat diketahui berdasarkan etimologi dan terminologi di
atas, sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu adalah suatu pengetahuan atau
epistemologi yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tak lagi
merupakan misteri. Pengetahuan digolongkan secara garis besar menjadi tiga kategori
umum , yakni :
a. Pengetahuan tentang yang baik dan buruk, yang disebut etika,
b. Pengetahuan tentang indah dan jelek, yang disebut dengan estetika atau seni,
c. Pengetahuan tentang yang benar dan salah, yang disebut dengan logika.

3. ETIKA KEILMUAN

Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah
“etika” berasal dari bahasa Yunani kunoethos. Kata ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; pada rumput, kandang; kebiasaan, adat;
akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah:
adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (284-322 SM) sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Jadi, kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika”
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.

Secara etimologis, ethic berarti system of moral principles8atau a system of moral


standard values. Secara terminologi etika didefinisikan sebagai: the normatif science of the
conduct of human being living societies. A science which judge this conduct to be right or
wrong, to be good or bad. Secara singkat etika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan
tentang kesusilaan (moral).

Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Kata terakhir ini berasal dari
bahasa Latin mos(jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris
dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi,
etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari
kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda; yang pertama berasal dari
bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin.

Moral adalah ajaran-ajaran wejanganwejangan khutbah- khutbah patokan-patokan


tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.
Sumber langsung ajaran moral dapat berupa ajaran agama, nasihat para bijak, orang tua,
guru dan sebagainya. Pendek kata sumber ajaran moral meliputi agama, tradisi, adat-
istiadat dan ideologi-ideologi tertentu.

Sebagai sistem nilai, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam posisi
inilah sebagai besar makna etika dipahami sehingga muncul istilah-istilah “Etika Islam”,
“Etika Budha”, “Etika Kristen”, dan sebagainya.

Dalam posisinya sebagai filsafat moral, etika memiliki kedudukan sebagai ilmu,
bukan sebagai ajaran. Etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Ajaran
moral mengajarkan bagaimana kita hidup, sedangkan etika ingin mengetahui mengapa kita
mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita mengambil sikap yang
bertanggungjawab ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral.

Etika sebagai filsafat mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan


yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Etika pada kajian filsafat ini sangat menarik
perhatian para filosof dalam menanggapi makna etika secara lebih serius dan mendalam,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles dalam bukunya Etika
Nikomacheia,menjelaskan tentang pembahasan etika kedalam dua hal penting,yaitu
pertama,etika sebagai terminus techius. Pengertian etika dalam hal ini adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. Kedua,etika
dimaknai sebagai manner dan custom,dimana etika dipahami sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (
Inherent in human nature) yang terikat dengan pengertian “ baik dan buruk ” suatu tingkah
laku atau perbuatan manusia.

Etika mempunyai sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis.Etika


mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki dasar norma-norma itu,
mempersoalkan hak dari setiap lembaga seperti orang tua, negara, dan agama untuk
memberi perintah atau larangan yang harus ditaati.Hak dan wewenang untuk menuntut
ketaatan dari lembaga tersebut harus dan perlu di- buktikan. Dengan demikian, etika
menuntut orang bersikap rasional terhadap semua norma. Sehingga etika akhirnya
membantu manusia menjadi lebih otonom.

Otonomi manusia tidak terletak pada kebebasan dari segi norma dan tidak sama
dengan kesewenang-wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk mengakui
norma-norma yang diyakininya sendiri sebagai kewajibannya. Dengan demikian, etika
dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa
yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Dengan
demikian, etika memberikan kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap individual
serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.

Sebagai salah satu cabang aksiologi ilmu yang banyak mem- bahas masalah nilai-
baik atau buruk etika mengandung tiga pengertian:

Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

a. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik.

b. Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk.

Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-
nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat – seringkali tanpa disadari– menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini sama dengan filsafat moral.

Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat dihampiri
berdasarkan atas tiga macam pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan
Metaetika.

a. Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti:
adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan
atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu,
kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak
memberikan penilaian apa pun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih
bersifat netral. Misalnya: Penggambaran tentang adat mengayau kepala pada suku
primitif.
b. Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan
norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa
mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-
sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam
mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk. Etika normatif ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Etika umum, yang menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang
dimaksud norma etis? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana
hubungan antara tanggungjawab dengan kebebasan?
2. Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke
dalam perilaku manusia yang khusus. Etika khusus juga dinamakan etika
terapan.
c. Metaetika, yaitu kajian etika yang ditujukan pada ungkapan- ungkapan etis. Bahasa
etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji secara logis.
Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”.
Perkembangan lebih lanjut dari metaetika ini adalah Filsafat Analitik.

Etika tidak hanya berkutat pada hal-hal teoritis, namun juga terkait erat dengan
kehidupan konkret, oleh karena itu ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan
dalam kaitannya dengan kehidupan konkret, yaitu:
1. Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan
manusia pada sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam,
sehingga diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh: etika medis
tentang masalah aborsi, bayi tabung, kloning, dan lain-lain.
2. Gelombang modernisasi yang melanda di segala bidang kehidupan masyarakat,
sehingga cara berpikir masyarakat pun ikut berubah. Misalnya: cara berpakaian,
kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain-lain.
3. Etika juga menjadikan kita sanggup menghadapi ideologi- ideologi asing yang
berebutan mempengaruhi kehidupan kita, agar tidak mudah terpancing. Artinya
kita tidak boleh tergesa- gesa memeluk pandangan baru yang belum jelas,
namun tidak pula tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belum
terbiasa.
4. Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar
kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan
terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.

Etika sebagai sebuah disiplin ilmu memiliki beberapa aliran yang dapat
dipelajari, antara lain: Hedonisme, Utilisme, serta Deontologi10.

4. TRADISI RASIONALISME
Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir,
alat dalam berpikir adalah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.
Perkembangan pemikiran filsafat aliran Rasionalisme, yaitu sekitar abad ke-
17 tercapainya kedewasaan pemikiran, sehingga pada abad ini muncullah
pandangan tentang pengetahuan alamiah manusia, akal (rasio) dan pengalaman
(empiris).
Rasionalisme adalah aliran filsafat ilmu yang berpandangan bahwa otoritas
rasio (akal) adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan demikian, kriteria
kebenaran berbasis pada intelektualitas. Jadi strategi pengembangan ilmu menurut
paham rasionalisme adalah mengekplorasi gagasan-gagasan dengan menggunakan
kemampuan intelektual manusia.

10
Mokh Sya’roni, Etika Keilmuan: Sebuah Kajian Filsafat, Pascasarjana UIN Walisongo, Semarang.
perintis awal aliran rasionalisme ialah Heraclitus, yang meyakini akal melebihi
pancaindera sebagai sumber ilmu. Thales menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya
ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh
penentangnya (Socrates, Plato dan Aristoteles). Menurut beliau akal manusia boleh
berhubung dengan akal ketuhanan yang memancarkan sinaran cahaya tuhan dalam diri
manusia. Pada zaman pertengahan rasionalisme Yunani berkembang di tangan tokoh-
tokoh Socrates, Plato dan Aristoteles. Rasionalisme mencapai zaman kepuncaknya
pada zaman Aristoteles yang berusaha menangkis serangan pemikiran aliran Sufastho
iyyun yang menyebarkan pegangan bahawa „Sesuatu perkara itu adalah dianggap baik
bila manusia mengira ia adalah baik, dengan kata lain manusia adalah kayu pengukur
segala perkara.
Hasil dari pengaruh tersebut, Aristoteles telah memperkenalkan rasionalisme
dengan menyusun kaedah ilmu logika secara sistematik dalam karyanya yang terkenal
yaitu Organaon. Kemudian dilanjutkan oleh salah satu tokoh filosuf Modern ialah Rene
Descartes (1596-1650), dan dikenal sebagai “bapak filsafat modern‟.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah, keinginan untuk membebaskan
diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik; skolastik adalah kata sifat yang berasal
dari kata school yang berarti sekolah.
Perkembangan rasionalisme selanjutnya berlangsung dari pertengahan abad
XVII sampai akhir abad ke- XVIII. Pada masa ini, hal yang khusus bagi ilmu
pengetahuan adalah penggunaan akal budi (rasio) secara ekslusif untuk menemukan
kebenaran. Terbukti, pengguaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, bahkan
memberikan tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang
pesat dari ilmu-ilmu alam.
Para Tokoh Rasionalisme memiliki pandangan masing-masing; Rene Descartes
(1596-1650) semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas. Metode yang
dipakai oleh Rene Descartes adalah Metode kesangsian “ Cogito Ergo Sum” = “ aku
berpikir, maka aku ada). Nicholas Malerbranche (1638- 1775) ia mengikuti ajaran
Descartes bahwa ada dua substansi yaitu pemikiran dan keluasan. Setiap perubahan
dalam tubuh dan jiwa, Menurut Malebranche bahwa Allah seabagi Penyebab, hal ini
sudah ditetapkan oleh hukum yang telah ditentukan satu kali untuk selamanya Baruch
de Spinoza (1632-1677) Spinoza menemukan konsep dasar filsafatnya, pada konsep
subtansi. Menurut Spinoza pikiran mustahil tanpa konsep subtansi. Dan mendefinisikan
sebagai suatu yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.
Spinoza memahami subtansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri, tapi juga terisolasi
dari kenyataan –kenyataan lain.
G.W. Leibniz (1646-1716) Salah satu pemikiran Gottfried Wilhelm Liebniz
ialah tentang subtansi. Menurutnya ada banyak substansi yang disebut dengan monad
(monos= satu; monad= satu unit) jika dalam matematika yang terkecil adalah titik, dan
dalam fisika disebut dengan atom, maka dalam metafisika disebut dengan monad,
terkecil dalam pendapat leibniz bukan berarti sebuah ukuran, melainkan sebagai tidak
berkeluasan, maka yang dimaksud dengan monad bukan sebuah benda. Setiap monad
berbeda satu dari yang lain dan Tuhan (Supermonad dan satu-satunya monad yang tidak
dicipta) adalah pencipta monad-monad itu.
Monad tidak mempunyai kualitas. Karenanya hanya Tuhan Yang benar-benar
mengetahui setiap monad agar Tuhan membandingkan dan memperlawankan monad-
monad itu. Itu disebabkan monad- monad itu memang berbeda satu dengan yang
lainnya. Christian Wolff (1679-1754) mengikuti Leibniz. Sistem pemikiran Wolff,
dikenal sebagai sistem Leibniz- yang menjadi dasar pemikiran filsafat Jerman abad ke-
18 sampai pada zaman Kant. Meskipun ada penyimpangan dari Leibniz, akan tetapi
Pemikiran Wolff pada dasarnya merupakan pengembangan dari filsafat Leibniz dengan
menerapkannya terhadap segala bidang ilmu pengetahuan.
Pendapat Pascal yang termasyhur seperti di bawah ini : Le Couer a ses raisons
qui la raison ne connait point (Hati memiliki alasan-alasan yang tidak dimenegerti
rasio). Dengan pernyataan itu, sebenarnya Pascal tidak ingin mempertentangkan
“rasio” dengan “hati”, sebab yang dimaksud dengan “hati” di sini adalah unsur
pemahaman yang dapat menangkap prinsip-prinsip pertama kenyataan secara berlainan
dari rasio. Kadang-kadang Pasca menyejajarkan “hati” dengan “kehendak” yang
berkaitan dengan “kepercayaan”, tetapi kadang dia melukiskannya sebagai kemampuan
untuk mengetahui. Menurutnya, kita tidak hanya mengetahui kebenaran dengan rasio,
tetapi juga dengan hati. Yang dapat mengetahui Allah secara langsung adalah hati,
bukan rasio “iman” demikian Pascal “ adalah penasehat yang lebih baik dari pada akal.
Akal mempunyai batas, tapi iman tidak.11

11
H.Muhammad Bahar Akkase Teng, RASIONALIS DAN RASIONALISME DALAM PERSPEKTIF SEJARAH,
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai